Ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa dalam ranah agama Islam di wilayah kotamadya Yogyakarta - USD Repository

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK BERBAHASA
DALAM RANAH AGAMA ISLAM DI WILAYAH KOTAMADYA
YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia

Disusun oleh:
Danang Istianto
091224071


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2014

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK BERBAHASA
DALAM RANAH AGAMA ISLAM DI WILAYAH KOTAMADYA
YOGYAKARTA

SKRIPSI


Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia

Disusun oleh:
Danang Istianto
091224071

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2014

i

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN

TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

PERSEMBAHAN


Puji Syukur kupersembahkan skripsi ini untuk:

1. Allah SWT Terima kasih atas nikmat dan rahmat-Mu yang senantiasa
memberikan kesehatan, memberikan perlindungan, memberikan petunjuk
dalam menjalani lika-liku kehidupan ini.

2. Kedua orang tuaku tercinta, bapaku Subadriaka terimakasih banyak telah
mendidikku sampai sekarang ini dan Alm. Ibuku Nanik Ati yang dulu tidak
pernah bosan menasehati, memberi memperhatian, mendoakan, memberi
kasih sayang, dan slalu sabar menghadapi saya. (Aku selalu merindukanmu,
mendoakanmu, dan dihatiku selalu ada mamak yang tak akan pernah
tergantikan oleh siapapun I Love U & I Miss U Mom.)

3. Adikku tersayang Dani Imam Cahyanto yang selalu mendukungku dan
membantuku dalam berbagai hal.

4. Pakde Tri, simbah Wargo, lek Kapti, mbak Nika dan semua saudaraku yang
selalu mencurahkan perhatiannya, memberikan motivasi, dan dukungan
kepada saya.


5. Teman-teman seperjuangan Yustina Cantika Advensia, Yustinus Kurniawan,
Vinsensia Wijati Rarasati Handayani, dan Yudha Hening Pinandhito.

6. Seluruh sahabat PBSI angkatan 2009 yang istimewa.

iv

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

MOTTO

Anda tidak akan pernah menang jika Anda tidak pernah memulai.

Selangkah demi selangkah, segalanya akan tercapai.


Orang besar sesungguhnya hanyalah orang biasa yang semata-mata membuat
keputusan yang lebih besar dan menetapkan tujuan yang lebih mulia.

(Hasyim Abdullah Wijaya)

v

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

ABSTRAK
Istianto, Danang. 2014. Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Berbahasa
dalam Ranah Agama Islam di Wilayah Kotamadya Yogyakarta. Skripsi.
Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.
Penelitian ini membahas ketidaksantunan linguistik dan pragmatik
berbahasa dalam ranah agama Islam di Kotamadya Yogyakarta. Tujuan dari
penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan wujud-wujud linguistik dan pragmatik,
(2) mendeskripsikan penanda linguistik dan pragmatik berbahasa, serta (3)
mendeskripsikan maksud ketidaksantunan berbahasa yang melatar belakangi
pemuka agama Islam dalam berkomunikasi dengan umatnya di wilayah
Kotamadya Yogyakarta. Dilihat berdasarkan metodenya, penelitian ini termasuk
ke dalam jenis penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah

pemuka beragama Islam di Kotamadya Yogyakarta dengan data berupa tuturan
lisan yang tidak santun. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan petunjuk wawancara (daftar pertanyaan dan pancingan). Metode
pengumpulan data menggunakan metode simak dengan teknik dasar berupa catat
dan rekam, dan metode cakap yang dilakukan dengan teknik pancing. Penelitian
ini menggunakan metode kontekstual untuk menganalisis data.
Simpulan dari hasil penelitian ini adalah pertama, wujud ketidaksantunan
linguistik berupa tuturan lisan tidak santun yang terdapat dalam (1) kategori
mengancam muka sepihak (subkategori mengancam, menyalahkan, menyindir,
menegaskan, menjelaskan, memberitahu, menegur, dan memperingatkan),(2)
kategori melecehkan muka (subkategori menyarankan, mengejek, menyindir,
memberitahu, meragukan, dan kesal), (3) kategori menghilangkan muka
(subkategori memperingatkan, meragukan, menyindir, mengejek, menyarankan,
memberitahu, dan kesal), dan (4) kategori kesembronoan yang disengaja
(subkategori menegaskan, memberitahu, kesal, menyindir, mengejek, dan
memperingatkan), sedangkan wujud ketidaksantunan pragmatik berupa cara
penyampaian penutur yang tidak santun. Kedua, penanda ketidaksantunan
linguistik berupa penggunaan diksi, kata fatis, nada, tekanan, dan intonasi,
sedangkan penanda ketidaksantunan pragmatik berupa konteks yang berupa,
penutur dan mitra tutur, waktu dan tempat ketika bertutur, situasi saat

bertutur, tujuan bertutur, serta tindak verbal dan tindak perlokusi yang menyertai
tuturan tersebut. Ketiga, maksud ketidaksantunan penutur dalam (1) kategori
mengancam muka sepihak bermaksud menyadarkan, keluhan, menasehati,
merendahkan, kesal, bercanda, dan memperingatkan; (2) melecehkan muka
bermaksud menyarankan, bercanda, kesal, memberitahu, jengkel, dan keluhan; (3)
menghilangkan muka bermaksud memperingatkan, keluhan, bercanda,
meragukan, menyadarkan, kesal, dan jengkel; dan (4) kesembronoan yang
disengaja bermaksud keluhan, bercanda, menyadarkan, memberitahu, kesal,
harapan, dan memperingatkan.

viii

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

ABSTRACT

Istianto, Danang. 2014. The Impoliteness of Linguistics and Pragmatic Speech
of Islam Religion Around Yogyakarta Municipality Region. Thesis.
Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.
The research discussed The Impoliteness of Linguistics and pragmatic
Speech of Islam in Yogyakarta Municipality. This research aims (1) to describe
the forms of linguistics and pragmatic (2) to describe the signs of Linguistics and
Pragmatic Languages (3) to describe the meaning of the impoliteness of speech
which form the background of the leaders of Islam in communicating to its
members in Yogyakarta Municipality. Based on the methodology, this research
included into descriptive qualitative research. The data resources is the leaders of
Islam religion in Yogyakarta Municipality which the data in the form of oral
speech impolitely. The instrument of the research used interview (questionnaire
lists and elecitation). The method of data collecting technique usedobservation
attentively method with based technique in form of making a note, recording, and
capable method which is done by elecitation technique. This research used
contextual method to analyze the data.
The conclusion of this research is firstly the forms of linguistics
impoliteness in form of oral speech impolitely which found in (1) the category
threatening the face unilaterally (sub category of threatening, blaming, teasing,
clarifying, explaining, informing, admonishing, and warning) (2) category

