Ketidaksantunan linguistik dan pragmatik dalam ranah keluarga di lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta
KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK
DALAM RANAH KELUARGA
DI LINGKUNGAN KADIPATEN PAKUALAMAN
YOGYAKARTA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Disusun oleh: Valentina Tris Marwati
091224088
POGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
(2)
i
KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK
DALAM RANAH KELUARGA
DI LINGKUNGAN KADIPATEN PAKUALAMAN
YOGYAKARTA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Disusun oleh: Valentina Tris Marwati
091224088
POGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2013
(3)
SKRIPSI
KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK
DALAM RANAH KELUARGA
DI LINGKUNGAN KADIPATEN PAKUALAMAN
YOGYAKARTA
Disusun oleh: Valentina Tris Marwati
091224088
Telah disetujui oleh:
Dosen Pembimbing
(4)
iii
SKRIPSI
KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK
DALAM RANAH KELUARGA
DI LINGKUNGAN KADIPATEN PAKUALAMAN
YOGYAKARTA
Dipersiapkan dan disusun oleh: Valentina Tris Marwati
091224088
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal 17 Desember 2013 dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji
Nama Lengkap Tanda Tangan
Ketua : Dr. Yuliana Setiyaningsih ...
Sekretaris : Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum. ...
Anggota : Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. ...
Anggota : Prof. Dr. Pranowo, M.Pd. ...
Anggota : Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum. ...
Yogyakarta, 17 Desember 2013
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma
Dekan,
Rohandi, Ph.D.
(5)
MOTTO
“Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.”
(Matius 6:33)
“Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal, yang akan diberikan Anak Manusia kepadamu:
sebab Dialah yang disahkan oleh Bapa, Allah, dengan meterai-Nya.” ( Yohanes 6:27)
“Oleh karena itu, jangan merasa cemas karena kamu tidak bisa mempercepatnya. Jika kamu berjalan perlahan, kamu akan mencapai lebih dari mereka
yang bergerak terlalu cepat.” (Dream High)
(6)
v
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan skripsi ini untuk:
1. Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria terkasih yang selalu memberkati, menyertai , dan melindungi dalam setiap langkah saya.
2. Orang tua tercinta, Bapak Valerianus Maryoso dan Ibu Theresia Widyaningsih yang selalu memberikan kasih sayang, doa, dukungan, dan kesabaran bagi saya.
3. Adikku tersayang, Angela Yubiliana, yang selalu memberikan doa dan hiburan setiap saat.
4. Mbah Bu, Mbah Putri, Mbah Kakung yang terlebih dulu bertemu dengan Yesus, terima kasih sudah memberikan banyak hal dari masa kecil hingga remaja saya.
5. Simbah Kakung yang selalu memperhatikan dan memberikan dukungan kepada saya. 6. Teman-teman seperjuangan Clara Dhika Ninda Natalia, Katarina Yulita Simanulang,
Nuridang Fitra Nagara, dan Catarina Erni Riyanti yang mempunyai impian, doa, dan usaha yang sejalan dengan saya. Kebersamaan dengan kalian tidak akan pernah terlupakan
7. Seluruh sahabat di Prodi PBSI angkatan 2009 yang telah memberikan warna selama berjuang bersama menyelesaikan studi.
(7)
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 17 Desember 2013 Penulis
(8)
vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Valentina Tris Marwati
Nomor Mahasiswa : 091224088
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
KETIDAKSANTUAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK DALAM RANAH
KELUARGA DI LINGKUNGAN KADIPATEN PAKUALAMAN
YOGYAKARTA
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal: 17 Desember 2013 Yang menyatakan
(Valentina Tris Marwati)
(9)
ABSTRAK
Marwati, Valentina Tris. 2013. Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik dalam Ranah Keluarga di Lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.
Penelitian ini membahas ketidaksantunan linguistik dan pragmatik dalam ranah keluarga di lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta. Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan wujud-wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, (2) mendeskripsikan penanda-penanda ketidaksantuan linguistik dan pragmatik, serta (3) mendeskripsikan maksud yang mendasari orang menggunakan bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga di lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Data penelitian ini adalah berbagai macam cuplikan tuturan yang semuanya diambil secara natural dalam praktik-praktik perbincangan dalam ranah keluarga. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini ialah petunjuk wawancara (daftar pertanyaan, pancingan, dan daftar kasus) dan blangko pengamatan dengan bekal teori ketidaksantunan berbahasa. Metode pengumpulan data yang digunakan, yaitu (1) metode simak dengan teknik dasar berupa teknik rekam dan teknik catat, serta (2) metode cakap dengan teknik dasar berupa teknik pancing. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode kontekstual.
Sesuai dengan tujuan penelitian ini, hasil penelitian ini adalah pertama, wujud ketidaksantunan linguistik berupa tuturan lisan tidak santun yang termasuk dalam (1) kategori melanggar norma dengan subkategori subkategori menjanjikan, menolak, dan kesal; (2) kategori mengancam muka sepihak dengan subkategori menyindir, memerintah, menjanjikan, kesal, dan mengejek; (3) kategori melecehkan muka dengan subkategori kesal, memerintah, menyindir, mengejek, dan mengancam; (4) kategori menghilangkan muka dengan subkategori menyindir, mengejek, menyalahkan, dan memerintah; dan (5) kategori menimbulkan konflik dengan subkategori melarang, mengancam, memerintah, mengejek, menolak, dan kesal, sedangkan wujud ketidaksantunan pragmatik diketahui berdasarkan cara penyampaian penutur yang menyebabkan suatu tuturan menjadi tidak santun. Kedua, penanda ketidaksantunan linguistik diketahui dari diksi, kata fatis, nada, tekanan, dan intonasi, sedangkan penanda ketidaksantunan pragmatik didasarkan pada uraian konteks yang berupa, penutur dan mitra tutur, situasi saat bertutur, tujuan tutur, waktu dan tempat ketika bertutur, serta tindak verbal dan tindak perlokusi yang menyertai tuturan tersebut.
Ketiga, maksud tuturan tidak santun yang disampaikan oleh penutur, yaitu menolak, memprotes, bercanda, memberikan pengertian, memohon, ketidaksenangan, menyindir, mengejek, kesal, meminta tolong, menegur, memerintah, melarang, menyalahkan, membandingkan, meremehkan, dan menakut-nakuti.
(10)
ix
ABSTRACT
Marwati, Valentina Tris. 2013. Impoliteness of Linguistics and Pragmatics at the Family Domain in Kadipaten Pakualaman Yogyakarta.
Thesis. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.
This research discusses impoliteness linguistic and pragmatic at the family domain in Kadipaten Pakualaman Yogyakarta. The purpose of this research are (1) to describe the form of linguistics and pragmatics impoliteness, (2) to describe a sign of linguistics and pragmatics impoliteness, and (3) to describe the underlaying purpose of using impolite language forms at the family domain in Kadipaten Pakualaman Yogyakarta.
Type of this research is descriptive qualitative. The data of this research is the various kinds of speech excerpts of which were taken naturally in conversation practices in family domain. The instrument used in this research are the interviews instructions (questionnaires, inducement, and a list of cases) and the observations form with language impoliteness theory as it is basic. Data collection method used in this research, consist of (1) observation method with recording techniques and record techniques as the basic, and (2) conversation method with provoke techniques as the basic. Analysis of the data in this research was conducted using contextual method.
In accordance with the purposes of this research, the results of this research were the first, a form of linguistic impoliteness in a form of not polite verbal pronunciation that included in the (1) category of negatively marked behavior with subcategories of promise, refuse, and annoyed; (2) face threaten categories with subcategories sarcastic, commanding, promising, upset, and mocked; (3) face-aggravate categories with subcategories annoyed, ruled, sarcastic, taunting, and threatening; (4) face loss categories with subcategories sarcastic, mocking, blaming, and ruled, and (5) conflict making categories with subcategories prohibit, threatening, commanding, mocked, rejected, and irritated, while a form of pragmatic impoliteness known by way of delivering a speech that causes speakers become impolite. The second, markers of linguistic impoliteness known by diction, phatic category, tone, stress, and intonation, while pragmatic impoliteness markers based on a description of the context includes the speaker and hearer, current situation of the conversation, speech purpose, time and place of the speech, and verbal acts and also perlocutionary acts that accompany the speech. The third, the purpose of impolite speech that delivered by the speaker, it is refuse, protest, joking, giving understanding, pleading, displeasure, satirical, mocking, upset, asking for help, admonishing, commanding, forbidding, blaming, comparing, belittling, and scaring.
(11)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yesus Kristus karena berkat dan pernyertaan–Nya , skripsi yang berjudul Ketidaksantuan Linguistik dan Pragmatik dalam Ranah Keluarga di Lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan studi sesuai dengan kurikulum Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni (JPBS), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Caecilia Tutyandari, S.Pd., M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
3. Dr. Yuliana Setiyaningsih, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
4. Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum., selaku Wakil Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
5. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum., selaku dosen pembimbing yang telah membimbing, menasihati, dan memotivasi penulis selama proses penyusunan hingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.
6. Seluruh dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan pendampingan dan pengajaran yang bermanfaat bagi penulis selama proses perkuliahan.
7. Robertus Marsidiq, selaku staf sekretariat Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang selalu sabar dalam memberikan pelayanan adminitrasi kepada penulis.
(12)
xi
8. Kepala Dinas Perizinan Kota Yogyakarta yang telah memberikan izin penelitian kepada penulis.
9. K.G.P.A.A Paku Alam IX yang berkenan memberikan izin penelitian bagi penulis di lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta.
10. Bapak Valerianus Maryoso dan Ibu Theresia Widyaningsih, selaku orang tua penulis, serta Angela Yubiliana, selaku adik penulis yang telah memberikan kepercayaan, dukungan, doa, dan semangat.
11. Clara Dhika Ninda Natalia, Katarina Yulita Simanulang, Nuridang Fitra Nagara, dan Catarina Erni Riyanti yang telah mau berjuang bersama untuk menyelesaikan skripsi ini.
