Ketidaksantunan linguistik dan pragmatik dalam ranah keluarga pedagang yang berdagang di Pasar Besar Beringharjo Yogyakarta.

(1)

ABSTRAK

Simanulang, Katarina Yulita. 2013. Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik dalam Ranah Keluarga Pedagang yang Berdagang di Pasar Besar Beringharjo, Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD. Penelitian ini membahas ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa dalam interaksi anggota keluarga pedagang yang berdagang di Pasar Besar Beringharjo, Yogyakarta. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan wujud-wujud linguistik dan pragmatik, (2) mendeskripsikan penanda linguistik dan pragmatik berbahasa, serta (3) mendeskripsikan maksud yang mendasari penutur menggunakan bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga pedagang yang berdagang di Pasar Besar Beringharjo, Yogyakarta.

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah keluarga pedagang yang berdagang di Pasar Besar Beringharjo, Yogyakarta dengan data berupa tuturan lisan yang tidak santun. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara (daftar pertanyaan, pancingan, dan daftar kasus) dan blangko pengamatan. Metode pengumpulan data yakni, pertama, metode simak dengan teknik catat dan rekam, dan kedua, metode cakap yang disejajarkan dengan metode wawancara yang dilaksanakan dengan teknik pancing. Dalam analisis data, penelitian ini menggunakan metode kontekstual, yakni dengan memerantikan dimensi-dimensi konteks dalam menginterpretasi data yang telah berhasil diidentifikasi, diklasifikasi, dan ditipifikasikan.

Simpulan dari penelitian ini adalah (1) wujud ketidaksantunan linguistik berupa tuturan lisan tidak santun antaranggota keluarga pedagang yang terbagi dalam kategori melanggar norma (subkategori menolak dan menentang), mengancam muka sepihak (subkategori kesal, memerintah, menyindir, memperingatkan, dan mengancam), melecehkan muka (subkategori kesal, menyindir, mengejek, menentang, menolak, dan memperingatkan), menghilangkan muka (subkategori mengejek, memperingatkan, menyindir, kesal, dan meremehkan), dan menimbulkan konflik (subkategori mengancam, mengejek, memperingatkan, dan kesal); wujud ketidaksantunan pragmatik berupa cara penyampaian penutur yang mengikuti setiap tuturan lisan tidak santun, (2) penanda ketidaksantunan linguistik berupa penggunaan diksi, kata fatis, nada, tekanan, dan intonasi; penanda ketidaksantunan pragmatik berupa konteks yang menyertai setiap tuturan, serta (3) maksud ketidaksantunan penutur dalam kategori melanggar norma adalah menunda, protes, dan kesal; mengancam muka sepihak bermaksud kesal, protes, mengusir, basa-basi, memperingatkan, dan bercanda; melecehkan muka bermaksud memerintah, mengelak, kesal, mengomentari, menakut-nakuti, mengejek, basa-basi, menyindir, memperingatkan, dan melarang; menghilangkan muka bermaksud menanggapi, bercanda, melarang, memperingatkan, menyindir, basa-basi, mengomentari, mengusir, kesal, dan protes; serta menimbulkan konflik maksudnya menakut-nakuti, mengejek, protes, melarang, memperingatkan, dan kesal.


(2)

ABSTRACT

Simanulang, Katarina Yulita. 2013. Linguistics and Pragmatics Impoliteness at the Scope of Trader Family Work in Beringharjo Market, Yogyakarta. Thesis. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

This research discusses linguistics and pragmatics impoliteness in language at the scope of trader family work in Beringharjo Market, Yogyakarta. The aims of the research are (1) to describe the forms of linguistics and pragmatics, (2) to describe the signs of linguistics and pragmatics in language, and (3) to describe the basic meaning of the speakers when using the forms of language which are impolite at the scope of trader family work in Beringharjo Market, Yogyakarta.

Type of this research is descriptive qualitative. The source of the research is the trader family work in Beringharjo Big Market, Yogyakarta with the data of impolite spoken language. The instrument used is interview guideline (lists of questions, bait, and case list) and observation checklist. Data gathering technique are; first, listening method with noting and recording technique, and second, speaking method which is balanced with interview which is done with bait technique. In the data analysis, the research uses contextual method, with using the context dimensions in interpreting the identified, clarified, and typificated data.

The summary of the research are; (1) the form of linguistic impoliteness showed in impolite spoken language between the trader family who are divided in breaking the norm categorization (subcategory refusing and opposing), threatening face unilaterally (subcategory angry, commanding, teasing, reminding, and threatening), face humiliating (subcategory angry, teasing, mocking, opposing, refusing, and reminding), omitting the face (subcategory mocking, reminding, teasing, angry, and humiliating), and rising conflict (subcategory threatening, mocking, reminding, and angry); the form of pragmatics impoliteness showed in the way speakers deliver the speaking which following every impolite spoken language, (2) impolite linguistics signs are in the form of diction, fatis word, tone, stress, and intonation; impolite pragmatics signs are in the form of context which participated in spoken language, and (3) the aims of the impoliteness of the speaker in breaking the norm category are postponing, protest, and angry; threatening face unilaterally showed anger, protest, chasing away, good manners, reminding, and kidding; face threatening showed commanding, jumping the queue, anger, commenting, frightening, mocking, good manners, teasing, reminding, and forbidding; omitting the face showed perceiving, kidding, forbidding, reminding, teasing, good manners, commenting, chasing away, anger, and protest; and rising conflict means frightening, mocking, protest, forbidding, reminding, and anger.


(3)

i

KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK

DALAM RANAH KELUARGA PEDAGANG

YANG BERDAGANG DI PASAR BESAR BERINGHARJO

YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Disusun oleh:

Katarina Yulita Simanulang 091224076

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2013


(4)

ii SKRIPSI

KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK DALAM RANAH KELUARGA PEDAGANG

YANG BERDAGANG DI PASAR BESAR BERINGHARJO YOGYAKARTA

Disusun oleh:

Katarina Yulita Simanulang 091224076

Telah disetujui oleh: Dosen Pembimbing


(5)

iii SKRIPSI

KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK DALAM RANAH KELUARGA PEDAGANG

YANG BERDAGANG DI PASAR BESAR BERINGHARJO YOGYAKARTA

Dipersiapkan dan disusun oleh: Katarina Yulita Simanulang

091224076

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal 18 Desember 2013

dan dinyatakan telah memenuhi syarat Susunan Panitia Penguji

Nama Lengkap Tanda tangan

Ketua : Dr. Yuliana Setiyaningsih ... Sekretaris : Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum. ... Anggota 1 : Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. ... Anggota 2 : Prof. Dr. Pranowo, M.Pd. ... Anggota 3 : Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum. ...

