HEGEMONI DI BALIK PENDIDIKAN INDONESIA

HEGEMONI DI BALIK PENDIDIKAN INDONESIA
Oleh: Mila Nur Azizah
Ketiplak pendidikan di Indonesia masih menjadi sorotan publik, masih menjadi
sesuatu yang sangat diprioritaskan. Indonesia memiliki ratusan ribu lembaga
pendidikan dan sistem pendidikan di Indonesia merupakan sistem terbesar ketiga di
Asia, bahkan terbesar keempat di dunia. Sesuatu yang luar biasa dan
menakjubkan.
Namun, pendidikan di saat ini bukan lagi mempersoalkan tentang ilmu
pengetahuan yang mereka dapat, tetapi tentang mereka sekolah di mana dan
sekolah apa? Padahal seharusnya tidak seperti itu. Kini, sekolah menjadi suatu
trend di kalangan masyarakat, sekolah yang mahal, elit, bagus, dan terkenal
menjadi titik tumpu orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya. Terjadilah
paradigma yang salah.
Kemudian, dewasa ini banyak ditemukan terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh
guru kepada muridnya. Entah itu dipukul atau dicabul. Kenapa hal ini bisa terjadi
dan mencoreng nama baik pendidikan Indonesia di mata dunia, bahkan di mata
pribumi itu sendiri? Padahal dengan pendidikan harapan Indonesia lebih maju
begitu besar.
Beberapa sekolah di negeri ini menentukan tarif untuk pelaksanaan Ujian Tengah
Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS), hanya untuk mendapatkan sehelai
kartu ujian. Dan bagi murid yang tidak membayar tidak akan dikasih kartu dan tidak

bisa mengkuti ujian yang diselenggarakan sekolah tersebut. Hal ini tentunya
memberatkan murid dan orang tuanya.
Selanjutnya, watak guru yang selalu merasa dirinya paling benar menjadi sesuatu
yang salah di mata saya. Maka tatkala seorang murid terasah kemampuannya
untuk menyanggah apa yang diutarakan oleh seorang guru menjadi terbantahkan.
Seyogianya seorang guru tidak menyebut perkataan kotor kepada muridnya.
Seperti kata ‘bodoh,’ apalagi di dalam kelas. Nantinya, kondisi psikis mereka
terganggu.
Ujian Nasional (UN) kini menjadi tahapan ujian terakhir untuk melanjutkan tingkat
pendidikan. Namun, di balik UN itu sendiri terdapat misteri yang tidak pernah kita
ketahui. Tiba-tiba saja nilai menjadi sangat tinggi, dan semua murid rata-rata
memiliki nilai yang sama. Yang di kelasnya biasa-biasa saja, kini Matematika dan
Bahasa Inggrisnya mendapatkan nilai 90. Apa yang sebenarnya terjadi? Ternyata
ketika saya menanyakan kepada salah seorang murid, dia disuruh menipiskan
coretan pensil saat membundari jawaban. Agar jawabannya bisa dihapus kembali
dan di ubah ke jawaban yang benar. Aduhai, sungguh lucunya negeri ini.

Lantas, aparat yang bertugas berada di mana, ketika soal-soal UN bocor, ketika
kunci jawaban dibeli oleh murid-murid yang sengaja patungan untuk membelinya,
ketika guru-guru melakukan hal yang tidak baik untuk sekedar mengharumkan

nama baik sekolahnya dengan memanipulasi nilai UN? Apakah semua ini terdapat
kongkalikong? Lalu, untuk apa sekolah bertahun-tahun? Jika kenyataannya seperti
inilah yang terjadi. Seperti pembodohan akbar. Maka barangkali pemimpinpemimpin kita saat ini bisa jadi merupakan korban dari pembodohan akbar.
Mungkin. Wallahu alam.
Di sebagian negara di dunia profesi menjadi seorang guru merupakan profesi yang
sulit untuk didapatkan. Karena di Negara-negara tersebut kegagalan dan
keberhasilan seorang murid merupakan kegagalan dan keberhasilan guru itu
sendiri.
Pendidikan di Indonesia memang selalu dibenahi, pemerintah ‘mengotak-atik’
sistem dengan sedemikian rupa dan upaya. Demi terwujudnya pendidikan yang
baik.
Ki Hajar Dewantara, sosok pertama yang mencanangkan pendidikan Indonesia
dengan menegakkan tri dharma pendidikan,