BIAS GENDER DALAM BUKU PENDIDIKAN AGAMA

BIAS GENDER DALAM BUKU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH DASAR

Al Rasyidin

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatera Utara Jln. Willem Iskandar Pasar V Medan Estate, Medan 20371 E-mail: alrasyidin_68@yahoo.co.id

Abstrak: Pada hakikatnya, Islam menempatkan laki-laki dan per- empuan dalam kedudukan yang sama, yang membedakan ke- duanya hanyalah ketaqwaannya kepada Allah. Namun, dalam tataran empirik, prinsip persamaan ini berbeda antara normativitas dengan dimensi praktiknya. Perlakuan bias gender masih banyak ditemui, tidak hanya dalam masyarakat, tetapi juga di sekolah, bahkan dalam buku buku pelajaran sekolah. Beranjak dari hal itu, maka penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara kritis informasi bias gender yang terdapat dalam buku-buku pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) Se- kolah Dasar. Dengan menggunakan pendekatan inquiry qualitative dan analisis data content analysis, penelitin ini menstudi empat buku PAI SD, yaitu terbitan Esis, Yudistira, Tiga Serangkai, dan Erlangga. Penelitian ini menemukan bahwa buku-buku PAI yang diteliti masih memuat informasi bias gender, baik dalam bentuk margina- lisasi, subordinasi, beban kerja ganda, dan pencitraan negatif ter- hadap perempuan. Secara lebih khusus, penelitian ini menemu- kan bahwa laki-laki merupakan pihak yang dominan ditampilkan dalam seluruh buku PAI yang diteliti. Baik dalam bentuk pernyata- an, ungkapan, narasi, maupun ilustrasi, ‘wajah dan dunia’ laki- laki ditampilkan lebih luas dibanding ‘wajah dan dunia’ per- empuan.

Kata kunci: bias gender, marginalisasi, buku pelajaran, Pendidik- an Agama Islam

GENDER BIASES IN THE ISLAMIC EDUCATION TEXTBOOKS IN ELEMENTARY SCHOOL

Al Rasyidin

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatera Utara Jln. Willem Iskandar Pasar V Medan Estate, Medan 20371 E-mail: alrasyidin_68@yahoo.co.id

Abstract: Islam puts men and women in an equal position; what distinguishes them is their degree of pity. However, this egalitarian principle has not always been true in practice. Gender biases can still be found not only in the society in general but also in particular at school and in the textbooks used. This study is aimed to examine critically gender biases in the school textbooks especially on Islamic Religious Education books. The study analyzes four Islamic Education Textbooks published by four different publishers, namely Esis, Yudistira, Tiga Serangkai and Erlangga. The study’s methodological approach is inquiry qualitative and uses content analysis. The study demonstrates that the textbooks examined echo biases in the form of marginalization, subordination, work burden and stereotyping imposed on a particular gender. Male biases are present in most aspects of the book structure such as in the form of question, expression, narratives and illustration.

Keywords: gender biases, text books, marginalization, Islamic religious education

Bias Gender (Al Rasyidin)

PENDAHULUAN

Dalam perspektif Islam, laki-laki dan perempuan pada dasarnya adalah sama, yakni sama-sama makhluk ciptaan Allah Swt, sama-sama dianugerahi potensi untuk mengembangkan diri, sama-sama memiliki harkat dan martabat kemanusiaan, dan sama- sama diperintahkan untuk mengabdikan diri kepada-Nya. 1 Karena itu, tidak ada perbedaan prinsipil antara laki-laki dan perempuan. Jika ada, perbedaan itu lebih menyangkut fungsi-fungsi reproduksi belaka.

Namun, dalam tataran empirik, konsep dan prinsip per- samaan itu berbeda antara keharusan normatif dengan dimensi praktiknya. Dalam masyarakat patrilinial, dimana kedudukan, peran, dan fungsi laki-laki lebih diutamakan dari pada perempuan. Sebaliknya, kedudukan, peran, dan fungsi perempuan sering diposisikan pada tempat yang lebih rendah. Artinya, masyarakat patrilinial cenderung berlaku bias gender. Banyak fakta memper- lihatkan berbagai bentuk perlakuan bias gender dalam masyarakat seperti memarginalkan peran perempuan, menomorduakan per- empuan, membebani perempuan dengan peran dan kerja ganda, melakukan tindakan kekerasan terhadap perempuan, dan mem- berikan pencitraan atau pelabelan negatif terhadap perempuan.

Sikap masyarakat yang bias gender tersebut, ternyata terus diwariskan dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Orang tua dan masyarakat, misalnya, masih memperlakuan anak laki- laki dan perempuan secara berbeda. Laki-laki sering diutamakan misalnya di sekolahkan sampai ke jenjang pendidikan tinggi, sedangkan perempuan dinomorduakan dan dianggap kurang penting ‘sekolah tinggi-tinggi’. Bias gender itu tidak saja berbentuk perlakuan, tetapi juga penggunaan bahasa yang seringkali me- rujuk kepada laki-laki.

Selain itu, bias gender ternyata juga terjadi di lembaga- lembaga pendidikan formal (sekolah). Melalui penelitiannya, Yustina Rostiwati menemukan situasi dan kondisi dimana guru berperilaku bias gender dalam mengajar. Sejumlah guru Sekolah Dasar di Jakarta yang diwawancarai mengenai cara mengajarnya di kelas antara lain menyatakan bahwa hanya anak laki-laki yang boleh menghapus papan tulis, karena anak perempuan memakai rok. Hanya anak perempuan yang diberi tugas menyapu lantai karena bisa lebih bersih dan sudah biasa. Guru juga ternyata

1 Lihat misalnya Qs. al-Nisâ’/4:124, Qs. al-Tawbah/9:71, dan Qs. al- Hujurât/49:13.

Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 81-114 memberi nilai lebih baik kepada anak perempuan, sebab tulisannya

lebih bagus dan rapi, karena itu nilainya bisa lebih baik atau senang melihat penampilan anak perempuan yang rapi dan cantik, sehingga lebih mudah memberikan penilaian. 2

Selain dalam bentuk perlakuan guru dalam mengajar, bias gender di sekolah juga ternyata diproyeksikan melalui bahan- bahan bacaan, termasuk buku-buku teks yang digunakan di Seko- lah Dasar. Beberapa penelitian menginformasikan bahwa buku- buku pelajaran yang digunakan di sekolah-sekolah Indonesia masih banyak yang bias gender. Misalnya, penelitian yang dilakukan Logsdon (1985) dan Astuti serta Indarti dan Sasriyani (1999), sebagaimana dikutip Achmad Muthali‘in, menemukan bahwa buku-buku teks yang digunakan di Sekolah Dasar memuat

bias gender. 3 Astiatun menemukan adanya bias gender dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Dasar. 4 Ace Suryadi

menyatakan bahwa materi ajar pada mata pelajaran PPKn, Bahasa Indonesia, IPS, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Jasmani dinilai

masih bias gender. 5 UNICEF menemukan bahwa banyak buku pelajaran yang bias gender dan sangat kuat kesan stereotip gender- nya. Ilustrasi yang terdapat dalam buku-buku pelajaran Sekolah Dasar lebih banyak yang menonjolkan anak laki-laki ketimbang

perempuan. 6 Penelitian Meuthia Fadila Fachruddin menemukan bahwa terdapat bias gender dalam buku IPS untuk Sekolah Dasar terbitan Grafindo Media Pratama karya Supriatna dan buku pelajaran Ekonomi untuk SLTP terbitan Ganeca karya Dada Darosjach. 7 Penelitian lain menemukan bahwa, di antara buku- buku pelajaran yang masih bermuatan bias gender adalah buku- buku terbitan pihak penerbit swasta, seperti Grafindo, Yudhistira, Erlangga, dan Tim Bina Karya Guru. 8

2 Yustina Rostiawati, Antara Kenyataan dan Yang Dipelajari: Apakah Dunia Pendidikan Mengikuti Zaman? Makalah dipresentasikan dalam acara Semiloka

Pendidikan untuk Perempuan “Belajar dari Pengalaman Pesantren’ yang diselenggarakan oleh Rahima (Jakarta, 5 Januari 2005).

3 Achmad Muthali‘in, Bias Gender dalam Pendidikan (Surakarta: Muhammadiyah University Perss, 2001).

4 Astiatun, “Bias Gender dalam Wacana Buku teks” dalam www.kompas.com, diakses 26 Juni 2009.

5 Lihat “Buku PPKn, BI, IPS, dan Agama Bias Gender: Kurang Menguntungkan Pemerataan Pendidikan”, dalam www.pikiran-rakyat.com,, diakses

13 Agustus 2009. 6 UNICEF, “Lembar Fakta: Pendidikan Untuk Anak Perempuan di

Indonesia” dalam www.unicef.org, diakses 12 Mei 2009. 7 Meuthia Fadila Fachruddin, “Kesetaraaan Gender di Sekolah Dasar”,

dalam Module Development Team Training. Medan, 5-9 Juni 2006. 8 www.digilib.ums.ac.id, diakses 12 Mei 2009.

Bias Gender (Al Rasyidin)

Kenyataannya, bias gender tidak hanya terdapat dalam buku-buku pelajaran umum, tetapi sebagaimana dinyatakan Suryadi, juga terdapat dalam buku-buku pelajaran pendidikan

agama. 9 Karena itu, studi yang bersifat spesifik terhadap buku- buku pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) menemukan signi- fikansinya untuk dilakukan guna melihat secara lebih cermat informasi bias gender yang terdapat di dalamnya. Sebab, secara teoretik, muatan dalam suatu buku akan turut membentuk pan- dangan dan sikap para peserta didik yang mempelajarinya. Bila informasi yang tersaji menanamkan konsep-konsep yang keliru – apalagi salah – maka efeknya akan memunculkan pandangan dan sikap yang keliru pula.

Selama ini, studi-studi tentang bias gender selalu terfokus pada ketidakadilan gender yang hanya dialami kaum perempuan. Memang tidak dapat dinafikan fakta-fakta empiris tentang ketidak- adilan terhadap kaum perempuan. Namun, perlakuan tersebut sebenarnya tidak hanya dialami perempuan, karena ketidakadilan gender juga bisa dialami kaum laki-laki. Sebab, sebagaimana dinyatakan Faqih dalam Achmad Muthali‘in, ketidakadilan gender adalah suatu sistem dan struktur yang menempatkan laki-laki maupun perempuan sebagai korban dari sistem. 10 Artinya, laki- laki dan perempuan berpotensi mengalami ketidakadilan gender. Karena itu, dalam konteks penelitian ini, studi terhadap buku- buku pelajaran PAI untuk Sekolah Dasar akan difokuskan pada informasi, baik yang berbentuk ungkapan atau narasi maupun ilustrasi atau gambar, berkenaan dengan bias gender terhadap laki-laki dan perempuan.

Dipilihnya buku-buku pelajaran PAI Sekolah Dasar sebagai objek studi didasarkan atas pertimbangan berikut: (1) penanaman dan transformasi konsep atau pengetahuan tentang ajaran agama – dalam hal ini konsep tentang gender – idealnya sudah dilakukan sedini mungkin. Sesuatu yang diperoleh peserta didik pada masa ini akan menjadi dasar-dasar pengetahuan yang kelak diperlukan bagi menjalani kehidupan masa depan. Secara formal, proses penanaman dan transformasi itu dimulai dari Sekolah Dasar; (2) selain melalui informasi verbal, proses penanaman dan transfor- masi pengetahuan kepada peserta didik usia Sekolah Dasar dilaku- kan dengan menggunakan media cetak buku. Untuk menarik minat dan perhatian anak, buku-buku tersebut umumnya menyaji- kan infromasi melalui cerita yang dilengkapi dengan ilustrasi

9 Meuthia Fadila Fachruddin, “Kesetaraaan Gender”. 10 Muthali‘in, Bias Gender dalam Pendidikan.

Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 81-114 gambar atau peristiwa. Secara psikologis, bagi anak usia Sekolah

Dasar, cerita dan gambar akan memberi kesan yang cukup kuat ke dalam struktur kognisi, yang pada gilirannya akan mem- pengauhi perilaku mereka; (3) kekeliruan – apakah lagi kesalahan – dalam penanaman dan transformasi konsep atau pengetahuan kepada peserta didik pada jenjang Sekolah Dasar akan sangat berpengaruh terhadap pemahaman dan perilaku yang kelak ditampilkan dalam kehidupan masa depannya. Karenanya, untuk menghindari atau setidaknya meminimalisir hal itu, perlu dilaku- kan studi terhadap buku-buku PAI yang digunakan di Sekolah Dasar, dan (4) dari penelitian yang telah dilakuan sejumlah kala- ngan ditemukan bahwa terdapat bias gender dalam buku-buku pelajaran umum Sekolah Dasar. Karenanya, dalam konteks penelitian ini, peneliti ingin mengetahui apakah hal tersebut juga terjadi pada buku-buku PAI Sekolah Dasar.

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifi- kasi dan menganalisis secara kritis informasi bias gender yang terdapat dalam buku-buku pelajaran PAI untuk Sekolah Dasar. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara kritis pernyataan, ungkapan, narasi, dan ilustrasi yang: (1) memarginalisasi salah satu pihak, baik laki-laki atau perempuan, (2) menomorduakan (subordinasi) salah satu pihak, (3) menjustifikasi beban kerja ganda lebih berat yang harus dilakukan laki-laki/perempuan, (4) menjustifikasi tindakan kekerasan terhadap salah satu pihak, (5) memberi pencitraan atau pelabelan negatif terhadap salah satu pihak.

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan informasi untuk merumuskan konsep-konsep teoretik tentang gender dalam buku PAI untuk Sekolah Dasar, sehingga penanaman informasi yang keliru – apalagi salah – tentang gender bisa dihindari dalam rangka mempraktikkan konsep persamaan kemanusiaan dalam Islam. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan: (1) menjadi bahan masukan dan pertimbangan bagi para penulis buku pelajaran PAI untuk Sekolah Dasar dalam mendeskripsi, mengkonseptualisasi, dan meng- informasikan berbagai hal berkenaan dengan gender, (2) menjadi bahan acuan dan pertimbangan bagi para penerbit buku-buku pelajaran PAI dalam memilih dan memutuskan penerbitan naskah buku pelajaran yang ditulis para penulis buku atau sebagai bahan masukan dan pertimbangan untuk melakukan revisi bagi penerbitan buku PAI pada penerbitan berikutnya.

Bias Gender (Al Rasyidin)

METODE PENELITIAN

Penelitian ini termasuk dalam kategori mode of inquiry qualitative. Jenis mode of inquiry qualitative yang digunakan adalah analisis isi atau content analysis. Dalam penelitian pendidikan, analisis isi termasuk salah satu bentuk dari a conceptual analysis. 11 Dengan demikian, analisis isi termasuk sebuah analisis konseptual, yaitu suatu studi yang mengklarifikasi makna dari sebuah konsep dengan cara menggambarkan makna generik, makna-makna yang berbeda, dan pengunaan yang sesuai dari suatu konsep tersebut.

Data penelitian ini diperoleh dari buku-buku pelajaran PAI untuk Sekolah Dasar. Dalam penelitian kualitatif, buku-buku tersebut disebut juga sebagai dokumen. 12 Sebagai dokumen, buku- buku tersebut adalah bahan-bahan tertulis yang bisa bersifat resmi atau tidak, publik atau pribadi, diterbitkan atau tidak, dipersiapkan secara intensional untuk memelihara rekaman sejarah atau dipersiapkan untuk menyajikan sebuah tujuan praktis terkini.

Buku PAI yang digunakan sebagai sumber data penelitian ini dipilih dari empat buku terbitan nasional yang diduga kuat tersebar di seluruh Indonesia dan digunakan pada sejumlah Sekolah Dasar. Buku-buku dimaksud adalah: (1). Moh. Masrun S, dkk, Senang Belajar Agama Islam, Jakarta: Erlangga, 2007, (2). Achmad Farichi, S.Pd.I, dkk., Khazanah Pendidikan Agama Islam, Jakarta-Bogor: Yudistira, 2007, (3). M.A. Maksum, Khazanah Pendidikan Agama Islam untuk Sekolah Dasar. Solo: PT Tiga Serangkai Mandiri, 2007, (4) Moh. Thohir, dkk, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Esis, 2007. Seluruh buku-buku PAI ini disusun berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Sekolah Dasar.

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data verbal, baik berbentuk pernyataan tertulis maupun ilustrasi atau gambar, yang terdapat dalam isi keempat buku PAI tersebut. Data yang berbentuk pernyataan tertulis dan ilustrasi atau gambar yang dihimpun untuk dianalisis dalam penelitian ini adalah berkenaan dengan tema-tema peminggiran (marjinalisasi), penomorduaan (subordinasi), beban ganda (double burden), tindak kekerasan, dan pencitraan atau pelabelan negatif (stereotype) terhadap salah satu gender, baik laki-laki maupun perempuan.

11 James H. McMillan dan Sally Schumacher, Research in Education: A Conceptual Introduction (New York: Longman, 2001), 506.

12 Ibid., 502.

Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 81-114

Data penelitian ini dianalisis dengan menggunakan teknik analisis isi (content analysis). Menurut Muhadjir 13 , dalam melaku-

kan analisis isi ada tiga langkah yang ditempuh peneliti, yaitu: (1) menetapkan tema dan kata kunci yang dicari dalam dokumen yang akan diteliti dan dikaji, (2) memberi makna atas tema dan kata kunci tersebut, dan (3) melakukan interpretasi internal. Sesuai pendapat tersebut, maka analisis data penelitian ini dilakukan dengan mengikuti tiga langkah berikut: pertama, menetapkan tema atau kata kunci. Dalam konteks penelitian ini tema atau kata kunci dimaksud berkenaan dengan informasi bias gender, baik marginali- sasi, subordinasi, beban kerja ganda, tindak kekerasan, maupun pencitraan atau pelabelan negatif terhadap salah satu gender, yang terdapat dalam isi buku PAI tersebut. Kedua, memberi makna terhadap tema atau kata kunci tersebut dengan cara mempelajari dan menelusuri kandungan makna yang terdapat pada setiap tema atau kata kunci untuk memperjelas keseluruhan pengertian, informasi yang disampaikan, baik melalui pernyataan maupun ilustrasi atau gambar yang terdapat dalam buku-buku PAI yang diteliti. Ketiga, melakukan interpretasi internal, yaitu menguji ke- absahan informasi bias gender yang berhasil diidentifikasi dengan informasi lain yang secara keseluruhan terdapat dalam buku atau sumber data yang sama. Hal ini dimaksudkan agar data-data tentang bias gender yang berhasil diperoleh peneliti dari buku- buku yang distudi tidak bertentangan secara internal dengan informasi lain yang terdapat dalam sumber yang sama.

Dalam menganalisis tema atau kata kunci, akan diadopsi jenis analisis isi semantik sebagaimana dikemukakan Krippendorff 14 yang berfokus pada: pertama analisis penunjukan (designation), yaitu menggambarkan frekuensi seberapa sering objek tertentu ditunjuk atau dirujuk. Kedua, analisis penafsiran (attributions), yaitu menggambarkan frekuensi seberapa sering karakterisasi tertentu dirujuk. Ketiga, analisis pernyataan (assertions), yaitu menggambarkan frekuensi seberapa sering objek tertentu dikarakterisasikan secara khusus. Berdasarkan pandang- an tersebut, akan dilihat seberapa sering: (1) salah satu gender (laki-laki atau perempuan) dirujuk dalam tema-tema marginalisasi, subordinasi, beban kerja ganda, mendapatkan perlakuan kekerasan, dan pencitraan atau pelabelan negatif. (2) tema-tema marginalisasi, subordinasi, beban kerja ganda, mendapatkan per-

13 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1995), 90-94.

14 Klaus Krippendorff, Analisis Isi: Pengantar Teori dan Metodologi, terj. Farid Wajidi, cet. 2 (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993), 36.

Bias Gender (Al Rasyidin)

lakuan kekerasan, dan pencitraan atau pelabelan negatif dirujuk kepada salah satu gender, laki-laki atau perempuan. (3) laki-laki atau perempuan dikarakterisasikan secara khusus dengan tema- tema marginalisasi, subordinasi, beban kerja ganda, mendapatkan perlakuan kekerasan, dan pencitraan atau pelabelan negatif.

Dalam konteksnya dengan penjaminan kesahihan data, penelitian ini menggunakan teknik pencermatan kesahihan inter- nal dan eksternal. Kesahihan internal dibangun melalui prosedur analisis yang menempatkan masing-masing unit data ke dalam kategorinya. Sedangkan kesahihan eksternal dibangun dengan cara mengkonsultasikan data dan temuan penelitian dengan teori berkenaan dengan tema yang diteliti dan diskusi atau seminar hasil penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Isi Buku

Secara umum, isi seluruh buku PAI yang dijadikan sebagai sumber data penelitian ini disusun sesuai dengan Kurikulum Nasional mata pelajaran PAI. Secara rinci, isi buku PAI tersebut sebagai berikut:

Tabel 1. Topik/ Materi PAI Kelas 1-6 Sekolah Dasar

Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 81-114

Bias Gender (Al Rasyidin)

Bentuk-Bentuk Bias Gender

1. Peminggiran atau Marginalisasi Meskipun tidak secara vulgar, namun kesan kuat bahwa

dunia ini adalah cerminan laki-laki tampak dominan dalam buku PAI terbitan Esis. Dalam sejumlah topik dan uraian, sosok ibu dan anak perempuan sama sekali tidak pernah disebut, yang sering disebut adalah ayah. Sejumlah contoh tentang hal ini bisa disari- kan pada tabel berikut:

Tabel 2. Tokoh Laki-Laki dalam Buku PAI Terbitan Esis

Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 81-114

Berdasar tabel tampak bahwa laki-laki menjadi tokoh domi- nan yang disebut dan divisualisasikan dalam bentuk gambar pada buku PAI terbitan Esis. Kecenderungan ke arah menempatkan per- empuan dalam posisi marginal juga tampak jelas dari topik ayat- ayat pilihan pada buku jilid 6. Meskipun secara visual diilustrasi- kan sebuah keluarga terdiri dari ayah-ibu dan dua orang anaknya (Nurdin dan Tini) yang sedang pergi rekreasi, namun dalam urai- an, ibu sama sekali tidak pernah disebut, yang diceritakan hanya- lah aktivitas ayah dengan Nurdin dan Tini. 15 Begitu pula, pada hari Minggu pagi, ketika menjelaskan tentang amalan di bulan Ramadan kepada anak, tokoh yang ditampilkan hanya Pak Harun tanpa sama sekali memvisualisasikan dan menyebut peran ibu. Dalam buku-buku PAI terbitan Esis, tokoh perempuan selalu ditampilkan dalam wilayah domestik, seperti mengingatkan anak untuk thaharah, mencuci piring dan menyapu, menunggu anak makan siang, menyiapkan makanan, dan mengajari Ilham bacaan shalat. 16

15 Moh. Thohir, dkk., Pendidikan Agama Islam untuk Sekolah Dasar Kelas VI, jilid VI (Jakarta: Esis, 2007), 72-73.

16 Ibid., jilid I, 40 dan 86, jilid II, 28.

Bias Gender (Al Rasyidin)

Berbeda dengan terbitan Esis, buku PAI terbitan Yudistira tampak menempatkan laki-laki dan perempuan dalam kedudukan relatif seimbang. Dalam setiap topik dan uraian, selalu saja ada tokoh laki-laki dan perempuan dengan peran dan aktivitas yang setara. Ada Agis dan Anis, Dimas dan Dini, Evi, Anto, dan Susi, Iwan dan Ninis, Siti dan Dono, Ahmad dan Rosa, Niko dan Vera, Dudi dan Ida, Amin dan Minah, dan masih banyak yang lainnya. Dalam keseluruhan isi buku, laki-laki dan perempuan selalu ditampilkan bersama, baik ketika melaksanakan suatu aktivitas maupun visualisasi dalam bentuk ilustrasi gambar.

Tokoh utama yang ditampilkan dalam buku-buku PAI terbitan Yudistira adalah Agis (laki-laki) dan Anis (perempuan). Dalam jilid 1, kedua anak ini, baik secara visual-ilustratif maupun uraian, ditampilkan sebagai anak yang baik, seperti mendirikan shalat, mengaji, hidup bersih, jujur, dan bertanggung jawab.

Dalam buku jilid 2, tokoh Agis lebih dominan ditampilkan, seperti sebagai sosok yang tekun belajar al-Qur’an, selalu ingat kepada Allah, memiliki banyak teman, belajar shalat, selalu berzikir, dan bersama teman-teman belajar tata cara shalat. Semen- tara itu, Anis digambarkan sebagai anak yang segera berwudu bila marah dan satu kali disebut bersama Agis rajin belajar membaca al-Qur’an dan mengucakan salam bila bertemu guru.

Dalam jilid 3, Agis dan Anis ditampilkan sebagai sosok yang mengenal Allah Swt, biasa berperilaku terpuji, ingin berangkat mengaji, dan sedang kerja bakti. 17 Secara sendiri, Anis tidak pernah ditampilkan. Berbeda dengan itu, Agis ditampilkan secara sendiri sebagai anak yang hemat, berdoa dengan penuh pengharapan dan lemah lembut, dan bersama teman-teman dan keluarga melakukan shalat berjama‘ah. 18

Dalam jilid 4, Agis ditampilkan berangkat ke sekolah dengan mengucapkan basmallah, bermimpi buruk, meyakini bah- wa alam ciptaan Allah, selalu berzikir, shalat berjamaah di Masjid, selalu bersalaman dengan orang tuanya, dan meminta izin pada orang tua ketika akan bermain. 19 Sementara Anis hanya ditampil- kan sebagai anak perempuan sedang berdoa, tidak mau diajak

membolos, zikir dan berdoa selesai shalat. 20 Selain itu, secara ber-

17 Achmad Farichi, Khazanah Pendidikan Islam, jilid III (Bogor: Yudistira, 2007), 18, 30, 76, 116.

18 Ibid., 39, 101, 132, 144. 19 Ibid., jilid IV, 1, 15, 20, 31, 61, 115, 130.

20 Ibid., 47, 100, 141.

Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 81-114 sama-sama, Agis dan Anis ditampilkan dalam suasana gembira

karena mendapat nilai bagus. 21 Dalam jilid 5, Agis dan Anis secara bersama ditampilkan

sebagai anak yang selalu bersemangat dalam belajar, pulang mengaji, dan rajin belajar mengaji. 22 Secara mandiri, Agis lebih

dominan ditampilkan. Anis hanya ditampilkan sebagai anak yang amanah, 23 sementara Agis sebagai sosok yang berani tampil, sabar dan tabah, mengumandangkan azan, dan suka membantu ibu memberi makan ternak. 24

Dalam jilid 6, meskipun secara bersama Agis dan Anis ditampilkan sebagai anak yang mendapat nilai bagus karena rajin membaca dan memanfaatkan waktu dengan baik, serta rajin pergi ke masjid, 25 namun Anis tidak pernah ditampilkan secara sendiri. Sementara Agis, secara mandiri ditampilkan sebagai anak yang berperilaku rukun dan akrab bermain bersama teman, rajin, pintar, dan selalu mengerjakan shalat tarawih. 26

Berdasarkan penelaahan terhadap jilid 1-6 seluruh buku PAI terbitan Yudistira, dapat disimpulkan bahwa laki-laki tampak lebih dikedepankan, baik dalam paparan maupun ilustrasi gambar.

Dalam buku-buku PAI terbitan Tiga Serangkai, baik dalam uraian maupun ilustrasi, tampak bahwa secara kuantitatif banyak nama dan gambar laki-laki dan perempuan yang ditampilkan. Tidak seperti terbitan Esis dan Yudistira, dalam buku PAI terbitan Tiga Serangkai tidak ada tokoh anak laki-laki dan perempuan yang tetap ditampilkan secara dominan. Hampir dalam setiap topik dan bahasan, nama laki-laki dan perempuan disebut terus berganti- ganti. Dalam buku jilid satu antara lain disebut ada Abid, Farah, Hamid, Naufal, Tika, Fiya, Fatma, Aziz, Hafid, Rania, Musa, Irma, Hanif, Faizah, Ali, Ikwan, Fatimah, dan Rahmah. Dalam buku jilid 2 disebut nama Zahra, Anis, Ilham, Naufal, Ahdan, Adib, Nurul, Dimas, Ahmad, Saleh, Fatimah, Nisa, Udin, Hasan, Rasyid, Silfi, Tafia, Halida, dan lainnya. Dalam buku-buku jilid berikutnya, keadaan seperti itu hampir tidak berbeda.

Dalam jilid 1, ibu digambarkan sebagai sosok yang bertugas di wilayah domestik, seperti memasak, 27 mengandung, melahir-

21 Ibid., 81. 22 Ibid., jilid V, 1, 13, 70. 23 Ibid., 84. 24 Ibid.,

25, 40, 55, 106. 25 Ibid., jilid 6, 1, 71.

26 Ibid., 42, 55. 27 M.A. Maksum, Khazanah Pendidikan Islam, jilid I (Solo: Tiga Serangkai

Pustaka Mandiri, 2007), 34.

Bias Gender (Al Rasyidin)

kan, menyusui, merawat dan menjaga anak ketika sakit. Berbeda dengan itu, ayah digambarkan sebagai sosok yang bekerja di luar wilayah domestik. Jadi, ibu berada di wilayah domestik dan ayah di luarnya.

Dalam buku-buku PAI terbitan Erlangga, nama laki-laki dan perempuan ditampilkan dalam porsi yang relatif seimbang. Ada Imam dan Aminah, Aida, Haifa, Hamid, Aisyah, Aziz, Adwa, Nisa, Ahmad, Akrom, Azka, Andi, dan lainnya. Namun, pada ilustrasi yang divisualisasikan melalui gambar, laki-laki tampak lebih banyak dan sering ditampilkan. Secara rinci, hal ini bisa dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3. Jumlah Ilustrasi Gambar dalam Buku PAI Terbitan Erlangga Berdasarkan Jenis Kelamin

Pada keseluruhan ilustrasi, tampak jelas bahwa laki-laki lebih dikedepankan dibanding perempuan. Seiring dengan itu, maka dalam buku-buku PAI terbitan Erlangga, peran laki-laki juga tampak begitu menonjol dalam berbagai lapangan bila dibanding- kan dengan perempuan. Laki-laki ditampilkan sebagai sosok yang memiliki ‘wajah dan dunia’ yang lebih luas ketimbang perempuan.

Contoh yang praktis sama terdapat dalam semua buku PAI, baik terbitan Esis, Yudistira, Tiga Serangkai, maupun Erlangga, adalah memvisualisasikan gambar laki-laki dalam mempraktikkan tata cara mengambil wudu. Sepertinya, kaum perempuan belum mendapatkan contoh konkrit dari gendernya sendiri tentang bagai- mana praktik tata cara mengambil wudu. Padahal, wudu adalah syarat yang harus dipenuhi semua Muslim, baik laki-laki maupun perempuan, ketika akan mengerjakan shalat.

2. Subordinasi Gender Meski terdapat nama anak perempuan yang ditampilkan, seperti Annisa, Rahma, Dita, Nani, dan Lusi, namun dalam buku PAI terbitan Esis, tampak bahwa laki-laki cenderung ditampilkan

Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 81-114 sebagai jenis kelamin dominan. Tokoh Ilham merupakan sosok

anak laki-laki yang baik, bertanggungjawab terhadap diri sendiri dan orang lain, disiplin, berakhlak terpuji, 28 belajar mengaji ke

masjid, sejak kecil sudah terbiasa mengerjakan shalat, anak yang cerdas, 29 paling fasih membaca al-Qur’an, dan juara lomba baca puisi. 30 Secara kuantatif, nama Ilham selalu disebut dan divisuali- sasikan dalam bentuk gambar atau ilustrasi yang terdapat dalam hampir semua topik bahasan. Selain Ilham, tokoh lain yang selalu disebut dan muncul dalam setiap bahasan juga anak laki-laki, di antaranya Toni, Nurdin, Amir, Gufron, Hakim, Doni, Heru, M. Soleh, dan Ahmad.

Dalam buku PAI terbitan Esis ini juga ditampilkan nama sejumlah orangtua yang berjenis kelamin laki-laki, di antaranya Pak Hasan, Pak Harun, dan Pak Ilham. Dari jilid 1 sampai 6, praktis tidak ditemukan nama orang tua berjenis kelamin perempuan, kecuali ibu guru Aisyah. 31 Selain itu, orang tua berjenis kelamin perempuan seluruhnya ditulis dengan sebutan ibu. Hal ini jelas mengindikasikan bahwa perempuan masih dinomorduakan.

Dalam buku-buku PAI terbitan Esis, terdapat kolom yang diberi judul Sepenggal Hikmah. Kolom ini tampaknya dibuat khusus untuk menyajikan kisah yang mengandung hikmah untuk diteladani. Dari keseluruhan cerita yang disajikan dalam kolom Sepenggal Hikmah tersebut, tampak bahwa laki-laki merupakan jenis kelamin dominan. Setidaknya, hal itu bisa dilihat dari judul kolom Sepenggal Hikmah sebagaimana tabel berikut:

Tabel 4. Judul dan Jenis Kelamin yang Dominan Disebut dalam

Sepenggal Kisah pada Buku PAI Terbitan Esis

28 Thohir, dkk., Pendidikan Agama Islam, jilid I (Jakarta: Esis, 2007), 15, 33, 85, 91.

29 Ibid., jilid II, 2, 52, 70, 94, 104, dan 114. 30 Ibid., jilid III, 78. 31 Ibid., jilid I, 12.

Bias Gender (Al Rasyidin)

Hampir sama dengan buku PAI terbitan Esis, kesan bahwa dunia ini adalah ‘wilayah laki-laki’ juga masih tampak dalam buku-buku PAI terbitan Yudistira. Dari keseluruhan isi buku, per- empuan dominan ditempatkan pada wilayah domestik dengan

32 33 peran ibu rumah tangga, 34 memasak, guru mengaji, mendidik anak, 35 menyiapkan makanan, 36 memberi makan ayam, 37 dan men-

cuci piring. 38 Sedangkan jenis profesi umumnya adalah sebagai ibu guru. 39 Berbeda dengan itu, laki-laki tampil sebagai imam

32 Farichi, Khazanah Pendidikan Islam, jilid I, 72-73, 130, 131. 33 Ibid., jilid I, 119, 34 Ibid., jilid II, 1; Ibid., jilid IV, 3. 35 Ibid., jilid II, 12, 58, 79, 102, 103. lihat juga Ibid., jilid IV, 15; Ibid., jilid VI,

23, 84. 36 Ibid., jilid II, 59.

37 Ibid., jilid V, 106. 38 Ibid., jilid VI, 90. 39 Ibid., jilid I, 5, 32, 42, 43, 86, 88, 103; Ibid., jilid II, 65, 115, 134; Ibid., jilid III,

1, 10, 25, 35, 36, 96, 144; Ibid., jilid IV, 85; Ibid., jilid V, 77.

Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 81-114

40 shalat, 41 ustaz, guru agama Islam, guru sekolah, dan guru

42 mengaji, 43 serta mengumandangkan azan. Dalam seluruh buku PAI terbitan Yudistira, terdapat kolom

khusus yang diberi judul Kisah Berhikmah. Bila dicermati, dari ke- seluruhan kisah yang ditampilkan tersebut, tampak bahwa laki- laki merupakan sosok yang dominan ditampilkan dan memberi gambaran ‘seolah-olah’ dunia ini wilayahnya laki-laki. Dalam buku jilid 1, dari sembilan Kisah Berhikmah, sebanyak tujuh topik me- nampilkan tokoh laki-laki, dan tiap-tiap satu topik yang mencerita- kan jenis perempuan dan laki-laki-perempuan. Dalam jilid 2, tidak satu pun topik Kisah Berhikmah menampilkan tokoh berjenis ke- lamin perempuan. Dari sembilan Kisah Berhikmah, sebanyak tiga topik menampilkan tokoh dengan jenis kelamin laki-laki, dan enam topik menampilkan secara bersama-sama jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Namun, dalam jilid 3, dari delapan Kisah Berhik- mah, tokoh laki-laki hanya ditampilkan satu kali, sedangkan per- empuan sebanyak dua kali, dan laki-laki bersama perempuan ditampilkan sebanyak lima kali.

Selanjutnya dalam jilid 4, dari sembilan Kisah Berhikmah, sebanyak tiga topik menampilkan tokoh perempuan, dua topik menampilkan tokoh laki-laki dan empat topik menampilkan tokoh laki-laki dan perempuan. Kemudian dalam jilid 5, dari sepuluh Kisah Berhikmah, seluruhnya menampilkan tokoh berjenis kelamin laki-laki. Akhirnya pada buku jilid 6, dari sepuluh Kisah Berhikmah, umumnya berkisah tentang laki-laki, yaitu sebanyak enam topik. Dalam jilid terakhir ini, perempuan hanya ditampilkan dalam dua topik, dan dua topik lagi menampilkan laki-laki dan perempuan. Secara rinci, perbandingan laki-laki dan perempuan yang ditampil- kan dalam Kisah Berhikmah tersebut bisa dilihat pada tabel berikut:

Tabel 5. Judul dan Jenis Kelamin yang Dominan Disebut dalam

Kisah Berhikmah pada Buku PAI Terbitan Yudistira

40 Ibid., jilid I, 22, 36, 84, 119; Ibid., jilid III, 51, 132, 144; Ibid., jilid IV, 14; Ibid., jilid V, 1, 73; Ibid., jilid, 55.

41 Ibid., jilid I, 68-70; Ibid., jilid II, 87. 42 Ibid., jilid III, 18, 21; jilid IV, 62, 91; jilid V, 17, 24; jilid VI, 55. 43 Ibid., jilid V, 55, 56.

Bias Gender (Al Rasyidin)

Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 81-114

Berdasar tabel di atas dapat diketahui bahwa dari total 35 Kisah Berhikmah, sebanyak 19 topik menghadirkan kisah laki-laki,

18 topik menghadirkan kisah dimana terdapat laki-laki dan perempuan, dan hanya 8 topik yang mengisahkan tokoh dengan jenis kelamin perempuan.

Dalam buku-buku PAI terbitan Tiga Serangkai, meskipun tidak terlalu kentara, namun perempuan lebih dominan ditempat- kan pada posisi tradisional seperti guru (paling dominan), me- nyiram bunga, memberi makan ternak, memotong sayur, mencuci piring, belanja, membersihkan halaman rumah, menyapu kelas, mengandung, melahirkan, menyusui, dan merawat anak, semen- tara laki-laki tampil sebagai sosok ustaz, duduk dengan tenang di

Bias Gender (Al Rasyidin)

sofa, bermusyawarah, imam shalat jama‘ah, membaca koran, azan dan iqamah, dan lain-lain. Dari keseluruhan ilustrasi dan uraian, tampak bahwa ‘dunia’ laki-laki ditampilkan lebih ‘luas’ dibanding ‘dunia’ perempuan.

Dalam buku PAI terbitan Erlanga, selain sebagai siswa, perempuan juga banyak ditampilkan sebagai sosok yang mengerja- kan tugas-tugas domestik, seperti membuka jendela, membersihkan kamar, menyapu rumah dan halaman, membersihkan meja

makan, 44 pergi mengaji, mengunjungi jiran tetangga, mengatarkan

45 makanan, 46 menjemur pakaian, membawa keranjang dari pasar, dan sedang belajar di rumah. 47 Berbeda dengan itu, laki-laki ditam- pilkan dalam berbagai penampilan dan peran, seperti imam shalat, bermain-main, mandi, merapikan buku di meja belajar, membuang sampah, membaca al-Qur’an, melakukan pensyahadatan, me- ngamati bangunan, berdiri di ruangan praktik, duduk di kantor, menyeberang jalan, polisi yang menuntun orangtua menyeberang jalan, undangan ke rumah tetangga, gotong royong, memberi makan ayam, menanam pohon, berkumpul dengan teman, membantu ayah memperbaiki mobil, mengumandangkan azan dan iqamah, menyembelih kambing, dan orang yang kaya raya.

Dari keseluruhan peran-peran tersebut, tampak bahwa ‘wajah’ laki-laki praktis tampil dalam berbagai aktivitas dan profesi, sementara perempuan dominan dikesankan hanya terbatas sebagai pelajar dan ibu rumah tangga. Penggambaran demikian jelas menempatkan laki-laki lebih penting bila dibanding perempuan.

3. Beban Kerja Ganda Dari keseluruhan buku-buku PAI yang diteliti, informasi

tentang beban kerja ganda, baik secara naratif maupun ilustratif, hanya mendapat porsi yang sedikit dibanding informasi tentang marginalisasi dan subordinasi gender. Diduga kuat, hal ini dikarenakan materi yang berkaitan dengan jenis-jenis profesi atau pekerjaan belum mendapat porsi yang besar dalam kurikulum dan silabus PAI Sekolah Dasar. 48

Dari narasi dan ilustrasi yang terdapat dalam buku-buku PAI yang diteliti, informasi tentang beban kerja ganda umumnya

44 Masrun S, dkk., Senang Belajar Agama Islam, jilid I, 14, 26, 29, 38, dan 104. 45 Ibid., jilid II, 7, 26, 48, 49 dan 103. 46 Ibid., jilid III, 13, 99. 47 Ibid., jilid IV, 119. 48 Untuk hal ini lihat kembali tabel 1 tentang Topik/ Materi PAI Kelas 1-6

Sekolah Dasar.

Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 81-114 lebih banyak dialami laki-laki ketimbang perempuan. Berbeda

dengan kebanyakan kecenderungan selama ini yang menempat- kan perempuan sebagai jenis kelamin yang memiliki beban kerja ganda, pada buku-buku PAI tebitan Esis, laki-laki atau ayah sering ditampilkan sebagai sosok yang memiliki beban kerja ganda. Di antaranya laki-laki sebagai guru, ayah yang setiap pagi mengajak anaknya shalat subuh dan berolah raga, suka membantu orang, membelikan buku agama untuk anaknya, menemani anak membeli sepeda, bercerita dengan anak, dan mengisi formulir pembayaran pajak. Sementara itu, ibu selalu ditampilkan dalam wilayah domes- tik dengan beban tugas menasehati anak, menunggu anak untuk makan siang, menyiapkan makanan, dan mengajari anak bacaan shalat.

Dalam buku PAI terbitan Yudistira, beban kerja perempuan (ibu) umumnya ditampilkan hanya dalam wilayah domestik, 49

kecuali menjadi guru di sekolah. Sementara laki-laki pulang dari kantor, menjadi ustaz, mencari nafkah, membersihkan halaman, guru di sekolah, imam shalat, hakim yang memutus perkara, pene-

bang kayu, amil zakat, dan lain-lain. 50 Meskipun menggambar- kan wilayah kerja laki-laki berada di luar wilayah domestik, na- mun dari deskripsi tersebut tampak bahwa laki-laki terkesan atau dikesankan menanggung beban kerja yang lebih berat bila di- banding dengan perempuan.

Sama halnya dengan Esis dan Yudistira, dalam buku-buku PAI terbitan Tiga Serangkai, beban tugas laki-laki divisualisasi dan dipaparkan lebih berat ketimbang perempuan. Perempuan umum- nya ditampilkan dalam wilayah domestik sebagai ibu rumah tang-

ga dan pendidik anak-anak, sedangkan di luar wilayah domestik, perempuan ditampilkan sebagai ibu guru yang mengajar dan men- didik murid-murid. Dari keseluruhan ilustrasi dan paparan pada setiap topik dan bahasan, laki-laki selalu dikesankan sebagai sosok yang memiliki berbagai macam tugas dan pekerjaan. Kesannya, laki- laki menanggung beban kerja lebih berat dibanding perempuan.

Berbeda dengan buku-buku PAI di atas, dalam buku-buku PAI terbitan Erlangga, informasi tentang beban kerja ganda hanya dialami perempuan. Dalam buku PAI terbitan Erlangga terdapat narasi yang memaparkan perihal ibu Firman yang harus berjualan di luar rumah untuk membantu suaminya memenuhi nafkah keluarga. Di luar itu, informasi verbal dan ilustrasi yang ditampil-

49 Lihat di antaranya Farichi, dkk., Khazanah Pendidikan Islam, jilid II, 58, 78, 102, 114; jilid VI, 23, 84.

50 Ibid., jilid I, 8-9, 67, 118, 119; jilid V, 17,25, 73; jilid VI, 55, 63, 91, 127, 130.

Bias Gender (Al Rasyidin)

kan buku-buku terbitan Erlangga secara umum hanya membagi beban kerja berdasarkan gender jenis kelamin, dimana laki-laki melakukan tugas atau pekerjaan di luar rumah dan perempuan sebaliknya.

4. Pembenaran bagi Perlakuan atau Tindakan Kekerasan Secara umum, berdasarkan penelahaan yang cermat, dalam

buku-buku PAI terbitan Esis, Yudistira, Tiga Serangkai, dan Erlang-

ga, tidak ditemukan ilustrasi dan paparan atau pernyataan yang secara eksplisit menjurus ke arah pembenaran bagi perlakuan atau tindakan kekerasan, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Jika ada dan bisa disebut, yang terdapat hanyalah ilustrasi dan paparan yang berpotensi atau dapat dikesankan menampilkan perilaku kekerasan.

Di antaranya, dalam buku-buku PAI terbitan Tiga Serang- kai, ada cerita hikmah dan ilustrasi yang menggambarkan tinda- kan kekerasan terhadap seorang budak laki-laki pengikut Nabi Muhammad Saw. Dalam paparan dan ilustrasi tersebut bahkan ditampilkan dan dinyatakan bahwa budak laki-laki tersebut me- ninggal dunia karena disiksa tuannya. 51 Jika guru tidak arif, ilus- trasi dan paparan seperti itu bisa disalah pahami peserta didik. Atau, dalam kasus dimana anak hanya melihat gambar, maka ilustrasi dalam buku ini bisa dimaknai sebagai pembenaran bagi tindak kekerasan. Selain itu, dalam buku ini juga terdapat ilustrasi lain yang berpotensi membenarkan perlakuan tindak kekerasan, yaitu tindakan seorang perempuan dewasa yang menghardik anak yatim dan seorang laki-laki dewasa yang menghadik peminta-minta. 52

Dalam buku-buku PAI terbitan Tiga Serangkai, pelaku dan korban tindak kekerasan dominan dilakukan dan dialami oleh laki- laki. Dari buku jilid 1 sampai 6, perilaku tindak kekerasan tersebut seringkali divisualisaiskan dalam bentuk anak laki-laki yang berkelahi dan laki-laki pengemis yang dihardik. Dalam konteks pelaku perempuan, satu-satunya informasi tindak kekerasan divisualisaikan dalam bentuk ilustrasi dimana seorang perempuan menghardik pengemis laki-laki. Sedangkan dalam konteks korbannya perempuan, dalam buku PAI jilid 5 dinarasikan tindak kekerasan yang dilakukan anak-laki dalam bentuk marah dan memaki Aisyah yang mengingatkan mereka agar jangan meng- ganggu temannya yang sedang mengerjakan shalat. 53

51 Maksum, Khazanah Pendidikan Islam, jilid I, 10-11. 52 Ibid., jilid I, 96. 53 Ibid., jilid 5, 142.

Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 81-114

Dalam buku-buku PAI terbitan Esis, pelaku dan korban tindak kekerasan semuanya dilakukan dan dialami laki-laki. Dalam buku-buku PAI terbitan Esis ini, umumnya tindakan kekerasan ditampilan dalam bentuk visualisasi gambar, seperti ilustrasi dua

orang anak laki-laki yang saling menghardik, 54 dan seorang anak laki-laki yang menghardik temannya. 55 Berdasarkan penelaahan,

dalam buku-buku PAI terbitan Esis tidak terdapat narasi maupun visualisasi pelaku dan korban tindak kekerasan yang dilakukan dan dialami oleh perempuan. Jika tanpa penjelasan memadai, hal ini bisa memberi kesan bahwa tindak kekerasan identik hanya dilakukan dan dialami oleh laki-laki.

Tidak berbeda dengan buku-buku terbitas Esis, dalam buku- buku PAI terbitan Yudistira, perilaku kekerasan sepertinya diidentikkan dengan dunia laki-laki. Berdasarkan penelahaan, dari jilid 1 sampai 6, perilaku dan korban tindak kekerasan umumnya divisualisasikan lewat gambar laki-laki. Dalam buku-buku terbitan Yudistira, bentuk-bentuk perilaku tindak kekerasan itu adalah

kekerasan terhadap Bilal bin Rabah, 56 seorang laki-laki yang menghardik pengemis tua, 57 anak laki-laki yang berkelahi, 58 dan dua orang perampok laki-laki yang membakar buku-buku dan pakaian Imam Al-Ghazali. 59

Dalam buku-buku PAI terbitan Erlangga, informasi perihal tindak kekerasan disajikan, baik dalam bentuk narasi maupun visualisasi. Dalam buku-buku tersebut terdapat narasi dan ilustrasi

Rudi membentak Iwan, 60 kemudian ilustrasi anak laki-laki ber- kelahi dan menghardik binatang, 61 ilustrasi dimana dua orang anak laki-laki sedang berkelahi, anak laki-laki merampas boneka anak perempuan, 62 berkelahi dengan teman dan menendang bina-

tang, 63 Firman dituduh mencuri uang, 64 anak laki-laki memukul kucing, empat orang anak laki-laki sedang berkelahi, 65 anak laki- laki memukul ayam dan saling menghardik/ mencela, dan seorang laki-laki yang sedang menghardik peminta-minta. 66

54 Thohir, dkk. Pendidikan Agama Islam, jilid VI, 45, 49. 55 Ibid., jilid 6, 45 dan 49. 56 Achmad Farichi, dkk., Khazanah Pendidikan Agamas Islam, jilid I, 10 57 Ibid., jilid I, 30,129, 132, 152 dan Jilid II, 20. 58 Ibid., jilid IV, 97 dan jilid V, 92 59 Ibid., jilid VI, 117. 60 Masrun, dkk., Senang Belajar Agama Islam, jilid II, 82. 61 Ibid., jilid III, 25. 62 Ibid., jilid VI, 41. 63 Ibid., jilid V, 25. 64 Ibid., jilid V, 47. 65 Ibid., jilid II, 26, 91. 66 Ibid., jilid I, 38, 60.

Bias Gender (Al Rasyidin)

Tabel 6. Bentuk-Bentuk Perilaku Tindak Kekerasan dalam Buku

PAI

Seluruh narasi dan ilustrasi tersebut, jika tidak dijelaskan dengan baik oleh guru kepada murid-muridnya, berpotensi besar memberi justifikasi atau pembenaran bagi tindakan kekerasan, baik terhadap sesama manusia maupun hewan.

5. Pencitraan atau Pelabelan Negatif Pencitraan atau pelabelan negatif, merupakan salah satu perlakuan bias gender yang juga banyak terdapat dalam buku- buku PAI Sekolah Dasar yang diteliti. Semua buku PAI memuat informasi, baik dalam bentuk narasi maupun ilustrasi, yang berkaitan dengan pencitraan atau pelabelan negatif tersebut. Namun, meskipun pelabelen tersebut juga ‘dilekatkan’ kepada perempuan, tetapi secara kuantitatif laki-laki lebih sering dilabel dengan sifat-sifat dan perilaku negatif. Berdasarkan penelaahan, hanya buku PAI terbitan Tiga Serangkai yang tidak pernah mencitrakan atau melabel perempuan dengan hal-hal yang negatif.

Dalam buku-buku PAI terbitan Esis, Ilham digambarkan sebagai anak yang baik dan disiplin, Nurdin anak yang hemat, 67 Toni anak yang rajin dan suka menolong, 68 M. Saleh siswa tela- dan. 69 Disebutkan juga bahwa Annisa anak yang tertib, 70 pergi ke

67 Thohir, dkk. Pendidikan Agama Islam, jilid III, 37. 68 Ibid., jilid VI, 108. 69 Ibid., jilid VI, 48. 33, jilid III, 37. 70 Ibid., jilid II, 29.

Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 81-114

71 72 masjid, 73 hafal rukun Iman, rajin, tekun, hemat, dan patuh. Selain itu, Rahmah dilabel sebagai anak yang rajin membantu ibu

dan bersama Ilham dilabel sebagai anak yang jujur dan disipilin dalam menjaga kebersihan, shalat lima waktu, belajar, dan bersih lingkungan. 74

Dalam hal labelling atau pencitraan negatif, anak laki-laki lebih sering dilabel dengan hal negatif ketimbang perempuan. Di antaranya, Toni mengajak Ilham mencuri buah jambu pak Joko, Toni anak yang sombong, Dodo anak yang boros, Heru anak yang iri/dengki, dan Doni anak yang tidak menjaga kebersihan disebab- kan ketika pulang sekolah langsung makan tanpa membersihkan tangannya. Sedangkan anak perempuan hanya dilabel sebagai

anak yang hanya mau bergaul dengan teman yang setara, 75 bersifat boros, dan anak yatim yang malu karena ibunya bekerja sebagai pedagang. 76

Dalam buku-buku PAI terbitan Yudistira, tampak jelas bah- wa laki-laki lebih sering dilabel dengan hal-hal yang negatif. Sejumlah narasi dan ilustrasi memperlihatkan anak laki-laki seba- gai pengemis, seorang laki-laki yang buta sedang dibantu menye-

berang jalan, 77 menghardik anak yatim, menerima derma, dan meminum khamar. 78 Disamping itu, anak laki-laki juga divisuali- sasikan sedang berbuat keributan ketika temannya shalat, 79 makan-makan ketika belajar di dalam kelas, terlambat hadir ke sekolah, mengambil makanan tanpa izin yang punya rumah, 80

malas belajar dan senang berkelahi, 81 membatalkan puasa di siang Ramadan, sering blos, berkebiasaan buruk, mengambil benda yang bukan miliknya, 82 tidak mau nyumbang, bermalas-malasan, peringkat akhir di kelas, suka jahil, tidak mampu bayar hutang, dan kaya tapi minta zakat fitrah. 83

Dari sudut materi, berbeda dengan buku-buku PAI terbitan Esis dan Yudistira, buku-buku PAI terbitan Tiga Serangkai justru

71 Ibid., jilid I, 12. 72 Ibid., jilid I, 15. 73 Ibid., jilid I, 93-95. 74 Ibid., jilid I, 22-30 dan 86. 75 Ibid., jilid II, 25. 76 Ibid., jilid III, 27, 43. 77 Farichi, dkk., Khazanah Pendidikan Islam, jilid IV, 104, 105. 78 Ibid., jilid V, 73, 123; jilid VI, 21. 79 Ibid., jilid II, 14. 80 Ibid., jilid III, 10, 96, dan 111. 81 Ibid., jilid IV, 95 dan 97. 82 Ibid., jilid V, 92, 100, 113, 114 dan 119. 83 Ibid., jilid VI, 22, 48, 89, 116, dan 129.

Bias Gender (Al Rasyidin)

mencitrakan atau melabel sifat-sifat dan perilaku negatif hanya kepada gender laki-laki. Diantara sifat dan perilaku negatif tersebut adalah berkelahi, pengemis, mencontek, meminta anak agar ber- bohong, menghardik pengemis, tidak taat, sombong, dan tidak

suka menolong. 84 Selain itu, anak laki-laki juga disebut suka me- ngeluh, menggunjing, tidak jujur, nakal, berbuka puasa di siang hari Ramadan, asik menontotn TV di waktu Maghrib, dan me- nyontek.

Dalam buku PAI terbitan Tiga Serangkai, meskipun ada laki-laki yang digambarkan sebagai guru, ustdaz, bahkan saudagar yang kaya, namun dalam banyak hal, laki-laki dikesankan dengan label negatif, seperti budak, pengemis, anak yang nakal, kurang sopan, kurang rapi, sombong, pemabuk, ingin mencuri dompet, tidak teratur, menyabung ayam, shalat terburu-buru, suka me- ngajak pemuda desa bermain judi, dan penjahat yang ditangkap

polisi. 85 Tidak berbeda dengan buku-buku PAI di atas, buku PAI

Sekolah Dasar terbitan Erlangga juga lebih banyak mencitrakan atau melabel laki-laki dengan hal-hal yang negatif. Pencitraan atau pelabelan tersebut banyak divisualisasikan dalam buku terbitan Erlangga. Sejumlah visualisasi yang mencitrakan hal demikian adalah berbuat syirik, pengemis, memukul kucing, sombong, berkelahi, 86 menghardik binatang, bermain-main disam-

ping orang yang sedang shalat, menyabung ayam, 87 tidak jujur, 88 berjudi, 89 penjahat, dan merampas boneka anak perempuan. 90 Buku terbitan Erlangga juga memberi kesan kuat bahwa hanya kaum laki-laki saja yang menjadi penentang Islam atau penentang Nabi Muhammad Saw. Hal tersebut tampak jelas pada materi tentang Abu Lahab, Abu Jahal, dan Musailamah al-Kazab. 91 Praktis tidak ada materi yang mengisahkan tentang penentangan perempuan terhadap Islam atau Nabi Muhammad Saw.

84 M.A. Maksum, Khazanah Pendidikan, jilid I, 34, 44, 115, 147, 148, dan 149. 85 Maksum, Khazanah Pendidikan Islam, jilid I, 10-11, 37, 38, 60, 101, 104, 124,

137, 147, 149; jilid II, 31, 49, 86, 91, 103; jilid III, 85; jilid IV, 110; jilid V, 7-8; jilid VI, 17.

86 Moh. Masrun S., dkk., Senang Belajar, jilid II, 21, 26, 30, 85, 91. 87 Ibid., jilid III, 25, 48, 85. 88 Ibid., jilid IV, 91. 89 Ibid., jilid V, 7, 26. 90 Ibid., jilid VI, 17, 41. 91 Thohir, dkk., Pendidikan Agama Islam, bab 3; Farichi, dkk., Khazanah

Pendidikan Islam, jilid VI, bab 3 dan 4; Maksum, Khazanah Pendidikan Islam, jilid VI, bab 3; Masrun S., dkk., Senang Belajar Agama Islam, jilid VI, bab 3 dan 4.

Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 81-114

Tabel 7. Pencitraan/Pelabelan Negatif dalam buku PAI Sekolah

Dasar

Bias Gender (Al Rasyidin)

Analisis Hasil