Yogyakarta, 18 Desember 2013

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma

Dekan,


(6)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan kepada:

Tuhan Yesus yang senantiasa mengatur dan memberi berkat dalam setiap langkah saya Kedua mrang tua saya, Parman Simanullang dan Lucia Sumiatun

Adik-adikku, Nandus, Erli, dan Ana

yang selalu mendmakan, memberi kasih sayang, dan mendukung setiap pilihan hidup saya Pria spesial dalam hidup saya, David Verdyan

yang tiada hentinya menemani, mendukung, dan menyemangati dengan cintanya Teman sepayung dalam cinta, Tina, Clara, Idang, Erni

kerja sama kalian luar biasa

Terakhir, kmncm kenthel dan sahabat penyakit PBSI yang luar biasa memberi semangat dengan jargmn “syak” dan “isyik”-nya, tanpa kalian perjalanan saya tak berarti apapun.


(7)

v MOTTO

Manusia tanpa suatu tujuan adalah ibarat sebuah kapal tanpa kemudi – anak terlantar, hal sia-sia, bukan siapa-siapa.

(Thmmas Carlyle)

Kita tidak akan pernah tahu kemana arah jalan berliku itu tanpa pernah kita melaluinya.


(8)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 18 Desember 2013 Penulis


(9)

vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Katarina Yulita Simanulang Nomor Mahasiswa : 091224076

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK DALAM RANAH KELUARGA PEDAGANG

YANG BERDAGANG DI PASAR BESAR BERINGHARJO YOGYAKARTA

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal: 18 Desember 2013 Yang menyatakan


(10)

viii ABSTRAK

Simanulang, Katarina Yulita. 2013. Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik dalam Ranah Keluarga Pedagang yang Berdagang di Pasar Besar Beringharjo, Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD. Penelitian ini membahas ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa dalam interaksi anggota keluarga pedagang yang berdagang di Pasar Besar Beringharjo, Yogyakarta. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan wujud-wujud linguistik dan pragmatik, (2) mendeskripsikan penanda linguistik dan pragmatik berbahasa, serta (3) mendeskripsikan maksud yang mendasari penutur menggunakan bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga pedagang yang berdagang di Pasar Besar Beringharjo, Yogyakarta.

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah keluarga pedagang yang berdagang di Pasar Besar Beringharjo, Yogyakarta dengan data berupa tuturan lisan yang tidak santun. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara (daftar pertanyaan, pancingan, dan daftar kasus) dan blangko pengamatan. Metode pengumpulan data yakni, pertama, metode simak dengan teknik catat dan rekam, dan kedua, metode cakap yang disejajarkan dengan metode wawancara yang dilaksanakan dengan teknik pancing. Dalam analisis data, penelitian ini menggunakan metode kontekstual, yakni dengan memerantikan dimensi-dimensi konteks dalam menginterpretasi data yang telah berhasil diidentifikasi, diklasifikasi, dan ditipifikasikan.

Simpulan dari penelitian ini adalah (1) wujud ketidaksantunan linguistik berupa tuturan lisan tidak santun antaranggota keluarga pedagang yang terbagi dalam kategori melanggar norma (subkategori menolak dan menentang), mengancam muka sepihak (subkategori kesal, memerintah, menyindir, memperingatkan, dan mengancam), melecehkan muka (subkategori kesal, menyindir, mengejek, menentang, menolak, dan memperingatkan), menghilangkan muka (subkategori mengejek, memperingatkan, menyindir, kesal, dan meremehkan), dan menimbulkan konflik (subkategori mengancam, mengejek, memperingatkan, dan kesal); wujud ketidaksantunan pragmatik berupa cara penyampaian penutur yang mengikuti setiap tuturan lisan tidak santun, (2) penanda ketidaksantunan linguistik berupa penggunaan diksi, kata fatis, nada, tekanan, dan intonasi; penanda ketidaksantunan pragmatik berupa konteks yang menyertai setiap tuturan, serta (3) maksud ketidaksantunan penutur dalam kategori melanggar norma adalah menunda, protes, dan kesal; mengancam muka sepihak bermaksud kesal, protes, mengusir, basa-basi, memperingatkan, dan bercanda; melecehkan muka bermaksud memerintah, mengelak, kesal, mengomentari, menakut-nakuti, mengejek, basa-basi, menyindir, memperingatkan, dan melarang; menghilangkan muka bermaksud menanggapi, bercanda, melarang, memperingatkan, menyindir, basa-basi, mengomentari, mengusir, kesal, dan protes; serta menimbulkan konflik maksudnya menakut-nakuti, mengejek, protes, melarang, memperingatkan, dan kesal.


(11)

ix ABSTRACT

Simanulang, Katarina Yulita. 2013. Linguistics and Pragmatics Impoliteness at the Scope of Trader Family Work in Beringharjo Market, Yogyakarta. Thesis. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

This research discusses linguistics and pragmatics impoliteness in language at the scope of trader family work in Beringharjo Market, Yogyakarta. The aims of the research are (1) to describe the forms of linguistics and pragmatics, (2) to describe the signs of linguistics and pragmatics in language, and (3) to describe the basic meaning of the speakers when using the forms of language which are impolite at the scope of trader family work in Beringharjo Market, Yogyakarta.

Type of this research is descriptive qualitative. The source of the research is the trader family work in Beringharjo Big Market, Yogyakarta with the data of impolite spoken language. The instrument used is interview guideline (lists of questions, bait, and case list) and observation checklist. Data gathering technique are; first, listening method with noting and recording technique, and second, speaking method which is balanced with interview which is done with bait technique. In the data analysis, the research uses contextual method, with using the context dimensions in interpreting the identified, clarified, and typificated data.

The summary of the research are; (1) the form of linguistic impoliteness showed in impolite spoken language between the trader family who are divided in breaking the norm categorization (subcategory refusing and opposing), threatening face unilaterally (subcategory angry, commanding, teasing, reminding, and threatening), face humiliating (subcategory angry, teasing, mocking, opposing, refusing, and reminding), omitting the face (subcategory mocking, reminding, teasing, angry, and humiliating), and rising conflict (subcategory threatening, mocking, reminding, and angry); the form of pragmatics impoliteness showed in the way speakers deliver the speaking which following every impolite spoken language, (2) impolite linguistics signs are in the form of diction, fatis word, tone, stress, and intonation; impolite pragmatics signs are in the form of context which participated in spoken language, and (3) the aims of the impoliteness of the speaker in breaking the norm category are postponing, protest, and angry; threatening face unilaterally showed anger, protest, chasing away, good manners, reminding, and kidding; face threatening showed commanding, jumping the queue, anger, commenting, frightening, mocking, good manners, teasing, reminding, and forbidding; omitting the face showed perceiving, kidding, forbidding, reminding, teasing, good manners, commenting, chasing away, anger, and protest; and rising conflict means frightening, mocking, protest, forbidding, reminding, and anger.


