Ketidaksantunan linguistik dan pragmatik dalam ranah keluarga pendidik di Kotamadya Yogyakarta.

(1)

viii ABSTRAK

Riyanti, Catarina Erni. 2014. Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik dalam Ranah Keluarga Pendidik di Kotamadya Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

Penelitian ini membahas bentuk-bentuk tuturan lisan tidak santun antaranggota keluarga dalam ranah keluarga pendidik di Kotamadya Yogyakarta. Penelitian ini menjawab tiga masalah, yaitu: (a) wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik apa sajakah yang terdapat dalam ranah keluarga pendidik di Kotamadya Yogyakarta, (b) penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik apa sajakah yang digunakan oleh keluarga pendidik di Kotamadya Yogyakarta, (c) maksud apa sajakah yang mendasari penutur menggunakan bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga pendidik di Kotamadya Yogyakarta.

Dilihat berdasarkan metodenya, penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian deskriptif kualitatif. Subjek penelitian dan sumber data penelitian ini adalah keluarga pendidik di Kotamadya Yogyakarta. Data penelitian ini berupa tuturan tidak santun yang diucapkan antaranggota keluarga pada keluarga pendidik di Kotamadya Yogyakarta dalam rentang waktu bulan April sampai bulan Juni 2013. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak dan metode cakap dengan teknik observasi, teknik sadap dan teknik pancing. Instrumen dalam penelitian ini adalah pedoman atau panduan wawancara (daftar pertanyaan), pancingan, daftar kasus, dan peneliti sendiri. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kontekstual.

Sesuai dengan rumusan masalahnya, hasil dari penelitian ini adalah pertama

wujud ketidaksantunan linguistik berupa tuturan lisan antaranggota keluarga maupun antarkeluarga yang tidak santun dan wujud ketidaksantunan pragmatik berupa uraian konteks yang melingkupi setiap tuturan. Kedua penanda ketidaksantunan linguistik yang ditemukan berupa (1) nada, (2) tekanan, (3) intonasi, (4) kata fatis, dan (5) pilihan kata (diksi). Penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks yang melingkupi tuturan. Konteks tersebut meliputi (1) penutur dan mitra tutur, (2) situasi dan suasana, (3) tujuan tuturan, (4) tindak verbal, dan (5) tindak perlokusi. Ketiga maksud ketidaksantunan penutur berdasarkan kategori ketidaksantunan, yaitu: (1) maksud ketidaksantunan penutur kategori melanggar norma adalah supaya tidak dimarahi, protes, dan kesal; (2) maksud ketidaksantunan penutur kategori mengancam muka sepihak adalah kesal, memotivasi, mengejek, bercanda, khawatir, menolak, melarang, menunda, dan mengancam; (3) maksud ketidaksantunan penutur kategori melecehkan muka adalah melarang, khawatir, kesal, bercanda, memotivasi, mengejek, kagum, dan memaksa; (4) maksud ketidaksantunan penutur kategori menghilangkan muka adalah memotivasi, bercanda, kesal, dan kecewa; (5) maksud ketidaksantunan penutur kategori menimbulkan konflik adalah protes, asal bicara, kesal, menuduh, mengingatkan, memotivasi, dan memaksa.


(2)

ix

ABSTRACT

Riyanti, Catarina Erni. 2014. Impoliteness of Linguistic and Pragmatic in Domain of Family Educators in the Yogyakarta Municipality. Thesis. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

This study discusses the forms of verbal utterances which are impolite among family within the domain of families of educators in the Yogyakarta municipality. This study answers three issues, namely: (a) what are form of linguistic and pragmatic impoliteness which contained in the domain of families of educators in the Yogyakarta municipality, (b) what are the linguistic and pragmatic markers impoliteness used by families of educators in the Yogyakarta municipality, (c) what are the underlying intentions of speakers use linguistic forms that are impolite in the domain of families of educators in the Yogyakarta municipality.

Based on the methods, this study is included to the qualitative descriptive research. Subject of the study and data sources of this study is families of educators in the Yogyakarta Municipality. The data of this research is taken from impolite utterances spoken among family members in families of educators in the Yogyakarta municipality within the period of April to June 2013. The data collection methods used in this study refers to the See method and the Capable method with observation techniques, tapping techniques, and inducement techniques. The instrument in this study is a guideline or interview guide (list of questions), inducement, the list of cases, and the researchers themselves. Analysis of the data in this study uses contextual methods.

According to the problems formulation, the results of this study is first,

manifestation of the linguistic form of utterances spoken impoliteness among family members and between families that are impolite and form a description impoliteness pragmatic context surrounding each utterance. Both, impoliteness linguistic markers found in the form of (1) tone, (2) pressure, (3) intonation, (4) the word phatic, and (5) word choice (diction). Impoliteness pragmatic markers can be seen based on the context surrounding the speech. The context includes (1) the speaker and hearer, (2) the situation and atmosphere, (3) the purpose of the speech, (4) acts of verbal, and (5) the effect of speech . Third, the purpose of speakers impoliteness is seen by category, such as: (1) the purpose of speakers impoliteness category offended the norm is not being scolded, protested, and annoyed. (2) the intention of speakers impoliteness category threatening unilateral face is irritated, motivate, taunt, tease, worry, reject, prohibit, delay, and threatening, (3) the intent of speakers impoliteness category to harass face is to forbid, worry, upset, joking, motivate, mocking, amaze, and force, (4) the intention of speakers impoliteness category to eliminate face is to motivate, joking, upset, and disappointed, (5) the intention of speakers impoliteness category to cause conflict is to protest, talk nonsense, upset, accuse, remind, motivate, and force.


(3)

i

KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK

DALAM RANAH KELUARGA PENDIDIK

DI KOTAMADYA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Disusun oleh: Catarina Erni Riyanti

091224093

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2014


(4)

(5)

(6)

iv MOTTO

Tugas kita bukanlah untuk berhasil. Tugas kita adalah untuk mencoba, karena di dalam mencoba itulah kita menemukan dan

belajar membangun kesempatan untuk berhasil. (Oleh Mario Teguh)

Dengarkanlah nasihat dan terimalah didikan, supaya engkau menjadi bijak di masa depan.


(7)

v

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya ini kepada:

Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang selalu menemani dengan penuh kesetiaanNya.

Kedua orang tuaku tercinta, Bapak Nuryanto dan Ibu Trimurni yang selalu memberi kasih tanpa batas.

Kedua saudariku tercinta, Yuk Yeni (alm.) dan Dik Tika yang selalu memberi dukungan.

Teristimewa, Bayu Saputra yang selalu mendukung dengan segala macam bentuk perhatiannya.

Teman sekolaboratif, Tina, Ita, Clara, dan Idang, kebersamaan yang tak kan terlupakan.


(8)

PERIYYATAAN KEASLIAN

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 27 J amnri 2Al4

Penulis

tu

cu#inl

Erni Riyanti


(9)

LEMBAR PER}TYATAAFI PERSETUJUAI\T

PUBLIKASI KARYA

ILMIAII

TINTT]K KEPENTINGAI\I AKAI}EMIK

Yang bertandatangatdi bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama

: CatarinaEmi Riyanti

NomorMahasiswa :091224A93

Demi pengembangan ilmu pengetahuarq saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah yang berjudul:

KETIDAKSAI\TI]NAN LINGTIISTIK DAI\i PRAGMATIK DALAM RANAH KELUARGA PENDIDIK,

DI KOTAMADYA YOGYAKARTA

Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata

Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalarn bentuk media lain,

mengelolanya dalam bentuk pangkalan data mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Intemet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selamatetap mencanfumkan mma saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 27 J anr;rr/, 2014

Yang menyatakan

.*.*

,Riyanti)


(10)

viii ABSTRAK

Riyanti, Catarina Erni. 2014. Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik dalam Ranah Keluarga Pendidik di Kotamadya Yogyakarta. Skripsi.

Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

Penelitian ini membahas bentuk-bentuk tuturan lisan tidak santun antaranggota keluarga dalam ranah keluarga pendidik di Kotamadya Yogyakarta. Penelitian ini menjawab tiga masalah, yaitu: (a) wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik apa sajakah yang terdapat dalam ranah keluarga pendidik di Kotamadya Yogyakarta, (b) penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik apa sajakah yang digunakan oleh keluarga pendidik di Kotamadya Yogyakarta, (c) maksud apa sajakah yang mendasari penutur menggunakan bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga pendidik di Kotamadya Yogyakarta.

Dilihat berdasarkan metodenya, penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian deskriptif kualitatif. Subjek penelitian dan sumber data penelitian ini adalah keluarga pendidik di Kotamadya Yogyakarta. Data penelitian ini berupa tuturan tidak santun yang diucapkan antaranggota keluarga pada keluarga pendidik di Kotamadya Yogyakarta dalam rentang waktu bulan April sampai bulan Juni 2013. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak dan metode cakap dengan teknik observasi, teknik sadap dan teknik pancing. Instrumen dalam penelitian ini adalah pedoman atau panduan wawancara (daftar pertanyaan), pancingan, daftar kasus, dan peneliti sendiri. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kontekstual.

Sesuai dengan rumusan masalahnya, hasil dari penelitian ini adalah pertama

wujud ketidaksantunan linguistik berupa tuturan lisan antaranggota keluarga maupun antarkeluarga yang tidak santun dan wujud ketidaksantunan pragmatik berupa uraian konteks yang melingkupi setiap tuturan. Kedua penanda

ketidaksantunan linguistik yang ditemukan berupa (1) nada, (2) tekanan, (3) intonasi, (4) kata fatis, dan (5) pilihan kata (diksi). Penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks yang melingkupi tuturan. Konteks tersebut meliputi (1) penutur dan mitra tutur, (2) situasi dan suasana, (3) tujuan tuturan, (4) tindak verbal, dan (5) tindak perlokusi. Ketiga maksud

ketidaksantunan penutur berdasarkan kategori ketidaksantunan, yaitu: (1) maksud ketidaksantunan penutur kategori melanggar norma adalah supaya tidak dimarahi, protes, dan kesal; (2) maksud ketidaksantunan penutur kategori mengancam muka sepihak adalah kesal, memotivasi, mengejek, bercanda, khawatir, menolak, melarang, menunda, dan mengancam; (3) maksud ketidaksantunan penutur kategori melecehkan muka adalah melarang, khawatir, kesal, bercanda, memotivasi, mengejek, kagum, dan memaksa; (4) maksud ketidaksantunan penutur kategori menghilangkan muka adalah memotivasi, bercanda, kesal, dan kecewa; (5) maksud ketidaksantunan penutur kategori menimbulkan konflik adalah protes, asal bicara, kesal, menuduh, mengingatkan, memotivasi, dan memaksa.