ofdespising the face (sub category suggesting, ridiculing, teasing, informing,
warning, annoying) (3) category of disappearing the face (sub category warning,
hesitating, teasing, ridiculing, suggesting, giving information, and annoying), and
(4) category of recklessness intentionally (sub category clarifying, giving
information, annoying, teasing, ridiculing, warning), while the form of pragmatic
impoliteness in form of delivery ways of the speaker impolitely. Secondly, the
sign of linguistics impoliteness were the use of diction, the word of fatis, tone,
compression, and intonation, while the sign of pragmatic impoliteness were the
context which in form of speakers and its partners , time and place, the situation
when doing the speech, the aims of speech, also verbal and perlocution actions
which participated in that speech. Thirdly, the meaning of the impoliteness of
speakers in (1) category of threatening the face uniterally, means making
someone aware, complaining, advising, despising, annoying, making a joke, and
warning; (2) despising the face means suggesting, making a joke, annoying,
giving information, and having sigh; (3) disappearing the face means warning,
complaining, making a joke, hesitating, making someone aware, and annoying;
(4) recklessness intentionally means complaining, making a joke, making
someone aware, giving information, annoying, hoping, and warning.

ix

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT yang senantiasa
memberikan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Berbahasa dalam Ranah
Agama Islam di Kotamadya Yogyakarta”. Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk
menyelesaikan studi dalam kurikulum Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
(PBSI), Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni (JPBS), Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (FKIP), Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini berhasil diselesaikan karena bantuan
dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sanata Dharma.
2. Dr. Yuliana Setiyaningsih, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa
Sastra

Indonesia

yang

telah

memberikan

banyak

dukungan,

pendampingan, saran, dan nasihat kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
3. Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum., selaku Wakil Ketua Program Studi
Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan selaku dosen Pembimbing II yang
telah dengan sabar, mengarahkan, memotivasi, dan memberikan berbagai
masukan yang sangat berguna bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini.
4. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. sebagai dosen pembimbing yang dengan
sabar, mengarahkan, memotivasi, dan memberikan berbagai masukan yang
sangat berguna bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Seluruh dosen prodi PBSI yang dengan penuh dedikasi mendidik,
mengarahkan, membimbing, memberikan ilmunya, memberikan motivasi,
dan bantuan kepada penulis dari awal perkuliahan sampai selesai.

x

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

DAFTAR ISI

Hal.
HALAMAN JUDUL

i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

ii

HALAMAN PENGESAHAN

iii

HALAAN PERSEMBAHAN

iv

HALAMAN MOTTO

v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

vii

ABSTRAK

viii

ABSTRACT

ix

KATA PENGANTAR

x

DAFTAR ISI

xii

DAFTAR BAGAN

xvii

DAFTAR TABEL

xviii

BAB I PENDAHULUAN

1

1.1 Latar Belakang Masalah

1

1.2 Rumusan Masalah

5

1.3 Tujuan Penelitian

6

1.4 Manfaat Penelitian

7

1.5 Batasan Istilah

8

1.6 Sistematika Penelitian

9

BAB II KAJIAN PUSTAKA

10

2.1 Penelitian yang Relevan

10

2.2 Pragmatik

15

2.3 Fenomena Pragmatik

17

2.3.1 Praanggapan

17

2.3.2 Tindak Tutur

18

xii

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

2.3.3 Implikatur

23

2.3.4 Deiksis

25

2.3.5 Kesantunan

26

2.3.6 Ketidaksantunan

27

2.4 Teori-teori Ketidaksantunan

28

2.4.1 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan
Locher

28

2.4.2 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan
Bousfield

30

2.4.3 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan
Culpeper

31

2.4.4 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan
Terkourafi

32

2.4.5 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan
Locher and Watt

33

2.5 Konteks

35

2.6 Unsur Segmental

43

2.6.1 Diksi

44

2.6.2 Kategori Fatis

52

2.7 Unsur Suprasegmental

54

2.7.1 Nada

55

2.7.2 Tekanan

56

2.7.3 Intonasi

57

2.8 Teori Maksud

58

2.9 Kerangka Berpikir

60

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

63

3.1 Jenis Penelitian

63

3.2 Subjek Penelitian

64

3.3 Sumber Data

64

3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

65

xiii

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

3.5 Instrumen Penelitian

66

3.6 Metode dan Teknik Analisis Data

66

3.7 Sajian Hasil Analisis Data

67

3.8 Trianggulasi Data

68

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

69

4.1 Deskripsi Data

69

4.1.1 Mengancam Muka Sepihak

71

4.1.2 Melecehkan Muka

73

4.1.3 Menghilangkan Muka

74

4.1.4 Kesembronoan yang disengaja

75

4.2 Analisis Data

77

4.2.1 Kategori Ketidaksantunan Mengancam Muka Sepihak

78

4.2.1.1 Subkategori Mengancam

79

4.2.1.2 Subkategori Menyalahkan

81

4.2.1.3 Subkategori Menyindir

82

4.2.1.4 Subkategori Menegaskan

84

4.2.1.5 Subkategori Menjelaskan

87

4.2.1.6 Subkategori Memberitahu

90

4.2.1.7 Subkategori Menegur

92

4.2.1.8 Subkategori Memperingatkan

93

4.2.2 Kategori Ketidaksantunan Melecehkan Muka

95

4.2.2.1 Subkategori Menyarankan

96

4.2.2.2 Subkategori Mengejek

98

4.2.2.3 Subkategori Menyindir

101

4.2.2.4 Subkategori Memberitahu

102

4.2.2.5 Subkategori Meragukan

105

4.2.2.6 Subkategori Kesal

107

4.2.3 Kategori Ketidaksantunan Menghilangkan Muka

110

4.2.3.1 Subkategori Memperingatkan

111

4.2.3.2 Subkategori Meragukan

113

xiv

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

4.2.3.3 Subkategori Menyindir

115

4.2.3.4 Subkategori Mengejek

116

4.2.3.5 Subkategori Menyarankan

118

4.2.3.6 Subkategori Memberitahu

120

4.2.3.7 Subkategori Kesal

122

4.2.4 Kategori Ketidaksantunan Kesembronoan yang disengaja

124

4.2.4.1 Subkategori Menegaskan

125

4.2.4.2 Subkategori Memberitahu

128

4.2.4.3 Subkategori Kesal

131

4.2.4.4 Subkategori Menyindir

133

4.2.4.5 Subkategori Mengejek

134

4.2.4.6 Subekategori Memperingatkan

136

4.3 Pembahasan Hasil Penelitian

138

4.3.1 Wujud Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik

138

4.3.1.1 Kategori Ketidaksantunan Mengancam Muka Sepihak ...... 139
4.3.1.2 Kategori Ketidaksantunan Melecehkan Muka .................... 141
4.3.1.3 Kategori Ketidaksantunan Menghilangkan Muka ............... 143
4.3.1.4 Kategori Ketidaksantunan Kesembronoan yang
disengaja