(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yesus yang senantiasa memberi berkat dan kasih, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik dalam Ranah Keluarga Pedagang yang Berdagang di Pasar Besar Beringharjo Yogyakarta”. Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk menyelesaikan studi dalam kurikulum Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni (JPBS), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini berhasil diselesaikan karena bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

2. Caecilia Tutyandari, S.Pd., M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas Sanata Dharma.

3. Dr. Yuliana Setiyaningsih, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan banyak dukungan, pendampingan, saran, dan nasihat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum., selaku Wakil Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah membantu dan mendukung penulis.

5. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. sebagai dosen pembimbing yang dengan bijaksana, sabar, dan penuh ketelitian membimbing, mengarahkan, memotivasi, dan memberikan berbagai masukan yang sangat berharga bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Seluruh dosen prodi PBSI yang dengan penuh dedikasi mendidik, mengarahkan, membimbing, membagi ilmu pengetahuan, memberikan


(13)

xi

dukungan, dan bantuan kepada penulis dari awal perkuliahan sampai selesai.

7. R. Marsidiq, selaku karyawan sekretariat Prodi PBSI yang dengan sabar memberikan pelayanan administratif kepada penulis dalam menyelesaikan berbagai urusan administrasi.

8. Dinas Pengelola Pasar Bringharjo beserta staf yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini.

9. Seluruh keluarga pedagang yang berdagang di Pasar Bringharjo yang telah membantu penulis dalam melaksanakan penelitian.

10.Teman-teman seperjuangan (Valentina Tris Marwati, Clara Dhika Ninda Natalia, Catarina Erni Riyanti, dan Nuridang Fitra Nagara) yang bersedia berjuang dan bekerja sama dengan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

11.Kika Ayu, Rosalia Desinta, Yohana Maria, Agatha Wahyu, Mikael Jati, Ambrosius Bambang, Rosalina Anik, Cicilia Verlit, Yuli Astuti, Bernadeta Febri, Risa Ferina, Ade Henta, Yudha Hening, Ignatius Satrio, Reinardus Aldo, Yohanes Marwan, dan semua sahabat PBSID angkatan 2009, yang berdinamika bersama selama menjalani perkuliahan di PBSI.

12.Semua pihak yang belum disebutkan yang turut membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak sekali kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan memberikan inspirasi bagi penelitian selanjutnya.

Yogyakarta, 18 Desember 2013 Penulis


(14)

xii DAFTAR ISI

Hal.

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ii

HALAMAN PENGESAHAN iii

HALAAN PERSEMBAHAN iv

HALAMAN MOTTO v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI vii

ABSTRAK viii

ABSTRACT ix

KATA PENGANTAR x

DAFTAR ISI xii

DAFTAR BAGAN xvii

DAFTAR TABEL xviii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1Latar Belakang Masalah 1

1.2Rumusan Masalah 5

1.3Tujuan Penelitian 6

1.4Manfaat Penelitian 7

1.5Batasan Istilah 7

1.6Sistematika Penelitian 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA 10

2.1Penelitian yang Relevan 10

2.2Pragmatik 15

2.3Fenomena Pragmatik 17

2.3.1 Praanggapan 17


(15)

xiii

2.3.3 Implikatur 20

2.3.4 Deiksis 21

2.3.5 Kesantunan 22

2.3.6 Ketidaksantunan 23

2.4Teori-teori Ketidaksantunan 25

2.4.1 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan

Locher 25

2.4.2 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan

Bousfield 27

2.4.3 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan

Culpeper 28

2.4.4 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan

Terkourafi 30

2.4.5 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan

Locher and Watt 31

2.5Konteks 34

2.6Unsur Segmental 44

2.6.1 Diksi 44

2.6.2 Gaya Bahasa 51

2.6.3 Kategori Fatis 52

2.7Unsur Suprasegmental 54

2.7.1 Tekanan 54

2.7.2 Intonasi 55

2.7.3 Nada 55

2.8Teori Maksud 56

2.9Kerangka Berpikir 59

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 61

3.1Jenis Penelitian 61

3.2Data dan Sumber Data 62


(16)

xiv

3.4Instrumen Penelitian 65

3.5Metode dan Teknik Analisis Data 65

3.6Sajian Hasil Analisis Data 67

3.7Trianggulasi Data 68

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 69

4.1 Deskripsi Data 69

4.1.1 Melanggar Norma 71

4.1.2 Mengancam Muka Sepihak 72

4.1.3 Melecehkan Muka 73

4.1.4 Menghilangkan Muka 74

4.1.5 Menimbulkan Konflik 75

4.2 Analisis Data 76

4.2.1 Melanggar Norma 76

4.2.1.1Subkategori Menolak 77

4.2.1.2Subkategori Menentang 79

4.2.2 Mengancam Muka Sepihak 81

4.2.2.1Subkategori Kesal 82

4.2.2.2Subkategori Memerintah 85

4.2.2.3Subkategori Menyindir 87

4.2.2.4Subkategori Memperingatkan 89

4.2.2.5Subkategori Mengancam 92

4.2.3 Melecehkan Muka 94

4.2.3.1Subkategori Kesal 94

4.2.3.2Subkategori Menyindir 97

4.2.3.3Subkategori Mengejek 100

4.2.3.4Subkategori Menentang 103

4.2.3.5Subkategori Menolak 104

4.2.3.6Subkategori Memperingatkan 106

4.2.4 Menghilangkan Muka 109


(17)