(11)

ix

ABSTRACT

Riyanti, Catarina Erni. 2014. Impoliteness of Linguistic and Pragmatic in Domain of Family Educators in the Yogyakarta Municipality. Thesis.

Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

This study discusses the forms of verbal utterances which are impolite among family within the domain of families of educators in the Yogyakarta municipality. This study answers three issues, namely: (a) what are form of linguistic and pragmatic impoliteness which contained in the domain of families of educators in the Yogyakarta municipality, (b) what are the linguistic and pragmatic markers impoliteness used by families of educators in the Yogyakarta municipality, (c) what are the underlying intentions of speakers use linguistic forms that are impolite in the domain of families of educators in the Yogyakarta municipality.

Based on the methods, this study is included to the qualitative descriptive research. Subject of the study and data sources of this study is families of educators in the Yogyakarta Municipality. The data of this research is taken from impolite utterances spoken among family members in families of educators in the Yogyakarta municipality within the period of April to June 2013. The data collection methods used in this study refers to the See method and the Capable method with observation techniques, tapping techniques, and inducement techniques. The instrument in this study is a guideline or interview guide (list of questions), inducement, the list of cases, and the researchers themselves. Analysis of the data in this study uses contextual methods.

According to the problems formulation, the results of this study is first,

manifestation of the linguistic form of utterances spoken impoliteness among family members and between families that are impolite and form a description impoliteness pragmatic context surrounding each utterance. Both, impoliteness

linguistic markers found in the form of (1) tone, (2) pressure, (3) intonation, (4) the word phatic, and (5) word choice (diction). Impoliteness pragmatic markers can be seen based on the context surrounding the speech. The context includes (1) the speaker and hearer, (2) the situation and atmosphere, (3) the purpose of the speech, (4) acts of verbal, and (5) the effect of speech . Third, the purpose of

speakers impoliteness is seen by category, such as: (1) the purpose of speakers impoliteness category offended the norm is not being scolded, protested, and annoyed. (2) the intention of speakers impoliteness category threatening unilateral face is irritated, motivate, taunt, tease, worry, reject, prohibit, delay, and threatening, (3) the intent of speakers impoliteness category to harass face is to forbid, worry, upset, joking, motivate, mocking, amaze, and force, (4) the intention of speakers impoliteness category to eliminate face is to motivate, joking, upset, and disappointed, (5) the intention of speakers impoliteness category to cause conflict is to protest, talk nonsense, upset, accuse, remind, motivate, and force.


(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat dan kasih-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik dalam Ranah Keluarga Pendidik di Kotamadya Yogyakarta

dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa, dan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini berhasil diselesaikan karena bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

2. Caecilia Tutyandari, S.Pd., M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas Sanata Dharma.

3. Dr. Yuliana Setiyaningsih, selaku Kaprodi PBSI dan pembimbing II yang telah memberikan pendampingan, saran, dan nasihat kepada penulis dengan penuh kesabaran dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum., selaku Wakaprodi PBSI yang telah memberi dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. sebagai dosen pembimbing I yang telah mendampingi, membimbing, mengarahkan, dan memberikan berbagai masukan bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Seluruh dosen Prodi PBSI Universitas Sanata Dharma yang telah membagi ilmu dengan penuh kebijaksanaan selama kegiatan perkuliahan.

7. R. Marsidiq, selaku karyawan sekretariat Prodi PBSI yang dengan sabar memberikan pelayanan kepada penulis dalam menyelesaikan berbagai urusan administrative.

8. Drs. Heri Karyawan, selaku Kepala Dinas Perizinan yang telah memberikan izin dalam pelaksanaan penelitian ini.


(13)

13.

14.

9.

dalam pelaksanaan penelitian ini.

10. Nuryanto dan Trimumi, kedua orang tuaku yang selalu mendukung,

memotivasi, menguatkan dalam setiap doanya, dan semua bentuk cinta kepada penulis.

Margareta Yeni Dian Safitri (AIm.) dan Maria Srimeitika yang telah menjadi terang kasih kepada penulis.

Bapak Haryanto sekeluarga selaku orang tua penulis selama di Yogyakarta yang telah memberi bimbingan dan tempat tinggal ketika liburan kepada penulis.

Bayu Saputra" kekasih yang selalu mendukung dengan segala bentuk perhatian dan kasih kepada

penulis.

,

Katarina Yulita Simanulang, Valentina Tris Marwati, Clara Dhika Ninda Natalia, dan Nuridang Fitranagara yang menjadi teman-teman seperjuangan, selalu menguatkan, dan memotivasi kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini.

Saudaraku, warga Asrama Syantikara, terima kasih atas dukungan, kebersamaan, dan persaudaraan selama tinggal dalam satu atap sebagai keluarga baru di Yogyakarta.

Teman-teman PBSI angkatan 2009 terima kasih atas kebersamaannya selama kuliah di PBSI.

Semua pihak yang belum disebutkan yang turut membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak sekali kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan memberikan inspirasi bagi penelitian sela4iutnya.

11. t2. 15. 16. 17. Penulis

tu

Cat\rirla Erni Riyanti xt


(14)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR BAGAN ... xvi

DAFTAR TABEL ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

1.5 Sistematika Penyajian ... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 8

2.1 Penelitian yang Relevan ... 8

2.2 Pragmatik ... 13

2.3 Fenomena Pragmatik ... 15

2.3.1 Praanggapan ... 15

2.3.2 Tindak Tutur ... 16

2.3.3 Implikatur ... 18

2.3.4 Deiksis ... 19


(15)

xiii

2.3.6 Ketidaksantunan Berbahasa ... 23

2.4 Teori-teori Ketidaksantunan ... 25

2.4.1 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher ... 25

2.4.2 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Bousfield ... 27

2.4.3 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Culpeper ... 29

2.4.4 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Terkourafi ... 30

2.4.5 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher and Watts ... 31

2.5 Konteks Tuturan ... 33

2.6 Unsur Segmental ... 44

2.6.1 Diksi ... 44

2.6.2 Gaya Bahasa ... 47

2.6.2.1 Majas Hiperbola ... 48

2.6.2.2 Majas Perumpamaan ... 48

2.6.2.3 Majas Metafora ... 48

2.6.2.4 Majas Eufemisme ... 49

2.6.3 Kategori Fatis ... 49

2.7 Unsur Suprasegmental ... 51

2.7.1 Tekanan ... 51

2.7.2 Intonasi ... 52

2.7.3 Nada ... 52

2.8 Maksud dan Makna ... 53

2.9 Kerangka Berpikir ... 56

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 60

3.1 Jenis Penelitian ... 60

3.2 Data dan Sumber Data ... 61


(16)

xiv

3.4 Instrumen Penelitian ... 64

3.5 Metode dan Teknik Analisis Data ... 64

3.6 Sajian Hasil Analisis Data ... 66

3.7 Trianggulasi data ... 66

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 67

4.1 Deskripsi Data ... 67

4.1.1 Melanggar Norma ... 68

4.1.2 Mengancam Muka Sepihak ... 68

4.1.3 Melecehkan Muka ... 69

4.1.4 Menghilangkan Muka ... 70

4.1.5 Menimbulkan Konflik ... 71

4.2 Hasil Penelitian ... 72

4.2.1 Wujud Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik ... 72

4.2.1.1 Kategori Ketidaksantunan Melanggar Norma ... 73

4.2.1.2 Kategori Ketidaksantunan Mengancam Muka Sepihak ... 75

4.2.1.3 Kategori Ketidaksantunan Melecehkan Muka ... 79

4.2.1.4 Kategori Ketidaksantunan Menghilangkan Muka ... 83

4.2.1.5 Kategori Ketidaksantunan Menimbulkan Konflik ... 85

4.2.2 Penanda Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik ... 96

4.2.2.1 Kategori Ketidaksantunan Melanggar Norma ... 96

4.2.2.2 Kategori Ketidaksantunan Mengancam Muka Sepihak ... 98

4.2.2.3 Kategori Ketidaksantunan Melecehkan Muka ... 101

4.2.2.4 Kategori Ketidaksantunan Menghilangkan Muka ... 105

4.2.2.5 Kategori Ketidaksantunan Menimbulkan Konflik ... 106

4.2.3 Maksud Ketidaksantunan Penutur ... 139

4.2.3.1 Maksud supaya tidak Dimarahi ... 140

4.2.3.2 Maksud Protes ... 140

4.2.3.3 Maksud Kesal ... 141

4.2.3.4 Maksud Memotivasi ... 143

4.2.3.5 Maksud Bercanda ... 144


(17)

xv

4.2.3.7 Maksud Khawatir ... 146

4.2.3.8 Maksud Menolak ... 146

4.2.3.9 Maksud Melarang ... 147

4.2.3.10 Maksud Menunda ... 148

4.2.3.11 Maksud Mengancam ... 148

4.2.3.12 Maksud Kagum ... 149

4.2.3.13 Maksud Memaksa ... 149

4.2.3.14 Maksud Kecewa ... 150

4.2.3.15 Maksud Asal Bicara ... 150

4.2.3.16 Maksud Menuduh ... 150

4.2.3.17 Maksud Mengingatkan ... 151

BAB V PENUTUP ... 152

5.1 Simpulan ... 152

5.2 Saran ... 154

5.2.1 Bagi Keluarga ... 155

5.2.2 Bagi Peneliti Lanjutan ... 155

DAFTAR PUSTAKA ... 156 LAMPIRAN


(18)

xvi

DAFTAR BAGAN


(19)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Data Tuturan Kategori Melanggar Norma ... 68

Tabel 2: Data Tuturan Kategori Mengancam Muka Sepihak ... 69

Tabel 3: Data Tuturan Kategori Melecehkan Muka ... 70

Tabel 4: Data Tuturan Kategori Menghilangkan Muka ... 71


(20)

1 BAB I PENDAHULIAN

Bab pendahuluan ini berisi uraian mengenai (1) latar belakang; (2) rumusan masalah; (3) tujuan penelitian; (4) manfaat penelitian; dan (5) sistematika penyajian. Berikut adalah uraiannya.

1.1 Latar Belakang

Ilmu yang mengkaji dan menjelaskan tentang bahasa disebut linguistik. Kajian tentang bahasa tidak hanya meliputi satu aspek saja. Pada dasarnya linguistik mempunyai dua bidang besar, yaitu mikrolinguistik dan makrolinguistik. Mikrolinguistik mempelajari bahasa dari struktur dalam bahasa tersebut, sedangkan makrolinguistik mengkaji bahasa dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar bahasa. Ilmu linguistik tersebut menjadi dasar bagi ilmu-ilmu yang lain, seperti kesusastraan, filologi, pengajaran bahasa, penterjemahan, dan sebagainya.