12. Rosalina Anik Setyorini, Cicilia Verlit Warasinta, Yuli Astuti, Agatha Wahyu Wigati, Bernadeta Febri, Risa Ferina, Jati Kurniawan, Ade Henta Hermawan, Ambrosius Bambang Sumarwanto, Yudha Hening Prinandito, Ignatius Satrio Nugroho, Dedi Setyo Heru Utomo, Yohanes Marwan Setiawan, Reinaldus Aldo Agasi, Fabianus Angga Renato, dan semua sahabat di Prodi PBSID angkatan 2009 yang telah memberikan berbagai bantuan, dukungan, doa, dan semangat bagi penulis.
13. Dyah Tri Wahyuni dan Putra Damara Subhan yang telah telah memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
14. Seluruh kerabat Pakualam, staf, dan warga di lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta yang bersedia membantu dan menjadi sumber data penelitian ini.
15. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Namun, penulis tetap berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan memberikan inspirasi bagi penelitian selanjutnya.
Yogyakarta, 17 Desember 2013 Penulis
Valentina Tris Marwati
(13)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
HALAAN PERSEMBAHAN iv
HALAMAN MOTTO v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI vii
ABSTRAK viii
ABSTRACT ix
KATA PENGANTAR x
DAFTAR ISI xii
DAFTAR BAGAN xvii
DAFTAR TABEL xviii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1Latar Belakang Masalah 1
1.2Rumusan Masalah 6
1.3Tujuan Penelitian 6
1.4Manfaat Penelitian 7
1.5Batasan Istilah 7
1.6Sistematika Penyajian 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA 10
2.1Penelitian yang Relevan 10
2.2Pragmatik 15
2.3Fenomena Pragmatik 17
2.3.1 Praanggapan 17
(14)
xiii
2.3.4 Deiksis 21
2.3.5 Kesantunan 22
2.3.6 Ketidaksantunan 23 2.4Teori-teori Ketidaksantunan 24 2.4.1 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher 24 2.4.2 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Bousfield 26 2.4.3 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Culpeper 27 2.4.4 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Terkourafi 29 2.4.5 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher and
Watts 31
2.5Konteks 33
2.6Unsur Segmental 42
2.6.1 Diksi 42
2.6.2 Gaya Bahasa 48
2.6.3 Kategori Fatis 50
2.7Unsur Suprasegmental 52
2.7.1 Nada 53
2.7.2 Tekanan 54
2.7.3 Intonasi 55
2.8Teori Maksud 56
2.9Kerangka Berpikir 58
BAB III METODE PENELITIAN 61
3.1Jenis Penelitian 61
3.2Data dan Sumber Data 62 3.3Metode dan Teknik Pengumpulan Data 63 3.4Instrumen Penelitian 65 3.5Metode dan Teknik Analisis Data 65 3.6Sajian Hasil Analisis Data 67 3.7Trianggulasi Hasil Analisis Data 67
(15)
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 68
4.1 Deskripsi Data 68
4.1.1 Kategori Ketidaksantunan Melanggar Norma 70 4.1.2 Kategori KetidaksantunanMengancam Muka Sepihak 71 4.1.3 Kategori KetidaksantunanMelecehkan Muka 71 4.1.4 Kategori Ketidaksantunan Menghilangkan Muka 72 4.1.5 Kategori Ketidaksantunan Menimbulkan Konflik 73
4.2 Analisis Data 74
4.2.1 Kategori Ketidaksantunan Melanggar Norma 74 4.2.1.1Subkategori Menjanjikan 75 4.2.1.2Subkategori Menolak 78 4.2.1.3Subkategori Kesal 80 4.2.2 Kategori Ketidaksantunan Mengancam Muka Sepihak 82 4.2.2.1Subkategori Menyindir 82 4.2.2.2Subkategori Memerintah 85 4.2.2.3Subkategori Menjanjikan 89 4.2.2.4Subkategori Kesal 90 4.2.2.5Subkategori Mengejek 92 4.2.3 Kategori Ketidaksantunan Melecehkan Muka 94 4.2.3.1Subkategori Kesal 95 4.2.3.2Subkategori Memerintah 98 4.2.3.3Subkategori Menyindir 101 4.2.3.4Subkategori Mengejek 104 4.2.3.5Subkategori Mengancam 107 4.2.4 Kategori Ketidaksantunan Menghilangkan Muka 109 4.2.4.1Subkategori Menyindir 110 4.2.4.2Subkategori Mengejek 113 4.2.4.3Subkategori Menyalahkan 116 4.2.4.4Subkategori Memerintah 118 4.2.5 Kategori Ketidaksantunan Menimbulkan Konflik 121
(16)
xv
4.2.5.2Subkategori Mengancam 125 4.2.5.3Subkategori Memerintah 128 4.2.5.4Subkategori Mengejek 130 4.2.5.5Subkategori Menolak 132 4.2.5.6Subkategori Kesal 135
4.3 Pembahasan 137
4.3.1 Wujud Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik 137 4.3.1.1Kategori Ketidaksantunan Melanggar Norma 138 4.3.1.2Kategori Ketidaksantunan Mengancam Muka Sepihak 140 4.3.1.3Kategori Ketidaksantunan Melecehkan Muka 143 4.3.1.4Kategori Ketidaksantunan Menghilangkan Muka 147 4.3.1.5Kategori Ketidaksantunan Menimbulkan Konflik 150 4.3.2 Penanda Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik 153 4.3.2.1Kategori Ketidaksantunan Melanggar Norma 153 4.3.2.2Kategori Ketidaksantunan Mengancam Muka Sepihak 154 4.3.2.3Kategori Ketidaksantunan Melecehkan Muka 155 4.3.2.4Kategori Ketidaksantunan Menghilangkan Muka 157 4.3.2.5Kategori Ketidaksantunan Menimbulkan Konflik 158 4.3.3 Maksud Ketidaksantunan Penutur 183 4.3.3.1Maksud Menolak 184 4.3.3.2Maksud Memprotes 186 4.3.3.3Maksud Bercanda 187 4.3.3.4Maksud Memberikan Pengertian 189 4.3.3.5Maksud Mengancam 190 4.3.3.6Maksud Ketidaksenangan 190 4.3.3.7Maksud Menyindir 191 4.3.3.8Maksud Mengejek 192 4.3.3.9Maksud Kesal 193 4.3.3.10Maksud Meminta Tolong 194 4.3.3.11Maksud Menegur 194 4.3.3.12Maksud Memerintah 195
(17)
4.3.3.13Maksud Melarang 196 4.3.3.14Maksud Menyalahkan 197 4.3.3.15Maksud Membandingkan 197 4.3.3.16Maksud Meremehkan 198 4.3.3.17Maksud Menakut-nakuti 199
BAB V PENUTUP 201
5.1Simpulan 201
5.1.1 Wujud Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik 201 5.1.2 Penanda Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik 203 5.1.3 Maksud Ketidaksantunan Penutur 207
5.2Saran 208
5.2.1 Bagi Peneliti Lanjutan 208
5.2.2 Bagi Keluarga 209
DAFTAR PUSTAKA 210
LAMPIRAN 212
(18)
xvii
DAFTAR BAGAN
Bagan Kerangka Berpikir 60
(19)
DAFTAR TABEL
Tabel 1.Jumlah Data Tuturan berdasarkan Kategori Ketidaksantunan 68 Tabel 2. Persentase Jumlah Data Tuturan berdasarkan Subkategori
Ketidaksantunan 69
Tabel 3. Data Tuturan Kategori Ketidaksantunan Melanggar Norma 70 Tabel 4. Data Tuturan Kategori Ketidaksantunan Mengancam Muka
Sepihak 71
Tabel 5. Data Tuturan Kategori Ketidaksantunan Melecehkan Muka 72 Tabel 6. Data Tuturan Kategori Ketidaksantunan Menghilangkan Muka 73 Tabel 7. Data Tuturan Kategori KetidaksantunanMenimbulkan Konflik 73
(20)
1
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, dan sistematika penelitian.
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia membutuhkan bahasa untuk berkomunikasi. Komunikasi
dilakukan supaya manusia dapat berinteraksi dengan sesamanya. Definisi
komunikasi menurut Onong Uchyana yang dikutip oleh Bungin (2006:31)
mengatakan bahwa komunikasi sebagai proses komunikasi pada hakikatnya
adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seorang (komunikator)
kepada orang lain (komunikan). Pikiran bisa berupa gagasan, informasi, opini, dan
lain-lain yang muncul dari benak komunikator. Perasaan bisa berupa keyakinan,
kepastian, keraguan, kekhawatiran, kemarahan, keberanian, kegairahan, dan
sebagainya yang timbul dari lubuk hati. Dengan demikian, bahasa sebagai alat
komunikasi dapat diartikan juga sebagai alat penghubung sosial antara para
penuturnya untuk berbagai kepentingan.
Hakikat bahasa yaitu sistem lambang bunyi yang konvensional, tetapi
arbitrer dan digunakan oleh masyarakat penuturnya untuk berkomunikasi. Ilmu
yang mengkaji tentang bahasa disebut dengan linguistik. Pada dasarnya linguistik
mempunyai dua bidang besar, yaitu mikrolinguistik dan makrolinguistik.
Mikrolinguistik merupakan bidang-bidang yang mempelajari bahasa dari struktur
(21)
dalam bahasa tersebut, sedangkan makrolinguistik adalah bidang-bidang yang
mengkaji bahasa dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar bahasa
(Nikelas, 1988:14). Di dalam perkembangannya, cabang ilmu linguistik yang
menjadi objek kajian mikrolinguistik adalah fonologi, morfologi, sintaksis, dan
semantik, sedangkan objek yang termasuk dalam kajian makrolinguistik, yaitu
pragmatik, sosiolinguistik, psikolinguistik, antropolinguistik, neurolinguistik, dan
etnolinguistik.
Dari berbagai objek kajian makrolinguistik, kajian tentang pragmatik saat
ini sedang menjadi topik hangat untuk dikembangkan dan diperdalam. Pragmatik
menjadi menarik untuk dikaji lebih dalam karena tidak hanya melibatkan
bagaimana orang saling memahami secara linguistik, tetapi studi ini juga
mengharuskan kita untuk memahami orang lain dan apa yang ada dalam pikiran
mereka. Ilmu bahasa pragmatik sesungguhnya mengkaji maksud penutur di dalam
konteks situasi dan lingkungan sosial-budaya tertentu. Jadi, pragmatik mengkaji
makna satuan lingual tertentu secara eksternal dan makna yang dikaji dalam
pragmatik bersifat terikat konteks (Rahardi, 2003:16).