xv

4.2.4.2Subkategori Memperingatkan 112

4.2.4.3Subkategori Menyindir 115

4.2.4.4Subkategori Kesal 118

4.2.4.5Subkategori Meremehkan 120

4.2.5 Menimbulkan Konflik 123

4.2.5.1 Subkategori Mengancam 124

4.2.5.2 Subkategori Mengejek 127

4.2.5.3 Subkategori Memperingatkan 129

4.2.5.4 Subkategori Kesal 131

4.3 Pembahasan 135

4.3.1 Melanggar Norma 135

4.3.1.1Subkategori Menolak 136

4.3.1.2Subkategori Menentang 137

4.3.2 Mengancam Muka Sepihak 141

4.3.2.1Subkategori Kesal 142

4.3.2.2Subkategori Memerintah 145

4.3.2.3Subkategori Menyindir 147

4.3.2.4Subkategori Memperingatkan 150

4.3.2.5Subkategori Mengancam 153

4.3.3 Melecehkan Muka 155

4.3.3.1Subkategori Kesal 156

4.3.3.2Subkategori Menyindir 159

4.3.3.3Subkategori Mengejek 162

4.3.3.4Subkategori Menentang 165

4.3.3.5Subkategori Menolak 167

4.3.3.6Subkategori Memperingatkan 169

4.3.4 Menghilangkan Muka 172

4.3.4.1Subkategori Mengejek 172

4.3.4.2Subkategori Memperingatkan 176

4.3.4.3Subkategori Menyindir 178


(18)

xvi

4.3.4.5Subkategori Meremehkan 185

4.3.5 Menimbulkan Konflik 187

4.3.5.1Subkategori Mengancam . 188

4.3.5.2Subkategori Mengejek 192

4.3.5.3Subkategori Memperingatkan 194

4.3.5.4Subkategori Kesal 197

BAB V PENUTUP 202

5.1Simpulan 202

5.1.1 Wujud Ketidaksantunan 202

5.1.2 Penanda Ketidaksantunan 203

5.1.2.1 Melanggar Norma 204

5.1.2.2 Mengancam Muka Sepihak 204

5.1.2.3 Melecehkan Muka 205

5.1.2.4 Menghilangkan Muka 205

5.1.2.5 Menimbulkan Konflik 205

5.1.3 Maksud Ketidaksantunan 206

5.2Saran 207

5.2.1 Bagi Peneliti Lanjutan 207

5.2.2 Bagi Keluarga 208

DAFTAR PUSTAKA 209

LAMPIRAN 212


(19)

xvii

DAFTAR BAGAN

Hal.


(20)

xviii

DAFTAR TABEL

Hal. Tabel 1 Jumlah Data Tuturan berdasarkan Kategori Ketidaksantunan 69 Tabel 2 Persentase Jumlah Data Tuturan berdasarkan Subkategori

Ketidaksantunan 70

Tabel 3 Melanggar Norma 72

Tabel 4 Mengancam Muka Sepihak 72

Tabel 5 Melecehkan Muka 73

Tabel 6 Menghilangkan Muka 74


(21)

1 BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini berisi uraian (1) latar belakang masalah, (2) rumusan masalah, (3) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, dan (5) sistematika penyajian. Berikut adalah uraian dari kelima hal tersebut.

1.1 Latar Belakang Masalah

Hakikat manusia adalah sebagai makhluk sosial yang senantiasa akan hidup berdampingan dengan orang lain. Sebagai makhluk sosial, manusia tentu akan berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain. Manusia dapat berinteraksi dengan baik apabila ia mampu berkomunikasi dengan baik pula. Masyarakat manusia, apa pun bentuknya, selalu memerlukan alat atau cara untuk berkomunikasi antar sesama warganya (Sumarsono, 2004:53). Alat komunikasi utama untuk berkomunikasi atau berinteraksi dengan sesama manusia adalah bahasa. Fungsi bahasa yang terutama adalah sebagai alat untuk bekerja sama atau berkomunikasi di dalam kehidupan manusia bermasyarakat (Chaer, 2011:2). Bahasa yang kita gunakan sehari-hari merupakan suatu sarana untuk menyampaikan gagasan, pikiran, konsep, dan perasaan. Manusia akan bersosialisasi dengan sesamanya melalui aktivitas berbahasa yang dapat diungkapkan baik secara lisan maupun tertulis.

Ilmu yang mengkaji tentang bahasa adalah linguistik. Sosok linguistik sebagai ilmu bahasa yang meneliti dan mengkaji seluk-beluk bahasa natural


(22)

manusia, tidak saja aspek-aspek internal tetapi juga bagian-bagian eksternalnya, di dalam perkembangannya memiliki beberapa cabang atau ranting-ranting ilmu (Rahardi, 2003:9). Salah satu cabang ilmu linguistik yang bersifat eksternal adalah pragmatik.

Pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang membahas tentang apa yang termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan pendengar, dan sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal-hal “ekstralingual’ yang dibicarakan (Verhaar, 1996:14). Rahardi (2003:16) mengatakan bahwa ilmu bahasa pragmatik sesungguhnya mengkaji maksud penutur di dalam konteks situasi dan lingkungan sosial budaya tertentu. Karena pragmatik mengkaji maksud penutur sesuai konteks dan lingkungan sosialnya, bidang kajian pragmatik tentu berkaitan dengan kesantunan dan ketidaksantunan berbahasa. Kesantunan berbahasa adalah bidang kajian pragmatik yang sudah banyak diteliti dan dikaji secara mendalam oleh para peneliti. Sementara ketidaksantunan merupakan kajian yang baru mulai dikembangkan.

Ketidaksantunan dalam berbahasa merupakan fenomena pragmatik yang baru. Fenomena pragmatik yang tidak dikaji secara mendalam, tentu tidak akan bermanfaat banyak bagi perkembangan ilmu bahasa, khususnya pragmatik. Ketidaksantunan berbahasa ini dapat dikaji dalam berbagai bidang, yaitu bidang pendidikan, keluarga, dan agama. Ketidaksantunan perlu dikaji untuk mempertimbangan bentuk-bentuk ketidaksantunan berbahasa yang harus dihindari dalam praktik berkomunikasi. Kajian ini akan dapat memperkuat pendidikan karakter dalam lingkup pendidikan, keluarga, dan agama, yang ketiga-tiganya


(23)

merupakan faktor sangat penting dan berpengaruh bagi pembentukan karakter bangsa.

Ranah keluarga adalah salah satu bidang kajian ketidaksantunan berbahasa yang menarik untuk dikaji. Keluarga merupakan satuan atau kelompok terkecil dalam masyarakat. Keluarga menjadi titik awal seseorang mulai berkomunikasi. Tidak dapat dipungkiri, komunikasi dalam keluarga adalah salah satu faktor penting pembentukan karakter seseorang. Keluarga adalah tempat bagi seorang anak mengenal bahasa untuk pertama kalinya. Oleh sebab itu, kekhasan bahasa dalam keluarga akan sangat berpengaruh dalam perkembangan kebahasaan orang-orang yang ada di dalam keluarga tersebut. Begitu pula jika di dalam keluarga kurang memperhatikan bahasa yang santun dalam praktik berkomunikasi tentu akan sangat mempengaruhi perkembangan karakter anggota keluarga tersebut terutama anak yang masih dalam masa perkembangan.