Pragmatik merupakan cabang linguistik yang mempelajari bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dalam situasi tertentu. Pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca). Tipe studi ini perlu melibatkan penafsiran tentang apa yang dimaksudkan orang di dalam suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu berpengaruh terhadap apa yang dikatakan. Diperlukan suatu pertimbangan tentang bagaimana cara penutur mengatur apa yang ingin mereka katakan yang


(21)

disesuaikan dengan orang yang mereka ajak bicara, dimana, kapan, dan dalam keadaan apa. Pragmatik adalah studi tentang makna kontekstual (Yule, 2006:3).

Ketidaksantunan berbahasa bukanlah bentuk pertentangan dari kesantunan berbahasa. Kedua fenomena ini berbeda dan tidak bisa di sejajarkan. Jika kesantunan berbahasa berkaitan dengan penggunaan bahasa yang baik agar tidak menyinggung perasaan orang lain, ketidaksantunan berbahasa merupakan penggunaan bahasa yang tidak baik dan seringkali menyinggung perasaan orang lain. Ketidaksantunan berbahasa merupakan fenomena baru dalam kajian pragmatik. Pemahaman Culpeper (Bousfield, 2008) tentang ketidaksantunan berbahasa adalah, ‘Impoliteness, as I would define it, involves communicative behavior intending to cause the “face loss” of a target or perceived by the target to be so.’ Dia memberikan penekanan pada fakta ‘face loss’ atau ‘kehilangan

muka’.

Manusia berkomunikasi dengan menggunakan alat yang disebut bahasa. Bahasa adalah sistem lambang bunyi ujaran yang digunakan untuk berkomunikasi oleh masyarakat pemakainya. Bahasa yang digabungkan menurut aturan tertentu akan menimbulkan arti yang dapat ditangkap oleh semua orang yang berbicara dalam bahasa itu. Bahasa yang digunakan hendaknya mudah dipahami oleh lawan bicara supaya penyampaian informasinya tersampaikan dengan baik.

Keluarga adalah tempat manusia memperoleh bahasa pertamanya. Kualitas bahasa yang diproduksi oleh seorang penutur dapat menggambarkan bagaimana identitas keluarganya. Kualitas bahasa yang halus maupun kasar, santun ataupun tidak santun, hal itu dapat terlihat dengan jelas ketika berkomunikasi dengan


(22)

orang lain di luar lingkungan keluarga intinya. Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa kekasaran atau kehalusan bahasa yang digunakan juga dipengaruhi oleh lingkungan di luar keluarga inti.

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga (ayah) dan beberapa orang (ibu dan anak) yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Keluarga semacam ini dikatakan sebagai keluarga inti. Keluarga merupakan wadah pertama terjadinya komunikasi.

Status sosial atau strata sosial mempengaruhi cara berkomunikasi masyarakatnya. Cara berkomunikasi dalam kelompok masyarakat terkecil yang tidak lain adalah keluarga sangat erat kaitannya dengan status sosial yang telah melekat pada keluarga itu sendiri. Status sosial ini membagi keluarga dalam kelas-kelas sosial sesuai dengan lingkup pekerjaan dan lingkungannya. Secara umum, strata sosial di masyarakat melahirkan kelas-kelas sosial yang terdiri dari tiga tingkatan, yaitu atas (Upper Class), menengah (Midlle Class), dan bawah

(Lower Class). Kelas atas mewakili kelompok elite di masyarakat yang jumlahnya

sangat terbatas. Kelas menengah mewakili kelompok profesional, kelompok pekerja, wiraswastawan, pedagang, dan kelompok fungsional lainnya. Kelas bawah mewakili kelompok pekerja kasar, buruh harian, buruh lepas, dan semacamnya. Secara khusus, kelas sosial ini terjadi pada lingkungan-lingkungan khusus pada bidang tertentu sehingga content varian strata sosial sangat spesifik


(23)

strata dalam satu lingkungan yang membedakannya dengan strata pada lingkungan lainnya (Bungin, 2006:49−50).

Keluarga pendidik merupakan sebuah keluarga yang berprofesi sebagai pendidik (guru ataupun dosen). Seorang pendidik hendaknya menggunakan bahasa yang halus, santun, dan baik dalam berkomunikasi dengan anggota keluarga maupun dengan orang lain di luar rumah. Orang tua yang mendidik anak di rumah dengan bahasa yang halus, santun, dan baik, ketika mereka berkomunikasi dengan orang lain di luar rumah, mereka akan menggunakan bahasa yang demikian juga. Secara teoritis, semua orang harus berbahasa secara santun, tidak hanya berlaku bagi keluarga pendidik saja. Setiap orang wajib menjaga etika dalam berkomunikasi agar tujuan komunikasi dapat tercapai (Pranowo, 2009).

Penelitian mengenai ketidaksantunan berbahasa masih jarang dilirik oleh para ahli bahasa. Sedangkan penelitian mengenai kesantunan berbahasa sangatlah banyak diteliti. Ketidaksantunan merupakan fenomena baru yang ada dalam kajian pragmatik. Pendidik dianggap sebagai seseorang yang sering menggunakan bahasa yang santun dalam berkomunikasi, terutama dalam kesehariannya di lingkungan sekitar, seperti di lingkungan pendidikan. Profesi sebagai pendidik dijadikan acuan dalam penggunaan bahasa yang santun. Inilah yang menggerakkan niat peneliti untuk menguak adakah ketidaksantunan linguistik dan pragmatik dalam ranah keluarga pendidik. Sumber data penelitian ini adalah keluarga pendidik, baik itu guru TK, SD, SMP/ MTS, dan SMA/ MA, bahkan dosen, dari negeri maupun swasta yang ada di Kotamadya Yogyakarta.


(24)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan fokus penelitian di atas, kemudian dibuat rumusan masalahnya sebagai berikut.

1) Wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik apa sajakah yang terdapat dalam ranah keluarga pendidik di Kotamadya Yogyakarta?

2) Penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik apa sajakah yang digunakan oleh keluarga pendidik di Kotamadya Yogyakarta?

3) Maksud apa sajakah yang mendasari penutur menggunakan bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga pendidik di Kotamadya Yogyakarta?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Mendeskripsikan wujud-wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik dalam ranah keluarga pendidik di Kotamadya, Yogyakarta.

2) Mendeskripsikan penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik dalam ranah keluarga pendidik di Kotamadya Yogyakarta.

3) Mendeskripsikan maksud yang mendasari penutur menggunakan bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga pendidik di Kotamadya Yogyakarta.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan hasil dan manfaat bagi berbagai pihak. Manfaat-manfaat tersebut antara lain sebagai berikut.


(25)

a. Manfaat Teoretis :

1) Penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu bahasa, khususnya pragmatik di Prodi PBSI.

2) Berbagai kajian teori yang digunakan dalam penelitian ini dapat memperluas kajian dan memperkaya khasanah teoretis tentang ketidaksantunan dalam berbahasa sebagai fenomena pragmatik baru. b. Manfaat Praktis

1) Kajian ini akan dapat digunakan oleh para praktisi dalam bidang keluarga untuk mempertimbangkan bentuk-bentuk ketidaksantunan berbahasa yang harus dihindari dalam praktik berkomunikasi.

2) Kajian ini akan dapat memperkuat pendidikan karakter dalam lingkup keluarga yang merupakan faktor sangat penting dan berpengaruh bagi pembentukan karakter bangsa.

1.5 Sistematika Penyajian

Penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab I adalah bab pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penyajian.

Bab II berisi landasan teori yang digunakan untuk menganalisis masalah-masalah yang diteliti, yaitu ketidaksantunan berbahasa. Teori-teori yang dikemukakan dalam bab II ini adalah teori tentang (1) penelitian-penelitian yang relevan, (2) teori pragmatik, (3) fenomena pragmatik, (4) teori ketidaksantunan, (5) unsur segmental, dan (6) unsur suprasegmental.


(26)

Bab III berisi metode penelitian yang memuat tentang cara dan prosedur yang akan digunakan oleh peneliti untuk memperoleh data. Dalam bab III diuraikan (1) jenis penelitian, (2) data dan sumber data penelitian, (3) metode dan teknik pengumpulan data, (4) instrumen penelitian, (5) metode dan teknik analisis data, dan (5) sajian hasil analisis data.

Bab IV berisi tentang (1) deskripsi data dan (2) hasil penelitian dan pembahasan. Bab V berisi tentang kesimpulan penelitian dan saran untuk penelitian selanjutnya berkaitan dengan penelitian ketidaksantunan berbahasa.


(27)

8 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Berikut ini adalah uraian mengenai kajian pustaka meliputi penelitian yang relevan, landasan teori, dan kerangka berpikir. Penelitian yang relevan berisi tinjauan terhadap topik-topik sejenis yang dilakukan oleh peneliti-peneliti lain. Landasan teori berisi tentang teori-teori yang digunakan untuk memecahkan masalah dalam penelitian, teori-teori itu seperti teori pragmatik, fenomena pragmatik, teori ketidaksantunan berbahasa, konteks, unsur segmental dan unsur suprasegmental. Kerangka berpikir berisi tentang acuan teori yang digunakan dalam penelitian ini. Penelitian terdahulu dan teori yang relevan digunakan untuk menjawab rumusan masalah.

2.1 Penelitian yang Relevan

Penelitian ketidaksantunan berbahasa ini belum banyak diteliti. Hal ini menyebabkan peneliti sulit menemukan contoh penelitian yang relevan. Penelitian mengenai ketidaksantunan berbahasa merupakan kajian baru yang belum banyak diteliti oleh para ahli bahasa. Penelitian mengenai kesantunan berbahasa di berbagai ranah kehidupan sudah banyak diteliti. Peneliti menemukan empat penelitian yang relevan mengenai ketidaksantunan berbahasa. Peneliti yang terdahulu adalah Caecilia Petra Gading May Widyawari (2013), Olivia Melissa Puspitarini (2013), Elizabeth Rita Yuliastuti (2013), dan Agustina Galuh Eka Noviyanti (2013).


