PERLINDUNGAN HAM BAGI NARAPIDANA DI INDO

1.PERLINDUNGAN HAM BAGI
NARAPIDANA DI INDONESIA Oleh:
Rusmilawati Windari, SH,MH

1. PENDAHULUAN
1. A. Latar Belakang
“All Human being are born free and equal in dignity and rights”,[1] artinya
adalah setiap manusia dilahirkan merdeka (bebas) dan mempunyai hak yang
sama. Pengakuan HAM yang telah diakui secara universal dan dirumuskan
dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) ini menunjukkan
bahwa HAM merupakan hak asasi yang melekat pada diri setiap manusia
tanpa membedakan jenis kelamin, umur, status, ras, kebangsaan, ataupun
perbedaan lainnya.
Pernyataan UDHR di atas merupakan prinsip fundamental dari pengakuan
HAM. Prinsip fundamental tersebut harus benar-benar dipahami oleh semua
pihak tanpa terkecuali. Hal ini dikarenakan karena setiap orang berpotensi
melanggar HAM, dan sebaliknya setiap orang juga berpotensi untuk dilanggar
HAM-nya, sekalipun orang tersebut adalah narapidana (para pelaku
kejahatan). Narapidana memang merupakan seseorang yang telah
melanggar HAM orang lain, namun bukan berarti HAM yang melekat pada
dirinya dengan serta merta hilang dan dia boleh diperlakukan semena-mena

oleh pihak lain guna menebus semua perbuatan jahatnya.
Hak asasi manusia (HAM), sering digambarkan sebagai masalah moral yang
bersifat universal. Sebagian HAM itu ada yang bersifat interaliable (tak bisa
dilenyapkan)dan unviolable (tak bisa diganggu gugat). HAM semacam itu
disebut sebagai non-derogable human rights, yaitu hak –hak asasi yang tidak
dapat diingkari atau dilanggar sekalipun negara dalam keadaan “internal
unrest”, “civil war or public emergency”[2]
Berkaitan dengan non-derogable human rights, Muladi merinci beberapa hak
– hak yang termasuk dalam kategori hak asasi sifatnya non-derogable adalah
sebagai berikut:[3]

1. a. right to life;
2. b. prohibition of torture;
3. c. prohibition of slavery;
4. d. prohibition of inprisonment solely for inability to fulfill a contractual
obligation;
5. e. prohibition of expost facto;
6. f. right to recognition as a person by the law; and
7. g. freedom of religion.
Bertolak dari pemahaman non-derogable human rights di atas, narapidana

sebagai seorang yang dirampas sebagian haknya tentunya tetap berhak
memperoleh perlindungan atas hak-hak asasinya yang bersifat nonderogable sebagaimana yang telah dirinci oleh prof. Muladi. Kenyataan yang
terjadi justru sebaliknya, dikarenakan label “narapidana” yang melekat pada
dirinya dan dianggap sebagai orang pesakitan oleh sebagian orang, maka
seolah-olah seorang narapidana tidak mempunyai hak apapun.
Tindakan semena-mena atau kekerasan memang rentan sekali terjadi
terhadap tersangka, terdakwa maupun narapidana. Dalam sejarah,
penahanan manusia untuk keperluan pemeriksaan atau pemidanaan ntuk
tujuan penghukuman di negara manapun pernah mengalami masa-masa
suram. Negara-negara Eropa barat, dalam hal ini terkenal dengan
penghukuman yang kejam terhadap para pelaku kejahatan, seperti
penenggelaman hidup-hidup, hukum bakar, bahkan hingga abad ke -19, di
Belanda masih berlaku tindakan memberi cap pada tubuh narapidana
dengan besi panas yang membara.[4]
Bentuk-bentuk kekerasan semacam memang tidak ada dalam sistem
pemidanaan pada zaman modern saat ini, terlebih lagi sejak adanya
pergeseran tujuan pemidanaan yang tidak lagi diorientasikan pada
pembalasan belaka, melainkan lebih diorientasikan pembinaan narapidana
demi terwujudnya rehabilitasi dan resosialisasi. Namun, bukan berarti
narapidana lepas dari segala bentuk kekerasan dalam penjara. Tindak


