BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Program Pendidikan Inklusi 2.1.1 Pendidikan Inklusi - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Pelaksanaan Program Pendidikan Inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Program Pendidikan Inklusi

2.1.1 Pendidikan Inklusi

  Pendidikan inklusi adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan ABK belajar di sekolah terdekat bersama teman seusianya, sekolah penyelenggara pendidikan inklusi adalah sekolah yang menampung semua murid di sekolah yang sama, sekolah menyediakan program pendidikan yang dapat mengakomodasi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid, keberhasilan anak dibantu dengan adanya dukungan dari para guru (Wathoni, 2005: 101). Hal ini juga diungkapkan oleh Kustawan (2012: 7) pendidikan inklusi adalah sistem pendidikan yang terbuka bagi semua individu serta mengakomodasi semua kebutuhan sesuai dengan kondisi masing-masing individu. Didukung juga dengan pendapat Ilahi (2013: 23) yang menjelaskan bahwa pendidikan inklusi merupakan konsep pendidikan yang tidak membeda-bedakan latar belakang kehidupan anak karena keterbatasan fisik maupun mental.

  Dalam konteks yang lebih luas, pendidikan inklusi juga dapat dimaknai sebagai satu bentuk reformasi pendidikan yang menekankan sikap anti diskriminasi, perjuangan persamaan hak, keadilan dan perluasan akses pendidikan, meningkatkan mutu pendidikan, sebuah upaya strategis penuntasan wajib belajar 9 tahun, serta sebagai upaya mengubah sikap masyarakat terhadap ABK (Ilahi, 2013: 25). Permendiknas No. 70 tahun 2009 didefinisikan sebagai sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki keterbatasan, memiliki cerdas dan bakat istimewa untuk mendapatkan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.

  Sejalan dengan hal tersebut, Ahsan (2014) mendefinisikan dalam terjemahan bahasa Indonesia, bahwa “pendidikan inklusif sekarang dianggap sebagai strategi yang layak untuk menciptakan anak/ penyandang cacat, anak-anak dari etnis yang berbeda dan keragaman bahasa, anak-anak yang berasal dari latar belakang yang kurang beruntung secara sosial dan juga isu- isu gender”. Hal ini juga di dukung oleh pernyataan dari Direktorat Pembinaan PKLK Dikdas dalam Sartika dan Ismanto (2016: 51) menyebutkan bahwa pendidikan inklusif diberikan kepada “semua anak terlepas dari kemampuan ataupun ketidakmampuan mereka, jenis kelamin, status sosial-ekonomi, suku, latar belakang budaya atau bahasa dan agama menyatu dalam komunitas sekolah yang sama”.

  Dari uraian diatas, pendidikan inklusi merujuk pada suatu sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus untuk belajar di sekolah-sekolah terdekat, konsep terbuka bagi semua serta tidak membeda-bedakan latar belakang kehidupan anak. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusi adalah sekolah yang menampung semua murid yang sama, mengakomodasi semua kebutuhan kondisi masing-masing individu karena keterbatasan fisik maupun mental, serta sekolah juga menyediakan program pendidikan yang layak dan menantang, tetapi disesuaikan dengan dukungan yang diberikan oleh guru dapat membantu agar anak-anak berhasil.

  Dalam konteks yang lebih luas, pendidikan inklusi merupakan satu bentuk reformasi pendidikan dan dianggap sebagai sebuah strategi yang layak untuk menciptakan pembelajaran lingkungan ramah untuk anak, penyandang cacat, serta semua anak dapat terlepas dari kemampuan dan ketidakmampuan mereka kemudian menyatu dalam satu komunitas sekolah yang sama, tanpa memandang adanya perbedaan diantara satu sama lainnya.

  Pendidikan inklusi dalam penelitian ini, peneliti memberikan batasan penelitian yaitu terkhusus pada ABK yang ada di SMP Negeri 7 Salatiga. ABK yang dimaksud yaitu anak-anak yang mengalami hambatan keterbatasan fisik maupun mental.

2.2 Tujuan dan Manfaat Program Pendidikan Inklusi

  Menurut Alfian (2013: 75) program pendidikan inklusi di Indonesia diselenggarakan dengan tujuan: a.

  Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak (termasuk anak yang layak sesuai dengan kebutuhannya b. Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar c.

  Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah.

  d.

  Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran

  e. amanat konstitusi/ peraturan Memenuhi perundang-undangan:

  1) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 ayat (1) 2) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 ayat (2); 3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003; 4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002; 5) Permendiknas No 70 tahun 2009

  Manfaat program pendidikan inklusi menurut Lab PAUD Inklusi Fakultas Psikologi UGM menerapkan prinsip pendidikan inklusi yang melibatkan anak dari berbagai latar belakang kemampuan belajar dan kondisi jasmani, yaitu:

  Bagi anak berkebutuhan khusus: 1) memiliki perasaan bersatu dengan anak-anak lain dan terhindar dari label negatif akibat pemisahan pendidikan; 2) mempunyai kesempatan belajar menyesuaikan diri dengan teman sebaya; 3) mendapat pengalaman hidup yang nyata dan realistis sebagai persiapan kehidupan di masyarakat; 4) Dapat belajar langsung dari teman sebaya tentang berbagai macam kemampuan.

  b.

  Bagi anak tidak berkebutuhan khusus: 1) dapat mengembangkan kecerdasan emosional dengan berkembangnya rasa empati dan solidaritas; 2) memiliki kesempatan belajar secara langsung,nyata, serta objektif mengenai berbagai karakteristik teman sebaya; 3) menyadari bahwa setiap individu adalah unik dengan ciri karakteristik yang khas dan kemampuan yang berbeda-beda.

2.3 Implikasi Manajerial Program Pendidikan Inklusi

  Direktorat PPK-LK (2011: 11) untuk mengoptimalkan layanan pendidikan di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif, dalam pengelolaannya perlu memperhatikan hal-hal berikut:

  Sekolah menerapkan sistem manajemen berbasis sekolah dalam perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengoordinasian, pengawasan dan pengevaluasian, baik yang berkaitan dengan peserta didik, kurikulum, ketenagaan, sarana dan prasarana serta penataan lingkungan

  2. Sekolah menyiapkan sistem pengelolaan kelas yang mampu mengakomodasi heterogenitas kebutuhan khusus peserta didik 3. Sekolah menyediakan kondisi kelas yang hangat, ramah, menerima keanekaragaman dan menghargai perbedaan 4. Guru memiliki kompetensi pembelajaran bagi semua peserta didik termasuk kompetensi pembelajaran bagi peserta didik berkebutuhan khusus

  5. memiliki kemampuan dalam Guru mengoptimalkan peran orang tua, tenaga professional, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan komite sekolah dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran di sekolah.

2.4 Karakteristik Pendidikan Inklusi

  Zakia (2015: 111-112) menyatakan Pendidikan Inklusi memiliki karakteristik, yaitu:

  Pendidikan Inklusi adalah proses yang berjalan terus dalam usahanya menemukan cara-cara merespon keragaman individu anak;

  (2) Pendidikan inklusi berarti memperoleh cara-cara untuk mengatasi hambatan-hambatan anak dalam belajar;

  (3) Pendidikan inklusi membawa makna bahwa anak mendapat kesempatan untuk hadir (di sekolah), berpartisipasi dan mendapatkan hasil belajar yang bermakna dalam hidupnya; dan

  (4) Pendidikan inklusi diperuntukkan bagi anak-anak yang tergolong marginal, esklusif dan membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajar.

  Direktorat PPK-LK (2011: 10-11) menyatakan penyelenggaraan pendidikan inklusif didasarkan pada beberapa prinsip sebagai berikut: 1) Pemerataan dan peningkatan mutu (Pendidikan inklusi memungkinkan pemerataan layanan pendidikan dan pemberian akses pada semua anak); 2) Keberagaman (Pendidikan diupayakan menyesuaikan kebutuhan dan karakteristik siswa yang berbeda); 3) Kebermaknaan (Pendidikan menciptakan kelas yang ramah, menerima, bermakna bagi kemandirian peserta didik); 4) Keberlanjutan (Diselenggarakan secara berkelanjutan pada semua jenis, jalur dan jenjang pendidikan); 5) Keterlibatan (Penyelenggaraan pendidikan inklusi harus melibatkan seluruh komponen pendidikan terkait).

  Kualitas pendidikan inklusi sangat berpengaruh pada mutu pendidikan, maka dari itu komponen dalam berbagai bidang harus diperhatikan, komponen-komponen tersebut antara lain:

1. Kurikulum

  Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan, karena kurikulum merupakan acuan untuk berjalannya suatu pendidikan. Kurikulum yang digunakan untuk program pendidikan inklusi berdasarkan pada standar nasional pendidikan. Untuk pelaksanaannya, kurikulum yang telah ditentukan harus dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan, perkembangan dan karakteristik peserta didik. Modifikasi dilakukan untuk menyederhanakan kurikulum pada realitas yang komplek, selain itu modifikasi dilakukan untuk memfokuskan pada praktek kurikulum terdiri dari kepala sekolah, guru kelas, guru mata pelajaran, guru pendidikan khusus, konselor, psikolog, dan ahli lain yang terkait (Ilahi, 2013; 171, Kemendikbud, 2012: 42, Tarmansyah, 2007: 145).

  2. Tenaga Pendidik (Guru) Sekolah yang menyelenggarakan program pendidikan inklusi harus memenuhi standar kualifikasi yang telah ditentukan dan guru harus memiliki kompetensi dalam menangani anak berkebutuhan khusus. Guru yang yang berperan dalam pelaksanaan program pendidikan meliputi guru kelas, guru mata pelajaran, dan guru pembimbing khusus (GPK) (Kemendikbud, 2012: 43, Kustawan, 2012: 73) 3. Peserta Didik

  Tujuan pendidikan inklusi agar setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial dan memiliki bakat istimewa atau potensi kecerdasan mendapatkan hak belajar yang sama dengan anak normal lainnya (Kemendikbud, 2012: 40).

  4. Pendekatan Pembelajaran Guru berperan untuk menciptakan lingkungan semua anak. Kelas yang inklusi dapat diartikan sebagai suatu tempat belajar yang menyenangkan dan merangsang anak untuk belajar (Maftuhatin, 2014: 208).

  5. Proses Pembelajaran Proses pembelajaran yang ramah esensinya pada seorang guru yang memahami setiap anak didiknya sebagai individu yang memiliki keunikan, kemampuan, minat, kebutuhan, dan karakteristik yang berbeda-beda, pemahaman tersebut sangat penting dalam menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Kompetensi dan materi pelajaran disesuaikan dengan potensi atau kebutuhan individu yang bersangkutan. Terlaksananya proses pembelajaran yang ramah didasarkan oleh pelaksanaan observasi dan asesmen yang terencana (Maftuhatin, 2014: 208).

  6. Sistem Evaluasi Setting pendidikan inklusif, sistem penilaian yang diharapkan di sekolah yaitu sistem penilaian yang fleksibel. Penilaian yang disesuaikan dengan kompetensi semua anak termasuk anak berkebutuhan khusus. Penilaian dapat berupa evaluasi di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif tergantung terhadap kurikulum yang dipakai disekolah itu, artinya jika sekolah memakai kurikulum duplikasi, maka sistem evaluasinya pun disamakan dengan yang diberlakukan anak pada umumnya. Dan jika, sekolah itu memakai kurikulum modifikasi tentunya sistem evaluasinya pun harus dimodifikasi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan siswa berkebutuhan khusus. Perubahan tersebut bisa berkaitan dengan soal ujian, perubahan dalam waktu evaluasi, tehnik cara evaluasi, atau tempat evaluasi dan lain-lain. Termasuk juga bagian dari modifikasi evaluasi adalah perubahan dalam kriteria kelulusan, sistem kenaikan kelas, bentuk raport, ijazah dan lain-lain (Maftuhatin, 2014: 209).

  7. Sarana dan Prasarana Sekolah yang melaksanakan program pendidikan inklusi hendaknya menyediakan sarana dan prasarana yang memadai dan dapat menjamin kebutuhan peserta didik, sehingga proses pembelajaran dapat dilakukan dengan baik khususnya bagi anak berkebutuhan khusus

  8. Keuangan Keuangan merupakan salah satu faktor penting bagi terlaksana program pendidikan inklusi di sekolah, karena pemenuhan sarana dan prasarana, untuk proses pelaksanaan program, kegiatan identifikasi input siswa, modifikasi kurikulum, pemberdayaan peran masyarakat, dan pemberian insentif tenaga pendidik membutuhkan biaya (Kartikha, 2016).

2.5 Evaluasi Program

2.5.1 Konsep Evaluasi Program

  Ada beberapa pendapat tentang evaluasi program antara lain: Menurut Widoyoko (2013: 10) menyatakan evaluasi program merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja dan secara cermat untuk mengetahui tingkat keterlaksanaan atau keberhasilan suatu program dengan cara mengetahui efektifitas masing-masing komponennya, baik terhadap program yang sedang berjalan maupun program yang telah berlalu. Sejalan dengan hal ini Suharsimi (2010: 18) menjelaskan Evaluasi program adalah upaya untuk mengetahui tingkat keterlaksanaan suatu kebijaksanaan secara cermat komponennya. Selanjutnya Tayibnapis (2008) menambahkan suatu evaluasi program harus mengumpulkan informasi yang valid, informasi yang dapat dipercaya, informasi yang berguna untuk program yang dievaluasi. Informasi dari program yang ingin dievaluasi haruslah jelas dan berdasarkan kondisi nyata sehingga evaluasi dapat berjalan sesuai dengan tujuan dan mendapatkan hasil yang maksimal.

  Dari beberapa pendapat di atas, dapat di pahami bahwa evaluasi program adalah rangkaian kegiatan dalam upaya untuk mengumpulkan informasi yang dilakukan dengan sengaja dalam tingkat keterlaksanaan secara cermat, valid dan dapat dipercaya serta berguna untuk di evaluasi, untuk mengetahui tingkat keberhasilan kebijakan suatu program dengan cara mengetahui efektivitas dari masing-masing komponen terhadap program yang sedang berjalan maupun program yang berlalu sehingga evaluasi dapat berjalan sesuai tujuan dan mendapat hasil yang maksimal.

  Berkaitan dengan evaluasi program Pendidikan Inklusi, penelitian ini berupaya untuk mengumpulkan dan menganalisis informasi sehingga dapat diketahui faktor-faktor penghambat program Pendidikan Inklusi, dirumuskan rekomendasi mengenai cara-cara mengatasi hambatan yang pada akhirnya dapat bermanfaat dalam mengambil keputusan tentang keberlanjutan dan perbaikan Program Pendidikan Inklusi.

2.5.2 Tujuan Evaluasi Program

  Suharsimi (2010) menjelaskan bahwa tujuan diadakannya evaluasi adalah untuk mengetahui keterlaksanaan kegiatan program, karena evaluator program ingin mengetahui bagian mana dari komponen dan subkomponen program yang belum terlaksana dan apa sebabnya. Secara umum penelitian evaluasi diperlukan untuk merancang, menyempurnakan, dan menguji pelaksanaan suatu praktik pendidikan (Sukmadinata, 2010: 121). Sejalan dengan pendapat tersebut Wirawan (2012: 22) menyatakan bahwa evaluasi dilaksanakan untuk mencapai berbagai tujuan sesuai dengan objek evaluasinya, tujuan melaksanakan evaluasi yaitu: a) mengukur pengaruh program terhadap masyarakat, b) menilai apakah program telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, c) mengukur apakah pelaksanaan dapat mengidentifikasi dan menemukan mana dimensi program yang jalan dan mana yang tidak berjalan.

  Berdasarkan beberapa pendapat diatas, dapat dipahami bahwa tujuan Evaluasi program adalah untuk mengetahui, merancang keterlaksanaan berbagai tujuan kegiatan program untuk menyempurnakan sesuai dengan objek evaluasinya. Evaluator ingin mengetahui dan menguji tujuan dari pelaksanaan evaluasi dengan melihat bagaimana komponen dan subkomponen dalam suatu praktik yang belum terlaksana dalam bidang pendidikan dengan mengukur, menilai, megidentifikasi dan menemukan mana dimensi program yang jalan dan mana yang tidak berjalan.

  Taylor-Powell, dkk (Arikunto dan Jabar, 2009: 86) mengidentifikasi beberapa dimensi umum yang biasanya ingin digali dalam tujuan evaluasi suatu program, yaitu: 1.

  Dampak/ pengaruh program. Dalam dimensi ini, evaluator akan mengkaji seberapa jauh program yang akan, sedang atau telah dijalankan memiliki konsekuensi terhadap konteks, partisipan dan subjek, sistem atau lainnya

  Implementasi program. Evaluator melakukan kajian terhadap seberapa jauh pelaksanaan program ini akan dan sedang dijalankan 3. Konteks program. Evaluator mengamati dan mengkaji kondisi konteks (lingkungan) dari program yang akan, sedang dan telah dijalankan, seberapa jauh keterkaitannya dan apa saja konteksnya

  4. Kebutuhan program. Evaluator mrnkaji tentang faktor-faktor penentu keberhasilan program dan keberlanjutan program dan keberlanjutannya di masa yang akan datang

2.5.3 Manfaat Evaluasi Program

  Evaluasi program sangat penting dan bermanfaat untuk memberikan sebuah rekomendasi dari evaluator kepada pengambil keputusan untuk menentukan tindak lanjut dari program yang sedang berjalan atau telah dilaksanakan. Menurut Arifin (2009: 4) menguraikan manfaat evaluasi program yaitu dapat memberikan informasi yang akurat dan objektif bagi pembuat kebijakan untuk mengambil keputusan. Keputusan yang diambil yaitu: a) menghentikan program, b) merevisi program, c) melanjutkan program, d) menyebarluaskan program. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Arikunto bermanfaat untuk memutuskan: 1) menghentikan program, karena dipandang bahwa program tidak ada manfaatnya, atau tidak dapat terlaksana sebagaimana yang diharapkan; 2) merevisi program, karena terdapat bagian-bagian yang kurang sesuai dengan harapan (terdapat kesalahan tetapi hanya sedikit); 3) melanjutkan program, karena pelaksanaan program menunjukkan bahwa segala sesuatu sudah berjalan sesuai dengan harapan dan memberikan hasil yang bermanfaat; 4) menyebarluaskan program, karena program tersebut berhasil dengan baik jika dilaksanakan lagi di tempat dan waktu yang lain.

  Dari penjelasan diatas, manfaat evaluasi program adalah memberikan informasi yang akurat dan objektif bagi pembuat kebijakan untuk mengambil keputusan, dengan keputusan yang dapat diambil ialah menghentikan program, merevisi program, melanjutkan program dan menyebarluas program.

  Ada beberapa model evaluasi yang dikenal dan digunakan untuk mengevaluasi di bidang pendidikan. Model evaluasi muncul karena adanya usaha eksplanasi secara kontinu yang diturunkan manusia untuk berusaha menerapkan prinsip- prinsip evaluasi pada cakupan yang lebih abstrak pada bidang ilmu pendidikan, perilaku dan seni (Sukardi, 2010). Model-model evaluasi menurut Arikunto dan Jabar (2009: 40-41) yang banyak digunakan yaitu Goal Oriented Evaluation Model dikembangkan oleh Tyler, Goal Free Evaluation Model dikembangkan oleh Scriven, Formatif Sumatif

  

Evaluation Model dikembangkan oleh Michael

  Schiven, Countenance Evaluation Model and

  

Responsive Evaluation Model dikembangkan oleh

  Stake, CSE-UCLA Evaluation Model menekankan pada “kapan” evaluasi dilakukan, CIPP Evaluation

  

Model dikembangkan Stufflebeam dan Discrepancy

Model dikembangkan oleh Malcolm Provus.

2.6 Model Evaluasi Kesenjangan (Discrepancy

  Evaluation Model)

  Evaluasi terhadap Program Pendidikan Inklusi pada dasarnya membutuhkan jenis model yang sesuai. Dilihat dari substansinya bahwa evaluasi ini berupaya untuk melihat rancangan, pengoperasian, hasil sementara dan hasil akhir dari program yang dijalankan. Pada bagian akhir evaluasi yang dilakukan akan memberikan rekomendasi terhadap substansi yang ada, tidak semua model evaluasi yang sama dapat digunakan pada evaluasi program.

  Berdasarkan atas pertimbangan tersebut, evaluasi pelaksanaan Program Pendidikan Inklusi menggunakan Model Kesenjangan (Discrepancy

  

Model) yang dikembangkan oleh Malcolm Provus

  (1971) dalam bukunya berjudul Discrepancy

  

Evaluation. Provus percaya bahwa evaluasi

  merupakan suatu seni (arts) melukiskan ketimpangan antara standar kinerja dengan kinerja yang terjadi (Wirawan, 2012: 106).

  Kata discrepancy adalah istilah bahasa inggris, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “kesenjangan”. Model yang dikembangkan oleh Malcolm Provus ini merupakan model yang menekankan pada pandangan adanya kesenjangan di dalam pelaksanaan program, evaluasi program yang dilakukan oleh evaluator mengukur besarnya kesenjangan yang ada di setiap komponen. Evaluasi yang menekankan pada kesenjangan yang sebetulnya merupakan persyaratan umum bagi semua kegiatan evaluasi, yaitu mengukur adanya perbedaan antara yang seharusnya dicapai dengan yang sudah rill di capai (Arikunto & Jabar, 2009: 48). sebagai proses yang mencakup (a) Kesepakatan tentang standar tertentu; (b) menentukan ada/ tidak ada kesenjangan yang muncul antara performasi dan aspek program dengan perangkat standar tertentu; (c) menggunakan informasi tersebut sebagai dasar membuat keputusan untuk mengembangkan, melanjutkan, atau menghentikan program tersebut (Fitzpatrick, Sanders & Worthen dalam Wahyu, 2015: 182). Berdasarkan pemahaman tersebut, peneliti memandang bahwa Model Evaluasi Kesenjangan (Discrepancy Evaluation Model) memiliki beberapa keunggulan, yaitu: 1) model ini merupakan prosedur dari problem solving, 2) dapat melakukan perbandingan pada pencapaian program, 3) dapat membuat pertimbangan atas kekurangan dan kelebihan suatu program berdasarkan standar yang telah ditetapkan, 4) dapat mengidentifikasi standar yang akan digunakan selanjutnya.

  Komponen yang perlu diperhatikan pada evaluasi model kesenjangan menurut Malcolm Provus adalah sebagai berikut: 1) desain merupakan kegiatan dalam merumuskan program yang didalamnya melibatkan siswa, staff dan sumber daya yang ada untuk melakukan suatu aktivitas dalam yang menentukan sebuah program sebagai standar untuk mempertimbangkan langkah-langkah proses pelaksanaan program. 3) proses merupakan kegiatan evaluasi yang mengupayakan memperoleh data tentang sejauh mana program telah berjalan dalam mencapai tujuan yang diharapkan. 4) produk merupakan hasil dari tujuan program yang telah dicapai. 5) analisis biaya dan manfaat merupakan suatu kegiatan membandingkan penggunaan biaya yang dikeluarkan dengan hasil yang dicapai (Clare Rose & Glenn F Nyre, 1977: 15, Wirawan, 2012). Pada penelitian ini, peneliti memberikan batasan evaluasi pada tahap desain, instalasi, proses dan produk.

  Menurut Suharsimi (2010) Tujuan dari evaluasi kesenjangan adalah (1) untuk menentukan apakah program perlu diperbaiki, dipertahankan atau dihentikan, (2) untuk mengidentifikasi kelemahan (sesuai dengan standar yang dipilih) dan untuk mengambil tindakan perbaikan dengan penghentian program sebagai pilihan terakhir, (3) langkah-langkah dalam evaluasi kesenjangan.

2.7 Penelitian Yang Relevan

  relevan dengan penelitian evaluasi Program Pendidikan Inklusi dan dapat dijadikan sebagai bahan referensi, antara lain:

  Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Mitiku et all (2014) dengan judul “Challenges and Opportunities

  to Implement Inclusive Education

  ”. Hasil penelitian menemukan bahwa walaupun ada beberapa peluang yang mendukung pendidikan inklusi, hal itu tidak dapat dianggap sebagai jaminan karena kurangnya kesadaran, komitmen, dan kerjasama. Serta ada tantangan nyata yang menghambat implementasi penuh dari pendidikan inklusif. Secara umum dapat disimpulkan bahwa tantangan lebih besar daripada kesempatan pada implementasi penuh dari pendidikan inklusif dan harus ada kerjasama yang kuat antar pemangku kepentingan, LSM, dan badan- badan yang bersangkutan untuk mewujudkan perjalanan menuju pendidikan inklusi.

  Penelitian lain juga dilakukan oleh Sunardi, dkk (2011) dengan judul “The Implementation of

  

Inclusive Education for Students with Special Needs in

Indonesia

  ”. Hasil penelitian menunjukkan, kebanyakan sekolah-sekolah telah mengembangkan rencana strategis (untuk program inklusif), namun struktur organisasi mereka.

  Selain penelitian diatas, Sari (2012), menghasilkan pelaksanaan inklusi di SD Negeri 14 Pakan Sinayan Payakumbuh tidak berjalan sebagai mana mestinya. Dalam mengidentifikasi, asesmen, RPP, PPI, tanggung jawab dan peranan guru, sarana dan prasarana penting dilakukan serta menjadi penentu keberhasilan program inklusi di SD Negeri 14 pakan Sinayan Payakumbuh. Sebaiknya para guru, GPK, kepala sekolah memang benar-benar melakukan tanggung jawabnya dan tahu tugasnya sebagai penyelenggaraan sekolah inklusi.

  Penelitian lain juga dilakukan oleh Sartika dan Ismanto (2016), dengan hasil penelitian bahwa program pendidikan inklusi sudah memenuhi kebutuhan siswa, fasilitias khusus tidak mencukupi bagi anak berkebutuhan khusus, kompetensi guru cukup baik, belajar secara umum dengan memperhatikan setiap individu, prestasi akademik dan non akademik adalah siswa dengan kebutuhan khusus yang cukup baik.

  Penelitian lain juga dilakukan oleh Maftuhatin (2014) dengan judul “Evaluasi Pembelajaran ABK di Kelas Inklusif di SD Plus Darul ‘Ulum Jombang”. pembelajaran sudah cukup bagus karena guru sudah menerapkan dua metode dalam evaluasi yaitu dengan soal yang disamakan dengan reguler dan yang kedua dengan soal sesuai dengan kebutuhan mereka, disertai dengan portofolio yang mencatat perkembangan mereka selama pembelajaran.

  Kemudian, penelitian yang dilakukan oleh Sulistyadi

  (2014) dengan judul “Implementasi Kebijakan Penyelenggaraan Layanan Pendidikan Inklusif di Kabupaten Sidoarjo”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jalannya implementasi kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Kabupaten Sidoarjo telah terlaksana sebagaimana yang diharapkan.

  Penelitian yang dilakukan oleh Widyawati (2013). Hasil penelitiannya menujukkan bahwa sekolah sudah mendapat izin dan juga panduan untuk melaksanakan program inklusif. Infrastruktur khusus tidak memadai, kurikulum sudah dimodifikasi, penelitian khusus belum tersebar merata dan tidak ada asisten khusus di sekolah.

  Kompetensi guru cukup memadai dalam menangani anak dengan kebutuhan khusus, perlakuan tidak ada pemantauan terus menerus dari departemen pemerintah terkait. Anak berkebutuhan khusus yang berprestasi dan tidak berprestasi sudah dilayani dengan baik. Kemudian peneliti memberikan rekomendasi untuk sekolah serta departemen pemerintah terkait demi kelanjutan pelaksanaan program.

  Penelitian yang dilakukan oleh Lukitasari (2017) dengan judul “Evaluasi Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusi di Kota Salatiga”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi kebijakan pendidikan inklusif di Salatiga ini dinilai baik, yaitu dengan pencapaian 65%. Komunikasi merupakan aspek yang paling baik adalah sumber daya. Dampak kebijakan ini terlihat dari meningkatnya jumlah peserta didik ABK di sekolah regular dari tahun ke tahun dan berkurangnya diskriminasi yang dialami siswa ABK oleh teman sebaya, guru dan masyarakat.

  Berdasarkan penelitian Mitiku et al (2014) Memandang kurangnya kesadaran, komitmen, dan kerjasama. Serta ada tantangan nyata yang menghambat implementasi penuh dari pendidikan inklusif. Sunardi, dkk (2011) menunjukkan, dalam sekolah ini telah mengembangkan rencana strategis (untuk program inklusif), secara resmi mengangkat para koordinator, melibatkan beberapa kelompok terkait, dan menyelenggarakan serangkaian rapat kegiatan rutin. Sari (2012), dalam penelitiannya menyimpulkan pelaksanaan inklusi di SD Negeri 14 Pakan Sinayan Payakumbuh tidak berjalan sebagai mana mestinya. Sartika dan Ismanto (2016) menunjukkan hasil konteks evaluasi menunjukkan bahwa program telah memenuhi kebutuhan PI dan orang tua siswa dengan kebutuhan khusus, hasil input evaluasi menunjukkan bahwa fasilitas khusus tidak mencukupi, hasil proses evaluasi menunjukkan bahwa Departemen Pendidikan Palangka Raya baru memantau dan mengevaluasi, evaluasi produk menunjukkan bahwa prestasi akademik dan non akademik adalah siswa dengan kebutuhan khusus yang cukup baik. Maftuhatin (2014) menunjukkan bahwa evaluasi pembelajaran sudah cukup bagus. Sulistyadi (2014) hasil penelitian menyimpulkan bahwa jalannya impelementasi kebijakan penyelenggaraan pendidikan telah terlaksana sebagaimana yang diharapkan. Widyawati (2016) hasil penelitian menyimpulkan infrastruktur khusus pelatihan khusus belum tersebar merata, kompetensi guru sudah cukup memadai namun tidak ada asisten khusus disekolah, tidak ada pemantauan dari pemerintah terkait dan pembiayaan hanya dari dana BOS, sehingga perlu adanya perbaikkan demi

keberlanjutan program. Lukitasari (2017) hasil penelitian menunjukkan bahwa impelementasi kebijakan pendidikan inklusi di kota Salatiga dinilai baik dengan pencapaian 65%, terlihat dari meningkatnya jumlah peserta didik ABK dan kurangnya diskriminasi terhadap siswa ABK.

  Penelitian diatas menyatakan bahwa sekolah yang menyelenggara program pendidikan inklusi telah mengembangkan rencana strategis untuk program inklusi dengan memodifikasi berbagai komponen seperti kurikulum dan pembelajaran. Namun dalam pelaksanaannya banyak mengalami kendala. Sekolah belum mampu menyediakan tenaga pendidik yang terampil sesuai dengan kebutuhan siswa ABK. Tidak ada atau kurangnya Guru Pembimbing Khusus (GPK) bagi sekolah inklusi dalam proses pembelajaran bagi siswa. Sarana dan prasarana sekolah tidak dapat menyediakan pelayanan kepada semua siswa yang memiliki

  Dari penelitian diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang pendidikan inklusi. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti memiliki persamaan penelitian dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya adalah mengevaluasi Program Pendidikan Inklusi. Perbedaan dengan penelitian yang terdapat di atas. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti menggunakan model evaluasi yang berbeda. Dimana penelitian ini menggunakan Model Evaluasi Kesenjangan (Discrepancy Evaluation Model).

  Model Evaluasi Kesenjangan memiliki kelebihan dalam tahap menganalisis berdasarkan komponen-komponen yang ditentukan. Model Evaluasi Kesenjangan dapat mengidentifikasi adanya kesenjangan di dalam pelaksanaan program antara yang seharusnya dicapai dengan yang sudah rill di capai. Model evaluasi ksenjangan memiliki karakteristik khusus disbandingkan dengan model- model evaluasi yang lain. Model ksenjangan merupakan model yang “luwes” karena dapat digunakan pada semua jenis program, dapat disimpulkan bahwa model kesejangan tepat dan sesuai digunakan untuk mengevaluasi program layanan (Arikunto & Jabar, 2008: 58-59). keunggulan, yaitu: 1) model ini merupakan prosedur dari problem solving, 2) dapat melakukan perbandingan pada pencapaian program, 3) dapat membuat pertimbangan atas kekurangan dan kelebihan suatu program berdasarkan standar yang telah ditetapkan, 4) dapat mengidentifikasi standar yang akan digunakan selanjutnya. Oleh karena itu, penyelenggaraan pendidikan inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga dievaluasi dengan menggunakan Model Evaluasi Kesenjangan.

2.8 Kerangka Berpikir

  Evaluasi terhadap penyelenggaraan program Pendidikan Inklusi di Sekolah SMP Negeri 7 Salatiga bertujuan untuk mengukur sejauh mana efektivitas program tersebut. Model evaluasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah model evaluasi Kesenjangan (Discrepancy Evaluation Model).

  Berdasarkan tujuan penelitian ini, kegiatan evaluasi terhadap pelaksanaan program pendidikan inklusi berupaya untuk menganalisis keadaan rill pelaksanaan program pendidikan inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga dengan standar yang telah ditetapkan, berdasarkan Permendiknas No 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusi melalui empat produk dalam model evaluasi kesenjangan.

  Hasil dari analisis keempat komponen dalam model tersebut, nanti akan menghasilkan sebuah kesimpulan terhadap hasil evaluasi pelaksanaan program pendidikan inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga. Apabila hasil evaluasi tidak sesuai maka dilakukan perbaikan. Apabila hasil evaluasi sesuai kriteria maka dipertahankan. Kemudian, pada akhirnya memberi kesimpulan untuk dapat dijadikan rekomendasi dalam berkelanjutan program.

  Berdasarkan uraian tersebut, kerangka berpikir penelitian ini adalah sebagai berikut:

  

Evaluasi Program Pendidikan Inklusi

Keadaan rill Permendiknas No 70 Pelaksanaan program

  Tahun 2009 tentang pendidikan inklusi di Pendidikan Inklusi SMP Negeri 7 Salatiga

  Model Evaluasi Kesenjangan (Discrepancy Evaluation Model) Hasil

Tidak Sesuai Sesuai Kriteria

  Evaluasi Dipertahankan Diperbaiki

Kesimpulan sebagai rekomendasi/

perbaikan Program

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir

  Program Pendidikan Inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Desain Pelatihan untuk Meningkatkan Kompetensi Guru Mengembangkan Pembelajaran Tematik Integratif Menggunakan Critical Events Model

0 1 12

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Pembelajaran Tematik Integratif a. Hakikat Pembelajaran Tematik Integratif - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Desain Pelatihan untuk Meningkatkan Kompetensi Guru Mengem

0 0 53

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Desain Pelatihan untuk Meningkatkan Kompetensi Guru Mengembangkan Pembelajaran Tematik Integratif Menggunakan Critical Events Model

0 2 32

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Hasil Penelitian 4.1.1 Kebutuhan Desain Pelatihan Pengembangan Pembelajaran Tematik Integratif menggunakan CEM - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Desain Pelatih

0 0 68

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Evaluasi - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dalam Pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM)

0 0 38

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dalam Pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM)

0 0 15

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN 1.1 Profil Sekolah - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dalam Pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM)

0 0 54

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dalam Pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM)

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dalam Pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM)

0 0 98

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Pelaksanaan Program Pendidikan Inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga

0 0 13