(28)

Penelitian yang relevan tentang ketidaksantunan pernah dilakukan oleh Caecilia Petra Gading May Widyawari (2013) dengan judul Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Berbahasa Antarmahasiswa Program Studi PBSID

Angkatan 2009—2011 Universitas Sanata Dharma. Jenis penelitian ini adalah

penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini mendeskripsikan wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa, penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa, serta makna ketidaksantunan berbahasa yang digunakan antarmahasiswa PBSID Angkatan 2009—2011 di Universitas Sanata Dharma. Peneliti menggunakan dua metode dalam penelitan ini, pertama metode

simak dengan teknik dasar berupa teknik sadap dan teknik lanjutan berupa teknik simak libat cakap dan teknik cakap, kedua metode cakap dengan teknik dasar

berupa teknik pancing dan dua teknik lanjutan berupa teknik lanjutan cakap semuka dan tansemuka. Simpulan dari penelitian ini adalah (1) wujud ketidaksantunan linguistik dapat dilihat dari tuturan antarmahasiswa yang terdiri dari melecehkan muka, sembrono, mengancam muka dan menghilangkan muka. Lalu wujud ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks (penutur, mitra tutur, situasi, suasana, tindak verbal, tindak perlokusi dan tujuan tutur), (2) penanda ketidaksantunan linguistik yang ditemukan berupa nada, tekanan, intonasi, dan diksi. Penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks tuturan yang berupa penutur dan mitra tutur, situasi dan suasana, tindak verbal, tindak perlokusi, dan tujuan tutur, dan (3) makna ketidaksantunan berbahasa, yaitu: a) melecehkan muka, ejekan penutur kepada mitra tutur dan dapat melukai hati, b) memain-mainkan muka, membingungkan


(29)

mitra tutur dan itu menjengkelkan, c) kesembronoan, bercanda yang menyebabkan konflik, d) menghilangkan muka, mempermalukan mitra tutur di depan banyak orang, dan e) mengancam muka, menyebabkan ancaman pada mitra tutur.

Penelitian serupa dilakukan oleh Olivia Melissa Puspitarini (2013) yang diberi judul Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Berbahasa antara Dosen dan Mahasiswa Program Studi PBSID, FKIP, USD, Angkatan 2009—2011.

Peneliti menjadikan dosen dan mahasiswa Program Studi PBSID sebagai sumber data dari penelitian deskriptif kualitatif ini. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode simak dan metode cakap, dengan menggunakan instrumen berupa panduan wawancara, daftar pertanyaan pancingan, dan daftar kasus. Penelitian ini juga menemukan hasil serupa seperti penelitian sebelumnya, yakni pertama, wujud ketidaksantunan linguistik berdasarkan tuturan lisan dan

wujud ketidaksantunan pragmatik berbahasa, yaitu uraian konteks tuturan tersebut. Kedua, penanda ketidaksantunan linguistik, yaitu nada, intonasi, tekanan,

dan diksi, serta penanda pragmatik yaitu konteks yang menyertai tuturan, yakni penutur, mitra tutur, situasi, dan suasana. Ketiga, makna ketidaksantunan

linguistik dan pragmatik berbahasa meliputi: 1) melecehkan muka, yakni penutur menyindir atau mengejek mitra tutur, 2) memainkan muka, yakni penutur membuat jengkel dan bingung mitra tutur, 3) kesembronoan yang disengaja, yakni penutur bercanda kepada mitra tutur dan mitra tutur terhibur namun candaan tersebut dapat menimbulkan konflik bila candaan tersebut ditanggapi secara berlebihan, 4) menghilangkan muka, yakni penutur mempermalukan mitra tutur di


(30)

depan banyak orang, dan 5) mengancam muka, yakni penutur memberikan ancaman atau tekanan kepada mitra tutur yang menyebabkan mitra tutur terpojok.

Elizabeth Rita Yuliastuti (2013) juga melakukan penelitian yang sama dan diberi judul Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Berbahasa antara Guru dan Siswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2012/2013.

Pengumpulan data pada penelitian ini juga dilakukan dengan menggunakan metode simak dan metode cakap. Pada penelitian ini, peneliti menemukan bahwa

Pertama, wujud ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan tuturan lisan

yang tidak santun antara guru dan siswa yang berupa tuturan melecehkan muka, memain-mainkan muka, kesembronoan, mengancam muka, dan menghilangkan muka, sedangkan wujud ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan uraian konteks berupa penutur, mitra tutur, tujuan tutur, situasi, suasana, tindak verbal, dan tindak perlokusi yang menyertai tuturan tersebut. Kedua, penanda

ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan nada, tekanan, intonasi, dan diksi, serta penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks yang menyertai tuturan, yakni penutur, mitra tutur, situasi, suasana, tujuan tutur, tindak verbal, dan tindak perlokusi. Ketiga, makna ketidaksantunan (1)

melecehkan muka, yakni hinaan dan ejekan dari penutur kepada mitra tutur hingga melukai hati mitra tutur, (2) memain-mainkan muka, yakni tuturan yang membuat bingung mitra tutur sehingga mitra tutur menjadi jengkel karena sikap penutur yang tidak seperti biasanya, (3) kesembronoan yang disengaja, yakni penutur bercanda kepada mitra tutur sehingga mitra tutur terhibur, tetapi candaan tersebut dapat menimbulkan konflik, (4) mengancam muka, yakni penutur


(31)

memberikan ancaman kepada mitra tutur sehingga mitra tutur merasa terpojokkan, dan (5) menghilangkan muka, yakni penutur mempermalukan mitra tutur di depan banyak orang.

Peneliti keempat adalah Agustina Galuh Eka Noviyanti (2013) dengan judul penelitiannya adalah Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Berbahasa Antarsiswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2012/2013. Jenis

penelitian yang dilakukan oleh Agustina Galuh Eka Noviyanti ini serupa dengan penelitian sebelumnya, yaitu penelitian deskriptif kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak dan metode cakap dengan teknik sadap dan teknik pancing, dengan instrumen berupa pedoman atau panduan wawancara (daftar pertanyaan), pancingan, daftar kasus, dan peneliti sendiri. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode kontekstual. Penelitian ini menjawab tiga masalah tentang (a) wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa apa saja yang digunakan oleh antarsiswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta, (b) penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa apa saja yang digunakan antarsiswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta, dan (c) apakah makna penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa yang digunakan antarsiswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta.

Penelitian ini tidak jauh berbeda dari penelitian yang telah disebutkan sebelumnya. Penelitian ini hanya dibedakan dari ranahnya saja. Penelitian sebelumnya mengacu pada fenomena ketidaksantunan berbahasa dalam ranah pendidikan, sedangkan penelitian ini mengarah pada fenomena ketidaksantunan


(32)

berbahasa dalam ranah keluarga pendidik di Kotamadya Yogyakarta. Penelitian ketidaksantunan berbahasa ini juga merupakan jenis penelitian deskriptif yang menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dalam metode simak adalah teknik catat dan rekam, serta teknik observasi. Sedangkan untuk metode cakap adalah teknik pancing. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah panduan wawancara (daftar pertanyaan yang digunakan berupa kasus yang dapat memunculkan tuturan ketidaksantunan berbahasa). Metode dan teknik analisis data dilihat dari segi pragmatik dan linguistik. Pertama; linguistik,

menggunakan metode padan intralingual, teknik dasar teknik hubung banding yang bersifat lingual. Kedua; pragmatik, menggunakan metode ekstralingual,

teknik dasar teknik hubung banding yang bersifat ekstralingual. Data yang telah dianalisis, hasilnya berupa wujud-wujud atau bentuk, penanda, dan maksud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik dalam ranah keluarga pendidik di Kotamadya Yogyakarta.

2.2 Pragmatik

Pragmatik merupakan studi tentang bagaimana orang lain saling memahami satu sama lain dalam bertutur. Selain itu, seseorang juga harus memahami apa yang ada dalam pikiran orang lain sebagai lawan tuturnya. Pragmatik mengarahkan supaya seseorang harus menggali makna/maksud yang masih tersamarkan pada orang lain.

Yule menguraikan empat ruang lingkup dalam pragmatik. Ruang lingkup itu adalah: pertama, pragmatik adalah studi tentang maksud penutur; kedua,


(33)

tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan daripada yang dituturkan; dan keempat; pragmatik adalah studi tentang ungkapan dari jarak hubungan (Yule,

2006: 3-4). Konsep lain yang dikemukakan oleh Levinson (1983) via Nadar (2009:4) tentang pragmatik merupakan kajian hubungan antara bahasa dan konteks yang tergramatikalisasi atau terkodifikasi dalam struktur bahasa.

Jacob L. Mey (1983) via Rahardi mendefinisikan sosok pragmatik seperti berikut ini. Pragmatics is the study of the conditions of human language uses as these are determined by the context of society. Jadi, pragmatik adalah ilmu bahasa

yang mempelajari pemakaian atau penggunaan bahasa, yang pada dasarnya selalu harus ditentukan oleh konteks situasi tutur di dalam masyarakat dan wahana kebudayaan yang mewadahi dan melatarbelakanginya (Rahardi, 2003:15).

Konsep lain tentang pragmatik oleh Huang (2007:2), yakni “Pragmatics is the study of linguistic acts and the contexts in which they are performed.” Artinya

bahwa pragmatik adalah ilmu yang mempelajari tentang perilaku linguistik dan konteksnya dimana mereka digunakan. Definisi lain mengenai pragmatik yaitu,

“pragmatics is the systematic study of meaning by virtue of, dependent on, the use of language. The central topics of inquiry of pragmatics include implicature,

presupposition, speech acts, and deixis.” Artinya bahwa pragmatik adalah

pembelajaran yang sistematis mengenai arti terutama yang tergantung pada penggunaan bahasa. Pokok bahasan yang utama dalam kajian pragmatik meliputi implikatur, praanggapan, tindak tutur, dan deiksis.

Seseorang harus memahami situasi dan kondisi lawan tutur saat terjadi percakapan, jangan sampai salah bertutur hingga terjadi salah paham. Pragmatik


(34)

merupakan cabang linguistik yang mempelajari bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dalam situasi tertentu. Pragmatik tidak pernah lepas dari istilah konteks yang menjadi pijakan utamanya.

2.3 Fenomena Pragmatik

Studi pragmatik mengajak seseorang untuk memahami orang lain ketika bertutur kata. Seseorang harus mengerti bagaimana konteks saat itu. Fenomena-fenomena yang sering muncul dalam ilmu pragmatik, yaitu praanggapan, tindak tutur, implikatur, deiksis, dan kesantunan. Semua fenomena itu akan dijelaskan sebagai berikut.

2.3.1. Praanggapan/ Presupposisi

Ada suatu anggapan bahwa ketika seorang penutur menyampaikan informasi tertentu mengganggap bahwa pendengar telah mengetahuinya. Karena informasi tertentu itu dianggap sudah diketahui, maka informasi yang demikian biasanya tidak dinyatakan dan akibatnya akan menjadi bagian dari apa yang disampaikan tetapi tidak dikatakan. Praanggapan merupakan suatu fenomena pragmatik mengenai beberapa aspek makna yang tidak tampak.

