DESENTRALISASI PENDIDIKAN PELUANG DAN TA

Bapak Rektor/Ketua Senat, Sekretaris Senat, Anggota Senat, dan
Pembantu Rektor Universitas Palangkaraya yang saya hormati,
Bapak Dekan, Pembantu Dekan, Direktur Pasca Sarjana, Asisten
Direktur, Ketua Lembaga Penelitian, dan Ketua Lembaga
Pengabdian Kepada Masyarakat yang saya hormati,
Bapak Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan
Tengah,
Bapak Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Palangka Raya,
Bapak Kepala Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Provinsi
Kalimantan Tengah,
Rekan-rekan Dosen yang saya hormati,
Para Tamu dan Hadirin sekalian yang saya muliakan.
Salam sejahtera bagi kita semua,
Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
kesempatan yang diberikan kepada kita untuk mengikuti acara
Pengukuhan Guru Besar di Universitas Palangkaraya. Selanjutnya,
perkenankanlah saya menyampaikan pidato pada acara pengukuhan Guru
Besar ini yang berjudul:
DESENTRALISASI PENDIDIKAN: PELUANG DAN TANTANGAN,
KAJIAN TERHADAP PENGEMBANGAN BAHAN AJAR DAN
PENILAIAN HASIL BELAJAR.

Pemilihan judul di atas didasarkan pada beberapa hasil penelitian
dalam bidang pendidikan, khususnya dalam bidang pendidikan kimia,
yang telah saya lakukan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
karakter mata pelajaran, pengetahuan awal siswa, bahasa yang digunakan

2
siswa, dan buku pelajaran merupakan faktor-faktor penyebab kesalahan
konsepsi pada siswa. Hal ini diperkuat dengan kegiatan pembelajaran di
kelas yang lebih didominasi oleh guru, padahal apa yang diucapkan guru
di depan kelas belum tentu semuanya dapat dipahami oleh siswa.
Pada umumnya, para guru tidak mengetahui penyebab kesalahan
konsepsi tersebut. Salah satu cara untuk mengetahui kesalahan konsepsi
ini dilakukan melalui pemberian tes tertulis. Hasil penelitian saya
menunjukkan bahwa sebagian besar siswa yang naik kelas pada setiap
tingkatan gagal jika dituntut mengintegrasikan konsep kimia serta
alasannya, walaupun mereka mampu menerapkan hukum secara benar.
Kegagalan ini terutama disebabkan siswa memiliki algorithmicdependent. Artinya, kegiatan pembelajaran di kelas cenderung untuk
meningkatkan kemampuan pengetahuan prosedural daripada deklaratif
siswa.
Hadirin yang saya hormati,

Selain dari hasil penelitian di atas, pemilihan judul ini juga
didasarkan oleh hasil penelitian Erikson terhadap suku Indian Oglala
Lakota (dalam Boeree, 2006) yang melaporkan: “Pola kehidupan mereka
telah tercerabut. Anak-anak mereka dimasukkan ke sekolah berasrama
selama beberapa tahun dengan landasan bahwa peradaban dan
kesejahteraan itu lahir dari pendidikan. Di sekolah, mereka mempelajari
begitu banyak hal yang berlawanan dengan apa yang diajarkan di rumah.
Mereka diajarkan standar-standar kebersihan dan kecantikan orang Kulit
Putih, yang tidak jarang bertentangan dengan tradisi Lakota. Guru-guru
Suandi Sidauruk; Pidato pengukuhan guru besar di Unpar, 29 Maret
2008

3
Kulit Putih merasa mustahil mengajari mereka, sementara orang tua
mereka menganggap anak-anak mereka telah dicemari kebudayaan
asing”.
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa penyelenggaraan
pendidikan yang tidak mempertimbangkan lokalitas akan mengingkari
hakikat pendidikan itu sendiri, yaitu menjadikan manusia seutuhnya.
Tulisan


ini

mencoba

menawarkan

pemikiran

cara

mengatasi

permasalahan di atas, khususnya kajian tentang pengembangan bahan
ajar dan penilaian hasil belajar, dikaitkan dengan desentralisasi
pendidikan.
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan usaha sadar yang terencana, terprogram,
dan berkesinambungan membantu peserta didik mengembangkan
kemampuannya secara optimal, baik aspek kognitif, aspek afektif,

maupun aspek psikomotorik. Berdasarkan pengertian ini, terdapat tiga
komponen penting dalam penyelenggaraan pendidikan, yaitu pengelolaan
dan pendanaan, serta kurikulum. Pengelolaan dan pendanaan terkait
dengan keberlanjutan program, serta kurikulum merupakan dokumen
strategi pencapaian tujuan program.
Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, telah disahkan Undangundang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU
Sisdiknas), sebagai landasan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
Perubahan mendasar yang dicanangkan dalam UU Sisdiknas yang baru
Suandi Sidauruk; Pidato pengukuhan guru besar di Unpar, 29 Maret
2008

4
ini antara lain adalah desentralisasi pendidikan. Desentralisasi diartikan
sebagai pemindahan sebagian kekuasaan pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah atau lokal. Pengertian ini menggambarkan sejumlah
pembaharuan yang bertujuan untuk meningkatkan suara lokal dalam
kebijakan. Apabila sentralisasi merupakan respon terhadap kebutuhan
untuk persatuan nasional, maka desentralisasi adalah tanggapan atas
tuntutan terhadap keberagaman. Artinya, pemerintah menyadari bahwa
aspek lokalitas dalam menyelenggarakan pendidikan adalah suatu

keniscayaan.
Sejauh ini, kebijakan desentralisasi terhadap ketiga komponen
penyelenggaraan pendidikan di atas telah dilakukan oleh pemerintah
pusat.

Pemerintah

daerah

telah

diberikan

kewenangan

dalam

pengelolaan, pendanaan, dan pengembangan kurikulum. Pada tingkat
sekolah, pemerintah telah memberikan kewenangan antara lain, dalam
bentuk Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Kurikulum Tingkat

Satuan Pendidikan (KTSP).
Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada
standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional (Pasal 36; 1). Kurikulum pada semua jenjang dan jenis
pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan
satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik (Pasal 36; 2).
Uraian di atas menjelaskan bahwa desentralisasi pendidikan
menawarkan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk memberikan
pendidikan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Suandi Sidauruk; Pidato pengukuhan guru besar di Unpar, 29 Maret
2008

5
Hal ini dapat dilakukan melalui pengembangan kurikulum operasional
yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan.
Artinya, pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan harus
mempertimbangkan potensi daerah/karakteristik daerah, sosial budaya
masyarakat setempat, dan peserta didik. Bila hal ini dilakukan maka
kurikulum pada setiap satuan pendidikan akan memiliki karakter yang
sesuai dengan karakter dan potensi tempat pendidikan tersebut

diselenggarakan. Oleh karena itu, kurikulum yang dikembangkan di
Kalimantan Tengah seharusnya berbeda dengan di Pulau Jawa. Hal ini
disebabkan oleh potensi daerah/karakteristik daerah, sosial budaya
masyarakat setempat, dan peserta didik memang berbeda.
Salah satu cara untuk mengetahui apakah tujuan yang telah
ditetapkan dalam kurikulum sudah tercapai atau belum adalah melalui
penilaian hasil belajar. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, penilaian diartikan sebagai
proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur
pencapaian hasil belajar peserta didik. Penilaian ini dilakukan oleh
pendidik, satuan pendidikan, dan Pemerintah (Pasal 63:1). Penilaian hasil
belajar oleh pendidik dilakukan secara berkesinambungan untuk
memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil dalam bentuk ulangan
harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan
kenaikan kelas. Informasi ini juga digunakan untuk menilai pencapaian
kompetensi peserta didik, bahan penyusunan laporan kemajuan hasil
belajar, dan memperbaiki proses pembelajaran (Pasal 64:1-2).
Suandi Sidauruk; Pidato pengukuhan guru besar di Unpar, 29 Maret
2008


6
Hadirin yang saya hormati,
Hal ini menjelaskan bahwa guru memiliki otoritas yang kuat
dalam melakukan penilaian terhadap hasil belajar siswa. Otoritas ini
belum diikuti oleh pengetahuan guru tentang metode pengembangan tes,
sehingga sebagian besar tes buatan guru belum memenuhi standar
kualitas tes. Oleh karena itu, informasi yang diberikan melalui tes ini
menjadi tidak akurat. Selain itu, pemahaman tentang keutamaan tes
prestasi belajar dalam meningkatkan kualitas pendidikan masih kurang
dimiliki oleh para pengambil kebijakan, sehingga upaya mengembangkan
bank soal secara serius belum pernah dilakukan.
Berdasarkan uraian di atas, mengembangkan bahan ajar yang
sesuai dengan potensi/karakteristik, sosial budaya masyarakat, dan
peserta didik di Kalimantan Tengah, serta mengembangkan tes prestasi
belajar adalah peluang dan sekaligus tantangan bagi para pengambil
kebijakan,

para

akademisi,


juga

para

pemangku

kepentingan

(stakeholders).
PEMBELAJARAN BERMAKNA
Kurikulum

adalah

seperangkat

rencana

dan


pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran
serta

cara

yang

digunakan

sebagai

pedoman

penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai
tujuan

pendidikan

tertentu.


Salah

satu

cara

untuk

mengetahui pencapaian kurikulum dilakukan penilaian.
Suandi Sidauruk; Pidato pengukuhan guru besar di Unpar, 29 Maret
2008

7
Pengertian ini menjelaskan bahwa bahan ajar, kegiatan
pembelajaran, dan penilaian merupakan komponen yang
penting dalam mencapai tujuan pendidikan seperti yang
yang ditetapkan dalam kurikulum.
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan
pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Menurut
Ausabel (Cardellini, 2002) pembelajaran akan bermakna bagi siswa jika
ada keselarasan sekuensi psikologis yang berkaitan dengan pembentukan
konsep, yaitu dari konkret, pengetahuan personal (personal knowledge),
abstrak, menjadi tidak personal (less personal). Oleh karena itu, untuk
mengefektifkan konstruksi pengetahuan yang dibuat oleh siswa, guru
harus mempertimbangkan pengetahuan awal atau jaringan informasi
yang telah dimiliki siswa, sebab ketika mengikuti pelajaran siswa tidak
dengan “pikiran kosong”. Pengetahuan awal ini dapat membantu siswa
dalam membangun konsep yang baru secara benar, namun seringkali
menjadi penghalang dan menimbulkan miskonsepsi. Dalam merancang
kegiatan pembelajaran, pada umumnya guru tidak mempertimbangkan
pengetahuan awal ini.
Pembelajaran bermakna dapat terjadi jika siswa dilibatkan
secara aktif dalam kegiatan belajar. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
merancang pembelajaran sedemikian rupa sehingga seluruh pancaindra
siswa berperan aktif menyerap dan mengolah informasi. Selama ini,
proses

pembelajaran

didominasi

oleh

teori

behaviorisme

yang

menyatakan bahwa gagasan dapat ditransfer secara utuh oleh guru
Suandi Sidauruk; Pidato pengukuhan guru besar di Unpar, 29 Maret
2008

8
kepada siswa, atau “telling is teaching” (Spencer, 1999). Pembelajaran
seperti ini menjadikan guru sebagai otoritas ilmu atau kegiatan belajar
mengajar berfokus pada guru (teacher-centered) dan lebih menekankan
pada hapalan atau ingatan daripada pemahaman konseptual siswa. Muth
& Guzman (2001) melaporkan bahwa 80% kegiatan belajar mengajar di
kelas berfokus pada guru, dan dua per tiga siswa belajar tidak efisien
ketika mengikuti pelajaran menggunakan pendekatan seperti ini.
Hadirin yang saya hormati,
Berbeda dengan teori behaviorisme, teori konstruktivisme
menawarkan pendekatan strategi pembelajaran yang berpusat pada siswa
(student-centered). Menurut teori ini setiap individu membangun
pengetahuannya sendiri secara mandiri dengan cara menggabungkan apa
yang sedang dipelajari dengan apa yang diketahuinya (Radford, 1998).
Artinya, menurut pandangan konstruktivisme strategi pembelajaran harus
menekankan

pada

proses

berpikir

siswa

dan

mengasumsikan

pengetahuan awal siswa mempengaruhi proses belajar. Oleh karena itu,
pengetahuan awal siswa memegang peranan penting dalam membangun
konsep.
Sebelum masuk ke sekolah formal, siswa telah memiliki
pengetahuan awal yang dibentuk melalui interaksi antara siswa dengan
sumber belajar yang ada di sekitarnya. Seorang anak di Kapuas
memahami bahwa air sungai dapat mengalir ke hilir (saat air laut surut)
maupun ke hulu (saat air laut pasang). Pengetahuan awal ini dapat
menjadi sumber pengganggu ketika menyerap informasi baru dari
Suandi Sidauruk; Pidato pengukuhan guru besar di Unpar, 29 Maret
2008

9
sekolah, jika guru di sekolah mengajarkan air sungai (hanya dapat)
mengalir dari hulu ke hilir. Hal ini dapat menyebabkan siswa merasa
asing selama mengikuti kegiatan tersebut.
Banyak

penelitian

melaporkan

bahwa

sebagian

besar

pengetahuan awal siswa memiliki kesalahan yang sulit dihilangkan.
Meiliawati & Sidauruk (2001) melaporkan bahwa sebagian besar siswa
SMP dapat menyebutkan hukum kekekalan massa dengan benar, tetapi
sebagian besar dari mereka berpendapat bahwa massa gula sebelum
dipanaskan dalam tabung reaksi tertutup lebih besar daripada massa gula
setelah dipanaskan pada tabung yang sama. Menurut siswa, hal ini terjadi
karena selama pemanasan wujud gula berubah menjadi cair dan gas, serta
zat yang berwujud gas selalu lebih ringan dari zat yang berwujud padat.
Ketika dilakukan penimbangan oleh siswa, sebagian besar dari mereka
menjadi percaya bahwa pada pembakaran gula berlaku hukum kekekalan
massa, yaitu massa zat sebelum dan sesudah reaksi selalu sama.
Hasil penelitian di atas menjelaskan bahwa salah satu cara
untuk menghilangkan kesalahan konsepsi akibat pengetahuan awal siswa
adalah dengan menyajikan data yang dapat menimbulkan conflicting
data pada struktur kognitif siswa. Data seperti ini sebaiknya digali dari
sekitar siswa untuk dijadikan bahan ajar dalam kegiatan pembelajaran di
kelas. Data ini dapat berupa peristiwa-peristiwa alam, pengetahuan
tradisional (etnosains), atau kearifan lokal.
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR BERBASIS LOKAL
Suandi Sidauruk; Pidato pengukuhan guru besar di Unpar, 29 Maret
2008

10
Sejak dahulu tradisi keilmuan berkembang pesat di negara
barat, sehingga sebagian besar konsep sains (semua pengetahuan yang
dikumpulkan melalui metode ilmiah) menggunakan istilah (term) barat,
khususnya bahasa Inggris. Pada perkembangannya, konsep-konsep ini
menjadi konsep baku dalam ranah keilmuan yang dipublikasikan dalam
bentuk buku-buku teks. Beberapa dari istilah tersebut diterjemahkan ke
dalam Bahasa Indonesia.
Meiliawati & Sidauruk (2001) melaporkan bahwa terdapat
beberapa siswa SMP yang menuliskan “gula lenyuh dalam air” bukan
“gula larut dalam air”. Menurut mereka pengertian larut adalah kayu
yang hanyut di sungai. Bila tidak jeli, siswa tersebut dapat dicap “bodoh”
oleh guru, padahal secara substansi dia benar. Sebaliknya, siswa juga
dapat berpikiran gurunya “bodoh” jika tidak ada komunikasi di antara
mereka. Guru dan siswa memiliki “dunia” yang berbeda. Untuk
menghindari kejadian ini, guru perlu mempertimbangkan latar belakang
budaya siswa dalam upaya meningkatkan partisipasi aktif siswa dalam
mainstream classroom.
Selanjutnya, untuk menjelaskan konsep-konsep dalam buku
biasanya disertai contoh-contoh atau ilustrasi yang seringkali dipengaruhi
oleh pengalaman si penulis. Dalam situasi belajar, contoh-contoh seperti
ini menjadi sangat kontekstual, sehingga belum tentu sesuai dengan
pengalaman si pembaca. Jika guru menjadikan buku sebagai satu-satunya
“sumber belajar” tanpa memeriksa contoh yang disajikan dalam buku

Suandi Sidauruk; Pidato pengukuhan guru besar di Unpar, 29 Maret
2008

11
tersebut sesuai atau tidak sesuai dengan lingkungan siswa, maka contoh
tersebut menjadi abstrak bagi siswa.
Dalam beberapa buku pelajaran biologi tentang topik rantai
makanan, salah satu contoh yang populer dan disajikan dalam bentuk
gambar adalah peristiwa elang makan ular. Peristiwa ini tidak pernah
dilihat oleh anak-anak di sekitar sungai Kahayan, yang sering mereka
lihat adalah peristiwa elang makan ikan. Jika kegiatan pembelajaran
seperti ini terus terjadi di kelas tanpa ada upaya perbaikan, maka siswa
“dipaksa” mengembangkan konsep berdasarkan teori yang seringkali
gagal menjelaskan fenomena di sekitarnya.
Hadirin yang saya hormati,
Masyarakat lokal juga memiliki kekayaan pengetahuan, yang
dikenal

dengan

pengetahuan

tradisional

(etnosains).

Kekayaan

pengetahuan tersebut diperoleh berdasarkan interaksi yang begitu lama
dengan alam. Pengetahuan ini biasanya diwariskan dengan cara lisan atau
melalui contoh aktivitas kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, kekayaan
ini sangat dimungkinkan hilang, sesuai dengan karakteristik pewarisnya.
Contohnya penggunaan “mihing” untuk menjaring ikan. Mihing
berbentuk seperti perahu yang banyak rumbai-rumbainya sehingga ketika
ditenggelamkan ke dalam air mengalir (sungai) rumbai-rumbai tersebut
mengeluarkan bunyi-bunyian. Ikan seperti terkena sihir masuk ke dalam
mihing. Berdasarkan hasil penelitian terbukti bahwa bunyi-bunyian
dengan panjang gelombang tertentu dapat merangsang ikan untuk
mendekat ke sumber bunyi. Dewasa ini, mihing tersebut tidak diproduksi
Suandi Sidauruk; Pidato pengukuhan guru besar di Unpar, 29 Maret
2008

12
lagi, karena cara membuat mihing tersebut ternyata tidak mudah. Artinya,
satu kekayaan sains yang dimiliki masyarakat Dayak hampir (telah?)
punah. Jika tidak segera dilakukan rekonstruksi terhadap kekayaan ini
dan digunakan sebagai sumber belajar, maka generasi muda tidak akan
pernah tahu bahwa pendahulu mereka memiliki pengetahuan yang cukup
tinggi.
PENILAIAN HASIL BELAJAR
Penilaian hasil belajar adalah proses untuk mengambil
keputusan dengan menggunakan informasi yang diperoleh melalui
pengukuran hasil belajar. Oleh karena itu, kualitas informasi yang
diberikan oleh hasil pengukuran hasil belajar sangat berperan dalam
menentukan suatu kebijakan.
Untuk mendapatkan hasil pengukuran seperti ini, alat ukur
harus memenuhi persyaratan yaitu memiliki bukti kesahihan atau
validitas dan bukti keandalan atau reliabilitas (Mardapi, 2002). Bukti
kesahihan diperlukan untuk menjawab pertanyaan “apakah alat ukur
telah mengukur apa yang hendak diukur?”. Bukti keandalan diperlukan
untuk menjawab pertanyaan “apakah alat ukur yang digunakan dapat
menghasilkan pengukuran yang ajeg (konsisten)?”. Artinya, kesahihan
sangat tekait dengan isi tes dan kehandalan sangat terkait dengan
pelaksanaan tes.
Kesahihan sangat terkait dengan keterwakilan butir tes terhadap
cakupan konsep mata pelajaran yang hendak diujikan. Contoh tidak
Suandi Sidauruk; Pidato pengukuhan guru besar di Unpar, 29 Maret
2008

13
dipenuhinya kesahihan tes dapat digambarkan sebagai berikut. Kepada
siswa SMU dan siswa kelas 2 SD disuruh mengerjakan soal matematika,
yaitu 3x4+5. Apakah siswa SMU yang mengerjakan soal ini dengan
benar dapat dikategorikan memiliki kemampuan matematika tinggi
(pintar) dan siswa SD yang salah mengerjakan soal ini dapat
dikategorikan memiliki kemampuan matematika rendah (bodoh)? Siswa
SMU dikategorikan pintar karena soal yang dikerjakan mudah bagi
mereka, siswa SD dikategorikan bodoh karena soal yang dikerjakan
sukar bagi mereka. Dalam kasus ini terjadi ketidak adilan dalam
pengambilan keputusan, yaitu pintar dan bodohnya seseorang ditentukan
oleh mudah atau sukarnya soal, bukan berdasarkan kapasitas kemampuan
peserta tes. Artinya, soal tersebut belum mengukur apa yang hendak
diukur, yaitu mengukur kemampuan matematika yang sesuai dengan
tingkat kemampuan peserta tes.
Hadirin yang saya hormati,
Gugatan terhadap pelaksanaan Ujian Nasional (UN) juga terkait
dengan bukti kesahihan tes yang digunakan. Ahmad Rifai, guru di
Kapuas, (Kalteng Pos, Maret 2006) menggugat mengapa materi tes yang
diujikan untuk UN (Ujian Nasional) hanya matematika dan bahasa.
Menurut beliau, dampaknya adalah siswa kurang peduli terhadap mata
pelajaran yang tidak UN-kan, sebab kriteria kelulusan siswa hanya
ditentukan oleh nilai UN. Gugatan ini dapat dimaklumi karena untuk apa
capek-capek mengajar, jika segala upaya untuk menjadikan siswa paham
terhadap konsep yang diajarkan guru tidak dihargai?.
Suandi Sidauruk; Pidato pengukuhan guru besar di Unpar, 29 Maret
2008

14
Gugatan ini terkait dengan aspek keadilan, yang menjadi
pertanyaan adalah adil untuk siapa? Untuk siswa, guru, atau sekolah?.
Salah satu aspek yang harus dipenuhi dalam melakukan tes adalah setiap
peserta mendapat kesempatan yang sama. Kesempatan yang sama akan
terjadi bila setiap peserta tes beranjak dari kondisi yang sama. Artinya,
terdapat keadilan dalam mendapatkan proses pendidikan bagi semua
peserta tes. Kenyataannya, kondisi geografis Kalteng menjadi kendala
untuk menciptakan keadilan seperti yang diharapkan. Sebagian besar
sekolah yang berada di daerah terpencil kurang memadai sarana maupun
prasarana untuk mendukung kelancaran proses belajar mengajar,
sehingga proses pendidikan tidak sesuai dengan yang ditetapkan. Oleh
karena itu, jika UN mengukur substansi materi pelajaran yang
cakupannya berdasarkan kurikulum, maka sudah tentu siswa di daerah
terpencil akan kesulitan menjawab soal-soal yang diujikan, karena
kondisi awalnya tidak menguntungkan. Siswa seperti ini akan di cap
“bodoh”, meskipun kapasitas kemampuannya belum tentu rendah.
Pertanyaan yang perlu diajukan adalah “apakah tes tersebut sudah
mengukur apa yang hendak diukur?”. Sepertinya menjadi tidak adil jika
jawabannya adalah sudah dengan alasan kurikulum yang digunakan
sama. Kurikulum hanya sebuah dokumen, pada tataran kelas diperlukan
sarana, prasarana, dan strategi untuk menerapkannya.
Apakah hal ini juga adil bagi sekolah unggul? Kepala SMA De
Brito Yogyakarta dalam suatu wawancara di salah satu TV swasta di
Yogyakarta menyatakan bahwa mereka dirugikan dengan adanya Ujian
Suandi Sidauruk; Pidato pengukuhan guru besar di Unpar, 29 Maret
2008

15
Akhir Nasional, UAN (sebelum diganti UN) karena siswa mereka semua
akan lulus bila hasil UAN (materi tes bidang studi) digunakan sebagai
alat untuk menetapkan kelulusan siswa. Beliau mengatakan, De Brito
memiliki tradisi tidak pernah meluluskan siswa 100%, seperti yang selalu
di”upaya”kan kebanyakan sekolah. Mengapa demikian? Karena capaian
kurikulum mereka selalu melebihi cakupan kurikulum yang berlaku.
Untuk mengatasi hal ini perlu diupayakan bentuk
tes yang substansinya bukan muatan bidang studi, tetapi
potensi

dasar

yang

menyelesaikan

dimiliki

siswa

pendidikan.

merekomendasikan

potensi

agar

Banyak
dasar

berhasil
penelitian

tersebut

adalah

kemampuan berhitung, membaca, dan menulis. Hal ini
mungkin

yang

menjadi

dasar

pemikiran

mengapa

matematika dan bahasa digunakan sebagai materi tes UN.
Hadirin yang saya hormati,
Apakah tes prestasi belajar dengan substansi mata
pelajaran menjadi tidak perlu dilakukan? Tes seperti tetap
perlu dilakukan, tetapi hasil tes ini sebaiknya digunakan
untuk menentukan keputusan didaktik (yang menyangkut
pengajaran)

guna

memenuhi

kebutuhan

menyusun

kurikulum, peningkatan cara mengajar, pemberian bahan
pelajaran tambahan, dan sebagainya.
Selama ini, keputusan didaktik belum didasarkan
atas

informasi

hasil

tes

prestasi

belajar

yang

Suandi Sidauruk; Pidato pengukuhan guru besar di Unpar, 29 Maret
2008

16
dikembangkan secara sungguh-sungguh. Akibatnya, sulit
memetakan secara objektif topik yang mudah atau sukar
dipahami oleh sebagian besar siswa. Kesulitan tersebut
hanya sebatas pengetahuan guru tetapi tidak pernah
dilakukan upaya yang sistematis untuk memperbaiki
kesulitan

tersebut.

Kadangkala

dalam

kegiatan

pembelajaran, guru berada pada posisi membuktikan
kepada siswa bahwa “topik itu sulit”, sehingga tidak perlu
diperbaiki.
Hasil tes prestasi belajar juga mencerminkan
capaian kurikulum. Oleh karena itu, hasil tes ini dapat juga
digunakan

sebagai

patokan

pemeringkatan

kualitas

sekolah. Pemeringkatan ini dapat kita analogikan dengan
pemeringkatan dalam olah raga, misalnya cabang atletik
lompat tinggi. Pada cabang ini, tinggi lompatan minimal
telah ditetapkan sebagai persyaratan bagi atlet untuk
mengkuti pertandingan. Tinggi lompatan ini disesuaikan
dengan

tingkatan

ajang

kompetisi,

misalnya

PORDA

(Pekan Olahraga Daerah), PON (Pekan Olahraga Nasional),
atau Olimpiade. Secara periodik, tinggi lompatan minimal
pada setiap ajang dapat dievaluasi berdasarkan rata-rata
tinggi lompatan atlet.
Pemeringkatan ini mudah dilakukan karena alat ukur lompat
tinggi yang digunakan, yaitu meteran, memiliki bukti validitas dan
Suandi Sidauruk; Pidato pengukuhan guru besar di Unpar, 29 Maret
2008

17
reliabilitas yang sangat tinggi. Hampir setiap orang dapat membuat alat
ukur

meteran

dengan

validitas

yang

tinggi

dengan

cara

membandingkannya dengan alat ukur meteran yang ada dan sudah diakui
ketepatannya sebagai alat ukur. Hampir semua orang juga dapat
melakukan pengukuran dan menerjemahkan hasil pengukuran dengan
akurasi yang tinggi sebagai bukti keandalan alat ukur.
Hadirin yang saya hormati,
Berbeda dengan pembuatan alat ukur meteran,
pembuatan alat ukur tes prestasi belajar tidak dapat
dilakukan semua orang. Untuk menetapkan kesahihan alat
ukur prestasi belajar umumnya dilakukan secara logical
review, dengan melibatkan pakar bidang studi, untuk
menilai cakupan konsep setiap bidang studi. Tingkat
keandalan alat ukur dapat dilakukan secara empirical
review,

dengan

melibatkan

siswa.

Selain

untuk

mengetahui tingkat keandalan tes, cara ini juga dapat
memberikan informasi tentang indikator kualitas tes
lainnya, seperti tingkat kesukaran dan daya beda butir
tes. Jika hal ini dilakukan dalam mengembangkan alat
ukur prestasi belajar, maka alat ukur yang dikembangkan
dapat mengukur secara objektif peringkat setiap sekolah,
yaitu baik, sedang, atau kurang berdasarkan rata-rata
hasil tes prestasi belajar siswa.
Suandi Sidauruk; Pidato pengukuhan guru besar di Unpar, 29 Maret
2008

18
Jika setiap mata pelajaran dapat dipetakan tingkat
kesulitannya

dan

peringkatnya,

setiap

maka

sekolah

strategi

dapat

ditentukan

peningkatan

kualitas

pendidikan dapat dirumuskan secara tepat. Kegiatan
pengembangan tes prestasi belajar dan menggunakan
hasil tes ini untuk merumuskan keputusan didaktik belum
dilakukan oleh Pemerintah Daerah sebagai salah satu
strategi

peningkatan

kegiatan

ini

Pemerintah

kualitas

merupakan
Daerah

pendidikan.

salah

sebagai

satu

Padahal

peluang

konsekuensi

bagi
dari

desentralisasi pendidikan.
PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Undangundang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU
Sisdiknas) dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan, menyiratkan setiap daerah diberikan
peluang dan sekaligus tantangan untuk mengembangkan pendidikan yang
berkarakter

sesuai

dengan

potensi

daerah

tempat

pendidikan

diselenggarakan. Salah satu cara mengembangkan karakter tersebut
adalah memasukkan aspek lokalitas dalam mengembangkan kurikulum,
khusunya dalam mengembangkan bahan ajar dan alat ukur penilaian hasil
belajar. Hal ini sesuai dengan semboyan Departemen Pendidikan
Nasional (Depdiknas), yaitu ”bertindak lokal berpikir global”.
Suandi Sidauruk; Pidato pengukuhan guru besar di Unpar, 29 Maret
2008

19
Ketua Senat dan Anggota Senat yang saya hormati,
Sebelum saya akhiri pidato ini, izinkanlah saya mengucapkan
terima kasih kepada Bapak Rektor Universitas Palangkaraya yang telah
merekomendasikan saya untuk diusulkan memperoleh jabatan guru besar,
Bapak Dekan FKIP Unpar beserta jajarannya, serta para dosen yang telah
memotivasi saya dalam melakukan aktivitas akademis, Bapak Kepala
Dinas P dan K Provinsi Kalimanta Tengah serta para guru yang telah
memberikan kesempatan dan bantuan kepada saya untuk melakukan
penelitian di sekolah, serta para undangan sekalian yang telah berkenan
hadir dan meluangkan waktu dalam acara pengukuhan ini. Ucapan
terimakasih juga saya sampaikan kepada panitia yang telah bersusah
payah menyelenggarakan acara pengukuhan ini. Biarlah Tuhan Yang
Maha Baik berkenan membalaskan semua kebaikan Bapak dan Ibu serta
para hadirin sekalian.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada istriku Ruli
Meiliawati Situmorang beserta anak-anakku Pamela Actinina Srirumata
Sidauruk, Rani Oktaviani Sidauruk, dan Toni Salvatio “Parlinggoman
Soramuntul” Sidauruk, kesabaran dan doa kalian merupakan tenaga
pendorong bagi saya untuk berkarya, you are my own dear familiy.
Terima kasih, semoga Tuhan Yang Maha Pengasih memberkati
kita semua.
Palangka Raya, 29 Maret 2008

Suandi Sidauruk; Pidato pengukuhan guru besar di Unpar, 29 Maret
2008

20
Prof. Dr. Suandi Sidauruk, M.Pd.
PUSTAKA ACUAN
Boeree, C. George (2006). Personality Theories; Melacak Kepribadian Anda
Bersama Psikolog Dunia (terjemahan oleh Inyiak Ridwan Muzir).
Prismasophie; Yogyakarta.
Cardellini, L.. (2002). An interview with Hans Jürgen Schmidt. Chemistry
Education: Research and Practice. 4(1), 11-17
Mardapi, Djemari. (2002). Bukti kesahihan dan keandalan alat ukur: Tanggapan
atas artikel “tes keterampilan olah raga judo bagi mahasiswa”. Jurnal
Kependidikan. No. 1, tahun XXXII. Lembaga Penelitian UNY.
Meiliawati, Ruli & Sidauruk, Suandi (2001). Pengaruh pelaksanaan
demonstrasi terhadap konsepsi Siswa SLTP tentang konsep
perubahan materi dan hukum kekekalan massa. Laporan Penelitan;
Unpar.
Muth, R. & Guzman, N. (2001). Conceptions and misconceptions in the
undergraduate science curriculum. Diambil pada tanggal 26 Oktober
2002 dari http://web.uccs.edu /bgaddis/leadership/topicfocus1D1
.htm.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional
Pendidikan
Radford, D.L. (1998) Transfering theory into practice: A model for professional
development for science education reform. Journal of Research in
Science Teaching, 35(1), 73-88.
Sidauruk, Suandi (2001). Mempertimbangkan NEM sebagai alat seleksi, Jurnal
Pendidikan, Univ. Palangkaraya.
Sidauruk, Suandi (2007). Kesalahan siswa SMA memahami konsep persamaan
reaksi. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran; FKIP UNILA.
Spencer, J.N. (1999) New directions in teaching chemistry: A phlosophical and
pedagogical basis. Journal of Chemical Education. 76(4); 566-569.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional

Suandi Sidauruk; Pidato pengukuhan guru besar di Unpar, 29 Maret
2008