MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN D
MAKALAH
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN TRAUMA MEDULLA SPINALIS DAN SPINAL SHOCK
Oleh :
KELOMPOK 2/ KELAS A1 (A14)
Fasilitator :
Erna Dwi Wahyuni, S.Kep., Ns., M.Kep
Lutvi Choirunissa
131411131002
Shanti Indah Lestari
131411131036
Astrid Anggreswari Nur S.
131411131042
Anissa Zuchrufiany
131411131045
Navisha Khoirunisa
131411131056
Eva Dwi Agustin
131411131057
Retno Dwi Agustin
131411131058
Titin Paramida
131411131099
Elisa Maria Wahyuni
131411133028
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
2018
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat,serta kasih-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini
tepat waktu. Adapun tujuan dengan dibuatnya makalah ini sebagai syarat untuk
memenuhi nilai dalam mata kuliah Keperawatan Kritis 2.
Keberhasilan dalam penyusunan makalah ini tidak dapat terlepas dari
bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1) Bu Erna Dwi Wahyuni, S.Kep., Ns., M.Kep selaku fasilitator mata kuliah
Keperawatan Kritis;
2) Teman-teman yang telah membantu dalam pembuatan tugas makalah ini.
Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca pada umumnya dan bagi kami pada khususnya.
Kami menyadari masih ada kekurangan dalam pembuatan makalah ini, oleh
karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun akan kami terima dengan
senang hati.
Penulis,
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Semakin banyaknya angka kejadian kecelakaan lalu lintas maka trauma
medulla spinalis kerap terjadi.Trauma medulla spinalis adalah trauma seringkali
mengenai daerah L1-L2 dan/atau di bawahnya, trauma ini mengakibatkan
kerusakan fungsi neurologis, hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta
kehilangan fungsi defekasi dan berkemih.(Marilynn E. Doenges,1999;338).
Karena kondisi trauma pada medulla spinalis serta persyarafan akan mencetuskan
kejadian syok spinal, dimana syok spinal yaitu suatu keadaan kehilangan aktifitas
otonom, reflek motorik, dan sensorik pada daerah dibawah tingkat terjadinya
medulla spinalis (Kowalak, 2011).
Setiap tahun di Amerika Serikat sekitae 7.600 sampai 10.000 individu
mengalami trauma medulla spinalis. Pada tahun 2004 Cristopher & Dana Reeve
Foundation bekerjasama dengan Centers for Disease Control and Prevention
(CDC) melakukan penelitian dimana hasilnya sekitar 0,4% dari populasi Amerika
serikat atau sekitar 1.275.000 orang mengalami paralisis dikarenakan oleh trauma
medulla spinalis. Hal ini menandakan bahwa sekunder syok spinal juga banyak
terjadi.
Kejadian trauma medulla spinalis lebih dominan terjadi pada pria usia muda
sekitar lebih dari 75% dari seluruh cedera. Pada usia sekitar 45 tahunlebih fraktur
banyak terjadi pada pria di bandingkan pada wanita karena olahraga, pekerjaan,
dan kecelakaan bermotor. Tetapiwanita juga sangat memungkinkan terkena
penyakit ini karena faktor osteoporosis yang di asosiasikan dengan perubahan
hormonal (menopause) (Reevs, Charlene J.,1999). Sedangkan syok spinal terjadi
sekunder akibat kerusakan pada medula spinalis (Kowalak, 2011).Syok pada
medula spinalis adalah keadaan disorganisasi fungsi medula spinalis yang
fisiologis dan berlangsung untuk sementara waktu, keadaan ini timbul segera
setelah cedera dan berlangsung dari beberapa jam hingga beberapa minggu. Syok
spinal juga diketahui sebagai syok neurogenik adalah akibat dari kehilangan tonus
1
vasomotor yang mengakibatkan dilatasi vena dan arteriol umum. Syok ini
menimbulkan hipotensi, dengan penumpukan darah pada pembuluh penyimpan
atau penampung dan kapiler organ splanknik(Tambayong, 2000).
Klien yang mengalami trauma medulla spinalis membutuhkan perhatian lebih
diantaranya dalam pemenuhan kebutuhan ADL danmobilisasi. Begitu juga dengan
spinal shock dimana membutuhkan terapi fisik dan kolaborasi pembedahan. Maka
dari itu sebagai perawat merasa perlu untuk dapat membantu dalam memberikan
asuhan keperawatan pada klien dengan trauma medulla spinalis dan spinal syok
dengan cara promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitative.
1.2 Tujuan
1.2.1
Tujuan Umum
Mempelajari konsep teoritis dan asuhan keperawatan berdasarkan
study casetrauma medulla spinalis dan shock spinal.
1.2.2
Tujuan Khusus
1) Mengetahuianatomi fisiologi medulla spinal
2) Mengetahui definisitrauma medulla spinal dan shock spinal.
3) Mengetahui etiologi trauma medulla spinal dan shock spinal.
4) Mengetahui patofisiologi trauma medulla spinal dan shock spinal.
5) Mengetahui manfestasi klinis trauma medulla spinal dan shock
spinal.
6) Mengetahui pemeriksaan diagnostik pada klien dengan trauma
medulla spinal dan shock spinal.
7) Mengetahui penatalaksanaan pada klien dengan trauma medulla
spinal dan shock spinal.
8) Mengetahuikomplikasi pada klien dengan trauma medulla spinal
dan shock spinal.
9) Mengetahui prognosis pada klien dengan trauma medulla spinal
dan shock spinal.
10) Mengetahui asuhan keperawatan klien dengan trauma medulla
spinal dan shock spinal.
2
1.3 Manfaat
Memberikan pengetahuan tentang asuhan keperawatan trauma medulla spinal
dan shock spinal dengan menggunakan konsep dan study case.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologis Medulla Spinalis
Medula spinalis merupakan bagian dari susunan saraf pusat, terletak didalam
canalis vertebralis dan merupakan lanjutan dari medulla oblongata danujung
caudalnya membentuk conus medullaris. Panjangnya pada pria sekitar 45cm
dan wanita 42-43 cm dengan garis tengah 2 cm (seukuran kelingking). Medula
spinalis terdiri atas 31 segmen jaringan saraf dan masing-masing memiliki
sepasang saraf yang keluar dari kanalis vertebralis melalui foramen intervetebra
(lubang pada tulang vertebra). Saraf-saraf spinal diberi nama sesuai dengan
foramen intervertebra, kecuali saraf servical pertama yang keluar di antara tulang
oksipital dan vertebra servikal pertama. Dengan demikian, terdapat 8 pasang saraf
servikal (dan hanya tujuh vertebra servikalis), 12 pasang saraf torakalis, 5 pasang
saraf lumbalis, 5 pasang saraf sakralis, dan 1 pasang saraf koksigis (Akhyar,
2009). Segmen upper cervical & thoracal berbentuk silindris dan segmen lower
cervical dan lumbal berbentuk oval. Berawal dari dasar otak(atlas/V.C1), berakhir
setinggi L1-L2 (conus medullaris), ke bawah melanjutkandiri sebagai fillum
terminale. Di bawah Conus medullaris terbentuk anyaman akarsaraf (saraf tepi)
menyerupai ekor kuda (cauda equina).Saraf Spinal dilindungi oleh tulang
vertebra, ligamen juga oleh meningen spinal dan CSF (Muttaqin, 2008).
4
Pada potongan melintang medulla spinalis terdapat substansia grisea atau gray
matter (abu-abu) dan substansi alba atau white matter (putih). Bagian central
membentuk huruf H (Gray Matter) dan dikelilingi oleh white matter.
2 bagian medulla spinalis dipisahkan oleh septum medianus (dorsal/posterior) dan
fissura medianus (ventral/anterior). Sulcus dorsolateral (posterior) adalah pintu
masuk akar saraf posterior (sensorik) dan sulcus ventrolateral (anterolateral)
adalah pintu keluar akar saraf ventral (motorik). 3 area white matter: funikulus
posterior, funikulus lateralis, funikulus anterio.
a. Substansia grisea (gray matter)
1) Cornu Anterior (anterior horn cell/ AHC) berisi akar saraf motorik.
2) Cornu Intermediolateral terbatas pada regio thoracal dan upper lumbal.
3) Cornu Posterior (posterior horn cell/ PHC) berisi akar saraf sensorik
4) Canalis Centralis terletak di tengah substansia abu-abu,membagi
medulla spinalis menjadi 2 daerah commisura grisea anterior &
posterior
b. Substansia alba (white matter)
1) Berisi serabut-serabut sensorik, motorik dan otonom
2) Terdiri dari tiga area funikulus, yaitu
a) Anterior (berisi fasikulus descending/motorik)
b) Lateral (berisi fasikulus decsending & ascending)
c) Posterior (berisi fasikulus ascending/sensorik)
3) Tiap funikulus terdiri dari satu atau lebih traktus ataufunikulus
5
Medulla spinalis melewati dua traktus dengan fungsi tertentu, yaitu traktus
desenden dan asenden. Traktus desenden berfungsi membawa sensasi yang
bersifat perintah yang akan berlanjut ke perifer. Sedangkan traktus asenden secara
umum berfungsi untuk mengantarkan informasi aferen yang dapat atau tidak dapat
mencapai kesadaran. Informasi ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu (1)
informasi eksteroseptif, yang berasal dari luar tubuh, seperti rasa nyeri, suhu, dan
raba, dan (2) informasi proprioseptif, yang berasal dari dalam tubuh, misalnya otot
dan sendi (Akhyar, 2009)
Menurut Mahadewa & Maliawan (2009) medula spinalis diperdarahi oleh
2 susunan arteria yang mempunyai hubungan istimewa. Arteri - arteri spinal
terdiri dari arteri spinalis anterior dan posterior serta arteri radikularis.
a. Arteri spinalis anterior dibentuk oleh cabang kanan dan dari segmen
intrakranial kedua arteri vertebralis.
b. Arteri spinalis posterior kanan dan kiri juga berasal dari kedua arteri
vertebralis.
c. Arteria radikularis dibedakan menjadi arteria radikularis posterior dan
anterior.
6
Beberapa fungsi dari masing-masing sistem saraf adalah sebagai berikut:
Fungsi
Fleksi, ekstensi, rotasi,
Otot
Saraf
I. Pleksus servikalis C1 – C4
Mm. koli profundi (M.
Saraf servikalis
dan eksorotasi leher
sternokleidomastoideus, M.
C1-C4
Pengangkatan dada atas,
trapezius)
Mm. Skaleni
C3-C5
inspirasi
Inspirasi
Diafragma
Saraf frenikus
Aduksi dan endorotasi
C3–C5
II. Pleksus brakhialis C5-T1
M. pektoralis mayor dan
Saraf torakalis
lengan,
minor
Menurunkan bahu ke
dorsoventral
Fiksasi skapula selama
anterior
C5-T1
M. seratus anterior
Saraf torakalis longus
mengangkat lengan
Elevasi dan aduksi
M. levator skapula,
C5-C7
Saraf skapularis
skapula ke arah
Mm. rhomboidei
dorsal
M. supraspinatus
C4-C5
Saraf supraskapularis
kolumna spinalis
Mengangkat dan
eksorotasi lengan
C4-C6
Eksorotasi lengan pada
M. infraspinatus
C4-C6
sendi bahu
Endorotasi sendi bahu;
M. latissimus dorsi,
Saraf torakalis dorsal
aduksi dari ventral ke
M. teres major,
C5-C8
dorsal;
M. subskapularis
(dari daerah dorsal
menurunkan lengan
yang terangkat
Abduksi lengan ke garis
pleksus)
M. deltoideus
horizontal
Eksorotasi lengan
Fleksi lengan atas dan
bawah dan supinasi
Saraf aksilaris
C5-C6
M. teres minor
M. biseps brakhii
C4-C5
Saraf
muskulokutaneus
7
lengan bawah
C5-C6
M. korakobrakhialis
Elevasi dan aduksi
lengan
C5-C7
M. brakhialis
C5-C6
Fleksi lengan bawah
Fleksi dan deviasi radial
M. fleksor karpi radialis
tangan
Saraf medianus
C5-C6
Pronasi lengan bawah
M. pronator teres
C5-C6
Fleksi tangan
M. palmaris longus
C7-T1
Fleksi jari II-V pada
M. fleksor digitorum
C7-T1
falangs tengah
superfisialis
Fleksi falangs distal ibu
M. fleksor polisis longus
C6-C8
Fleksi falangs distal jari
M. fleksor digitorum
C7-T1
II dan III tangan
Abduksi metakarpal I
profundus (radial)
M. abduktor polisis brevis
C7-T1
Fleksi falangs proksimal
M. fleksor polisis brevis
C7-T1
Oposisi metakarpal I
Fleksi falangs proksimal
M. oponens polisis brevis
Mm. lumbrikalis
C6-C7
Saraf medianus
dan ekstensi sendi lain
Jari II dan III tangan
C8-T1
Fleksi falangs proksimal
Jari IV dan V tangan
Saraf ulnaris
M. fleksor karpi ulnaris
C8-T1
Saraf ulnaris
jari tangan
ibu jari tangan
dan ekstensi sendi lain
Fleksi dan
8
pembengkokan ke arah
C7-T1
ulnar jari tangan
M. fleksor digitorum
Fleksi falangs proksimal
C7-T1
profundus (ulnar)
jari tangan IV dan V
M. aduktor polisis
C8-T1
M. abduktus digiti V
C8-T1
M. oponens digiti V
C7-T1
M. fleksor digiti brevis V
Saraf ulnaris
Aduksi metakarpal I
Abduksi jari tangan V
Oposisi jari tangan V
Fleksi jari V pada sendi
C7-T1
metakarpofalangeal
Mm. interosei palmaris dan
Pembengkokan falangs
dorsalis
proksimal, meregangkan
Mm. lumbrikalis III dan IV
C8-T1
jari tangan III, IV, dan
V pada sendi tangan dan
distal seperti juga
gerakan membuka dan
menutup jari-jari
Ekstensi siku
M. biseps brakhii dan M.
Saraf radialis
ankoneus
C6-C8
Fleksi siku
M. brakhioradialis
C5-C6
Ekstensi siku dan
M. ekstensor karpi radialis
C6-C8
M. ekstensor digitorum
C6-C8
abduksi radial tangan
Ekstensi falangs
proksimal jari II-IV
9
Ekstensi falangs
M. ekstensor digiti V
C6-C8
M. ekstensor karpi ulnaris
C6-C8
Supinasi lengan bawah
M. supinator
C5-C7
Abduksi metakarpal I:
M. abduktor polisis longus
C6-C7
M. ekstensor polisis brevis
C7-C8
M. ekstensor polisis longus
C7-C8
M. ekstensor indisis proprius
C6-C8
Mm. toracis dan abdominalis
N. toracis
proksimal jari V
Ekstensi dan deviasi ke
arah ulnar dari tangan
ekstensi radial dari
tangan
Ekstensi ibu jari tangan
pada falangs proksimal
Ekstensi falangs distal
ibu jari
Ekstensi falangs
proksimal jari II
Elevasi iga; ekspirasi;
kompresi abdomen;
T1-L1
anterofleksi dan
laterofleksi tubuh.
Fleksi dan endorotasi
III.Pleksus lumbalis T12-L4
M. iliopsoas
Saraf femoralis
pinggul
L1-L3
M. sartorius
L2-L3
M. quadriseps femoris
L2-L4
Fleksi dan endorotasi
tungkai bawah
Ekstensi tungkai bawah
10
pada tungkai lutut
Aduksi paha
M. pektineus
Saraf obturatorius
M. aduktor longus
L2-L3
M. aduktor brevis
L2-L3
M. aduktor magnus
L2-L4
M. grasilis
L3-L4
L2-L4
Aduksi dan eksorotasi
M. obturator eksternus
L3-L4
paha
Abduksi dan endorotasi
IV. Pleksus sakralis L5-S1
M. gluteus medius dan
Saraf glutealis
paha
minimus
superior
L4-S1
M. tensor fasia lata
Fleksi tungkai atas pada
L4-L5
pinggul; abduksi dan
endorotasi
M. piriformis
Eksorotasi paha dan
L5-S1
abduksi
Ekstensi paha pada
M. gluteus maksimus
Saraf glutealis
pinggul,
M. obturator internus
inferior
Eksorotasi paha
Mm. gemeli
L4-S2
M. quadratus
L5-S1
M. biseps femoris
L4-S1
Saraf skiatikus
M. semitendinosus
L4-S2
M. semimembranosus
L4-S1
M. tibialis anterior
L4-S1
Saraf peronealis
Fleksi tungkai bawah
Dorsifleksi dan supinasi
kaki
Ekstensi kaki dan jari-jari
profunda
M. ekstensor digitorum
L4-L5
longus
L4-S1
11
kaki
M. ekstensor digitorum
Ekstensi jari kaki II-V
L4-S1
brevis
L4-S1
Ekstensi ibu jari kaki
M. ekstensor halusis
longus
L4-S1
Ekstensi ibu jari kaki
Pengangkatan dan pronasi
M. ekstensor halusis brevis
Mm. peronei
Saraf peronealis
bagian luar kaki
superfisialis
Fleksi plantar dan kaki
M. gastroknemius
L5-S1
Saraf tibialis
dalam supinasi,
M. triseps surae
L5-S2
Supinasi dan fleksi plantar
M. soleus
dari kaki
M. tibialis posterior
Fleksi falangs distal jari
M. fleksor digitorum
kaki II-V (plantar fleksi
longus
L4-L5
L5-S2
kaki dalam supinasi)
Fleksi falangs distal ibu
jari kaki
L5-S2
M. fleksor halusis longus
Fleksi jari kaki II-V pada
falangs tengah
S1-S3
M. fleksor digitorum
brevis
Melebarkan, menutup, dan
S1-S3
fleksi falangs proksimal
jari-jari kaki
Menutup sfingter kandung
Mm. plantaris pedis
Otot-otot perinealis dan
Saraf pudendalis
kemih dan rectum
sfingter
S2-S4
2.2 Trauma Medulla Spinalis
2.2.1
Definisi Trauma Medulla Spinalis
12
Trauma medula spinalis merupakan keadaan patologi akut pada medula
spinalis yang di akibatkan terputusnya komunikasi sensori dan motorik
dengan susunan saraf pusat dan saraf parifer. Tingkat kerusakan pada medula
spinalis tergantung dari keadaan atau inkomplet (Tarwato, 2007).
Trauma medulla spinalis merupakan kerusakan pada medulla spinalis yang
disebabkan oleh trauma langsung atau tidak langsung pada medulla spinalis.
Gangguan-gangguan yang terjadi akibat trauma medulla spinalis berupa
gangguan fungsi-fungsi utama dari medulla spinalis, yaitu fungsi motorik,
sensorik, autonom, dan reflek. Gangguan fungsi-fungsi utama medulla
spinalis dapat terjadi komplet atau parsial (Jasajurnal, 2017).
Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan oleh benturan pada daerah medula spinalis (Brunner &
Suddaerth, 2008). Trauma medula spinalis dapat bervariasi dari trauma
ekstensi fiksasi ringan yang terjadi akibat benturan secara mendadak sampai
yang menyebabkan transeksi lengkap dari medula spinalis dengan
quadriplegia (Fransiska B. Batticaca, 2008).
Pada trauma medula spinalis timbul perlukaan pada sumsum tulang
belakang yang mengakibatkan perubahan, baik sementara atau permanen,
perubahan fungsi motorik, sensorik, atau otonom. Pasien dengan cedera
tulang belakang biasanya memiliki defisit neurologis permanen dan sering
mengalami kecacatan (Lawrence, 2014).
Trauma medula spinalis bisa meliputi fraktur, kontusio, dan kompresi
kolumna vertebra yang biasa terjadi karena trauma pada kepala atau leher.
Kerusakan dapat mengenai seluruh medula spinalis atau terbatas pada salah
satu belahan dan bisa terjadi pada setiap level (Kowalak, 2011).
Jadi, trauma medulla spinalis adalah kerusakan fungsi neurologis akibat
trauma langsung atau tidak langsung pada medulla spinalis sehingga
mengakibatkan gangguan fungsi sensorik, motorik, autonomi dan reflek.
2.2.2
Klasifikasi Trauma Medulla Spinalis
Menurut Batticaca (2008) trauma medula spinalis dapat diklasifikasi
menjadi 2 macam, yaitu:
13
1. Cedera tulang
a. Stabil, bila kemapuan fragmen tulang tidak mempengaruhi kemapuan
tulang untuk bergeser lebih jauh selain yang terjadi saat cedera.
Komponen arkus neural intak serta ligamen yang menghubungkan ruas
tulang belakang, terutama ligamen longitudinal posterior tidak robek.
b. Tidak Stabil, kondisi trauma menyebabkan adanya pergeseran tulang
yang terlalu jauh sehingga cukup mapu untuk merobek ligamen
longitudinal posterior serta merusak keutuhan arkus neural.
2. Cedera neurologis
a. Tanpa defisit neurologis
b. Disertai defisit neurologis
American Spinal Injury Association (ASIA) bekerjasama dengan Internasional
Medical
Society
Of
Paraplegia
(IMSOP)
telah
mengembangkan
dan
mempublikasikan standart Internasional untuk klasifikasi fungsional dan neurologis
cedera medula spinalis. Klasifikasi berdasarkan pada Frankel pada tahun 1969.
Klasifikasi ASIA/IMSOP dipakai dibanyak negara karena sistem tersebut dipandang
akurat dan komperhensif. Skala kerusakan menurut ASIA/IMSOP adalah sebagai
berikut:
1. FRANKEL SCORE A: kehilangan fungsi motorik dan sensorik lengkap
(complete loss).
2. FRANKEL SCORE B: fungsi motorik hilang, fungsi sensorik utuh.
3. FRANKEL SCORE C: fungsi motorik ada tetapi secara praktis tidak berguna
(dapat menggerakkan tungkai tetapi tidak dapat berjalan).
4. FRANKEL SCORE D: fungsi motorik terganggu (dapat berjalan tetapi tidak
dengan nomal "gait").
5. FRANKEL SCORE E: tidak terdapat gangguan neurologik.
Cedera umum medula spinalis dapat dibagi menjadi komplit dan Inkomplit
berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan dibawah lesi. Terdapat 5
sindrom utama cedera medula spinalis inkomplit menurut American Spinal
Cord Injury Association yaitu:
14
Nama
Pola dari Lesi saraf
Kerusakan
Sindroma
Central
Cord
syndrome
Cedera pada posisi central dan Menyebar ke daerah sacral.
sebagian daerah lateral.
Kelemahan otot ekstremitas
Sering terjadi pada trauma atas
daerah servikal
Anterior
Cord
Syndrome
lebih
berat
dari
ekstermitas bawah.
Cedera pada sisi anterior dan Kehilangan perioperatif dan
posterior dari medula spinalis.
Cedera
akan
gangguan
menghasilkan
medula
kehilangan
fungsi
motorik
secara ipsilateral
spinalis
unilateral
Brown Sequard
Kerusakan pada anterior dari Kehilangan fungsi motorik dan
Syndrome
daerah
putih
dan
abu-abu sensorik secara komplit.
medula spinalis.
Cauda
Equina
Syndrome
Kerusakan pada posterior dari Kerusakan
daerah
putih
dan
medula spinalis
proprioseptif
abu-abu diskriminasi dan getaran.
Fungsi motorik juga terganggu
Posterior Cord
Kerusakan pada saraf lumbal Kerusakan sensori dan lumpuh
Syndrome
atau
sacral
sampai
medulla spinalis
ujung flaccid pada ekstremitas bawah
dan
kontrol
berkemih
defekasi
Cedera medulla spinalis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Complete injury
Complete injury atau cedera penuh mengakibatkan hilangnya fungsi
sensorik dan motorik secara total dibawah level cedera. Terlepas dari
mekanisme cedera, jenis cedera secara penuh ini bisa berupa diseksi atau
robekan lengkap pada sumsum tulang belakang yang menghasilkan dua
kondisi:
a. Tetraplegia
15
dan
Cedera terjadi pada level C1 sampai dengan T1. Fungsi otot residual
tergantung pada segmen servikal yang terpengaruh.
b. Paraplegia
Dikatakan paraplegia apabila terdapat kerusakan ataupun hilangnya
fungsi sensorik dan motoric pada segmen thorakal, lumbar ataupun
sacral (Kirshblum dkk, 2011).
Gambar. Klasifikasi Trauma Medula Spinalis
2. Incomplete injury
Apabila masih terdapat fungsi sensorik dan motorik yang masih dalam
keadaan baik dibawah tingkat neurologis, termasuk pada segmen sacral
S4-S5 (Kirshblum dkk, 2011).
Pola karakteristik cedera neurologis tertentu sering ditemukan pada
pasien dengan cedera medulla spinalis. Pola-pola ini harus dikenali
sehingga tidak membingungkan pemeriksa. Berdasarkan sindrom medulla
spinalis, trauma medulla spinalis dikelompokkan sebagai berikut:
a. Complete transaction
16
Kondisi ini menyebabkan semua traktus di medulla spinalis terputus
menyebabkan semua fungsi yang melibatkan medulla spinalis di
bawah level terjadinya transection semua terganggu dan terjadi
kerusakan permanen.
Secara klinis menyebabkan kehilangan kemampuan motorik berupa
tetraplegia pada transeksi cervical dan paraplegia jika terjadi pada
level thorakal. Terjadi flaksid otot, hilangnya refleks dan fungsi
sensoris dibawah level trabsseksi. Kandung kemih dan susu atoni
sehingga menyebabkan ileus paralitik. Kehilangan tonus vasomotor
area tubuh dibawah lesi menyebabkan tekanan darah rendah dan tidak
stabil. Kehilangan kemampuan perspirasi menyebabkan kulit kering
dan pucat, juga terjadi gangguan pernapasan.
Gambar Complete Transection
17
Gambar. Paraplegia pada thoracal spinal transection; tetraplegia pada cervical
spinal transcetio
18
b. Incomplete transaction : Central cord syndrome
Sindrom ini ditandai dengan hilangnya kekuatan motorik lebih banyak pada
ekstremitas
atas
dibandingkan
dengan
ekstremitas
bawah,
dengan
kehilangan sensorik yang bervariasi. Biasanya sindrom ini terjadi setelah
adanya trauma hiperekstensi pada pasien yang telah mengalami kanalis
stenosis servikal sebelumnya. Dari anamnesis didapatkanadanya riwayat
jatuh kedepan dengan dampak pada daerah wajah. Dapat terjadi dengan atau
tanpa fraktur tulang servikal atau dislokasi.
Gambar. Central cord syndrome.
Gambaran khas Central Cord Syndrome adalah kelemahan yang lebih
prominen pada ekstremitas atas dibanding ektremitas bawah. Pemulihan
fungsi ekstremitas bawah biasanya lebih cepat, sementara pada
ekstremitas atas (terutama tangan dan jari) sangat sering dijumpai
disabilitas neurologic permanen. Hal ini terutama disebabkan karena
19
pusat cedera paling sering adalah setinggi VC4-VC5 dengan kerusakan
paling hebat di medulla spinalis C6 dengan lesi LMN.
c. Incomplete transection : Anterior Cord Syndrome
Sindrom ini ditandai dengan paraplegi dan kehilangan sensorik disosiasi dengan
hilangnya sensasi nyeri dan suhu. Fungsi kolumna posterior (posisi, vibrasi, dan
tekanan dalam) tetap bertahan. Biasanya anterior cord syndrome disebabkan
infark pada daerah medulla spinalis yang diperdarahi oleh arteri spinalis
anterior. Prognosis sindrom ini paling buruk dibandingkan cedera inklomplit
lainnya. Kehilangan sensasi nyeri dan suhu pada level dibawah lesi tetapi
sensoris terhadap raba, tekanan, posisi, dan getaran tetap baik
Gambar. Central cord syndrome.
d. Brown Sequard Syndrome
Sindrome ini terjadi akibat hemiseksi medulla spinalis, biasanya akibat luka tembus.
Namun variasi gambaran klasik tidak jarang terjadi. Pada kasus murni, sindrom ini
terdiri dari kehilangan sistem motorik ipsilateral (traktus kortikospinalis) dan
hilangnya sensasi posisi (kolumna posterior), disertai dengan hilangnya sensasi
suhu serta nyeri kontralateral mulai satu atau dua level di bawah level trauma
20
(traktus spinothalamikus). Walaupun sindrom ini disebabkan trauma tembus
langsung ke medulla spinalis, biasanya masih mungkin untuk terjadi perbaikan.
Kondisi ini terjadi parese ipsilateral di bawah level lesi disertai kehilangan fungsi
sensoris sentuhan, tekanan, getaran dan posisi. Terjadi gangguan kehilangan
sensoris nyeri dan suhu kontralatetal.
Gambar. Brown sequard syndrome.
2.2.3
Etiologi Trauma Medulla Spinalis
Trauma Medula Spinalis bisa disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya
adalah akibat trauma langsung yang mengenai tulang belakang dan
melampaui batas kemampuan tulang belakang dala melindungi saraf-saraf
yang ada di dalamnya. Trauma tersebut meliputi kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan industri, jatuh dari bangunan, pohon, luka tusuk, luka tembak dan
terbentur benda keras (Muttaqin, 2008).
Trauma Medula Spinalis dibedakan menjadi 2 macam:
1. Cedera medula spinalis traumatik
21
Terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti yang diakibatkan oleh
kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan, merusak medula
spinalis. Cedera medula spinalis traumatic ditandai sebagai lesi traumatik
pada medula spinalis dengan beragam defisit motorik dan sensorik atau
paralisis.
2. Cedera medula spinalis non traumatik
Terjadi ketika kondisi kesehatan seperti penyakit, infeksi atau tumor
mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis, atau kerusakan yang
terjadi pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh gaya fisik
eksternal. Faktor penyebab dari cedera medula spinalis mencakup
penyakit motor neuron, myelopati spondilotik, penyakit infeksius dan
inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi toksik dan
metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan.
Sedangkan menurut Baticaca, 2008 penyebab terjadinya trauma medula
spinalis adalah sebagai berikut:
1. Kecelakaan di jalan raya (penyebab paling sering)
2. Olahraga
3. Menyelam pada air dangkal
4. Luka tembak atau luka tikam
Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medula spinalis seperti
spondiliosis servikal dengan mielopati, yang menghasilkan saluran sempit
yang mengakibatkan cedera progresif terhadap medula spinalis dan akar;
mielitis akibat inflamasi infeksi maupun non-infeksi; osteoporosis yang
disebabkan oleh fraktur kompresi pada vertebra; siringmielia; tumor infiltrasi
maupun kompresi; dan penyakit vaskuler.
Faktor Resiko Trauma Medula Spinalis
Menurut Aryani (2008) dan Tarwoto (2007) faktor resiko yang menyebabkan
terjadinya trauma medula spinalis adalah sebagai berikut:
1. Faktor Usia
22
Usia yang sudah memasuki masa lansia atau di atas 60 tahun akan
cenderung mengalami proses penuaan, sehingga fungsi tulangnya juga
menurun, hal ini dapat mengakibatkan trauma patologis pada medula
spinalis.
2. Jenis Kelamin
Laki-laki lebih cenderung banyak yang terkena trauma medula spinalis
karena faktor pekerjaan dan gaya hidup.
3. Alkohol
Alkohol dapat mengurangi kepadatan tulang dan mengakibatkan
peningkatan fraktur, atau gangguan tulang lainnya yang akhirnya
menyebabkan tulang belakang rentang terhadap trauma pada medula
spinalis.
4. Merokok
Pada orang yang merokok proses pengeropoasan tulang tulang lebih
cepat, dan tingkat fraktur vertebra pinggul dan lebih tinggi, di antara
orang-orang yang merokok. Tembakau, nikotin, dan bahan kimia lain
yang ditemukan dalam rokok mungkin langsung beracun ke tulang, atau
mereka menghalangi penyerapan kalsium dan lain gizi yang diperlukan
untuk kesehatan tulang. Sehingga tulang belakang juga sangat rentan
terkena penyakit dan mudah terjadi trauma ketika mendapat benturan atau
kecelakaan.
5. Minum Obat saat Berkendara
Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab utama cedera
tulang belakang untuk orang dewasa, sementara jatuh adalah penyebab
paling tinggi cedera pada orang dewasa yang sudah tua. Dengan
meminum obat obatan dengan efek samping mengantuk, maka kesadaran
seseorang akan menurun dan akan mengganggu konsentrasi dalam
berkendara.
6. Penyakit Osteomyelitis dan Spondilitis TB
Pada penyakit osteomielitis dan spondilitis TB bisa terjadi komplikasi
fraktur patologis. Hal ini terjadi pada keadaan osteomielitis vertebra yang
23
akan menyebabkan kolaps vertebra dan kompresi medula spinalis.
Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya cedera pada tulang belakang.
2.2.4
Patofisiologi Trauma Medulla Spinalis
Kerusakan yang dialami medula spinalis dapat bersifat sementara atau
menetap akibat trauma terhadap tulang belakang. Medula spinalis dapat tidak
berfungsi untuk sementara (komosio medula spinalis), tetapi dapat sembuh
kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa edema,
perdarahan perivaskuler dan infark di sekitar pembuluh darah. Pada
kerusakan medula spinalis yang menetap, secara makroskopis, kelainannya
dapat terlihat dan terjadi lesi, kontusio, laserasi dan pembengkakan daerah
tertentu di medula spinalis.
Segera setelah terjadi kontusio atau robekan akibat cedera, serabut-serabut
saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke substansi grisea
medulla spinalis menjadi terganggu. Tidak hanya hal ini saja yang terjadi
pada cedera pembuluh darah medula spinalis, tetapi proses patogenik
dianggap menyebabkan kerusakan yang terjadi pada cedera medula spinalis
akut. Suatu rantai sekunder kejadian-kejadian yang menimbulkan iskemia,
hipoksia, edema, dan lesi-lesi hemoragi, yang pada gilirannya mengakibatkan
kerusakan mielin dan akson. Reaksi sekunder ini, diyakini menjadi penyebab
prinsip degenerasi medula spinalis pada tingkat cedera, sekarang dianggap
reversibel 4 sampai 6 jam setelah cedera. Untuk itu jika kerusakan medula
tidak dapat diperbaiki, maka beberapa metode mengawali pengobatan dengan
menggunakan kortikosteroid dan obat-obat anti-inflamasi lainnya yang
dibutuhkan
untuk
mencegah
kerusakan
sebagian
dari
perkembangannya,masuk kedalam kerusakan total dan menetap.
2.2.5
Manifestasi Klinis Trauma Medulla Spinalis
Menurut Towarto (2007) tanda dan gejala dari cedera medulla spinalis, yaitu:
1. Tergantung tingkat dan lokasi kerusakan
24
Hilangnya gerakan volunter, hilangnya sensasi nyeri, temperature, tekanan dan
prospriosepsi, hilangnya fungsi bowel dan bladder dan hilangnya fungsi spinal
dan reflex autonom. Batas cedera medulla spinalis, tanda dan gejala :
Tabel Manifestasi klinis sesaui radiks yang mengalami gangguan
Level
Cedera
Spinal
Fungsi
Motorik
Refleks
Tendon
Profunda
Fungsi
Sensorik
Fungsi Pernapasan
C1-C4
Kuadriplegia:
Hilangnya
semua fungsi
motorik dari
leher ke bawah
Semuanya
hilang
Hilangnya
semua fungsi
sensorik pada
leher ke bawah
(C4
mempersarafi
klavikula)
C5
Kuadriplegia:
Hilangnya
semua fungsi
di bawah bahu
atas
C5, C6
Hilangnya
sensasi di
bawah
klavikula dan
sebagaan besar
bagian lengan,
tangan, dada,
abdomen dan
ekstrimitas
bawah.
Hilangnya fungsi
pernapasan
volunter
(interkostal) dan
involunter (frenik);
dukungan ventilasi
dan trakeostomi
dibutuhkan
Saraf frenik utuh,
tetapi otot
interkostal tidak
utuh
C6
Kuadriplegia:
Hilangnya
semua fungsi
di bawah bahu
dan lengan
atas;
penurunan
kontrol siku,
lengan bawah,
dan tangan
Kuadriplegia:
hilangnya
kontrol
motorik pada
C5, C6
brakioradi
alis
Hilangnya
semua aspek
pada lesi C5
tetapi sensasi
lengan dan ibu
jari lebih terasa
Saraf frenik utuh,
tetapi otot
interkostal tidak
utuh
Tidak ada
kontrol usus
atau kandung
kemih
C7, C8
trisep
Hilangnya
sensasi di
bawah
klavikula dan
Saraf frenik utuh,
tetapi otot
interkostal tidak
utuh
Tidak ada
fungsi usus
atau kandung
kemih
C7
Fungsi Usus
dan Kandung
Kemih
Volunter
Tidak ada
kendali usus
atau kandung
kemih
Tidak ada
kontrol usus
atau kandung
kemih
25
C8
T1-T6
T6T12
L1-L3
L3-S5
bagian lengan
dan tangan
bagian lengan
serta tangan
Kuadriplegia:
hilangnya
kontrol
motorik pada
lengan dan
tangan
Paraplegia:
hilangnya
setiap sensasi
di bawah area
dada, termasuk
otot di batang
tubuh
Paraplegia:
kehilangan
kontrol
motorik di
bawah
pinggang
Paraplegia:
hilangnya
sebagian besar
kontrol tungkai
dan pelvis
Paraplegia:
inkomplet
Kontrol
motorik
segmental
L4-S1: abduksi
dan rotasi
internal
pinggul,
dorsifleksi
pergelangan
kaki dan
inversi kaki
L5-S1: eversi
kaki
Hilangnya
sensasi di
bawah dada
dan bagain
tangan
Saraf frenik utuh,
tetapi otot
interkostal tidak
utuh
Tidak ada
fungsi usus
atau kandung
kemih
Hilangnya
sensasi di
bawah area
dada tengah
Saraf frenik
berfungsi mandiri.
beberapa
gangguan otot
intercostal
Defekasi atau
berkemih tidak
berfungsi
Hilangnya
setiap sensasi
di bawah
pinggang
Fungsi pernapasan
tidak terganggu
Kontrol
defekasi atau
berkemih tidak
berfungsi
L2-L4
(sentakan
lutut)
Hilangnya
sensasi
abdomen baah
dan tungkai
Fungsi pernapasan
tidak terganggu
Kontrol
defekasi atau
berkemih tidak
ada
S1-S2
(sentakan
pergelanga
n kaki)
Saraf sensori
lumbal
menginervasi
tungkai atas
dan bawah
L5: aspek
medial kaki
S1: aspek
lateral kaki
S2: aspek
posterior betis/
paha
Saraf sensori
sakral
menginervasi
Fungsi pernapasan
tidak terganggu
Kontrol
defekasi atau
berkemih
mungkin
terganggu
Segmen S2-S4
mengendalikan
kontinensia
urin
Segmen S3-S5
mengendalikan
kontinensia
feses (otot
perianal)
26
L4-S2: fleksi
tungkai bawah,
lutut
kaki dan
S1-S2: fleksi
perineum
plantar S1-S2:
(sentakan
pergelangan
kaki)
S2-S5: kontrol
usus/kandung
kemih
Sumber: Patricia G. Morton. Keperawatan Kritis Vol. 2 Hal 1089-1093
Lokasi Fungsi Motorik dan Sensorik
Funsi Motorik
Lokasi
Fungsi
C1-C6
Fleksor Leher
C1-T1
Ekstensor Leher
C3-C5
Diafragma
C5
Fleksor Siku
C6
Ekstensor pergelangan tangan
C7
Ekstensor siku
C8
Fleksi pergelangan tangan
T1-T6
Interkosta otot dada
T7-L1
Otot abdomen
L1-L4
Fleksi pinggul
L2-L4
Adduksi pinggul ekstensi lutu
L4-S1
Abduksi pinggul
L5-S2
Dorsofleksi kaki
Ekstensi pinggul
L4-S2
Plantar Fleksi kaki
Fleksi Lutut
Lokasi
C5
C6
C7
C8
T4
T10
L5
S1
S2-S5
Funsi Sensorik
Area Sensasi
Deltoid
Ibu jari
Jari tengah
Jari-jari
Batas putting susu
Umbilikus
Empu kaki
Little toe
Perineum
a. Perubahan reflex
Setelah cedera medulla spinalis terjadi edema medulla spinalis sehingga
stimulus reflex juga terganggu misalnya reflex pada bladder, aktivitas
visceral, reflex ejakulasi.
b. Spasme otot
Gangguan spasme otot terutama terjadi pada trauma komplit transversal,
dimana pasien terjadi ketidakmampuan melakukan pergerakan.
c. Spinal shock
27
Tanda dan gejala spinal shock meliputi flaccid paralisis dibawah garis
kerusakan, hilangnya sensasi, hilangnya refleks-refleks spinal, hilangnya
tonus vasomotor yang mengakibatkan tidak stabilnya tekanan darah, tidak
adanya keringat dibawah garis kerusakan dan inkontinensia urin dan retensi
feses.
d. Autonomic dysreflexia
Autonomic dysreflexia terjadi pada cidera thorakal enam ke atas, dimana
pasien mengalami gangguan refleks autonom seperti terjadinya bradikardi,
hipertensi paroksimal, distensi bladder.
e. Gangguan fungsi seksual
Banyak kasus memperlihatkan pada laki-laki adanya impotensi, menurunnya
sensasi dan kesulitan ejakulasi. Pasien dapat ereksi tetapi tidak dapat
ejakulasi.
2.2.6
Pemeriksaan Diagnostik Trauma Medulla Spinalis
1. Pemeriksaan neurologis lengkap secara teliti segera setelah pasien tiba di
rumah sakit
2. Pemeriksaan tulang belakang: deformasi, pembengkakan, nyeri tekan,
gangguan gerakan(terutama leher)
3. Pemerikaan radiologis: foto polos vertebra AP dan lateral. Pada servikal
diperlukan proyeksi khusus mulut terbuka (odontoid).
a. Sinar X spinal
Menentukan lokasi dan jenis Trauma tulan (fraktur, dislokasi), untuk
kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi.
b. Foto rontgen thorak, memperlihatkan keadan paru (contoh: perubahan
pada diafragma, atelektasis)
4. Bila hasil meragukan lakukan CT-Scan,bila terdapat defisit neurologi
harus dilakukan MRI atau mielografi.
a. CT-Scan
Menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun struktural
c. MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi
28
d. Mielografi
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor
putologisnya tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub
anakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah
mengalami luka penetrasi).
5. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vital, volume tidal): mengukur
volume inspirasi maksimal khususnya pada pasien dengan trauma
servikat bagian bawah atau pada trauma torakal dengan gangguan pada
saraf frenikus /otot interkostal).
6. GDA: Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi
7. Serum
kimia,
adanya
hiperglikemia
atau
hipoglikemia,
ketidakseimbangan elektrolit, kemungkinan menurunnya Hb dan Hmt.
8. Urodinamik, proses pengosongan bladder.
2.2.7
Penatalaksanaan Trauma Medulla Spinalis
Prinsip penatalaksanaan medik trauma medula spinalis adalah sebagai berikut:
1.
Segera dilakukan imobilisasi.
2.
Stabilisasi daerah tulang yang mengalami cedera seperti dilakukan
pemasangan collar servical, atau dengan menggunakan bantalan pasir.
3.
Mencegah progresivitas gangguan medula spinalis misalnya dengan
pemberian oksigen, cairan intravena, pemasangan NGT.
4.
Terapi pengobatan:
a.
Kortikosteroid seperti dexametason untuk mengontrol edema.
b.
Antihipertensi seperti diazolxide untuk mengontrol tekanan darah
akibat autonomic hiperrefleksia akut.
c.
Kolinergik seperti bethanechol chloride untuk menurunkan aktifitas
bladder.
d.
Anti depresan seperti imipramine hyidro chklorida untuk meningkatkan
tonus leher bradder.
e.
Antihistamin untuk menstimulus beta – reseptor dari bladder dan uretra.
f.
Agen antiulcer seperti ranitidine
g.
Pelunak fases seperti docusate sodium.
29
5.
Tindakan operasi, di lakukan dengan indikasi tertentu seperti adanya fraktur
dengan fragmen yang menekan lengkung saraf.
6.
Rehabilisasi di lakukan untuk mencegah komplikasi, mengurangi cacat dan
mempersiapkan pasien untuk hidup di masyarakat.
30
Algoritma Medula Spinal
Algoritma Spinal Cord Injury menurut U.S National Library of Medicine.
National Institute of Health.
31
2.2.8
Komplikasi Medulla Spinalis
Komplikasi yang dapat terjadi pasca cedera medula spinalis antara lain yaitu
instabilitas dan deformitas tulang vertebra, fraktur patologis, syringomyelia pasca
trauma, nyeri dan gangguan fungsi seksual. Komplikasi lain yang bisa terjadi yaitu:
1. Neurogenik shock
2. Hipoksia
3. Instabilitas spinal
4. Ileus paralitik
5. Infeksi saluran kemih
6. Kontraktur
7. Dekubitus
8. Konstipasi
2.2.9
Prognosis Trauma Medulla Spinalis
Sebuah penelitian Gaus, Syafruddin, dkk membuktikan bahwa kurang dari 5%
pasien dengan cedera medulla spinalis yang komplit dapat sembuh. Jika paralisis
komplit bertahan sampai 72 jam setelah cedera, kemungkinan pulih adalah 0%.
Prognosis lebih baik pada cedera medulla spinalis yang tidak komplit. Jika masih
terdapat beberapa fungsi sensorik, peluang untuk bisa berjalan kembali adalah lebih
dari 50%. Sembilan puluh persen pasien cedera medulla spinalis dapat kembali ke
rumah dan mandiri.
Perbaikan fungsi motorik, sensorik dan otonom dapat kembali dalam 1 minggu
sampai 6 bulan pasca cedera. Kemungkinan pemulihan spontan menurun setelah 6
bulan. Bila terjadi pergerakan penderita pada cedera yang tidak stabil maka akan
mempengaruhi medulla spinalis sehingga memperberat kerusakan.1,5,16 Ditinjau
dari cedera medulla spinalisnya, prognosis pasien ini adalah baik, karena terjadi
cedera yang inkomplit.
2.2.10 Pencegahan Trauma Medulla Spinalis
Faktor –faktor resiko dominan untuk cedara medulla spinalis meliputi usia, jenis
kelamin, dan penyalahgunaan obat. Frekuensi factor resiko ini dikaitkan dengan
cedera medulla spinalis bertindak untuk menekankan pentingnya pencegahan
32
primeruntuk mencegah kerusakan dan bencana cedera ini, langkah – langkah berikut
perlu dilakukan:
1. Menurunkan kecepatan berkendara.
2. Menggunakan sabuk pengaman.
3. Menggunakan helm untuk pengendara motor dan sepeda.
4. Mencegah jatuh.
5. Menggunakan alat – alat pelindung dan teknik latihan.
2.3 Syok Spinal
2.3.1
Definisi Syok Spinal
Spinal Shock (syok spinal) merupakan kehilangan aktifitas otonom,
refleks, motorik, dan sensorik pada daerah di bawah tingkat terjadinya cedera
medula spinalis. Syok Spinal terjadi sekunder akibat kerusakan pada medula
spinalis (Kowalak, 2011).
Spinal shock/syok pada medula spinalis adalah keadaan disorganisasi
fungsi medula spinalis yang fisiologis dan berlangsung untuk sementara
waktu, keadaan ini timbul segera setelah cedera dan berlangsung dari beberapa
jam hingga beberapa minggu. Syok spinal juga diketahui sebagai syok
neurogenik
adalah
akibat
dari
kehilangan
tonus
vasomotor
yang
mengakibatkan dilatasi vena dan arteriol umum. Syok ini menimbulkan
hipotensi, dengan penumpukan darah pada pembuluh penyimpan atau
penampung dan kapiler organ splanknik. Tonus vasomotor dikendalikan dan
dimediasi oleh pusat vasomotor di medulla dan serat simpatis yang meluas ke
medulla spinalis sampai pembuluh darah perifer secara berurutan. Karenanya
kondisi apapun yang menekan fungsi medulla atau integritas medulla spinalis
serta persarafan dapat mencetuskan syok neurogenik/syok spinal (Tambayong,
2000).
Jadi, syok spinal adalah kerusakan medulla spinalis sekunder yang
menyebabkan kehilangan aktifitas otonom, reflex, motoric, dan sensorik pada
daerah di bawah tingkat terjadinya medulla spinalis.
33
2.3.2
Etiologi Syok Spinal
Neurogenik syok disebabkan oleh beberapa faktor yang menganggu CNS.
Masalah ini terjadi akibat transmisi impuls yang terhambat dan hambatan
hantaran simpatik dari pusat vasomotor pada otak. Dan penyebab utamanya
adalah SCI . Syok neurogenik keliru disebut juga dengan syok tulang
belakang. kondisi berikutnya mengacu pada hilangnya aktivitas neurologis
dibawah tingkat cedera tulang belakang, tetapi tidak melibatkan perfusi
jaringan tidak efektif.
Tipe syok ini bisa disebabkan oleh banyak faktor yang menstimulasi
parasimpatik atau menghambat stimulasi simpatik dari otot vaskular. Trauma
pada syaraf spinal atau medulla dan kondisi yang mengganggu suplai oksigen
atau gulokosa ke medulla menyebabkan syok neorogenik akibat gangguan
aktivitas simpatik. Obat penenang, anestesi, dan stres hebat beserta nyeri juga
merupakan penyebab lainnya.
2.3.3
Patofisiologi Syok Spinal
Terjadinya syok spinal biasanya diawali dengan adanya trauma pada
spinal. Syok spinal merupakan hilangnya reflek pada segmen atas dan bawah
lokasi terjadinya cedera pada medulla spinalis. Reflek yang hilang antara lain
reflek yang mengontrol postur, fungsi kandung kemih dan usus, tekanan
darah, dan suhu tubuh. Hal ini terjadi akibat hilangnya muatan tonik secara
akut yang seharusnya disalurkan melalui
neuron dari otak untuk
mempertahankan fungsi reflek. Ketika syok spinal terjadi akan mengalami
regresi dan hiperrefleksia ditandai dengan spastisitas otot serta reflex
pengosongan kandung kemih dan usus (Corwin, 2009). Syok spinal akan
menimbulkan hipotensi, akibat penumpukan darah pada pembuluh darah dan
kapiler organ splanknik. Tonus vasomotor di medula dan saraf simpatis yang
meluas ke medula spinalis sampai pembuluh darah perifer secara berurutan.
Kerena itu kondisi yang menekan fungsi medula atau integritas medula
spinalis serta persarafan akan mengakibatkan syok neurogenik (Tambayong,
2000).
34
Syok spinal adalah kombinasi dari arefleksia / hiporefleksia dan disfungsi
otonom yang menyertai cedera tulang belakang. Hiporefleksia diawali dengan
hilangnya refleks cutaneus dan reflek tendon dalam (deep tendon reflexes)
disertai dengan hilangnya aliran simpatis, mengakibatkan hipotensi dan
bradikardia. Refleks umumnya kembali dalam pola tertentu, dengan refleks
cutaneus umumnya kembali sebelum refleks tendon dalam (Silver,2000).
Ko et AL telah dijelaskan pola tertentu kembalinya refleks dan yang
pertama kembali adalah Delayed Plantar Reflex (DPR), diikuti oleh
bulbocavernosis (BC) dan cremasteric reflex (CR), dan akhirnya reflek
pergelangan kaki dan lutut (AJ, KJ). Bulbocavernosous reflex (BCR) diperiksa
untuk menentukan akhir dari syok spinal. Menarik pada kateter Foley juga
dapat menimbulkan Bulbocavernosous reflex (BCR) (Ko et Al,2000). Hal ini
biasanya kembali 1 sampai 3 hari setelah cedera. Terdapat 4 fase shok spinal
yaitu:
1. Fase I: areflexia/hyporeflexia (0–1 hari)
Fase pertama terjadi 0-24 jam setelah cedera. Bila SCI (Spinal Cord
Injury) Complete, diawali dengan hilangnya DTR(deep tendon reflexes)
seperti ankle jerk (AJ) atau refleks Achilles dan knee jerk (KJ) atau
refleks patella disertai otot yang lemah dan lumpuh. Selama periode ini
reflek cutenous (polysynaptic) mulai pulih seperti bulbocavernosus (BC),
Anal Wink (AW), dan cremasteric (CM). Refleks patologis, Delayed
Plantar Response (DPR) yang pertama kembali dan dapat diamati setelah
beberapa jam setelah cedera. Saat terjadi SCI, rangsangan menjadi hilang
dan neuron spinal menjadi tidak terangsang. Ini merupakan penyebab
utama depresi refleks selama syok spinal. Refleks depresi mungkin juga
karena peningkatan penghambatan tulang belakang. Hiperpolarisasi
lumbar neuron motorik dan interneuron kemudian kurang merespon
untuk refleks input segmental. Secara klinis, ini adalah hiporefleksia syok
spinal. Hiporefleksia diamati dengan lesi di bawah level mid-pons; lesi di
atas tingkat ini menghasilkan kekakuan deserebrasi. hiporefleksia shock
spinal, bagaimanapun, segera muncul setelah SCI. Jadi, meskipun
35
perubahan metabolik dan struktural dapat berkontribusi untuk awal
hiporefleksia, ini mungkin bukan penyebab utama.
2. Fase 2 initial reflex return (1–3 hari)
Fase ini syok spinal berlangsung selama 1-3 hari postinjury. Refleks
cutaneous (BC, AW, dan cremasteric) menjadi lebih kuat selama periode
ini. Biasanya, DTR masih tidak ada. Pada fase ini akan terjadi mekanisme
denervasi supersensitivity yang meliputi: (1) mengurangi rangsang
neurotransmitter reuptake, (2) peningkatan sintesis dan masuknya
reseptor dalam
membran
postsinaps
(3) menurunkan
pelepasan
danpenurunan reseptor, dan (4) mengubah sintesis dan komposisi subunit
reseptor.
3. Fase 3 early hyper-reflexia (4 hari-1 bulan)
Kebanyakan DTR pertama muncul kembali selama periode ini. AJ
biasanya kembali lebih dulu daripada KJ dan tanda Babinski. Refleks
cutaneous (BC, AW, dan CM) biasanya muncul pada akhir periode ini.
Meskipun pada umumnya, waktu pengembalian refleks bervariasi bahkan
setelah SCI complete karena perbedaan rangsangan refleks antara subyek.
Fungsi otonom terus berkembang dengan membaiknya saraf vagus
dimediasi bradiaritmia dan hipotensi. Disrefleksia otonom dapat mulai
muncul. Hal ini biasanya disebabkan oleh viskus membesar (misalnya,
kandung kemih atau usus) bertindak sebagai stimulus menyebabkan
aliran simpatis masif di bawah zona cedera, yang tidak diatur oleh Input
supraspinal.
4. Fase 4 spasticity/hyper-reflexia (1–12 bulan)
Tahap keempat syok spinal terjadi antara 1 dan 6 bulan pasca cedera.
DPR telah menghilang di sebagian besar kasus. Refleks kulit, DTR, dan
BS menjadi hiperaktif dan menanggapi rangsangan minimal. Vasovagal
hipotensi dan bradiaritmia diselesaikan dalam 3-6 minggu. Kemudian 4
hari-4 minggu pertumbuhan sinaps, akson pendek dan / atau akson
disediakan. Setelah itu 1-12 bulan pertumbuhan sinaps, akson panjang
dan soma disediakan. (Ditunno, Little, Tessler, & Burns, 2004)
36
Tabel Mekanisme 4 Fase Syok Spinal (Ditunno et al., 2004)
2.3.4
Manifestasi Klinis Syok Spinal
Hilangnya sensasi,control motorik, dan reflek dibawah cedera. Suhu
didalam tubuh akan menggambarkan suhu yang ada di lingkungan, kemudian
tekanan darah akan menurun. Sedangkan frekuensi denyut nadi sering normal
akan tetapi tetap disertai tekanan darah yang selalu rendah (Corwin, 2009).
2.3.5
Penatalaksanaan Syok Spinal
Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien dengan kondisi shock
spinal adalah sebagai berikut:
1. Imobilisasi pasien untuk mencegah semakin beratnya cedera medulla
spinalis atau kerusakan tambahan
2. Kolaborasi tindakan pembedahan untuk mengurangi tekanan pada medulla
spinalis akibat terjadinya trauma yang dapat mengurangi disabilitas jangka
panjang.
3. Pemberian steroid dosis tinggi secara cepat (satu jam pertama) untuk
mengurangi pembengkakan dan inflamasi medulla spinalis serta
mengurangi luas kerusakan permanen.
4. Fiksasi kolumna vertebralis melalui tindakan pembedahan untuk
mempercepat dan mendukung proses pemulihan.
5. Terapi fisik diberikan setelah kondisi pasien stabil.
37
6. Penyuluhan dan konseling mengenai komplikasi jangka panjang seperti
komplikasi pada kulit, system reproduksi, dan system perkemihan dengan
melibatkan anggota keluarga (Corwin, 2009).
Sedangkan menurut Batticaca dan Fransisca B (2008) penatalaksanaan
syok spinal yaitu :
1. Lakukan kompresi manual untuk mengosongkan kandung kemih secara
teratur agarmencegah terjadinya inkontinensia overfloe dan dribbling.
2. Lakukan pengosongan rectum dengan cara tambahkan diet tinggi serat,
laksatif, supposutoria, enema untuk BAB atau pengosomngan secara
teratur tanta terjai inkontinensia.
Menurut Baughman (2000) penatalaksanaan yang diberikan pada pasien
yang mengalami shock spinal adalah:
1. Gunakan dekompresi intestinal untuk mengatasi distensi usus dan paralitik
ileus yang disebabkan oleh depresi refleks.
2. Berikan pengamatan ketat pada pasien yang tidak berkeringan pada bagian
tubuh yang mengalami paralisis dan untuk deteksi dini awitan demam
mendadak
3. Sanggah dan pertahankan ketahanan tubuh sampai syok spinal menghilang
dan sistem telah pulih akibat serangan traumatik (3-6 minggu)
4. Berikan perhatian khusus pada sistem pernapasan (kemungkinan tekanan
intratorakal tidak mencukupi untuk menghasilkan batuk secara efektif
5. Berikan terapi fisik dada dan penghisapan untuk membantu membersihkan
sekresi pernapasan.
6. Pantau komplikasi pernapasan (gagal pernapasan, pneumonia)
7. Pantau terhadap hiperefleksia (ditandai dengan sakit kepala berdenyut,
banyak berkeringat, hidung tersumbat, piloereksi atau bulu kuduk berdiri,
bradikardia, hipertensi)
8. Pertahankan pengawasan konstan terhadap tanda dan gejala luka dekubitus
dan infeksi (perkemihan, pernapasan, infeksi setempat pada tempat pin)
38
9. Amati terhadap trombosis vena dalam, yakni embolisme pulmonal. Gejalagejalanya termasuk nyeri dada pleuritik, ansietas, sesak napas, dan nilai
gas darah abnormal.
10. Berikan terapi antikoagula
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN TRAUMA MEDULLA SPINALIS DAN SPINAL SHOCK
Oleh :
KELOMPOK 2/ KELAS A1 (A14)
Fasilitator :
Erna Dwi Wahyuni, S.Kep., Ns., M.Kep
Lutvi Choirunissa
131411131002
Shanti Indah Lestari
131411131036
Astrid Anggreswari Nur S.
131411131042
Anissa Zuchrufiany
131411131045
Navisha Khoirunisa
131411131056
Eva Dwi Agustin
131411131057
Retno Dwi Agustin
131411131058
Titin Paramida
131411131099
Elisa Maria Wahyuni
131411133028
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
2018
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat,serta kasih-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini
tepat waktu. Adapun tujuan dengan dibuatnya makalah ini sebagai syarat untuk
memenuhi nilai dalam mata kuliah Keperawatan Kritis 2.
Keberhasilan dalam penyusunan makalah ini tidak dapat terlepas dari
bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1) Bu Erna Dwi Wahyuni, S.Kep., Ns., M.Kep selaku fasilitator mata kuliah
Keperawatan Kritis;
2) Teman-teman yang telah membantu dalam pembuatan tugas makalah ini.
Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca pada umumnya dan bagi kami pada khususnya.
Kami menyadari masih ada kekurangan dalam pembuatan makalah ini, oleh
karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun akan kami terima dengan
senang hati.
Penulis,
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Semakin banyaknya angka kejadian kecelakaan lalu lintas maka trauma
medulla spinalis kerap terjadi.Trauma medulla spinalis adalah trauma seringkali
mengenai daerah L1-L2 dan/atau di bawahnya, trauma ini mengakibatkan
kerusakan fungsi neurologis, hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta
kehilangan fungsi defekasi dan berkemih.(Marilynn E. Doenges,1999;338).
Karena kondisi trauma pada medulla spinalis serta persyarafan akan mencetuskan
kejadian syok spinal, dimana syok spinal yaitu suatu keadaan kehilangan aktifitas
otonom, reflek motorik, dan sensorik pada daerah dibawah tingkat terjadinya
medulla spinalis (Kowalak, 2011).
Setiap tahun di Amerika Serikat sekitae 7.600 sampai 10.000 individu
mengalami trauma medulla spinalis. Pada tahun 2004 Cristopher & Dana Reeve
Foundation bekerjasama dengan Centers for Disease Control and Prevention
(CDC) melakukan penelitian dimana hasilnya sekitar 0,4% dari populasi Amerika
serikat atau sekitar 1.275.000 orang mengalami paralisis dikarenakan oleh trauma
medulla spinalis. Hal ini menandakan bahwa sekunder syok spinal juga banyak
terjadi.
Kejadian trauma medulla spinalis lebih dominan terjadi pada pria usia muda
sekitar lebih dari 75% dari seluruh cedera. Pada usia sekitar 45 tahunlebih fraktur
banyak terjadi pada pria di bandingkan pada wanita karena olahraga, pekerjaan,
dan kecelakaan bermotor. Tetapiwanita juga sangat memungkinkan terkena
penyakit ini karena faktor osteoporosis yang di asosiasikan dengan perubahan
hormonal (menopause) (Reevs, Charlene J.,1999). Sedangkan syok spinal terjadi
sekunder akibat kerusakan pada medula spinalis (Kowalak, 2011).Syok pada
medula spinalis adalah keadaan disorganisasi fungsi medula spinalis yang
fisiologis dan berlangsung untuk sementara waktu, keadaan ini timbul segera
setelah cedera dan berlangsung dari beberapa jam hingga beberapa minggu. Syok
spinal juga diketahui sebagai syok neurogenik adalah akibat dari kehilangan tonus
1
vasomotor yang mengakibatkan dilatasi vena dan arteriol umum. Syok ini
menimbulkan hipotensi, dengan penumpukan darah pada pembuluh penyimpan
atau penampung dan kapiler organ splanknik(Tambayong, 2000).
Klien yang mengalami trauma medulla spinalis membutuhkan perhatian lebih
diantaranya dalam pemenuhan kebutuhan ADL danmobilisasi. Begitu juga dengan
spinal shock dimana membutuhkan terapi fisik dan kolaborasi pembedahan. Maka
dari itu sebagai perawat merasa perlu untuk dapat membantu dalam memberikan
asuhan keperawatan pada klien dengan trauma medulla spinalis dan spinal syok
dengan cara promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitative.
1.2 Tujuan
1.2.1
Tujuan Umum
Mempelajari konsep teoritis dan asuhan keperawatan berdasarkan
study casetrauma medulla spinalis dan shock spinal.
1.2.2
Tujuan Khusus
1) Mengetahuianatomi fisiologi medulla spinal
2) Mengetahui definisitrauma medulla spinal dan shock spinal.
3) Mengetahui etiologi trauma medulla spinal dan shock spinal.
4) Mengetahui patofisiologi trauma medulla spinal dan shock spinal.
5) Mengetahui manfestasi klinis trauma medulla spinal dan shock
spinal.
6) Mengetahui pemeriksaan diagnostik pada klien dengan trauma
medulla spinal dan shock spinal.
7) Mengetahui penatalaksanaan pada klien dengan trauma medulla
spinal dan shock spinal.
8) Mengetahuikomplikasi pada klien dengan trauma medulla spinal
dan shock spinal.
9) Mengetahui prognosis pada klien dengan trauma medulla spinal
dan shock spinal.
10) Mengetahui asuhan keperawatan klien dengan trauma medulla
spinal dan shock spinal.
2
1.3 Manfaat
Memberikan pengetahuan tentang asuhan keperawatan trauma medulla spinal
dan shock spinal dengan menggunakan konsep dan study case.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologis Medulla Spinalis
Medula spinalis merupakan bagian dari susunan saraf pusat, terletak didalam
canalis vertebralis dan merupakan lanjutan dari medulla oblongata danujung
caudalnya membentuk conus medullaris. Panjangnya pada pria sekitar 45cm
dan wanita 42-43 cm dengan garis tengah 2 cm (seukuran kelingking). Medula
spinalis terdiri atas 31 segmen jaringan saraf dan masing-masing memiliki
sepasang saraf yang keluar dari kanalis vertebralis melalui foramen intervetebra
(lubang pada tulang vertebra). Saraf-saraf spinal diberi nama sesuai dengan
foramen intervertebra, kecuali saraf servical pertama yang keluar di antara tulang
oksipital dan vertebra servikal pertama. Dengan demikian, terdapat 8 pasang saraf
servikal (dan hanya tujuh vertebra servikalis), 12 pasang saraf torakalis, 5 pasang
saraf lumbalis, 5 pasang saraf sakralis, dan 1 pasang saraf koksigis (Akhyar,
2009). Segmen upper cervical & thoracal berbentuk silindris dan segmen lower
cervical dan lumbal berbentuk oval. Berawal dari dasar otak(atlas/V.C1), berakhir
setinggi L1-L2 (conus medullaris), ke bawah melanjutkandiri sebagai fillum
terminale. Di bawah Conus medullaris terbentuk anyaman akarsaraf (saraf tepi)
menyerupai ekor kuda (cauda equina).Saraf Spinal dilindungi oleh tulang
vertebra, ligamen juga oleh meningen spinal dan CSF (Muttaqin, 2008).
4
Pada potongan melintang medulla spinalis terdapat substansia grisea atau gray
matter (abu-abu) dan substansi alba atau white matter (putih). Bagian central
membentuk huruf H (Gray Matter) dan dikelilingi oleh white matter.
2 bagian medulla spinalis dipisahkan oleh septum medianus (dorsal/posterior) dan
fissura medianus (ventral/anterior). Sulcus dorsolateral (posterior) adalah pintu
masuk akar saraf posterior (sensorik) dan sulcus ventrolateral (anterolateral)
adalah pintu keluar akar saraf ventral (motorik). 3 area white matter: funikulus
posterior, funikulus lateralis, funikulus anterio.
a. Substansia grisea (gray matter)
1) Cornu Anterior (anterior horn cell/ AHC) berisi akar saraf motorik.
2) Cornu Intermediolateral terbatas pada regio thoracal dan upper lumbal.
3) Cornu Posterior (posterior horn cell/ PHC) berisi akar saraf sensorik
4) Canalis Centralis terletak di tengah substansia abu-abu,membagi
medulla spinalis menjadi 2 daerah commisura grisea anterior &
posterior
b. Substansia alba (white matter)
1) Berisi serabut-serabut sensorik, motorik dan otonom
2) Terdiri dari tiga area funikulus, yaitu
a) Anterior (berisi fasikulus descending/motorik)
b) Lateral (berisi fasikulus decsending & ascending)
c) Posterior (berisi fasikulus ascending/sensorik)
3) Tiap funikulus terdiri dari satu atau lebih traktus ataufunikulus
5
Medulla spinalis melewati dua traktus dengan fungsi tertentu, yaitu traktus
desenden dan asenden. Traktus desenden berfungsi membawa sensasi yang
bersifat perintah yang akan berlanjut ke perifer. Sedangkan traktus asenden secara
umum berfungsi untuk mengantarkan informasi aferen yang dapat atau tidak dapat
mencapai kesadaran. Informasi ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu (1)
informasi eksteroseptif, yang berasal dari luar tubuh, seperti rasa nyeri, suhu, dan
raba, dan (2) informasi proprioseptif, yang berasal dari dalam tubuh, misalnya otot
dan sendi (Akhyar, 2009)
Menurut Mahadewa & Maliawan (2009) medula spinalis diperdarahi oleh
2 susunan arteria yang mempunyai hubungan istimewa. Arteri - arteri spinal
terdiri dari arteri spinalis anterior dan posterior serta arteri radikularis.
a. Arteri spinalis anterior dibentuk oleh cabang kanan dan dari segmen
intrakranial kedua arteri vertebralis.
b. Arteri spinalis posterior kanan dan kiri juga berasal dari kedua arteri
vertebralis.
c. Arteria radikularis dibedakan menjadi arteria radikularis posterior dan
anterior.
6
Beberapa fungsi dari masing-masing sistem saraf adalah sebagai berikut:
Fungsi
Fleksi, ekstensi, rotasi,
Otot
Saraf
I. Pleksus servikalis C1 – C4
Mm. koli profundi (M.
Saraf servikalis
dan eksorotasi leher
sternokleidomastoideus, M.
C1-C4
Pengangkatan dada atas,
trapezius)
Mm. Skaleni
C3-C5
inspirasi
Inspirasi
Diafragma
Saraf frenikus
Aduksi dan endorotasi
C3–C5
II. Pleksus brakhialis C5-T1
M. pektoralis mayor dan
Saraf torakalis
lengan,
minor
Menurunkan bahu ke
dorsoventral
Fiksasi skapula selama
anterior
C5-T1
M. seratus anterior
Saraf torakalis longus
mengangkat lengan
Elevasi dan aduksi
M. levator skapula,
C5-C7
Saraf skapularis
skapula ke arah
Mm. rhomboidei
dorsal
M. supraspinatus
C4-C5
Saraf supraskapularis
kolumna spinalis
Mengangkat dan
eksorotasi lengan
C4-C6
Eksorotasi lengan pada
M. infraspinatus
C4-C6
sendi bahu
Endorotasi sendi bahu;
M. latissimus dorsi,
Saraf torakalis dorsal
aduksi dari ventral ke
M. teres major,
C5-C8
dorsal;
M. subskapularis
(dari daerah dorsal
menurunkan lengan
yang terangkat
Abduksi lengan ke garis
pleksus)
M. deltoideus
horizontal
Eksorotasi lengan
Fleksi lengan atas dan
bawah dan supinasi
Saraf aksilaris
C5-C6
M. teres minor
M. biseps brakhii
C4-C5
Saraf
muskulokutaneus
7
lengan bawah
C5-C6
M. korakobrakhialis
Elevasi dan aduksi
lengan
C5-C7
M. brakhialis
C5-C6
Fleksi lengan bawah
Fleksi dan deviasi radial
M. fleksor karpi radialis
tangan
Saraf medianus
C5-C6
Pronasi lengan bawah
M. pronator teres
C5-C6
Fleksi tangan
M. palmaris longus
C7-T1
Fleksi jari II-V pada
M. fleksor digitorum
C7-T1
falangs tengah
superfisialis
Fleksi falangs distal ibu
M. fleksor polisis longus
C6-C8
Fleksi falangs distal jari
M. fleksor digitorum
C7-T1
II dan III tangan
Abduksi metakarpal I
profundus (radial)
M. abduktor polisis brevis
C7-T1
Fleksi falangs proksimal
M. fleksor polisis brevis
C7-T1
Oposisi metakarpal I
Fleksi falangs proksimal
M. oponens polisis brevis
Mm. lumbrikalis
C6-C7
Saraf medianus
dan ekstensi sendi lain
Jari II dan III tangan
C8-T1
Fleksi falangs proksimal
Jari IV dan V tangan
Saraf ulnaris
M. fleksor karpi ulnaris
C8-T1
Saraf ulnaris
jari tangan
ibu jari tangan
dan ekstensi sendi lain
Fleksi dan
8
pembengkokan ke arah
C7-T1
ulnar jari tangan
M. fleksor digitorum
Fleksi falangs proksimal
C7-T1
profundus (ulnar)
jari tangan IV dan V
M. aduktor polisis
C8-T1
M. abduktus digiti V
C8-T1
M. oponens digiti V
C7-T1
M. fleksor digiti brevis V
Saraf ulnaris
Aduksi metakarpal I
Abduksi jari tangan V
Oposisi jari tangan V
Fleksi jari V pada sendi
C7-T1
metakarpofalangeal
Mm. interosei palmaris dan
Pembengkokan falangs
dorsalis
proksimal, meregangkan
Mm. lumbrikalis III dan IV
C8-T1
jari tangan III, IV, dan
V pada sendi tangan dan
distal seperti juga
gerakan membuka dan
menutup jari-jari
Ekstensi siku
M. biseps brakhii dan M.
Saraf radialis
ankoneus
C6-C8
Fleksi siku
M. brakhioradialis
C5-C6
Ekstensi siku dan
M. ekstensor karpi radialis
C6-C8
M. ekstensor digitorum
C6-C8
abduksi radial tangan
Ekstensi falangs
proksimal jari II-IV
9
Ekstensi falangs
M. ekstensor digiti V
C6-C8
M. ekstensor karpi ulnaris
C6-C8
Supinasi lengan bawah
M. supinator
C5-C7
Abduksi metakarpal I:
M. abduktor polisis longus
C6-C7
M. ekstensor polisis brevis
C7-C8
M. ekstensor polisis longus
C7-C8
M. ekstensor indisis proprius
C6-C8
Mm. toracis dan abdominalis
N. toracis
proksimal jari V
Ekstensi dan deviasi ke
arah ulnar dari tangan
ekstensi radial dari
tangan
Ekstensi ibu jari tangan
pada falangs proksimal
Ekstensi falangs distal
ibu jari
Ekstensi falangs
proksimal jari II
Elevasi iga; ekspirasi;
kompresi abdomen;
T1-L1
anterofleksi dan
laterofleksi tubuh.
Fleksi dan endorotasi
III.Pleksus lumbalis T12-L4
M. iliopsoas
Saraf femoralis
pinggul
L1-L3
M. sartorius
L2-L3
M. quadriseps femoris
L2-L4
Fleksi dan endorotasi
tungkai bawah
Ekstensi tungkai bawah
10
pada tungkai lutut
Aduksi paha
M. pektineus
Saraf obturatorius
M. aduktor longus
L2-L3
M. aduktor brevis
L2-L3
M. aduktor magnus
L2-L4
M. grasilis
L3-L4
L2-L4
Aduksi dan eksorotasi
M. obturator eksternus
L3-L4
paha
Abduksi dan endorotasi
IV. Pleksus sakralis L5-S1
M. gluteus medius dan
Saraf glutealis
paha
minimus
superior
L4-S1
M. tensor fasia lata
Fleksi tungkai atas pada
L4-L5
pinggul; abduksi dan
endorotasi
M. piriformis
Eksorotasi paha dan
L5-S1
abduksi
Ekstensi paha pada
M. gluteus maksimus
Saraf glutealis
pinggul,
M. obturator internus
inferior
Eksorotasi paha
Mm. gemeli
L4-S2
M. quadratus
L5-S1
M. biseps femoris
L4-S1
Saraf skiatikus
M. semitendinosus
L4-S2
M. semimembranosus
L4-S1
M. tibialis anterior
L4-S1
Saraf peronealis
Fleksi tungkai bawah
Dorsifleksi dan supinasi
kaki
Ekstensi kaki dan jari-jari
profunda
M. ekstensor digitorum
L4-L5
longus
L4-S1
11
kaki
M. ekstensor digitorum
Ekstensi jari kaki II-V
L4-S1
brevis
L4-S1
Ekstensi ibu jari kaki
M. ekstensor halusis
longus
L4-S1
Ekstensi ibu jari kaki
Pengangkatan dan pronasi
M. ekstensor halusis brevis
Mm. peronei
Saraf peronealis
bagian luar kaki
superfisialis
Fleksi plantar dan kaki
M. gastroknemius
L5-S1
Saraf tibialis
dalam supinasi,
M. triseps surae
L5-S2
Supinasi dan fleksi plantar
M. soleus
dari kaki
M. tibialis posterior
Fleksi falangs distal jari
M. fleksor digitorum
kaki II-V (plantar fleksi
longus
L4-L5
L5-S2
kaki dalam supinasi)
Fleksi falangs distal ibu
jari kaki
L5-S2
M. fleksor halusis longus
Fleksi jari kaki II-V pada
falangs tengah
S1-S3
M. fleksor digitorum
brevis
Melebarkan, menutup, dan
S1-S3
fleksi falangs proksimal
jari-jari kaki
Menutup sfingter kandung
Mm. plantaris pedis
Otot-otot perinealis dan
Saraf pudendalis
kemih dan rectum
sfingter
S2-S4
2.2 Trauma Medulla Spinalis
2.2.1
Definisi Trauma Medulla Spinalis
12
Trauma medula spinalis merupakan keadaan patologi akut pada medula
spinalis yang di akibatkan terputusnya komunikasi sensori dan motorik
dengan susunan saraf pusat dan saraf parifer. Tingkat kerusakan pada medula
spinalis tergantung dari keadaan atau inkomplet (Tarwato, 2007).
Trauma medulla spinalis merupakan kerusakan pada medulla spinalis yang
disebabkan oleh trauma langsung atau tidak langsung pada medulla spinalis.
Gangguan-gangguan yang terjadi akibat trauma medulla spinalis berupa
gangguan fungsi-fungsi utama dari medulla spinalis, yaitu fungsi motorik,
sensorik, autonom, dan reflek. Gangguan fungsi-fungsi utama medulla
spinalis dapat terjadi komplet atau parsial (Jasajurnal, 2017).
Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan oleh benturan pada daerah medula spinalis (Brunner &
Suddaerth, 2008). Trauma medula spinalis dapat bervariasi dari trauma
ekstensi fiksasi ringan yang terjadi akibat benturan secara mendadak sampai
yang menyebabkan transeksi lengkap dari medula spinalis dengan
quadriplegia (Fransiska B. Batticaca, 2008).
Pada trauma medula spinalis timbul perlukaan pada sumsum tulang
belakang yang mengakibatkan perubahan, baik sementara atau permanen,
perubahan fungsi motorik, sensorik, atau otonom. Pasien dengan cedera
tulang belakang biasanya memiliki defisit neurologis permanen dan sering
mengalami kecacatan (Lawrence, 2014).
Trauma medula spinalis bisa meliputi fraktur, kontusio, dan kompresi
kolumna vertebra yang biasa terjadi karena trauma pada kepala atau leher.
Kerusakan dapat mengenai seluruh medula spinalis atau terbatas pada salah
satu belahan dan bisa terjadi pada setiap level (Kowalak, 2011).
Jadi, trauma medulla spinalis adalah kerusakan fungsi neurologis akibat
trauma langsung atau tidak langsung pada medulla spinalis sehingga
mengakibatkan gangguan fungsi sensorik, motorik, autonomi dan reflek.
2.2.2
Klasifikasi Trauma Medulla Spinalis
Menurut Batticaca (2008) trauma medula spinalis dapat diklasifikasi
menjadi 2 macam, yaitu:
13
1. Cedera tulang
a. Stabil, bila kemapuan fragmen tulang tidak mempengaruhi kemapuan
tulang untuk bergeser lebih jauh selain yang terjadi saat cedera.
Komponen arkus neural intak serta ligamen yang menghubungkan ruas
tulang belakang, terutama ligamen longitudinal posterior tidak robek.
b. Tidak Stabil, kondisi trauma menyebabkan adanya pergeseran tulang
yang terlalu jauh sehingga cukup mapu untuk merobek ligamen
longitudinal posterior serta merusak keutuhan arkus neural.
2. Cedera neurologis
a. Tanpa defisit neurologis
b. Disertai defisit neurologis
American Spinal Injury Association (ASIA) bekerjasama dengan Internasional
Medical
Society
Of
Paraplegia
(IMSOP)
telah
mengembangkan
dan
mempublikasikan standart Internasional untuk klasifikasi fungsional dan neurologis
cedera medula spinalis. Klasifikasi berdasarkan pada Frankel pada tahun 1969.
Klasifikasi ASIA/IMSOP dipakai dibanyak negara karena sistem tersebut dipandang
akurat dan komperhensif. Skala kerusakan menurut ASIA/IMSOP adalah sebagai
berikut:
1. FRANKEL SCORE A: kehilangan fungsi motorik dan sensorik lengkap
(complete loss).
2. FRANKEL SCORE B: fungsi motorik hilang, fungsi sensorik utuh.
3. FRANKEL SCORE C: fungsi motorik ada tetapi secara praktis tidak berguna
(dapat menggerakkan tungkai tetapi tidak dapat berjalan).
4. FRANKEL SCORE D: fungsi motorik terganggu (dapat berjalan tetapi tidak
dengan nomal "gait").
5. FRANKEL SCORE E: tidak terdapat gangguan neurologik.
Cedera umum medula spinalis dapat dibagi menjadi komplit dan Inkomplit
berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan dibawah lesi. Terdapat 5
sindrom utama cedera medula spinalis inkomplit menurut American Spinal
Cord Injury Association yaitu:
14
Nama
Pola dari Lesi saraf
Kerusakan
Sindroma
Central
Cord
syndrome
Cedera pada posisi central dan Menyebar ke daerah sacral.
sebagian daerah lateral.
Kelemahan otot ekstremitas
Sering terjadi pada trauma atas
daerah servikal
Anterior
Cord
Syndrome
lebih
berat
dari
ekstermitas bawah.
Cedera pada sisi anterior dan Kehilangan perioperatif dan
posterior dari medula spinalis.
Cedera
akan
gangguan
menghasilkan
medula
kehilangan
fungsi
motorik
secara ipsilateral
spinalis
unilateral
Brown Sequard
Kerusakan pada anterior dari Kehilangan fungsi motorik dan
Syndrome
daerah
putih
dan
abu-abu sensorik secara komplit.
medula spinalis.
Cauda
Equina
Syndrome
Kerusakan pada posterior dari Kerusakan
daerah
putih
dan
medula spinalis
proprioseptif
abu-abu diskriminasi dan getaran.
Fungsi motorik juga terganggu
Posterior Cord
Kerusakan pada saraf lumbal Kerusakan sensori dan lumpuh
Syndrome
atau
sacral
sampai
medulla spinalis
ujung flaccid pada ekstremitas bawah
dan
kontrol
berkemih
defekasi
Cedera medulla spinalis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Complete injury
Complete injury atau cedera penuh mengakibatkan hilangnya fungsi
sensorik dan motorik secara total dibawah level cedera. Terlepas dari
mekanisme cedera, jenis cedera secara penuh ini bisa berupa diseksi atau
robekan lengkap pada sumsum tulang belakang yang menghasilkan dua
kondisi:
a. Tetraplegia
15
dan
Cedera terjadi pada level C1 sampai dengan T1. Fungsi otot residual
tergantung pada segmen servikal yang terpengaruh.
b. Paraplegia
Dikatakan paraplegia apabila terdapat kerusakan ataupun hilangnya
fungsi sensorik dan motoric pada segmen thorakal, lumbar ataupun
sacral (Kirshblum dkk, 2011).
Gambar. Klasifikasi Trauma Medula Spinalis
2. Incomplete injury
Apabila masih terdapat fungsi sensorik dan motorik yang masih dalam
keadaan baik dibawah tingkat neurologis, termasuk pada segmen sacral
S4-S5 (Kirshblum dkk, 2011).
Pola karakteristik cedera neurologis tertentu sering ditemukan pada
pasien dengan cedera medulla spinalis. Pola-pola ini harus dikenali
sehingga tidak membingungkan pemeriksa. Berdasarkan sindrom medulla
spinalis, trauma medulla spinalis dikelompokkan sebagai berikut:
a. Complete transaction
16
Kondisi ini menyebabkan semua traktus di medulla spinalis terputus
menyebabkan semua fungsi yang melibatkan medulla spinalis di
bawah level terjadinya transection semua terganggu dan terjadi
kerusakan permanen.
Secara klinis menyebabkan kehilangan kemampuan motorik berupa
tetraplegia pada transeksi cervical dan paraplegia jika terjadi pada
level thorakal. Terjadi flaksid otot, hilangnya refleks dan fungsi
sensoris dibawah level trabsseksi. Kandung kemih dan susu atoni
sehingga menyebabkan ileus paralitik. Kehilangan tonus vasomotor
area tubuh dibawah lesi menyebabkan tekanan darah rendah dan tidak
stabil. Kehilangan kemampuan perspirasi menyebabkan kulit kering
dan pucat, juga terjadi gangguan pernapasan.
Gambar Complete Transection
17
Gambar. Paraplegia pada thoracal spinal transection; tetraplegia pada cervical
spinal transcetio
18
b. Incomplete transaction : Central cord syndrome
Sindrom ini ditandai dengan hilangnya kekuatan motorik lebih banyak pada
ekstremitas
atas
dibandingkan
dengan
ekstremitas
bawah,
dengan
kehilangan sensorik yang bervariasi. Biasanya sindrom ini terjadi setelah
adanya trauma hiperekstensi pada pasien yang telah mengalami kanalis
stenosis servikal sebelumnya. Dari anamnesis didapatkanadanya riwayat
jatuh kedepan dengan dampak pada daerah wajah. Dapat terjadi dengan atau
tanpa fraktur tulang servikal atau dislokasi.
Gambar. Central cord syndrome.
Gambaran khas Central Cord Syndrome adalah kelemahan yang lebih
prominen pada ekstremitas atas dibanding ektremitas bawah. Pemulihan
fungsi ekstremitas bawah biasanya lebih cepat, sementara pada
ekstremitas atas (terutama tangan dan jari) sangat sering dijumpai
disabilitas neurologic permanen. Hal ini terutama disebabkan karena
19
pusat cedera paling sering adalah setinggi VC4-VC5 dengan kerusakan
paling hebat di medulla spinalis C6 dengan lesi LMN.
c. Incomplete transection : Anterior Cord Syndrome
Sindrom ini ditandai dengan paraplegi dan kehilangan sensorik disosiasi dengan
hilangnya sensasi nyeri dan suhu. Fungsi kolumna posterior (posisi, vibrasi, dan
tekanan dalam) tetap bertahan. Biasanya anterior cord syndrome disebabkan
infark pada daerah medulla spinalis yang diperdarahi oleh arteri spinalis
anterior. Prognosis sindrom ini paling buruk dibandingkan cedera inklomplit
lainnya. Kehilangan sensasi nyeri dan suhu pada level dibawah lesi tetapi
sensoris terhadap raba, tekanan, posisi, dan getaran tetap baik
Gambar. Central cord syndrome.
d. Brown Sequard Syndrome
Sindrome ini terjadi akibat hemiseksi medulla spinalis, biasanya akibat luka tembus.
Namun variasi gambaran klasik tidak jarang terjadi. Pada kasus murni, sindrom ini
terdiri dari kehilangan sistem motorik ipsilateral (traktus kortikospinalis) dan
hilangnya sensasi posisi (kolumna posterior), disertai dengan hilangnya sensasi
suhu serta nyeri kontralateral mulai satu atau dua level di bawah level trauma
20
(traktus spinothalamikus). Walaupun sindrom ini disebabkan trauma tembus
langsung ke medulla spinalis, biasanya masih mungkin untuk terjadi perbaikan.
Kondisi ini terjadi parese ipsilateral di bawah level lesi disertai kehilangan fungsi
sensoris sentuhan, tekanan, getaran dan posisi. Terjadi gangguan kehilangan
sensoris nyeri dan suhu kontralatetal.
Gambar. Brown sequard syndrome.
2.2.3
Etiologi Trauma Medulla Spinalis
Trauma Medula Spinalis bisa disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya
adalah akibat trauma langsung yang mengenai tulang belakang dan
melampaui batas kemampuan tulang belakang dala melindungi saraf-saraf
yang ada di dalamnya. Trauma tersebut meliputi kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan industri, jatuh dari bangunan, pohon, luka tusuk, luka tembak dan
terbentur benda keras (Muttaqin, 2008).
Trauma Medula Spinalis dibedakan menjadi 2 macam:
1. Cedera medula spinalis traumatik
21
Terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti yang diakibatkan oleh
kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan, merusak medula
spinalis. Cedera medula spinalis traumatic ditandai sebagai lesi traumatik
pada medula spinalis dengan beragam defisit motorik dan sensorik atau
paralisis.
2. Cedera medula spinalis non traumatik
Terjadi ketika kondisi kesehatan seperti penyakit, infeksi atau tumor
mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis, atau kerusakan yang
terjadi pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh gaya fisik
eksternal. Faktor penyebab dari cedera medula spinalis mencakup
penyakit motor neuron, myelopati spondilotik, penyakit infeksius dan
inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi toksik dan
metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan.
Sedangkan menurut Baticaca, 2008 penyebab terjadinya trauma medula
spinalis adalah sebagai berikut:
1. Kecelakaan di jalan raya (penyebab paling sering)
2. Olahraga
3. Menyelam pada air dangkal
4. Luka tembak atau luka tikam
Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medula spinalis seperti
spondiliosis servikal dengan mielopati, yang menghasilkan saluran sempit
yang mengakibatkan cedera progresif terhadap medula spinalis dan akar;
mielitis akibat inflamasi infeksi maupun non-infeksi; osteoporosis yang
disebabkan oleh fraktur kompresi pada vertebra; siringmielia; tumor infiltrasi
maupun kompresi; dan penyakit vaskuler.
Faktor Resiko Trauma Medula Spinalis
Menurut Aryani (2008) dan Tarwoto (2007) faktor resiko yang menyebabkan
terjadinya trauma medula spinalis adalah sebagai berikut:
1. Faktor Usia
22
Usia yang sudah memasuki masa lansia atau di atas 60 tahun akan
cenderung mengalami proses penuaan, sehingga fungsi tulangnya juga
menurun, hal ini dapat mengakibatkan trauma patologis pada medula
spinalis.
2. Jenis Kelamin
Laki-laki lebih cenderung banyak yang terkena trauma medula spinalis
karena faktor pekerjaan dan gaya hidup.
3. Alkohol
Alkohol dapat mengurangi kepadatan tulang dan mengakibatkan
peningkatan fraktur, atau gangguan tulang lainnya yang akhirnya
menyebabkan tulang belakang rentang terhadap trauma pada medula
spinalis.
4. Merokok
Pada orang yang merokok proses pengeropoasan tulang tulang lebih
cepat, dan tingkat fraktur vertebra pinggul dan lebih tinggi, di antara
orang-orang yang merokok. Tembakau, nikotin, dan bahan kimia lain
yang ditemukan dalam rokok mungkin langsung beracun ke tulang, atau
mereka menghalangi penyerapan kalsium dan lain gizi yang diperlukan
untuk kesehatan tulang. Sehingga tulang belakang juga sangat rentan
terkena penyakit dan mudah terjadi trauma ketika mendapat benturan atau
kecelakaan.
5. Minum Obat saat Berkendara
Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab utama cedera
tulang belakang untuk orang dewasa, sementara jatuh adalah penyebab
paling tinggi cedera pada orang dewasa yang sudah tua. Dengan
meminum obat obatan dengan efek samping mengantuk, maka kesadaran
seseorang akan menurun dan akan mengganggu konsentrasi dalam
berkendara.
6. Penyakit Osteomyelitis dan Spondilitis TB
Pada penyakit osteomielitis dan spondilitis TB bisa terjadi komplikasi
fraktur patologis. Hal ini terjadi pada keadaan osteomielitis vertebra yang
23
akan menyebabkan kolaps vertebra dan kompresi medula spinalis.
Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya cedera pada tulang belakang.
2.2.4
Patofisiologi Trauma Medulla Spinalis
Kerusakan yang dialami medula spinalis dapat bersifat sementara atau
menetap akibat trauma terhadap tulang belakang. Medula spinalis dapat tidak
berfungsi untuk sementara (komosio medula spinalis), tetapi dapat sembuh
kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa edema,
perdarahan perivaskuler dan infark di sekitar pembuluh darah. Pada
kerusakan medula spinalis yang menetap, secara makroskopis, kelainannya
dapat terlihat dan terjadi lesi, kontusio, laserasi dan pembengkakan daerah
tertentu di medula spinalis.
Segera setelah terjadi kontusio atau robekan akibat cedera, serabut-serabut
saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke substansi grisea
medulla spinalis menjadi terganggu. Tidak hanya hal ini saja yang terjadi
pada cedera pembuluh darah medula spinalis, tetapi proses patogenik
dianggap menyebabkan kerusakan yang terjadi pada cedera medula spinalis
akut. Suatu rantai sekunder kejadian-kejadian yang menimbulkan iskemia,
hipoksia, edema, dan lesi-lesi hemoragi, yang pada gilirannya mengakibatkan
kerusakan mielin dan akson. Reaksi sekunder ini, diyakini menjadi penyebab
prinsip degenerasi medula spinalis pada tingkat cedera, sekarang dianggap
reversibel 4 sampai 6 jam setelah cedera. Untuk itu jika kerusakan medula
tidak dapat diperbaiki, maka beberapa metode mengawali pengobatan dengan
menggunakan kortikosteroid dan obat-obat anti-inflamasi lainnya yang
dibutuhkan
untuk
mencegah
kerusakan
sebagian
dari
perkembangannya,masuk kedalam kerusakan total dan menetap.
2.2.5
Manifestasi Klinis Trauma Medulla Spinalis
Menurut Towarto (2007) tanda dan gejala dari cedera medulla spinalis, yaitu:
1. Tergantung tingkat dan lokasi kerusakan
24
Hilangnya gerakan volunter, hilangnya sensasi nyeri, temperature, tekanan dan
prospriosepsi, hilangnya fungsi bowel dan bladder dan hilangnya fungsi spinal
dan reflex autonom. Batas cedera medulla spinalis, tanda dan gejala :
Tabel Manifestasi klinis sesaui radiks yang mengalami gangguan
Level
Cedera
Spinal
Fungsi
Motorik
Refleks
Tendon
Profunda
Fungsi
Sensorik
Fungsi Pernapasan
C1-C4
Kuadriplegia:
Hilangnya
semua fungsi
motorik dari
leher ke bawah
Semuanya
hilang
Hilangnya
semua fungsi
sensorik pada
leher ke bawah
(C4
mempersarafi
klavikula)
C5
Kuadriplegia:
Hilangnya
semua fungsi
di bawah bahu
atas
C5, C6
Hilangnya
sensasi di
bawah
klavikula dan
sebagaan besar
bagian lengan,
tangan, dada,
abdomen dan
ekstrimitas
bawah.
Hilangnya fungsi
pernapasan
volunter
(interkostal) dan
involunter (frenik);
dukungan ventilasi
dan trakeostomi
dibutuhkan
Saraf frenik utuh,
tetapi otot
interkostal tidak
utuh
C6
Kuadriplegia:
Hilangnya
semua fungsi
di bawah bahu
dan lengan
atas;
penurunan
kontrol siku,
lengan bawah,
dan tangan
Kuadriplegia:
hilangnya
kontrol
motorik pada
C5, C6
brakioradi
alis
Hilangnya
semua aspek
pada lesi C5
tetapi sensasi
lengan dan ibu
jari lebih terasa
Saraf frenik utuh,
tetapi otot
interkostal tidak
utuh
Tidak ada
kontrol usus
atau kandung
kemih
C7, C8
trisep
Hilangnya
sensasi di
bawah
klavikula dan
Saraf frenik utuh,
tetapi otot
interkostal tidak
utuh
Tidak ada
fungsi usus
atau kandung
kemih
C7
Fungsi Usus
dan Kandung
Kemih
Volunter
Tidak ada
kendali usus
atau kandung
kemih
Tidak ada
kontrol usus
atau kandung
kemih
25
C8
T1-T6
T6T12
L1-L3
L3-S5
bagian lengan
dan tangan
bagian lengan
serta tangan
Kuadriplegia:
hilangnya
kontrol
motorik pada
lengan dan
tangan
Paraplegia:
hilangnya
setiap sensasi
di bawah area
dada, termasuk
otot di batang
tubuh
Paraplegia:
kehilangan
kontrol
motorik di
bawah
pinggang
Paraplegia:
hilangnya
sebagian besar
kontrol tungkai
dan pelvis
Paraplegia:
inkomplet
Kontrol
motorik
segmental
L4-S1: abduksi
dan rotasi
internal
pinggul,
dorsifleksi
pergelangan
kaki dan
inversi kaki
L5-S1: eversi
kaki
Hilangnya
sensasi di
bawah dada
dan bagain
tangan
Saraf frenik utuh,
tetapi otot
interkostal tidak
utuh
Tidak ada
fungsi usus
atau kandung
kemih
Hilangnya
sensasi di
bawah area
dada tengah
Saraf frenik
berfungsi mandiri.
beberapa
gangguan otot
intercostal
Defekasi atau
berkemih tidak
berfungsi
Hilangnya
setiap sensasi
di bawah
pinggang
Fungsi pernapasan
tidak terganggu
Kontrol
defekasi atau
berkemih tidak
berfungsi
L2-L4
(sentakan
lutut)
Hilangnya
sensasi
abdomen baah
dan tungkai
Fungsi pernapasan
tidak terganggu
Kontrol
defekasi atau
berkemih tidak
ada
S1-S2
(sentakan
pergelanga
n kaki)
Saraf sensori
lumbal
menginervasi
tungkai atas
dan bawah
L5: aspek
medial kaki
S1: aspek
lateral kaki
S2: aspek
posterior betis/
paha
Saraf sensori
sakral
menginervasi
Fungsi pernapasan
tidak terganggu
Kontrol
defekasi atau
berkemih
mungkin
terganggu
Segmen S2-S4
mengendalikan
kontinensia
urin
Segmen S3-S5
mengendalikan
kontinensia
feses (otot
perianal)
26
L4-S2: fleksi
tungkai bawah,
lutut
kaki dan
S1-S2: fleksi
perineum
plantar S1-S2:
(sentakan
pergelangan
kaki)
S2-S5: kontrol
usus/kandung
kemih
Sumber: Patricia G. Morton. Keperawatan Kritis Vol. 2 Hal 1089-1093
Lokasi Fungsi Motorik dan Sensorik
Funsi Motorik
Lokasi
Fungsi
C1-C6
Fleksor Leher
C1-T1
Ekstensor Leher
C3-C5
Diafragma
C5
Fleksor Siku
C6
Ekstensor pergelangan tangan
C7
Ekstensor siku
C8
Fleksi pergelangan tangan
T1-T6
Interkosta otot dada
T7-L1
Otot abdomen
L1-L4
Fleksi pinggul
L2-L4
Adduksi pinggul ekstensi lutu
L4-S1
Abduksi pinggul
L5-S2
Dorsofleksi kaki
Ekstensi pinggul
L4-S2
Plantar Fleksi kaki
Fleksi Lutut
Lokasi
C5
C6
C7
C8
T4
T10
L5
S1
S2-S5
Funsi Sensorik
Area Sensasi
Deltoid
Ibu jari
Jari tengah
Jari-jari
Batas putting susu
Umbilikus
Empu kaki
Little toe
Perineum
a. Perubahan reflex
Setelah cedera medulla spinalis terjadi edema medulla spinalis sehingga
stimulus reflex juga terganggu misalnya reflex pada bladder, aktivitas
visceral, reflex ejakulasi.
b. Spasme otot
Gangguan spasme otot terutama terjadi pada trauma komplit transversal,
dimana pasien terjadi ketidakmampuan melakukan pergerakan.
c. Spinal shock
27
Tanda dan gejala spinal shock meliputi flaccid paralisis dibawah garis
kerusakan, hilangnya sensasi, hilangnya refleks-refleks spinal, hilangnya
tonus vasomotor yang mengakibatkan tidak stabilnya tekanan darah, tidak
adanya keringat dibawah garis kerusakan dan inkontinensia urin dan retensi
feses.
d. Autonomic dysreflexia
Autonomic dysreflexia terjadi pada cidera thorakal enam ke atas, dimana
pasien mengalami gangguan refleks autonom seperti terjadinya bradikardi,
hipertensi paroksimal, distensi bladder.
e. Gangguan fungsi seksual
Banyak kasus memperlihatkan pada laki-laki adanya impotensi, menurunnya
sensasi dan kesulitan ejakulasi. Pasien dapat ereksi tetapi tidak dapat
ejakulasi.
2.2.6
Pemeriksaan Diagnostik Trauma Medulla Spinalis
1. Pemeriksaan neurologis lengkap secara teliti segera setelah pasien tiba di
rumah sakit
2. Pemeriksaan tulang belakang: deformasi, pembengkakan, nyeri tekan,
gangguan gerakan(terutama leher)
3. Pemerikaan radiologis: foto polos vertebra AP dan lateral. Pada servikal
diperlukan proyeksi khusus mulut terbuka (odontoid).
a. Sinar X spinal
Menentukan lokasi dan jenis Trauma tulan (fraktur, dislokasi), untuk
kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi.
b. Foto rontgen thorak, memperlihatkan keadan paru (contoh: perubahan
pada diafragma, atelektasis)
4. Bila hasil meragukan lakukan CT-Scan,bila terdapat defisit neurologi
harus dilakukan MRI atau mielografi.
a. CT-Scan
Menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun struktural
c. MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi
28
d. Mielografi
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor
putologisnya tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub
anakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah
mengalami luka penetrasi).
5. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vital, volume tidal): mengukur
volume inspirasi maksimal khususnya pada pasien dengan trauma
servikat bagian bawah atau pada trauma torakal dengan gangguan pada
saraf frenikus /otot interkostal).
6. GDA: Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi
7. Serum
kimia,
adanya
hiperglikemia
atau
hipoglikemia,
ketidakseimbangan elektrolit, kemungkinan menurunnya Hb dan Hmt.
8. Urodinamik, proses pengosongan bladder.
2.2.7
Penatalaksanaan Trauma Medulla Spinalis
Prinsip penatalaksanaan medik trauma medula spinalis adalah sebagai berikut:
1.
Segera dilakukan imobilisasi.
2.
Stabilisasi daerah tulang yang mengalami cedera seperti dilakukan
pemasangan collar servical, atau dengan menggunakan bantalan pasir.
3.
Mencegah progresivitas gangguan medula spinalis misalnya dengan
pemberian oksigen, cairan intravena, pemasangan NGT.
4.
Terapi pengobatan:
a.
Kortikosteroid seperti dexametason untuk mengontrol edema.
b.
Antihipertensi seperti diazolxide untuk mengontrol tekanan darah
akibat autonomic hiperrefleksia akut.
c.
Kolinergik seperti bethanechol chloride untuk menurunkan aktifitas
bladder.
d.
Anti depresan seperti imipramine hyidro chklorida untuk meningkatkan
tonus leher bradder.
e.
Antihistamin untuk menstimulus beta – reseptor dari bladder dan uretra.
f.
Agen antiulcer seperti ranitidine
g.
Pelunak fases seperti docusate sodium.
29
5.
Tindakan operasi, di lakukan dengan indikasi tertentu seperti adanya fraktur
dengan fragmen yang menekan lengkung saraf.
6.
Rehabilisasi di lakukan untuk mencegah komplikasi, mengurangi cacat dan
mempersiapkan pasien untuk hidup di masyarakat.
30
Algoritma Medula Spinal
Algoritma Spinal Cord Injury menurut U.S National Library of Medicine.
National Institute of Health.
31
2.2.8
Komplikasi Medulla Spinalis
Komplikasi yang dapat terjadi pasca cedera medula spinalis antara lain yaitu
instabilitas dan deformitas tulang vertebra, fraktur patologis, syringomyelia pasca
trauma, nyeri dan gangguan fungsi seksual. Komplikasi lain yang bisa terjadi yaitu:
1. Neurogenik shock
2. Hipoksia
3. Instabilitas spinal
4. Ileus paralitik
5. Infeksi saluran kemih
6. Kontraktur
7. Dekubitus
8. Konstipasi
2.2.9
Prognosis Trauma Medulla Spinalis
Sebuah penelitian Gaus, Syafruddin, dkk membuktikan bahwa kurang dari 5%
pasien dengan cedera medulla spinalis yang komplit dapat sembuh. Jika paralisis
komplit bertahan sampai 72 jam setelah cedera, kemungkinan pulih adalah 0%.
Prognosis lebih baik pada cedera medulla spinalis yang tidak komplit. Jika masih
terdapat beberapa fungsi sensorik, peluang untuk bisa berjalan kembali adalah lebih
dari 50%. Sembilan puluh persen pasien cedera medulla spinalis dapat kembali ke
rumah dan mandiri.
Perbaikan fungsi motorik, sensorik dan otonom dapat kembali dalam 1 minggu
sampai 6 bulan pasca cedera. Kemungkinan pemulihan spontan menurun setelah 6
bulan. Bila terjadi pergerakan penderita pada cedera yang tidak stabil maka akan
mempengaruhi medulla spinalis sehingga memperberat kerusakan.1,5,16 Ditinjau
dari cedera medulla spinalisnya, prognosis pasien ini adalah baik, karena terjadi
cedera yang inkomplit.
2.2.10 Pencegahan Trauma Medulla Spinalis
Faktor –faktor resiko dominan untuk cedara medulla spinalis meliputi usia, jenis
kelamin, dan penyalahgunaan obat. Frekuensi factor resiko ini dikaitkan dengan
cedera medulla spinalis bertindak untuk menekankan pentingnya pencegahan
32
primeruntuk mencegah kerusakan dan bencana cedera ini, langkah – langkah berikut
perlu dilakukan:
1. Menurunkan kecepatan berkendara.
2. Menggunakan sabuk pengaman.
3. Menggunakan helm untuk pengendara motor dan sepeda.
4. Mencegah jatuh.
5. Menggunakan alat – alat pelindung dan teknik latihan.
2.3 Syok Spinal
2.3.1
Definisi Syok Spinal
Spinal Shock (syok spinal) merupakan kehilangan aktifitas otonom,
refleks, motorik, dan sensorik pada daerah di bawah tingkat terjadinya cedera
medula spinalis. Syok Spinal terjadi sekunder akibat kerusakan pada medula
spinalis (Kowalak, 2011).
Spinal shock/syok pada medula spinalis adalah keadaan disorganisasi
fungsi medula spinalis yang fisiologis dan berlangsung untuk sementara
waktu, keadaan ini timbul segera setelah cedera dan berlangsung dari beberapa
jam hingga beberapa minggu. Syok spinal juga diketahui sebagai syok
neurogenik
adalah
akibat
dari
kehilangan
tonus
vasomotor
yang
mengakibatkan dilatasi vena dan arteriol umum. Syok ini menimbulkan
hipotensi, dengan penumpukan darah pada pembuluh penyimpan atau
penampung dan kapiler organ splanknik. Tonus vasomotor dikendalikan dan
dimediasi oleh pusat vasomotor di medulla dan serat simpatis yang meluas ke
medulla spinalis sampai pembuluh darah perifer secara berurutan. Karenanya
kondisi apapun yang menekan fungsi medulla atau integritas medulla spinalis
serta persarafan dapat mencetuskan syok neurogenik/syok spinal (Tambayong,
2000).
Jadi, syok spinal adalah kerusakan medulla spinalis sekunder yang
menyebabkan kehilangan aktifitas otonom, reflex, motoric, dan sensorik pada
daerah di bawah tingkat terjadinya medulla spinalis.
33
2.3.2
Etiologi Syok Spinal
Neurogenik syok disebabkan oleh beberapa faktor yang menganggu CNS.
Masalah ini terjadi akibat transmisi impuls yang terhambat dan hambatan
hantaran simpatik dari pusat vasomotor pada otak. Dan penyebab utamanya
adalah SCI . Syok neurogenik keliru disebut juga dengan syok tulang
belakang. kondisi berikutnya mengacu pada hilangnya aktivitas neurologis
dibawah tingkat cedera tulang belakang, tetapi tidak melibatkan perfusi
jaringan tidak efektif.
Tipe syok ini bisa disebabkan oleh banyak faktor yang menstimulasi
parasimpatik atau menghambat stimulasi simpatik dari otot vaskular. Trauma
pada syaraf spinal atau medulla dan kondisi yang mengganggu suplai oksigen
atau gulokosa ke medulla menyebabkan syok neorogenik akibat gangguan
aktivitas simpatik. Obat penenang, anestesi, dan stres hebat beserta nyeri juga
merupakan penyebab lainnya.
2.3.3
Patofisiologi Syok Spinal
Terjadinya syok spinal biasanya diawali dengan adanya trauma pada
spinal. Syok spinal merupakan hilangnya reflek pada segmen atas dan bawah
lokasi terjadinya cedera pada medulla spinalis. Reflek yang hilang antara lain
reflek yang mengontrol postur, fungsi kandung kemih dan usus, tekanan
darah, dan suhu tubuh. Hal ini terjadi akibat hilangnya muatan tonik secara
akut yang seharusnya disalurkan melalui
neuron dari otak untuk
mempertahankan fungsi reflek. Ketika syok spinal terjadi akan mengalami
regresi dan hiperrefleksia ditandai dengan spastisitas otot serta reflex
pengosongan kandung kemih dan usus (Corwin, 2009). Syok spinal akan
menimbulkan hipotensi, akibat penumpukan darah pada pembuluh darah dan
kapiler organ splanknik. Tonus vasomotor di medula dan saraf simpatis yang
meluas ke medula spinalis sampai pembuluh darah perifer secara berurutan.
Kerena itu kondisi yang menekan fungsi medula atau integritas medula
spinalis serta persarafan akan mengakibatkan syok neurogenik (Tambayong,
2000).
34
Syok spinal adalah kombinasi dari arefleksia / hiporefleksia dan disfungsi
otonom yang menyertai cedera tulang belakang. Hiporefleksia diawali dengan
hilangnya refleks cutaneus dan reflek tendon dalam (deep tendon reflexes)
disertai dengan hilangnya aliran simpatis, mengakibatkan hipotensi dan
bradikardia. Refleks umumnya kembali dalam pola tertentu, dengan refleks
cutaneus umumnya kembali sebelum refleks tendon dalam (Silver,2000).
Ko et AL telah dijelaskan pola tertentu kembalinya refleks dan yang
pertama kembali adalah Delayed Plantar Reflex (DPR), diikuti oleh
bulbocavernosis (BC) dan cremasteric reflex (CR), dan akhirnya reflek
pergelangan kaki dan lutut (AJ, KJ). Bulbocavernosous reflex (BCR) diperiksa
untuk menentukan akhir dari syok spinal. Menarik pada kateter Foley juga
dapat menimbulkan Bulbocavernosous reflex (BCR) (Ko et Al,2000). Hal ini
biasanya kembali 1 sampai 3 hari setelah cedera. Terdapat 4 fase shok spinal
yaitu:
1. Fase I: areflexia/hyporeflexia (0–1 hari)
Fase pertama terjadi 0-24 jam setelah cedera. Bila SCI (Spinal Cord
Injury) Complete, diawali dengan hilangnya DTR(deep tendon reflexes)
seperti ankle jerk (AJ) atau refleks Achilles dan knee jerk (KJ) atau
refleks patella disertai otot yang lemah dan lumpuh. Selama periode ini
reflek cutenous (polysynaptic) mulai pulih seperti bulbocavernosus (BC),
Anal Wink (AW), dan cremasteric (CM). Refleks patologis, Delayed
Plantar Response (DPR) yang pertama kembali dan dapat diamati setelah
beberapa jam setelah cedera. Saat terjadi SCI, rangsangan menjadi hilang
dan neuron spinal menjadi tidak terangsang. Ini merupakan penyebab
utama depresi refleks selama syok spinal. Refleks depresi mungkin juga
karena peningkatan penghambatan tulang belakang. Hiperpolarisasi
lumbar neuron motorik dan interneuron kemudian kurang merespon
untuk refleks input segmental. Secara klinis, ini adalah hiporefleksia syok
spinal. Hiporefleksia diamati dengan lesi di bawah level mid-pons; lesi di
atas tingkat ini menghasilkan kekakuan deserebrasi. hiporefleksia shock
spinal, bagaimanapun, segera muncul setelah SCI. Jadi, meskipun
35
perubahan metabolik dan struktural dapat berkontribusi untuk awal
hiporefleksia, ini mungkin bukan penyebab utama.
2. Fase 2 initial reflex return (1–3 hari)
Fase ini syok spinal berlangsung selama 1-3 hari postinjury. Refleks
cutaneous (BC, AW, dan cremasteric) menjadi lebih kuat selama periode
ini. Biasanya, DTR masih tidak ada. Pada fase ini akan terjadi mekanisme
denervasi supersensitivity yang meliputi: (1) mengurangi rangsang
neurotransmitter reuptake, (2) peningkatan sintesis dan masuknya
reseptor dalam
membran
postsinaps
(3) menurunkan
pelepasan
danpenurunan reseptor, dan (4) mengubah sintesis dan komposisi subunit
reseptor.
3. Fase 3 early hyper-reflexia (4 hari-1 bulan)
Kebanyakan DTR pertama muncul kembali selama periode ini. AJ
biasanya kembali lebih dulu daripada KJ dan tanda Babinski. Refleks
cutaneous (BC, AW, dan CM) biasanya muncul pada akhir periode ini.
Meskipun pada umumnya, waktu pengembalian refleks bervariasi bahkan
setelah SCI complete karena perbedaan rangsangan refleks antara subyek.
Fungsi otonom terus berkembang dengan membaiknya saraf vagus
dimediasi bradiaritmia dan hipotensi. Disrefleksia otonom dapat mulai
muncul. Hal ini biasanya disebabkan oleh viskus membesar (misalnya,
kandung kemih atau usus) bertindak sebagai stimulus menyebabkan
aliran simpatis masif di bawah zona cedera, yang tidak diatur oleh Input
supraspinal.
4. Fase 4 spasticity/hyper-reflexia (1–12 bulan)
Tahap keempat syok spinal terjadi antara 1 dan 6 bulan pasca cedera.
DPR telah menghilang di sebagian besar kasus. Refleks kulit, DTR, dan
BS menjadi hiperaktif dan menanggapi rangsangan minimal. Vasovagal
hipotensi dan bradiaritmia diselesaikan dalam 3-6 minggu. Kemudian 4
hari-4 minggu pertumbuhan sinaps, akson pendek dan / atau akson
disediakan. Setelah itu 1-12 bulan pertumbuhan sinaps, akson panjang
dan soma disediakan. (Ditunno, Little, Tessler, & Burns, 2004)
36
Tabel Mekanisme 4 Fase Syok Spinal (Ditunno et al., 2004)
2.3.4
Manifestasi Klinis Syok Spinal
Hilangnya sensasi,control motorik, dan reflek dibawah cedera. Suhu
didalam tubuh akan menggambarkan suhu yang ada di lingkungan, kemudian
tekanan darah akan menurun. Sedangkan frekuensi denyut nadi sering normal
akan tetapi tetap disertai tekanan darah yang selalu rendah (Corwin, 2009).
2.3.5
Penatalaksanaan Syok Spinal
Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien dengan kondisi shock
spinal adalah sebagai berikut:
1. Imobilisasi pasien untuk mencegah semakin beratnya cedera medulla
spinalis atau kerusakan tambahan
2. Kolaborasi tindakan pembedahan untuk mengurangi tekanan pada medulla
spinalis akibat terjadinya trauma yang dapat mengurangi disabilitas jangka
panjang.
3. Pemberian steroid dosis tinggi secara cepat (satu jam pertama) untuk
mengurangi pembengkakan dan inflamasi medulla spinalis serta
mengurangi luas kerusakan permanen.
4. Fiksasi kolumna vertebralis melalui tindakan pembedahan untuk
mempercepat dan mendukung proses pemulihan.
5. Terapi fisik diberikan setelah kondisi pasien stabil.
37
6. Penyuluhan dan konseling mengenai komplikasi jangka panjang seperti
komplikasi pada kulit, system reproduksi, dan system perkemihan dengan
melibatkan anggota keluarga (Corwin, 2009).
Sedangkan menurut Batticaca dan Fransisca B (2008) penatalaksanaan
syok spinal yaitu :
1. Lakukan kompresi manual untuk mengosongkan kandung kemih secara
teratur agarmencegah terjadinya inkontinensia overfloe dan dribbling.
2. Lakukan pengosongan rectum dengan cara tambahkan diet tinggi serat,
laksatif, supposutoria, enema untuk BAB atau pengosomngan secara
teratur tanta terjai inkontinensia.
Menurut Baughman (2000) penatalaksanaan yang diberikan pada pasien
yang mengalami shock spinal adalah:
1. Gunakan dekompresi intestinal untuk mengatasi distensi usus dan paralitik
ileus yang disebabkan oleh depresi refleks.
2. Berikan pengamatan ketat pada pasien yang tidak berkeringan pada bagian
tubuh yang mengalami paralisis dan untuk deteksi dini awitan demam
mendadak
3. Sanggah dan pertahankan ketahanan tubuh sampai syok spinal menghilang
dan sistem telah pulih akibat serangan traumatik (3-6 minggu)
4. Berikan perhatian khusus pada sistem pernapasan (kemungkinan tekanan
intratorakal tidak mencukupi untuk menghasilkan batuk secara efektif
5. Berikan terapi fisik dada dan penghisapan untuk membantu membersihkan
sekresi pernapasan.
6. Pantau komplikasi pernapasan (gagal pernapasan, pneumonia)
7. Pantau terhadap hiperefleksia (ditandai dengan sakit kepala berdenyut,
banyak berkeringat, hidung tersumbat, piloereksi atau bulu kuduk berdiri,
bradikardia, hipertensi)
8. Pertahankan pengawasan konstan terhadap tanda dan gejala luka dekubitus
dan infeksi (perkemihan, pernapasan, infeksi setempat pada tempat pin)
38
9. Amati terhadap trombosis vena dalam, yakni embolisme pulmonal. Gejalagejalanya termasuk nyeri dada pleuritik, ansietas, sesak napas, dan nilai
gas darah abnormal.
10. Berikan terapi antikoagula