Pragmatik sebagai objek kajian makrolinguistik memiliki lima ruang
lingkup, yaitu praanggapan, tindak tutur, implikatur, dieksis, dan kesantunan. Dari
kelima ruang lingkup tersebut, kesantunan merupakan suatu hal yang
berhubungan erat dengan keadaan sosial masyarakat. George Yule (2006:102)
berpendapat bahwa interaksi linguistik pada dasarnya memerlukan interaksi
(22)
3
Bungin (2006:49–50) menyatakan bahwa strata sosial masyarakat mempengaruhi kebahasaan dalam berkomunikasi. Secara umum, strata sosial di
masyarakat melahirkan kelas-kelas sosial yang terdiri dari tiga tingkatan, yaitu
atas (upper class), menengah (middle class), dan bawah (lower class). Kelas atas mewakili kelompok elite di masyarakat yang jumlahnya sangat terbatas. Kelas
menengah mewakili kelompok profesional, kelompok pekerja, wiraswastawan,
pedagang, dan kelompok fungsional lainnya, sedangkan kelas bawah mewakili
kelompok pekerja kasar, buruh harian, buruh lepas, dan semacamnya. Secara
khusus, kelas sosial ini terjadi pada lingkungan-lingkungan khusus pada bidang
tertentu sehingga content varian strata sosial sangat spesifik berlaku pada lingkungan itu. Strata sosial yang terdapat dalam masyarakat tentunya tidak hanya
berpengaruh terhadap cara berkomunikasi di lingkungannya, tetapi juga akan
mempengaruhi cara berkomunikasi di dalam keluarga.
Keluarga adalah kelompok terkecil dalam masyarakat. Setiap orang
berkembang dan tumbuh di dalam keluarga, maka kita sering mendengar bahwa
pendidikan setiap orang berawal dari keluarga. Di dalam keluarga, anak mulai
belajar berbahasa untuk berkomunikasi. Oleh sebab itu, setiap keluarga tentunya
memiliki kekhasan masing-masing dalam berkomunikasi. Dari kecenderungan
yang ada dalam masyarakat, keluarga yang memiliki strata sosial lebih tinggi akan
memiliki cara berkomunikasi yang lebih baik daripada keluarga berstrata sosial
lebih rendah. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada kemungkinan bagi
keluarga yang memiliki strata sosial lebih baik juga memiliki cara atau sikap
(23)
berkomunikasi yang kurang baik. Pragmatik menyebut hal ini sebagai kesantunan
dan ketidaksantunan berbahasa.
Struktur bahasa yang santun adalah struktur bahasa yang disusun oleh
penutur atau penulis agar tidak menyinggung perasaan pendengar atau pembaca
(Pranowo, 2009:4). Kesantunan dalam berkomunikasi tidak hanya tercermin dari
tuturan saja, tetapi juga dari sikap atau perilaku penuturnya. Contoh sikap yang
tidak santun, yaitu ketika seorang anak berbicara dengan orang tuanya dengan
tetap bermain handphone, anak ini secara tidak langsung telah berperilaku tidak santun kepada orang tuanya.
Perbedaan strata sosial hanyalah salah satu faktor penyebab santun
tidaknya suatu proses komunikasi. Faktor keadaan lingkungan dan kebudayaan
masyarakat juga memberikan andil bagi terjadinya proses komunikasi yang
santun. Cara berkomunikasi keluarga yang ada di lingkungan berbudaya Jawa,
akan berdeda dengan cara berkomunikasi pada lingkungan berbudaya Batak,
Sunda, Betawi, atau Bali.
Kota Yogyakarta dikenal sebagai Kota Budaya. Julukan ini disebabkan
masyarakat Yogyakarta sangat menjunjung kebudayaan Jawa dalam bertindak
maupun bertutur kata, sehingga menumbuhkan nilai-nilai etika orang Jawa yang
terkenal akan kesopanan dan keramahannya. Kentalnya kebudayaan Jawa akan
semakin terasa, jika kita berada di lingkungan Kraton Yogyakarta. Selain Kraton
Yogyakarta, Kadipaten Pakualaman juga menjadi pusat budaya yang terus
(24)
5
kraton Pakualaman. Kebudayaan yang ada pada masyarakat di lingkungan
Pakualaman tentu akan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakatnya.
Kesopanan dan keramahan yang ada pada masyarakat Yogyakarta
tidak hanya ditunjukkan dengan tindakan, tetapi juga melalui bahasa. Kesopanan
dan keramahan berbahasa tersebut akan semakin terlihat pada masyarakat yang
tinggal di lingkungan kraton Pakualaman. Cara berbahasa warga di lingkungan
kraton atau Pakualaman mungkin akan lebih santun karena terbiasa dengan cara
berbahasa keluarga kraton yang termasuk keluarga bangsawan. Namun, dibalik
kesantunan yang dijunjung oleh keluarga dan warga kraton atau Pakualaman,
mungkin dapat terjadi bentuk-bentuk ketidaksantunan berbahasa ketika
berkomunikasi dengan para anggota keluarganya. Bentuk-bentuk ketidaksantunan
ini muncul akibat mulai lunturnya kebudayaan bersopan santun dan ketidaktahuan
santun tidaknya suatu tuturan saat berkomunikasi di dalam keluarga.
Fenomena ketidaksantunan berbahasa inilah yang saat ini menjadi
fenomena baru dalam dunia pragmatik. Ketidaksantunan perlu dikaji untuk
mempertimbangkan bentuk-bentuk ketidaksantunan berbahasa yang harus
dihindari dalam praktik berkomunikasi, khususnya pada ranah keluarga. Peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian pada ranah keluarga karena keluarga
merupakan salah satu faktor yang sangat penting dan berpengaruh bagi
pembentukan karakter bangsa. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini
bermaksud untuk mengungkap bentuk-bentuk ketidaksantunan berbahasa dalam
ranah keluarga di lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta jika ditinjau dari
kajian pragmatik dan linguistik.
(25)
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1) Wujud ketidaksantuan linguistik dan pragmatik apa sajakah yang terdapat
dalam ranah keluarga di lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta?
2) Penanda ketidaksantuan linguistik dan pragmatik apa sajakah yang digunakan
oleh keluarga di lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta?
3) Maksud apa sajakah yang mendasari orang menggunakan bentuk-bentuk
kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga di lingkungan Kadipaten
Pakualaman Yogyakarta?
1.3Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, yang menjadi tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1) Mendeskripsikan wujud-wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik
dalam ranah keluarga di lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta.
2) Mendeskripsikan penanda-penanda ketidaksantuan linguistik dan pragmatik
yang digunakan oleh keluarga di lingkungan Kadipaten Pakualaman
Yogyakarta.
3) Mendeskripsikan maksud yang mendasari orang menggunakan bentuk-bentuk
kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga di lingkungan Kadipaten
(26)
7
1.4Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan hasil dan manfaat bagi
berbagai pihak. Manfaat-manfaat tersebut antara lain sebagai berikut.
1) Manfaat teoretis
a) Penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu
bahasa, khususnya pragmatik di Prodi PBSI.
b) Berbagai kajian teori yang digunakan di dalam penelitian ini dapat
memperluas kajian dan memperkaya wawasan teoretis tentang
ketidaksantunan dalam berbahasa sebagai fenomena pragmatik baru.
2) Manfaat praktis
a) Penelitian ini dapat digunakan oleh para penutur dalam lingkup keluarga
untuk mempertimbangkan bentuk-bentuk ketidaksantunan berbahasa
yang harus dihindari dalam berkomunikasi.
b) Penelitian ini diharapkan dapat memperkuat pendidikan karakter dalam
lingkup keluarga yang merupakan salah satu faktor penting yang
berpengaruh bagi pembentukan karakter bangsa.
1.5 Batasan Istilah
1) Ketidaksantunan berbahasa
Penggunaan bahasa penutur yang dianggap tidak berkenan oleh mitra
tutur.
2) Linguistik
Ilmu tentang bahasa; telaah bahasa secara ilmiah (Depdiknas, 2008:832).
(27)
3) Pragmatik
Studi perihal ilmu bahasa yang mempelajari relasi-relasi antara bahasa
dengan konteks tuturannya (Levinson 1983 dalam Rahardi, 2003:13–14). 4) Ketidaksantunan linguistik
Ketidaksantunan berbahasa yang dikaji dari aspek-aspek linguistik suatu
tuturan.
5) Ketidaksantunan pragmatik
Ketidaksantunan berbahasa yang dikaji dari konteks situasi yang
menyertai suatu tuturan.
6) Keluarga
Ibu dan bapak beserta anak-anaknya; orang seisi rumah yang menjadi
tangungan; satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat
(Depdiknas, 2008:659)
1.6 Sistematika Penyajian
Penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab I adalah bab pendahuluan yang
berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, batasan istilah, dan sistematika penyajian.
Bab II berisi landasan teori yang akan digunakan untuk menganalisis
masalah-masalah yang akan diteliti, yaitu tentang ketidaksantunan berbahasa.
Teori-teori yang dikemukakan dalam bab II ini adalah teori tentang (1)
(28)
9
ketidaksantunan, (5) konteks, (6) unsur segmental, (7) unsur suprasegmental, (8)
teori maksud, dan (9) kerangka berpikir.
Bab III berisi metode penelitian yang memuat tentang cara dan prosedur
yang akan digunakan oleh peneliti untuk memperoleh data. Bab III berisi urai (1)
jenis penelitian, (2) data dan sumber data, (3) metode dan teknik pengumpulan
data, (4) instrumen penelitian, (5) metode dan teknik analisis data, (6) sajian hasil
analisis data, dan (7) trianggulasi hasil analisis data.
Bab IV berisi tentang (1) deskripsi data, (2) analisis data, dan (3)
pembahasan hasil penelitian. Bab V berisi tentang kesimpulan penelitian dan
saran untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan penelitian
ketidaksantunan berbahasa.
