PENDIDIKAN ULAMA DI INDONESIA pdf

PENDIDIKAN ULAMA DI INDONESIA
Siti Aisyah
FAI UCY
sitiaisyah.mpk@gmail.com
Abstract
This paper is concerned with the historical development of Islamic clerical
(Ulama) education in Indonesia. In the development, higher-religious
education such as pesantren, PTAI, and institutional cadre of scholars still be
the first step in preparing scholars. Internships in Bahsul Masail Nahdlatul
'Ulama, MUI Fatwa Institution, the practice sessions of the Legal Affairs
Committee in Division Fatwa Institution MTT or the other, as well as
coaching and mentoring practices would strengthen community preparedness
education graduates scholars to provide comfort for the people to believe and
worship. They themselves are responsible to develop themselves in the
comunity life.
Keywords: Islamic clerical education, Pesantren, Indonesia

A. PENDAHULUAN

Seiring perjalanan waktu, perubahan dan perkembangan terjadi dalam
bentuk kelembagaan pendidikan Islam. Perubahan dalam konteks

modernisasi pendidikan Islam di Indonesia didorong adanya ketidak puasan
individu dan Organisasi Islam terhadap metode tradisional dalam
mempelajari Qur an dan studi agama. Mereka berusaha memperbaiki
pendidikan Islam baik dari segi metode maupun isinya. Mereka juga
mengusahakan kemungkinan memberikan pendidikan umum untuk orang
Islam.1

Tulisan ini menfokuskan pada kajian tentang perkembangan
pendidikan keulamaan di Indonesia. Dalam kategori Steenbrink tentang
pesantren, madrasah, dan sekolah, pendidikan dasar keislaman melalui
pendidikan formal, difokuskan pada madrasah dan sekolah. Pendidikan
Ulama berkarakter khas karena lebih terkait dengan model pendidikan
pesantren. Karena itu perkembangannya telah berbeda dari jenjang
pendidikan di bawahnya. Hal itu tidak bisa dilepaskan profil seorang ulama
yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk menyebarkan Agama Islam dan
memberikan ketenangan dalam beriman dan beribadah setiap masa.
B. Profil Ulama Indonesia

SITI AISYAH


Dalam bahasa Arab, ulamâ bentuk jama dari kata âlim yang artinya
yang terpelajar, sarjana, yang berpengetahuan, ahli ilmu. 2 Dalam bahasa
Indonesia, ulama adalah orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan
agama Islam.3 Dalam al-Qur an term ulama terdapat dalam dua ayat yaitu
dalam al-Fatir; 35:28 dan al-Syu ara ; 26:197; meskipun dalam bentuk
tunggalnya alim ada dalam 13 ayat. Kata alim, sebagian besar dikaitkan
dengan sifat Allah Yang Maha Mengetahui hal-hal yang ghaib.4 Ulama dalam
Surat al-Fatir ayat 28 yang didahului oleh penjelasan ayat 27, dalam kontek
ajakan al-Qur an untuk memperhatikan turunnya hujan dari langit, beraneka
ragam buah-buahan gunung, binatang dan manusia yang kemudian diakhiri
dengan Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hambanya
hanyalah ulama .Ayat kedua dalam kontek pembicaraan al-Qur an yang
kebenaran kandungannya diakui (diketahui) oleh ulama Bani Israil.
Dari kedua ayat tersebut, mengisyaratkan bahwa ulama itu adalah
mereka yang khasyyah kepada Allah dalam arti takut, takwa, muncul rasa
kagum dan hormat pada Allah, Sikap ini muncul dengan mengamati
fenomena kosmos (ayat-ayat kauniyah) melalui kajian science, dan mengkaji
ayat-ayat Qur aniyah.. Dengan demikian penguasaan kedalaman ilmu-ilmu
agama (tafaqquh fiddin) dalam segala macam aspek ilmu-ilmu keislaman
serta penguasaan ilmu-ilmu kealaman, sosial maupun humaniora serta

integritas pribadinya senantiasa lekat dalam kehidupan seorang ulama.
Djohan Effendi dalam Dawam Rahardjo menjelaskan perkembangan
tentang ulama di Indonesia. Ulama dalam Islam adalah pengemban tradisi
agama dan seorang yang paham akan syari ah. Di beberapa negara, mereka
disebut fakih. Dari kalangan yang ahli dalam fikih ini, ditunjuk mereka yang
mampu menjabat qadi (hakim) dan penasehat ahli dalam ilmu hukum. Dalam
pengertian asli yang dimaksud dengan ulama para ilmuwan baik di bidang
agama, humaniora, sosialdan kealaman. Dalam perkembangannya kemudian,
pengertian ini menyempit dan hanya digunakan untuk ahli agama. Di
Indonesia, ulama juga mempunyai sebutan yang berbeda di setiap daerah,
seperti kiai (Jawa), ajengan (Sunda), tengku (Aceh), Syekh (Sumatra
Utara/Tapanuli), buya (Minangkabau), tuan guru (Nusa Tenggara,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah) .

Yang menarik dari rumusan tersebut bahwa ulama itu sebenarnya
orang yang memiliki kedalaman ilmu dalam bidang apa saja, baik ilmu agama
maupun ilmu-ilmu nonagama yang selama ini dikenal ilmu sekuler. Selama
ini terdapat reduksi makna ulama yang difokuskan pada ahli ilmu agama saja,
bahkan lebih khusus pada ilmu fikih. Ulama juga pengemban tradisi agama
sehingga ajaran-ajaran Islam membudaya dalam kehidupan.

30

Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 1, Juni 2015

PENDIDIKAN ULAMA DI INDONESIA

Dalam sejarah pendidikan Islam di Indonesia, profil ulama mengalami
perkembangan, sejalan dengan tuntutan dan kebutuhan umat, masyarakat,
dan bangsa. Pada masa awal Islam, seorang ulama adalah mereka yang
menguasai Al-Qur an dan praktik peribadatan. Mereka memberikan
bimbingan agama kepada masyarakat dalam bentuk membaca Al-Qur an dan
bimbingan ibadah seperti salat, puasa, dan sadaqah. Dengan terbukanya
jaringan ulama ke pusat keilmuan Islam, perkembangan berikutnya, Ulama
dituntut menguasai ilmu-ilmu keagamaan, mampu membaca kitab-kitab
Tafsir, Fikih, dan Tasawuf atau tarekat.
Pada masa kolonial Belanda, ulama disamping sebagai pemimpin
agama, juga sebagai pejuang yang memimpin ummat berjuang dalam medan
perang melawan penjajah. Diantara ulama yang hidup pada masa ini adalah
Para Wali, Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah, Haji Miskin, Haji Sumanik,
Haji Piobang, Syekh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Pangeran Antasari

dan pangeran Arsyad Al-Banjari dari Banjar, Haji Ripangi dari Jawa Tengah,
dan Syekh Nawawi dari Banten.44
Memasuki masa modern pada awal abad XX, ulama mulai terbuka
terhadap pembaharuan. Tokoh-tokoh pembaharu pendidikan pada masa ini
misalnya Zainuddin Labay, Hamka dari Minangkabau, K.H. Ahmad Dahlan
pemimpin Muhammadiyah, Ahmad Surkati, pemimpin Jamiat al-Khair dan
Al-Irsyad, Sulaiman Ar-Rasuli pemimpin PERTI, Seikh Abbas dari Ladang
Lawas Minangkabau pendiri Arabiyah School dan Islam School, KH. Abdul
Halim dari Majelengka, pendiri Santi Asrama. Ulama pembaharu di kalangan
pesantren antara lain. K.H. Abdul Wahab Hasbullah pendiri Nahdlatul
Wathan, KH. Hasyim Asy ari seorang tokoh penuh kharisma yang menjadikan
NU cepat populair dan pada tahun 1927 memimpin NU, melakukan
pembaharuan pendidikan di pesantren Tebuireng serta telah meletakkan
dasar bagi penggabungan beberapa pesantren di Jawa yang berfaham Ahlu
Sunnah Wal Jama ah.45 Tuntutan terhadap ulama bukan hanya penguasaan
terhadap ilmu-ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu umum.
Masa kemerdekaan, fungsi ulama lebih luas, merambah ke dunia
politik kenegaraan dan kehidupan sosial. Pada masa sekarang, di era
globalisasi yang memunculkan kesadaran baru akan kesatuan dan keutuhan
dunia. Substansi globalisasi adalah ideologi yang menggambarkan proses

interaksi yang sangat luas dalam berbagai bidang : baik ekonomi, politik,
sosial, teknologi, dan budaya.46 Kehidupan beragama di era globalisasi
dihadapkan pada berbagai tantangan seperti kapitalisme, sekularisme,
multikultural, hedonisme, dan munculnya ide kosmopolitan. Ulama di era
globalisasi dituntut untuk memiliki keilmuan dan kemampuan yang mampu
Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 1, Juni 2015

31

SITI AISYAH

menyelaraskan antara nilai-nilai tradisional, kearifan lokal yang mungkin
terancam fenomena globalisasi dengan tetap mempertahankan dan berusaha
mengembangkan nilai-nilai Islam, sejalan dengan tuntutan kemajuan. Untuk
itu, diperlukan interkoneksi dan interrelasi antara para ulama dari berbagai
macam disiplin ilmu, baik ulama dalam bidang ulumuddin dan Islamic
studies, ulama ilmu-ilmu kelaman dan teknologi, serta sosial-budaya. Dalam
hal ini, ulama ulumuddin tetap menjadi corenya, dan didukung oleh ulama
bidang lainnya dalam memecahkan dan menjawab permasalahan ummat di
tengah-tengah kemajuan teknologi di era globalisasi dan informasi. Untuk

mewujudkan profil ulama yang holistik, diperlukan pendidikan ulama
integratif.
C. Lembaga Pendidikan Ulama
Dalam sejarah sosial pendidikan Islam di Indonesia, terdapat
dinamika lembaga Pendidikan Ulama sejak masa awal untuk menjawab
kebutuhan ulama. Pendidikan ulama di Indonesia memiliki jaringan dengan
ulama nusantara melalui perjalanan ibadah haji. Perjalanan ulama Nusantara
ke Haramain pada abad ke-17, menurut Volt, sebagaimana dikutip
Azyumardi, membagi mereka menjadi tiga tipe yaitu : little immigrants,
grand immigrants, dan para ulama dan murid pengembara .5
Dewasa ini ada beberapa alternatif lembaga pendidikan ulama antara
lain pesantren, Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), dan Pendidikan Kader
Ulama. Lembaga-lembaga dimaksud secara khusus menyiapkan, merancang,
dan sekaligus melaksanakan pendidikan ulama yang memiliki kualifikasi
kompetensi keilmuan, kepribadian, sosial dan kemanusiaan, dan mampu
memberikan jawaban terhadap isu-isu kontemporer, baik terkait dengan
keluarga, kehidupan masyarakat, jender, kesehatan, ekonomi, kenegaraan,
dll, serta mampu memberikan solusi dan bimbingan terhadap permasalahan
ummat, kemasyarakatan, kebangsaan, dan kemanusiaan. isu-isu
kontemporer.

1. Pesantren

Pesantren merupakan institusi pendidikan Islam yang memiliki tradisi
keilmuan dalam rentang sejarah yang sangat panjang. Diantara tiga fungsi
pokok pesantren adalah sebagai institutsi pembinaan calon-calon ulama
(reproduction of ulama).47. Dalam menyiapkan sumber daya ulama, beberapa
pesantren telah melakukan pembaharuan dan penataan baik dari sisi standar
kompetensi, standar isi, standar proses, maupun standar evaluasi, meski
masih dalam bentuk sederhana. Misalnya laporan Sujoko Prasodjo tentang
pesantren Al-Falah dan delapan pondok pesantren lainnya di Bogor,
diketahui bahwa pesantren dimaksud telah memasukkan 74,3% muatan
32

Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 1, Juni 2015

PENDIDIKAN ULAMA DI INDONESIA

pelajaran umum yang bersifat intelektualistik, kejuruan, dan ketrampilan. 48
Zamakhsyari Dhofier telah mengangkat tradisi pesantren mengemukakan
terdapat kenyataan adanya perubahan-perubahan yang dilakukan pesantren

secara bertahap. Kyai mengambil sikap yang lapang dalam menyelenggarakan
modernisasi lembaga-lembaga pesantren di tengah perubahan masyarakat.49.
Manfred Ziemeck melaporkan bahwa pesantren merupakan pusat
pengembangan di bidang pendidikan, politik, budaya, dan keagamaan. 50 K.H.
Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz ulama kharismatik yang memimpin
pesantren Mashlakul Huda, telah merumuskan Fikih Sosial yang merupakan
bentuk kontekstualisasi dan reaktualisasi metodologi fikih Syafi iyyah dalam
upaya menemukan pemikiran alternatif yang sejalan dengan cita-cita ideal
transformatif. Fikih Sosial dimaksud telah dituangkan baik dalam dataran
gagasan maupun dataran implementatif. 51
Realitas dinamika pesantren yang sebagiannya telah dipotret dalam
beberapa penelitian dimaksud, menunjukkan bahwa pesantren sebagai salah
satu Lembaga yang menyiapkan calon-calon ulama telah melakukan
perubahan dan penyesuaian terhadap tuntutan kebutuhan masyarakat akan
tampilnya ulama-ulama yang mampu memberikan solusi dan bimbingan
kepada masyarakat. Meski demikian, untuk optimalisasi peran pesantren
sebagai instutusi reproduction of ulama, masih perlu melakukan peningkatan
kualitas sumber daya pesantren. Dalam hal ini, pesantren diharapkan lebih
bersikap eksklusif, terbuka terhadap hal-hal baru. Sehingga ranah
pengajarannya tidak hanya sebatas pada ilmu-ilmu agama saja, tapi juga

meliputi ilmu-ilmu umum dan teknologi. Demikian itu adalah upaya realisasi
dari falsafah; Al-Muhâfa atu alâ al-qadîm al- alîh, wa al-akh u bi al-jadîd alashlah.

Alumni pesantren, diharapkan menjadi calon-calon ulama yang
intelek. Menurut Umarul Farouq alumni pesantren yang intelek adalah
alumni yang memiliki kapabilitas produktif menulis, lihai retorika, ahli
metodologi, dan ditopang dengan akhlak yang mulia, salah satunya toleransi
dan menghargai perbedaan 52. Ulama-ulama Islam klasik, pada zaman
Abbasiyah dahulu adalah teladan elegan tentang bagaimana seorang alumni
pesantren harus membentuk dirinya. Tokoh-tokoh Islam abad itu tidak hanya
sekedar ahli agama, mereka juga menguasai berbagai cabang ilmu, baik
kedokteran, filsafat, logika dan sebagainya. Dan yang lebih penting, mereka
produktif dalam menulis, sehingga sampai sekarang, warisan keilmuan
mereka tetap abadi. Begitu halnya dengan retorika, kemampuan dalam
berdakwah dan menyampaikan berbagai macam ilmu yang dikuasainya.
Tanpa keterampilan beretorika, seorang ulama akan kesulitan mengakses
Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 1, Juni 2015

33


SITI AISYAH

ilmu-ilmunya pada umat. Dan yang terakhir adalah metodologi, yaitu
kegemaran untuk terus belajar dan menelaah berbagai macam ilmu, sebagai
pengamalan dari pepatah never old to learn . Akhlak yang mulia akan
menopang ketiga kapabilitas tersebut, diantaranya akhlak toleransi dan
menghargai perbedaan. Akhlak mulia yang menghiasi hati dan sikap, akan
memberikan spirit keilmuan yang membawa pencerahan ummat. Sikap
toleransi, menghargai perbedaan, tidak fanatik dengan golongan tertentu,
mengembangkan sikap moderat serta menyikapi semua perbedaan dengan
cerdas merupakan akhlak ulama dalam mengembangkan dan
mengejawantahkan kapabilitas keilmuannya. Islam telah menanamkan
bahwa perbedaan yang ada adalah bentuk kasih sayang Tuhan. Sebab
manusia memang diciptakan dengan potensi dan naluri yang berbeda-beda,
sehingga ulama intelek juga harus pandai menyikapi perbedaan. Dalam
perspektif pendidikan, perbedaan pendapat sejatinya merupakan kekayaan
warisan intelektual yang akan memperkuat khazanah peradaban Islam.

Di antaranya dengan : pembenahan kurikulum, penyediaan
erbagai macam literatur di perpustakaan, dan tenaga pengajar.
Pertama, kurikulum yang diterapkan tidak semestinya terfokus pada satu
madzhab tertentu. Santri diberi kebebasan untuk memilih apa yang ia yakini
benar. Kedua, penyediaan berbagai macam buku, sehingga santri akan
mengetahui betapa dunia ini dipenuhi dengan berbagai perbedaan. Baik
perbedaan madzhab, suku, bahasa dan lain sebagainya. ketiga, adalah
mempersiapkan tenaga pengajar, yang juga moderat. Yaitu guru yang selalu
menghargai perbedaan dan tidak fanatik.

Pesantren yang telah dengan baik menerapkan falsafah di atas, akan
dengan mudah mengikuti globalisasi zaman yang semakin tak terelakkan.
Sehingga alumni-alumninya namun juga bisa mengisi seminar di gedunggedung megah atau cerdas dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang
ada, baik sosial, politik, ekonomi ataupun pendidikan.
2. Perguruan Tinggi Agama Islam

Pendidikan Tinggi Agama Islam yang tersebar di seluruh Indonesia,
baik Negeri maupun Swasta memiliki posisi strategis dalam menyiapkan
ulama di era global. Pendekatan integratif Islami, suasana akademis,
pengembangan kurikulum, proses pendidikan, penelitian dan sistem evaluasi
perlu dirumuskan dan diimplementasikan secara sistemik. Model Universitas
Islam, baik Negeri maupun Swasta, sejatinya merupakan institusi pendidikan
tinggi yang secara idealita memiliki pranata-pranata yang memungkinkan
mengembangkan Islamic studies dan penelitian secara integratif. Integrasi
keilmuan Islam pada Fakultas Umum dikembangkan melalui penelitian dan
34

Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 1, Juni 2015

PENDIDIKAN ULAMA DI INDONESIA

kajian untuk merumuskan bangunan kurikulum Biologi Islami, Fisika Islami,
Sosiologi Islami, Psikologi Islami, Ilmu Pendidikan Islami, dll. Integrasi
keilmuan Islam pada Fakultas dan Prodi Agama dikembangkan secara
integratif lintas Ilmu. Kajian aqidah, diintegrasikan dengan biologi, fisika
untuk membuktikan keagungan Tuhan. Kajian akhlak diintegrasikan dengan
psikologi, sosiologi, komunikasi. Kajian Fikih diintegrasikan dengan ilmu
Hukum dan ekonomi. Pengembangan studi Tafsir dan Hadis diintegrasikan
baik metodologi maupun materinya secara integratif.
3. Pendidikan Kader Ulama

Pendidikan Kader Ulama telah dilakukan oleh ummat Islam Indonesia,
diantaranya oleh MUI Pusat maupun Daerah. Pendidikan Kader Ulama
(PKU) tingkat Pusat telah diselenggarakan sejak 1985. Waktu pendidikan
PKU ada yang diselenggarakan selama 15 hari, 3 bulan, atau 24 bulan.
Selama 27 tahun, alumninya dinilai belum menunjukkan eksistensinya. Oleh
karena itu, MUI bermaksud mendirikan Pendidikan Kader Ulama Program S1
yang diharapkan alumninya memiliki kemampuan akademis dalam ilmu-ilmu
Keislaman (Ulûm Islâmiyah) dan khazanah literatur Islam (turâ Islam).53
Kementrian Agama RI menyediakan beasiswa Kader Ulama tahun
2012 bidang Ushul Fikih Ilmu Falak. Kegiatan ini dilakukan karena
mendesaknya kaderisasi ulama dan pengasuh pondok pesantren yang
mumpuni karena langkanya figur teladan dan wafatnya para pengasuh
pesantren.

Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah, diselenggarakan Majelis
Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang pernah mengalami
fakum, karena muridnya berguguran, telah dihidupkan kembali. Tahun 2012
telah mewisuda angkatan ke-9 bagi PUTM Putera dan angkatan pertama bagi
PUTM Puteri. Prof. Dr. Syamsul Anwar selaku Ketua Majelis Tarjih dan
Tajdid PP. Muhammadiyah menyampaikan ada empat kompetensi yang
diharapkan dari PUTM agar alumninya mampu membimbing masyarakat
dengan kebutuhan dan problematika yang semakin kompleks. Kompetensi
dimaksud yaitu : pertama, menguasai dengan baik satu cabang ilmu
(khususnya dalam hal keagamaan). Kedua, Mempunyai tingkat kesalihan
tertentu dalam kehidupan individunya. Ketiga, memiliki keterlibatan dalam
masyarakat, karena ulama lahir dari masyarakat, mengabdi untuk
masyarakat, dan menjadi pemimpin masyarakat. Keempat, menguasai ilmu
alat, yakni bahasa Arab yang merupakan rujukan sumber ilmu-ilmu agamadan bahasa Inggris - karena Muhamamdiyah sebagai gerakan modernis,
ulamanya harus mampu mengatasi globalisasi yang sangat sulit dilakukan
tanpa kemampuan bahasa Inggris-. 54

Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 1, Juni 2015

35

SITI AISYAH

Bila di Muhammadiyah ada tradisi Tarjih, dalam organisasi Nahdhatul
Ulama terdapat tradisi bahtsul masail. Perkataan Nahdhatul Ulama itu
sendiri berarti kebangkitan ulama dalam menghadapi tantangan zaman. Hal
ini mengindikasikan bahwa di era global, dituntut ulama yang memiliki multi
kompetensi keilmuan. Hal ini nampak adanya komposisi ulama di kalangan
Pimpinan teras NU tidak hanya diisi ulama ulumuddin tetapi juga ulama
ulumud-dunya.
D. Kesimpulan

Meminjam pernyataan Prof. Dr. Mukti Ali, bahwa pesantren tidak
mencetak ulama, tetapi ulama akan menjadi karena dirinya, 55 maka, baik
pesantren, PTAI, maupun institusi kader ulama merupakan langkah awal
upaya menyiapkan calon ulama, yang masih harus terlibat dan teruji dalam
kehidupan nyata. Magang dalam kegiatan Bahsul Masail Nahdlatul Ulama,
Lembaga Fatwa MUI, praktik tarjih dalam sidang-sidang Divisi Fatwa MTT
maupun Lembaga Fatwa lainnya, serta praktik pembimbingan dan
pendampingan masyarakat akan memperkuat kesiapan alumni pendidikan
ulama memberikan kenyamanan bagi umatnya untuk beriman dan
beribadah.
Catatan Akhir

1 Karel A. Steenkbrink, Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam dalam
Kurun Modern, h. 28.
2 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia ( Yogyakarta :
Unit Pengadaan Buku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1984), h. 1037
3 Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,
2005), ed. ketiga, h. 1239
4 Muhammad Fuâd Abd al-Bâqî, Al-Mu jam al-Mufahras li- Alfât al-Qur ân alKarîm, (Kairo : Dâr al-hadî , 2001), h. 583, 584

Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur an Ulama , Ulumul Qur an, No. 5, Volume
VI, tahun 1996.
44 Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia abad ke 19, h. 17, 33, 46,
91, 101, 139.
45 Steenbrink, Pesantren
, h. 47, 52, 62, 67,69, 75.
46 Muhtarom, Reproduksi Ulama di Era Globalisasi, Resistansi Tradisional Islam,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), h. 45
5 Ibid, h. 75
47 Azra, Esei-esei
, h. 89.
48 Sudjoko Prasodjo, Profil Pesantren, (Jakarta : LP3S, 1994), h. 91.
49 Dhofier, Tradisi
, h. 174
50 Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, terj. Butche B. Soendjojo
(Jakarta : P3M, 1983), h. 253
51 Zubaedi, Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Pesantren, Kontribusi Fikih Sosial
Kyai Sahal Mahfudh dalam Perubahan Nilai-nilai Pesantren (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2007), h. 385.
52 Umarul Faruq,
Pendidikan Pesantren; mencetak Kader ulama intelek, alamien.ac.id.

36

Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 1, Juni 2015

PENDIDIKAN ULAMA DI INDONESIA
53 Abdullah, Skripsi tentang Sistem Perencanaan PKU Sarjana S1 pada Komisi
Pendidikan MUI Pusat ( tulis.ninjkt.ac.id.)
54 www.mtt.yahoo.com.
55 Steenbrink, Pesantren
, h. 75.

Daftar Pustaka

Abd al-Bâqî, Muhammad Fuâd. Al-Mu jam al-Mufahras li- Alfât al-Qur ân
al-Karîm. Kairo : Dâr al-hadî , 2001.
A.S., Tritton. Materials on Muslim Education in the Middle Ages. London :
Burleigh Press, 1957.
Abdullah. Skripsi tentang Sistem Perencanaan PKU Sarjana S1 pada Komisi
Pendidikan MUI Pusat. www. tulis.ninjkt.ac.id.
Ahmad, Munir-ud-Din. The History of Muslim Education. Hamburg:
University of Hamburg, 1968.
Anshari, Endang Saifuddin. Kuliah Al-Islam, Pendidikan Agama Islam di
Perguruan Tinggi. Jakarta : Rajawali, 1976.
Azra, Azyumardi. Esei-esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam. Jakarta :
logos Wacana Ilmi, 1998.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII & XVIII. Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2013,
edisi perenial, cet ke-1.
Dhofier, Zamakhsari. Tradisi Pesantren. Jakarta : LP3ES, 1994.
Dunn, Ross E. Petualangan Ibnu Battuta : Seorang Musafir Muslim Abad
ke-14. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1995, terj. Amir Sutaarga.
Faruq, Umarul. Pendidikan Pesantren; Mencetak Kader Ulama Intelek. alamien.ac.id.
Hamka. Sejarah Ummat Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 1976, cet kedua, jilid
iv.
Karim, Abdul. Islam Nusantara. Yogyakarta : Pustaka Book Publisher, 2007.
Kaufmann, Walter. Medieval Philosophy. New Jersey : Simon & Schuster,
1997.
Kraemer, Joel L. Renaisans Islam , terj. Asep Saefullah. Bandung : Mizan,
2003.
M.C., Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta : PT. Serambi
Ilmu Semesta, 2005, terj. Satrio Wahono dkk.
Majidi. Busyairi. Konsep Pendidikan para filosof Muslim. Yogyakarta : AlAmin Press, 1997.
Muhtarom. Reproduksi Ulama di Era Globalisasi, Resistansi Tradisional
Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia.
Yogyakarta : Unit Pengadaan Buku Ilmiah Keagamaan Pondok
Pesantren Al-Munawwir, 1984.

Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 1, Juni 2015

37

SITI AISYAH

Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta : UI Press,
1984, jilid I,
Naufal, Abdur Razaq. Umat Islam dan Sains Modern. terj. Abdurrahman,
H.M., Bandung : Husaini, 1987.
Nooer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta : PT
Pustaka LP3ES Indonesia, 1996, cet . 8., terj. Deliar Noer
Panitia Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia, Risalah Seminar
Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia. Medan : 1963.
Quraishi, Mansoor A. Some Aspects of Muslim Education. Lahore : Sind
Sagar Printers, 1970.
Rahardjo, Dawam. Ensiklopedi al-Qur an Ulama . Ulumul Qur an, No. 5,
Volume VI, tahun 1996.
Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Kalam Mulia, 2012.
Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesiaabad ke 19.
Jakarta : Bulan Bintang, 1984
Steenbrink, Karel A. Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam dalam
Kurun Modern, terj. Karel A. Steenbrink dan Abdurrahman. Jakarta :
LP3ES, 1994
Tim Peneliti Balai Litbang Agama. Studi Kasus-Kasus Aktual Pendidikan
Agama dan Keagamaan ( Studi Penyelenggaraan Pendidikan Agama
pada Sekolah Alternatif). Jakarta : Balai Penelitian dan
Pengembangan Agama Kementerian Agama, 2011.
Tim Penyusun Kamus. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka, 2005.
Toynbee, Arnold J. A Study of History, vol I. London : Oxford University
Press, cet. Iv, 1955.
Van Bruinessen, Martin. Kitab kuning, Pesantren dan tarekat. Bandung :
Mizan, 1994.
www.mtt.yahoo.com.
Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya
Agung, 1996.
Ziemek, Manfred. Pesantren dalam Perubahan Sosial, terj. Butche B.
Soendjojo. Jakarta : P3M, 1983.
Zubaedi, Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Pesantren, Kontribusi Fikih
Sosial Kyai Sahal Mahfudh dalam Perubahan Nilai-nilai Pesantren
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007.

38

Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 1, Juni 2015