kekerasan dalam bentuk lain yang berkedok pada rangkaian pembinaan
narapidana justru seringkali terjadi. Kita masih ingat beberapa kasus
kekerasan yang menimpa beberapa narapidana, seperti kasus Paris
Pangaribuan di medan pada tahun 1996, kasus Marsinah, tjetje tadjudi, dan
kasus lainnya.
Mengingat kondisi narapidana yang rentan sekali mendapat tindakan
kekerasan selama menjalani masa hukumannya, maka sebagai manusia
yang juga diakui eksistensinya oleh hukum, patut kiranya dibahas mengenai
Bagaimanakah perlindungan HAM yang diberikan oleh hukum kepada para
narapidana.
1. B. Perumusan Permasalahan
Bertolak dari latar belakang di atas, maka penulis merumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Apakah sajakah yang menjadi hak-hak narapidana sebagai bagian
dari HAM?
2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap HAM para narapidana di
Indonesia?
3. II. PEMBAHASAN
1. A. Hak Asasi Manusia dan Perkembangannya

Pembicaraan dengan mengangkat topik Hak asasi manusia (HAM) dewasa
ini memang seolah-olah tidak pernah ada habisnya. Bagaimana tidak, sejak
peristiwa paling fenomenal “Black Tuesday” terjadi pada tanggal 11
September 2001, semenjak itu lah, topik Hak-hak asasi manusia semakin
mendapat perhatian khusus dari banyak kalangan, terutama para akademisi
dan praktisi hukum.
Sebenarnya topik mengenai Hak asasi manusia bukan merupakan topik yang
baru. Pengakuan hak-hak manusia bahkan telah ada dalam beberapa
dokumen Internasional antara lain, dalam piagam Magna Charta (tahun
1215), Habeas Corpus Act (tahun 1679), Bill Of Rights (tahun 1689), Di
Amerika, pada tahun 1776 menyusun Bill of Rights (Virginia), kemudian

dipertegas lagi dengan “Declaration of Independence 1778, Declaration des
Droits de l’homme et du Citoyen (Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warga
Negara Perancis pada tahun 1789). Dalam perkembangan selanjutnya, pada
tahun 1948 hak-hak asasi manusia diakui secara Internasional dengan
dikeluarkannya Deklarasi HAM sedunia.[5]
Selanjutnya, Muladi menggambarkan perkembangan HAM ke dalam 3 (tiga
bentuk), yaitu:[6]
1. pertama, HAM yang bernuansa hak-hak sipil dan politik, sebagaimana

yang tersirat dan tersurat dalam dalam piagan HAM universal PBB
1948;
2. Kedua, HAM yang berkaitan dengan hak-hak ekonomi, sosial, budaya,
yang berkembang pada tahun 1966;
3. Ketiga, HAM yang berkaitan dengan hak-hak kolektif, yang
dikembangkan pada tahun 1986.
Hak asasi manusia merupakan hak-hak dasar yang dibawa manusia
semenjak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, maka perlu
dipahami bahwa HAM tersebut tidaklah bersumber dari negara dan hukum,
tetapi smata-mata bersumber dari Tuhan sebagai pencipta alam semesta
beserta isinya, sehingga pada prinsipnya HAM itu tidak dapat dikurangi oleh
siapapun bahkan oleh negara.[7]
Definisi HAM di atas senada dengan definisi HAM yang di rumuskan dalam
pasal 1 nomor 1 Undang-undang HAM Nomor39 Tahun 1999 adalah:
“ Seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan YME dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.[8]
Hak-hak dasar manusia yang merupakan anugerah Tuhan YME dan melekat
pada diri setiap manusia menurut konsep hukum alam terdiri atas: the right to

life, the right to liberty, dan the right to property. Kemudian, pada tahun 1941,
Franklin D. Roosevelt menformulasikan empat macam HAM, yaitu: [9]

1. 1. Freedom of speech;
2. 2. Freedom of Religion;
3. 3. Freedom from fear;
4. Freedom for want.
Dalam Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak-hak
Asasi Manusia) 1948 tercantum hak-hak yang paling mendasar yang tidak
dapat dipisahkan dari manusia (unalienable rights of all members of human
family), yaitu : hak atas penghidupan dan keselamatan pribadi (pasal 3).
Larangan tentang penghambaan, perbudakan dan perdagangan budak (pasal
4). Larangan menjatuhkan perlakuan atau pidana yang aniaya dan kejam
(pasal 5). Hak atas pengakuan hukum (pasal 6). Hak atas persamaan di
hadapan hukum dan atas non-diskriminasi dalam pemberlakuannya (pasal 7).
Hak atas pemulihan (pasal 8). Larangan terhadap
penangkapan,penahanan atau pengasingan yang sewenang-wenang (pasal
9). Hak atas pengadilan yang adil (pasal 10). Praduga takbersalah dan
larangan terhadap hukum ex post facto(pasal 11). Hak memiliki
kewarganegaraan (pasal 16). Hak untuk memiliki kekayaan (pasal 17).