(29)
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Bab ini menguraikan penelitian yang relevan, landasan teori, dan kerangka
berpikir. Penelitian yang relevan berisi tentang tinjauan terhadap topik-topik
sejenis yang dilakukan oleh peneliti-peneliti lain. Landasan teori berisi tentang
teori-teori yang digunakan sebagai landasan analisis dari penelitian ini yang terdiri
atas teori pragmatik, fenomena pragmatik, teori ketidaksantunan, konteks, unsur
segmental, unsur suprasegmental, dan teori maksud. Kerangka berpikir berisi
tentang acuan teori yang berdasarkan pada penelitian yang relevan dan landasan
teori untuk menjawab rumusan masalah.
2.1Penelitian yang Relevan
Ketidaksantunan berbahasa dalam dunia pragmatik merupakan fenomena
baru yang belum dikaji secara mendalam. Oleh sebab itu, penelitian pragmatik
yang mengkaji ketidaksantunan berbahasa belum banyak ditemukan. Peneliti
mencantumkan empat penelitian ketidaksantunan berbahasa yang telah dilakukan
oleh mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah,
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Penelitian-penelitian ketidaksantunan
berbahasa yang dicantumkan oleh peneliti adalah penelitian yang dilakukan
Elizabeth Rita Yuliastuti (2013), Caecilia Petra Gading May Widyawari (2013),
(30)
11
Penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth Rita Yuliastuti (2013) berjudul
Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Berbahasa antara Guru dan Siswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2012/2013. Penelitian ini menggunakan metode simak dan cakap untuk pengumpulan datanya. Data yang
terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis kontekstual.
Penelitian ini menyimpulkan tiga hal yaitu sebagai berikut. Pertama, wujud ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan tuturan lisan yang tidak
santun antara guru dan siswa yang berupa tuturan melecehkan muka,
memain-mainkan muka, kesembronoan, mengancam muka, dan menghilangkan muka,
sedangkan wujud ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan uraian
konteks berupa penutur, mitra tutur, tujuan tutur, situasi, suasana, tindak verbal,
dan tindak perlokusi yang menyertai tuturan tersebut. Kedua, penanda ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan nada, tekanan, intonasi, dan
diksi, serta penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks
yang menyertai tuturan yakni penutur, mitra tutur, situasi, suasana, tujuan tutur,
tindak verbal, dan tindak perlokusi. Ketiga, makna ketidaksantunan (1) melecehkan muka yakni hinaan dan ejekan dari penutur kepada mitra tutur hingga
melukai hati mitra tutur, (2) memain-mainkan muka yakni tuturan yang membuat
bingung mitra tutur sehingga mitra tutur menjadi jengkel karena sikap penutur
yang tidak seperti biasanya, (3) kesembronoan yang disengaja yakni penutur
bercanda kepada mitra tutur sehingga mitra tutur terhibur, tetapi candaan tersebut
dapat menimbulkan konflik, (4) mengancam muka yakni penutur memberikan
ancaman kepada mitra tutur sehingga mitra tutur merasa terpojokkan, dan (5)
(31)
menghilangkan muka yakni penutur mempermalukan mitra tutur di depan banyak
orang.
Penelitian sejenis juga dilakukan oleh Caecilia Petra Gading May
Widyawari (2013) dengan judul Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik
Berbahasa Antarmahasiswa Program Studi PBSID Angkatan 200–2011
Universitas Sanata Dharma. Penelitian ini menggunakan dua metode pengumpulan data yang sama dengan penelitian sebelumnya. Pertama metode simak dengan teknik dasar berupa teknik sadap dan teknik lanjutan berupa teknik
simak libat cakap dan teknik cakap, kedua metode cakap dengan teknik dasar berupa teknik pancing dan dua teknik lanjutan berupa teknik lanjutan cakap
semuka dan tansemuka. Analisis data penelitian ini juga menggunakan metode
kontekstual. Simpulan hasil penelitian ini adalah: (1) wujud ketidaksantunan
linguistik dapat dilihat dari tuturan antarmahasiswa yang terdiri dari melecehkan
muka, sembrono, mengancam muka dan menghilangkan muka. Lalu wujud
ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks (penutur, mitra
tutur, situasi, suasana, tindak verbal, tindak perlokusi dan tujuan tutur), (2)
penanda ketidaksantunan linguistik yang ditemukan berupa nada, tekanan,
intonasi, dan diksi. Penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan
konteks tuturan yang berupa penutur dan mitra tutur, situasi dan suasana, tindak
verbal, tindak perlokusi, dan tujuan tutur, dan (3) makna ketidaksantunan
berbahasa yaitu: a) melecehkan muka, ejekan penutur kepada mitra tutur dan
(32)
13
menghilangkan muka, mempermalukan mitra tutur di depan banyak orang, dan e)
mengancam muka, menyebabkan ancaman pada mitra tutur.
Penelitian tentang kesantunan yang serupa dengan kedua penelitian
sebelumnya juga dilakukan oleh Olivia Melissa Puspitarini (2013) dengan judul
Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Berbahasa antara Dosen dan Mahasiswa Program Studi PBSID, FKIP, USD, Angkatan 2009—2011.Penelitian ini merupakan penelitian jenis deskriptif kualitatif. Penelitian ini mendeskripsikan
wujud ketidaksantunan, penanda ketidaksantunan, dan makna ketidaksantunan
linguistik dan pragmatik berbahasa yang digunakan oleh dosen dan mahasiswa
Program Studi PBSID, FKIP, USD, angkatan 2009—2011. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak dan metode cakap.
Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, wujud ketidaksantunan linguistik berdasarkan tuturan lisan dan wujud ketidaksantunan pragmatik
berbahasa yaitu uraian konteks tuturan tersebut. Kedua, penanda ketidaksantunan linguistik yaitu nada, intonasi, tekanan, dan diksi, serta penanda pragmatik yaitu
konteks yang menyertai tuturan yakni penutur, mitra tutur, situasi, dan suasana.
Ketiga, makna ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa meliputi 1) melecehkan muka yakni penutur menyindir atau mengejek mitra tutur, 2)
memainkan muka yakni penutur membuat jengkel dan bingung mitra tutur, 3)
kesembronoan yang disengaja yakni penutur bercanda kepada mitra tutur dan
mitra tutur terhibur namun candaan tersebut dapat menimbulkan konflik bila
candaan tersebut ditanggapi secara berlebihan, 4) menghilangkan muka yakni
penutur mempermalukan mitra tutur di depan banyak orang, dan 5) mengancam
(33)
muka yakni penutur memberikan ancaman atau tekanan kepada mitra tutur yang
menyebabkan mitra tutur terpojok.
Penelitian ketidaksantunan berbahasa selanjutnya dilakukan oleh Agustina
Galuh Eka Noviyanti (2013) yang berjudul Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Berbahasa Antarsiswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2012/2013.Penelitian ini juga menggunakan medote pengumpulan data dan metode analisis analisis data yang sama dengan ketiga penelitian sebelumnya.
Hasil penelitian ini pun tidak jauh berbeda dengan ketiga penelitian sebelumnya
yaitu sebagai berikut. Pertama wujud ketidaksantunan linguistik yang ditemukan berupa tuturan lisan yang telah ditranskripsi, sedangkan wujud ketidaksantunan
pragmatik berupa uraian konteks yang melingkupi setiap tuturan. Kedua penanda ketidaksantunan linguistik yang ditemukan berupa (1) nada, (2) tekanan, (3)
intonasi, dan (4) pilihan kata (diksi). Penanda ketidaksantunan pragmatik dapat
dilihat berdasarkan konteks yang melingkupi tuturan. Konteks tersebut meliputi
(1) penutur dan mitra tutur, (2) situasi dan suasana, (3) tindak verbal, dan (4)
tindak perlokusi. Ketiga makna penanda ketidaksantunan dari masing-masing jenis ketidaksantunan meliputi (1) makna penanda ketidaksantunan melecehkan
muka adalah penutur menyindir, menghina, dan mengejek mitra tutur sehingga
dapat melukai hati mitra tutur, (2) makna penanda ketidaksantunan memainkan
muka adalah penutur membuat kesal dan jengkel mitra tutur dengan tingkah laku
penutur yang tidak seperti biasanya, (3) makna penanda ketidaksantunan
(34)
15
candaannya tersebut dapat menimbulkan konflik, (4) makna penanda
ketidaksantunan menghilangkan muka adalah penutur membuat mitra tutur
benar-benar malu di hadapan banyak orang, dan (5) makna penanda ketidaksantunan
mengancam muka adalah penutur memberikan ancaman atau tekanan kepada
mitra tutur yang menyebabkan mitra tutur terpojok dan tidak memberikan pilihan
bagi mitra tutur.
Keempat penelitian di atas merupakan penelitian yang mengkaji
ketidaksantunan berbahasa linguistik dan pragmatik. Oleh karena itu, keempat
penelitian ketidaksantunan berbahasa tersebut dapat digunakan sebagai acuan
untuk mengkaji fenomena ketidaksantunan berbahasa yang juga dikaji dalam
penelitian ini. Hal yang membedakan penelitian ini dengan keempat penelitian
tersebut adalah ranah penelitiannya. Keempat penelitian tersebut meneliti
ketidaksantunan berbahasa dalam ranah pendidikan, sedangkan penelitian ini
meneliti ketidaksantunan berbahasa dalam ranah keluarga, khususnya keluarga di
lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta.
2.2Pragmatik
Pragmatik merupakan bagian dari studi linguistik. Namun, linguistik dan
pragmatik mempunyai ruang lingkup kajian yang berbeda. Linguistik adalah ilmu
yang mengkaji tentang bahasa, sedangkan pragmatik adalah ilmu yang mengkaji
tentang penggunaan bahasa. Ketika mengkaji bahasa, pragmatik selalu terikat
dengan konteks dan pengguna bahasa tersebut. Yule (2006:3–6) empat ruang
(35)
lingkup yang tercakup dalam pragmatik. Pertama, pragmatik adalah studi tentang
maksud penutur. Kedua, pragmatik adalah studi tentang makna kontekstual.
Ketiga, pragmatik adalah studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang
disampaikan daripada yang dituturkan. Keempat, pragmatik adalah studi tentang
ungkapan dari jarak hubungan. Jadi, pragmatik itu menarik karena melibatkan
bagaimana orang saling memahami satu sama lain secara linguistik.
Rahardi (2003:16) menjelaskan bahwa ilmu bahasa pragmatik
sesungguhnya mengkaji maksud penutur di dalam konteks situasi dan lingkungan
sosial-budaya tertentu. Pragmatik mengkaji makna satuan lingual tertentu secara
eksternal dan makna yang dikaji dalam pragmatik bersifat terikat konteks. Selain
Rahardi, Yan Huang (2007:2) juga memberikan pendapatnya mengenai definisi
pragmatik yaitu pragmatics is the systematic study of meaning by virtue, or dependent on, the use of language. The central topics of inquiry o pragmaticts include implicature, presupposition, speech acts, and diexis. Pragmatik adalah studi sistematis makna berdasarkan atau tergantung pada penggunaan bahasa.
Topik-topik utama kajian pragmatik memuat implikatur, praanggapan, tindak
tutur, dan dieksis.
Cruse (2000:16 dalam Cummings, 2007:2) mendefinisikan pragmatik
sebagai berikut. Pragmatik dapat dianggap berurusan dengan aspek-aspek
informasi (dalam pengertian yang paling luas) yang disampaikan melalui bahasa
yang (a) tidak dikodekan oleh konvensi yang diterima secara umum dalam
(36)
17
dengan konteks tempat penggunaan bentuk-bentuk tersebut [penekanan
ditambahkan].
Levinson (1983 dalam Rahardi, 2003:13–14) mendefinisikan sosok pragmatik sebagai studi perihal ilmu bahasa yang mempelajari relasi-relasi antara
bahasa dengan konteks tuturannya. Batasan ilmu bahasa pragmatik dari Levinson
itu selengkapnya dapat dilihat pada kutipan berikut. Pragmatics is the study of thoose relations between language and context that are grammaticalized, or encoded in the structure of a language (Lenvinson, 1983:9).
Berdasarkan berbagai pendapat dari para ahli tersebut, dapat disimpulkan
bahwa pragmatik adalah bagian dari studi linguistik yang mengkaji penggunaan
bahasa. Pengkajian bahasa dalam pragmatik akan selalu terikat dengan koteks dari
pengguna bahasa tersebut.
2.3Fenomena Pragmatik
Pragmatik sebagai cabang ilmu bahasa yang berkembang telah mengkaji
enam fenomena, yaitu praanggapan, tindak tutur, implikatur, dieksis, kesantunan,
dan ketidaksantunan. Keenam fenomena tersebut akan dijelasakan lebih lanjut
sebagai berikut.
2.3.1 Praanggapan
Ketika berkomunikasi, penutur dan mitra tutur perlu memiliki informasi
yang sama. Meskipun penutur tidak bisa memastikan apakah mitra tutur memiliki
informasi yang sama atau tidak, penutur akan beranggapan bahwa mitra tutur
(37)
telah memiliki persamaan informasi. Fenomena mengenai suatu informasi yang
dianggap penutur sudah diketahui oleh mitra tutur ini, dalam pragmatik disebut
praanggapan.
Yule (2006:43) mendefinisikan praanggapan atau pesupposisi adalah
sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan
suatu tuturan. Yule membagi presupposisi menjadi enam jenis, yaitu eksistensial,
faktif, non-faktif, leksikal, struktural, dan konterfaktual atau faktual tandingan.
Wijana dalam Nadar (2009:65) menyatakan sebuah kalimat dalam tuturan
dinyatakan mempresuposisikan kalimat yang lain jika ketidakbenaran kalimat
yang kedua (kalimat yang dipresuposisikan) mengakibatkan kalimat pertama
(kalimat yang mempresuposisikan) tidak dapat dikatakan benar atau salah.
2.3.2 Tindak Tutur
Aktivitas bertutur disebut juga sebagai tindak tutur. Saat bertutur, setiap
tuturan selalu mengandung tiga tindakan sekaligus. Ketiga tindakan tersebut
adalah lokusi, ilokusi dan perlokusi. Tindak lokusi adalah tindak bertutur dengan
kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan
kalimat itu. Tindak ilokusi adalah tindak melakukan sesuat dengan maksud dan
fungsi yang tertentu pula. Tindak perlokusi adalah tindak menumbuhkan pengaruh
(effect) kepada diri sang mitra tutur (Rahardi, 2003:71–72).
Yule (2006:92–94) mengklasifikasikan tindak tutur menjadi 5 jenis fungsi umum, yaitu deklaratif, representatif, ekspresif, direktif, dan komisif. Berikut ini
(38)
19
1) Deklarasi adalah jenis tindak tutur yang mengubah dunia melalui tuturan.
Penutur harus memiliki peran institusional khusus, dalam konteks khusus,
untuk menampilkan suatu deklarasi secara tepat. Pernyataan deklarasi,
misalnya berpasrah, memecat, membaptis, memberi nama, mengangkat,
mengucilkan, dan menghukum (Rahardi, 2006:71). Pada waktu menggunakan
deklarasi, penutur mengubah dunia dengan kata-kata.
2) Representatif ialah jenis tindak tutur yang menyatakan apa yang diyakini
penutur kasus atau bukan. Pernyataan suatu fakta, penegasan, kesimpulan,
dan pendeskripsian tentang sesuatu yang diyakini oleh penutur. Pada waktu
menggunakan sebuah representatif, penutur mencocokkan kata-kata dengan
dunia (kepercayaannya).
3) Ekspresif ialah jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang dirasakan
oleh penutur. Tindak tutur itu mencerminkan pernyataan-pernyataan
psikologis dan dapat berupa pernyataan kegembiraan, kesulitan, kesukaan,
kebencian, kesenangan, atau kesengsaraan. Rahardi (2003:71) menambahkan
pernyataan ekspresif tersebut, seperti berterima kasih, memberi selamat,
meminta maaf, menyalahkan, memuji, dan berbelasungkawa. Tindak tutur itu
mungkin disebabkan oleh sesuatu yang dilakukan oleh penutur atau
pendengar, tetapi semuanya menyangkut pengalaman penutur.
4) Direktif ialah jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh
orang lain melakukan sesuatu. Jenis tindak tutur ini menyatakan apa yang
menjadi keinginan penutur. Tindak tutur ini meliputi; perintah, pemesanan,
(39)
permohonan, pemberian saran, dan bentuknya dapat berupa kalimat positif
dan negatif.
5) Komisif ialah jenis tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk
mengaitkan dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan datang.
Tindak tutur ini menyatakan apa saja yang dimaksudkan oleh penutur. Tindak
tutur ini dapat berupa janji, ancaman, penolakan, dan ikrar. Pada waktu
menggunakan komisif, penutur berusaha untuk menyesuaikan dunia dengan
kata-kata (lewat penutur).
2.3.3 Implikatur
Di dalam sebuah pertuturan yang sesungguhnya, si penutur dapat secara
lancar berkomunikasi karena mereka berdua memiliki semacam kesamaan yang
dipertuturkan itu. Di antara penutur dan mitra tutur terdapat semacam kontrak
percakapan yang tidak tertuis, bahwa apa yang sedang dipertuturkan itu sudah
saling dimengerti dan saling dipahami. Grice (1975) dalam Rahardi (2003)
menyatakan bahwa sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan
bagian dari tuturan tersebut. Proposisi yang diimplikasikan semacam itu disebut
implikatur percakapan (Rahardi, 2006:85).
Jika seorang pendengar mendengar ungkapan dari seorang penutur, dia
harus berasumsi bahwa penutur sedang melaksanakan kerja sama dan bermaksud
untuk menyampaikan informasi. Informasi itu tentunya memiliki makna yang
(40)
21
dikatakan bahwa implikatur adalah ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda
dengan yang sebenarnya diucapkan. Yule (2006) membedakan implikatur menjadi
lima jenis, yaitu implikatur percakapan, implikatur percakapan umum, implikatur
berskala, implikatur percakapan khusus, dan implikatur konvensional.
2.3.4 Deiksis
Deiksis adalah istilah teknis (dari bahasa Yunani) untuk salah satu hal
mendasar yang dilakukan dengan tuturan. Deiksis berarti ‘penunjukan’ melalui bahasa. Bentuk linguistik yang dipakai untuk menyelesaikan ‘penunjukan’ disebut ungkapan deiksis (Yule, 2006:13). Yule (2006) membagi deiksis menjadi tiga,
yaitu deiksis persona untuk menunjuk orang, deiksis spasial untuk menunjuk
tempat, dan deiksis temporal untuk menunjuk waktu.
Penafsiran deiksis tergantung pada konteks, maksud penutur, dan
ungkapan-ungkapan itu mengungkapan jarak hubungan. Diberikannya ukuran
kecil dan rentangan yang sangat luas dari kemungkinan pemakainya,
ungkapan-ungkapan deiksis selalu menyampaikan lebih banyak hal daripada yang diucapkan
(Yule, 2006:26)
Selain Yule, Nadar (2009) juga membagi deiksis menjadi tiga. Seorang
penutur yang berbicara dengan lawan tuturnya seringkali menggunakan kata-kata
yang menunjuk baik pada orang, waktu, maupun tempat. Kata-kata yang lazim
disebut dengan deiksis tersebut berfungsi menunjukkan sesuatu, sehingga
keberhasilan suatu interaksi antara penutur dan lawan tutur sedikit banyak akan
(41)
tergantung pada pemahaman deiksis yang dipergunakan oleh seorang penutur
(Nadar, 2009:4–5).
2.3.5 Kesantunan
Bahasa merupakan cermin kepribadian setiap orang. Dengan adanya
bahasa verbal maupun nonverbal, setiap orang dapat menilai baik atau buruk
orang lain. Pranowo (2009:3) mendefinisikan bahasa verbal adalah bahasa yang
diungkapkan dengan kata-kata dalam bentuk ujaran atau tulisan, sedangkan
bahasa nonverbal adalah bahasa yang diungkapkan dalam bentuk mimik, gerak
gerik tubuh, sikap atau perilaku.
Bahasa dan tindakan yang perlu dikembangkan adalah kepribadian yang
baik dan santun. Seorang yang berkepribadian baik dan santun tentu mampu
menjaga harga dirinya dan dapat menghormati orang lain. Struktur bahasa yang
santun adalah struktur bahasa yang disusun oleh penutur/penulis agar tidak
menyinggung perasaan pendengar atau pembaca (Pranowo, 2009:4). Fenomena
kesantunan dalam masyarakat ini telah menjadi kajian tersendiri dalam ilmu
pragmatik. Adanya fenomena kesantunan berbahasa telah memunculkan berbagai
teori kesantunan dari para ahli.
