PROSES PRAPRODUKSI, PRODUKSI, DAN PASCAPRODUKSI PEMBUATAN FILM PENDEK “1000 WAJAH” SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indonesia

PROSES PRAPRODUKSI, PRODUKSI, DAN PASCAPRODUKSI
PEMBUATAN FILM PENDEK
“1000 WAJAH”

SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia

Oleh:
Gregorius Rinto Setyanto
034114008

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2009

ii


iii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Dalam kehidupan yang baik butuh keadaan yang membaikkan sehingga
tercipta kebaikan. Satu kewajibannya, bahwa kebaikkan
harus menciptakan suasana yang membaikkan.
(Mario Teguh)
Hidup seperti rangkaian kata yang terucap dari bibir manusia setiap
harinya. Jalani hidup dengan santai tetapi tetap serius.
(Greg Rinto)
Tugas Akhir ini Dipersembahkan untuk:
Tuhan Yesus Yang Maha di Atas Segalanya
Kedua Orangtua
Sixtusia Sekundasari cintaku
Keluarga dan Teman-teman USD
Seluruh Keluarga Besar Dosen dan Karyawan Sanata Dharma

v


KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha di Atas
Segalanya atas sentuhan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
akhir ini dengan baik. Tugas akhir ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat
akhir dalam menempuh ujian sarjana pada Fakultas Sastra, Jurusan Sastra
Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini tidak akan terwujud tanpa
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin
mengucapkan

terima

kasih

kepada

pihak-pihak

yang


telah

membantu

terselesaikannya tugas akhir ini, yaitu:
1. S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum. sebagai dosen pembimbing I, terima
kasih atas segala bimbingan, masukan, dan perhatian yang diberikan
pada penulis.
2. Drs. B. Rahmanto, M.Hum. sebagai dosen pembimbing II, terima
kasih atas waktu luang yang diberikan pada penulis.
3. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum., Drs. Ari Subagyo, M.Hum., Drs.
Heri Antono, M.Hum., Drs. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. Dra.Fr
Tjandrasih Adji, M.Hum., Drs. Heri Santoso, M.Hum., Drs. FX.
Santosa, dan semua dosen-dosen Sastra Indonesia yang belum
disebutkan, terima kasih atas segala pembelajaran yang telah penulis
terima selama kuliah di Universitas Sanata Dharma.
4. Terima kasih untuk kedua orangtua yang telah memberikan arti
kehidupan dan dengan kesabaran dalam membiayai pendidikanku.
vi


5. Terima kasih untuk kakaku Rita Setyarini, Nanang Widiatmoko,
adikku Riza Setyarini, Rian Setyanto, dan keponakanku Bernadeta
Narika yang selalu memberi warna dalam hidup ini.
6. Sixtusia Sekundasari cintaku, yang dengan sabar mendampingi dan
mendukung proses hidup ini.
7. Keluarga Lik Estu Santoso atas sponsor dalam menyelesaikan tugas
akhir ini.
8. Para pemain, kru, dan pendukung film ”1000 Wajah”: keluarga besar
Bapak Sadewa, Muntilan. Keluarga besar Ibu Veronika Haryani.
Keluarga besar bapak Sugiminarno, Gamping,

Dewok, Gembes,

Bendol, Aji Yulianto, dan semua pihak yang telah membantu proses
ini.
9. Wahyu Prasetyo, Feri, Erry ”Ibot”, Agus, Bembeng dan seluruh
keluarga besar Rumah Jogja yang selalu memberi dorongan untuk
menyelesaikan studi ini.
10. Luisa Rishe Purnama Dewi SPd dan Imam Haryowanto yang dengan

sabar menjadi pembimbing spiritual.
11. Keluarga besar Sastra Indonesia dan Bengkel Satra USD.
12. Seluruh dosen dan karyawan Universitas Sanata Dharma.
13. Hensulara, dan keluarga besar Hendry Suwoto.

vii

Penulis menyadari tugas akhir ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu,
segala saran dan kritik dari berbagai pihak akan penulis terima dengan senang
hati. Penulis berharap tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Yogyakarta, Juli 2009

Penulis

viii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir yang telah saya

tulis ini adalah hasil inspirasi dan imajinasi saya sendiri. Saya tidak mengutip
karya orang lain kecuali telah disebutkan dalam kutipan, daftar pustaka,
sebagaimana layaknya membuat karya ilmiah.

Yogyakarta, September 2009
Penulis

(Gregorius Rinto Setyanto)

ix

ABSTRAK
Rinto, Gregorius. 2009. Proses Praproduksi Produksi dan Pascaproduksi
Pembuatan Film Pendek ”1000 Wajah”. Tugas Akhir STRATA 1 (S1). Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra,
Universitas Sanata Dharma.
Dalam penelitian ini dideskripsikan proses praproduksi, produksi, dan
pascaproduksi pembuatan film pendek 1000 Wajah. Tujuan yang akan dicapai
pada penelitian ini, yaitu mendeskripsikan proses praproduksi, produksi, dan
pascaproduksi pembuatan film 1000 Wajah
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan klasifikasi. Metode

deskriptif adalah mendeskripsikan tahap-tahap dalam proses sebuah film. Metode
klasifikasi digunakan untuk mengelompokan setiap tahap-tahap dalam pembuatan
film. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah (1) studi pustaka, yaitu
menelaah pustaka-pustaka yang ada kaitanya dengan penelitian untuk
memperoleh data yang akurat. (2) observasi, yaitu melakukan pengamatan secara
langsung terhadap penderita lupus dan mengolah hasil pengamatan menjadi
skenario film.
Ada tiga tahapan yang harus dilewati dalam memproduksi sebuah film
yaitu, (1) tahap praproduksi yang meliputi tema cerita, ide cerita, skenario,
pemeran, modal, storyboard, kostum, lokasi, dan jadwal kegiatan, (2) tahap
produksi meliputi penata fotografi dan juru kamera, tata artistik dan seting,
property, tata rias, tata cahaya, dan penata suara dan, (3) tahap pascaproduksi
yang meliputi editing gambar, editing suara, dan tata musik.
Cerita film pendek 1000 Wajah ini berangkat dari observasi terhadap
penderita penyakit lupus. Hasil observasi tersebut diimajinasikan dan diolah
dalam bentuk skenario dengan tokoh utama Sari. Nilai yang dituangkan dalam
film ini adalah perjuangan sebuah keluarga yang miskin dan hidup di pedesaan,
yang salah satu anggota keluarganya (Sari) mengidap penyakit lupus (penyakit
langka). Tujuan pembuatan film ini yaitu penulis ingin memberikan sebuah
informasi dan edukasi kesehatan mengenai penyakit lupus kepada penonton atau

masyarakat pada umumnya.
Proses praproduksi, produksi, dan pascaproduksi pembuatan film pendek
1000 Wajah ini menghasilkan (1) skenario film pendek 1000 Wajah, (2) film
1000 Wajah yang dikemas dalam bentuk DVD, dan (3) laporan tugas akhir yang
mendeskripsikan proses praproduksi, produksi, dan pascaproduksi pembuatan
film yang telah dilaksanakan.

x

ABSTRACT
Rinto, Gregorius.. 2010. The Process of Preproduction, Production, and
Postproduction Short Film-making “1000 Wajah”. Literature Department.
Indonesian Literature. Yogyakarta: Sanata Dharma University.
This study describes the process of preproduction, production, and
postproduction making a short film 1000 Wajah. Objectives to be achieved in this
study, namely describe the process of preproduction, production, and
postproduction film 1000 Wajah.
This study uses descriptive and classification methods. Descriptive method
is used to describe the stages in the process of a film. Classification method used
for classifying each stage in making the film. The approaches are (1) reference

study, which reviewed the existing libraries related with research to obtain
accurate data, (2) observation, namely direct observation of the study object and
process the observation results into movie scenario.
There are three stages that must be passed in producing a film that is, (1)
preproduction stage, consists of story theme, story idea, players, capital,
storyboard, costumes, place, and schedules(2) the production phase, includes
photography director, and cameraman, stage managing and setting, property,
cosmetic, lighting, and voice director, (3) stages of postproduction, namely video
editing, voice editing, and music editting.
Short film’s story 1000 Wajah departs from the true story of Sari which
then developed into a writer of fiction. This film tells the struggle of a family
living in the countryside, where one family member (Sari) suffers lupus disease
which is still rare. The purpose of making this film is the writer wants to provide a
medical information about lupus disease to the audience or society at large.
The preproduction, production and postproduction process of making the
short film 1000 Wajah results are (1) the short screenplay of 1000 Wajah, (2) the
short film 1000 Wajah in DVD format, and (3) final report that describes the
preproduction, production, and postproduction process of film making that has
been implemented.


xi

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ………………………………………………

i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………....

ii

HALAMAN PENGESAHAN ..........................................................

iii

LEMBAR PERNYATAAN PESETUJUAN PUBLIKASI .............

iv


MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...................................................

v

KATA PENGANTAR .......................................................................

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...........................................

ix

ABSTRAK ........................................................................................

x

ABSTRACT ......................................................................................

xi

DAFTAR ISI ………………………………………………………

xii

DAFTAR GAMBAR ........................................................................

xvi

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………….

1

1.1

Latar Belakang Masalah ………………………………………

1

1.2

Rumusan Masalah Penelitian …………………………...........

6

1.3

Tujuan Penelitian ………………………………………..........

6

1.4

Manfaat Penelitian …………………………………………...

6

1.5

Landasan Teori .....................................……………………….

7

1.5.1

Teori Kreatif ……..…………………………….............

7

1.5.2

Film …......…………………………………….………

7

1.5.3

Tema Ceita …………………………………………….

8

1.5.4

Ide Cerita ……………………………………………..

9

1.5.5

Skenario ………………………………………………

9

1.5.6

Sutradara ………………………………………………

10

xii

1.5.7

Produser .........................................................................

11

1.5.8

Modal .............................................................................

12

1.5.9

Pemeran .........................................................................

12

1.5.10 Storyboard .....................................................................

14

1.5.11 Tata Artistik ..................................................................

14

1.5.11.1 Latar dan Setting Cerita .....................................

15

1.5.11.2 Properti ..............................................................

15

1.5.11.3 Tata Rias ...........................................................

15

1.5.11.4 Kostum ...........................................................

16

1.5.12 Tata fotografi dan Juru Kamera ...............................

16

1.5.13 Tata Suara .................................................................

17

1.5.14 Tata Cahaya ..............................................................

18

1.5.15 Proses Editing ..............................................................

19

1.5.16 Tata Musik ..................................................................

20

1.6

Metode Penelitian ..... ………………………………………...

21

1.7

Teknik Pengumpulan Data ......................................................

21

1. 7. 1 Studi Pustaka .............................................................

21

1. 7. 2 Observasi ....................................................................

21

1.8

Batasan Istilah .........................................................................

22

1.9

Sistematika Penyajian .............................................................

23

BAB II PROSES PRAPRODUKSI
PEMBUATAN FILM PENDEK ”1000 Wajah”

2.1 Tema Cerita .... ………………………………………………….

24

2.2 Ide Cerita ....................................................................................

24

xiii

2.3 Skenario ......................................................................................

25

2.4 Pemeran .....................................................................................

34

2.4.1 Tokoh Sari ..…………………………………………..

35

2.4.2 Tokoh Ibu …………………………………………

35

2.4.3 Tokoh Sari Kecil ……………………………………..

36

2.4.4 Tokoh Simbah ………………………………………

37

2.4.5 Tokoh Dokter dan Maya ……………………………..

38

2.5 Sutradara dan Produser .............................................................

38

2.6 Modal ........................................................................................

42

2.7 Storyboard ................................................................................

42

2.8 Kostum .....................................................................................

43

2.9 Lokasi .......................................................................................

44

2.10 Jadwal Kegiatan ......................................................................

45

BAB III PROSES PRODUKSI
PEMBUATAN FILM PENDEK ”1000 Wajah”

3.1 Skenario ...................................... ……….....…………………

47

3.2 Penata Fotografi da Juru Kamera ..............................................

59

3.3 Tata Artistik dan Seting ………………...…………………….

66

3.3.1 Properti ......................................................................

66

3.3.2 Tata Rias ...................................................................

67

3.3.3 Penata Cahaya ..........................................................

68

3.3.4 Penata Suara .............................................................

69

3.3 Pemeran ………………………………….…………..………..

xiv

70

BAB IV PROSES PASCAPRODUKSI
PEMBUATAN FILM PENDEK ”1000 Wajah”

4.1 Editing Gambar .........................................................................

71

4.2 Editing Suara/Penata Suara .......................................................

76

4.3 Tata Musik ................................................................................

77

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ...............................................................................

79

5.2 Saran .......................................................................................

80

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………....

83

LAMPIRAN .......................................................................................

85

1 Sinopsis............................................................................................

85

2 Skenario Akhir................................................................................

87

3 Story Board......................................................................................

97

4 Catatan scene.....................................................................................

101

5 cheklist produksi................................................................................

102

6 Laporan Modal Akhir.......................................................................

104

BIOGRAFI PENULIS .......................................................................

106

xv

DAFTAR GAMBAR

Ganbar 1 Tokoh Sari yang diperankan oleh Sixtusia Sekundasari….

35

Gambar 2 Tokoh Ibu yang diperankan oleh Veronika Haryani ……

36

Gambar 3 Tokoh Sari kecil yang diperankan Ema ………………...

37

Gambar 4 Tokoh Simbah yang diperankan oleh Winarti …………..

37

Gambar 5 Sutradarasedang mengontrol kamerawan
saat mengambil gambar ……………………………….

39

Gambar 6 Sutradara sedang berdiskusi
dengan pemain dan beberapa crew ……………………..

40

Gambar 7 Sutradara sedangmemantau pengeditan gambar ……….

41

Gambar 8 Contoh kostum yang digunakan tokoh Ibu dan Sari …...

43

Gambar 9 Contoh kostum yang digunakan
tokoh Simbah dan teman Sari ………………………….

44

Ganbar 10 Contoh hunting lokasi yang digunakan untuk shooting .

44

Ganbar 11 Juru kamera saat mengambil gambar high angle ………

59

Gambar 12 Contoh the best angle …………………………………

60

Gambar 13 Kamera VD 170 ………………………………………

60

Gambar 14 Kaset mini DV ………………………………………...

60

Gambar 15 TV monitor …………………………………………...

60

Gambar 16 Tripod kamera ………………………………………..

60

Gambar 17 Dolitrack ……………………………………………...

60

Gambar 18 Contoh zoom in ………………………………………

61

Gambar 19 Contoh gerak pan shoot dari kiri kekanan ……………

61

Gambar 20 Contoh long shoot ........................................................

62

Gambar 21 Contoh medium shoot .................................................

62

Gambar 22 Contoh medium close up ............................................

63

xvi

Gambar 23 Contoh close up ..........................................................

63

Gambar 24 Contoh extreme shoot .................................................

63

Gambar 25 Contoh high angle ......................................................

64

Gambar 26 Contoh low angle .......................................................

64

Gambar 27 Contoh sudut pengambilan gambar overshoulder......

64

Gambar 28 Clapper .......................................................................

64

Gambar 29 Petugas clapper ..........................................................

64

Gambar 30 Catatan adegan ..........................................................

65

Gambar 31 Petugas pencatat adegan ...........................................

65

Gambar 32 & 33 Setting sebuah kamar ......................................

66

Gambar 34, 35, 36, 37,38, dan 39 Contoh properti dalam
Pembuatan film pendek ”1000 Wajah” .....................

67

Gambar 39 Penata rias saat merias pemain .................................

67

Gambar 40, 41, 42, dan 43 Penata cahaya sedang mengatur
asupan cahaya ............................................................

68

Gambar 44 Contoh voice recorder ..............................................

69

Gambar 45 Contoh mic dinamic pada sebuah monopod .............

69

Gambar 46 Penata suara ..............................................................

69

Gambar 47 Tokoh teman Sari yang diperankan Wahyu Saputri..

70

Gambar 48 Editor mengedit film ................................................

72

Gambar 49 Sutradara mendampingi editor saat melakukan editing

72

Gambar 50 Sutradara melihat scene yang sudah diedit ..............

72

Gambar 51 Tampilan Adobe Premiere Pro Cs 3 ........................

73

Gambar 52 Tampilan saat memilih hasil rekaman suara ............

73

Gambar 53 Catatan adegan ........................................................

73

Gambar 54 Contoh teknik fade in ..............................................

74

Gambar 55 Contoh teknik fade out ............................................

74

xvii

Gambar 56 Contoh teknik cut to cut ..........................................

75

Gambar 57 Contoh teknik disolve .............................................

75

Gambar 58&59 Filtering warna biru transparan .......................

76

Gambar 60 Tampilan grafik suara saat diedit ...........................

76

Gambar 61 Tampilan grafik suara saat dicocokan dengan adegan

77

xviii

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Perkembangan dunia film di Indonesia saat ini sangat pesat. Hal ini
didukung dengan adanya perkembangan teknologi yang merambah Indonesia.
Banyaknya pilihan ragam teknologi perfilman merangsang para sineas muda
berlomba untuk belajar dan mengembangkan kemampuan yang dimilikinya.
Antusiasme akan film di Indonesia dapat diamati dari banyaknya festival film
yang diagendakan setiap tahunnya, baik yang berlabel (adanya sponsor) dan
independent (indie) atau tidak terikat sponsor.
Bila menilik ke belakang, sebenarnya film bukanlah barang baru di
Indonesia. Film masuk ke Indonesia sekitar awal abad ke-20, tidak lama awal
penemuannya, hiburan ini mulai merambah ke segala penjuru dunia, tidak
terkecuali Indonesia. Selain sebagai sarana hiburan, film juga dianggap sebagai
ikonografi modernitas suatu bangsa. Ikon hiburan tersebut pertama kali masuk ke
Indonesia di kota Bandung tahun 1907. Film yang diputarnya pun masih
sederhana, maksudnya gambar bergerak tanpa suara (Nugraha, 2007: 1).
Beranjak dari peninggalan budaya asing itulah kemudian Indonesia mulai
berani unjuk gigi dengan memunculkan film-film pendek pada dekade 70-an
dengan film 8mm. Menurut Prakosa (2008: 26), kemunculan film pendek 70-an
bermula dari DKJ-TIM membuat lomba film pendek yang diprakarsai mahasiswa
Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ). Dapat diambil kesimpulan bahwa
1

2

perkembangan film di Indonesia ternyata tidak berhenti pada masa kolonial saja,
tetapi terus berkembang dan membawa angin segar bagi sineas muda
memunculkan karya-karya terbaru dengan karakteristik dan idealismenya. Tahun
70-an mungkin bagi para sineas muda di Indonesia adalah titik tolak mengenal
budaya perfilman lebih dalam. Dari situlah kemudian mulai bermunculan forum
diskusi dan komunitas film setiap tahunnya. Munculnya Forum Film Pendek
(FFP) yang dimotori oleh anak-anak muda pemerhati film bisa menciptakan isu
nasional seperti di Medan, Bali, dan Lombok (Prakosa, 2008: 26).
Bermula dari tahun 70-an itulah kemudian muncullah berbagai genre film.
Kemunculan berbagai genre film dilatarbelakangi lesunya perfilman di Indonesia
pada tahun 1990 akhir. Prakosa (2008: 14) mengamati perkembangan perfilman
yang layak tonton mengalami pasang surut pada tahun 80-an—90-an akhir. Hal
ini dikarenakan masalah pendanaan yang kurang memadahi (sponsor) dan
sentralisasi perfilman (Pulau Jawa).
Melihat lesunya dunia perfilman beberapa komunitas mulai menyikapi
dengan memunculkan genre film pendek. Dalam

Prakosa (2008: 27),

diungkapkan kebebasan berkarya para sineas memunculkan sebuah genre film
tersendiri, yaitu independen atau indie yang oleh pendahulu perfilman di
Indonesia dikategorikan sebagai film pendek. Komunitas yang dimaksud adalah
Komunitas Film Independen (Konfiden) yang berdiri pada 1999 di Bandung.
Setelah itu mulai muncul Pop Corner (Jakarta), Kine Club, Sinema Pemberontak
(Jogja), Kineruku (Bandung), dan yang lainnya.

3

Pergerakan komunitas tersebut telah menyusup hingga ke pelosok
Indonesia dan semakin terasa kuat. Para sineas (film indie) dari berbagai kota di
Indonesia telah banyak menunjukkan aktivitas berkaryanya. Tidak ada keharusan
bagi para sineas itu untuk terlebih dahulu mendalami teknik-teknik sinematografi.
Sesuai dengan semangat independen, tidak perlu ada ketergantungan pada teoriteori yang telah mapan.
Satu hal yang tidak bisa dipungkiri ialah bahwa film adalah media yang
kuat. Melalui film, kita memiliki kuasa untuk mempengaruhi emosi orang dan
membuat mereka melihat banyak hal dari sudut pandang yang berbeda, membantu
mereka menemukan ide-ide baru. Film dapat juga digunakan sebagai media
penyampaian informasi. Melalui bahasa yang disajikan melalui audio-suara dan
visual-gambar

oleh

pembuatnya,

diharapkan

film

dapat

menyampaikan

pengetahuan yang baru bagi penonton.
Film itu sarat tujuan. Ia dapat menghibur, mendidik, melibatkan perasaan,
merangsang pemikiran dan memberikan dorongan. Film dan pendekatan yang
serius terhadapnya—sebagaimana studi sastra, musik, teater—dapat menyumbang
pemahaman seseorang terhadap pengalaman dan nilai-nilai kemanusiaan
(Sumarno, 1996: 85). Lebih lanjut, Sumarno (1996 : 85) menambahkan bahwa
film sebagai seni sangat kuat pengaruhnya, dapat memperkaya pengalaman hidup
seseorang dan bisa menutupi segi-segi kehidupan yang lebih dalam. Film dapat
dianggap sebagai pendidik yang baik. Selain itu, film harus diwaspadai karena
kemungkinan pengaruhnya yang buruk bagi tumbuh kembang anak.

4

Menurut Sumarno (1996 : 97) Film memiliki tiga nilai yang harus
dipertimbangkan, yaitu nilai hiburan, nilai pendidikan, dan nilai artistik. Hampir
semua film yang tercipta bermaksud memberikan hiburan, mendidik, dan
menawarkan keindahan. Nilai hiburan sebuah film dapat terancam gagal bila dari
awal hingga akhir sebuah film tidak dapat mengikat perhatian kita. Nilai
pendidikan sebuah film bermakna jika terdapat pesan-pesan atau katakanlah moral
film. Nilai artistik sebuah film merupakan keseluruhan bentuk audio-visual yang
sangat mendukung keberhasilan sebuah film.
Film pendek (indie) merupakan film yang durasinya pendek, tetapi
dengan kependekan waktu tersebut para pembuatnya semestinya bisa lebih
selektif mengungkapkan materi yang ditampilkan. Dengan demikian, setiap shot
akan memiliki makna yang cukup besar untuk ditafsirkan oleh penontonnya
(Prakosa, 2008: 9). Sebuah film pendek biasanya lebih kurang 10-25 menit. Film
independen tidak melibatkan pemodal yang kuat sehingga untuk memproduksinya
tidak harus menunggu dana cair dari pemodal. Pembuat film indie hanya
memerlukan dana untuk membeli kaset, makan, dan minum selama produksi
hingga editingnya dirasakan sudah cukup. Pemainnya terkadang tidak diberi
imbalan apa pun.
Dunia perfilman banyak memberikan kontribusi yang positif khususnya
bagi program studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma yang tertuang
dalam kurikulum pembelajarannya. Beberapa mata kuliah yang mendukung secara
langsung dalam pembuatan film antara lain Penulisan Skenario Radio, Penulisan

5

Skenario Televisi, dan Penulisan Skenario Film, Penulisan Drama, Penulisan
Iklan, Audio-Visual, dan Pementasan Ekspresi Sastra.
Pada penelitian ini, penulis memfokuskan objek penelitian pada proses
pembuatan film “1000 Wajah”. Proses itu nantinya terbagi dalam proses
praproduksi, produksi, dan pascaproduksi.
Film “1000 Wajah” merupakan sebuah karya film fiksi. Mengisahkan
kehidupan seorang gadis bernama Sari (tokoh utama) yang mengidap penyakit
lupus kronik. Keadaan ekonomi yang kurang mampu menjadikan semangat untuk
sembuh hanyalah sebuah bayang-bayang semu. Dasar dari gagasan cerita ini
adalah sebuah refleksi kehidupan keluarga kurang mampu yang salah satu anggota
keluarganya terkena penyakit yang membutuhkan biaya banyak untuk
kesembuhannya. Pada akhirnya, Sari hanya bisa meluapkan semuanya pada
sebuah buku harian.
Dialog dalam film ini menggunakan bahasa Indonesia dengan dialek
bahasa Jawa. Lupus atau sering disebut SLE (Systemic Lupus Erythematosus)
merupakan penyakit seribu wajah karena dapat menyerupai penyakit lain. Pada
lupus, produksi antibodi yang seharusnya normal menjadi berlebihan. Akibatnya,
antibodi ini tidak lagi berfungsi untuk menyerang virus, kuman, atau bakteri yang
ada di dalam tubuh, tetapi justru menyerang sistem kekebalan sel dan jaringan
tubuhnya sendiri (Savitri, 2004:21).
Film yang sederhana ini diharapkan mampu memberikan pandangan
kepada penonton atau apresian untuk tidak melihat film sebagai unsur hiburan
semata, melainkan bisa menjadi media komunikasi, penyampaian informasi, atau

6

pengetahuan yang masih terbilang baru. Selain itu, film ini dapat dijadikan salah
satu alat bantu Universitas Sanata Dharma khususnya program studi Sastra
Indonesia untuk memajukan pendidikan sebagai media pembelajaran.
1.2 Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah yang akan
diteliti adalah bagaimana proses praproduksi, produksi, dan pascaproduksi
pembuatan film “1000 Wajah”?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah di atas, tujuan
penelitian ini adalah mendeskripsikan proses praproduksi, produksi, dan
pascaproduksi pembuatan film “1000 Wajah”.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi: (1)
Perkembangan dunia sinematografi, karena penelitian ini berisi proses
praproduksi, produksi, dan pascaproduksi (2) Sineas muda, penelitian ini
diharapkan dapat menjadi ispirasi dan wacana dalam berkarya, (3) Prodi Sastra
Indonesia, penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan pembelajaran sastra bagi
mahasiswa baru, (4) apresian, penelitian ini bisa menjadi objek kajian, sarana
hiburan, dan penyampaian pengetahuan.

7

1.5 Landasan Teori
Landasan teori merupakan dasar materi yang digunakan dalam penelitian
ini dan akan diuraikan pengertiannya sebagai berikut.
1.5.1 Proses Kreatif
Definisi proses kreatif dapat ditinjau dari dua terminologi. Pertama, proses
mempunyai arti rangkaian tindakan, pengolahan yang menghasilkan produk
(KBBI, 2008.1106), sedang kreatif adalah mempunyai kemampuan untuk
mencipta (KBBI, 2008.739). Dalam sebuh proses kretif akan menghasilkan
kreativitas. Menurut Jakob Sumardjo (2000 : 67), kreativitas adalah menemukan
sesuatu yang baru atau hubungan-hubungan yang berdasar sesuatu yang telah ada.
Manusia menciptakan sesuatu dari sesuatu yang telah ada sebelumnya. Seorang
seniman menjadi kreatif dan besar karena bertolak dari bahan yang telah ada
sebelumnya.
Dari pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap manusia
mempunyai dasar kemampuan mencipta atau menemukan sesuatu yang baru dari
sesuatu yang telah ada. Untuk menciptakan sesuatu yang baru, diperlukan
tahapan-tahapan atau proses sehingga tercipta suatu kreativitas.
1.5.2

Film
Film pertama kali lahir di paruh kedua abad XIX, dibuat dengan bahan

dasar seluloid yang sangat mudah terbakar, bahkan oleh percikan abu rokok
sekalipun (Effendy, 2002: 20). Film disebut gambar hidup

karena film

merupakan sebuah rentetan gambar mati yang berbeda satu sama yang lain
dengan jumlah 24 gambar per/1 detiknya. Oleh karena itu, pada saat rangkaian
gambar mati tersebut diputar akan menimbulkan gerakan dari rangkaian gambar-

8

gambar wajar seperti dalam kenyataan (Sumarno, 1996: 2). Menurut Set (2008:
34), film adalah perpaduan permainan kata dan permainan gambar, namun sangat
terbatas dibandingkan dengan khayalan deskriptif sebuah novel. Karakter-karakter
dalam sebuah film bertugas membawakan sebuah cerita dengan berbagai dialog
yang diucapkannya.
Jadi, film merupakan perkembangan fotografi yang di dalamnya terdapat
rentetan gambar yang bersuara. Sedangkan ditinjau dari audio-visual, film tidak
hanya menampilkan gambar, efek suara sehingga para penikmat film dapat secara
langsung menangkap visualisasi isi film.
1.5.3 Tema Cerita
Tema cerita adalah pokok pikiran dalam sebuah karangan atau cerita.
Dapat diartikan pula bahwa tema cerita adalah sebagai dasar cerita yang ingin
dituangkan dalam karyanya. Beberapa tema cerita yang cukup populer di
Indonesia seperti percintaan, rumah tangga (kisah tentang problema rumah tangga
atau keluarga), perselingkuhan, pembauran (kisah tentang asimilasi warga pribumi
dengan warga keturunan), persahabatan, kepahlawanan, petualangan, balas
dendam, dan keagamaan, (lutters, 2004: 41-45).
Berawal dari pendapat Lutters tentang tema yang banyak diminati para
penulis skenario di atas, menunjukan bahwa tema cerita yang menceritakan
kesehatan (tentang sebuah penyakit) kurang populer bagi penulis skenario. Penulis
skenario film pendek “1000 Wajah” sengaja memilih tema kesehatan karena tema
ini harus mulai diperhatikan. Dengan film diharapkan penyampaian informasi
tentang kesehatan dapat lebih cepat sampai kemasyrakat.

9

1.5.4 Ide Cerita
Ide adalah gagasan sebuah cerita yang nantinya akan dituangkan menjadi
sebuah cerita. Ide dapat diperoleh dari penulis (pengalaman pribadi penulis),
karya sastra (novel, roman, cerpen, cerber, dll), menonton film, atau kehidupan
produser (Lutters, 2004:46-50). Dibutuhkan kepekaan seorang penulis skenario
untuk mengolah dan memikirkan secara mendalam tentang peristiwa-peristiwa
yang terjadi di sekitarnya menjadi sebuah skenario.
1.5.5 Skenario
Skenario merupakan bahan baku dasar atau blueprint. Dengan kata lain,
skenario merupakan patokan awal pembuatan film. Oleh karena itu, gaya bahasa
penyampaian dalam skenario menggunakan bahasa film (Widagdo, 2007: 17).
Sebuah skenario sejatinya adalah sebuah rencana cerita yang sudah dipetakan dan
dibagi dalam beberapa aturan penulisan. Ada tiga bagian utama yang membentuk
cerita dalam sebuah skenario, yaitu tempat-waktu, karakter, dan peristiwa (Set,
2008: 29).
Skenario film yang disebut screenplay atau script diibaratkan seperti
kerangka bagi manusia. Sebagai sebuah karya tulis, skenario yang baik dinilai
bukan dari enaknya untuk dibaca, melainkan efektifitasnya sebagai kerangka
cerita untuk sebuah kerangka film. Dengan demikian, skenario film harus
disampaikan dalam deskripsi-deskripsi visual dan harus mengandung ritme
adegan-adegan serta dialog yang selaras dengan tuntutan sebuah film (Sumarno,
1996: 44).

10

Dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa skenario
adalah bahan baku dasar dalam keseluruhan proses pembuatan film. Dalam
pembuatan skenario, seorang penulis skenario harus dituntut kreatif. Seorang
penulis skenario harus memikirkan bagaimana visualisasi tulisan dalam sebuah
adegan, tidak hanya memikirkan supaya tulisan enak dibaca.
1.5.6

Sutradara
Jiwa kepemimpinan merupakan modal utama seorang sutradara. Tanpa

leadership, seorang sutradara tidak pernah bisa menciptakan karya seni sesuai
yang diinginkanya (Naratama, 2006: 26). Menurut Sam Sarumpoet (dalam
Dennis, 2008: 3), sutradara juga disebut pencipta karena menciptakan sebuah ide
yang masih dibuat dalam bentuk tulisan menjadi bentuk gambar atau visual. Ia
harus mempunyai kemampuan memimpin karena ia akan mengarahkan banyak
orang yang ahli dibidangnya, seperti juru kamera, juru lampu, dan juru suara
sehingga mereka bekerja berdasarkan

apa yang diinginkan sutradara. Dalam

pembuatan film, seorang sutradara harus mempunyai wawasan keartistikan, serta
pengetahuan tentang film, untuk mengontrol film dari awal produksi
(praproduksi), produksi, sampai dengan tahap editing (pascaproduksi) (Sumarno,
1996: 36).
Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam sebuah proses
produksi artistik, film haruslah ada seorang yang menjadi pemimpin. Pemimpin
artistik disebut juga sutradara atau art director. Modal awal seorang sutradara
yaitu memiliki jiwa kepemimpinan yang fungsinya untuk mengontrol dan
berkomunikasi dengan kru pendukungnya dengan baik. Selain hal tersebut di atas

11

kesabaran mengelola produksi, wawasan yang luas tentang seluk beluk produksi,
kejelian kontinuitas, ketelitian sinkronisasi adalah beberapa kunci sukses
diantaranya.
1.5.7

Produser
Banyak orang beranggapan bahwa produser adalah orang yang membiayai

produksi film. Anggapan itu tidaklah tepat meskipun boleh jadi penyandang dana
berposisi sebagai produser. Tugas dan wewenang produser adalah sebagai
fasilitator dan menyiapkan segala kebutuhan produksi dari tahap awal hingga
akhir, termasuk menyiapkan segala formulir dan catatan produksi bagi kelancaran
shooting di lapangan (Widagdo, 2007: 11).
Predikat ini disandang oleh orang yang memproduksi sebuah film, bukan
membiayai atau menanam investasi dalam sebuah produksi film. Tugas seorang
produser adalah memimpin seluruh tim produksi sesuai tujuan yang ditetapkan
bersama, baik dalam aspek kreatif maupun manajemen produksi (Effendy, 2005:
60).
Jadi, dalam sebuah proses produksi sebuah film produser bekerja paling
lama, dari persiapan awal sampai akhir pembuatan film.

Produser dituntut

menjadi seorang yang mampu menyelesaikan dengan berbagai solusinya dan
mampu berdiri sebagai penengah. Pengetahuan dan pengalaman yang memadai
dalam memproduksi film, bisa menentukan keberhasilan sebuah film yang
dipimpinnya.

12

1.5.8 Modal
Setelah kita membicarakan produser, kita juga akan berhubungan dengan
masalah modal dalam pembuatan film. Modal (budget) dalam pembuatan film
sangatlah penting karena akan berkaitan dengan kelangsungan produksi. Karena
itu,

seorang produser dan perangkat lain dalam produksi film harus bisa

memperkirakan berapa banyak jumlah uang yang akan dikeluarkan untuk
pembuatan film secara keseluruhan.
1.5.9

Pemeran
Dalam penggarapan sebuah film, tokoh atau pemeran lengkap dengan

penokohannya adalah suatu hal yang harus ada karena akan mempengaruhi jalan
cerita. Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan di
dalam berbagai peristiwa cerita (Sudjiman, 1998:16). Tokoh atau pemeran
biasanya dibedakan menjadi tokoh protagonis dan antagonis berdasarkan peran
tokoh atau pemeran dalam perkembangan cerita. Peran protagonis biasanya
cenderung menjadi tokoh yang disakiti, baik, dan menderita sehingga akan
menimbulkan simpati dari penonton. Peran protagonis biasanya kan menjadi
tokoh sentral, yaitu tokoh yang membentuk gerak cerita (Lutters, 2004:81 ). Peran
antagonis

merupakan kebalikan dari tokoh protagonis. Peran antagonis juga

sering menjadi tokoh sentral dalam cerita, yang tugasnya mengganggu dan
melawan peran protagonis (Lutters, 2004:81 ). Selain tokoh protagonis dan
antagonis, ada satu peran lagi yang harus diperhatikan yaitu peran pembantu.
Peran pembantu merupakan tokoh pelengkap, gunanya untuk mendukung
rangkaian cerita. Kehadiran tokoh in tidak ada pada semua cerita, tergantung dari

13

kebutuhan cerita (Lutters, 2004:82 ). Dengan demikian, sebuah film pun
membutuhkan tiga

tokoh di atas. Karena itu, dalam film ini penulis akan

menghadirkan ketiga tokoh di atas unsur sebagai pembentuk dan pendukung jalan
cerita.
Bagi sutradara, pemeran dalam film menjadi bahan yang harus digarap
untuk menampilkan tokoh film yang dikehendaki. Dasar yang dipakai untuk
menilai adalah dasar artistik, yaitu kecocokan, keindahan, dan memikat. Yang
dinilai adalah permainanya, akting, performance (Mangunhardjana, 1976: 61).
Keberadaan pemeran atau pemain dalam film rnemiliki arti yang sangat
penting baik dilihat dari segi fisik maupun kemampuannya berakting. Pemain
merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan sebuah produksi film.
Seorang pemain harus mampu memainkan suatu karakter dengan
kewajaran sehingga mampu mengkomunikasikan suatu pesan dari isi cerita
dengan baik melalui ekspresi dan aktingnya. Pemain harus mengerti benar
karakter tokoh yang dimainkannya sesuai dengan tuntutan naskah sehingga
ketika ia bermain atau berakting dan mengucapkan kata-kata sesuai dengan
dialog dalam naskah dan dapat merasakan makna yang terdapat dalam dialog
tersebut (Sumarno, 1996: 89).

Akting yang baik menurut para ahli adalah akting dalam film yang sungguhsungguh bisa dinikmati dan memenuhi delapan syarat berikut ini:
1.
2.
3.
4.
5.

6.
7.

8.

Pemilihan pemeran-pemeran yang tepat dalam setiap produksi film.
Make up yang memuaskan.
Pemahaman yang cerdas dari pemeran tentang peran yang dibawakan.
Kecakapan pemeran menampilkan emosi-emosi tertentu.
Kewajaran dalam akting, maksudnya adalah takaran main
yang tepat. Sebab berbeda dengan akting teater, akting dalam film
sedikit gerak-gerik atau mimik pemeran film dapat tampak sangat jelas
di layar putih.
Kecakapan menggunakan dialog.
Pemain memiliki kemampuan untuk melakukan apa yang disebut
timing, yaitu tampil dengan tepat, bicara pada saat yang tepat,
bergerak dengan waktu yang tepat.
Cukup adanya adegan dramatik untuk dibawakan oleh pemain.
(Sumarno,1996: 79-80).

Akting film bisa diartikan kemampuan berlaku sebagai orang lain. Seorang
pemeran harus memiliki kecerdasan untuk menguasai diri. Termasuk menguasai

14

ritme permainan dan jenis film yang digarap. Dengan demikian, tekanan akting
dapat berlain-lain. Keberhasilan sebuah film menuntut pemeran untuk berperan
kembar yaitu bermaian baik dan menarik perhatian.
1.5.10 Storyboard
Storyboard merupakan visualisasi rekaan yang berbentuk sketsa gambar
seperti komik atau perkiraan hasil gambar yang nantinya akan dijadikan pedoman
pengambilan gambar oleh juru kamera (Widagdo, 2007: 92). Storyboard atau
papan cerita adalah deretan gambar-gambar film yang melukiskan adeganadegan atau bagian-bagian pokok dari adegan film itu (Sutisno, 1993: 66).
Dengan kata lain, Storyboard menjadi penyambung antara kata-kata
tertulis dan gambar (visual) yang bergerak. Storyboard dapat berupa sketsa kasar
atau dalam bentuk ilustrasi yang bagus dan berwarna dengan setiap bingkai
untuk beberapa detik tayangan di layar. Adanya pembuatan storyboard dapat
memberi keuntungan, sutradara bisa secara langsung melihat adegan atau bagian
pokok dari adegan. Selain itu, sutradara, juru kamera dan tim artistik tidak perlu
bersusah payah menterjemahkan skenario pada bentuk visual.
1.5.11 Tata Artistik
Tata artistik berarti penyusunan segala sesuatu yang melatarbelakangi
cerita film, yakni menyangkut pemikiran tentang latar, properti, tata rias, dan
kostum. Selain itu, tata artistik juga membawahi bidang pencahayan dan suara
(Sumarno, 1996: 66-67). Sedangkan penata artistik bertugas menerjemahkan
konsep visual sutradara kepada pengertian-pengertian visual yaitu segala hal yang
mengelilingi aksi di depan kamera, di latar depan maupun di latar belakang. Selain

15

itu, penata artistik tidak boleh merancang penciptaan setting hanya berdasarkan
pertimbangan estetik semata, tetapi juga menyangkut soal biaya dan teknis
pembuatan (Sumarno, 1996: 67). Tata artistik dapat berfungsi memperkuat
karakter atau penokohan pemain dan dapat juga membuat sesuatu menjadi
tidak membosankan. Penciptaan setting berarti menyangkut konsep visual
secara keseluruhan.
1.5.11.1 Latar atau Setting Cerita
Latar atau setting adalah tempat dan waktu berlangsungnya cerita
film. Dengan demikian, sebuah setting harus memberikan informasi lengkap
tentang peristiwa-peristiwa yang sedang disaksikan penonton yang antara lain
menyangkut waktu atau masa berlangsungnya cerita (Sumarno, 1996: 66).
1.5.11.2 Properti
Properti merupakan bagian dari setting. Dengan bantuan properti,
setting dapat dibangun sesuai dengan tuntutan naskah. Karena itu, perlu
dipilih properti yang sesuai dan cocok untuk melengkapi tata dekorasi agar
bisa memberikan gambaran yang utuh (Subroto, 1994: 420).
1.5.11.3 Tata Rias
Tata rias adalah seni menggunakan bahan-bahan kosmetik untuk
mewujudkan wajah peranan sehingga berfungsi memberikan dandanan atau
perubahan-perubahan pada para pemain. Sedangkan penata rias akan bertugas
menyiapkan pemain dengan tata rias dasar agar dihasilkan gambar yang
baik. Misalnya, mampu mengubah seorang gadis belia menjadi seorang nenek

16

tua. Selain itu, rias juga menjadikan suasana yang dilihat penonton di layar
putih melalui lensa kamera (Harymawan, 1993: 134-135).
1.5.11.4 Kostum
Kostum adalah segala sandangan dan perlengkapan (accessories)
yang dikenakan di dalam sebuah pertunjukkan (Harymawan, 1993: 127),
sedangkan petugas yang bertanggung jawab menyediakan kostum sesuai
kebutuhan film disebut penata kostum. Fungsi kostum yang pertama dan
paling penting ialah menghidupkan perwatakkan pelaku. Artinya, kostum
sudah mampu menunjukkan siapa dia sesungguhnya. Fungsi kedua yaitu
individualisasi peranan. Maksud individualisasi adalah warna dan gaya kostum
dapat membedakan seorang peranan dan peranan yang lain dari setting dan
latar belakang. Ketiga, kostum menjadi fasilitas pemain dan membantu
gerak pelaku. Artinya, kostum harus menambah efek visual gerak, menambah
keindahan, dan menyenangkan setiap posisi yang diambil pelaku ( Harymawan,
1993: 131- 132).
1.5.12 Tata Fotografi dan Juru Kamera
Penata fotografi dan juru kamera memiliki arti yang berbeda. Sebagian
besar orang mengartikan penata fotografi atau DOP (director of photograpics)
sama dengan juru kamera. Seorang juru kamera atau operator kamera adalah
orang bertugas mengoperasikan kamera, sementara penata fotografi atau DOP
mengepalai departemen kamera yang mugkin terdiri dari beberapa juru kamera.
Dalam pembuatan film pendek yang hanya menggunakan biaya minim,
biasanya operator kamera dan penata fotografi dirangkap oleh satu orang saja.

17

Penata fotografi dan juru kamera adalah tangan kanan sutradara dalam kerja di
lapangan. Mereka bekerja bersama sutradara untuk menentukan jenis shot. Penata
fotografi bertugas melakukan pembingkaian. Dalam pelaksanaan tugasnya, penata
fotografi akan membuat komposisi-komposisi dari subyek yang hendak direkam.
Oleh karena itu, komposisi untuk film harus dipikirkan dengan seksama oleh
penata fotografi agar penonton tidak kehilangan pusat perhatian (Sumarno, 1996:
50-51).
Jadi, tugas pokok seorang juru kamera adalah mengambil sejumlah
gambar berdasarkan skenario. Dialah yang bertanggung jawab sepenuhnya atas
segala segi fotografis dari film yang dibuat. Komposisi gambar yang bagus
tentu saja dapat mengarahkan perhatian penonton untuk terus menikmati film.
Untuk menghasilkan komposisi gambar yang bagus, seorang juru kamera harus
memperhatikan ukuran gambar, pergerakan kamera, dan sudut pengambilan
gambar.
1.5.13 Tata Suara
Dalam sebuah film, penggabungan keseluruhan gambar dan suara yang
baik akan mampu menciptakan puncak-puncak dramatis dalam keseluruhan isi
cerita. Film merupakan salah satu bentuk karya audio video yang di dalamnya
memuat dua unsur yang saling melengkapi yaitu gambar dan suara. Gambar dan
suara saling mendukung satu sama lain untuk menghasilkan sebuah visualisasi
karya yang sempurna (Mangunhardjana, 1976: 32).
Di dalam tata suara seorang penata suara bertugas merekam suara yang berada
di lapangan ataupun di studio. Proses pongolahan suara ini berarti proses memadukan

18

unsur-unsur suara (mixing) yang terdiri dari dialog, narasi, musik, serta efek-efek
suara. Perpaduan suara itu akan mempertimbangkan perasaan jauh dekatnya penonton
dengan sumber bunyi sebagai mana tampak di layar. Fungsi suara yang paling pokok
adalah memberikan informasi lewat dialog dan narasi. Fungsi penting lainnya adalah
menjaga kesinambungan dengan gambar sehingga sejumlah shot yang dirangkai dan
diberi suara (musik, dialog, narasi, dan efek suara) akan terikat dalam satu kesatuan
(Sumarno, 1996: 72-73).
Jadi, kesatuan antara suara dan gambar-gambar dalam film sangat menentukan
baik burukya sebuah film. Suara tidak hanya menambah kualitas film, tetapi juga
melipatgandakan efek gambar-gambar yang disajikan di atas layar.
1.5.14 Tata Cahaya
Tata cahaya dapat memberikan efek dalam sebuah film. Tata cahaya atau
tata sinar adalah suatu cara penyinaran khusus pada suatu obyek sehingga
membuat gambar atau objek itu menjadi lebih jelas daripada objek-objek lain
di sekitarnya, akibatnya memberi kesan khusus (Mangunhardjana, 1976: 24).
Di dalam tat cahaya seorang penata cahaya bertugas membantu penata
fotografi dalam mengatur komposisi-komposisi pencahayaan, besarnya cahaya, dan
jenis-jenis pencahayaan yang akan digunakan. Penata cahaya dapat menggunakan
cahaya alami dan key light. Key light yaitu sumber penyinaran yang terarah dan
merupakan penyinaran terhadap satu obyek atau area tertentu (Subroto, 1994: 293).
Menyinari suatu obyek dengan menggunakan lampu dapat menambah kesan
dramatik sebuah cerita. Kesan dramatik akan bertambah saat perpaduan warna dari
penata cahaya bergabung dengan tata artistik.

19

1.5.15 Proses Editing
Proses editing termasuk pada tahap akhir pembuatan film yang meliputi
editing gambar, editing suara, dan tat musik. Keterlibatan sutradara tidak berhenti
sampai produksi selesai dilaksanakan, namun masih berlanjut sampai proses
editing dan kelayakan film untuk ditonton oleh penikmat. Editing merupakan
bagian terpenting dalam menentukkan hasil akhir dari film ini. Tenaga
pelaksananya disebut editor. Seorang editor bertugas menyusun hasil shooting
dengan sejumlah peralatan komputer editing canggih dengan mengedit adegan
yang sesuai dengan storyboard hingga membentuk pengertian cerita (Sumarno,
1996: 59).
Pelaksanaan shooting sebuah film tidak selalu berurutan sesuai dengan
yang tertulis di skenario. Shot yang tidak berurutan tadi akan disusun shot demi
shot menjadi rangkaian gambar-gambar yang mempunyai arti. Dalam proses
editing, seorang editor memasuki tahap kreativitas yang menuntutnya untuk
melakukan pemotongan, penyempurnaan, dan pembentukan kembali hingga
mendapatkan isi yang diinginkan, konstruksi/ urutan film, serta ritme dalam setiap
babak, dan dalam film secara keseluruhan. Karena begitu pentingnya peranan
proses editing, peran editor dapat disamakan peran sutradara (Sumarno, 1996:
59).
Ada

beberapa

bentuk

transisi

penyambungan shot, di antaranya adalah

yang

dapat

digunakan

dalam

20

a. Cut to Cut
Cut to cut ialah perpindahan gambar baik antar-shot maupun waktu
ataupun adegan tanpa transisi yang jelas atau langsung.
b. Fade-in, fade-out
Fade-in, fade-out ialah gambar terakhir dari shot pertama perlahan-lahan
tenggelam dalam gelap (fade out) untuk sesaat disusul dengan makin terangnya shot
berikutnya (fade in).
c. Dissolve
Dissolve ialah perpaduan bertahap dari akhir sebuah shot ke bagian awal
shot berikutnya yang dihasilkan dengan jalan mendempetkan.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sebuah proses
editing atau penggabungan shot demi shot membutuhkan kejelian dan kretivitas yang
tinggi. Kejelian yang tinggi akan berpengaruh pada kesinambungan antara gambar yang
satu dengan yang satunya. Seorang editor harus bisa menjaga kontinuitas tiap shot
sehingga film itu enak untuk ditonton.
1.5.16 Tata Musik
Musik dalam film memiliki beberapa fungsi. Pertama, berfungsi membantu
merangkaikan sebuah adegan. Artinya, sejumlah shot yang dirangkaikan dan diberi
musik akan memberikan kesan terikat dalam satu kesatuan. Kedua, menutupi cacat
dan kelemahan dalam film. Kelemahan akting dan dialog dalam film dapat ditutupi
dengan musik sehingga mampu memberikan kesan dramatik. Ketiga, menunjukkan
suasana batin tokoh-tokoh utama da