Yule (1996) dalam bukunya Pragmatics yang diterjemahkan oleh Wahyuni

(2006:43–52) dengan judul Pragmatik mendeskripsikan praanggapan/ pesupposisi

adalah sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan. Yule juga membagi presupposisi menjadi 6 jenis, yaitu eksistensial, faktif, non-faktif, leksikal, struktural, dan konterfaktual/ faktual tandingan. Tidak jauh berbeda dengan yang diungkapkan oleh Rahardi (2005:42)


(35)

bahwa sebuah tuturan dapat dikatakan mempraanggapkan tuturan yang lain apabila ketidakbenaran tuturan yang dipresuposisikan mengakibatkan kebenaran atau ketidakbenaran tuturan yang mempresuposisikan tidak dapat dikatakan.

Berdasarkan uraian di atas, praanggapan/ presuposisi merupakan suatu makna dari tuturan si penutur yang masih tersirat dan belum diungkapkan kepada mitra tutur.

2.3.2. Tindak Tutur

Tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan biasanya disebut tindak tutur dan dalam bahasa Inggris secara umum diberi label yang lebih khusus, misalnya permintaan maaf, keluhan, pujian, undangan, janji atau permohonan. Pada suatu saat, tindakan yang ditampilkan dengan menghasilkan suatu tuturan akan mengandung 3 tindak yang saling berhubungan. Yang pertama adalah tindak lokusi, yang merupakan tindak dasar tuturan atau menghasilkan suatu ungkapan

linguistik yang bermakna.

Kebanyakan kita tidak hanya menghasilkan tuturan-tuturan yang terbentuk dengan baik tanpa suatu tujuan. Kita membentuk tuturan dengan beberapa fungsi di dalam pikiran. Ini adalah dimensi kedua, atau tindak ilokusi. Tindak ilokusi

ditampilkan melalui penekanan komunikatif suatu tuturan. Suatu tuturan itu bisa berupa pernyataan, tawaran, penjelasan atau maksud komunikatif lainnya.

Tentu kita tidak secara sederhana menciptakan tuturan yang memiliki fungsi tanpa memaksudkan tuturan itu memiliki akibat. Inilah dimensi ketiga, tindak perlokusi. Dengan bergantung pada keadaan, jika ada yang menuturkan “Saya


(36)

yang ditimbulkan (misalnya; untuk menerangkan suatu aroma yang luar biasa, atau meminta pendengar untuk minum kopi). Ini biasanya juga dikenal sebagai akibat perlokusi.

Sistem klasifikasi umum mencantumkan 5 jenis fungsi umum yang ditunjukkan oleh tindak tutur, yaitu deklarasi, representatif, ekspresif, direktif, dan komisif (Yule, 2006:92–94). Pertama; deklarasi adalah jenis tindak tutur yang

mengubah dunia melalui tuturan, contoh: Pastor : Sekarang saya menyebut Anda berdua suami-istri. Seperti contoh tersebut menggambarkan, penutur harus

memiliki peran institusional khusus, dalam konteks khusus, untuk menampilkan suatu deklarasi secara tepat. Pada waktu menggunakan deklarasi penutur mengubah dunia dengan kata-kata.

Kedua; representatif ialah jenis tindak tutur yang menyatakan apa yang

diyakini penutur kasus atau bukan. Pernyataan suatu fakta, penegasan, kesimpulan, dan pendeskripsian, contoh : Bumi itu datar. Itu merupakan contoh

dunia sebagai sesuatu yang diyakini oleh penutur yang menggambarkannya. Pada waktu menggunakan sebuah representatif, penutur mencocokkan kata-kata dengan dunia (kepercayaannya).

Ketiga; ekspresif ialah jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang

dirasakan oleh penutur. Tindak tutur itu mencerminkan pernyataan-pernyataan psikologis dan dapat berupa pernyataan kegembiraan, kesulitan, kesukaan, kebencian, kesenangan, atau kesengsaraan, contoh: Sungguh, saya minta maaf.

Tindak tutur itu mungkin disebabkan oleh sesuatu yang dilakukan oleh penutur atau pendengar, tetapi semuanya menyangkut pengalaman penutur.


(37)

Keempat; direktif ialah jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk

menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Jenis tindak tutur ini menyatakan apa yang menjadi keinginan penutur. Tindak tutur ini meliputi; perintah, pemesanan, permohonan, pemberian saran, dan bentuknya dapat berupa kalimat positif dan negatif, contoh 1: Berilah aku secangkir kopi. Buatkan kopi pahit; contoh 2: Jangan menyentuh itu!

Kelima; komisif ialah jenis tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk

mengaitkan dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan datang. Tindak tutur ini menyatakan apa saja yang dimaksudkan oleh penutur. Tindak tutur ini dapat berupa janji, ancaman, penolakan, dan ikrar, contoh: Saya akan kembali.

Pada waktu menggunakan komisif, penutur berusaha untuk menyesuaikan dunia dengan kata-kata (lewat penutur).

2.3.3. Implikatur

Yule (2006:61) berpendapat tentang konsep implikatur, yaitu seorang pendengar mendengar ungkapan dari seorang penutur, dan dia harus berasumsi bahwa penutur sedang melaksanakan kerja sama dan bermaksud untuk menyampaikan informasi. Informasi itu tentunya memiliki makna yang lebih banyak daripada kata-kata yang dikeluarkan oleh penutur. Makna itulah yang disebut dengan implikatur. Jadi bisa diartikan bahwa, implikatur merupakan maksud yang tersirat di balik tuturan atau ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Implikatur merupakan contoh utama dari banyaknya informasi yang disampaikan daripada yang dikatakan. Supaya implikatur-implikatur tersebut dapat ditafsirkan maka beberapa prinsip kerja sama


(38)

dasar harus lebih dini diasumsikan dalam pelaksanaannya (Yule, 2006:62). Yule juga mengklasifikasikan implikatur menjadi lima, yaitu implikatur percakapan, implikatur percakapan umum, implikatur berskala, implikatur percakapan khusus, dan implikatur konvensional.

Mey (1993:99) via Nadar (2009:60) menjelaskan bahwa implikatur

“implicature” berasal dari kata kerja to imply, sedangkan kata bendanya adalah

implication. Kata kerja ini berasal dari bahasa latin plicare yang berarti to fold

“melipat”, sehingga untuk mengerti apa yang dilipat atau disimpan tersebutlah haruslah dilakukan dengan cara membukanya. Dalam rangka memahami apa yang dimaksudkan oleh seorang penutur, lawan tutur harus selalu selalu melakukan interpretasi pada tuturan-tuturannya.

Konsep lain diungkapkan Grice (1975) melalui Rahardi (2005:43) menyatakan bahwa sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan tersebut. Proposisi yang diimplikasikan itu dapat disebut dengan implikatur percakapan.

Berdasarkan pendapat di atas, konsep mengenai implikatur dapat dirangkum menjadi suatu makna yang ada di balik tuturan seseorang yang masih tersamarkan atau tersirat disebut implikatur.

2.3.4. Deiksis

Semua ungkapan deiksis ditemukan dalam ilmu pragmatik. Penafsiran seseorang tentang suatu ujaran tergantung pada konteks, maksud penutur, dan ungkapan-ungkapan itu mengungkapkan jarak hubungan. Ungkapan-ungkapan dieksis selalu menyampaikan lebih banyak hal daripada yang diucapkan.


(39)

Pemakaian kata-kata yang mengacu pada orang dan benda merupakan peristiwa yang terjadi secara relatif langsung.

Deiksis adalah istilah teknis (dari bahasa Yunani) untuk salah satu hal mendasar yang kita lakukan dengan tuturan. Deiksis berarti ‘penunjukan’ melalui bahasa. Bentuk linguistik yang dipakai untuk menyelesaikan ‘penunjukan’ disebut ungkapan deiksis (Yule, 2006:13). Yule (2006) membagi deiksis menjadi tiga, yaitu deiksis persona untuk menunjuk orang, deiksis spasial untuk menunjuk tempat, dan deiksis temporal untuk menunjuk waktu.

Yule (2006:26) juga menambahkan mengenai penafsiran deiksis yang tergantung pada konteks, maksud penutur, dan ungkapan-ungkapan itu mengungkapan jarak hubungan. Diberikannya ukuran kecil dan rentangan yang sangat luas dari kemungkinan pemakainya, ungkapan-ungkapan deiksis selalu menyampaikan lebih banyak hal daripada yang diucapkan.

Nadar (2009:54–55) mengungkapkan hal serupa mengenai deiksis, yaitu seorang penutur yang berbicara dengan lawan tuturnya seringkali menggunakan kata-kata yang menunjuk baik pada orang, waktu, maupun tempat. Kata-kata yang lazim disebut dengan deiksis tersebut berfungsi menunjuk sesuatu, sehingga keberhasilah suatu interaksi antara penutur dan lawan tutur sedikit banyak akan tergantung pada pemahaman deiksis yang dipergunakan oleh seorang penutur.

Ungkapan-ungkapan deiksis ada dalam kajian pragmatik. Penafsirannya tergantung pada konteks, maksud penutur, dan ungkapan-ungkapan itu mengungkapkan jarak hubungan. Secara garis besar, pemakaian kata-kata yang


(40)

mengacu pada orang dan benda merupakan peristiwa yang terjadi secara relatif langsung.

2.3.5 Kesantunan Berbahasa

Seseorang menyampaikan maksud kepada orang lain menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya. Penggunaan bahasa yang baik dan benar belumlah cukup, namum harus disertai dengan kesantunan. Penggunaan bahasa yang santun sudah sepantasnya diterapkan ketika seseorang melakukan komunikasi. Seseorang yang mampu bertutur kata secara halus dan santun tentu akan mudah diterima di masyarakat. Bahasa juga merupakan cermin kepribadian seseorang. Seandainya perilaku bahasa setiap orang demikian santun ketika berkomunikasi menggunakan bahasa yang verbal maupun non verbal, rasa kebencian, rasa curiga, sikap berprasangka buruk pada orang lain tidak perlu ada. Jika demikian, terciptalah kahidupan bermasyarakat yang bahagia dan sejahtera.

Pranowo (2009:3) menjelaskan bahasa verbal adalah bahasa yang diungkapkan dengan kata-kata dalam bentuk ujaran atau tulisan, sedangkan bahasa nonverbal adalah bahasa yang diungkapkan dalam bentuk mimik, gerak gerik tubuh, sikap atau perilaku. Selain penggunaan bahasa yang berupa kata-kata atau ujaran, terdapat pula bahasa nonverbal berupa mimik, gerak gerik tubuh, sikap atau perilaku yang mendukung pengungkapan kepribadian seseorang.

Ketika berkomunikasi, selain menggunakan bahasa yang baik dan benar, perlu diterapkan juga kesantunan dalam setiap tindak bahasa. Struktur bahasa yang santun adalah struktur bahasa yang disusun oleh penutur/penulis agar tidak menyinggung perasaan pendengar atau pembaca (Pranowo, 2009:4). Berbahasa


(41)

secara baik, benar, dan santun dapat menjadi kebiasaan yang mampu membentuk perilaku seseorang menjadi lebih baik.