Pranowo dalam bukunya yang berjudul “Berbahasa secara Santun”
(2009:100–104) menjelaskan empat teori kesantunan yang berbeda dari empat ahli. Pertama adalah Dell Hymes (1978) dengan istilah SPEAKING yaitu suatu
(42)
23
komunikasi), act sequen (pesan yang ingin disampaikan), key (kunci),
instrumentalities (peranti), norms (norma), dan genre (kategori). Kedua ialah Grice (1978) yang mengidentifikasi kesantunan harus memperhatikan empat
prinsip kerja sama, yaitu prinsip kualitas, prinsip kuantitas, prinsip relevansi, dan
prinsip cara. Ketiga adalah Leech (1983) dengan tujuh maksim kesantunannya.
Ketujuh maksim tersebut adalah maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan,
maksim pujian, maksim kerendahan hati, maksim kesetujuan, maksim simpati,
dan maksim pertimbangan. Keempat ialah Pranowo (2005) yang mengemukakan
enam indikator kesantunan. Angon rasa, adu rasa, empan papan, sifat rendah hati, sikap hormat, dan sikap tepa selira merupakan indikator kesantunan tersebut.
2.3.6 Ketidaksantunan
Kaidah yang selama ini disosialisaikan kepada masyarakat adalah kaidah
bahasa yang baik dan benar. Padahal, ketika berkomunikasi, penggunaan bahasa
yang baik dan benar saja belum cukup. Seseorang yang mampu berbahasa secara
baik berarti sudah mampu menggunakan bahasa sesuai dengan ragam dan situasi,
sedangkan berbahasa yang benar adalah berbahasa sesuai dengan kaidah tertentu.
Namun, masih ada satu kaidah lagi yang perlu diperhatikan yaitu kesantunan.
Ketika seorang sedang berkomunikasi, hendaknya di samping baik dan benar juga
santun (Pranowo, 2009:4–5).
Kenyataan yang ada dalam masyarakat, kesantunan kadang dilupakan
dalam pemakaian bahasa sehari-hari. Hal inilah yang memunculkan pemakaian
bahasa yang tidak santun. Pemakaian bahasa yang tidak santun ini merupakan
(43)
suatu permasalahan dalam masyarakat. Permasalahan ini kemudian menjadi
fenomena baru dalam studi pragmatik. Sebelum fenomena ketidaksantunan ini
muncul, pragmatik telah mengkaji lima fenomena yang menjadi bagian kajian
pragmatik, seperti dipaparkan pada bagian sebelumnya. Oleh karena itu,
fenomena ketidaksantunan yang berkembang di masyrakat, khususnya dalam
lingkungan keluarga, menjadi fenomena baru yang menarik untuk dikaji lebih
dalam. Karena kajian pragmatik selalu terikat pada konteks, ketidaksantunan juga
akan dikaji dengan melmperhatikan konteks situasi pengguna tuturan.
2.4Teori-teori Ketidaksantunan
Penelitian ini mengkaji fenomena ketidaksantuan berbahasa dalam
lingkungan keluarga. Oleh karena itu, berikut ini akan dikemukakan beberapa
teori ketidaksantunan berbahasa yang diungkapkan oleh para ahli dalam buku
Impoliteness in Language: Studies on its Interplay with Power in Teory and Practice yang disusun oleh Bousfield dan Locher (2008) dan telah diartikan oleh
Rahardi (2012) dalam presentasinya “Penelitian Kompetensi: Ketidaksantunan
Pragmatik dan Linguistik Berbahasa dalam Ranah Keluarga (Family Domain)”.
2.4.1 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher
Miriam A Locher (2008) berpandangan bahwa ketidaksantunan dalam
berbahasa dapat dipahami sebagai berikut, ‘…behaviour that is face-aggravating
(44)
25
berkaitan dengan definisi Locher terhadap ketidaksantunan berbahasa ini adalah
bahwa tindakan tersebut sesungguhnya bukanlah sekadar perilaku ‘melecehkan
muka’, melainkan perilaku yang ‘memain-mainkan muka’. Jadi, ketidaksantunan
berbahasa dalam pemahaman Miriam A. Locher adalah sebagai tindak berbahasa
yang melecehkan dan memain-mainkan muka, sebagaimana yang dilambangkan
dengan kata ‘aggravate’ itu.
Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa ini dapat
diilustrasikan dengan situasi berikut.
1) Situasi:
Keluarga sedang melakukan persiapan untuk menghadiri undangan pesta
ulang tahun salah satu kerabat. Sang kakak yang telah selesai berias,
memperhatikan penampilan adiknya yang hanya mengenakan kaos yang
dirasa tidak pantas dipakai dalam acara tersebut.
2) Wujud tuturan:
a) Kakak : “Dik, nggak ada baju lain apa?” b) Adik : “Emangnya kalau pakai ini kenapa?”
c) Kakak : “Nggak pantes ah! Kayak mau ke pasar tau! Ganti sana! Udah
gede kok nggak bisa dandan.”
Dengan melihat percakapan di atas, sebenarnya sang kakak hanya ingin
menyuruh adiknya untuk berganti baju, tetapi tuturan yang disampaikan pada
kalimat c) terlihat tidak santun. Kalimat c) menandakan sebuah tuturan yang tidak
santun karena tuturan tersebut dapat menyinggung perasaan sang adik yang
dianggap tidak bisa berias dengan semestinya.
(45)
Dengan memperhatikan ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa teori
ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher ini menitikberatkan pada
bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang memiliki maksud
untuk menyinggung mitra tuturnya.
2.4.2 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Bousfiled
Bousfield (2008:3) berpandangan bahwa ketidaksantunan dalam
berbahasa dipahami sebagai, ‘The issuing of intentionally gratuitous and conflictive face-threatening acts (FTAs) that are purposefully perfomed.’
Bousfield memberikan penekanan pada dimensi ‘kesembronoan’(gratuitous), dan konfliktif (conflictive) dalam praktik berbahasa yang tidak santun. Jadi, apabila perilaku berbahasa seseorang itu mengancam muka, dan ancaman terhadap muka
itu dilakukan secara sembrono (gratuitous), hingga akhirnya tindakan berkategori sembrono demikian itu mendatangkan konflik, atau bahkan pertengkaran, dan
tindakan tersebut dilakukan dengan kesengajaan (purposeful), maka tindakan berbahasa itu merupakan realitas ketidaksantunan.
Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa ini dapat
diilustrasikan dengan situasi berikut.
1) Situasi:
Pada siang hari, kakak hendak beristirahat. Namun, sang adik yang sedang
bermain dengan teman-temannya terlalu mengganggu istirahat kakaknya.
(46)
27
b) Adik : “Ye... yang mau tidur kan Mbak, kok yang ribet aku? Kalau mau
tidur, ya tinggal tidur ta. Gitu aja kok repot.”
Dari percakapan tersebut, dapat diketahui bahwa sang kakak berusaha
menegur sang adik dan teman-temannya supaya tidak berisik. Teguran ini dapat
dilihat pada kalimat a) yang dituturkan dengan nada tegas. Tuturan a) tersebut
ingin menegaskan bahwa sang adik perlu memberikan ketenangan supaya sang
kakak bisa tidur siang. Namun, sang adik tidak mengindahkan teguran kakaknya
melainkan memberikan komentar yang membuat sang kakak merasa jengkel.
Komentar tersebut dapat dilihat pada kalimat b) yang menandakan tuturan
disampaikan dengan sembrono. Dengan hal itu, tuturan sang adik tersebut dapat
menimbulkan konflik dengan sang kakak yang bertindak sebagai penutur dan
mitra tutur.
Berdasarkan ilustrasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa teori
ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Bousfield (2008) ini lebih menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur
yang memiliki maksud selain untuk melecehkan dan menghina mitra tuturnya
dengan tanggapan semaunya secara sengaja sehingga dapat memungkinkan
adanya konflik diantara penutur dan mitra tutur.
2.4.3 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Culpeper
Pemahaman Culpeper (2008) mengenai ketidaksantunan berbahasa
adalah, ‘Impoliteness, as I would define it, involves communicative behavior
intending to cause the “face loss” of a target or perceived by the target to be so.’
(47)
Dia memberikan penekanan pada fakta ‘face loss’ atau ‘kehilangan muka’—kalau dalam bahasa Jawa mungkin konsep itu dekat dengan konsep ‘kelangan rai’ (kehilangan muka). Culpeper memberikan penekanan pada fakta ‘face loss’ atau
fakta ‘kehilangan muka’ untuk menjelaskan konsep ketidaksantunan dalam
berbahasa. Sebuah tuturan akan dianggap sebagai tuturan yang tidak santun jika
tuturan itu menjadikan muka seseorang hilang. Jadi, ketidaksantunan
(impoliteness) dalam berbahasa itu merupakan perilaku komunikatif yang diperantikan secara intensional untuk membuat orang benar-benar kehilangan
muka (face loss), atau setidaknya orang tersebut ‘merasa’ kehilangan muka. Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa ini dapat
diilustrasikan dengan situasi berikut.
1) Situasi:
Pada suatu kesempatan, seluruh anggota keluarga sedang menonton televisi di
ruang keluarga. Ketika acara televisi menayangkan sebuah drama percintaan,
sang ibu bertanya kepada anak perempuannya yang belum mempunyai
kekasih sehingga menarik perhatian anggota keluarga yang lain.
2) Wujud tuturan:
a) Ibu : “Nduk, kamu tu kapan mau cari pacar?”
b) Anak : “Sabar aja ta Bu.”
c) Ibu : “Udah umur 22 kok masih belum punya pacar. Jangan-
jangan kamu ndak normal, Nduk. Ndak suka sama laki-laki ya?” (anggota
keluarga lain tertawa)
d) Anak : “Hah Ibu ki lho, aku ya normal-normal aja kok.” (dengan muka tertekuk)
(48)
29
Dari ilustrasi percakapan di atas, dapat diketahui bahwa sang ibu ingin
menggoda anak perempuannya yang belum juga memiliki kekasih di usianya
ke-22. Namun, dalam percakapan tersebut terdapat sebuah tuturan yang tidak santun,
yaitu pada tuturan d). Meskipun kalimat tuturan tersebut dikatakan dengan nada
santai dan dalam konteks bergurau, kalimat tersebut dapat menyinggung perasaan
dan membuat malu (kehilangan muka) sang anak sebagai mitra tutur di depan
anggota keluarga yang lain.
Berdasarkan ilustrasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa teori
ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Culpeper ini lebih menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang memiliki
maksud untuk mempermalukan mitra tuturnya.
2.4.4 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Tekourafi
Terkourafi (2008:3–4) memandang ketidaksantunan sebagai,
‘impoliteness occurs when the expression used is not conventionalized relative to
the context of occurrence; it threatens the addressee’s face but no face
-threatening intention is attributed to the speaker by the hearer.’ Jadi, perilaku
berbahasa dalam pandangannya akan dikatakan tidak santun bilamana mitra tutur
(addressee) merasakan ancaman terhadap kehilangan muka (face threaten), dan penutur (speaker) tidak mendapatkan maksud ancaman muka itu dari mitra tuturnya.
(49)
Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa ini dapat
diilustrasikan dengan situasi berikut.
1) Situasi:
Suatu ketika, keluarga mendapatkan kunjungan dari teman kantor sang bapak.
Di ruang lain, sang anak sedang asyik menonton televisi. Karena jarak ruang
menonton televisi hanya berada di sebelah ruang tamu, suara televisi dan
teretawa sang anak terdengar jelas dari ruang tamu, sehingga mengganggu
percakapan bapak dan tamunya.
2) Wujud tuturan.
a) Bapak : “Dik, Mbok suara televisinya ki dikecilkan! Bapak lagi ada
tamu.”
b) Anak : “Apa Pak? Nggak kedengeran.”
c) Bapak : “Suaranya itu lho dikecilin!” (mendekati sang anak)
d) Anak : “Ih, Bapak mah lagi lucu ki lho. Kan tamunya juga nggak merasa
tertanggu ta.” (cemberut)
Tuturan di atas menunjukkan bahwa sang bapak berusaha menegur sang
anak karena suara tertawa dan volume televisinya dianggap mengganggu
pertemuan sang bapak dengan tamunya. Hal tersebut dapat dilihat pada tuturan a)
dan ditegaskan lagi pada tuturan c), namun tetap dengan nada yang datar. Namun,
teguran sang bapak ternyata ditanggapi oleh sang anak dengan nada yang tinggi.
Tuturan sang anak pada kalimat d) menunjukkan bahwa sang anak merasa kalau
kegiatan menonton televisinya tidak mengganggu tamu tersebut. Percakapan
tersebut memberikan gambaran bahwa sang anak menanggapi teguran bapaknya
(50)
31
tanggapan anaknya, tetapi sang anak tidak menyadari kalau tanggapannya
membuat sang bapak tersinggung.
Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan
bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Terkourafi (2008) ini lebih menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh
penutur yang memiliki maksud untuk mengancam muka sepihak mitra tuturnya
tetapi di sisi lain penutur tidak menyadari bahwa perkataannya menyinggung
mitra tutur.
2.4.5 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher and Watts
Locher and Watts (2008:5) berpandangan bahwa perilaku tidak santun
adalah perilaku yang secara normatif dianggap negatif (negatively marked behavior) karena melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Kedua ahli tersebut juga menegaskan bahwa ketidaksantunan merupakan peranti
untuk menegosiasikan hubungan antarsesama (a means to negotiate meaning). Selengkapnya pandangan mereka tentang ketidaksantunan tampak berikut ini,
‘…impolite behaviour and face-aggravating behaviour more generally is as much
as this negation as polite versions of behavior.’ (cf. Lohcer and Watts, 2008:5).
Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa ini dapat
diilustrasikan dengan situasi berikut.
(51)
1) Situasi:
Saat masuk ke kamar anaknya, ibu melihat kamar anaknya sangat
berantakkan. Ibu menjadi marah karena keluarga sudah bersepakat bahwa
kebersihan kamar menjadi tanggung jawab pemilik kamar.
2) Wujud tuturan:
a) Ibu : “Dik, kenapa kamarmu berantakan sekali?”
b) Anak : “Hehe, belum aku beresin.”
c) Ibu : “Ibu pokoknya nggak mau tahu, cepet beresin kamar kamu. Ibu
nggak mau bersihin, wong itu kamar kamu.” d) Anak : “Males ah, Bu. Ibu aja deh yang beresin.”
e) Ibu : “Nggak mau. Udah ada kesepakatannya, kebersihan kamar jadi
tanggung jawab pemilik kamar.”
Percakapan di atas memperlihatkan bahwa sang anak tidak merasa
bersalah dengan tidakannya. Pertanyaan ibu pada kalimat a) dijawab dengan
santai tanpa rasa bersalah oleh sang anak pada kalimat b). Tuturan pada kalimat d)
menunjukkan bahwa sang anak tidak menghiraukan kesepakatan yang telah dibuat
bersama dengan anggota keluarga lainnya. Tuturan tersebut merupakan tuturan
yang tidak santun karena telah mengacuhkan dan melanggar kesepakatan yang
telah menjadi peraturan dalam keluarga tersebut.
Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa teori
ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher and Watts (2008) ini lebih menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur
yang secara normatif dianggap negatif, karena dianggap melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat (tertentu).
(52)
33
Dari teori-teori ketidaksantunan yang telah disampaikan, dapat
disimpulkan bahwa (1) dalam pandangan Miriam A. Locher ketidaksantunan
berbahasa merupakan tindak berbahasa yang melecehkan muka dan
memain-mainkan muka sehingga membuat mitra tutur tersinggung, (2) ketidaksantunan
berbahasa dalam pandangan Bousfield adalah perilaku berbahasa yang
mengancam muka dan dilakukan secara sembrono (gratuitous) sehingga dapat menimbulkan konflik antara penutur dan mitra tutur, (3) ketidaksantunan
berbahasa dalam pandangan Culpeper merupakan perilaku berbahasa yang dapat
membuat orang benar-benar kehilangan muka (face loss) atau setidaknya orang tersebut ‘merasa’ kehilangan muka, (4) ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Terkourafi merupakan bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan
oleh penutur yang memiliki maksud untuk mengancam muka sepihak mitra
tuturnya, tetapi di sisi lain penutur tidak menyadari bahwa perkataannya
menyinggung mitra tutur, dan (5) ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan
Locher and Watts adalah perilaku berbahasa yang secara normatif dianggap
negatif, lantaran melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Kelima teori ketidaksantunan berbahasa tersebut akan digunakan sebagai landasan
untuk melihat praktik ketidaksantunan berbahasa yang terjadi di dalam keluarga.
2.5Konteks
Pada tahun 1923, Malinowsky telah memunculkan istilah konteks,
khususnya konteks yang berdimensi situasi atau ‘context of situation’.
Malinowsky dalam Vershueren (1998:75) mengatakan ‘Exactly as in the reality of
(53)
spoken or written languages, a word without linguistics context is a mere figment and stands for nothing by itself, so in the reality of a spoken living tongue, the
utterance has no meaning except in the context of situation.’ Jadi, di dalam
pandangannya sesungguhnya dinyatakan bahwa kehadiran konteks situasi menjadi
mutlak untuk menjadikan sebuah tuturan benar-benar bermakna (Rahardi, 2012).
Sesuai dengan pandangan Malinowsky tersebut, para ahli linguistik dan
pragmatik berpendapat bahwa studi pragmatik akan selalu terikat dengan kontek.
Pragmatik adalah studi ilmu bahasa yang mendasarkan pijakan analisisnya pada
konteks situasi tuturan yang ada di dalam masyarakat dan wahana kebudayaan
yang mewadahinya. Konteks situasi tuturan yang dimaksud menunjuk pada aneka
macam kemungkinan latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang muncul dan dimiliki bersama-sama baik oleh si penutur maupun oleh mitra tutur,
serta aspek-aspek non-kebahasaan lainnya yang menyertai, mewadahi, serta
melatarbelakangi hadirnya sebuah tuturan (Rahardi, 2003: 18).
Konteks dalam istilah Leech (1983) disebut ‘speech situation’. Leech
(1983) dalam Wijana (1996:10−13) mengemukakan sejumlah aspek yang
senantiasa harus dipertimbangkan dalam rangka studi pragmatik, sehubungan
dengan bermacam-macamnya maksud yang dikomunikasikan oleh penuturan
sebuah tuturan. Aspek-aspek itu adalah sebagai berikut.
1) Penutur dan lawan tutur
Konsep penutur dan lawan tutur ini juga mencakup penulis dan
(54)
35
latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan
sebagainya.
2) Konteks tuturan
Konteks tuturan penelitian linguistik adalah konteks dalam semua
aspek fisik atau setting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan. Konteks yang bersifat fisik lazim disebut koteks (cotext), sedangkan konteks
setting sosial disebut konteks. Di dalam pragmatik konteks itu pada hakikatnya adalah semua latar belakang pengetahuan (back gorund knowledge) yang dipahami bersama oleh penutur dan lawan tutur.
3) Tujuan penutur
Bentuk-bentk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi
oleh maksud dan tujuan tertentu. Dalam hubungan ini bentuk-bentuk tuturan
yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang
sama. Atau sebaliknya, berbagai macam maksud dapat diutarakan dengan
tuturan yang sama. Di dalam pragmatik, berbicara merupakan aktivitas yang
berorientasi pada tujuan (goal oriented activities). Ada perbedaan yang mendasar antara pandangan pragmatik yang bersifat fungsional dengan
pandangan gramatika yang bersifat formal. Di dalam pandangan yang bersifat
formal, setiap bentuk lingual yang berbeda tentu memiliki makna yang
berbeda.
4) Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas
Bila gramatika menangani unsur-unsur kebahasaan sebagai entitas
yang abstrak, seperti kalimat dalam studi sintaksis, proposisi dalam studi
(55)
semantik, dan sebagainya, pragmatik berhubungan dengan tindak verbal
(verbal act) yang terjadi dalam situasi tertentu. Dalam hubungan ini, pragmatik menangani bahasa dalam tingkatannya yang lebih konkret
dibanding dengan tata bahasa. Tuturan sebagai entitas yang konkret jelas
penutur dan lawan tuturnya, serta waktu dan tempat pengutaraannya.
5) Tuturan sebagai produk tindak verbal
Tuturan yang digunakan di dalam rangka pragmatik, seperti yang
dikemukakan dalam kriteria keempat merupakan bentuk dari tindak tutur.
Oleh karenanya, tuturan yang dihasilkan merupakan bentuk dari tindak
verbal. Sebagai contoh, kalimat Apakah rambutmu tidak terlalu panjang?
Dapat ditafsirkan sebagai pertanyaan atau perintah. Dalam hubungan ini,
dapat ditegaskan ada perbedaan yang mendasar antara kalimat (sentence)
dengan tuturan (utturance). Kalimat adalah entitas gramatikal sebagai hasil kebahasaan yang diidentifikasikan lewat penggunaannya dalam situasi
tertentu.
Selain kelima aspek tuturan yang dijelaskan oleh Leech (1983),
Verschueren menyebut empat dimensi konteks yang sangat mendasar dalam
memahami makna sebuah tuturan. Empat dimensi konteks menurut Verschuren
(1998) via Rahardi (2012) dalam jurnal yang berjudul “Re-interpretasi Konteks
(56)
37
1) ‘The utterer’ dan‘The Interpteter’
Pembicara dan lawan bicara, penutur dan mitra tutur, atau ‘the
utterer’ and ‘the interpreter’ adalah dimensi paling signifikan dalam
pragmatik. Dalam hal ini, ‘pembicara’ atau ‘penutur’ (utterer) itu memiliki banyak suara (many voices), sedangkan mitra tutur atau mitra wicara atau interpreter, lazimnya dikatakan memiliki banyak peran. Penutur atau
pembicara, atau yang lazim disebut ‘the speaker’ dan ‘the utterer’, memang memiliki banyak kemungkinan kata. Bahkan ada kalanya pula, seorang
penutur atau ‘utterer’ dapat berperan sebagai ‘interpreter’. Jadi, dia sebagai penutur atau pembicara, tetapi juga sekaligus dia sebagai pengintepretasi atas
apa yang sedang diucapkannya itu.
Hal lain lagi yang juga mutlak harus diperhatikan dan
diperhitungkan dalam kaitan dengan ‘utterer’ dan ‘interpreter’ atau
‘pembicara’ dan ‘mitra wicara’ adalah jenis kelamin, adat-kebiasaan, dan
semacamnya. Hal tersebut adalah perihal ‘the influence of numbers’ alias
‘pengaruh dari jumlah’ orang yang hadir dalam sebuah pertutursapaan.
Kehadiran penutur yang banyak, cenderung akan memengaruhi proses
interpretasi makna oleh ‘interpreter’. Demikian pula jika jumlah ‘utterer’ itu banyak, maka interpretasi kebahasaan yang akan dilakukan ‘interpreter’ pasti sedikit banyak terpengaruhi. Jadi, memang akan menjadi sangat berbeda
makna kebahasaan yang muncul bilamana sebuah pertutursapaan dihadiri
orang dalam jumlah banyak, dan bilamana hanya dihadiri dua pihak saja,
yakni penutur (utterer) dan mitra tutur (interpreter).
(57)
2) Aspek-aspek Mental ‘Language Users’
Dalam konteks pragmatik, aspek kepribadian atau ‘personality’ dari penutur dan mitra tutur, ‘utterer’ dan ‘interpreter’, ternyata mengambil peranan yang sangat dominan. Selain dimensi ‘personality’, aspek yang harus diperhatikan dalam kaitan dengan komponen penutur dan mitra tutur ini
adalah aspek warna emosinya (emotions). Seseorang yang memiliki warna emosi dan temperamen tinggi, cenderung akan berbicara dengan nada dan
nuansa makna yang tinggi pula. Akan tetapi, seseorang yang warna emosinya
tidak terlampau dominan, dia cenderung akan berbicara sabar. Selain dimensi
‘personality’ dan ‘emotions’, terdapat pula dimensi ‘desires’ atau ‘wishes’,
dimensi ‘motivations’ atau ‘intentions’, serta dimensi kepercayaan atau
‘beliefs’ yang juga harus diperhatikan dalam kerangka perbicangan konteks
pragmatik ini.
Dimensi-dimensi mental ‘language users’ berpengaruh besar terhadap dimensi kognisi dan emosi penutur dan mitra tutur dalam pertuturan
sebenarnya. Dengan demikian harus dikatakan pula, bahwa dimensi mental
penutur dan mitra tutur tidak bisa tidak harus dilibatkan dalam analisis
pragmatik karena semuanya berpengaruh terhadap warna dan nuansa interaksi
dalam komunikasi .
3) Aspek-aspek Sosial ‘Language Users’
Penutur dan mitra tutur atau ‘utterer’ dan ‘interpreter’ merupakan individu-individu yang menjadi bagian dari masyarakat tertentu.
(58)
Dimensi-39
kultur atau budaya tertentu tersebut harus dilibatkan di dalamnya.
Aspek-aspek sosial, atau dapat pula diistilahkan sebagai ‘social setting’ alias seting sosial atau oleh Verschueren (1998) disebut ‘ingredient of the communicative
context’ harus diperhatikan dengan benar-benar baik dalam analisis
pragmatik. Aspek kultur juga merupakan satu hal yang sangat penting sebagai
penentu makna dalam pragmatik, khususnya yang berkaitan dengan aspek
‘norms and values of culture’ dari masyarakat bersangkutan.
Dimensi-dimensi sosial lain yang harus diperhatikan dalam pragmatik,
khususnya dalam kaitan dengan konteks pragmatik, dalam pandangan
Verschueren (1998:92) adalah: ‘…social class, ethnicity and race,
nationality, linguistic group, religion, age, level of education, profession,
kinship, gender, sexual preference…’. Verschueren melibatkan tingkat sosial,
etnisitas dan ras, kebangsaan, kelompok linguistik, religi, usia, tingkat
pendidikan, profesi, kekerabatan, jenis kelamin, preferensi seksual. Begitu
kompleks dimensi-dimensi sosial yang harus dilibatkan dalam konteks
pragmatik.
4) Aspek-aspek Fisik ‘Language Users’
Aspek fisik ‘referensi spasial’ harus diperhatikan di dalam analisis pragmatik. Aspek fisik tersebut berkaitan dengan fenomena penggunaan
deiksis. Fenomena deiksis (deixis phenomenon), baik yang berciri persona (personal deixis), deiksis perilaku (attitudinal deixis), deiksis waktu (temporal deixis), maupun deiksis tempat (spatial deixis). Dalam
(59)
perbincangan konteks pragmatik ini, semuanya harus diperhatikan dan
diperhitungkan dengan benar-benar baik dan cermat.
Deiksis persona, lazimnya menunjuk pada penggunaan kata ganti
orang, misalnya saja dalam bahasa Indonesia kurang ada kejelasan kapan
harus digunakan kata ‘kita’ dan ‘kami’. Kejanggalan lain juga ditemukan pada pemakaian antara ‘saya’ dan ‘kami’. Adapun ‘attitudinal deixis’ berkaitan sangat erat dengan bagaimana kita harus memperlakukan
panggilan-panggilan persona seperti yang disampaikan di depan itu dengan
tepat sesuai dengan referensi sosial dan sosietalnya. Deiksis-deiksis dalam
jenis yang disampaikan di depan itu semuanya merupakan aspek fisik
‘language users’, yang secara sederhana dimaknai sebagai ‘penutur’ dan
‘mitra tutur’, sebagai ‘utterer’ dan ‘interpreter’.
Selanjutnya masih berkaitan dengan persoalan diksis pula, tetapi yang
sifatnya temporal, harus diperhatikan misalnya saja, kapan harus digunakan
ucapan ‘selamat pagi’ atau ‘pagi’ saja dalam bahasa Indonesia. Masalah tersebut berkaitan dengan deiksis waktu (temporal deixis). Perhatian juga harus diberikan tidak saja pada dimensi waktu atau ‘temporal reference’ seperti yang ditunjukkan di depan tadi, khususnya dalam kaitan dengan
deiksis-deiksis waktu, tetapi juga pada dimensi tempat atau dimensi lokasi,
atau yang oleh Verschueren (1998:98) disebut sebagai ‘spatial reference’. Konsep ‘spatial reference’ menunjuk pada konsepsi gerakan atau ‘conception
(1)
8.Anda diajak teman-teman keluar rumah pada malam hari. Namun, orang tua tidak mengizikinkan Anda untuk pergi. Apa yang akan Anda katakan kepada orang tua Anda di depan teman-teman Anda?
Respons Anda:
--- ---
9.Ketika Anda pulang sekolah dan merasa lapar, tidak ada makanan di rumah. Apa yang akan Anda katakan kepada orang tua Anda?
Respons Anda:
--- ---
10.Ketika Anda sedang dimarahi oleh orang tua karena Anda dianggap pergi tanpa seizin mereka, padahal Anda merasa sudah meminta izin kepada orang tua Anda. Apa yang akan Anda katakan dalam situasi seperti ini?
Respons Anda:
--- --- ---
(2)
3. Keadaan emosi : 4. Identitas penutur :
a. Gender :
b. Umur :
c. Pekerjaan : d. Domisili : e. Daerah Asal : f. Bahasa yang dipakai sehari-hari : 5. Identitas lawan tutur :
a. Gender :
b. Umur :
c. Pekerjaan : d. Domisili :
e. Daerah Asal : f. Bahasa yang dipakai sehari-hari :
6. Tanggal percakapan :
7. Waktu percakapan :
Tuturan:--- --- --- Maksud: --- --- ---
(3)
(4)
(5)
(6)
Yogyakarta pada tahun 1997–2003. Tahun 2003–2006, pendidikan dilanjutkan di SMP Negeri 6 Yogyakarta. Sekolah menengah atas ditempuh di SMA Negeri 4 Yogyakarta pada tahun 2006–2009.
Setelah menempuh pendidikan sekolah menengah atas, tercacat sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta angkatan 2009. Masa pendidikan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta diakhiri dengan menulis skripsi sebagai tugas akhir dengan judul Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik dalam Ranah Keluarga di Lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta.