TULISAN 2 KEBUDAYAAN ARAB PADA MASA ABBA

(2)
KEBUDAYAAN ARAB PADA MASA DINASTI ABBASIYAH

1. Pendahuluan
Pemerintahan Bani Abbasiyah merupakan dinasti berusia paling panjang dalam
sejarah Islam. Dimulai ketika Muhammad As-Saffah, nama lengkapnya Abdullah
As-Shaffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Al-Abbas, berhasil merebut
kekuasaan dari Bani Umayah pada 750 Masehi, dengan cara memanfaatkan
ketidakpuasan orang-orang Islam non-Arab, kalangan Syiah serta keluarganya
sendiri, Keluarga Hasyim. Ia membangun kekuasaan itu bersama Abu Muslim dari
Khurasan. Sejak itu (750 M), Bani Abbasiyah berkuasa hingga tahun 1258 M.
(Yatim, 1999:49).
Abu Abbas sendiri hanya berkuasa selama empat tahun sembilan bulan, yaitu
sampai ia meninggal pada tahun 136 H di kota Anbar, suatu kota yang ia jadikan
sebagai pusat pemerintahannya (Hassan, 1989:102). Setelah Abu Abbas wafat, ia
digantikan oleh Abu Ja'far sebagai khalifah berikutnya (754-775). Dialah khalifah
pertama yang menggunakan gelar untuk dirinya sendiri, yaitu Al-Manshur. (Hassan,
1989:102) Ciri khas dari pemerintah Al-Manshur adalah kesediaannya untuk
mengakomodasi kepentingan masyarakat Persia. Bahkan ibukota negara dipindahkan
ke tepi Sungai Tigris, dekat Ctesiphon, ibukota Kekaisaran Persia pada masa lalu.
Dalam beberapa literatur sejarah disebutkan bahwa Al-Manshur melakukan

survei mendalam untuk penentuan lokasi ibukota. Dia mengirim staf untuk tinggal di
sana guna membuat laporan keadaan wilayah itu di berbagai musim. Ia
mendatangkan sekitar 100.000 pekerja dari berbagai daerah—Kufah, Bashrah,
Mosul, dan Syria—untuk menjadi arsitek, tukang bangunan, juru pahat, pelukis
untuk membangun tempat yang dulu dipakai sebagai peristirahatan Kaisar Kisra
Anusyirwan (Sou'yb, 1977:124). Sekitar tahun 762 Masehi, lahirlah kota Baghdad
sebagai salah satu kota termegah di dunia saat itu.
Al-Manshur dianggap sebagai tonggak pembangun kejayaan Abbasiyah.
Namun itu dilakukannya dengan tangan besi pula. Abdullah dan Shalih bin Ali, dua

orang pamannya yang menolak berbaiat untuknya, dibunuh Abu Muslim atas
suruhannya (Osman, 1976:108). Abu Muslim sendiri kemudian ia bunuh. Untuk
militer, ia kembali melakukan ekspansi untuk menguasai kembali wilayah-wilayah
yang pernah dikuasai Bani Umayyah. Ia mengenalkan konsep 'wazir' yang sekarang
diistilahkan sebagai perdana menteri. Jawatan pos diberi tugas intelejen, termasuk
untuk mengawasi para gubernur.
Di sisi lain, Baghdad dibangunnya sebagai pusat peradaban. Ilmu dan kesenian
dikembangkan. Di masa pemerintah Al-Manshur ini, imam Abu Hanifah (700-767)
yang hidup di kota Kufah diberi tempat yang baik dan terhormat. Abu Hanifah
berkesempatan untuk merumuskan hukum-hukum Islam, yang kemudian dikenal

sebagai mazhab Hanafi, sebuah mazhab yang sangat dipengaruhi kecenderungan
kalangan intelektual muslim di Kufah, yaitu pengaruh rasionalisme.
Kemakmuran masyarakat mulai terwujud pada masa Khalifah Al-Mahdi (775785). Program irigasi berhasil meningkatkan produksi pertanian berlipat kali. Jalur
perdagangan dari Asia Tengah dan Timur hingga Eropa melalui wilayah
kekhalifahan Abbasiyah berjalan pesat. Pertambangan emas, perak, besi dan
tembaga, berjalan dengan baik. Bashrah di Teluk Persia tumbuh menjadi satu
pelabuhan terpenting di dunia. (Esposito, 2001:1-2).
Bersamaan dengan itu, ilmu pengetahuan tumbuh subur. Di Madinah, Imam
Malik (713-795) juga menyusun fikih atau hukum Islam. Ia tak seperti Imam Abu
Hanifah yang lebih mengandalkan rasionalitas. Imam Malik banyak menggunakan
hadis secara langsung serta tradisi masyarakat Madinah. Puncak peradaban Islam
terjadi pada masa Harun Ar-Rasyid (786-809). Bukan hanya kemakmurn masyarakat
yang dicapai, namun juga pendidikan, kebudayaan, sastra, dan lain-lain.
Harun Ar-Rasyid membangun rumah-rumah sakit, sekolah kedokteran, serta
farmasi. Saat itu, diperkirakan terdapat 800 orang dokter. Ia juga membangun
pemandian-pemandian umum. Istrinya membangun saluran air dari Thaif untuk
memenuhi kebutuhan air di Mekah yang tak cukup dipenuhi oleh sumur Zamzam.
Masa keemasan ini dilanjutkan oleh Al-Ma'mun (813-833), yang mendirikan
banyak sekolah. Berbagai buku Yunani diterjemahkannya ke bahasa Arab. Ia
mendirikan pula Bait Al-Hikmah, perpustakan sekaligus perguruan tinggi yang

banyak melahirkan karya monumental di bidang ilmu pengetahuan. Di masanya,

17

Imam Syafi'i (767-820) serta Imam Ahmad bin Hanbal (780-855) juga menulis kitab
fikih yang kemudian menjadi mazhab sendiri. Mazhab dengan pendekatan yang
berada di antara mazhab Hanafi dan Maliki. Pemikir Islam yang mengedepankan
rasionalitas, yang dikenal dengan sebutan Mu'tazilah, yakni Abu Huzail (752-849)
dan An-Nazam (801-835) juga melempar gagasannya pada periode ini (Sou'yb,
1977:109).
Hingga Khalifah Al-Mutawakkil (847-861), Daulat Abbasiyah masih
menampakkan kebesarannya. Namun dalam wilayah politik, Al-Mutawakkil mulai
membuat sejumlah perubahan. Ia lebih berorientasi pada orang-orang Turki
dibanding Persia. Paham keagamaan negara pun diubah. Khalifah Al-Ma'mun
menggunakan paham rasional Mu'tazilah untuk negara. Al-Mutawakil mencabut
paham itu, dan menggunakan aliran 'Salaf' dari mazhab Hanbali.
Tak banyak terkisahkan pada sejarah Daulat Abbasiyah akhir Abad ke-9 dan
awal Abad ke-10. Terutama sejak Khalifah Al-Mutawakkil meninggal pada 861
Masehi. Riwayat hanya menyebut bahwa pemerintahan Baghdad terus dikuasai oleh
para panglima militer berdarah Turki. Para panglima itu yang mengangkat khalifah

dari keturunan khalifah-khalifah terdahulu, namun mereka hanya dijadikan simbol.
Khalifah yang diangkat dan dikendalikan oleh kekuatan militer, pada masa
Dinasti Abbasiyah, yang didominasi bangsa Turki berjumlah 12 khalifah (Yatim,
1999:67).

Hanya empat khalifah yang diganti karena meninggal secara wajar.

Delapan lainnya diturunkan secara paksa oleh militer, bahkan juga dibunuh. Keadaan
ini menjadikan wibawa Dinasti Abbasiyah semakin merosot. Satu per satu wilayah
melepaskan diri dari kendali pusat.
Simbol-simbol peradaban, seperti ilmu pengetahuan, kesenian, dan sastra tidak
lagi berkembang. Satu-satunya paham keagamaan yang tumbuh pada masa ini adalah
pemikiran Abu Hasan Al-Asy'ari (873-935), yang kerap disebut aliran tradisional
dalam teologi. Al-Asy'ari sempat belajar paham Mu'tazilah yang banyak dipengaruhi
oleh logika Yunani. Ia lalu mengkritisi paham tersebut dengan mengambil
pendekatan tekstual dan tradisi. Sejarah pemikiran Islam kemudian banyak diwarnai
tarik-menarik kedua pendekatan tersebut, sampai sekarang.
Wibawa kekhalifahan Abbasiyah bangkit kembali setelah kekuasaan di tangan
keluarga Buwaihi. Khalifah, lagi-lagi hanya menjadi simbol sebagaimana Kaisar


18

Jepang di era Tokugawa. Ketika wazir (perdana menteri) dan militer bertikai,
khalifah menyerah-kan kekuasaan pada tiga kakak beradik Ali, Hasan, dan Ahmad anak Abu Syuja' Buwaih, seorang nelayan miskin dari Dailam. Ahmad memegang
kendali di Baghdad, Ali menguasai wilayah Persia Selatan yang berpusat di Syiraz,
dan Hasan berkuasa di Persia Utara, termasuk kota Ray dan Isfahan (Esposito,
2001:2).
Di awal masa Bani Buwaih (945-1055), kemakmuran kembali berkembang di
wilayah kekhalifahan Abbasiyah. Pembangunan gedung pun semarak. Industri karpet
berkembang pesat. Intelektual bermunculan. Antara lain Ibnu Sina (980-1037),
penulis Qanun fit-Thibb yang menjadi rujukan ilmu kedokteran Barat sampai Abad
ke-19. Pada masa ini juga muncul Al Farabi (wafat pada 950 Masehi) dan AlMaskawaih (wafat 1030 Masehi). Namun dalam keagamaan, terjadi kerancuan
paham. Kekhalifahan menganut paham Sunni, sedangkan Bani Buwaihi berpaham
Syi'ah.
Muncul pertikaian keluarga yang membuat kekuatan Bani Buwaihi merosot.
Kekhalifahan Abbasiyah kehilangan pamor lagi. Di Mesir, berdiri Kesultanan
Fathimiyah; di Afghanistan, keluarga Ghaznawiyah memerdekakan diri, kemudian
muncul dinasti Seljuk yang berawal dari kabilah-kabilah kecil di Turkistan yang
berhasil dipersatukan oleh Seljuk anak Tuqaq. Pemimpin Seljuk kemudian ThugrulBek, berhasil merebut beberapa wilayah kekhalifahan Abbasiyah. Tak seperti Bani
Buwaihi, mereka menganut paham Sunni.

Atas undangan Khalifah Qaim, Thugrul-Bek memasuki Baghdad. Para
keturunannya kemudian mengendalikan kekuasaan di Baghdad. Banyak keluarga
Seljuk lainnya membangun kekuasaan kecil-kecil di luar Baghdad. Sejarah mencatat
masa terpenting kekuasaan Seljuk terjadi pada kepemimpinan Alp Arselan (10631072). Khalifah masa itu adalah Sultan Malik Syah, dengan Nizham Al-Mulk
sebagai Perdana Menteri.
Nizham membangun Universitas Nizhamiyah pada 1065 di Baghdad. Inilah
yang disebut model pertama universitas yang kini dikenal dunia. Di berbagai kota di
Irak dan Khurasan didirikan cabang universitas ini. Nizham juga membangun
Madrasah Hanafiah. Ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat. Banyak intelektual
lahir pada masa ini. Di antaranya Az-Zamakhzyari di bidang tafsir dan teologi,

19

Qusyairi di bidang tafsir, Imam Al-Ghazali sebagai tokoh tasawuf, juga sastrawan
Fariduddin Attar, dan Omar Khayyam.
Dalam bidang militer, 15.000 pasukan Alp Arselan mengalahkan pasukan
gabungan Romawi, Perancis, dan Armenia. Sepeninggal Arselan, pasukan itu malah
merebut kota Yerusalem dari Dinasti Fathimiyah pada 471 Hijrah, atau 1078 Masehi.
Inilah peristiwa yang menyulut terjadinya Perang Salib.
Waktu berlalu. Kekhalifahan melemah. Hampir setiap propinsi melepaskan

diri. Pada tahun 1199 Masehi, kekuasaan Keluarga Seljuk di Baghdad berakhir. Para
khalifah keturunan Abbas masih melanjutkan kepemimpinan negara. Namun hanya
terbatas di sekitar Baghdad. Pada 1258, tiba-tiba sekitar 200 ribu pasukan Mongol
muncul di bibir kota Baghdad di bawah komando Hulagu Khan. Dalam peperangan
itu, Khalifah Al-Mu'tashim menyerah.
Ia menyangka Hulagu Khan hendak menikahkan anak perempuannya dengan
Abu Bakar, putra khalifah, maka khalifah dan seluruh pembesar istana datang ke
kemah Hulagu membawa berbagai hadiah. Di tempat itulah, Hulagu memenggal
leher khalifah dan seluruh pengikutnya satu per satu. Kota Baghdad dihancurkan.
Seluruh kegemilangan yang dibangun oleh Al-Manshur, dan kemudian juga oleh
Harun Ar-Rasyid itu luluh lantak. Baghdad kembali rata dengan tanah.
2. Sistem Kebudayaan Arab
Pada masa awal Islam, ilmu pengetahuan Islam hampir secara keseluruhan
berasal dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Adapun umat Islam keturunan non-Arab
tidak menguasai dengan baik bahasa dan sastra Arab. Itulah sebabnya di kalangan
Muslim non-Arab timbul semangat untuk mempelajari tata bahasa Arab, filologi, dan
syair-syair pra-Islam yang memerlukan studi geneologi dan historiografi untuk
memahami makna dan kandungan Al-Qur'an dan As-Sunnah. (Hassan, 1989:130131).
Mungkin karena dorongan itulah, maka orang-orang Muslim non-Arab
memiliki semangat yang tinggi untuk mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan, baik di

bidang bahasa dan sastra maupun bidang-bidang lain. Itulah sebabnya Dinasti
Abbasiyah yang banyak didominasi oleh kekuatan Muslim non-Arab ini, mampu
mendorong tumbuh kembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan Ibnu

20

Khaldun menyatakan bahwa ilmu pengetahuan di masa kejayaan Islam banyak
dikembangkan oleh orang-orang Islam Persia (Khaldun, 1900:543).
Untuk mengetahui kebudayaan Islam pada masa Dinasti Abbasiyah, dapat
dilakukan peninjauan terhadap aspek-aspek kebudayaan Islam, mulai dari sistem
pemerintahan, pendidikan, kehidupan sosial, perkembangan ilmu pengetahuan,
hingga faktor-faktor yang menghubungkan masyarakat Islam dengan kebudayaan
non-Arab lainnya.
a. Kehidupan Masyarakat
Akan sangat menarik bila ditinjau sejarah masa silam Dinasti Abbasiyah, dan
dari sejarah ini dapat dibentuk suatu pemikiran tentang kondisi sosial dan ekonomi
rakyat. Dalam tradisi pemerintahan Islam awal, Khalifah merupakan kepala negara.
Dia memperoleh penghormatan tertinggi dari rakyat. Di bawah pemerintahan
Khalifah, terdapat para pejabat tinggi kerajaan. Kaum wanita memperoleh
kedudukan yang sama dalam masyarakat sebagaimana yang terjadi pada masa

Dinasti Umayyah. Akan tetapi, menjelang akhir abad ke-10, sistem pemisahan kaum
perempuan dari kaum laki-laki telah menjadi amat biasa. Selama masa ini banyak
wanita Abbasiah seperti halnya Khaizuran, Ulayyah, Jubaedah, dan Buran unggul
dalam mengurus organisasi negara dan beberapa di antara mereka aktif dalam
kehidupan politik (Hitti, 2001:111). Juga banyak di antara mereka sangat yang
berminat dalam kesusastraan. Ratu Jubaedah adalah wanita berbakat dan penyair
ulung. Jubaedah yang memperoleh kemasyhuran nasional pada masa pemerintahan
Al-Mu’tashim dilukiskan oleh Kitâbul-Aghâni sebagai wanita yang sangat cantik,
bajik, dan terampil. Dia juga termasyhur sebagai penyanyi dan musisi. Fazl adalah
penyair berbakat dalam pemerintahan Al-Mutawakkil. Syaikha Syuhda adalah wanita
berbakat lainnya yang memberi kuliah di Baghdad tentang sejarah dan kesusastraan.
Jainab Umm-ul Muwayyid adalah pengacara termasyhur. Taqia, putri Abul Faraj,
adalah penyair kenamaan. Ringkasnya, para wanita Muslim pada zaman Abbasiah
terpelajar dan pandai (Ali, 1995:320).
Kesenian dan musik mendapat tempat yang penting dalam masyarakat
Abbasiah. Ulayyah adalah salah seorang musikus yang paling terkenal pada
zamannya. Puteri-puteri raja dan wanita dari tingkat atas sering menghadiri

21


pertunjukan musik dan kadang-kadang mereka mengadakan pertunjukan musik di
rumah mereka. Seni tari juga dikembangkan dalam masyarakat itu. Minum-minuman
juga banyak dikenal di kalangan masyarakat Abbasiyah, sebagaiman juga menjadi
tradisi pada masa Dinasti Umayyah. Permainan polo, catur, memanah, berkuda,
berburu, dan sebagainya menjadi sangat populer di bawah pemerintahan Dinasti
Abbasiyah.
Terhadap tradisi yang berkembang di bidang kesenian dan musik ini, para
ulama mempunyai sikap yang menentang, terutama terhadap seni rupa dalam segala
bentuknya. (Hitti, 2001:153). Mereka berargumen bahwa seni rupa bertentangan
dengan Al-Qur'an, sebagaimana larangan terhadap minum-minuman keras, semacam
anggur, yang saat itu telah menjadi tradisi masyarakat kelas atas. Namun demikian,
penentangan para ulama terhadap seni rupa ini, pada kenyataannya tidak dapat
membendung laju perkembangannya, terutama dalam bentuknya yang khas Islam
(Hitti, 2001:153).
Dalam membangun kota Sammara, Khalifah Al-Mu'tashim, menghiasi dindingdinding istananya di dalam dan di luarnya dengan pelbagai fresco, semacam lukisanlukisan yang disimpan di atas kapur dinding yang masih basah (Hitti, 2001:153).
Bahkan beberapa lukisan itu menunjukkan bentuk wanita yang telanjang. Pada masa
Al-Mutawakkil, didatangkan pelukis-pelukis Bizantium untuk membuat hiasanhiasan dinding istananya, dan di antara hiasan-hiasan dinding itu terdapat sebuah
lukisan dari suatu gereja dengan rahib-rahibnya.
Pertemuan-pertemuan sosial diselenggarakan di rumah para bangsawan dan
para tokoh, yang dalam hal ini, orang yang mempunyai keterampilan dan keahlian

yang berbeda-beda biasa menghadiri diskusi kesusastraan. Tujuan perkumpulan
seperti itu adalah untuk mencari kebenaran bagi rakyat banyak. Kelompok ini
menyusun beberapa buku tentang sejarah, kesusastraan, filsafat, dan ilmu
pengetahuan. Para pedagang buku menduduki tempat penting dalam masyarakat
waktu itu. Toko mereka merupakan pusat perhatian para sarjana dan para murid.
Sistem perbudakan merajalela di bawah pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Hal
ini, tampaknya, merupakan kelanjutan dari tradisi perbudakan pada masa pra-Islam.
Setiap orang kaya mempunyai seorang atau sejumlah budak di lingkungan
keluarganya. Para budak itu berasal dari orang bukan Islam yang diperoleh dengan

22

kekerasan, atau yang tertawan pada masa perang, atau diburu pada masa damai.
Sebagian adalah orang Negro, yang lainnya orang Turki, dan sebagiannya lagi orang
kulit putih. Para budak kulit putih terutama adalah orang Yunani dan orang Slavia,
orang Armenia, dan orang Barbar. Terdapat banyak sida di antara para budak yang
dipekerjakan di dalam harem. Para gadis di antara para budak itu digunakan sebagai
penyanyi, penari, gundik, dan sebagian dari mereka berpengaruh cukup besar
terhadap para Khalifah yang menjadi tuan mereka.
Pakaian golongan ningrat dirancang menurut pakaian para penguasa. Tutup
kepala yang umum berupa topi tinggi berwarna hitam, yang disebut yang disebut
qalansuwah, terbuat dari laken atau wool (Ali, 1995:321). Tutup kepala itu
diperkenalkan oleh Al-Manshur. Celana asli Persia yang longgar, kemeja, rompi dan
jaket dengan mantel luar melengkapi lemari pakaian seorang bangsawan. Para ahli
agama mengenakan serban dan mantel hitam. Pakaian para wanita bermacam ragam
sesuai pangkat dan kedudukan mereka. Tutup kepala yang biasa dari para wanita
golongan tinggi yang diperkenalkan oleh Ulayyah, saudara tiri Harun Ar-Rasyid,
adalah peci berbentuk kubah yang di sekeliling bawahnya terdapat kalung yang
dihiasi dengan batu permata. Perhiasan wanita yang lain adalah gelang kaki dan
gelang tangan. Wanita golongan menengah, umumnya menutupi kepalanya dengan
perhiasan emas berbentuk gepeng, sejenis pita; sering dihiasi dengan mutiara dan
zamrud.
b. Perkembangan Ekonomi
Pada masa ini, sekalipun kota Baghdad masih berusia muda, tetapi pada masa
inilah Baghdad tumbuh menjadi pusat dunia yang makmur dan memiliki lambang
internasional. Kegemilangan kota itu berjalan paralel dengan kemajuan kekhalifahan.
Istana khalifah dengan segala gedung sayap untuk harem-harem, orang kasim, dan
pegawai-pegawai istimewa merupakan sepertiga bagian dari kota bundar ini (Hitti,
2001:111).
Banyak orang mengejar profesi yang berbeda pada masa Dinasti Abbasiyah.
Para industrialis, tukang, pujangga, dan teknisi merupakan kelompok menengah
tingkat tinggi; sedangkan golongan menengah tingkat bawah terdiri atas para petani
dan gembala. Mereka ini tidak memperhatikan dan tidak berkeinginan hidup dalam

23

ekonomi modern. Periode Abbasiyah menyaksikan kemajuan dalam bidang
perdagangan dan perniagaan. Baghdad, Basrah, dan Alexandria pada waktu itu
menjadi pusat bisnis, dan melalui mereka dunia Muslim diperkenalkan kepada
negara beradab lainnya. Mereka berusaha ke dunia luar dan membawa hasil
perolehan mereka yang banyak ke ibukota.
Industri sangat berkembang di bawah pemerintahan Dinasti Abbasiyah.
Kerajinan tangan tumbuh dengan subur di berbagai tempat di kerajaan itu. Di Asia
Barat, terdapat pabrik permadani, hiasan dinding, sutra, katun, wool, saten, brokat,
kain sofa, bantal, dan juga berbagai perabot rumah tangga lainnya, serta perkakas
dapur. Perkakas tenun Persia dan Irak yang banyak itu menghasilkan karpet dan
tekstil. Pertanian mendapat sokongan penuh di bawah pemerintahan Dinasti
Abbasiyah ini. Para khalifah tertarik, terutama, pada urusan pertanian, karena mereka
menyadari bahwa tanah pertanian merupakan sumber utama pendapatan negara.
Mereka meningkatkan kesuburan tanah dengan irigasi yang tepat dan memperbaiki
status para penduduk asli yang menangani penggarapan tanah tersebut.
c. Perkembangan Pendidikan
Selama periode Abbasiyah, pendidikan atau pengajaran mencapai puncak
pengembangannya. Para khalifah adalah penyokong yang menonjol bagi pengajaran
dan orang terpelajar. Menjelang akhir periode Umayyah, pendidikan telah menjadi
umum di seluruh dunia Islam. Kebanyakan orang Islam, baik laki-laki maupun
perempuan bisa membaca dan memahami Al-Qur'an. Sekolah dasar (ibtidaiyah)
merupakan tambahan bagi kegiatan masjid, dan Al-Qur'an digunakan sebagai buku
teks bacaan. Anak perempuan yang masih kecil pun menghadiri sekolah ini. Kadangkadang sekolah diselenggarakan di rumah, di toko, dan di masjid. Sekolah masjid
(sekolah yang diselenggarakan di masjid) jumlahnya banyak sekali di kota itu.
Menurut Yaqubi, di ibukota (Baghdad) terdapat tiga puluh ribu masjid. Di samping
masjid, terdapat maktab yang digunakan sebagai sekolah dasar. Pendidikan di bawah
pemerintahan Dinasti Abbasiyah tidak terbatas hanya pada anak sekolah dasar, tetapi
dalam hal ini, Al-Mamun mendirikan pula Baiul-Hikmah yang di dalamnya beberapa
cabang ilmu yang lebih tinggi juga dipelajari. Madrasah Nizamiyah, yang didirikan

24

pada tahun 1065-1067 oleh Nizamul-Muluk, Wazir Sultan Saljuk, Malik Syah,
merupakan lembaga teologi paling besar di bawah pemerintahan Abbasiyah.
Pada dinasti ini, banyak berkembang halaqah atau lingkaran studi, yang
biasanya murid dimbimbing oleh seorang guru. Materi yang diperbincangkan pada
halaqah-halaqah ini tidak hanya terbatas pada pengkajian agama, tetapi mengkaji
juga disiplin ilmu-ilmu pengetahuan umum. Selain terjadi pengembangan materi,
terdapat pula perkembangan di bidang sarana dan prasarana pendidikan, yakni
adanya upaya untuk membuat tempat khusus di (samping) masjid yang digunakan
untuk melakukan kajian-kajian tersebut. Tempat khusus ini kemudian dikenal
sebagai maktab. Maktab inilah yang dapat dikatakan sebagai cikal bakal institusi
pendidikan Islam pada masa dinasti ini (Ali, 1995:132).
Al-Ma'mun sendiri mendirikan Baitul-Hikmah di Baghdad pada tahun 815
Masehi, sebuah institusi yang cukup layak disebut sebagai institusi pendidikan
(Hassan, 1989). Pada Baitul-Hikmah ini terdapat ruang-ruang kajian, perpustakaan,
dan observatorium (laboratorium). Meskipun demikian, Baitul-Hikmah belum dapat
dikatakan sebagai sebuah institusi pendidikan yang 'cukup sempurna', karena sistem
pendidikan masih sekedarnya dalam majelis-majelis kajian dan belum memiliki
'kurikulum pendidikan' yang diberlakukan di dalamnya.
Institusi pendidikan Islam ideal dari masa kejayaan dinasti ini adalah Perguruan
(Madrasah) Nizamiyah. Perguruan ini diprakarsai dan didirikan oleh Nizamul-Mulk.
Madrasah Nizamiyah sebenarnya didirikan sebagai upaya membendung arus
propaganda Syi'ah. Madrasah Nizamiyah pun telah memiliki spesifikasi khusus
sebagai sebuah institusi pendidikan, yaitu teologi dan hukum Islam. Karena
spesifikasi ini pulalah Madrasah Nizamiyah sering disebut sebagai Universitas Ilmu
Pengetahuan Teologi Islam.
Madrasah Nizamiyah merupakan perguruan tinggi pertama Islam yang
menggunakan sistem sekolah. Artinya, dalam Madrasah Nizamiyah telah ditentukan
waktu penerimaan siswa, test kenaikan tingkat, dan juga ujian akhir kelulusan. Selain
itu, Madrasah Nizamiyah telah memiliki manajemen tersendiri dalam pengelolaan
dana, memiliki kelengkapan fasilitas pendidikan dengan perpustakaan yang berisi
lebih dari 6000 judul buku yang telah diatur secara katalog dan juga laboratorium;
memiliki sistem perekrutan tenaga pengajar yang ketat dan pemberian beasiswa

25

untuk yang berprestasi. Meski Madrasah Nizamiyah memiliki spesifikasi pada kajian
teologi dan hukum Islam, namun dalam kurikulum yang digunakan terdapat pula
perimbangan yang proporsional antara disiplin ilmu keagamaan (tafsir, hadis, fiqh,
kalam dan lainnya) dan disiplin ilmu aqliyah (filsafat, logika, matematika,
kedokteran, dan lailnnya). Pada masa itu pula, kurikulum Nizamiyah menjadi
kurikulum rujukan bagi institusi pendidikan lainnya.
Selain adanya institusi pendidikan yang memiliki kapabilitas tinggi, pada masa
dinasti ini, kegiatan keilmuan benar-benar mendapat perhatian serius dari
pemerintah. Kebebasan akademik benar-benar dapat dilaksanakan, kebebasan
berpendapat benar-benar dihargai, kalangan akademis selalu didorong untuk
senantiasa mengembangkan ilmu melalui forum-forum diskusi, perpustakaan selalu
terbuka untuk umum, bahkan perpustakaan pribadi dan istana pun terbuka untuk
umum. Akan tetapi setelah kejatuhan Baghdad pada tahun 1258 Masehi, dunia
pendidikan Islam pun mengalami kemunduran dan kejumudan. Paradigma
pendidikan Islam pun mengalami distorsi besar-besaran. Dari serbuah paradigma
yang progresif dengan dilandasi keinginan menegakkan agama Allah menjadi
paradigma yang sekedar mempertahankan apa yang telah ada.
Dalam perkembangannya, pendidikan Arab mengalami dua tahap yang nyata.
Tahap pertama, pertumbuhannya bersifat alami, spontan, dan progresif sejak
perempat pertama abad ke-7 Masehi hingga abad ke-9 dan ke-10. Tahap kedua
dimulai pada abad ke-11 ketika sekolah menjadi lembaga negara dan pendidikan
menjadi fungsi pemerintahan. Yang pertama bisa disebut benar-benar berciri Arab,
sedangkan yang kedua muncul dengan pengaruh yang tumbuh dari unsur Muslim
yang bukan Arab.
Kurikulum sekolah dasar terdiri atas membaca, menulis, tata bahasa, hadis,
prinsip dasar berhitung, dan beberapa sajak keagamaan. Para siswa senior
mempelajari tafsir Al-Qur'an, kritisisme Al-Qur'an, ilmu hadis, ilmu fiqih, teologi
skolastik, leksikografi, retorika, dan kesusastraan. Para sarjana menyibukkan diri
dalam mempelajari astronomi, geografi, filsafat, geometri, musik, dan kedokteran.

26

d. Aktivitas Keilmuan dan Sastra
Dengan munculnya kekuasaan Dinasti Abbasiyah, kerajaan Islam membuka era
baru dalam bidang ilmu dan kesusastraan. Pada permulaan zaman Abbasiyah,
pengaruh budaya sampingan yang banyak itu menghasilkan fase pertama zaman
kemajuan ilmu yang nyata dari kebudayaan Islam. Al-Mamun membuka sebuah
departemen penerjemahan bagi pelestarian ilmu pengetahuan dan kebudayaan asing.
Harun Ar-Rasyid menyempurnakan pekerjaan pendahulunya. Dia mengangkat para
penerjemah yang pandai dari segala bangsa dan kepercayaan—bangsa Hindu, Parsi,
Kristen, Yahudi, dan Islam. Semua buku dan bahan yang masih ada dikumpulkan
oleh Al-Mamun dari semua negara. Dia telah meminta kepada Kaisar Bizantium
untuk mengirim sarjana Leo ke Baghdad dengan imbalan lima ton emas.
Dalam bidang kedokteran, filsafat, astronomi, matematik, kimia, geografi,
hukum, teologi, dan filologi, sumbangan orang Islam begitu besar dan mengesankan.
Orang Eropa sangat berutang budi kepada mereka dalam ilmu kimia, kedokteran, dan
matematika. Mereka melakukan pemikiran dan penelitian yang orisinal di semua
cabang ilmu ini. Mereka menerjemahkan banyak karya asing ke dalam bahasa Arab
dan banyak terjemahan mereka dikirim, bersama sumbangan lainnya, ke Eropa
melalui Syria, Spanyol, dan Sicilia. Karya terjemahan ini merupakan hal yang
penting dalam sejarah kebudayaan. Penelitian Aristotle, Galen, dan Ptolemy
mungkin telah hilang dari dunia seandainya orang Islam tidak melestarikannya
dengan terjemahan.
Seorang penerjemah yang sangat terkenal karena banyak terjemahan yang
dilahirkannya adalah Hunain Ibn Ishaq Al-Abadi, seorang Kristen Nestorian (810873 M) (Fachry, 2002:9). Ia adalah seorang penerjemah yang dikumpulkan oleh
Yuhana Ibn Masawaih dan kemudian belajar ilmu kedokteran darinya. Ia menguasai
beberapa bahasa penting saat itu karena memuat banyak kebudayaan besar, seperti
bahasa Persia, Yunani, dan bahasa Arab. Hasil terjemahan Hunain ini dihargai emas
oleh khalifah setimbang dengan berat buku yang diterjemahkannya. Buku-buku yang
besar saat itu diringkas sehingga dapat dibaca dengan mudah oleh orang yang
menggelutinya. Di antara buku yang ia terjemahkan ke dalam bahasaArab adalah
buku Politicus, Timaues karya Plato dan Etika serta fisika karya Aristoteles. Masih
banyak penerjemah yang lain yang telah menyumbangkan kemahiran dan

27

penguasaan pengetahuan mereka bagi khazanah perpustakaan Baitul-Hikmah
(Shaliba, 1973: 98-102).
Di antara buku-buku filsafat terpenting yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab oleh tim yang terdiri atas Hunain, Hubaisy sepupu Hunain dan Isa Ibn Yahya,
murid Hunain, adalah Analytica Posteriora karya Aristoteles, Synopsis of the Ethics
karya Galen serta ringkasan karya-karya Plato seperti Sophist, Permenides, Politicus,
Republic dan Laws. Sementara karya-karya Aristoteles seperti Categories,
Hermeneutica, Generation and Corruption, Nichomachean Ethics diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab oleh Ishaq Ibn Hunain dari bahasa Suryani (Fachry, 2002:9).
Selain proses penerjemahan, masih cukup banyak juga buku Yunani dan Suryani
yang ditafsirkan atau diringkas oleh para penerjemah yang kebetulan menguasai
pengetahuan tentang isi buku tersebut (Shaliba, 1973:102-103).
Namun demikian, proses penerjemahan yang terjadi secara besar-besaran ini
tidak semuanya berhasil dengan sukses sebagai sebuah terjemahan yang layak. Ada
beberapa buku terjemahan yang bahkan menyulitkan pembaca untuk memahami isi
buku. Di antara orang yang menderita akibat buruknya mutu sebuah terjemahan
adalah Ibnu Sina. Menurut Jamil Shaliba, Ibnu Sina pernah membaca

buku

terjemahan Metafisika Aristoteles sebanyak empat puluh kali, tetapi ia sama sekali
tidak dapat mengerti maksud tulisan tersebut. Hal ini setidaknya dikarenakan dua hal,
pertama karena memang sulit dan begitu dalamnya tulisan Aristoteles tentang
metafisika, dan kedua, karena kesulitan proses penerjemahannnya ke dalam bahasa
Arab. Buruknya beberapa mutu terjemahan juga dikarenakan metode terjemahan
yang terlalu harfiah dari bahasa non-Arab ke dalam bahasa Arab. Ibnu Abi Usbu’aih
pernah mengkategorikan tingkat mutu terjemahan ketika itu, yakni kategori baik
dapat dilihat pada terjemahan Hunain Ibn Ishaq dan anaknya Ishaq Ibn Hunain,
kategori sedang dapat dilihat pada terjemahan Ibnu Na’imah dan Tsabit Ibn Qurrah,
dan kategori buruk dapat dilihat pada terjemahan Ibn Al-Bitriq. (Shaliba, 1973:110).
Setidaknya ada dua motivasi yang mendorong gerakan penerjemahan yang
sudah dimulai sejak zaman Dinasti Umayyah dan kemudian menemukan puncaknya
pada dinasti Dinasti Abbasiyah. Pertama, motivasi praktis, kedua, motivasi kultural.
Pada motivasi yang pertama (ba’its ‘amali), ada kebutuhan pada bangsa Arab saat itu
untuk mempelajari ilmu-ilmu yang berasal dari luar Islam. Pengetahuan-pengetahuan

28

tersebut secara praktis dapat membantu meringankan urusan-urusan yang berkenaan
dengan hajat hidup umat Islam ketika itu. Yang dimaksud dengan pengetahuanpengetahuan luar yang dibutuhkan oleh umat Islam saat itu adalah seperti ilmu-ilmu
kimia, kedokteran, fisika, matematika, dan falak (astronomi) (Shaliba, 1973:110).
Ilmu-ilmu ini secara praktis memang langsung berhubungan dengan hajat hidup umat
Islam dalam menyelesaikan masalah-masalah seperti penentuan waktu shalat, hukum
faraidh (pembagian harta waris), masalah kesehatan, dan lain sebagainya.
Motivasi yang kedua adalah motivasi kultural (ba’its tsaqafi). Ada kebutuhan
pada masyarakat Islam untuk mempelajari kebudayaan-kebudayaan Persia dan
Yunani untuk menguatkan sistem hukum Islam dan menangkal akidah yang datang
dari luar Islam. Ketika terjadi gelombang kebudayaan luar melamda dunia Islam,
yang meliputi akidah kaum Majusi (penyembah api) dan kaum Dahriah, kekhalifahan
‘Abbasiyah mengangap perlu bagi kaum muslim untuk mempelajari ilmu-ilmu logika
serta sistem berpikir rasionalis lainnya untuk menangkal akidah yang datang dari luar
itu (Shaliba, 1973:107). Umat Islam dianjurkan untuk mempelajari logika
Aristoteles, agar dapat berdebat dengan keyakinan yang datang dari luar.
Selain itu, ada sebuah kisah yang diceritakan oleh Ibn An-Nadim tentang
motivasi penerjemahan buku-buku filsafat pada masa kekuasaan khalifah AlMa’mun. Ia menceritakan bahwa pada suatu malam, khalifah Al-Ma’mun bermimpi
berjumpa dengan seorang laki-laki yang memakai pakaian putih, jidatnya botak,
alisnya menyambung, dan mata agak kebiru-biruan. Laki-laki ini duduk di atas
singgasana khalifah al-Ma’
mun. Kemudian khalifah al-Ma’mun bertanya kepada laki-laki itu, “siapa
engkau?”. Laki-laki itu menjawab “aku Aristoteles.” Dalam mimpi itu, khalifah alMa’mun merasa sangat senang karena dapat bertemu dengan filsuf yang menjadi
pujaannya. Kemudian al-Ma’mun bertanya kepada laki-laki yang mengaku sebagai
Aristoteles, “wahai sang filsuf, aku ingin bertanya, apa itu ‘baik’?” Laki-laki itu
menjawab: “baik itu adalah apa yang baik menurut akal.” “Kemudian apa lagi wahai
sang filsuf ?”, khalifah bertanya lagi. “apa yang baik menurut syari’at” laki-laki itu
menjawab lagi. “Kemudian apa lagi wahai sang filsuf?” khalifah bertanya lagi. “Apa
yang baik menurut kebanyakan (jumhur)” laki-laki itu menjawab, dan tidak ada
setelah itu.

29

Sepintas lalu mungkin kita akan menyimpulkan bahwa mimpi khalifah alMa’mun itu hanya sekedar bagian dari kembang tidur semata. Namun Ibn al-Nadim,
dalam bukunya al-Fihrist, sangat meyakini bahwa mimpi itu menjadi motivator yang
cukup kuat bagi al-Ma’mun untuk menggerakkan penerjemahan pada masa
kekuasaannya. Sampai-sampai ia mengirim surat kepada raja Romawi untuk
meminta izinnya agar buku-buku yang ada di kerajaan Romawi dapat diterjemahkan
oleh para penerjemah yang ada di perpustakaan Bait al-Hikmah. Namun dalam
catatan yang lain, gerakan penerjemahan itu buka semata-mata karena mimpi yang
dialami oleh sang khalifah, melainkan lebih dikarenakan dari hasil renungan atas
mimpi itu bahwa proses penerjemahan yang ia lakukan itu baik dari perspektif nalar
maupun syariat. Selain itu mungkin saja terjadinya mimpi itu juga dikarenakan oleh
kecenderungan sang khalifah pada mazhab Mu’tazilah.
Di balik gencarnya penerjemahan buku-buku Yunani yang dilakukan oleh umat
Islam pada masa itu, ada sebuah bidang yang tidak terlalu diminati, yakni bidang
sastra, seperti karya Homerus. Mengapa? Ada banyak jawaban atas pertanyaan ini.
Di antaranya adalah karena adanya keyakinan dalam masyarakatArab bahwa
sastraArab bersifat self sufficient, sehingga mereka tidak terlalu memperhatikan
buku-buku sastra yang ada dalam bahasa Yunani. Selain itu sastra juga tidak
memberikan pengaruh apa pun tehadap proses penguatan aqidah umat Islam. Namun
argumentasi ini tidak terlalu kuat karena pada sisi yang lain umat Islam cukup gemar
menerjemahkan buku-buku sastra yang berasal dari kebudayaan Persia dan India
yang kebetulan beragama Majusi dan Dahriah. Sehingga muncul alasan yang lain
bahwa tidak adanya minat umat Islam untuk menerjemahkan karya sastra Yunani
lebih dikarenakan tidak cocoknya karya sastra Yunani bagi masyarakatArab bila
dibandingkan dengan karya sastra dari Persia dan India. Sehingga dengan demikian,
alasan tidak berkembangnya penerjemahan sastra Yunani tidak bisa dilihat hanya
dari satu sisi saja. (Shaliba, 1973:109).
Proses penerjemahan yang berlangsung selama kurang lebih dua abad telah
menjadi berkah yang besar bagi umat Islam saat itu. Hal ini dapat dipahami karena
proses penerjemahan ini menjadi mediator dalam dialog antara kebudayaan
pengetahuan pra-Islam dengan umat Islam yang sedang haus ilmu. Khazanah
kebudayaan besar yang meliputi Yunani, Persia, dan India sedang mengalami

30

kesepian di negerinya sendiri, di dunia Islam, karya-karya tersebut mendapatkan
sambutan yang luar biasa. Sampai-sampai seorang khalifah mau membayar sebuah
buku yang sudah diterjemahkan dengan nilai emas seberat buku tersebut. Selain itu,
motivasi ini juga dilatarbelakangi oleh keyakinan umat Islam saat itu bahwa
peradaban hanya dapat dibangun dengan ilmu pengetahuan yang kuat. Dalam
melakukan proses itu, Islam yang baru saja berdiri tidak dapat melakukan tugas itu
sendirian, melainkan harus dibantu dengan khazanah kebudayaan besar yang ada
sebelumnya.
Pengaruh dari proses penerjemahan ini, dapat kita lihat pada perkembangan
dunia kedokteran, astronomi, matematika, hukum (qiyas dalam ilmu fiqih), politik,
dan filsafat. Di bidang kedokteran, kita mengenal Ibnu Sina, di bidang politik ada AlFarabi, matematika ada Al-Biruni, astronomi ada Muhammad Ibn Musa alKhawarizmi, sejarah peradaban ada Ibnu Khaldun, dan masih banyak lagi para
sarjana muslim klasik yang telah menorehkan tinta emasnya bagi peradaban Islam
karena bersentuhan dengan karya-karya kebudayaan pra-Islam yang sudah
diterjemahkan. Dalam proses penerjemahan itu, juga terjadi penyerapan bahasa
Yunani yang kemudian menjadi bahasa Arab. Seperti kata al-falsafah, al-musiqy, alkimiya, al-jugrafiyah, dan lainnya (Shaliba, 1973:112).
Perpaduan antara semangat umat Islam dengan kebudayaan pra-Islam
melahirkan sebuah sintesa yang tidak sederhana. Sintesa yang dihasilkan bukan
hanya sekedar penjiplakan pengetahuan sebelumnya yang, kemudian, diberi label
Islam karena telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Lebih dari itu, sintesa ini
juga meliputi proses reproduksi yang giat dilakukan oleh para ilmuwan muslim.
Karya-karya filsafat yang diterjemahkan dari bahasa Yunani tidak berhenti hanya
pada hasil terjemahan, tetapi telah merangsang para intelektual muslim untuk
mengomentari atau sekedar memberikan sebuah penafsiran atas karya-karya filsuf
Yunani itu.
Warna kebudayaan ilmiah pra-Islam yang dominan pada pandangan dunia umat
Islam, dapat kita lihat dalam bentuk corak berpikir rasional atau dalam metode
historis yang dikembangkan oleh para periwayat hadis. Dalam teks-teks yang ditulis
pada masa itu, cukup banyak metode atau tradisi filosofis yang tersaji dalam kajiankajian ilmu alam, terutama pada kajian-kajian yang mendasarkan diri pada

31

matematika (Hodgson, 2002:235). Hukum qiyas atau analogi adalah salah satu
pengaruh logika yang dapat kita lihat dalam wilayah fikih. Pengaruh-pengaruh ini
menjadi inherent dalam kebudayaan Islam sehingga dalam proses sejarah yang
panjang kadang kita sulit untuk membedakan mana yang mempengaruhi dan yang
dipengaruhi.
Dari penjelasan-penjelasan tersebut, jelas terlihat bahwa para Khalifah
Abbasiyah adalah penyokong besar bagi perkembangan ilmu, mereka memelihara
dan memperhatikan sekelompok sarjana yang cemerlang yang memberi banyak
sumbangan yang paling berharga kepada kebudayaan dunia. Para pengarang medis
yang paling cemerlang dari masa ini adalah Ali At-Thabari Ar-Razi, Ali IbnulAbbas, Al-Majusi, dan Ibnu Sina. Ali At-Thabari, yang tumbuh subur dalam
pertengahan abad ke-9, adalah seorang dokter Khalifah Al-Mutawakkil. Ar-Razi dan
Ibnu Sina merupakan dokter besar yang pernah dihasilkan dunia. Qanun karya Ibnu
Sina, merupakan sebuah Bibel medis selama beberapa abad.
Orang Islam pada masa Abbasiyah mempelajari filsafat dengan semangat yang
besar. Al-Ghazali, Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina adalah filosof yang sangat
termasyhur dalam Islam. Al-Kindi selain sebagai filosof juga seorang ahli astrologi,
ahli kimia, ahli optik, dan ahli teori musik. Dia menulis lebih dari 200 buah karya
tentang berbagai pokok bahasan. Al-Farabi disebut oleh orang Arab sebagai
Aristoteles kedua. Dia menulis berbagai karya psikologi, politik, dan metafisika.
Tulisannya yang lain membuat dia dikenal sebagai seorang dokter yang baik dan ahli
matematik. Ibnu Sina adalah seorang filosof, dokter, ahli fisiologi, dan penyair. Dia
menyederhanakan filsafat para pendahulunya, baik filosof Muslim maupun Yunani.
Dia adalah pelopor penulis ikhtisar bagi seluruh dunia. Bersama dia berakhirlah
zaman keagungan filsafat Arab.
Para khalifah Abbasiyah zaman permulaan mendirikan rumah sakit yang
disebut Bimaristan. Rumah sakit pertama dibuka oleh Harun Ar-Rasyid di Baghdad.
Seterusnya, 34 rumah sakit didirikan di berbagai tempat di dunia Muslim. Cabang
kedokteran lainnya, seperti ilmu bedah, farmasi, ilmu kedokteran mata, dan
sebagainya, sangat berkembang selama zaman Dinasti Abbasiyah.
Sumbangan bangsa Arab paling besar ialah dalam bidang astronomi, dan studi
astronomi ini dimulai di bawah pengaruh suatu karya India yang disebut Siddhanta.

32

Karya ini diterjemahkan oleh Muhammad Ibnu Ibrahim Al-Fazri atas perintah AlMamun. Selama pertengahan pertama abad ke-9, observasi regular pertama
dilakukan di Jundi Syapur (S.W. Persia). Di Baghdad, Al-Mamun mendirikan sebuah
peneropongan bintang di bawah arahan seorang muallaf asal Yahudi. Sind Ibnu Ali,
Al-Abbas Fergani, tiga orang anak Musa Ibnu Syakir, Al-Battani, Abu Hasan, dan
banyak ahli astronomi menonjol lainnya bermunculan selama masa ini. Anak Musa
Ibnu Syakir melakukan studi khusus tentang perbintangan (astronomi). Mereka
memastikan ukuran bumi, kemiringan ekliptik, variasi pada garis lintang bulan,
presesi waktu siang dan malam, dan sebagainya. Di antara para ahli matematika –
astronom yang termasyhur adalah Al-Kawarizmi yang Kitab Surat Al-Arad-nya
ditulis untuk menjelaskan peta pada permulaan abad ke-9. Ibrahim Al-Fazari
membangun sebuah astrolobe.
Orang Islam memberikan banyak sumbangan yang orisinal dalam matematika.
Ilmu aljabar, penemuan bilangan desimal, penemuan kapal terbang, dan geometri
sperikal, angka Arab, dan penggunaan lambang bilangan nol merupakan sebagian
dari penemuan mereka. Tentang para ahli matematika, nama Al-Biruni dan Umar
Khayyam adalah yang paling menonjol. Al-Biruni adalah seorang sarjana paling
besar sepanjang masa. Dia tidak hanya seorang sarjana, tetapi juga seorang sejarawan
besar. Kitab Al-Hindi-nya, yang secara populer dikenal sebagai Indianya Al-Biruni,
merupakan sebuah buku termasyhur untuk studi tentang India. Umar Khayyam yang
lebih dikenal sebagai seorang penyair, juga seorang ahli matematika dan astronomi
terkemuka (Sou'yb, 1977:43).
Selain itu, orang Arab membuat andil ilmiah dalam ilmu kimia yang disebut alkimia. Jabir bin Hayyan dari Kufah adalah bapak kimia modern. Dia mendirikan
sebuah laboratorium di Kufah dan menemukan beberapa bahan kimia serta menulis
sejumlah buku tentang kimia.
Orang Islam Arab menemukan kompas pelaut dan berlayar ke seluruh bagian
dunia dalam mencari ilmu dan berdagang. Mereka mendirikan perkampungan di
berbagai tempat di dunia. Mereka menemukan bangsa Azor, dan besar dugaan bahwa
mereka bahkan telah berlayar sampai ke Amerika. Pelayaran dan haji memberi ilham
kepada mereka untuk mempelajari geografi. Ibnu Kurdebeh, Jaihani, Al-Mashudi,

33

Al-Istakhri, Ibnu Haukal, Yakut, Al-Bakri, Al-Muqaddasi, dan Idrisi adalah para ahli
geografi Arab yang paling masyhur.
Dalam bidang sejarah, orang Islam pun telah membuat kemajuan besar.
Baladhuri, Hamadan, Mashudi, Thabari, dan Ibnu Al-Atsir adalah para sejarawan
terkenal pada masa Abbasiyah. Kitab Baladhuri, yang bernama Futûhul-Buldân
ditulis dengan gaya yang mengagumkan dan menjadi tanda bagi kemajuan yang
cemerlang akan semangat sejarah. Al-Mashudi termasyhur, baik sebagai seorang
sejarawan maupun sebagai seorang ahli geografi, dan tentu saja merupakan salah
seorang dari para penulis yang paling cakap dari abad ke-14. Dia berkelana ke
seluruh negeri Muslim. Kitabnya, Mu'ujud-Dahab wa Madan al-Jawahir, adalah
sebuah catatan tentang pengalaman pengembaraan dan pengamatannya (Ali,
1995:67).
Para sarjana yang menonjol yang memberi kemasyhuran kepada kesusastraan
Arab dan Persia yaitu Isfahani, Ibnu Khallikan, Abu Nuwas, Al-Buhtari, AlMutannabi, Ad-Dakiki, Firdausi, Unsuri, Jalaluddin, dan Abul Faraz Muhammad bin
Ishak. Pada periode inilah umat Islam, setelah orang Romawi, menggali ilmu hukum
dan menyusunnya dengan suatu sistem yang bebas. Sistem mereka, fiqih, didasarkan
pertama kepada Al-Qur'an dan Hadis. Akan tetapi, bila tidak bisa menyelesaikan
masalah yang rumit, maka penafsiran pribadi dianggap perlu. Izin penafsiran pribadi
mencapai puncaknya dalam pendirian empat aliran ortodoks yang dipimpin oleh Abu
Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi'I, dan Ahmad bin Hanbali. Dengan demikian,
sangat banyak sastrawan dan sarjana yang tumbuh subur selama periode itu; mereka
mencurahkan pikiran mereka kepada setiap cabang studi manusia dan merevolusikan
pemikiran, perasaan, dan perbuatan manusia dengan ketajaman pena mereka.
Perpustakaan Baitul-Hikmah yang didirikan oleh Khalifah Al-Ma’mun berisi
para penerjemah yang terdiri atas orang Yahudi, Kristen, dan para penyembah
bintang. Di antara para penerjemah yang cukup terkenal dengan produk
terjemahannya itu adalah Yahya Ibn Al-Bitriq (wafat 200 H/ 815 M) yang banyak
menerjemahkan buku kedokteran pemikir Yunani, seperti Kitab Al-Hayawan (buku
tentang makhluk hidup) dan Timaeus karya Plato. Al-Hajjaj ibn Mathar yang hidup
pada masa pemerintahan Al-Ma’mun dan telah menerjemahkan buku Euklids ke
dalam bahasa Arab serta menafsirkan buku Al-Majisti karya Ptolemaeus. Abdul-

34

Masih Ibn Na’imah Al-Himsi (wafat 220 H/ 835 M) yang menerjemahkan buku
Sophistica karya Aristoteles. Yuhana Ibn Masawaih seorang dokter pandai dari
Jundisapur (Wafat 242 H/ 857 M) yang kemudian diangkat oleh Khalifah AlMa’mun sebagai kepala perpustakaan Baitul-Hikmah, banyak menerjemahkan buku
kedokteran klasik (Sou'yb, 1977:76).
e. Perkembangan Pemerintahan
Bentuk pemerintahan Abbasiyah ialah monarkhi absolut (raja berkuasa
mutlak). Secara praktis tidak ada pengawasan terhadap kekuasaan khalifah. Dia
adalah kepala negara sekaligus kepala agama. Dia adalah panglima perang dan
pemberi gelar. Dia mempunyai kekuasaan untuk mencalonkan penggantinya bagi
tahta mendatang dan, dalam melakukan hal ini, dia tidak mengikuti sistem
penggantian (suksesi). Pada awal pemerintahannya, Dinasti Abbasiyah bertujuan
mengkonsolidasikan kerajaan dan untuk mencapai tujuan ini penaklukan ke wilayah
asing ditinggalkan.
Di bawah khalifah adalah wazir. Jabatan wazir merupakan jabatan asli Persia.
Para wazir terdiri atas dua kelompok, yaitu : (a) wazir yang mempunyai kekuasaan
terbatas dan (b) wazir yang mempunyai kekuasaan tidak terbatas. Wazir yang
mempunyai kekuasaan tidak terbatas disebut wazir agung. Secara praktis, wazir
agung melaksanakan kekuasaan dan hak prerogatif dari si penguasa dan hanya
diwajibkan melapor kepada khalifah tentang semua yang telah dilakukannya. Dia
dapat membuat suatu rencana yang dianggap perlu, tanpa sanksi pendahuluan, tetapi
dia tidak bisa memecat seorang pejabat yang diangkat oleh khalifah. Di pihak lain,
dia berkuasa mengangkat pejabat atas nama penguasa, dan wajib hadir di pengadilan
banding dalam perkara hukum. Kecuali di bawah pemerintahan dua khalifah
pertama, wazir adalah segala-galanya. Makin lama kekuasaannya makin besar karena
khalifah makin terjerumus ke dalam kesenangan harem. Kekuasaan wazir yang
terbatas tidak begitu besar atau luas; dia tidak mempunyai inisiatif sendiri tetapi
hanya melaksanakan perintah khalifah. Dia semata-mata menjadi perantara antara
penguasa dan rakyat. Wazir diharuskan memiliki pengetahuan yang memadai tentang
pemerintahan dan pajak, dan juga kondisi provinsi setempat (Ali, 1995:79).

35

Pemerintahan khalifah disebut Ad-Dîwânul-Azîz atau Dewan Tertinggi, yang
diketuai oleh wazir agung. Diwanul-Kharaj (Departemen Keuangan), Diwanud-Diya
(Jawatan yang mengurus kekayaan kerajaan), Diwanuz-Zuman (Kantor Pencatatan),
Diwanul-Jund

(Jawatan

Perang),

Diwanul-Mawali-wal-Ghilman

(Jawatan

Perlindungan Klien dan Budak), Diwanuz-Zimanan-Nafakat (Kantor Anggaran
Rumah Tangga), Diwanur-Rasail (Dewan Surat-menyurat atau Kantor Kearsipan),
Diwanun-Nazr fil Mazalim (Jawatan Pemeriksaan Keluhan), dan Diwanul-Ahdaswasy-Syurtha (Jawatan Wamil dan Kepolisian), semua itu merupakan departemen
utama negara. Di samping semua departemen ini, terdapat beberapa departemen kecil
lainnya (Ali, 1995: 82).
Untuk memelihara keamanan dalam negeri, didirikanlah Departemen
Kepolisian. Kepala departemen disebut Shahibusy-Syurtha. Di kemudian hari,
Shahibusy-Syurtha mengambil alih kedudukan wazir. Peradilan dikelola oleh para
qadhi, dan ketua qadhi yang disebut qadhil-qudhat adalah pejabat pengadilan
tertinggi. Untuk membantu para qadhi dalam mengelola pengadilan, dibentuklah
kelompok pejabat lainnya; mereka disebut Aadil. Dalam kasus hak sipil orang-orang
bukan Islam, semua masalah diserahkan kepada kepala agama mereka masingmasing.
Untuk keperluan administratif, seluruh kerajaan dibagi dalam beberapa
provinsi. Setiap provinsi dipimpin oleh seorang pejabat yang disebut amir, yang
diangkat oleh khalifah dan secara langsung bertanggungjawab kepada khalifah. Di
provinsinya, kekuasaan tertinggi ada di tangannya selama dia menjalin hubungan
baik dengan khalifah. Hubungan baik itu pun menentukan masa jabatannya. Akan
tetapi, jabatannya tidak bisa turun-temurun; kapan saja, dia harus tunduk kepada
penggantian atau pemecatan

(Yatim, 1999:93). Shahibusy-Syurtha bertugas

mengepalai polisi kota di setiap provinsi. Polisi kota praja berada di bawah pejabat
khusus yang disebut muhtasib. Setiap kota besar mempunyai qadhi sendiri, dan di
kota-kota kabupaten terdapat beberapa wakil qadhi. Pada permulaan masa
pemerintahan Abbasiyah, qadhi provinsi diangkat oleh gubernur provinsi, tetapi
kemudian diangkat oleh Kepala Qadhi Baghdad.
Satu ciri penting dari pemerintahan Abbasiyah adalah adanya jawatan pos. Di
setiap ibukota provinsi, seorang kepala kantor pos, yang dalam bahasa Arab disebut

36

Shahibul-Barid, bertugas mengawasi pelaksanaan jawatan pos. Dia tidak hanya
mengawasi pekerjaan jawatan pos, tetapi juga memberi informasi kepada khalifah
tentang segala masalah penting yang terjadi di provinsi. Sebenarnya, dia adalah
seorang agen rahasia yang bertanggung jawab langsung kepada pemerintah pusat dan
secara berkala menyampaikan laporan yang meyakinkan tentang keadaan provinsi
itu.
f. Kekayaan Negara dan Kekuatan Militer
Pendapatam Dinasti Abbasiyah diperoleh dari pajak tanah, yaitu sumber
pendapatan utama yang berasal dari orang bukan Islam, zakat atau pajak pendapatan,
seperlima bagian hasil barang tambang, pajak atas orang bukan Islam (sebagai
pengganti wajib militer), bea cukai, pajak garam dan ikan, pajak yang dibayar oleh
para pedagang yang menggunakan tempat-tempat umum, pajak pabrik, pajak barang
mewah, dan pajak barang impor. Pajak yang terakhir itu dihapus oleh Khalifah AlWatsiq (Osman, 1976:87).
Selama masa pemerintahan beberapa khalifah pertama, organisasi militer
mereka sangat mengagumkan dan menakjubkan, meskipun Dinasti Abbasiyah
terakhir kehilangan keunggulan militer mereka. Telah ditunjukkan bahwa di bawah
pemerintahan Marwan II pasukan Umayyah telah beranggota 120.000 tentara. Di
bawah pemerintahan Dinasti Abbasiyah zaman permulaan, jumlah anggota pasukan
yang lebih besar masih tersedia untuk pekerjaan di medan perang. Khalifah Harun
Ar-Rasyid mempunyai 135.000 tentara yang digaji dan mempunyai sejumlah
sukarelawan ketika dia menyerbu Raja Nicephorus. Pada perang saudara antara AlAmin dengan Al-Mamun, pasukan Al-Mamun yang menduduki Irak, diperkiran
berjumlah 125.000 tentara, dan di pihak Al-Amin, khalifah yang sedang berkuasa itu,
pasti berjumlah lebih besar lagi. Di samping itu, baik Al-Ma`mun maupun Al-Amin
pasti telah menempatkan beberapa pasukan tambahan di wilayah timur dan di kota
perbatasan. Dalam suatu parade di kota Baghdad, yang dipimpin oleh Al-Muktadir
(917 M) dan disaksikan oleh para utusan Bizantium 160.000 anggota kavaleri dan
infantri dilaporkan telah mengambil bagian dalam parade itu (Osman, 1976:90).
Di

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI UROPATOGENIK TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2008)

2 106 1

AN ANALYSIS ON GRAMMATICAL ERROR IN WRITING MADE BY THE TENTH GRADE OF MULTIMEDIA CLASS IN SMK MUHAMMADIYAH 2 MALANG

26 336 20

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25