Kebebasan berfikir, berhati nurani dan beragama
(pasal 18). [10]
Negara sebagai lembaga kekuasaan tertinggi mempunyai kewajiban untuk
melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) warganya melalui sarana hukum yang
terintegrasikan dalam undang-undang HAM. Narapidana sebagai manusia
dan warga negara juga berhak atas perlindungan hukum atas hak-haknya.
Mengenai hal ini ditegaskan dalam pasal 12 Universal Declaration of Human
Rights yang menetapkan, bahwa:[11]
“no one subjected to arbitrary interference with his privacy, family, or
correspondence, or to attacks upon his honour and reputation, every one has
the right to the protection of the law against such interference or attack” (garis
bawah oleh penulis).
Hak atas perlindungan hukum bagi narapidana juga dirumuskan dalam pasal
3 ayat (2) Undang-undang 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang
berbunyi sebagai berikut:[12]

“ setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan
hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama
di depan hukum”.
Selanjutnya, dipertegas kembali dalam pasal 5 ayat (1), yang berbunyi

sebagai berikut:
“setiap orang diakui sebagai manusia pribadi, yang berhak menuntut dan
memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan
martabat kemanusiaannya di depan hukum”
Pasal 3 ayat (2) dan pasal 5 ayat (1) Undang-undang HAM di atas dengan
jelas dan tegas mengakui persamaan hak dan perlakuan serta perlindungan
di mata hukum. Ketentuan tersebut berlaku untuk semua orang tanpa
terkecuali, baik itu orang baik-baik maupun narapidana. Dengan berdasarkan
ketentuan di atas, maka terhadap setiap bentuk penyiksaan, penganiayaan,
atau tindak kekerasan apapun, narapidana mempunyai hak yang sama di
mata hukum untuk dilindungi dan menuntut keadilan atas kerugian yang
dideritanya.
1. B. Hak-Hak Narapidana
Narapidana menurut pasal 1 nomor 7, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995
merupakan terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS
(Lembaga Pemasyarakatan).[13]
Seperti halnya manusia pada umumnya, seorang narapidana mempunyai hak
yang sama meskipun sebagian hak-haknya untuk sementara dirampas oleh
negara. Adapun hak-hak narapidana yang dirampas oleh negara untuk
sementara berdasarkan Deklarasi HAM PBB 1948, yaitu:[14]

1. hak atas kebebasan bergerak dan berdiam di dalam lingkungan batasbatas tiap negara. (pasal 13 ayat (1));
2. hak meninggalkan suatu negara, termasuk negaranya sendiri (pasal
13
ayat (2));
3. hak mengemukakan pendapat, mencari, menerima dan memberi
informasi (pasal 19);

4. kebebasan berkumpul dan berserikat (pasal 20);
5. hak memilih dan dipilih (pasal 21);
6. jaminan sosial (pasal 22);
7. hak memilih pekerjaan (pasal 23);
8. hak menerima upah yang layak dan liburan (pasal 24);
9. hak hidup yang layak (pasal 25);
10. hak mendapatkan pengajaran secara leluasa (pasal 26);
11. kebebasan dalam kebudayaan (pasal 27).
Sedangkan hak-hak yang dapat dicabut dalam pasal 35 KUHP dapat dirinci
sebagai berikut:[15]
1. hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu;
2. hak memasuki angkatan bersenjata;
3. hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang didasarkan atas aturanaturan umum;

4. hak menjadi penasehat atau pengurus menurut hukum, hak menjadi
wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang
yang bukan ank-anak sendiri;
5. hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau
pengampuan atas anak sendiri;
6. hak menjalankan pencaharian.
Hak-hak yang dicabut oleh KUHP ini merupakan pidana tambahan yang
sifatnya fakultatif. Artinya, penjatuhan pidana tambahan tidak bersifat sertamerta, tergantung dari pertimbangan hakim. Dan, tidak pidana pokok
senantiasa diiringi dengan pengenaan pidana tambahan tersebut.