Pada kenyataannya, penggunaan bahasa santun belum banyak diterapkan dalam komunikasi sehari-hari. Ada beberapa alasan yang mendasari hal tersebut, antara lain (a) tidak semua orang memahami kaidah kesantunan, (b) ada yang memahami kaidah tetapi tidak mahir menggunakan kaidah kesantunan, (c) ada yang mahir menggunakan kaidah kesantunan dalam berbahasa, tetapi tidak mengetahui bahwa yang digunakan adalah kaidah kesantunan, dan (d) tidak memahami kaidah kesantunan dan tidak mahir berbahasa secara santun (Pranowo, 2009:51).

Pemakaian bahasa, baik santun maupun tidak dapat dilihat dari dua hal, yaitu pilihan kata (diksi) dan gaya bahasa. Pilihan kata yang dimaksud adalah ketepatan pemakaian kata untuk mengefektifkan pesan dalam konteks tertentu sehingga menimbulkan efek tertentu pada mitra tutur. Sedangkan, untuk memperindah tuturan dan kehalusan budi pekerti penutur, seseorang dapat menggunakan gaya bahasa. Beberapa gaya bahasa yang dapat digunakan untuk melihat santun tidaknya pemakaian bahasa dalam bertutur, antara lain; majas hiperbola, majas perumpamaan, majas metafora, dan majas eufemisme. Selain hal tersebut, Pranowo (2009:76–79) menjelaskan adanya dua aspek penentu kesantunan, yaitu aspek kebahasaan dan aspek nonkebahasaan. Aspek kebahasaan meliputi aspek intonasi (keras lembutnya intonasi ketika seseorang berbicara), aspek nada bicara (berkaitan dengan suasana emosi penutur: nada resmi, nada bercanda atau bergurau, nada mengejek, nada menyindir), faktor pilihan kata, dan


(42)

faktor struktur kalimat. Sedangkan aspek nonkebahasaan berupa pranata sosial budaya masyarakat (misalnya aturan anak kecil yang harus selalu hormat kepada orang yang lebih tua), pranata adat (seperti jarak bicara antara penutur dengan mitra tutur).

Banyak ahli yang mengemukakan pendapat berkaitan dengan indikator kesantunan dalam berbahasa. Indikator adalah penanda yang dapat dijadikan penentu apakah pemakaian bahasa seseorang dapat dikatakan santun atau tidak.

Dell Hymes menyatakan bahwa ketika seseorang berkomunikasi hendaknya

memerhatikan beberapa komponen tutur yang meliputi latar, peserta, tujuan komunikasi, pesan yang ingin disampaikan, bagaimana pesan itu disampaikan, pranata sosial kemasyarakatan, dan ragam bahasa yang digunakan. Berbeda dengan Grice yang lebih menekankan tata cara ketika berkomunikasi. Kemudian

Leech, memandang prinsip kesantunan sebagai piranti untuk menjelaskan alasan penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya.

Pranowo mengemukakan indikator kesantunan berupa nilai-nilai luhur yang

mendukung kesantunan, yaitu sikap rendah hati. Sikap rendah hati seseorang dapat tumbuh dan berkembang jika seseorang mampu memanifestasikan nilai-nilai lain, seperti tenggang rasa (angon rasa, adu rasa), angon wayah, mau

berkorban, mawas diri, empan papan, dan sebagainya.

2.3.6. Ketidaksantunan Berbahasa

Kajian pragmatik mengandung lima fenomena yang terjadi dalam mengatasi permasalah bahasa yang terjadi dalam kehidupan bersama di masyarakat. Seiring berkembangnya zaman, pragmatik menemukan fenomena baru yang menarik


(43)

untuk dikaji lebih dalam, yaitu fenomena ketidaksantunan berbahasa. Sepintas lalu, kata ketidaksantunan merupakan lawan dari kata kesantunan. Namun, pada dasarnya kata ketidaksantunan bukanlah lawan kata dari kesantunan.

Pranowo (2006:68––75) memaparkan tentang beberapa fakta yang menunjukkan pemakaian bahasa secara tidak santun. Berikut ini akan diuraikan fakta-fakta yang terdapat dalam kehidupan bermasyarakat yang akhirnya menimbulkan bahasa yang tidak santun.

Pertama; penutur menyampaikan kritik secara langsung (menohok mitra

tutur) dengan kata-kata atau frasa kasar. Misalnya terdapat kata “payah” dan “penakut” yang menunjuk pada seorang presiden/ pemimpin. Pemakaian bahasa yang demikian dalam bertutur kata jelas dapat menyinggung perasaan mitra tutur yang menjadi sasaran kritik.

Kedua; penutur didorong rasa emosi ketika bertutur. Ketika bertutur,

penutur didorong rasa emosi yang berlebihan sehingga terkesan marah kepada mitra tutur.

Ketiga; penutur protektif terhadap pendapatnya. Ketika bertutur, seseorang

kadang-kadang protektif terhadap pendapatnya. Hal demikian dimaksudkan agar tuturan mitra tutur tidak dipercaya oleh pihak lain. Penutur yang ingin meyakinkan publik bahwa apa yang dilakukannya benar dan yang dilakukan oleh mitra tutur salah, inilah yang membuat tuturan menjadi tidak santun.

Keempat; penutur sengaja ingin memojokkan mitra tutur dalam bertutur.

Ketika bertutur, penutur sengaja ingin memojokkan mitra tutur dalam bertutur. Dengan demikian, mitra tutur menjadi tidak berdaya. Misalnya penggunaan


(44)

kata-kata keras dan kasar, menunjukkan bahwa penutur berbicara dengan nada marah, rasa jengkel, dan memojokkan mitra tutur, inilah yang menggambarkan pemakaian bahasa yang tidak santun.

Kelima; penutur menyampaikan tuduhan atas dasar kecurigaan terhadap

mitra tutur. Tuturan tidak santun karena isi tuturan tidak didukung dengan bukti yang kuat, tetapi hanya atas dasar kecurigaan.

2.4 Teori-teori Ketidaksantunan

Ketidaksantunan berbahasa merupakan fenomena baru yang menjadi perhatian dalam kajian pragmatik. Dengan demikian, tidak banyak buku dan ahli bahasa yang membahas tentang teori ketidaksantunan berbahasa. Namun, Rahardi (2012) dalam presentasinya “Penelitian Kompetensi: Ketidaksantunan Pragmatik dan Linguistik Berbahasa dalam Ranah Keluarga (Family Domain)”

memperlihatkan beberapa ahli telah mengkaji fenomena ini yang bersumber dari buku yang berjudul Impoliteness in Language: Studies on its Interplay with Power in Teory and Practice yang disusun oleh Bousfield dan Locher (2008). Berikut

adalah pemaparan dari beberapa ahli tentang ketidaksantunan berbahasa. 2.4.1 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher

Dalam pandangan Miriam A Locher (Derek Bousfield & Mariam A. Locher, 2008:3), ketidaksantunan dalam berbahasa dapat dipahami sebagai berikut, ‘…behaviour that is face-aggravating in a particular context.’ Jadi

intinya, ketidaksantunan berbahasa itu menunjuk pada perilaku ‘melecehkan’ muka (face-aggravate).


(45)

Perilaku melecehkan muka itu sesungguhnya lebih dari sekadar

‘mengancam’ muka (face-threaten), seperti yang ditawarkan dalam banyak

definisi kesantunan klasik Leech (1983), Brown and Levinson (1987), atau sebelumnya pada tahun 1978, yang cenderung dipengaruhi konsep muka Erving Goffman (Rahardi, 2009).

Interpretasi lain yang berkaitan dengan definisi Locher terhadap ketidaksantunan berbahasa ini adalah bahwa tindakan tersebut sesungguhnya bukanlah sekadar perilaku ‘melecehkan muka’, melainkan perilaku yang ‘memain

-mainkan muka’.

Jadi, ketidaksantunan berbahasa dalam pemahaman Miriam A. Locher adalah sebagai tindak berbahasa yang melecehkan dan memain-mainkan muka, sebagaimana yang dilambangkan dengan kata ‘aggravate’ itu. Teori dari perilaku

ketidaksantunan berbahasa ini dapat dicontohkan dalam situasi berikut ini.

Situasi:

Di dalam kamar ada ibu dan anak sedang bersiap-siap hendak pergi ke pesta pernikahan saudara mereka di desa sebelah. Sang ibu mengomentari rambut anak lelakinya.

Wujud bahasa:

Ibu : “Pulang dari Jogja kok rambutmu jadi gak hitam lagi, Bang?” Anak : “Ini model rambut tahun 2013, Bu. Aku kan anak gaul... Keren

kan, Bu... Hahaha”

Ibu : “Ooo, anak gaul itu kalau rambutnya kaya rambut jagung gitu to, Bang! Sering panasan di luar po?”

Informasi indeksal :

Tuturan di atas disampaikan oleh seorang ibu kepada anak laki-lakinya ketika sedang bersiap-siap pergi ke pesta pernikahan saudara di desa sebelah. Dari


(46)

percakapan tersebut diketahui bahwa sang ibu mengejek rambut anak laki-lakinya setelah pulang dari Jogja. Hal tersebut ditunjukkan dari tuturan ibu dengan kalimat rambutnya kaya rambut jagung gitu to, Bang! Sering panasan di luar po?, kalimat tersebut menandakan bahwa terdapat tuturan tidak santun, meskipun

disampaikan dengan nada sedang namun tuturan tersebut dapat menyinggung perasaan mitra tutur. Berdasarkan contoh percakapan diatas dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa menurut pandangan Locher mengacu pada bentuk penggunaan tuturan dari penutur yang memiliki maksud untuk melecehkan dan menyinggung perasaan mitra tuturnya.

2.4.2 Teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Bousfield

Dalam pandangan Bousfield (Derek Bousfield & Mariam A. Locher, 2008:3), ketidaksantunan dalam berbahasa dipahami sebagai, ‘The issuing of intentionally gratuitous and conflictive face-threatening acts (FTAs) that are

purposefully perfomed.’ Bousfield memberikan penekanan pada dimensi

‘kesembronoan’ (gratuitous), dan konfliktif (conflictive) dalam praktik berbahasa

yang tidak santun itu.

Jadi, apabila perilaku berbahasa seseorang itu mengancam muka, dan ancaman terhadap muka itu dilakukan secara sembrono (gratuitous), hingga

akhirnya tindakan berkategori sembrono demikian itu mendatangkan konflik, atau bahkan pertengkaran, dan tindakan tersebut dilakukan dengan kesengajaan

(purposeful), maka tindakan berbahasa itu merupakan realitas ketidaksantunan.

Teori dari perilaku ketidaksantunan berbahasa ini dapat dicontohkan dalam situasi berikut ini.


(47)

Situasi :

Ketika sedang makan siang, bapak dan ibu bercakap-cakap di meja makan. Ibu mengeluh karena sudah menunggu bapak yang tidak kunjung datang menjemput hingga ibu pulang diantar salah satu guru di sekolahnya. Bapak tidak kunjung datang, padahal sudah tidak ada jam mengajar lagi dan hanya ngobrol dengan guru lainnya di kantor guru. Bapak dan ibu beda sekolah, tempat mengajar.

Wujud bahasa :

Ibu : “Ada rapat di sekolah po, Pak? Kok gak jemput!” Bapak : “Enggak! Nongkrong di kantor.”

Informasi indeksal :

Tuturan di atas tampak bahwa ibu ingin mendapatkan respon langsung dari bapak untuk menjelaskan mengapa tidak menjemput ke sekolah. Hal itu diperlihatkan dengan tuturan Ada rapat di sekolah po, Pak? Kok gak jemput!

Tuturan tersebut dibalas dengan komentar bapak yang santai seolah-olah bukan masalah besar bagi ibu. Hal itu dapat dilihat dari tuturan Nongkrong di kantor.

Yang menandakan bahwa tuturan tersebut tidak serius diucapkan oleh bapak. Jika mitra tutur menanggapi dengan serius tuturan tersebut, tidak dipungkiri bahwa akan timbul konflik diantara mereka. Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan menurut pandangan Bousfield ini lebih

menekankan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan yang berupa tuturan oleh penutur yang memiliki maksud selain untuk melecehkan dan menghina mitra tuturnya dengan tanggapan seenaknya sendiri secara sengaja dan dapat memungkinkan adanya konflik diantara mereka.


(48)

2.4.3 Teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Culpeper

Pemahaman Culpeper (Derek Bousfield & Mariam A. Locher, 2008:3) tentang ketidaksantunan berbahasa adalah, ‘Impoliteness, as I would define it,

involves communicative behavior intending to cause the “face loss” of a target or

perceived by the target to be so.’ Dia memberikan penekanan pada fakta ‘face

loss’ atau ‘kehilangan muka’—kalau dalam bahasa Jawa mungkin konsep itu

dekat dengan konsep ‘kelangan rai’ (kehilangan muka).

Jadi, ketidaksantunan (impoliteness) dalam berbahasa itu merupakan

perilaku komunikatif yang diperantikan secara intensional untuk membuat orang benar-benar kehilangan muka (face loss), atau setidaknya orang tersebut ‘merasa’

kehilangan muka. Teori dari perilaku ketidaksantunan berbahasa ini dapat dicontohkan dalam situasi berikut ini.

Situasi:

Ketika ada arisan ibu-ibu di rumah, ibu yang menegur anak gadisnya yang sudah semester 11 namun belum lulus kuliah S1. Anak tersebut baru pulang dari kampus.

Wujud bahasa :

Ibu : “Dari mana saja, Mbak?” Anak : “Dari kampuslah, Bu.”

Ibu : “Kamu ini sudah semester 11 tapi kok gak lulus-lulus sih.

Informasi indeksal:

Tuturan di atas tampak bahwa penutur mempermalukan mitra tutur dihadapan banyak orang ketika acara arisan. Hal ini nampak dalam tuturan sudah semester 11 tapi kok gak lulus-lulus sih. yang menandakan bahwa tuturan


(49)

disampaikan secara tidak santun karena mempermalukan anak gadisnya sendiri dihadapan banyak orang. Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Bousfield ini lebih menekankan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang memiliki maksud untuk mempermalukan mitra tutur.

2.4.4 Teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Terkourafi Terkourafi (Derek Bousfield & Mariam A. Locher, 2008:3) memandang ketidaksantunan sebagai, ‘impoliteness occurs when the expression used is not

conventionalized relative to the context of occurrence; it threatens the

addressee’s face but no face-threatening intention is attributed to the speaker by

the hearer.’ Jadi perilaku berbahasa dalam pandangannya akan dikatakan tidak

santun bilamana mitra tutur (addressee) merasakan ancaman terhadap kehilangan

muka (face threaten), dan penutur (speaker) tidak mendapatkan maksud ancaman

muka itu dari mitra tuturnya. Teori dari perilaku ketidaksantunan berbahasa ini dapat dicontohkan dalam situasi berikut ini.

Situasi:

Di siang yang terik sang adik baru pulang kuliah. Ia membawa surat undangan pernikahan mantan kekasih kakak perempuannya. Adik tahu bahwa sang kakak baru putus cinta kira-kira dua bulan yang lalu, namun mantannya tersebut sudah menemukan calon pasangan hidup. Sedangkan kakaknya belum punya pacar lagi. Di ruang keluarga ada semua anggota keluarga.


(50)

Wujud bahasa:

Adik : “Mbak, ini undangan pernikahan dari Abang. Calon pengantin perempuannya cantik kaya mbak.”

Mbak : “Iyalah, kamu pikir, kamu lebih cantik dari aku?

Informasi indeksal:

Tuturan tersebut menunjukkan bahwa adik meminta tanggapan dari kakaknya, namun tuturan yang dikeluarkan membuat sang kakak merasa jengkel dan tidak nyaman yaitu dengan tuturan undangan pernikahan dari Abang. Calon pengantin perempuannya cantik banget lho. Dari tuturan tersebut, kakak

menanggapinya dengan nada tinggi dan sinis yang mengancam muka secara sepihak terhadap adik. Tanggapan itu membuat mitra tutur merasa terancam muka dan malu dengan tuturan Iyalah. Kamu pikir, kamu lebih cantik dari aku?

Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa menurut pandangan Terkourafi lebih menekankan pada bentuk

penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang memiliki tujuan untuk mengancam muka sepihak mitra tuturnya tetapi di sisi lain penutur tidak menyadari bahwa perkataannya menyinggung mitra tutur.

2.4.5 Teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher and Watts

Locher and Watts berpandangan bahwa perilaku tidak santun adalah perilaku yang secara normatif dianggap negatif (negatively marked behavior),

lantaran melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Mereka juga menegaskan bahwa ketidaksantunan merupakan peranti untuk menegosiasikan hubungan antarsesama (a means to negotiate meaning).


(51)

Selengkapnya pandangan mereka tentang ketidaksantunan tampak berikut ini,

‘…impolite behaviour and face-aggravating behaviour more generally is as much

as this negation as polite versions of behavior.’ (Derek Bousfield & Mariam A.

Locher, 2008:5). Teori dari perilaku ketidaksantunan berbahasa ini dapat dicontohkan dalam situasi berikut ini.

Situasi:

Pagi hari di teras rumah berkumpullah bapak, ibu, dan anak-anaknya. Sang bapak menyuruh anaknya mengambilkan kunci motor karena bapak akan pergi. Pada prinsipnya, sang anak tahu jika memberikan sesuatu kepada orang lain menggunakan tangan kanan. Ketika menyerahkan kunci motor, sang anak menggunakan tangan kirinya.

Wujud bahasa:

Anak : “Ini kuncinya, Pak.” (memberikan kunci dengan tangan kiri)

Bapak : “Kamu sekolah dimana? Kalau memberikan sesuatu kepada orang lain itu menggunakan tangan kanan, tidak sopan dengan tangan kiri.”

Anak : “Hehehe buru-buru, Pak, saya lupa.

Informasi indeksal :

Tuturan disampaikan oleh anak dengan nada santai, namun membuat bapaknya jengkel karena anak memberikan kunci motor dengan tangan kirinya. Dari percakapan tersebut terlihat bahwa si anak tidak mengindahkan norma kesopanan yaitu memberikan sesuatu kepada orang lain itu menggunakan tangan kanan. Sang anak tidak memperhatikan norma kesopanan yang diajarkan oleh

bapaknya yaitu dengan tuturan Hehehe buru-buru, Pak, saya lupa. tuturan

tersebut merupakan tuturan tidak santun karena telah mengacuhkan dan melanggar norma kesopanan. Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat disimpulkan


(52)

bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher and Watts ini lebih menekankan pada bentuk ketidaksantunan penutur yang secara normatif dianggap negatif, karena melanggar norma kesopanan yang berlalu dalam masyarakat.

2.5 Konteks Tuturan

Konteks adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan (situasi dan kondisi) antara penutur dan mitra tutur dalam berkomunikasi yang dilatarbelakangi oleh pemahaman yang sama terhadap suatu hal. Konteks tersebut meliputi tempat, waktu, siapa penutur dan mitra tutur, tujuan tutur, dan latar belakang pengetahuan. Hal ini akan diperkuat dengan dukungan beberapa teori yang telah ditemukan dan dituliskan sebagai berikut.

Ilmu bahasa pragmatik adalah studi ilmu bahasa yang mendasarkan pijakan analisisnya pada konteks situasi tuturan yang ada di dalam masyarakat dan wahana kebudayaan yang mewadahinya. Konteks situasi tuturan yang dimaksud menunjuk pada aneka macam kemungkinan latar belakang pengetahuan yang muncul dan dimiliki bersama-sama baik oleh si penutur maupun oleh mitra tutur, serta aspek-aspek non-kebahasaan lainnya yang menyertai, mewadahi, serta melatarbelakangi hadirnya sebuah tuturan (Rahardi, 2003: 18).

Menurut Hymes, ada 16 komponen tutur yang harus diperhatikan, yakni: (1) bentuk pesan (message form), (2) isi pesan (message content), (3) latar

(setting), (4) suasana (scene), (5) penutur (speaker, sender), (6) pengirim

(addressor), (7) pendengar (hearer, receiver, audience), (8) penerima (addressee),


(53)

kunci (key), (12) saluran (channel), (13) bentuk tutur (forms of speech), (14)

norma interaksi (norm of interaction), (15) norma interpretasi (norm of interpretation), (16) kategori wacana (genre) (Sumarsono, 2008:325–334). Dari

keenam belas komponen tutur tersebut, Hymes (1974) melalui Nugroho (2009:119) memunculkan istilah ‘SPEAKING’ yang menghubungkan antara konteks dengan situasi tutur. Hymes mengatakan bahwa konteks terdiri dari latar fisik dan latar psikologis (setting and scene), peserta tutur (participants), tujuan

tutur (ends), urutan tindak (acts), nada tutur (keys), saluran tutur (instruments),

norma tutur (norms), dan jenis tutur (genres).

Malinosky pada tahun 1923, berbicara tentang konteks yang berdimensi situasi atau ‘context of situation’. Malinowsky mengatakan, seperti yang dikutip di dalam Verschueren (1998:75), ‘Exactly as in the reality of spoken or written

languages, a word without linguistics context is a mere figment and stands for

nothing by itself, so in the reality of a spoken living tongue, the utterance has no

meaning except in the context of situation.’ Jadi, di dalam pandangannya

sesungguhnya dinyatakan bahwa kehadiran konteks situasi menjadi mutlak untuk menjadikan sebuah tuturan benar-benar bermakna.

Malinosky menyebut ‘context of situation’, maka Leech (1983) menggunakan istilah ‘speech situation’ dalam pemahamannya mengenai konteks. Bermacam-macam maksud yang mungkin dikomunikasikan oleh penuturan sebuah tuturan, Leech (1983) dalam Wijaya (1996:10–13) mengemukakan sejumlah aspek yang senantiasa harus dipertimbangkan dalam rangka studi pragmatik. Aspek-aspek itu adalah sebagai berikut.


(54)

1) Penutur dan lawan tutur

Konsep penutur dan lawan tutur ini juga mencakup penulis dan pembaca bila tuturan bersangkutan dikomunikasikan dengan media tulisan. Aspek-aspek yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur ini adalah usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan sebagainya.

2) Konteks tuturan

Konteks tuturan penelitian linguistik adalah konteks dalam semua aspek fisik atau setting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan. Konteks yang

bersifat fisik lazim disebut koteks (cotext), sedangkan konteks setting sosial

disebut konteks. Di dalam pragmatik konteks itu pada hakikatnya adalah semua latar belakang pengetahuan (back gorund knowledge) yang dipahami bersama

oleh penutur dan lawan tutur. 3) Tujuan penutur

Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu. Dalam hubungan ini bentuk-bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama. Atau sebaliknya, berbagai macam maksud dapat diutarakan dengan tuturan yang sama. Di dalam pragmatik, berbicara merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan (goal oriented activities). Ada perbedaan yang mendasar antara

pandangan pragmatik yang bersifat fungsional dengan pandangan gramatika yang bersifat formal. Di dalam pandangan yang bersifat formal, setiap bentuk lingual yang berbeda tentu memiliki makna yang berbeda.


(1)

Instrumen Penelitian Panduan Wawancara

4. Bagimana respon Anda bila saat Anda belajar, orang tua Anda meminta bantuan Anda, tetapi hanya dengan meneriakkan nama Anda tanpa memberikan penjelasan mengenai bantuan apa yang diperlukan? (mengancam muka sepihak)

Penjelasan Informan:

--- --- 5. Bagaimana respon Anda ketika orang tua Anda mengotak-atik handphone

Anda dan membaca pesan singkat antara Anda dengan teman dekat Anda? (melanggar aturan)

Penjelasan Informan:

--- ---

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(2)

Instrumen Penelitian Maksud Penutur

Kode Tuturan :

1. Lokasi :

2. Suasana :

3. Keadaan emosi :

4. Identitas penutur :

a. Gender :

b. Umur :

c. Pekerjaan :

d. Domisili :

e. Daerah Asal :

f. Bahasa yang dipakai sehari-hari : 5. Identitas lawan tutur :

a. Gender :

b. Umur :

c. Pekerjaan :

d. Domisili :

e. Daerah Asal :

f. Bahasa yang dipakai sehari-hari :

6. Tanggal percakapan :

7. Waktu percakapan :

Tuturan:--- --- --- Maksud:--- --- ---

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(3)

Fak:uttas

l(eguruan

dan

Ilmu

Penr:lidikan

UNIVERSITAS SANATA DH,ARMA

M1ca1, Tromol Pos 29 Ytlgyakarta 55002. Telp, (0274) 513:301, 515352, Fax. p274\ 562383

No. Mahasiswa

Program Studi

Jurusan Fakuhas

Semester

Nomor

' 6?-

tenlt/KajurilPB

sl @

I

ry\3

Hal :

Permohonan ljin Penelitian

Kepada

y16.

wautratl't^ fo6T4EtaTA

I

..t<-q.

P/NA,

?EelaNAN

lzorA

Yo6yAt44FLT4

Dengan hormat,

Dengan ini kami memohonkan ijin bagimahasiswa kami,

C*tegtpA

OzJ'tt E\24^1 Tl

09tL2qog"

,.

PgArAaE

Al

B8 HA,A ,s/frP* lNp6

Nr94

P4N -P^e eAH

Pendidikan'Bahasa dan Seni Keguruan dan llmu Pendidikan

VCLA?AN

untuk melaksanakan penelitian dalam rangka persiapan penyusunan Skripsi / Makalah, dengan ketentuan sebagai

berikut:

Lokasi

:

Waktu

:

Topikfludul

:

t<o'lx tuayz>ra, Yo Q7AVAV-rA

\<ETI2AkJANlLr^/

Afi (

\?ERBA 9ALnfvr

4H

|aeLqARGA ?Etraatplrc

Atas perhatian dan ijin yang diberikan, kami ucapkan terima kasih.

Pendidikan Bahasa dan Seni

Tembusan Yth.:

1..

Afgru

-/vt€i

2otg

9t

tso1A y,r1eoV4

,

yo 6

fARA?f7

*%

fvtAP-sT

2otZ

2. Dekan FKIP

, ., ,: .-:.i J , :i, .

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(4)

Membaca Surat

Mengingat

'm

'=.=J'ilH;"Jfi,iS*

$MHH[

Jt. Kenari No. 56 Yogyakarta 55165 Telepon 514448,515865, 515866, 562682

W

EMATL: perizinan@ogjakota.go.id EMATL TNTRANET: perizinan@intra.jogjakota.go.id

SURAT IZIN

NOMOR 070/0829

2174134

:

Dari Dekan FKIP - USD YogYakarta

Nomor : 052/PnlUKajur/JPBS/llll2013 Tanggal :2210312013

:

1. peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pembentukan, Susunan,

Kedudukan dan Tugas Pokok Dinas Daerah

2. Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 85 Tahun 2008 tentang Fungsi, Rincian Tugas Dinas Perizinan Kota YogYakarta;

3. Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemberian lzin Penelitian, Praktek Kerja Lapangan dan Kuliah Kerja Nyata di Wilayah Kota Yogyakarta;

4. Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 18 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Perizinan pada Pemerintah Kota YogYakarta;

5. peraturan GubernurDaerah lstimewaYogyakarta Nomor: 18 Tahun 2009tentang Pedoman pelayanan Perizinan, Rekomendasi Petaksanaan Survei, Penelitian, Pendataan, Pengembangan, pengembangan, Pengkajian dan Studi Lapangan di Daerah lstimewa Yogyakarta;

Di'rjinkan Kepada Nama Pekerjaan Alamat Penanggungjawab Keperluan Lokasi/Responden Waktu Lampiran

Dengan Ketentuan

Tanda tangan

Pem{fr}slzin

cArARNFr

RryAN,

Tembusan Kepada:

Yth. 1. Walikota Yogyakarta(sebagai laporan)

2. Camal Danurejan Kota Yogyakarta

-3. Camat Gondokusuman Kota Yogyakarta

4. Camat Gondomanan Kota Yogyakarta

5. Camat Gedongtengen Kota Yogyakarta

6. Camat Kotagede Kota YogYakarta

7. Camat Jetis Kota YogYakarta

8. Camat Kraton Kota Yogyakarta

9. Camat Mantr'rjeron Kota Yogyakarta

1

i

aamal lVleraanosan Kola Y oovakarla

CATARINA ERNI RIYANTI NO MHS / NIM '091224093 Mahasiswa FKIP - USD YogYakarta

Mrican, Tromol Pos 29 YogYakarta Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum.

Melakukan Penelitian dengan judul Proposal :

KETIDAKSANTUNAN PRAGMATIK DAN LINGUISTIK

BERBAHASA DALAM RANAH KELUARGA PENDIDIK DI KOTA YOGYAKARTA

Kota Yogyakarta

2610312013 Sampai 2610612013

Proposal dan Daftar PertanYaan

1. Wajib Memberi Laporan hasil Penelitian berupa CD kepada Walikota Yogyakarta (Cq. Dinas Perizinan Kota Yogyakarta)

2. Wajib Menjaga Tata tertib dan mentaati ketentuan-ketentuan yang berlaku setempat 3. lzin ini tidak disalahgunakan untuk tujuan tertentu yang dapat mengganggu kestabilan

Pemerintah dan hanya diperlukan untuk keperluan ilmiah

4. Surat izin ini sewaktu-waktu dapat dibatalkan apabila tidak dipenuhinya ketentuan -ketentuan tersebut diatas

Kemudian diharap para Pejabat Pemerintah setempat dapat memberi bantuan seperlunya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(5)

a

1 1. Camat Ngampilan Kota Yogyakarta

12. Camat Pakualaman Kota Yogyakarta

13. Camat Wirobrajan Kota Yogyakarta

14. Camat Tegalrejo Kota Yogyakarta

15. Carnat Pakualaman Kota Yogyakarta

16. Lurah Gedongkiwo Kota Yogyakarta

17. Lurah Patehan Kota Yogyakarta

18. Lurah Keparakan Kota Yogyakarta

19. Lurah Pandeyan Kota Yogyakarta

20. Lurah Warungboto Kota Yogyakarta

21. Lurah Tahunan Kota Yogyakarta

22. Lwah Rej owinangun Kota Yogyakarta

23. Lurah Terban Kota Yogyakarta

24. Ltxah Demangan Kota Yo gyakarta 25. Lurah Kotabaru Kota Yogyakarta

26. Lurah Bausasran Kota Yogyakarta

27 . Lttrah Gunungketur Kota Yo gy akarta

28. Luratr Ngupasan Kota Yogyakarta

29. LwahNotopraj an Kota Yogy akwta

30. Lurah Patangpuluhan Kota Yogyakarta

31. Lurah Pringgokusuman Kota Yogyakarta

32. Lwah Bumij o Kota Yo gy akarta

33. Lurah Tegalrejo Kota Yogyakarta

34. Dekan FKIP

-

USD Yogyakarta

35. Ybs.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Catarina Erni Riyanti, dilahirkan di Lampung Selatan tanggal 21 April 1990. Ia menamatkan pendidikan tingkat sekolah dasar di SD Negeri 01 Beringin Kencana, Candipuro, Lampung Selatan pada tahun 2002. Kemudian, ia melanjutkan ke SMP dan menamatkan pendidikan tingkat sekolah menengah pertama di SMP Negeri 01 Bumi Jaya, Candipuro, Lampung Selatan pada tahun 2005. SMA Xaverius Pringsewu, Lampung Selatan menjadi pilihan sekolah tingkat menengah atas hingga akhirnya lulus pada tahun 2008. Satu tahun kemudian, ia melanjutkan pendidikan S1 di Pendidikan Bahasa, dan Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Ia dinyatakan lulus dari Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada tahun 2014.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI