KOMUNIKASI POLITIK CITRA SEKUNDER DALAM

KOMUNIKASI POLITIK CITRA SEKUNDER DALAM
IKLAN LUAR RUANGAN (OUT DOOR)
Wisnu Kismoro

A.

Konteks dan Fokus Pembahasan
Kebijakan Negara dalam penentuan aktor-aktor untuk beberapa slot kepemimpinan yang

secara sistem, penentuannya tidak menganut sistim kekerajaan melainkan menggunakan sistim
demokrasi, hingga sekarang masih disoroti sebagai alasan adanya kampanye politik dalam ruang
publik. Seolah menjadi sebuah kompetisi, berbagai upaya dilakukan dengan tujuan merangkul
suara masyarakat agar aktor yang diusung oleh sekelompok partai memenangkan kompetisi antar
partai. Dalam kampanye politik, pelaku politisi kemudian dituntut agar mampu menyampaikan
gagasan atau pemikirannya kepada masyarakat sebagai publik sasaran secara tepat, yang berarti
harus mampu diterima oleh masyarakat secara baik. Tuntutan semacam ini seringkali kemudian
menjadi alasan adanya sebuah sandiwara dengan tujuan mengkonstruksi citra sekunder (citra
yang tidak benar-benar melekat pada individu), dan pemilihan bahasa baik itu verbal ataupun
non verbal kemudian menjadi salah satu hal yang benar-benar harus diperhatikan. Komunikasi
politik kemudian menjadi sebuah nama yang melekat pada perilaku-perilaku interaksi dalam
konteks politik, yang memang puncak pencapaian yang dituju adalah politik itu sendiri.

Mendadak ngartis, kemudian menjadi sebuah ungkapan atas asumsi dengan dasar adanya realita
nyata bahwa dalam waktu yang singkat seorang politisi terkenal, wajahnya terpampang dimanamana dan bahkan nyaris menutup semua ruang (visual) publik. Hal ini kemudian kembali
melahirkan sebuah asumsi bahwa politisi kemudian mengalami culture shock.
Penulisan ini kemudian berkliblat pada konsep berfikir interpretative (fenomenologis),
yang didalamnya berdasar pada pendekatan interaksi simbolik dan pemusatan simbolik untuk
mengkaji sebuah fenomena komunikasi politik (kampanye) yang pada dasarnya dalam
komunikasi ini terjadi antara kelompok politik dan masyarakat. Selanjutnya dalam penulisan ini
masalah yang disoroti dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut:

 Bagaimana politisi membangun citra diri secara instan?
 Bagaimana Pemusatan Simbolik yang terjadi dalam sebuah kampanye oleh kelompok
partai pengusung?
Penulisan ini bertujuan untuk memahami bagaimana citra sekunder dalam komunikasi politik
melalui media-media komunikasi yang berbasis luar ruangan (out door).

B.

Komunikasi Politik
Komunikasi pada akhirnya berbicara tentang sebuah interaksi, yang kemudian mengerucut


pada sebuah kebahagiaan bersama yang secara umum disebut kesepahaman. Pada dasarnya, inti
komunikasi adalah presepsi ( Triyanto, 2009:30 ). Komunikasi kemudian memiliki makna lain
yang berkembang ketika berada pada konteks-konteks tertentu dan salah satunya adalah politik.
Komunikasi politik kemudian memiliki makna yang menjelaskan tentang berbagai bentuk
komunikasi atau interaksi yang terbatas pada lingkup politik saja, artinya terjadinya sebuah
interaksi tentu berdasarkan sebuah maksud, tujuan, dan kepentingan kaitannya dengan politik.
Ketercapaian sebuah pencapaian politik dalam hal ini menjadi prioritas, dalam pewujudan
pencapaiannya baik dengan cara menggunakan segala cara, ataupun menghalalkan segala cara.
Politik pada akhirnya adalah tentang bagaimana secara cerdas mewujudkan sebuah pencapaian
yang telah ditentukan. Bentuk komunikasi politik sering kali bersifat persuasif, dan hal ini tentu
berdasarkan kepentingan suatu hal. Studi komunikasi politik kemudian menjadi bukti sebuah
perkembangan komunikasi dalam konteks tertentu. Komunikasi politik kemudian mempelajari
tentang mata rantai antara komunikasi dan politik yang pada akhirnya komunikasi kemudian
dipandang sebagai suatu pendekatan dalam pembangunan politik.
C.

Iklan Politik Dalam Media Luar Ruangan
Kampanye, seolah menjadi budaya tersendiri ketika kursi jabatan tinggi dalam suatu

wilayah atau Negara sedang mengalami kekosongan. Mendadak ramai masyarakat berbicara

tentang segala hal yang berhubungan dengan politik, petani yang biasanya bicara soal harga
pupuk, kapan musim tanam, persiapan panen, harga jual hasil panen, tiba-tiba ikut serta dalam
berfikir siapa seharusnya yang menduduki kursi jabatan tertentu. seolah menjadi salah satu dari
bagian individu yang dikenal, kalangan masyarakat yang dalam posisi awam menjadi tim sukses

dalam sebuah fenomena politik. Selain itu berbagai media promosi terpampang diberbagai sudut
luar ruangan, mulai dari poster, billboard, spanduk, umbul-umbul, kaos, dan lain sebagainya
menjadi fenomena yang ramai, layaknya jamur dimana – mana terpampang media, bahkan
sampai merampas hak ruang publik secara visual, dan rata-rata pesan yang melekat pada media –
media tersebut merupakan pesan yang menjadi elemen dalam komunikasi politik.
Layaknya sebuah produk yang memiliki komoditas, para elit politik kemudian mengkover
dirinya secara menarik. Berbagai upaya dilakukan demi menciptakan kesan atau citra yang
bernilai (velue) dimata audience nya, dan tidak jarang citra narsistik menjadi hal yang dianggap
tepat. Adanya penyanjungan terhadap diri yang kemudian diekspos secara sengaja merupakan
fenomena nyata dalam komunikasi politik, seolah nilai dalam sanjungan adalah nilai yang
memang melekat secara alami pada sosok elit politik dalam sebuah kampanye.

Gambar 1. Poster Kampanye PAN (Sumber : Internet)

Narsisisme politik kemudian adalah tentang kecenderungan pemujaan diri berlebihan para elit

politik, yang membangun citra diri, meskipun ini bukan realitas diri yang sebenarnya. Selain itu,
narsisisme politik pun adalah artifisialisme politik melalui konstruksi citra diri yang sebaik,
sesempurna, bahkan seideal mungkin atas konsep diri elit politik tanpa memerhatikan pandangan
publik. Keseketikaan politik pun menjadi salah satu yang melekat, perayaan secara instan dan
efek segera menjadi hal yang utama dalam hal ini. Narsisme pun adalah politik seduksi, yang
didalamnya tentang trik bujuk rayu, persuasi, dan retorika komunikasi politik yang tujuannya

adalah untuk meyakinkan publik. Simplisitas menjadi salah satu komponen dalam pesan
kampanye politik pada media massa luar ruangan, ketika segala sesuatunya dianggap instan dan
apapun dapat dicapai secara cepat, yang dalam hal ini kaitannya dengan kepercayaan masyarakat
atas citra yang dilekatkan pada media-media kampanye.
D.

Komunikasi ( Visual ) Politik Sebagai Interaksi Simbolik
Teori interaksi simbolik menggunakan paradigma individu sebagai subjek utama dalam

konteks sosial, yang didalamnya manusia meletakkan diri sebagai pelaku aktiv dan proaktiv.
dalam interaksi manusia simbol kemudian menjadi komoditas agar kemudian membentuk sebuah
ketercapaian tujuan interaksi, yaitu saling memahami. Mulyana, (2001:74) menjelaskan bahwa
setiap interaksi manusia selalu dipenuhi dengan simbol-simbol baik dalam kehidupan sosial

maupun dalam kehidupan diri sendiri. Hal ini menjelaskan bahwa teori interaksi simbolik
memandang manusia sebagai diri sendiri dan diri sosial. Dalam konteks interaksi simbolik,
manusia kemudian dipandang sebagai pelaku, pencipta, pelaksana, dan pengarah bagi dirinya
sendiri. Dalam konteks perilaku, kebiasaan dan emosi menjadi faktor pendorong, dan pada
tingkatan-tingkatan tertentu manusia diletakkan pada kebebasan diri yang mengarah pada lebel
The I. Dalam kebebasan diri, manusia terbatas pada dirinya dan kebebasan hanya berlaku dalam
ruang lingkup sistem simbolik dirinya sendiri. Interaksi simbolik didalamnya menjelaskan bahwa
tindakan dibedakan menjadi dua macam, tindakan nyata dan tersembunyi. Tindakan tersembunyi
berarti memasuki pikiran manusia, dan hal ini berarti bahwa pada konteks ini memahami tingkah
atau perilaku orang yang mendefinisikan situasi kongrit atau aktual, yang kemudian berproses
dan berujung pada penentuan keputusan. Agar bisa memahami, dalam hal ini kita perlu
mempelajari pikiran sebagai tindakan dari pada pikiran sebagai isi.
Dalam sebuah komunikasi secara visual, media luar ruangan seperti baliho, mmt, spanduk,
hingga billboard, menjadi media yang dianggap tepat yang tentu dalam proses pertimbangannya
telah diperhatikan kelebihan dan kekurangan yang melekat pada media tersebut ketika akan
diaplikasikan pada suatu daerah. Terlepas dari media yang digunakan, pesan atau velue yang
sengaja dilekatkan pada media yang kemudian secara paksa menjadi informasi yang harus
dikonsumsi publik, menjadi perhatian yang harus dipahami dalam penulisan ini. Media hanyalah
sebatas alat yang digunakan, sedangkan komunikasi, berarti berbicara isi yang masukkan. Dalam
sebuah kampanye sebagai salah satu bentuk komunikasi politik, mengenal, mengingat, dan


akhirnya memilih adalah diksi yang selalu diletakkan pada titik puncak proses kampanye politik.
Seorang elit politik tentu adalah manusia seperti manusia lain pada umumnya, yang
membedakan adalah mind yang menjadi inti dari dirinya. Memahami aktor elit politik kemudian
menjadi perlu, apakah memang manusia ini menjadi aktor atas dasar keprihatinan dan niat untuk
mewakili rakyat dalam bersuara, atau hanya sekedar menjabat dengan tujuan kesejahteraan.
Diluar konsep diri yang melekat pada diri aktor elit politik, komunikasi secara visual kemudian
menjadi strategi yang digunakan untuk berkomunikasi kepada masyarakat, dengan harapan akan
dikenal oleh masyarakat. citra diri dibuat seideal mungkin, jujur, cerdas, dan sebagainya
terangkum dalam kata yang kemudian dituliskan pada media. Gambar sosok vigur menjadi salah
satu bagian dalam pesan yang disampaikan. Ketika publik membaca melalui mata, tanpa disadari
interaksi terjadi. Penyampai menyampaikan pesan politik, publik sebagai pembaca kemudian
berprilaku dalam diri mereka masing-masing, yaitu mempertimbangkan apa yang dibaca yang
kemudian memutuskan sebuah kesimpulan yang secara umum disbut sebagai presepsi. Interaksi
simbolik pada akhirnya menguraikan secara tersirat, mengenai prilaku komunikasi.
E.

Pemusatan Simbolik Dalam Bahasa Visual
Dalam sebuah interaksi, kode atau tanda menjadi hal dasar yang kemudian membentuk


pesan. Kemudian dalam konteks sosial kode beralih istilah menjadi bahasa yang mana telah
terurai menjadi 2 yaitu verbal dan non verbal. Semiologi menjadi sebuah studi yang
membabarkan mengenai tanda dalam konteks komunikasi, dan simbol menjadi salah satu jenis
tanda yang ada dalam kajian tersebut. Simbol sendiri merupakan tanda yang dalam
konstruksinya terdiri dari berbagai icon yang memiliki makna tunggal, dan kemudian ketika
terbentuk sebuah simbol, terjadi semiosis dan membentuk makna yang bersifat umum dan
khusus. Dalam sebuah komunikasi politik seperti kampanye, identitas partai menjadi sumber
atau pusat dari tiap – tiap bentuk tanda yang digunakan dalam berkampanye. Mulai dari warna,
bentuk, dan maskot, yang kemudian membentuk ekspresi. Ekspresi dalam hal ini adalah hal yang
bersifat menjelaskan identitas secara keseluruhan dan hanya dapat diterima secara visual oleh
audien atau pembacanya.
Identitas sebuah partai kemudian menjadi teritori atau batas penggunaan simbol dalam
sebuah kampanye politik, dan logo yang telah dirancang sedemikian rupa tentu menjadi patokan
atas penciptaan-penciptaan karakter identitas visual lainnya. Hal ini memperkuat asumsi bahwa

menjaga suara dalam bahasa visual agar tetap dalam ruang atau teritori kepartaian menjadi alasan
yang kuat terjadinya pemusatan simbolik dalam konteks komunikasi politik berbentuk kampanye
melalui media luar ruangan.

Gambar 2. Logo Partai Politik PDIP (Sumber : Internet)


Pada lambang atau logo pertai politik PDIP misalnya, dalam konstruksi nya warna merah
dirancang secara dominan yang kemudian warna putih yang menjadi salah satu komponen, dan
warna hitam, menjadi identitas diri partai (ketika partai diibaratkan personal). Penggunaan
typography berjenis san serif menjadi karakter yang mengekpresikan tipe atau identitas suara
kelompok politik ini. Logo partai ini kemudian secara keseluruhan mengekspresikan keberanian,
kekokohan, kekukuhan, dan lain sebagainya. Logo ini kemudian menjadi patokan dalam
penciptaan-penciptaan identitas visual partai yang dilekatkan pada berbagai media yang
digunakan dalam kampanye.

Gambar 3. Poster (Sumber : Internet)

Pada poster ini, figur yang diusung adalah seorang Joko Widodo. Eksekusi dalam
perancangannya menggunakan dominan warna merah, putih, dan hitam. Pesan yang melekat
dalam hal ini secara pragmatik tentu tanpa berfikir panjang menjelaskan pemusatan interpretasi
terhadap sebuah partai. Penggunaan tanda warna hingga huruf, secara keseluruhan kemudian
mewakilkan identitas partai yang terkait dengan vigur yang ada pada poster tersebut.
Dalam bahasa visual, komponen rupa seperti garis, warna, bidang, menjadi hal dasar
yang kemudian membentuk sebuah ekspresi visual atau secara umum disebut tanda yang
mengikat pesan, layaknya sebuah huruf kepada kata da membentuk makna. Dalam sebuah

pemusatan simbolik, identitas asal (seperti pada logo) mulai dari bentuk, huruf, hingga warna,
diadopsi dan kemudian diimplementasikan terhadap perancangan atau produksi identitas visual
lainnya.
F.

Komunikasi Politik : Citra Sekunder Dalam Iklan Luar Ruangan (Out Door)
Disebutnya masyarakat dalam sebuah kelompok manusia, dikarenakan dalam kelompok

tersebut terdapat komunikasi sebagai wujud interaksi sosial, yang didalamnya mereka saling
bertukar ide atau gagasan yang mana bertujuan untuk mencapai suatu hal baik itu bersifat
kesepakatan, ataupun lainnya.
Politik sebagai salah satu ruang lingkup komunikasi yang didalamnya terdapat perilakuperilaku yang bertujuan atau menuju kepada suatu pencapaian. Dalam politik pemilihan
misalnya, kemenangan atas suatu jabatan menjadi tujuan utama, sehingga sekelompok partai
akan berpolitik untuk mewujudkan ketercapaian mereka. Dalam sebuah kelompok partai,
seringkali hanya satu orang yang kemudian diusung sebagai calon yang nantinya akan
diposisikan pada kursi jabatan yang dituju. Kemudian pengenalan diri terhadap masyarakat
penentu kemenangan pun menjadi pilihan yang dianggap tepat. Upaya selanjutnya, kelompok
partai akan berkampanye dan mengenalkan aktor elit politik yang menjadi calon sebagai yang
mewakili partai pada kedudukan tertentu, dan media massa luar ruangan tidak jarang menjadi
pilihan utama yang digunakan dalam penyampaian kepada khalayak (kelompok masyarakat).

Dalam penyampaian atau pengenalan aktor politik, kemudian sebuah citra dikonstruksi
dengan maksud merangkul masyarakat agar nantinya mau memilih atau memberikan suara

kepada partai agar elit politik memenangkan jabatannya. Citra yang dilekatkan pada mediamedia luar ruangan seringkali kurang memiliki kredibilitas. Bagaimana tidak, tanpa mengenal
secara personal seorang figure politik tiba-tiba terpampang pada media-media dan mengatakan
bahwa figure tersebut jujur, cerdas, dan sebagainya. Hal ini kemudian menjadi citra sekunder
dalam konteks kepribadian. Citra sekunder, cenderung bersifat dibuat-buat dan berdasarkan
sebuah kepentingan, yang tentu berbeda dengan citra primer yang memang secara alami melekat
pada kepribadian individu. Citra sekunder dalam komunikasi politik khususnya dalam sebuah
kampanye, acapkali bersifat narsisis, hal ini dikarenakan memang tujuan utama dari kampanye
adalah

memenangkan

pencapaiannya,

yaitu

merangkul


mansyarakat

dan

meminta

kepercayaannya agar memilih aktor terkait.
Kemudian menjadi penting memahami dan mengenal aktor elit politik dalam sebuah ajang
pemilihan umum, yang memang pada akhirnya dianggap menentukan nasib pemilih selanjutnya,
karena citra primer memang hanya dapat di pahami dan di dapat secara individu dengan elit
politik yang mengaktori kegiatan politik. Lantas apakah salah dengan citra sekunder yang
melekat pada media – media luar ruangan ?, hal ini tentu ditentukan oleh sudut pandang seperti
apa yang memaknai atau menilai fenomena semacam ini.

Daftar Pustaka
Isnaoen, S.Iswidayati. 2006. Pendekatan Semiotik Seni Lukis Jepang Periode 80-90an ,
Semarang : UNNES PRESS
Padmadewi, Ni Nyoman., P.D. Merlyna. dan N.P. Hadi .S. 2014. Sosiolinguistik.
Yogyakarta : Graha Ilmu
Ritzer, Geoarge. Teori Sosiologi, 2012, Jogjakarta : Pustaka Belajar
Sanyoto, S.Ebdi. Nirmana, 2010, Jogjakarta : Jalasutra
Subagyo, Panduan bimbingan, penyusunan, pelaksanaan ujian, dan penilaian

Makalah dan skripsi mahasiswa, 2008 Semarang : FIS Unnes