145

4.3.2 Penanda Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik .................... 147
4.3.2.1 Kategori Ketidaksantunan Mengancam Muka Sepihak ...... 148
4.3.2.2 Kategori Ketidaksantunan Melecehkan Muka .................... 150
4.3.2.3 Kategori Ketidaksantunan Menghilangkan Muka ............... 152
4.3.2.4 Kategori Ketidaksantunan Kesembronoan yang
disengaja

154

4.3.3 Maksud Ketidaksantunan

174

4.3.3.1 Maksud Bercanda

175

4.3.3.2 Maksud Menyadarkan

176

4.3.3.3 Maksud Kesal

176

4.3.3.4 Maksud Menasehati

177

4.3.3.5 Maksud Merendahkan

177

xv

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

4.3.3.6 Maksud Keluhan

178

4.3.3.7 Maksud Memperingatkan

179

4.3.3.8 Maksud Menyarankan

179

4.3.3.9 Maksud Memberitahu

180

4.3.310 Maksud Jengkel

180

4.3.311 Maksud Meragukan

181

4.3.3.12 Maksud Harapan

181

BAB V PENUTUP

182

5.1 Simpulan

182

5.2 Saran

186

DAFTAR PUSTAKA

188

LAMPIRAN

191

BIOGRAFI PENULIS

xvi

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

DAFTAR BAGAN
Hal.
Bagan 1 Kerangka Berpikir

62

xvii

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

DAFTAR TABEL
Hal.
Tabel 1 Jumlah Data Tuturan disetiap Masjid di Kotamadya
Yogyakarta

70

Tabel 2 Jumlah Data Tuturan berdasarkan Kategori Ketidaksantunan

71

Tabel 3 Mengancam Muka Sepihak

72

Tabel 4 Melecehkan Muka

73

Tabel 5 Menghilangkan Muka

74

Tabel 6 Kesembronoan yang disengaja

75

xviii

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

BAB I
PENDAHULUAN
Pada bab ini berisi uraian (1) latar belakang masalah, (2) rumusan masalah,
(3) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, (5) batasan istilah, dan (6)
sistematika penelitian. Berikut adalah uraian dari keenam hal tersebut.

1.1 Latar Belakang
Bahasa mempunyai peran penting untuk sarana berkomunikasi sosial
dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini perlu kita sadari bahwa dengan bahasa kita
dapat menyampaikan maksud yang kita inginkan terhadap lawan bicara. Agar apa
yang kita sampaikan kepada lawan bicara dapat dipahami, kita harus berbahasa
dengan baik. Pada dasarnya, bahasa menjadi kebutuhan manusia sebagai alat
untuk mengekspresikan diri, sebagai alat untuk berkomunikasi, sebagai alat untuk
mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkungan atau situasi
tertentu, dan sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial (Keraf, 1971:15).
Dengan begitu, kebutuhan seseorang akan bahasa sebagai media untuk
berkomunikasi, mengekspresikan diri, dan untuk beradaptasi dengan lingkungan
sosial, sehingga apa yang disampaikan penutur dapat dipahami oleh mitra tutur.
Sesuai dengan fungsinya bahasa tampaknya menduduki tempat yang
sentral dalam kajian linguistik. Jadi, dalam hal ini bahasa yang menjadi obyek
kajian dari linguistik. Ada beberapa tatanan yang mengkaji ilmu linguistik yang
mencakup cabang linguistik yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan
pragmatik. Pragmatik sebagai salah satu cabang linguistik mulai berkumandang

1

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
2

dalam percaturan linguistik Amerika sejak tahun 1970-an (Rahardi, 2005:45).
Setelah menyinggung penggunaan bahasa sebagai media untuk berkomunikasi di
atas, menunjukan adanya keterkaitan dengan cabang ilmu pragmatik yang baru
dikembangkan. Pragmatik merupakan telaah mengenai hubungan antara bahasa
dan konteksnya (Tarigan, 1990:33). Selain itu, pragmatik merupakan kajian
mengenai hubungan di antara tanda (bahasa) dan penafsirannya (Purwo, 1990:15).
Jadi, dalam hal ini bahwa pragmatik khususnya dalam wujud tuturan (bahasa)
mengkaji makna tuturan yang disampaikan penutur dan ditafsirkan oleh mitra
tutur.
Selain bentuk implikatur, tindak tutur, maksim, pada cabang linguistik
pragmatik juga terdapat bentuk kesantunan dalam bertutur. Kesantunan dalam
bertutur dimaksudkan untuk memberikan kenyamanan bagi lawan bicara saat
komunikasi berlangsung. Pranowo (2009:16) mengemukakan bahwa santun
tidaknya pemakaian bahasa dapat dilihat setidaknya dari dua hal, yaitu pilihan
kata (diksi) dan gaya bahasa. Terlebih pada saat kegiatan resmi kita pasti akan
menggunakan pilihan kata dan gaya bahasa yang santun. Pada dasarnya orang
bertutur selalu mempertimbangkan pilihan kata dan gaya bahasa yang digunakan
sehingga tidak melukai perasaan mitra tutur. Dalam hal ini, tindakan bertutur
dapat berhasil sesuai dengan tujuannya dengan cara penutur tidak asal bertutur
terhadap mitra tutur, akan tetapi pihak penutur mempertimbangkan tuturan
tersebut sehingga terciptanya yang santun dari penutur dan layak untuk
disampaikan oleh mitra tutur.

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
3

Kesantunan saat bertutur juga dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari
penutur. Misalnya, penutur menyampaikan tuturannya dengan jelas, tidak terlalu
keras, ramah, tuturannya halus, sikapnya luwes, dan urutannya teratur sehingga
dapat mencerminkan kepribadian yang santun pada penutur. Berbeda jika penutur
menyampaikan

tuturannya

dengan

ketidaksantunan,

misalnya:

penutur

menyampaikan tuturannya dengan nada keras atau membentak, kasar, dan
mengejek sehingga dapat dipastikan si penutur akan mengalami kegagalan dalam
berkomunikasi dengan mitra tutur karena pihak mitra tutur tidak merasakan
kenyamanan saat berkomunikasi. Selain gagal berkomunikasi dengan baik,
penutur juga mempunyai kepribadian yang tidak santun karena tuturanya tersebut.
Penggunaan bahasa seseorang baik itu santun maupun tidak santun
menjadi daya tarik tersendiri oleh para peneliti khususnya yang berkecimpung di
dunia bahasa. Mengapa demikian? karena bahasa sebagai media untuk
berinteraksi dalam kehidupan. Akan tetapi, terjadi keseimbangan antara penelitian
kesantunan berbahasa dan ketidaksantunan dalam berbahasa karena para peneliti
lebih cenderung meneliti mengenai kesantunan berbahasa dibandingkan dengan
ketidaksantunan dalam berbahasa yang masih sedikit diteliti. Penggunaan bahasa
sering kita gunakan untuk berkomunikasi dalam suatu kegiatan tertentu. Salah
satunya dalam kegiatan di lingkungan masyarakat beragama. Komunikasi tersebut
dapat terjalin antara pemuka agama dengan sesama pemuka agama, pemuka
agama dengan umatnya, dan sesama umat beragama. Komunikasi tersebut
terwujud pada saat acara pengajian, ceramah, diskusi, dialog maupun sarasehan
sehubungan dengan kegiatan keagamaan.

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
4

Kita sebagai manusia telah memiliki keyakinan (agama) sebagai pedoman
hidup dan kita mengakui bahwa keberadaan pemuka agama sebagai panutan
dalam setiap kegiatan keagamaan. Pemuka agama berperan sebagai panutan,
fasilitator untuk menyampaikan ajaran-ajaran keagamaan, dan sebagai sosok yang
memotivasi umatnya. Jadi, sebagai pusat panutan umatnya, seorang pemuka
agama harus memiliki kesantunan, baik itu dari segi sikap, perilaku bahkan dari
segi tuturannya. Pemuka agama akan menjadi perhatian dan panutan oleh
umatnya. Selain itu sebagai pemuka agama maupun umat beragama diajarkan
nilai - nilai untuk tidak menyakiti perasaan orang lain. Salah satunya melalui
tuturan. Maka dari itu, seorang pemuka agama maupun umat beragama akan
memperhatikan cara bertutur dengan santun sesuai situasi dan kondisi. Pada
kenyataannya ditemukan tuturan yang tidak santun yang dituturkan oleh pemuka
agama. Contoh tuturan, U: “Saya belajar syariat Islam uda 35 tahun, jadi otaknya di
mana itu”. Tuturan tersebut diucapkan oleh seorang Ustadz pada saat berceramah.

Hal tersebut terdengar dan terasa tidak santun ketika seorang pemuka agama
mengucapkannya di hadapan umatnya. Seharusnya sebagai pemuka agama yang
menjadi panutan umat, harus dapat menempatkan tuturan tersebut sesuai dengan
situasinya, apakah layak untuk disampaikan atau tidak kepada umatnya.
Penelitian ini berkaitan dengan ketidaksantunan berbahasa dalam ranah
keagamaan. Penelitian ini mengambil sampel pada ranah agama di lingkup
Kotamadya Yogyakarta. Penelitian ini didasari pada keanekaragaman agama yang
dianut oleh masyarakat wilayah Kotamadya Yogyakarta. Keanekaragaman agama
itulah yang memberikan ruang agar penelitian ini dapat terlaksana. Lebih

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
5

khususnya untuk pemeluk agama Islam di Kotamadya Yogyakarta pada tahun
2011–2012 sebanyak 81,22% dari total penduduk Kotamadya Yogyakarta (BPS,
2012:61).
Fenomena ketidaksantunan berbahasa dalam ranah agama Islam ini
menjadi fenomena baru dalam dunia pragmatik dan perlu dikaji untuk
mempertimbangkan bentuk-bentuk ketidaksantunan berbahasa yang harus
dihindari dalam berkomunikasi. Peneliti secara khusus memilih untuk meneliti
ketidaksantunan berbahasa pada ranah agama Islam di wilayah Kotamadya
Yogyakarta karena mayoritas beragama Islam sehingga memudahkan peneliti
dalam pengambilan data. Agama Islam adalah salah satu faktor yang sangat
penting dalam kehidupan sehari-hari sebagai pegangan hidup seseorang dan selain
itu memungkinkan adanya tuturan tidak santun lainnya seperti contoh yang
diungkapkan pemuka kepada umatnya di atas. Berdasarkan latar belakang yang
sudah dipaparkan di atas, peneliti tertarik untuk mendeskripsikan ketidaksantunan
linguistik dan pragmatik terutama dalam ranah agama Islam di wilayah
Kotamadya Yogyakarta.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah seperti di atas, permasalahan utama
penelitian ini adalah sebagai berikut.
a.

Wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik apa sajakah yang
diungkapkan pemuka agama Islam kepada umatnya di wilayah
Kotamadya Yogyakarta?

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
6

b.

Wujud penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik apa sajakah
yang digunakan pemuka agama Islam kepada umatnya di wilayah
Kotamadya Yogyakarta?

c.

Maksud ketidaksantunan berbahasa apa sajakah yang melatar belakangi
pemuka agama Islam dalam berkomunikasi dengan umatnya di wilayah
Kotamadya Yogyakarta?

1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tujuan utama penelitian ini adalah
sebagai berikut.
a.

Mendeskripsikan wujud-wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik
yang diungkapkan oleh pemuka agama Islam kepada umatnya di wilayah
Kotamadya Yogyakarta.

b.

Mendeskripsikan penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik yang
digunakan oleh pemuka agama Islam kepada umatnya di wilayah
Kotamadya Yogyakarta.

c. Mendeskripsikan maksud ketidaksantunan berbahasa yang melatar
belakangi pemuka agama Islam dalam berkomunikasi dengan umatnya di
wilayah Kotamadya Yogyakarta.

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
7

1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ketidaksantunan berbahasa dalam ranah agama ini diharapkan
dapat bermanfaat bagi pihak yang memerlukan. Berikut manfaat yang diharapkan
dari penelitian tersebut.

a. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
memperluas kajian serta memperkaya teoretis tentang ketidaksantunan dalam
berbahasa sebagai fenomena pragmatik baru. Penelitian ini dapat dikatakan
memiliki kegunaan teroretis karena dengan memahami teori-teori yang
dikemukakan oleh para ahli dapat digunakan sebagai tambahan pengetahuan
baru dan referensi untuk menghindari ketidaksantunan berbahasa dalam
berkomunikasi.

b. Manfaat Praktis
Penelitian ketidaksantunan berbahasa ini diharapkan dapat memberikan
masukan khususnya bagi pemuka dan umat beragama Islam dalam bertutur di
dalam maupun di luar kegiatan keagamaan agar menghindari penggunaan
bahasa yang kurang santun. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat bagi pemuka maupun umat beragama lainnya sehingga
di dalam maupun di luar kegiatan keagamaan tercipta tuturan yang santun.

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
8

1.5 Batasan Istilah
1) Ketidaksantunan berbahasa
Bahasa penutur yang dianggap dapat melukai hati mitra tutur.
2) Linguistik
Ilmu tentang bahasa; telaah bahasa secara ilmiah (Depdiknas, 2008:832).
3) Pragmatik
Telaah mengenai hubungan antara bahasa dan konteksnya (Tarigan,
1990:33).
4) Konteks
Konteks tuturan dapat diartikan sebagai latar belakang pemahaman yang
dimiliki oleh penutur maupun lawan tutur sehingga lawan tutur dapat
membuat interpretasi mengenai apa yang dimaksud oleh penutur pada
waktu membuat tuturan tertentu (Leech, 1983:13 dalam Nadar, 2009:6).
5) Ranah
Lingkungan yang memungkinkan terjadinya percakapan. Merupakan
kombinasi antara partisipan, topik, dan tempat (keagamaan). (Depdiknas,
2008:1139).
6) Agama
Ajaran yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan
kepada Tuhan Yang Mahakuasa (Depdiknas, 2008:15).

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
9

7) Islam
Agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW berpedoman pada
kita suci Alquran yang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah SWT
(Depdiknas, 2008:549).

1.6 Sistematika Penelitian
Penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab I adalah bab pendahuluan yang
berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, batasan istilah, dan sistematika penelitian. Bab II berisi landasan teori
yang digunakan untuk menganalisis masalah-masalah yang diteliti, yaitu tentang
ketidaksantunan berbahasa. Teori-teori yang dikemukakan dalam bab II ini adalah
teori tentang (1) penelitian-penelitian yang relevan, (2) pragmatik, (3) fenomena
pragmatik, (4) teori ketidaksantunan, (5) teori mengenai konteks, (6) unsur
segmental, (7) unsur suprasegmental, (8) teori maksud dan (9) kerangkan berpikir.
Bab III berisi metode penelitian yang digunakan oleh peneliti untuk memperoleh
data. Dalam bab III diuraikan (1) jenis penelitian, (2) subjek penelitian, (3)
metode dan teknik pengumpulan data, (4) instrumen penelitian, (5) metode dan
teknik analisis data, (6) sajian hasil analisis data, dan (7) trianggulasi data. Bab IV
berisi tentang (1) deskripsi data, (2) analisis data, dan (3) pembahasan hasil
penelitian. Bab V berisi tentang kesimpulan penelitian dan saran untuk penelitian
selanjutnya berkaitan dengan penelitian ketidaksantunan berbahasa.

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Bab ini berisi mengenai penelitian yang relevan, landasan teori, dan
kerangka teori. Penelitian yang relevan berisi tinjauan terhadap topik-topik sejenis
yang dilakukan oleh peneliti-peneliti lain. Landasan teori berisi teori-teori yang
digunakan sebagai landasan analisis dari penelitian ini yang terdiri atas teori
pragmatik, fenomena pragmatik, teori ketidaksantunan, konteks, unsur segmental,
unsur suprasegmental, dan teori maksud. Kerangka berpikir berisi acuan teori
yang digunakan dalam penelitian ini atas dasar penelitian terdahulu dan teori
terdahulu yang relevan untuk menjawab rumusan masalah.

2.1 Penelitian yang Relevan
Penelitian

yang

relevan

mengenai

kajian

pragmatik

khususnya

ketidaksantunan berbahasa belum banyak diteliti oleh peneliti. Namun, belum
lama ini peneliti menemukan penelitian sejenis mengenai ketidaksantunan
berbahasa yang tergolong masih baru. Oleh karena itu, peneliti menggunakan
penelitian yang serupa mengenai ketidaksantunan berbahasa dalam kajian
pragmatik. Penelitian-penelitian tentang ketidaksantunan berbahasa tersebut
adalah penelitian yang dilakukan oleh, Olivia Melissa Puspitarini (2013),
Elizabeth Rita Yuliastuti (2013), Katarina Yulita Simanulang (2013), dan
Valentina Tris Marwani (2013).

10

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
11

Penelitian yang dilakukan oleh Olivia Melissa Puspitarini (2013) dengan
judul “Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Berbahasa antara Dosen dan
Mahasiswa Program Studi PBSID, FKIP, USD, Angkatan 2009—2011”. Jenis
penelitian termasuk penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data dalam penelitian
ini adalah dosen dan mahasiswa Program Studi PBSID. Metode pengumpulan
data adalah metode simak dan metode cakap. Peneliti menganalisis data dengan
mengutip data dan konteks tuturan. Simpulan hasil penelitian ini sebagai berikut
pertama,wujud ketidaksantunan linguistik berdasarkan tuturan lisan dan wujud
ketidaksantunan pragmatik berbahasa yaitu uraian konteks tuturan tersebut.
Kedua, penanda ketidaksantunan linguistik yaitu nada, intonasi, tekanan, dan
diksi, serta penanda pragmatik yaitu konteks yang menyertai tuturan yakni
penutur, mitra tutur, situasi, dan suasana. Ketiga,makna ketidaksantunan linguistik
dan pragmatik berbahasa meliputi 1) melecehkan muka yakni penutur menyindir
atau mengejek mitra tutur, 2) memainkan muka yakni penutur membuat jengkel
dan bingung mitra tutur, 3) kesembronoan yang disengaja yakni penutur bercanda
kepada mitra tutur dan mitra tutur terhibur namun candaan tersebut dapat
menimbulkan konflik bila candaan tersebut ditanggapi secara berlebihan, 4)
menghilangkan muka yakni penutur mempermalukan mitra tutur di depan banyak
orang, dan 5) mengancam muka yakni penutur memberikan ancaman atau tekanan
kepada mitra tutur yang menyebabkan mitra tutur terpojok.
Penelitian lain dilakukan oleh Elizabeth Rita Yuliastuti (2013) dengan judul
“Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Berbahasa antara Guru dan Siswa di
SMA Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2012/2013 “. Jenis penelitian ini

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
12

ialah penelitian deskriptif kualitatif. Data penelitian berupa tuturan lisan yang
tidak santun antara guru dan siswa. Metode pengumpulan data yang digunakan
ialah metode simak dan metode cakap. Dalam menganalisis data, peneliti
mengutip data dan konteks tuturan. Simpulan dari hasil penelitian ini ialah:
Pertama,wujud ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan tuturan lisan
yang tidak santun antara guru dan siswa yang berupa tuturan melecehkan muka,
memain-mainkan muka, kesembronoan, mengancam muka, dan menghilangkan
muka, sedangkan wujud ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan
uraian konteks berupa penutur, mitra tutur, tujuan tutur, situasi, suasana, tindak
verbal, dan tindak perlokusi yang menyertai tuturan tersebut. Kedua,penanda
ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan nada, tekanan, intonasi, dan
diksi, serta penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks
yang menyertai tuturan yaknipenutur, mitra tutur, situasi, suasana, tujuan tutur,
tindak verbal, dan tindak perlokusi. Ketiga, makna ketidaksantunan (1)
melecehkan muka yakni hinaan dan ejekan dari penutur kepada mitra tutur hingga
melukai hati mitra tutur, (2) memain-mainkan muka yakni tuturan yang membuat
bingung mitra tutur sehingga mitra tutur menjadi jengkel karena sikap penutur
yang tidak seperti biasanya, (3) kesembronoan yang disengaja yakni penutur
bercanda kepada mitra tutur sehingga mitra tutur terhibur, tetapi candaan tersebut
dapat menimbulkan konflik, (4) mengancam muka yakni penutur memberikan
ancaman kepada mitra tutur sehingga mitra tutur merasa terpojokkan, dan (5)
menghilangkan muka yakni penutur mempermalukan mitra tutur di depan banyak
orang.

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
13

Penelitian juga dilakukan oleh Katarina Yulita Simanulang (2013) dengan
judul “Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik dalam Ranah Keluarga
Pedagang yang Berdagang di Pasar Besar Beringharjo, Yogyakarta”. Simpulan
hasil penelitian ini adalah (1) wujud ketidaksantunan linguistik berupa tuturan
lisan tidak santun antaranggota keluarga pedagang yang terbagi dalam kategori
melanggar norma (subkategori menolak dan menentang), mengancam muka
sepihak (subkategori kesal, memerintah, menyindir, memperingatkan, dan
mengancam), melecehkan muka (subkategori kesal, menyindir, mengejek,
menentang, menolak, dan memperingatkan), menghilangkan muka (subkategori
mengejek,

memperingatkan,

menyindir,

kesal,

dan

meremehkan),

dan

menimbulkan konflik (subkategori mengancam, mengejek, memperingatkan, dan
kesal); wujud ketidaksantunan pragmatik berupa cara penyampaian penutur yang
mengikuti setiap tuturan lisan tidak santun, (2) penanda ketidaksantunan linguistik
berupa penggunaan diksi, kata fatis, nada, tekanan, dan intonasi; penanda
ketidaksantunan pragmatik berupa konteks yang menyertai setiap tuturan, serta (3)
maksud ketidaksantunan penutur dalam kategori melanggar norma adalah
menunda, protes, dan kesal; mengancam muka sepihak bermaksud kesal, protes,
mengusir, basa-basi, memperingatkan, dan bercanda; melecehkan muka
bermaksud memerintah, mengelak, kesal, mengomentari, menakut-nakuti,
mengejek, basa-basi, menyindir, memperingatkan, dan melarang; menghilangkan
muka bermaksud menanggapi, bercanda, melarang, memperingatkan, menyindir,
basa-basi, mengomentari, mengusir, kesal, dan protes; serta menimbulkan konflik

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
14

maksudnya menakut-nakuti, mengejek, protes, melarang, memperingatkan, dan
kesal.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Valentina Tris Marwani (2013) dengan
judul “Ketidaksantunan Lingusitik dan Pragmatik dalam Ranah Keluarga di
Lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta.” Simpulan hasil penelitian ini
adalah pertama, wujud ketidaksantunan linguistik berupa tuturan lisan tidak
santun yang termasuk dalam (1) kategori melanggar norma dengan subkategori
subkategori menjanjikan, menolak, dan kesal; (2) kategori mengancam muka
sepihak dengan subkategori menyindir, memerintah, menjanjikan, kesal, dan
mengejek; (3) kategori melecehkan muka dengan subkategori kesal, memerintah,
menyindir, mengejek, dan mengancam; (4) kategori menghilangkan muka dengan
subkategori menyindir, mengejek, menyalahkan, dan memerintah; dan (5)
kategori menimbulkan konflik dengan subkategori melarang, mengancam,
memerintah, mengejek, menolak, dan kesal, sedangkan wujud ketidaksantunan
pragmatik diketahui berdasarkan cara penyampaian penutur yang menyebabkan
suatu tuturan menjadi tidaksantun. Kedua, penanda ketidaksantunan linguistik
diketahui dari diksi, kata fatis, nada, tekanan, dan intonasi, sedangkan penanda
ketidaksantunan pragmatik didasarkan pada uraian konteks yang berupa, penutur
dan mitra tutur, situasi saat bertutur, tujuan tutur, waktu dan tempat ketika
bertutur, serta tindak verbal dan tindak perlokusi yang menyertai tuturan tersebut.
Ketiga, maksud tuturan tidak santun yang disampaikan oleh penutur, yaitu
menolak,

memprotes,

bercanda,

memberikan

pengertian,

memohon,

ketidaksenangan, menyindir, mengejek, kesal, meminta tolong, menegur,

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
15

memerintah, melarang, menyalahkan, membandingkan, meremehkan, dan
menakut-nakuti.
Keempat penelitian di atas merupakan penelitian mengenai ketidaksantunan
berbahasa. Dari keempat penelitian di atas dapat disimpulkan, bahwa penelitian
tersebut termasuk jenis penelitian deskriptif kualitatif, pengambilan data dengan
menggunakan metode simak dan metode cakap dan analisis data dalam penelitian
ini dilakukan dengan metode kontekstual serta mengutip data dan konteks tuturan.
Kemudian mengenai kesimpulan hasil penelitian dari keempat penelitian tersebut
dibagi menjadi tiga bagian yaitu wujud ketidaksantunan linguistik, penanda
ketidaksantunan linguistik, dan maksud ketidaksantunan linguistik.
Oleh karena itu berdasarkan kesimpulan yang ditemukan dari keempat
penelitian tersebut mengenai ketidaksantunan berbahasa dapat digunakan sebagai
acuan dan pijikan untuk mengkaji fenomena ketidaksantunan berbahasa
khususnya dalam ranah agama Islam yang selama ini belum ada peneliti yang
mengkaji lebih dalam.

2.2 Pragmatik
Pragmatik merupakan bahasa yang mengandung makna dalam kaitannya
dengan konteks penutur dengan mitra tutur. Bahasa adalah alat untuk
berkomunikasi yang digunakan oleh manusia, karena dengan bahasa manusia bisa
mengungkapkan maksud atau tujuan sesuai dengan keperluannya. Sebagai
manusia yang aktif dalam kehidupan sehari-hari, di dalam masyarakat manusia
sangat bergantung pada penggunaan bahasa. Penggunaan bahasa sebagai media

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
16

berkomunikasi yang efektif dengan memperhatikan konteks tuturan penutur,
sehingga tidak terjadi kesalahpahaman saat berkomunikasi antara penutur dengan
mitra tutur.
Pemahaman mengenai pragmatik sudah sedikit dipaparkan di atas.
Selanjutnya Yule (2006:3−6) menyebutkan 4 definisi pragmatik, yaitu (1) bidang
yang mengkaji makna pembicara, (2) bidang yang mengkaji makna menurut
konteksnya; (3) bidang yang mengkaji tentang bagaimana agar lebih banyak yang
disampaikan daripada yang dituturkan, dan (4) bidang yang mengkaji tentang
ungkapan dari jarak hubungan.
Levinson (1983:9) via Nadar (2009:4) dalam bukunya yang berjudul
Pragmatik & Penelitian Pragmatik, yang mendefinisikan pragmatik sebagai
berikut: “Pragmatics is the study of those relations between language and context
that are grammaticalized, or encoded in the structure of language”. Maksud dari
definisi Levinson adalah pragmatik merupakan kajian hubungan antara bahasa dan
konteks yang tergramatikalisasi atau terkodifikasi dalam struktur bahasa. Definisi
lain dijelaskan oleh Leech (1993:8), Pragmatik adalah studi tentang makna dalam
hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situations) yang meliputi unsurunsur penyapa dan yang disapa, konteks, tujuan, tindak ilokusi, tuturan, waktu,
dan tempat.
Dari definisi beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pragmatik
merupakan suatu kajian pemakaian bahasa yang mengandung makna sebuah
tuturan oleh penutur pada mitra tutur yang cenderung lebih terikat pada konteks

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
17

pembicaraan. Dengan demikian, pragmatik adalah ilmu yang mengkaji antara
hubungan bahasa dan konteks yang melibatkan penutur dengan mitra tutur.

2.3 Fenomena Pragmatik
Pragmatik sebagai cabang ilmu bahasa yang berkembang telah mengkaji
enam fenomena, yaitu praanggapan, tindak tutur, implikatur, dieksis, kesantunan,
dan ketidaksantunan. Berikut penjelasan keenam fenomena tersebut.

2.3.1 Praanggapan
Salah satu fenomena pragmatik adalah praanggapan. Praanggapan adalah
asumsi awal penutur sebelum melakukan tuturan atau berkomunikasi bahwa pesan
yang akan diungkapkan sudah dipahami oleh mitra tutur. Oleh karena itu penutur
tidak perlu menyampaikan tuturan tersebut karena mitra tutur sudah mengetahui
makna dari tuturan yang akan disampaikan oleh penutur.
Yule (2006:43) memaparkan bahwa presupposisi adalah sesuatu yang
diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan.
Presupposisi ini dimiliki oleh penutur, bukan kalimat. Dalam analisis tentang
bagaimana asumsi-asumsi penutur diungkapkan secara khusus, presupposisi sudah
diasosiasikan dengan pemakaian sejumlah besar kata, frasa, dan struktur.
Berdasarkan hal tersebut, Yule (2006:46) membagi presupposisi menjadi enam
jenis, yaitu presupposisi eksistensial, presupposisi faktif, presupposisi leksikal,
presupposisi nonfaktif, presupposisi struktural, presupposisi faktual tandingan
atau konterfaktual.

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
18

2.3.2 Tindak Tutur
Tindak tutur adalah kegiatan seseorang menggunakan bahasa kepada mitra
tutur

dalam

rangka

mengkomunikasikan

sesuatu.

Yule

(2006:82−84)

menyebutkan bahwatindakan yang ditampilkan dengan menghasilkan suatu
tuturan akan mengandung tiga tindak yang saling berhubungan. Pertama adalah
tindak lokusi, merupakan tindak dasar tuturan atau menghasilkan suatu ungkapan
linguistik yang bermakna. Kedua adalah tindak ilokusi, merupakan beberapa
fungsi yang terbentuk oleh tuturan di dalam pikiran. Tindak ilokusi ditampilkan
melalui penekanan komunikatif suatu tuturan. Ketiga adalah tindak perlokusi,
lawan tutur berasumsi harus melakukan sesuatu sebagai akibat dari suatu tuturan.
Searle di dalam bukunya yang berjudul Speech Acts: An Essay in The
Philosophy of language, via wijana (1996:17) mengungkapkan bahwa secara
pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh
seorang penutur, yakni tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (ilocutionary
act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act).
(1) Tindak Lokusi
Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu.Tindak
tutur ini disebut sebagai The Act of Saying Something (Wijana, 1996:17).
Ada pendapat lain yaitu menurut Rahardi (2009:17) beliau berpendapat
bahwa lokusioner adalah tindak tutur dengan kata, frasa, dan kalimat, sesuai
dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu sendiri.
Dalam tindak lokusioner ini sama sekali tidak dipermasalahkan ihwal
maksud tuturan yang disampaikan oleh penutur. Jadi, perlu dikatakan bahwa

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
19

tindak tutur lokusioner itu adalah tindak menyampaikan informasi yang
disampaikan oleh penutur. Dapat disimpulkan dari beberapa pendapat para
ahli tersebut maka yang dimaksud dengan tindak lokusi adalah tindak dasar
dalam tuturan dan menghasilkan ungkapan linguistik yang memiliki makna.
Sebagai contoh perhatikan kalimat (1) dan (2) (Wijana, 1996:17 – 18)
berikut:
(1) Ikan paus adalah binatang menyusui.
(2) Jari tangan jumlahnya lima.
Kalimat (1) dan (2) diutarakan oleh penuturnya semata-mata untuk
menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi
untuk mempengaruhi mitra tuturnya. Kalimat (1), informasi yang diutarakan
adalah temasuk jenis binatang apa ikan paus itu. Kalimat (2), informasi yang
disampaikam adalah mengenai berapa jumlah jari tangan.
(2) Tindak Ilokusi
Saat kita mengutarakan sebuah tuturan, tidak hanya menghasilkan
tuturan dalam bentuk tuturan lisan saja, Dalam penyampaian tuturan
pastinya

mengandung

tujuan

tertentu.

Misalnya

membuat

sebuah

pernyataan, memberikan tawaran atau memberi penjelasan.
Sebuah

tuturan

selain

berfungsi

untuk

mengatakan

atau

menginformasikan sesuatu dapat juga dipergunakan untuk melakukan
sesuatu. Bila hal ini terjadi tindak tutur yang terbentuk adalah tindak tutur
ilokusi. Tindak ilokusi disebut sebagai The Act Of Doing Something

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
20

(Wijana, 1996:18–19). Perhatikan contoh yang diberikan pada kalimat (3)
dan (4) berikut ini.
(3) Ujian sudah dekat.
(4) Rambutmu sudah panjang.
Kalimat (3), bila diucapkan oleh seorang guru kepada muridnya,
mungkin berfungsi untuk memberi peringatan agar mitra tuturnya (murid)
mempersiapkan diri. Bila diucapkan oleh seorang ayah kepada anaknya,
kalimat (3) ini mungkin dimaksudkan untuk menasihati agar mitra tutur
tidak hanya berpergian menghabiskan waktu secara sia-sia. Kalimat (4), bila
diucapkan oleh seorang laki-laki kepada pacaranya, mungkin berfungsi
untuk menyatakan kekaguman atau kegembiraan. Akan tetapi, bila
diutarakan oleh seorang ibu kepada anak lelakinya, atau oleh seorang istri
kepada suaminya, kalimat ini dimaksudkan untuk menyuruh atau
memerintah agar anak laki-laki dan sang suami memotong rambutnya.
Beberapa contoh kalimat di atas, tidak hanya digunakan untuk
menginformasikan sesuatu, tetapi juga melakukan sesuatu sejauh situasi
tuturnya dipertimbangkan secara seksama. Sesuia yang telah diuraikan maka
jelaslah tindak ilokusi sangat sukar diidentifikasi karena terlebih dahulu
harus mempertimbangkan siapa penutur dan lawan tutur, kapan dan dimana
tindak tutur itu terjadi. Dengan demikian tindak ilokusi merupakan bagian
sentral untuk memahami tindak tutur.
Searle (dalam Rahardi, 2003:72) menggolongkan tindak tutur
ilokusi dalam aktivitas bertutur itu ke dalam lima macam bentuk tuturan

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
21

yang masing- masing memiliki fungsi komunikatifnya sendiri-sendiri.
Kelima

macam

bentuk

tuturan

yang

menunjukkan

fungsi-fungsi

komunikatif tersendiri tersebut dapat dirangkum dan disebutkan satu demi
satu sebagai berikut.
1) Asertif (assertives), yakni bentuk tutur yang mengikat penutur pada
kebenaran proposisi yang diungkapkan, misalnya saja: menyatakan
(stating),

menyarankan

(suggesting),

membuang

(boasting),

mengeluh (complaining), dan mengklaim (claiming).
2) Direktif (direktives), yakni bentuk tutur yang dimaksudkan
penuturnya untuk membuat pengaruh agar sang mitra tutur
melakukan tindakan tertentu, misalnya saja memesan (ordering),
memerintah (commanding), memohon (requesting), menasihati
(advising), dan merekomendasi (recommending).
3) Ekspresif (expressives), adalah bentuk tuturan yang berfungsi untuk
menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap
suatu keadaan, misalnya saja berterimakasih (thanking), memberi
selamat (congratulating).
4) Komisif (commissives), yakni bentuk tutur yang berfungsi untuk
menyatakan

janji

atau

penawaran,

misalnya

saja

berjanji

(promising), bersumpah (vowing), dan menawarkan sesuatu
(offering).
5) Deklarasi (declarations), yakni bentuk tutur yang menghubungkan
isi tuturan dengan kenyataannya, misalnya berpasrah (resigning),

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
22

memecat (dismissing), membaptis (christening), memberi nama
(naming),

mengangkat

(appointing),

mengucilkan

(excommunicating), dan menghukum (sentencing).
(3) Tindak Perlokusi
Sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali memiliki
daya

pengaruh

(perlocutionary

force),

atau

efek

bagi

yang

mendengarkannya (Wijana, 1996:19). Efek atau daya pengaruh ini dapat
dikreasikan oleh penuturnya secara sengaja atau tidak disengaja. Tindak
tutur yang diutarakan dan dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan
tuturnya disebut dengan tindak perlokusi, atau disebut juga the act of
affecting someone. Perhatikan contoh kalimat dibawah ini:
(5) Kemarin saya sangat sibuk.
(6) Televisinya 20 inchi.
Kalimat (5), jika diutarakan oleh seseorang yang tidak menghadiri
undangan rapat kepada orang yang mengundangnya, kalimat ini merupakan
tindak ilokusi untuk memohon maaf, dan perlokusi (efek) yang diharapkan
yaitu orang yang mengudang untuk memaklumi atau memberikan maaf.
Bila kalimat (6) diutarakan oleh seseorang kepada temannya saat disiarkan
pertandingan kejuaraan tinju dunia, kalimat tersebut mengandung ilokusi
berupa ajakan untuk menonton di tempat.

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
23

2.3.3 Implikatur
Yule (2006:61) memaparkan implikatur secara lebih mendalam yaitu jika
seorang pendengar mendengar ungkapan dari seorang penutur, dan dia harus
berasumsi bahwa penutur sedang melaksanakan kerja sama dan bermaksud untuk
menyampaikan informasi. Informasi itu tentunya memiliki makna yang lebih
banyak daripada kata-kata yang dikeluarkan oleh penutur. Makna itulah yang
disebut dengan implikatur. Jadi bisa diartikan bahwa, implikatur merupakan
makna atau pesan yang tersirat dalam tuturan lisan. Implikatur adalah contoh
utama dari banyaknya informasi yang disampaikan daripada yang dikatakan.
Supaya implikatur-implikatur tersebut dapat ditafsirkan maka beberapa prinsip
kerja sama dasar harus lebih dini diasumsikan dalam pelaksanannya (Yule, 2006:
62).
Pada banyak kesempatan, asumsi kerja sama itu begitu meresap sehingga
asumsi kerja sama dapat dinyatakan sebagai prinsip kerja sama percakapan dan
dapat dirinci ke dalam empat sub-prinsip, yang dimaksud dengan maksim
(mengikuti prinsip kerja sama Grice) (Yule, 2006:63).
Yule (2006:69–80) membedakan impl