LAHAN TERLANTAR DI PERKOTAAN EKSPLORASI

LAHAN TERLANTAR DI PERKOTAAN: EKSPLORASI
PERMASALAHAN DAN UPAYA PENANGANANNYA
Oleh: Putu Gde Ariastita
Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya

ABSTRAK
Lahan terlantar merupakan salah satu isu penting dalam penatagunaan lahan
perkotaan. Walaupun kurang begitu diperhatikan, isu ini justru muncul di kawasankawasan yang berkembang cepat sebagaimana ditemui di kota-kota metropolitan, seperti
Jabodetabek. Pemanfaatan lahan di kota metropolitan yang begitu intensif dan ekspansif,
justru menyimpan potensi persoalan lain, yaitu menjamurnya lahan terlantar. Hal ini tidak
bisa dipungkiri mengingat lahan merupakan komoditas yang begitu menarik untuk
diperjual-belikan sehingga bisa dijadikan media untuk melakukan spekulasi.
Isu lahan terlantar merupakan persoalan yang serius. Hal ini berkaitan dengan
upaya meng-efisien-kan pemanfaatan lahan di perkotaan sehingga dapat dimanfaatkan
secara optimal. Persoalan lahan terlantar juga menyangkut ketidak-adilan pengalokasian
sumber daya lahan. Kaum spekulan dengan mudahnya ”mempermainkan” lahan sebagai
komoditas yang hanya untuk diperjual-belikan, tanpa dimanfaatkan dengan sesuai dengan
fungsinya. Tentunya hal ini bertentangan dengan nilai sosial lahan sebagaimana yang
diamanatkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yaitu lahan harus dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk kepentingan pemilik dan masyarakat di sekitarnya. Di samping itu,
berdasarkan hasil penelitian, spekulasi lahan akan memicu peningkatan harga lahan. Tidak

bisa dipungkiri, melambungnya harga lahan di perkotaan salah satunya disebabkan oleh
kegiatan spekulasi lahan. Hal ini tentunya akan menyulitkan masyarakat golongan
menengah ke bawah untuk memperoleh lahan diperkotaan.
Namun demikian, akar penyebab lahan terlantar tidak sepenuhnya berasal
spekulasi. Berdasarkan hasil penelitian, lahan terlantar pada dasarnya disebabkan oleh
motivasi pemilik lahannya, yaitu 1) motivasi ingin mendapatkan keuntungan dari nilai
lahan (spekulasi), atau 2) ketidakmampuan dalam mengembangkan lahannya. Tentunya
penanganan lahan terlantar harus dilandasi oleh kedua motivasi tersebut. Berdasarkan hal
tersebut, penanganan lahan terlantar dapat dilakukan melalui skema insentif dan
disensentif, baik secara ekonomi, administrasi, dan hukum.
Kata Kunci: Lahan, Penatagunaan Lahan Perkotaan, Lahan Terlantar

1

DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................2
1.3 Tujuan...................................................................................................................3
1.4 Manfaat Penulisan................................................................................................3

1.5 Ruang Lingkup Pembahasan................................................................................3
1.5 Sistematika Pembahasan......................................................................................4
BAB II KAJIAN PUSTAKA.................................................................................................5
2.1 Pengertian Lahan Terlantar..................................................................................5
2.2 Struktur Persoalan Lahan Terlantar......................................................................7
2.3 Prinsip Penanganan Lahan Terlantar....................................................................9
2.3.1 Kebijakan Penanganan Lahan Terlantar......................................................9
2.3.2 Landasan Penanganan Lahan Terlantar.......................................................9
2.3.3 Instrumen Penanganan Lahan Terlantar....................................................10
BAB 3 METODE PENULISAN..........................................................................................12
3.1 Tahapan Penulisan..............................................................................................12
3.2 Metode Pengambilan Data.................................................................................12
3.3 Metode Analisis Data.........................................................................................13
3.4 Kerangka Pikir Penulisan...................................................................................13
BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN.........................................................................15
4.1 Perkembangan Lahan Terlantar..........................................................................15
4.2 Permasalahan Mendasar Lahan Terlantar...........................................................16
4.3 Konsep Penanganan Lahan Terlantar.................................................................17
BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI................................................................21
5.1 Kesimpulan........................................................................................................21

5.2 Rekomendasi......................................................................................................21

2

DAFTAR TABEL
Tabel 1 Karakteristik Lahan Terlantar....................................................................................6
Tabel 2 Penyebab Terjadinya Lahan Terlantar.......................................................................7
Tabel 3 Penyebab Spesifik dan Klasifikasi Persoalan Lahan Terlantar.................................8
Tabel 4 Perkembangan Lahan Terlantar di Kota Bandung Tahun 1999-2002.....................15
Tabel 5 Kemajuan Perolehan Lahan Berdasarkan Ijin Lokasi.............................................16
Tabel 6 Klasifikasi Perangkat Penanganan Lahan Terlantar
Berdasarkan Skema Insentif dan Disinsentif..........................................................17
Tabel 7 Potensi Penerapan Perangkat Penanganan Lahan Terlantar
Berdasarkan Landasan Manajemen Lahan..............................................................18
Tabel 8 Konsep Penanganan Lahan Terlantar di Perkotaan.................................................19

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Kerangka Pikir Penulisan....................................................................................14

3


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Lahan terlantar merupakan salah satu isu strategis dalam penatagunaan lahan
perkotaan. Walaupun kurang begitu diperhatikan, keberadaan lahan terlantar menyimpan
potensi permasalahan yang besar jika tidak ditangani secara serius. Menurut Drabkin
(1977), lahan-lahan terlantar di perkotaan dapat mendorong peningkatan harga lahan. Dari
sisi estetika, adanya lahan terlantar menimbulkan kesan kurang terawat sehingga dapat
mengurangi keindahan kota (Hallet, 1979). Konflik sosial juga seringkali terjadi karena
adanya penyerobotan terhadap lahan-lahan yang ditelantarkan (Kompas, 1 Oktober 2003).
Penelitian yang dilakukan oleh Herbert dan Ferry (1999) di Kabupaten Bandung
menunjukkan bahwa adanya lahan terlantar menyebabkan hilangnya potensi keuangan
pemerintah daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan dan retribusi Ijin Mendirikan Bangunan.
Satu hal yang terpenting berkaitan dengan lahan terlantar adalah hilangnya nilai sosial
lahan seperti yang diamanatkan dalam UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.
Prinsip nilai sosial lahan menekankan bahwa sebidang lahan seharusnya tidak hanya
memberikan manfaat bagi pemilikinya, tetapi juga untuk masyarakat sekitarnya. Tentunya
dari berbagai pendapat di atas, keberadaan lahan terlantar jelas akan mengganggu

masyarakat sekitarnya. Permasalahan-permasalahan di atas, jika dibiarkan tentunya dapat
menghambat proses pembangunan di perkotaan.
Dalam rangka mengatasi permasalahan lahan terlantar, pemerintah telah
mengeluarkan dua peraturan, yaitu Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No.3 Tahun
1998 tentang Pemanfaatan Lahan terlantar untuk Tanaman Pangan dan PP No.36 Tahun
1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Lahan Terlantar. Peraturan tersebut ternyata
belum efektif mengatasi permasalahan lahan terlantar. Hal ini dibuktikan dengan masih
terdapatnya lahan terlantar yang terdapat di bagian wilayah kota. Ardhianty, 2002
mengidentifikasi sekitar 3% lahan di wilayah Kota Bandung terlantar. Angka ini memang
tergolong kecil, namun demikian mengingat tingginya nilai lahan di perkotaan, menjadikan
keberadaan lahan terlantar mengindikasikan ketidak-efisienan penggunaan lahan.
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Sari, 2007 dan Gunawan 2008 di pinggiran dan pusat
Kota Surabaya. Dari penelitian tersebut teridentifikasi lahan terlantar mencapai 10% di
pinggiran kota dan 3% di Pusat Kota.
4

Peraturan-peraturan tentang penanganan lahan terlantar tidak efektif karena
substansinya belum terdapat konsep yang menyentuh persoalan mendasar dari lahan
terlantar. Adapun kelemahan dari peraturan tersebut adalah sebagai berikut:
-


Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No.3 Tahun 1998 hanya memecahkan
persoalan jangka pendek, berupa penyediaan pangan dan lapangan pekerjaan bagi
masyarakat. Peraturan ini dikeluarkan dalam rangka mengantisipasi krisis ekonomi
yang terjadi di Indonesia, tidak mengakomodasi persoalan dasar dari lahan terlantar.
Bahkan peraturan ini justru menimbulkan konflik antara pemerintah dan masyarakat
(Kompas, 1 Oktober 2003).

-

PP No.36 Tahun 1998 relatif lebih baik, dimana pemerintah dapat mengambil tindakan
tegas berupa pengambilalihan lahan terhadap pemilik lahan yang dianggap
menelantarkan lahannya. Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan dari UU
No.5 Tahun 1960 yang memuat pencabutan hak atas lahan yang ditelantarkan. Akan
tetapi, peraturan ini belum memberikan kriteria lahan terlantar berdasarkan struktur
persoalannya, sehingga tidak memiliki ketegasan dalam penanganan lahan terlantar dan
ketepatan dalam hal penerapan sanksi.

-


Substansi lahan terlantar yang dimuat dalam UUPA hanya menegaskan bahwa hak atas
tanah dapat dicabut jika tanah tersebut ditelantarkan. Substansi ini masih umum dan
diperlukan peraturan yang bersifat lebih operasional seperti kedua peraturan di atas.

Dengan demikian perlu dilakukan upaya-upaya untuk menangani lahan terlantar yang
didasarkan atas persoalan mendasarnya.
1.2 Rumusan Masalah
Adanya kelemahan di dalam substansi peraturan-peraturan yang menangani lahan
terlantar mengakibatkan belum efektifnya penanganan lahan terlantar di Indonesia. Hal ini
berakibat pada tidak terkendalinya keberadaan lahan terlantar yang pada akhirnya akan
menghambat pembangunan khususnya di perkotaan. Untuk itu perlu dicari konsep-konsep
penanganan lahan terlantar yang didasarkan atas persoalan dasarnya. Berkaitan dengan hal
tersebut, pertanyaan yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah:
1. Apa persoalan mendasar dari lahan terlantar di perkotaan?
2. Berdasarkan

persoalan

tersebut,


bagaimana

menanganinya?

5

konsep

yang

tepat

untuk

1.3 Tujuan
Tulisan ini bertujuan untuk merumuskan konsep penanganan lahan terlantar
khususnya di perkotaan. Untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan melalui tahapantahapan seperti yang dijabarkan dalam sasaran penulisan berikut ini:
1. Mengindentifikasi persoalan mendasar dari lahan terlantar di perkotaan
2. Mengeksplorasi instrumen-instrumen yang berpotensi menangani lahan terlantar
3. Menganalisis instrumen tersebut berdasarkan persoalan lahan terlantar untuk

memperoleh konsep penanganannya
1.4 Manfaat Penulisan
Karya tulis ini berupaya memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis.
Secara teoritis, hasil karya tulis ini berkontribusi dalam bidang ilmu Penatagunaan Lahan
Perkotaan khususnya dan Perencanaan Kota pada umumnya. Karya tulis ini memperkaya
khasanah keilmuan tentang persoalan lahan terlantar dan penanganannya pada kedua
bidang ilmu tersebut. Secara praktis, hasil karya tulis ini berkontribusi terhadap kebijakan
penatagunaan lahan, khususnya penanganan lahan terlantar. Dengan demikian, hasil karya
tulis ini dapat memberikan masukkan pada substansi PP No.36 Tahun 1998 tentang
Penertiban dan Pendayagunaan Lahan Terlantar, yang mana peraturan tersebut nantinya
merupakan penjabaran dari UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria,
khususnya dalam hal penanganan lahan terlantar.
1.5 Ruang Lingkup Pembahasan
Pembahasan karya tulis ini ditinjau dari aspek pengendalian penggunaan lahan.
Dalam hal ini lahan terlantar dikendalikan keberadaannya melalui instrumen-instrumen
penatagunaan lahan, baik yang bersifat administratif, ekonomi, dan hokum yang
didasarkan atas sifat permasalahannya.
Gambaran empiris tentang lahan terlantar dalam karya tulis ini mengambil kasus
Kota Bandung. Hal ini karena Kota Bandung termasuk salah satu kota besar di Indonesia
yang masih memiliki persoalan tentang lahan terlantar. Persoalan tersebut tentunya identik

dengan persoalan di kota-kota besar lainnya. Dengan demikian, konsep penanganan lahan
terlantar di Kota Bandung dapat diadaptasi untuk mengatasi persoalan serupa di kota-kota
lainnya di Indonesia.

6

1.5 Sistematika Pembahasan
Pembahasan dalam karya tulis ini dibagi menjadi lima bab. Adapun gambaran
untuk masing-masing bab tersebut dijelaskan sebagai berikut:
Bab 1 Pendahuluan
Bab ini menjelaskan alasan mengapa tulisan ini disusun, fokus masalah yang dikaji,
output yang dihasilkan, dan aspek yang melingkupinya
Bab 2 Kajian Pustaka
Bab ini berisi teori-teori yang digunakan sebagai landasan untuk memecahkan
persoalan dalam karya tulis. Disamping itu, pada bagian ini juga diuraikan
penelitian-penelitian yang terkait dengan penanganan lahan terlantar.
Bab 3 Metode Penulisan
Bab ini menjelaskan metode pengambilan data, analisis data, dan kerangka analisis
dalam karya tulis
Bab 4 Analisis dan Pembahasan

Bab ini berisi analisis untuk merumuskan persoalan mendasar dalam lahan terlantar
dan rumusan konsep penanganannya
Bab 5 Kesimpulan dan Rekomendasi
Bab ini berisi simpulan-simpulan yang didasarkan atas analisis yang telah
dilakukan dan saran untuk menindaklanjuti kesimpulan yang telah diperoleh

7

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Lahan Terlantar
Lahan terlantar memiliki pengertian yang beragam. Terdapat beberapa definisi yang
menjelaskan pengertian lahan terlantar, yaitu:
1. Kivell (1993), mendefinisikan lahan terlantar sebagai lahan yang menurut pemerintah
daerah setempat belum dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya, yaitu fungsi yang
mengacu pada rencana wilayah. Lahan terlantar dapat berbentuk properti berupa tanah
atau bangunan yang tidak dipergunakan.
2. Chapin dan Kaiser (1979) menyatakan bahwa lahan terlantar sebagai adalah sebidang
lahan yang di atasnya secara fisik tidak terdapat bangunan, akan tetapi berpotensi untuk
digunakan.
3. Sensus Nasional Amerika, 1971 (dalam Bourne 1982), mendefinisikan lahan terlantar
sebagai lahan yang tidak dihuni pemiliknya, padahal secara fisik dapat dihuni.
Pengertian ini juga mengacu pada bangunan-bangunan yang ditelantarkan oleh
pemiliknya.
Sementara itu, definisi lahan terlantar yang digunakan di Indonesia, dapat dilihat dari
sumber-sumber berikut:
1. Buku Petunjuk Tata Cara Kerja Pengukuran Tanah (BPN 1992, dalam Ardhianty, 2002)
menjelaskan lahan terlantar sebagai lahan tidak terbangun yang sudah diperuntukkan
atau

diberi

haknya

tetapi

tidak

diusahakan

sesuai

dengan

hak

yang

diberikan/ditelantarkan.
2. Permen Agraria/Kepala BPN No.3 Tahun 1998 tentang Pemanfaatan Tanah Kosong
untuk Tanaman Pangan mendefinisikan lahan terlantar sebagai lahan yang tidak
dimanfaatkan sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian haknya atau Rencana Tata
Ruang Wilayah yang berlaku.
3. PP No.36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Lahan Terlantar,
menjelaskan definisi tentang lahan terlantar, yaitu lahan Hak Milik, Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai yang dengan sengaja tidak dipergunakan oleh
pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya atau tidak
dipelihara dengan baik (Pasal 3).

8

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, terlihat bahwa lahan terlantar memiliki
pengertian yang beragam. Namun demikian, pada dasarnya pengertian tersebut
mengandung tiga variabel yang dapat menjadi karakteristik dari lahan terlantar. Variabel itu
adalah kondisi fisik lahan, aktifitas/pemanfaatan, serta kesesuaian fungsi. Penelitian yang
dilakukan oleh Ardhianty (2002) juga telah merumuskan karekateristik lahan terlantar
berdasarkan variabel-variabel tersebut. Adapun karakteristik lahan terlantar diperlihatkan
pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1
Karakteritik Lahan Terlantar

Kondisi Fisik Lahan

Terbangun

Tidak Terbangun

Kesesuaian fungsi
dengan rencana tata
ruang dan sifat hak
atas tanah
Sesuai dengan
Rencana/ Sifat Hak
yang diberikan
Tidak Sesuai dengan
Rencana/ Sifat Hak
yang diberikan
Sesuai dengan
Rencana/ Sifat Hak
yang diberikan
Tidak Sesuai dengan
Rencana/ Sifat Hak
yang diberikan

Aktifitas / pemanfaatan
Ada

Tidak Ada

Bukan Lahan
terlantar

Lahan terlantar

Bukan Lahan
terlantar

Lahan terlantar

Bukan Lahan
terlantar

Lahan terlantar

Bukan Lahan
terlantar (**)

Lahan terlantar

Sumber: Dirangkum dari Ardhianty (2002)
Keterangan (**): kecuali lahan tidur di perkotaan yang dimanfaatkan untuk bercocok tanam
digolongkan sebagi lahah terlantar

Berdasarkan Tabel 2.1 terlihat bahwa variabel yang paling menentukan suatu lahan
dikatakan terlantar adalah aktifitas/pemanfaatan. Jika pada suatu lahan tidak ada aktifitas
atau tidak dimanfaatkan, maka dapat dipastikan lahan tersebut adalah lahan terlantar.
Sedangkan bila lahan tersebut telah dimanfaatkan/ ada aktifitas umumnya bukan termasuk
lahan terlantar, kecuali lahan tidur di perkotaan yang dimanfaatkan untuk tanaman pangan.
Variabel lain yang menjadi karakteristik lahan terlantar adalah variabel kesesuaian fungsi.
Variabel ini memiliki dua pengertian. Pertama, lahan tersebut sudah dikuasai (diperoleh)
dengan hak atas tanah atau perijinan dan yang ke dua adalah pemanfaatan yang seharusnya
dilakukan terhadap lahan tersebut, yaitu sesuai dengan fungsi yang mengacu pada sifat dan
tujuan penguasaannya atau rencana tata ruang. Pada dasarnya variabel ini merupakan
turunan dari variabel utama, yang menjelaskan bahwa pemanfaatan/aktifitas terhadap lahan

9

haruslah sesuai dengan sifat dan tujuan penguasaannya atau rencana tata ruang. Variabel ke
tiga menjelaskan bahwa lahan terlantar dapat berupa lahan tidak terbangun dan lahan
terbangun.
2.2 Struktur Persoalan Lahan Terlantar
Persoalan lahan terlantar pada dasarnya adalah penyebab yang melatar-belakangi
munculnya lahan terlantar. Berdasarkan penyebab inilah kemudian dapat dirumuskan
penanganan terhadap lahan terlantar. Berkaitan dengan persoalan lahan terlantar ini, Kivell
(1993) merumuskan penyebab lahan terlantar menjadi penyebab umum dan spesifik.
Penyebab umum merupakan faktor-faktor makro/general yang melatarbelakangi terjadinya
lahan terlantar. Sedangkan penyebab spesifiknya adalah turunan dari faktor-faktor makro
tersebut. Rincian penyebab lahan terlantar dijelaskan dalam Tabel 2 berikut.
Tabel 2
Penyebab Terjadinya Lahan terlantar
PENYEBAB
UMUM
Perubahan struktur
dan lokasi ekonomi
perkotaan
Kegagalan pasar
lahan
Kendala kepemilikan
lahan
Kebijakan
pemerintah setempat

PENYEBAB SPESIFIK
1. Penutupan pabrik-pabrik/tambang galian
dan fasilitas pendukungnya
2. Relokasi sektor kegiatan
3. Spekulasi pemilik lahan
4. Tidak adanya permintaan terhadap lahan
5. Ikatan emosional antara pemilik lahan
dengan lahannya
6. Keterbatasan modal
7. Investasi
8. Pengeluaran ijin yang berlebihan
9. Hambatan dari rencana kota
10. Kesulitan administratif untuk
memanfaatkan lahan terlantar

Sumber: Dirangkum dari Kivell (1993), BPN (1998), Hallet (1979),
Kitay (1985), Ardhianty (2002)

Dari 10 penyebab spesifik yang dipaparkan di atas pada dasarnya dapat
dikelompokkan lagi menjadi 3 faktor, yaitu faktor sosial-ekonomi, fisik/lokasi, dan
administrasi/kebijakan. Secara rinci, penjabaran penyebab spesifik lahan terlantar menjadi
3 faktor tersebut diperlihatkan pada Tabel 3.

10

Tabel 3
Penyebab Spesifik dan Klasifikasi
Persoalan Lahan terlantar
PENYEBAB SPESIFIK
1. Penutupan pabrikpabrik/tambang galian dan
fasilitas pendukungnya
2. Relokasi sektor kegiatan
3. Spekulasi pemilik lahan

4. Tidak adanya permintaan
terhadap lahan

5. Ikatan emosional antara
pemilik lahan dengan
lahannya
6. Keterbatasan modal
7. Investasi
8. Pengeluaran ijin yang
berlebihan
9. Hambatan dari rencana kota
10. Kesulitan administratif untuk
memanfaatkan lahan terlantar

KLASIFIKASI PERSOALAN
Penyebab spesifik ini dipengaruhi oleh perkembangan
struktur ekonomi kota yang berdampak pada perubahan pola
pemanfaatan ruangnya. Dengan demikian penyebab spesifik
ini dipengaruhi oleh faktor ekonomi
Motif spekulasi lahan dipengaruhi oleh persaingan yang
tidak sempurna dari pasar lahan dan ditunjang oleh kondisi
makro ekonomi seperti tingkat inflasi dan suku bunga
(Balchin, 1982 serta Herbet dan ferry, 1998). Jadi penyebab
spesifik ini dipengaruhi oleh faktor ekonomi
Penyebab ini berkaitan dengan karakteristik persil (fisik,
lokasi, dan lingkungan). Calon pengguna tidak menyukai
persil tersebut meskipun harga/nilai lahannya rendah
(Hallet, 1979). Penyebab ini lebih dipengaruhi oleh faktor
kondisi fisik/lokasi
Penyebab ini pada dasarnya saling memiliki keterkaitan.
Ikatan emosional menyebabkan lahan ditahan oleh
pemiliknya. Akan tetapi karena keterbatasan modal,
pengembangan lahan tidak dapat dilakukan. Jadi kedua
penyebab ini pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor Sosial
dan ekonomi
Motif berinvestasi berarti pemilik akan memanfaatkan
sendiri lahannya untuk tujuan jangka panjang. Motivasi
pemilik lebih dipengaruhi oleh faktor ekonomi
Ketiga penyebab ini disebabkan karena bertentangan dengan
kebijakan atau prosedur administrasi pemerintah sehingga
pemanfaatan lahan menjadi terhambat (Hallet, 1979). Oleh
sebab itu, penyebab spesifik ini dipengaruhi oleh faktor
kebijakan/administrasi pemerintah

Sumber: Tabel 1, Hallet (1979), Balchin dan Kieve (1982), Herbet dan Ferry (1998)

Jadi secara teoritik, Keberadaan lahan terlantar disebabkan oleh faktor-faktor sebagai
berikut:
1. Faktor sosial-ekonomi, yang dapat disebabkan oleh relokasi kegiatan, spekulasi lahan,
keterbatasan modal, investasi, dan tidak laku dijual.
2. Faktor fisik/lokasi, yang disebabkan karena Karakteristik fisik/lokasi yang tidak sesuai,
3. Faktor kebijakan/administrasi, yang disebabkan karena adanya hambatan dalam
administrasi / kebijakan pemerintah,
Selanjutnya, faktor-faktor penyebab inilah yang digunakan sebagai dasar dalam menangani
lahan terlantar di perkotaan.

11

2.3 Prinsip Penanganan Lahan Terlantar
2.3.1 Kebijakan Penanganan Lahan Terlantar
Kivell (1993) menyatakan bahwa dalam konteks kebijakan lahan kota dan proses
pembangunannya selalu dihadapkan pada dua hal. Pertama, hal-hal yang sesuai dan dapat
mendorong ke arah perkembangan kota dan sebaliknya yang ke dua adalah hal-hal yang
tidak sesuai dan menghambat proses perkembangan. Berdasarkan hal tersebut, terdapat dua
prinsip mekanisme kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah, yaitu mekanisme promosi
(insentif) dan kontrol (disinsentif). Insentif adalah tindakan pemerintah yang sifatnya
mendorong ke arah perkembangan yang diinginkan, sedangkan disinsentif adalah tindakan
pemerintah yang sifatnya membatasi hal-hal yang bertentangan atau tidak mendukung ke
arah perkembangan.
Penerapan kedua prinsip tersebut dilakukan terhadap kondisi-kondisi tertentu.
Insentif umumnya diterapkan untuk mendorong, merangsang, dan membantu proses
pembangunan baru maupun pembangunan kembali, penyusunan rencana kota, perolehan
barang publik, dan upaya yang terkait dengan pemerataan. Sementara itu, prinsip
disinsentif biasanya diterapkan untuk mengendalikan, membatasi, dan menghambat
eksternalitas negatif, monopoli, spekulasi, perkembangan kota yang meluas (urban
sprawl), kontrol harga lahan, dan lain-lain (Kivell, 1993)
Prinsip insentif dan disinsentif dapat juga diterapkan dalam penanganan lahan
terlantar. Dalam hal ini, insentif diberikan jika lahan terlantar disebabkan karena motivasi
adanya hambatan dalam pengembangan lahan berikut faktor-faktor penyebabnya.
Sementara itu, disinsentif diberikan jika lahan terlantar disebabkan karena motivasi
pemiliknya untuk mendapat keuntungan melalui spekulasi maupun investasi.
2.3.2 Landasan Penanganan Lahan Terlantar
Dalam pengelolaan lahan perkotaan, pemerintah memiliki landasan yang dapat
digunakan untuk mengatur penggunaan lahan. Landasan tersebut adalah bundles of right,
eminent domaint, police power, taxation, dan spending power. Penjelasan dari masingmasing landasan tersebut adalah sebagai berikut (Dunkerley, 1983):
1. Bundles of Right
Pengaturan hak atas tanah berkaitan dengan kepentingan hak atas tanah pemilik lahan.
Kepentingan ini meliputi kepentingan penggunaan (leasehold) dan kepentingan

12

kepemilikan (freehold). Artinya pengaturan hak atas lahan berupaya mengatur
bagaimana suatu lahan dapat dimiliki dan dimanfaatkan/digunakan.
2. Police Power
Merupakan kewenangan pemerintah untuk mengatur hak-hak individu dalam rangka
mencapai kesejahteraan umum. Hal yang diatur berkaitan dengan penggunaan lahan
dan kelayakan bangunan (real estate).
3. Taxation
Merupakan kewenangan melakukan beban atau pungutan yang dilandasi kewenangan
hukum terhadap perorangan atau pemilik lahan untuk mengutip atau mengumpulkan
uang demi tujuan masyarakat. Dalam hal ini pajak bukan untuk meningkatkan
pendapatan pemerintah, tetapi merupakan perangkat pengelolaan untuk mengatur
kegiatan yang diinginkan dan tidak diinginkan.
4. Spending Power
Merupakan kewenangan membelanjakan dana publik untuk kepentingan umum.
Landasan ini bertujuan untuk mengarahkan pertumbuhan, mempengaruhi kegiatan
ekonomi, menciptakan atau mengendalikan akses, menarik investasi swasta, dan
mengurangi ongkos dari harga lahan yang terlalu tinggi.
5. Eminent Domaint
Merupakan kewenangan yang dimiliki pemerintah (baik pusat maupun lokal) untuk
mengambil (menghapus) hak individu terhadap suatu properti dan digunakan untuk
kepentingan publik. Kewengan ini dapat bersifat memaksa walaupun tanpa persetujuan
pemilik.
Landasan manajemen lahan merupakan dasar bagi pemerintah untuk melakukan tindakan
terhadap lahan terlantar.
2.3.3 Instrumen Penanganan Lahan Terlantar
Perangkat penanganan lahan terlantar adalah alat yang dapat dimanfaatkan untuk
menangani persoalan lahan terlantar. Pemanfaatan perangkat ini umumnya dilakukan oleh
pemerintah. Namun demikian, ada perangkat yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat,
swasta ataupun kerjasama antara pemerintah, masyarakat dan swasta. Alternatif perangkat
sangat beragam, sesuai dengan konteks persoalan yang dihadapi. Ardhianty (2002)
mengklasifikasikan perangkat penanganan lahan terlantar ke dalam aspek ekonomi,
hukum, dan administrasi.

13

Upaya penanganan lahan terlantar berdasarkan aspek ekonomi adalah perangkat
yang terkait dengan masalah finansial, seperti perolehan bantuan dana, perpajakan, dan
pungutan-pungutan. Perangkat berdasarkan aspek ekonomi ini juga dibagi ke dalam bentuk
insentif dan disinsentif. Bentuk insentif adalah grant, pengurangan sewa lahan, pinjaman,
bank lahan konvensional, dan pengurangan pajak atau pungutan lainnya. Sementara itu
yang tergolong disinsentif adalah pajak dengan tarif progresif dan pungutan pembangunan.
Penjelasan masing-masing perangkat tersebut diperlihatkan pada Tabel 1 Lampiran A.
Perangkat yang digolongkan ke dalam aspek hukum berupa aturan-aturan yang
memiliki kekuatan hukum, dapat digunakan untuk memaksa, atau membatasi suatu
kegiatan tertentu. Karena sifatnya memaksa, maka seluruh perangkat dalam aspek hukum
ini tergolong disinsentif. Perangkat tersebut adalah pre-emption right, pencabutan hak, dan
pengalihan hak. Penjabaran dari masing-masing perangkat tersebut diperlihatkan pada
Tabel 2 Lampiran A.
Perangkat penanganan lahan terlantar berdasarkan aspek administratif berupa upaya
yang terkait dengan prosedur-prosedur dalam rangka menjalankan suatu kekuasaan
tertentu, perijinan, dan kegiatan administratif lainnya. Perangkat yang dikatagorikan
sebagai bentuk insentif adalah inventarisasi dan promosi, kemudahan penyelesaian kasus
administratif, serta kemudahan permohonan dan prosedur perijinan. Sementara itu, yang
tergolong bentuk disinsentif adalah teguran / peringatan tertulis, pencabutan atau tidak
diberikannya ijin, temporary use, serta ketentuan tentang keharusan menyewakan /
memanfaatkan lahan. Penjelasan masing-masing perangkat dijabarkan pada Tabel 3
Lampiran A.

14

BAB 3
METODE PENULISAN

3.1 Tahapan Penulisan
Penulisan karya tulis ini dilakukan melalui lima tahapan. Adapun kelima tahapan
tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1. Perumusan Masalah dan Tujuan Penulisan
Tahapan ini diawali dengan pengumpulan fakta-fakta empiri tentang lahan terlantar.
Fakta empiri tersebut diperoleh melalui kajian terhadap hasil-hasil penelitian terkait,
berita popular, dan regulasi tentang penatagunaan lahan. Pada bagian akhir, fakta
empiri yang telah dikompilasi kemudian disintesakan sehingga dapat dirumuskan fokus
masalah yang dibahas dalam karya tulis ini.
2. Kajian Literatur
Telaah literatur dilakukan dengan mengkompilasi pembahasan yang terkait dengan
lahan terlantar dari buku referensi dan hasil-hasil penelitian pihak lain. Hasil dari
kajian literatur ini digunakan sebagai landasan untuk memecahkan permasalahan yang
menjadi fokus dalam penulisan ini.
3. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui survey sekunder, yaitu memanfaatkan hasil-hasil
penelitian dan data-data statistik. Data-data yang telah dikumpulkan ini nantinya akan
dijadikan sebagai input analisis.
4. Analisis Data
Analisis data dilakukan untuk mengolah data yang telah diidentifikasi untuk mencapai
tujuan penulisan.
5. Penarikan Kesimpulan dan Rekomendasi
Proses ini adalah menyusun simpulan berdasarkan analisis yang telah dilakukan dan
saran untuk menindaklanjuti kesimpulan yang telah dirumuskan.
3.2 Metode Pengambilan Data
Pengumpulan data dalam karya tulis ini dilakukan dengan survey sekunder, yaitu
dengan memanfaatkan hasil-hasil penelitian dan data-data publikasi statistik. Secara lebih
rinci, pengumpulan data dilakukan sebagai berikut:

15

1. Tinjauan Pustaka:
Karya tulis ini memanfaatkan literatur, buku referensi, laporan statistik, dan hasil-hasil
penelitian. Sumber-sumber tersebut digunakan untuk melengkapi kajian pustaka dan
analisis.
2. Tinjauan Media:
Tinjauan media yang digunakan adalah berita-berita popular yang diterbitkan di media
massa. Informasi dari media tersebut terutama digunakan untuk melengkapi data
empiris untuk memperkuat permasalahan penulisan.
3.3 Metode Analisis Data
Metode analisis yang dilakukan dalam penyusunan karya tulis ini dilakukan dengan
analisis deskriptif kualitatif dan analisis komparatif. Adapun penjelasan dari metode
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Analisis Deskriptif kualitatif
Analisis deskriptif kualitatif ini terutama ditujukan untuk mengeksplorasi permasalahan
yang terkait dengan lahan terlantar. Input analisis ini adalah data-data tentang
karakteristik lahan terlantar di Kota Surabaya dan gambaran teoritik permasalahan
lahan terlantar. Kedua aspek data tersebut kemudian dijabarkan secara kualitatif dan
dicari keterkaitan satu dengan yang lainnya sehingga dapat dirumuskan permasalahan
mendasar yang terkait dengan lahan terlantar.
2. Analisis Komparatif
Analisis ini dilakukan untuk mendapatkan instrumen penanganan lahan terlantar,
analisis instrumen tersebut untuk memecahkan persoalan lahan terlantar, dan kemudian
menyusun konsep penangannya. Data input analisis ini adalah kasus-kasus penanganan
lahan terlantar yang telah dilakukan sebelumnya, baik di dalam maupun luar negeri.
Langkah berikutnya adalah membandingkan instrumen penanganan yang telah
dilakukan dengan permasalahan lahan terlantar yang telah dirumuskan sebelumnya.
Pada akhirnya dicari kesesuaian perangkat penanganan yang tepat berdasarkan
permasalahan lahan terlantar yang dihadapi.
3.4 Kerangka Pikir Penulisan
Sistematika pemikiran dalam penyusunan karya tulis ini dijelaskan pada Gambar 1.

16

Keberadaan Lahan Terlantar di
Perkotaan:
Menganggu estetika kota
Inefisiensi lahan perkotaan
Hilangnya potensi keuangan
kota
Berpeluang menimbulkan
konlik lahan
Hilangnya nilai sosial lahan

Teori-teori tentang lahan
terlantar
Kasus-kasus tentang
lahan terlantar
Regulasi tentang lahan
terlantar

Pengertian dan
Karaktertistik
Lahan Terlantar

Permasalahan
Lahan Terlantar

Penanganan Lahan
Terlantar
belum optimal
Tipologi
Permasalahan
Lahan Terlantar

Konsep Penanganan
Lahan terlantar
yang tepat

Konsep
Penanganan
Lahan Terlantar

Gambar 1 Kerangka Pikir Penulisan

17

Kebijakan
Penanganan
Lahan Terlantar

Landasan
Penanganan
Lahan Terlantar

Instrumen
Penanganan
Lahan Terlantar

BAB 4
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1 Perkembangan Lahan Terlantar
Gambaran empiris lahan terlantar dalam tulisan ini mengambil kasus di Kota
Bandung. Sebagai salah satu kota besar di Indonesia, kondisi lahan terlantar
di Kota Bandung tidak jauh berbeda dengan kota-kota besar lainnya.
Gambaran perkembangan lahan terlantar ini diambil dari penelitian yang
dilakukan

oleh

Ariastita,

2004.

Berdasarkan

penelitian

tersebut,

perkembangan lahan terlantar di Kota Bandung diperlihatkan pada Tabel 4
berikut.
Tabel 4
Perkembangan Lahan Terlantar di Kota Bandung
Tahun 1999-2002
TAHUN
1999
2001
2002

LUAS LAHAN
TERLANTAR
(Ha)
576.71
576.95
571.21

PROPORSI
(%)
3.45
3.45
3.41

Sumber: Ariastita, 2004
Keterangan: Lahan terlantar pada tabel di atas adalah
lahan terlantar tidak terbangun

Berdasarkan Tabel 4 atas, perkembangan lahan terlantar di Kota Bandung relatif
stabil, yaitu sekitar 3% dari total luas lahannya selama perioda tahun 1999-2002. Namun
demikian, luas lahan terlantar yang sebenarnya jauh lebih besar. Hal ini karena pendataan
yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kota Bandung tidak menghitung lahan terlantar
yang secara fisik terbangun. Jika lahan terlantar terbangun juga diikutsertakan dalam
perhitungan, maka perhitungan luas lahan terlantar di Kota Bandung tentunya akan lebih
besar dibandingkan dengan data di atas.
Pengamatan terhadap lahan terlantar juga dapat dilakukan dari pendekatan status
perolehan tanah ijin lokasi. Pemegang ijin lokasi diwajibkan melakukan pembebasan /
pengusaan terhadap lahan sesuai dengan luas lahan yang telah disepakati dan selanjutnya
dimanfaatkan sesuai dengan ijinnya. Akan tetapi, pembebasan tanah ini seringkali
terhambat, sehingga perolehan lahannya tidak sesuai dengan kewajibannya. Kondisi ini

18

mengindikasikan adanya lahan terlantar, karena pemegang ijin lokasi tidak memanfaatkan
lahannya sesuai dengan dasar penguasaannya. Data tersebut diperlihatkan pada Tabel 5.
Tabel 5
Kemajuan Perolehan Lahan Berdasarkan Ijin Lokasi

TAHUN

KECAMATAN

LUAS IJIN
LOKASI
(Ha)

2000

Bandung Kulon
Cicadas
Ciumbuluit dan Cidadap
Bojongloa Kidul
Rancasari
Kiaracondong
Bandung Kidul
Ujung Berung
TOTAL

15
3.19
80
11
25
7
60
30
231.19

2001

2002

PEROLEHAN TANAH
TELAH
DIKUASAI/
PROPORSI
DIBEBASKAN
(%)
(Ha)
9.35
62.33
1.77
55.49
0
0.00
8.93
81.18
3.36
13.44
0
0.00
0
0.00
8.25
27.50
31.66
13.69

Sumber: Kantor Pertanahan Kota Bandung, 2002

Tabel 5 di atas memperlihatkan kemajuan perolehan lahan dari pemegang ijin
lokasi. Sisa lahan yang belum dikuasai atau dibebaskan diindikasikan merupakan lahan
terlantar atau tergolong lahan yang ditelantarkan pemiliknya. Pemegang ijin lokasi dapat
dikatakan belum memanfaatkan lahannya sesuai dengan dasar perolehan (ijin lokasi) yang
diberikan. Dengan demikian, berdasarkan status pengembangannya, lahan terlantar jenis
ini dapat digolongkan sebagai lahan terlantar yang belum seluruhnya dimanfaatkan.
4.2 Permasalahan Mendasar Lahan Terlantar
Penelitian yang dilakukan oleh Ariastita, 2004 di Kota Bandung menemukan
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya lahan terlantar. Adapun faktor-faktor tersebut
adalah faktor ekonomi, fisik/lokasi, hingga faktor kebijakan/administrasi. Faktor-faktor ini
juga serupa dengan hasil yang diperoleh Ardhianty, 2002 dalam penelitiannya di Kota
Bandung. Adapun rincian dari faktor-faktor penyebab terjadinya lahan terlantar ini
diperlihatkan pada Tabel 1 Lampiran B.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Ariastita, 2004 dan Ardhianty, 2002 dapat
disimpulkan bahwa penyebab terjadinya lahan terlantar merupakan pencerminan dari
motivasi pemilik lahan untuk mengosongkan lahannya. Pemilik lahan merupakan pelaku
yang paling mempengaruhi terjadinya lahan terlantar. Faktor-faktor sosial-ekonomi,
fisik/lokasi, dan kebijakan/administrasi yang telah diidentifikasi sebelumnya pada dasarnya

19

dapat dikelompokkan ke dalam dua motivasi pemilik untuk menelantarkan lahannya.
Adapun kedua motivasi tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1. Penyebab yang dikatagorikan sebagai motivasi ingin mendapat keuntungan, terdiri dari
spekulasi lahan dan investasi
2. Penyebab yang dikatagorikan sebagai adanya hambatan dalam memanfaatkan lahan,
terdiri dari relokasi sektor kegiatan, keterbatasan modal, tidak laku dijual, karakteristik
fisik/lokasi yang tidak sesuai, serta hambatan karena kebijakan/administrasi
pemerintah.
Kedua motivasi di atas dapat dikatakan sebagai permasalahan mendasar yang
menyebabkan timbulnya lahan terlantar khususnya di perkotaan. Dengan diketahuinya
permasalahan tersebut, maka konsep penanganan lahan terlantar dapat dirumuskan.
4.3 Konsep Penanganan Lahan Terlantar
Konsep penanganan lahan terlantar dirumuskan berdasarkan hasil perumusan
permasalahan mendasar lahan terlantar dan hasil sintesa kajian literatur tentang
penanganan lahan terlantar. Pada prinsipnya, konsep penanganan lahan terlantar ditinjau
dari kebijakan lahan adalah memberikan insentif untuk motivasi adanya hambatan dalam
pengembangan lahan, serta memberikan disinsentif untuk motivasi yang ingin
mendapatkan keuntungan. Selanjutnya prinsip tersebut dijabarkan ke dalam landasan
penanganan lahan dan perangkat-perangkat operasionalnya.
Dalam konteks kebijakan lahan, perangkat-perangkat penanganan lahan lahan
terlantar dapat dikelompokkan seperti pada Tabel 6 berikut
Tabel 6
Klasifikasi Perangkat Penanganan Lahan Terlantar
Berdasarkan Skema Insentif dan Disinsentif
INSENTIF DAN DISINSENTIF

ASPEK
PENANGANAN

EKONOMI

INSENTIF
1.
2.
3.
4.
5.

Bantuan Dana/Grant
Pengurangan Sewa Lahan
Pinjaman
Kerjasama swasta/Pihak Lain
Pengurangan Pajak/ Pungutan
Lain
6. Bank Lahan Inkonvensional

DISINSENTIF
1. Pajak Progresif

2. Pencabutan Hak Atas Lahan
3. Pengalihan Hak Atas Lahan
4. Pre-Emption Right

HUKUM

20

INSENTIF DAN DISINSENTIF

ASPEK
PENANGANAN

ADMINISTRATIF

INSENTIF
7. Inventarisasi dan Promosi
8. Kemudahan Penyelesaian
Kasus Administrasi
9. Tamporary use
10. Kemudahan Permohonan dan
Prosedur Perijinan

DISINSENTIF
5. Teguran/ Peringatan Tertulis
6. Pencabutan atau Tidak
Diterbitkannya Ijin
7. Ketentuan tentang
Keharusan Menyewakan
Lahan

Sumber: Rangkuman dari Kivell, 1993 serta Lampiran A: Tabel 1, Tabel 2, dan Tabel 3

Berdasarkan perspektif kebijakan lahan, perangkat penanganan lahan terlantar dapat
dikelompokkan berdasarkan aspek penanganannya serta skema instentif dan disinsentif.
Dari Tabel 6 dapat dijelaskan bahwa perangkat penanganan tersebut dapat dikelompokkan
menjadi enam katagori, yaitu perangkat-perangkat penanganan untuk aspek ekonomi,
hukum, dan administratif yang masing-masing dapat dipecah lagi ke dalam katagori
insentif dan disinsentif. Pengelompokkan perangkat ini juga mengindikasikan aspek
persoalan yang ditangani nantinya.
Jika perangkat-perangkat di atas dikaitkan dengan landasan manajemen lahan yang
digunakan, maka dapat dikelompokkan seperti yang diperlihatkan pada Tabel 7 berikut ini.
Tabel 7
Potensi Penerapan Perangkat Penanganan Lahan terlantar
Berdasarkan Landasan Manajemen Lahan
LANDASAN
MANAJEMEN
LAHAN
Bundles of Right
Eminent Domaint
Police Power

Taxation
Spending Power

PERANGKAT PENANGANAN
LAHAN TERLANTAR
1.
2.
3.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.

Pre-Emption Right
Pengalihan Hak Atas Lahan
Pencabutan Hak Atas Lahan
Kemudahan Perijinan
Kemudahan Penyelesaian Kasus
Administratif
Teguran atau Peringatan Tertulis
Temporary Use
Pencabutan Ijin
Keharusan Menyewakan Lahan
Kerjasama swasta
Pengurangan Pajak
Pajak Progresif
Bantuan Dana/Grant
Pengurangan Sewa Lahan
Pinjaman
Bank Lahan Inkonvensional
Inventarisasi dan Promosi

PERANGKAT YANG
TELAH DITERAPKAN
DI INDONESIA
1. Pencabutan Hak Atas
Lahan
3. Pencabutan Ijin
4. Teguran atau Peringatan
Tertulis
5. Keharusan Menyewakan
Lahan
6. Temporary Use
-

Sumber: Ardhianty, 2002 serta Lampiran A: Tabel 1, Tabel 2, dan Tabel 3

21

Tabel 7 di atas juga memperlihatkan perangkat-perangkat penanganan lahan terlantar yang
telah dipergunakan di Indonesia hingga saat ini. Dari 17 parangkat yang tersedia, hanya 5
perangkat yang telah diterapkan di Indonesia. Berdasarkan informasi ini kita dapat melihat
bahwa sebenarnya masih banyak perangkat yang dapat digunakan untuk menangani lahan
terlantar.
Perangkat yang tersedia tersebut pada dasarnya dapat diformulasikan untuk
menangani persoalan mendasar lahan terlantar yang telah dirumuskan sebelumnya. Artinya
terdapat perangkat yang dapat dipergunakan untuk menangani lahan terlantar yang didasari
oleh adanya motivasi pemilik lahan untuk mengambil keuntungan. Demikian pula terdapat
perangkat yang dapat dipergunakan untuk manangani persoalan lahan terlantar karena
pemiliknya mengalami hambatan dalam mengembangkan lahan. Formulasi bagaimana
perangkat penanganan yang tersedia dapat digunakan untuk mengatasi persoalan lahan
terlantar dirumuskan sebagai konsep penanganan lahan terlantar. Adapun Konsep tersebut
diperlihatkan pada Tabel 8. Selanjutnya, konsep ini yang nantinya dapat digunakan untuk
mengatasi permasalahan lahan terlantar di perkotaan.
Penerapan dari konsep tersebut dilakukan secara bertahap. Tentunya diawali dari
permasalahan dasarnya terlebih dahulu. Penanganan awal dilakukan melalui perangkatperangkat administrasi. Jika perangkat ini belum berhasil, maka dilanjutkan dengan
perangkat ekonomi, dan jika belum berhasil, maka langkah terakhirnya adalah perangkat
hukum. Untuk masing-masing persoalan tersedian beberapa perangkat penanganan.
Pemilihan perangkat didasarkan atas kondisi setempat. Secara lebih sistematis, prosedur
penerapan konsep penanganan lahan terlantar diperlihatkan pada Gambar 1 di Lampiran C.

22

Tabel 8
Konsep Penanganan Lahan Terlantar di Perkotaan
PERSOALAN LAHAN
TERLANTAR
Motivasi
Spekulasi/
Mengambil
investasi
Keuntungan
Relokasi
sektor
kegiatan
Keterbatasan
modal

-

-

ADMINISTRASI
Teguran/ peringatan tertulis
Pencabutan atau pembatalan ijin
Temporary use
Teguran/ peringatan tertulis

Teguran/ peringatan tertulis

PERANGKAT PENANGANAN
EKONOMI
- Pajak progresif pada lahan terlantar
-

Motivasi
Karena
Hambatan
dalam
Pengembangan

Tidak laku
dijual

-

Teguran/ peringatan tertulis

Karakteristik
fisik/lokasi
yang tidak
sesuai
Hambatan
karena
kebijakan/
administrasi
pemerintah

-

Teguran/ peringatan tertulis

-

Teguran/ peringatan tertulis
Penyelesaian kasus administrasi
Kemudahan permohonan/
prosedur perijinan

-

Sumber: Analisis dari Permasalahan Mendasar Lahan Terlantar, Tabel 6, dan Tabel7

23

Bantuan dana dari pemerintah untuk
perbaikan infrastruktur
Konsolidasi lahan
Kerjasama swasta/ pihak lain
Bank lahan inkonvensional
Pengurangan sewa lahan
Pinjaman/ akses ke lembaga
keuangan
Pengurangan pajak atau pungutan
lain
Kerjasama swasta atau pihak lain
Bank lahan inkonvensional
Kerjasama swasta atau pihak lain
Bank lahan inkonvensional
Inventarisasi dan promosi
Kerjasama swasta/pihak lain
Bank lahan inkonvensional
Konsolidasi lahan
Inventarisasi dan promosi

-

HUKUM
Pencabutan hak atas lahan
Pre-empton right

BAB 5
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada bagian sebelumnya, maka dapat
dirumuskan kesimpulan sebagai berikut:
1. Persoalan mendasar dari lahan terlantar di perkotaan pada dasarnya disebabkan oleh
motivasi pemilik lahannya. Adapun motivasi tersebut adalah adanya hambatan dalam
pengembangan lahan dan adanya keinginan untuk memperoleh kuntungan.
2. Instrumen pananganan lahan terlantar dapat diklasifikasikan berdasarkan aspek
administrasi, ekonomi, dan hukum. Instrumen-instrumen tersebut juga dapat
dikatagorikan sebagai instrumen yang bersifat insentif dan disinsentif.
3. Konsep penanganan lahan terlantar pada prinsipnya menggunakan perangkat yang
bersifat insentif untuk menangani lahan terlantar yang disebabkan karena adanya
hambatan dalam penanganannya, sebaliknya menggunakan perangkat yang bersifat
disinsentif untuk motivasi mengambil keuntungan. Penerapan konsep ini dilakukan
secara bertahap, yaitu dari perangkat administrasi, ekonomi, dan terakhir hukum.
5.2 Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan

yang telah

dirumuskan, maka karya tulis

ini

merekomendasikan sebagai berikut:
1. Lahan terlantar khususnya diperkotaan harus segera ditangani terutama untuk
menegakkan nilai sosial lahan seperti yang diamanatkan dalam UU No. 5 Tahun 1960
Tentang Pokok-Pokok Agraria.
2. Untuk mengefektifkan penanganan lahan terlantar, konsep yang telah dihasilkan dapat
dijadikan sebagai masukkan dalam regulasi teknis penanganan lahan terlantar, terutama
di dalam PP No.36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Lahan
Terlantar.
3. Perangkat-perangkat penanganan yang belum ada di Indonesia perlu dirumuskan
kelembagaan pendukungnya.

24

DAFTAR RUJUKAN
1. Ardhiaty, Niken Laras (2002). Konsep Penerapan Insentif dan Disinsentif untuk
Penanganan Lahan terlantar. Tugas Akhir, Departemen Teknik Planologi Institut
Teknologi Bandung
2. Ariastita, Putu Gde (2004). Perumusan Materi Pokok Peraturan Perundang-Undangan
tentang Lahan terlantar. Tesis, Program Magister Perencanaan Wilayah dan Kota,
Departemen Teknik Planologi, Institut Teknologi Bandung
3. Chapin Jr, Stuart & Edward J Kaiser (1979). Urban Land Use Planning. University of
Illinois Press
4. Departemen Dalam Negeri (1982). Landasan Kebijaksanaan Pertanahan
5. Darin-Drabkin, Haim (1977). Land Policy and Urban Growth. Pergamon Press
6. Dunkerley, Harold (1983). Urban Land Policy, Issues and Opportunities. Washington.
Oxford University Press
7. Hallet, Graham (1979). Urban Land Economic. London. The Macmillan Press Ltd
8. Herbet, Antoni dan Ferry (1999). Penyebab dan Dampak Lahan Tidur Perumahan di
Kabupaten Bandung. Proyek Akhir, Departemen Teknik Planologi, Institut Teknologi
Bandung
9. Kivell. Philip (1993). Land and the City Patterns and Processes of Urban Change.
Routledge, New York
10. ___, Awalnya menggarap, Akhirnya Membangun dan “menguasai”. Kompas, 1
Oktober 2003
11. ___, Soal Penggusuran Eks Lahan Tidur: Butuh Lahan, Lupa Logika. Kompas 1
Oktober 2003

25