Pada umumnya, Hak-hak narapidana yang tidak dapat diingkari, dicabut oleh
negara sekalipun dan dalam kondisi apapun, adalah seperti yang tercantum
dalam Deklarasi HAM PBB 1948, yaitu: hak atas penghidupan dan
keselamatan pribadi (pasal 3). Larangan tentang penghambaan, perbudakan
dan perdagangan budak (pasal 4). Larangan menjatuhkan perlakuan atau
pidana yang aniaya dan kejam (pasal 5). Hak atas pengakuan hukum (pasal
6). Hak atas persamaan di hadapan hukum dan atas non-diskriminasi dalam
pemberlakuannya (pasal 7). Hak atas pemulihan (pasal 8). Larangan
terhadap penangkapan, penahanan atau pengasingan yang sewenangwenang (pasal 9). Hak atas pengadilan yang adil (pasal 10). Praduga tak
bersalah dan larangan terhadap hukum ex post facto (pasal 11). Hak

memiliki kewarganegaraan (pasal 16). Hak untuk memiliki kekayaan (pasal
17). Kebebasan berfikir, berhati nurani dan beragama (pasal 18).[16]
Beberapa hak-hak yang tercantum dalam Deklarasi HAM PBB ini, juga telah
dirumuskan secara singkat dalam pasal 4 Undang-undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang HAM, yang berbunyi sebagai berikut:[17]
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,hak kebebasan pribadi, pikiran, dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah HAM yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.
Hak-hak Asasi manusia yang telah tersebut di atas, kemudian dijabarkan lagi
dalam pasal 14 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, yaitu:[18]
1. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaan;
2. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
3. mendapatkan pendidikan dan pengajaan;
4. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
5. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media masaa
lainnya yang tidak larangan;

6. mendapat upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
7. menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum atau orang tertentu
lainnya;
8. mendapat pengurangan masa pidana (remisi);
9. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi
keluarga;
10. mendapatkan pembebasan bersyarat;
11. mendapatkan cuti menjelang bebas;
12. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundnagundangan yang berlaku.
Manual lembaga Pemasyarakatan mengatur setidaknya ada 5 (lima) hak
narapidana yang diberikan apabila narapidan tersebut telah memenuhi
persyaratan tertentu. Hak – hak tersebut adalah:[19]
1. mengadakan hubungan terbatas dengan pihak luar;
Negara tidak berhak membuat seorang narapidana menjadi lebih buruk dari
sebelumnya. Selama menjalani masa hukumannya, seorang narapidana
harus secara berangsur-angsur diperkenalkan dengan masyarakat dan tidak
boleh diasingkan dari masyarakat. Antara lain dengan cara: surat menyurat
dan kunungan keluarga.
1. memperoleh remisi;
Setiap 17 Agustus 1945, berdasarkan Keppres Nomor 5 Tahun 1987, setiap
narapidana yang berkelakuan baik, telah berjasa kepada negara, melakuakn
perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan, dan narapidana
yang membantu kegiatan dinas LAPAS, akan memperoleh remisi.
1. memperoleh asimilasi;
Selama kehilangan kemerdekaannya, seorang narapidana harus secara
berangsur-angsur diperkenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh

diasingkan dari masyarakat. Asimilasi dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu: asimilasi ke dalam (yaitu, hadirnya masyarakat ke dalam LP), dan
asimilasi ke luar (yaitu, hadirnya narapidana di tengah-tengah masyarakat).
1. memperoleh cuti;
2. memperoleh pembebasan bersyarat.
Hak ini merupakan hak pengintegrasian narapidana, yaitu hak narapidana
untuk sepenuhnya berada di tengah-tengah masyarakat, dengan syarat
narapidana tersebut telah menjalani 2/3 dari masa hukumannya. Narapidana
yang memperoleh pembebasan bersyarat ini tetap diawasi oleh BAPAS dan
Jaksa negeri setempat.
C.

Perlindungan Hukum Terhadap HAM Narapidana

Perlindungan hukum narapidana dapat diartikan sebagai upaya perlindungan
hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi narapidana (fundamental
rights and freedoms of prisoners) serta berbagai kepentingan yang
berhubungan dengan kesejahteraan narapidana. (definisi ini merupakan hasil
modifikasi penulis dari definisi perlindungan Hukum Anak, oleh Barda Nawawi
Arief).[20]
Perlindungan hukum atas hak-hak narapidana di Indonesia sebenarnya telah
diatur dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak-Asasi
Manusia, dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan.
Inti perlindungan narapidana adalah terwujudnya pembinaan narapidana
sesuai dengan sistem pemasyarakatan yang diberlakukan dalam Undangundang Pemasyarakatan.
Sistem pemasyarakatan adalah suatu susunan elemen yang berintegrasi
yang membentuk suatu kesatuan yang integral membentuk konsepsi tentang
perlakuan terhadap orang yang melanggar hukum pidana atas dasar
pemikiran rehabilitasi, resosialisasi, yang berisi unsur edukatif, korektif,
defensif dan yang beraspek individu dan sosial.[21]

Bertolak dari pemahaman mengenai sistem pemasyarakatan tersebut, maka
dapat dikatakan bahwa tujuan dari pembinaan narapidana itu sendiri tidak
lain adalah rehabilitasi dan resosialisasi narapidana, dengan menyertakan
unsur-unsur edukatif, korektif dan defensif. Tujuan pembinaan ini
menunjukkan bahwa tindakan-tindakan yang tidak bernilai edukatif, korektif
dan defensif dalam proses pembinaan tidak dibenarkan, apalagi tindakan –
tindakan yang memenuhi tindak pidana seperti halnya penyiksaan ataupun
penganiayaan.
Tindak pidana yang kerapkali menimpa narapidana di dalam penjara adalah
tindak pidana yang melibatkan unsur-unsur kekerasan di dalamnya, baik yang
dilakukan oleh sesama narapidana, maupun oleh petugas LP.
Dalam Declaration Against Torture and Other Cruel in Human Degrading
Treatment or Punishment (adopted by the general assembly, 9 Desember
1975), dengan tegas melarang semua bentuk:[22]
“penganiayaan atau tindakan kejam lain, perlakuan dan pidana yang tidak
manusiawi dan merendahkan martabat manusia dan merupakan pelanggaran
hak-hak dasar manusia”.
Pembinaan narapidana mengandung makna memperlakukan seseorang
yang berstatus narapidana untuk dibangun agar bangkit menjadi seseorang
yang baik. Atas dasar pengertian pembinaan yang demikian itu sasaran yang
perlu dibina adalah pribadi dan budi pekerti narapidana, yang didorong untuk
membangkitkan rasa harga diri pada diri sendiri dan orang lain, serta
mengembangkan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan
kehidupan yang tentram dan sejahtera dalam masyarakat, dan selanjutnya
berpotensi luhur dan bermoral tinggi.[23]
Demi menghindari tindakan yang mengandung penyiksaan atau bentuk
kekerasan lainnya, maka pembinaan narapidana harus didasarkan atas
pedoman-pedoman yang telah diatur dalam pasal 5 Undang-undang Nomor
12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yaitu:[24]
1. Pengayoman
2. Persamaan perlakuan dan pelayanan;
3. Pendidikan;

4. Pembimbingan;
5. Penghormatan harkat dan martabat manusia;
6. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan
orang-orang tertentu.
Menurut Muladi, Pemasyarakatan merupakan suatu proses pembinaan
narapidana yang sering disebut theurapetics proccess, yakni membina
narapidana dalam arti menyembuhkan seseorang yang tersesat hidupnya
karena kelemahan-kelemahan tertentu. [25]
Bertolak dari pemikiran prof. Muladi di atas, menurut penulis jika narapidana
dianggap sebagai orang yang sedang sakit atau tersesat, maka pembinaan
yang dikenakan terhadapnya harus benar-benar arif dan bijaksana. Bila
dianalogikan sebagai orang sakit, tentunya masing-masing narapidana
mempunyai penyakit yang berbeda-beda, dan proses penyembuhannya dan
obatnya pun berbeda juga. Demikian pula halnya dengan pembinaan
narapidana, petugas LP seharusnya memberikan pembinaan yang juga
disesuaikan dengan kondisi dari narapidana itu sendiri, tanpa adanya
tindakan-tindakan pembinaan di luar kewajaran.
Tindakan kekerasan apapun tidak dibenarkan sebagai salah satu metode
pembinaan narapidana. Konsep ini harus dipahami oleh setiap narapidana.
Menurut pasal 5 Code of Conduct for Law Enforcement Officials menegaskan
bahwa: “ Tak seorang petugas penegak hukum pun boleh menimbulkan,
mendorong atau mentoleransi tindakan penyiksaan……….juga tidak dapat
mengemukakan perintah atasan atau keadaan luar biasa………….sebagai
pembenaran penyiksaan”.[26]
Selanjutnya kembali dipertegas pasal 10.1 International Convenant Civil
Politic Rights (ICCPR) bahwa: “Semua orang yang dicabut kebebasannya
akan diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat
yang menjadi sifat pribadi manusiawi mereka”.[27]
Ketentuan tersebut mengisyaratkan bahwa kehilangan kemerdekaan
merupakan satu-satunya penderitaan yang dikenakan terhadap narapidana.
Oleh karena itu, narapidana harus tetap diperlakukan secara manusiawi dan
dengan menghormati martabat yang menjadi sifat pribadi manusia mereka.

Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga
binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari
kesalahan,memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga
dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan aktif
dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik
dan bertanggung jawab.
Dalam rangka mencapai tujuan pembinaan narapidana, sistem kepenjaraan
ini memberi pedoman yang disebut “Sepuluh prinsip pemasyarakatan”, ialah:
[28]
1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya
bekal hidup sebagai warga negara yang baik dan berguna dalam
masyarakat;
2. penjatuhan pidana bukan tindakan pembalasan dendam dari negara;
3. rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa, melainkan dengan
bimbingan;
4. negara tidak berhak membuat seorang narapidana lebih buruk atau
lebih jahat daripada sebelum ia masuk lembaga;
5. selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus
dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari
masyarakat;
6. pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat
mengisi waktu atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan lembaga
atau negara saja. Pekerjaan yang diberikan harus ditujukan untuk
pembangunan negara;
7. bimbingan dan didikan harus berdasarkan asas Pancasila;
8. tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia
meskipun ia telah tersesat. Tidak boleh ditunjukkan kepada
narapidana bahwa ia itu penjahat;
9. narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan;

10. Sarana fisik lembaga dewasa ini merupakan salah satu hambatan
pelaksanaan sistem pemasyarakatan.
Sistem pemasyarakatan di Indonesia seringkali mendapat kritikan tajam,
karena dianggap tidak berhasil dalam menyelenggarakan pembinaan pada
para narapidana dan masih menyisakan metode-metode kolonial, sehingga
melanggar HAM dari narapidana. Menurut penulis, anggapan tersebut tidak
sepenuhnya benar. Ditinjau dari hukum positif Indonesia (baik Undangundang HAM dan Undang-undang Pemasyarakatan), sebenarnya
perlindungan hukum HAM narapidana sebagian besar telah diatur dalam
kedua undang-undang tesebut. Dengan kata lain, kedua undang-undang
tersebut telah cukup memberikan perlindungan bagi narapidana.
Menurut penulis, terjadinya praktek-praktek kekerasan terhadap para
narapidana, perlu dipahami kembali bahwa keberhasilan sistem peradilan
pidana tidak hanya ditentukan oleh kualitas dari hukum substantifnya saja,
melainkan juga ditentukan oleh kualitas perilaku para penegak hukum atau
pelaksana hukum itu sendiri dan kualitas . Bukankah hukum itu tidak lain
adalah
“ it doesn’t matter what the law says. What matters is what
the guy behind the desk inteprets the law says”.[29] Artinya tidak lain adalah
bahwa hukum juga tergantung pada para penegak hukum/pelaksana hukum
dalam mengintepretasikan hukum itu sendiri.
III. PENUTUP
1. A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka penulis menyimpulkan
bahwa:
1. Narapidana seperti halnya manusia pada umumnya mempunyai hakhak yang juga harus dilindungi oleh hukum. Hak-hak yang harus
dilindungi tersebut terutama hak-hak yang sifatnya non-derogable,
yakni hak – hak yang tidak dapat diingkari atau diganggu gugat oleh
siapapun dan dalam keadaan apapun.
Adapun hak-hak asasi tersebut dalam pasal 4 Undang-undang Nomor 39
Tahun 1999 dirinci sebagai berikut: Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,
hak kebebasan pribadi, pikiran, dan hati nurani, hak beragama, hak untuk

tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
Selanjutnya, dijabarkan lagi dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan, yakni di antaranya: hak untuk memperoleh remisi,
hak beribadah,hak untuk mendapat cuti, hak untuk berhubungan dengan
orang luar secara terbatas, hak memperoleh pembebasan bersyarat, dan
hak-hak lainnya seperti yang tercantum dalam pasal 14 Undang-undang
Pemasyarakatan.
1. Perlindungan hukum terhadap HAM narapidana telah cukup dilindungi
oleh hukum positif Indonesia (Undang-undang HAM dan Undangundang Pemasyarakatan), yakni dalam bentuk Pembinaan yang
diorientasikan pada rehabilitasi dan resosialisasi narapidana. Namun
pada kenyataannya, masih banyak terjadi praktek-praktek
pelanggaran HAM di dalam LP yang dilakukan oleh petugas LP, yaitu
dengan menggunakan metode-metode kekerasan dalam membina
narapidana.