Kehidupan sebuah keluarga tentu tidak pernah lepas dari status sosialnya. Cara berkomunikasi dalam kelompok masyarakat terkecil yang tidak lain adalah keluarga sangat erat kaitannya dengan status sosial yang telah melekat pada keluarga itu sendiri. Status sosial ini membagi keluarga dalam kelas-kelas sosial sesuai dengan lingkup pekerjaan dan lingkungannya. Secara umum, strata sosial di masyarakat melahirkan kelas-kelas sosial yang terdiri dari tiga tingkatan, yaitu atas (Upper Class), menengah (Midlle Class), dan bawah (Lower Class). Kelas atas mewakili kelompok elite di masyarakat yang jumlahnya sangat terbatas. Kelas menengah mewakili kelompok profesional, kelompok pekerja, wiraswastawan, pedagang, dan kelompok fungsional lainnya. Sedangkan kelas


(24)

bawah mewakili kelompok pekerja kasar, buruh harian, buruh lepas, dan semacamnya. Secara khusus, kelas sosial ini terjadi pada lingkungan-lingkungan khusus pada bidang tertentu sehingga content varian strata sosial sangat spesifik berlaku pada lingkungan itu. Content varian lebih banyak menyangkut variasi strata dalam satu lingkungan yang membedakannya dengan strata pada lingkungan lainnya (Bungin, 2006:49−50).

Fenomena komunikasi yang terjadi dalam setiap keluarga tentu berbeda-beda. Komunikasi sosial baik dalam masyarakat maupun dalam keluarga tentu harus disesuaikan dengan konteks sosialnya. Fenomena komunikasi keluarga pedagang tentu sangat berbeda jika dibandingkan dengan komunikasi dalam keluarga pendidik atau keluarga berstatus sosial lainnya. Bagaimana anggota keluarga pedagang berbahasa tentu tidak luput dari pengaruh lingkungannya. Lingkungan yang tidak jauh dari dunia jual beli tentu akan membawa dampak tersendiri bagi komunikasi dalam keluarga ini. Dunia jual beli memberi efek tersendiri bagi kesantunan dan ketidaksantunan berbahasa keluarga yang berlatar belakang sebagai pedagang.

Pasar merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli yang tidak lepas dari peristiwa tawar menawar. Ketika menjajakan dagangannya, si penjual tentu akan menggunakan berbagai cara agar dapat menarik perhatian pembeli, salah satunya menggunakan suara dengan volume yang cukup keras. Volume yang keras ini menimbulkan kesan kasar pada bahasa yang digunakan oleh si penjual. Karena sudah menjadi bahasa sehari-hari si pedagang ketika menjajakan dagangannya, bahasa yang terkesan kasar itu akan terbawa dalam komunikasi


(25)

keluarganya, bahkan menjadi kekhasan bahasa sehari-hari dalam keluarga. Oleh karena itu, pedagang yang berdagang di Pasar Beringharjo memberikan daya tarik tersendiri bagi peneliti untuk mengkaji lebih jauh bagaimana ketidaksantunan berbahasa pada keluarga pedagang di pasar yang sangat terkenal di Yogyakarta tersebut.

Pasar Beringharjo dipilih oleh peneliti karena pasar tersebut merupakan pasar yang terbesar di Yogyakarta dengan komoditi perdagangan yang sangat bervariasi. Berbagai macam komoditi, baik sandang maupun pangan, dijual di pasar ini. Pedagangnya pun bermacam-macam, baik daerah asal maupun sukunya. Selain pedagangnya yang bermacam-macam, pembeli yang datang ke pasar ini pun berasal dari berbagai daerah dengan beraneka bahasa. Dengan kondisi pasar yang demikian, sangat dimungkinkan terjadinya komunikasi yang terkesan kasar atau kurang santun. Dengan demikian, kemungkinan besar bahasa khas ala pasar yang kurang santun tersebut akan terbawa ketika si pedagang berada di rumah atau berkomunikasi dengan keluarganya.

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini bermaksud mengkaji ketidaksantunan berbahasa dalam ranah keluarga pedagang yang berdagang di Pasar Besar Beringharjo, Yogyakarta yang ditinjau dari kajian linguistik dan pragmatik.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian adalah sebagai berikut.


(26)

1) Wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik apa sajakah yang terdapat dalam ranah keluarga pedagang yang berdagang di Pasar Besar Beringharjo, Yogyakarta?

2) Penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik apa sajakah yang digunakan oleh keluarga pedagang yang berdagang di Pasar Besar Beringharjo, Yogyakarta?

3) Maksud apa sajakah yang mendasari penutur menggunakan bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga pedagang yang berdagang di Pasar Besar Beringharjo, Yogyakarta?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Mendeskripsikan wujud-wujud linguistik dan pragmatik yang terdapat dalam ranah keluarga pedagang yang berdagang di Pasar Besar Beringharjo, Yogyakarta.

2) Mendeskripsikan penanda linguistik dan pragmatik yang terdapat dalam ranah keluarga pedagang yang berdagang di Pasar Besar Beringharjo, Yogyakarta.

3) Mendeskripsikan maksud yang mendasari penutur menggunakan bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga pedagang yang berdagang di Pasar Besar Beringharjo, Yogyakarta.


(27)

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan hasil dan manfaat bagi berbagai pihak. Manfaat-manfaat tersebut antara lain sebagai berikut.

1) Manfaat Teoretis

Kajian-kajian yang digunakan dalam penelitian ini diharapkan dapat memperluas kajian dan memperkaya khasanah teoretis tentang ketidaksantunan dalam berbahasa sebagai fenomena pragmatik yang baru. 2) Manfaat Praktis

a) Penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh para penutur dalam ranah keluarga untuk mempertimbangkan bentuk-bentuk ketidaksantunan berbahasa yang harus dihindari dalam praktik berkomunikasi.

b) Penelitian ini diharapkan dapat memperkuat pendidikan karakter dalam ranah keluarga yang merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh bagi pembentukan karakter bangsa.

1.5 Batasan Istilah

1) Ketidaksantunan berbahasa

Struktur bahasa penutur yang tidak berkenan di hati mitra tutur. 2) Linguistik

Ilmu tentang bahasa; telaah bahasa secara ilmiah (Depdiknas,2008:832) 3) Pragmatik

Ilmu bahasa yang mengkaji maksud penutur di dalam konteks situasi dan lingkungan sosial budaya tertentu (Rahardi, 2003:16).


(28)

4) Ketidaksantunan linguistik

Ketidaksantunan berbahasa yang dikaji dari aspek-aspek linguistik suatu tuturan.

5) Ketidaksantunan pragmatik

Ketidaksantunan berbahasa yang dikaji dari konteks situasi yang menyertai suatu tuturan.

6) Keluarga

Ibu dan bapak beserta anak-anaknya; orang seisi rumah yang menjadi tanggungan; satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat (Depdiknas, 2008:659).

7) Pedagang

Orang yang kerjanya berdagang (Depdiknas, 2008:285) 8) Keluarga pedagang

Satuan kekerabatan terkecil dalam masyarakat yang kerjanya berdagang.

1.6 Sistematika Penyajian

Penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab I adalah bab pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, dan sistematika penelitian.

Bab II berisi landasan teori yang akan digunakan untuk menganalisis masalah-masalah yang akan diteliti, yaitu tentang ketidaksantunan berbahasa. Teori-teori yang dikemukakan dalam bab II ini adalah teori tentang (1) penelitian-penelitian yang relevan, (2) pragmatik, (3) fenomena pragmatik, (4) teori


(29)

ketidaksantunan, (5) teori mengenai konteks, (6) unsur segmental, (7) unsur suprasegmental, (8) teori maksud dan (9) kerangkan berpikir.

Bab III berisi metode penelitian yang memuat tentang cara dan prosedur yang akan digunakan oleh peneliti untuk memperoleh data. Dalam bab III akan diuraikan (1) jenis penelitian, (2) subjek penelitian, (3) metode dan teknik pengumpulan data, (4) instrumen penelitian, (5) metode dan teknik analisis data, (6) sajian hasil analisis data, dan (7) trianggulasi data.

Bab IV berisi tentang (1) deskripsi data, (2) analisis data, dan (3) pembahasan hasil penelitian. Bab V berisi tentang kesimpulan penelitian dan saran untuk penelitian selanjutnya berkaitan dengan penelitian ketidaksantunan berbahasa.


(30)

101 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Bab ini berisi pemaparan penelitian yang relevan, landasan teori, dan kerangka berpikir. Penelitian yang relevan berisi tinjauan terhadap topik-topik sejenis yang dilakukan oleh peneliti-peneliti lain. Landasan teori berisi tentang teori-teori yang digunakan sebagai landasan analisis dari penlitian ini yang terdiri atas teori pragmatik, fenomena pragmatik, ketidaksantunan berbahasa, konteks, unsur segmental, dan unsur suprasegmental. Kerangka berpikir berisi tentang acuan teori yang digunakan dalam penelitian ini. Penelitian terdahulu dan teori yang relevan digunakan untuk menjawab rumusan masalah.

2.1 Penelitian yang Relevan

Ketidaksantunan berbahasa dalam kajian ilmu pragmatik merupakan fenomena baru yang belum dikaji secara mendalam. Oleh karena itu, penelitian pragmatik yang mendalami kajian ketidaksantunan berbahasa belum banyak ditemukan. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa penelitian sebelumnya yang mengkaji tentang ketidaksantunan berbahasa sebagai penelitian yang relevan. Penelitian-penelitian tentang ketidaksantunan berbahasa yang ditemukan oleh peneliti adalah penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth Rita Yuliastuti (2013), Caecilia Petra Gading May Widyawari (2013), Agustina Galuh Eka Noviyanti (2013), dan Olivia Melissa Puspitarini (2013).


(31)

Penelitian tentang ketidaksantunan berbahasa yang dilakukan oleh Elizabeth Rita Yuliastuti (2013) berjudul Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Berbahasa antara Guru dan Siswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta

Tahun Ajaran 2012/2013. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode simak dan metode cakap. Pada penelitian ini, peneliti menemukan bahwa Pertama, wujud ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan tuturan lisan yang tidak santun antara guru dan siswa yang berupa tuturan melecehkan muka, memain-mainkan muka, kesembronoan, mengancam muka, dan menghilangkan muka, sedangkan wujud ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan uraian konteks berupa penutur, mitra tutur, tujuan tutur, situasi, suasana, tindak verbal, dan tindak perlokusi yang menyertai tuturan tersebut. Kedua, penanda ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan nada, tekanan, intonasi, dan diksi, serta penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks yang menyertai tuturan yakni penutur, mitra tutur, situasi, suasana, tujuan tutur, tindak verbal, dan tindak perlokusi. Ketiga, makna ketidaksantunan (1) melecehkan muka yakni hinaan dan ejekan dari penutur kepada mitra tutur hingga melukai hati mitra tutur, (2) memain-mainkan muka yakni tuturan yang membuat bingung mitra tutur sehingga mitra tutur menjadi jengkel karena sikap penutur yang tidak seperti biasanya, (3) kesembronoan yang disengaja yakni penutur bercanda kepada mitra tutur sehingga mitra tutur terhibur, tetapi candaan tersebut dapat menimbulkan konflik, (4) mengancam muka yakni penutur memberikan ancaman kepada mitra tutur sehingga mitra tutur merasa


(32)

terpojokkan, dan (5) menghilangkan muka yakni penutur mempermalukan mitra tutur di depan banyak orang.

Penelitian yang mengkaji tentang ketidaksantunan juga pernah dilakukan oleh Caecilia Petra Gading May Widyawari (2013) dengan judul Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Berbahasa Antarmahasiswa Program Studi PBSID

Angkatan 2009—2011 Universitas Sanata Dharma. Jenis penelitian dari penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini mendeskripsikan wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa, penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa, serta makna ketidaksantunan berbahasa yang digunakan antarmahasiswa PBSID Angkatan 2009—2011 di Universitas Sanata Dharma.1Peneliti menggunakan dua mtode dalam penelitan ini,

pertama metode simak dengan teknik dasar berupa teknik sadap dan teknik lanjutan berupa teknik simak libat cakap dan teknik cakap, kedua metode cakap dengan teknik dasar berupa teknik pancing dan dua teknik lanjutan berupa teknik lanjutan cakap semuka dan tansemuka. Simpulan dari penelitian ini tidak jauh berbeda dengan simpulan hasil penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth Rita Yuliastuti (2013), yakni (1) wujud ketidaksantunan linguistik dapat dilihat dari tuturan antarmahasiswa yang terdiri dari melecehkan muka, sembrono, mengancam muka dan menghilangkan muka. Lalu wujud ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks (penutur, mitra tutur, situasi, suasana, tindak verbal, tindak perlokusi dan tujuan tutur), (2) penanda ketidaksantunan linguistik yang ditemukan berupa nada, tekanan, intonasi, dan diksi. Penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks tuturan yang berupa


(33)

penutur dan mitra tutur, situasi dan suasana, tindak verbal, tindak perlokusi, dan tujuan tutur, dan (3) makna ketidaksantunan berbahasa yaitu: a) melecehkan muka, ejekan penutur kepada mitra tutur dan dapat melukai hati, b) memain-mainkan muka, membingungkan mitra tutur dan itu menjengkelkan, c) kesembronoan, bercanda yang menyebabkan konflik, d) menghilangkan muka, mempermalukan mitra tutur di depan banyak orang, dan e) mengancam muka, menyebabkan ancaman pada mitra tutur.

Penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh Agustina Galuh Eka Noviyanti (2013) dengan judul Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Berbahasa Antarsiswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran

2012/2013. Jenis penelitian yang dilakukan oleh Agustina Galuh Eka Noviyanti ini serupa dengan penelitian sebelumnya, yaitu penelitian deskriptif kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak dan metode cakap dengan teknik sadap dan teknik pancing, dengan instrumen berupa pedoman atau panduan wawancara (daftar pertanyaan), pancingan, daftar kasus, dan peneliti sendiri. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode kontekstual. Penelitian ini menjawab tiga masalah tentang (a) wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa apa saja yang digunakan oleh antarsiswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta, (b) penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa apa saja yang digunakan antarsiswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta, dan (c) apakah makna penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa yang digunakan antarsiswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta.


(34)

Penelitian tentang ketidaksantunan berbahasa selanjutnya dilakukan pula oleh Olivia Melissa Puspitarini (2013) yang mengangkat judul Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Berbahasa antara Dosen dan Mahasiswa Program

Studi PBSID, FKIP, USD, Angkatan 2009—2011. Penelitian yang menjadikan dosen dan mahasiswa Program Studi PBSID sebagai sumber data ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif, serupa dengan penelitian yang telah dilakukan oleh ketiga peneliti di atas. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode simak dan metode cakap, dengan menggunakan instrumen berupa panduan wawancara, daftar pertanyaan pancingan, dan daftar kasus. Penelitian ini juga menemukan hasil serupa seperti penelitian sebelumny, yakni pertama, wujud ketidaksantunan linguistik berdasarkan tuturan lisan dan wujud ketidaksantunan pragmatik berbahasa yaitu uraian konteks tuturan tersebut. Kedua, penanda ketidaksantunan linguistik yaitu nada, intonasi, tekanan, dan diksi, serta penanda pragmatik yaitu konteks yang menyertai tuturan yakni penutur, mitra tutur, situasi, dan suasana. Ketiga, makna ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa meliputi 1) melecehkan muka yakni penutur menyindir atau mengejek mitra tutur, 2) memainkan muka yakni penutur membuat jengkel dan bingung mitra tutur, 3) kesembronoan yang disengaja yakni penutur bercanda kepada mitra tutur dan mitra tutur terhibur namun candaan tersebut dapat menimbulkan konflik bila candaan tersebut ditanggapi secara berlebihan, 4) menghilangkan muka yakni penutur mempermalukan mitra tutur di depan banyak orang, dan 5) mengancam muka yakni penutur memberikan ancaman atau tekanan kepada mitra tutur yang menyebabkan mitra tutur terpojok.


(35)

Keempat penelitian di atas merupakan penelitian yang mengkaji tentang ketidaksantunan berbahasa dalam, khususnya ketidaksantunan berbahasa dalam ranah pendidikan. Keempat penelitian di atas menemukan tiga hal penting tentang masalah ketidaksantunan, yakni wujud, penanda, dan makna ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa. Dengan mengacu dari keempat penelitian tersebut, peneliti akan mengkaji lebih dalam tentang ketidaksantunan berbahasa, secara khusus ketidaksantunan berbahasa dalam ranah keluarga pedagang.

2.2 Pragmatik

Pragmatik merupakan ilmu yang mengkaji bahasa dalam kaitannya dengan konteks penutur dan lingkungannya. Dalam sebuah komunikasi atau percakapan, penutur dan mitra tutur tidak dapat meluputkan konteks situasi tuturan. Mitra tutur tidak hanya memahami maksud dari tuturan penutur, tetapi juga harus memahami konteks tuturan tersebut. Hal itu penting dalam kelancaran komunikasi. Dengan demikian, pragmatik adalah ilmu bahasa yang terikat konteks.

Ilmu bahasa pragmatik sebagai salah satu cabang linguistik, sesungguhnya baru mulai mencuat dan kemudian berkembang hingga menjadi benar-benar berkumandang dalam percaturan linguistik Amerika Serikat sejak tahun 1970-an. Pada tahun-tahun sebelumnya, khususnya pada tahun 1930-an, linguistik masih dianggap hanya mencakup bidang-bidang tradisional saja seperti misalnya fonetik, morfologi, dan fonemik. Sementara, istilah ilmu bahasa pragmatik, yang semula disebut dengan pragmatika, sebenarnya sudah mulai dikenal sejak masa hidupnya seorang filsuf sangat ternama, yakni Charles Morris. Berdasarkan gagasan dan


(36)

pemikirannya, sosok pragmatik lalu dapat dikatakan mulai terlahir di dunia, dan mulai bertengger di atas bumi linguistik dan hingga kini kian terbukti, bahwa sosok ilmu bahasa pragmatik berkembang secara amat signifikan dan menjadi bagian dari ilmu bahasa yang tidak dapat diabaikan (Rahardi, 2003:3−8).

Huang (2007:2) menuturkan bahwa “pragmatics is the systematic study of meaning by virtue of, or dependent on, the use of language”. Huang mendefinisikan pragmatik sebagai studi sistematis tentang makna yang berdasarkan atau tergantung pada penggunaan bahasa. Kemudian, Cruse (2000:16) dalam Cummings (2007:2) memaparkan bahwa pragmatik dapat dianggap berurusan dengan aspek-aspek informasi yang disampaikan melalui bahasa yang tidak dikodekan oleh konvensi yang diterima secara umum dalam bentuk-bentuk linguistik yang digunakan, tetapi yang juga muncul secara alamiah dari dan tergantung pada makna-makna yang dikodekan secara konvesional dengan konteks tempat penggunaan bentuk-bentuk tersebut.

Seperti yang sudah dicantumkan pada bagian sebelumnya, pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang membahas tentang apa yang termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan pendengar, dan sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal-hal “ekstralingual’ yang dibicarakan (Verhaar, 1996:14). Rahardi (2003:16) mengatakan bahwa ilmu bahasa pragmatik sesungguhnya mengkaji maksud penutur di dalam konteks situasi dan lingkungan sosial budaya tertentu.

Selanjutnya, Yule (2006:3−6) merangkum empat ruang lingkup yang tercakup dalam pragmatik. Pertama, pragmatik adalah studi tentang maksud


(37)

penutur. Kedua, pragmatik adalah studi tentang makna kontekstual. Ketiga, pragmatik adalah studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan daripada yang dituturkan. Keempat, pragmatik adalah studi tentang ungkapan dari jarak hubungan. Pragmatik semakin menarik karena melibatkan bagaimana orang saling memahami satu sama lain secara linguistik, tetapi pragmatik dapat juga merupakan ruang lingkup studi yang mematahkan semangat karena studi ini mengharuskan orang untuk saling memahami apa yang ada dalam pikiran mereka.

Dari definisi beberapa ahli di atas, dapatlah dikatakan bahwa pragmatik merupaka ilmu kebahasaan yang mengkaji maksud sebuah tuturan dengan mengacu dari unsur luar bahasa, dalam hal ini adalah konteks situasi dan lingkungan di mana tuturan itu lahir. Dengan demikian, jelaslah bahwa pragmatik adalah ilmu yang terikat konteks. Sebagai cabang ilmu linguistik, pragmatik sangatlah penting dalam kajian ilmu kebahasaan. Tidak mungkin tidak pragmatik diluputkan dalam studi kebahasaan.

2.3 Fenomena Pragmatik

Pragmatik sebagai ilmu bahasa yang terikat konteks mengkaji enam fenomena, yaitu praanggapan, tindak tutur, implikatur, deiksis, kesantunan, an ketidaksantunan. Berikut pemaparan dari keenam fenomena tersebut.

2.3.1 Praanggapan

Praanggapan atau presupposisi merupakan unsur penting yang harus saling dipahami oleh penutur dan mitra tutur dalam berkomunikasi. Penutur beranggapan


(38)

bahwa terdapat informasi tertentu yang sudah diketahui oleh mitra tuturnya berkenaan dengan tuturan yang akan disampaikan oleh penutur. Oleh karena itu, informasi tersebut tidak perlu dikatakan meskipun informasi tersebut merupakan bagian yang harus dipahami oleh mitra tutur bersama dengan tuturan si penutur.

Yule (2006:43) memaparkan bahwa presupposisi adalah sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan. Presupposisi ini dimiliki oleh penutur, bukan kalimat. Dalam analisis tentang bagaimana asumsi-asumsi penutur diungkapkan secara khusus, presupposisi sudah diasosiasikan dengan pemakaian sejumlah besar kata, frasa, dan struktur. Berdasarkan hal tersebut, Yule (2006:46) membagi presupposisi menjadi enam jenis, yaitu presupposisi eksistensial, presupposisi faktif, presupposisi leksikal, presupposisi nonfaktif, presupposisi struktural, presupposisi faktual tandingan atau konterfaktual.

2.3.2 Tindak Tutur

Tindak tutur adalah fenomena pragmatik yang berkenaan dengan tindakan penutur yang ditunjukkan melalui tuturan. Diperjelas oleh Yule (2006:82−84) bahwa tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan biasanya disebut tindak tutur. Tindakan yang ditampilkan dengan menghasilkan suatu tuturan akan mengandung tiga tindak yang saling berhubungan. Pertama, tindak lokusi, yang merupakan tindak dasar tuturan atau menghasilkan suatu ungkapan linguistik yang bermakna. Kedua, tindak illokusi. Penutur membentuk tuturan dengan beberapa fungsi di dalam pikiran. Tindak illokusi ditampilkan melalui penekanan


(39)

komunikatif suatu tuturan. Ketiga, tindak perlokusi. Tentu penutur tidak secara sederhana menciptakan tuturan yang memiliki fungsi tanpa memaksudkan tuturan itu memiliki akibat.

Tindak tutur diklasifikasikan menjadi 5 jenis fungsi umum, yaitu deklaratif, representatif, ekspresif, direktif, dan komisif (Yule, 2006:92–94). Deklarasi adalah jenis tindak tutur yang mengubah dunia melalui tuturan. Contoh 1: Pastor : Sekarang saya menyebut Anda berdua suami-istri. Seperti contoh tersebut menggambarkan, penutur harus memiliki peran institusional khusus, dalam konteks khusus, untuk menampilkan suatu deklarasi secara tepat. Pada waktu menggunakan deklarasi penutur mengubah dunia dengan kata-kata.

Jenis tindak tutur selanjutnya adalah representatif. Representatif merupakan jenis tindak tutur yang menyatakan apa yang diyakini penutur kasus atau bukan. Pernyataan suatu fakta, penegasan, kesimpulan, dan pendeskripsian. Contoh :

Bumi itu datar. Itu merupakan contoh dunia sebagai sesuatu yang diyakini oleh penutur yang menggambarkannya. Pada waktu menggunakan sebuah representatif, penutur mencocokkan kata-kata dengan dunia (kepercayaannya).

Selanjutnya, tindak tutur ekspresif merupakan jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang dirasakan oleh penutur. Tindak tutur itu mencerminkan pernyataan-pernyataan psikologis dan dapat berupa pernyataan kegembiraan, kesulitan, kesukaan, kebencian, kesenangan, atau kesengsaraan. Contoh: Sungguh, saya minta maaf. Tindak tutur itu mungkin disebabkan oleh sesuatu yang dilakukan oleh penutur atau pendengar, tetapi semuanya menyangkut pengalaman penutur.


(40)

Direktif adalah jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Jenis tindak tutur ini menyatakan apa yang menjadi keinginan penutur. Tindak tutur ini meliputi; perintah, pemesanan, permohonan, pemberian saran, dan bentuknya dapat berupa kalimat positif dan negatif. Contoh 1: Berilah aku secangkir kopi. Buatkan kopi pahit. Contoh 2: Jangan menyentuh

itu! Pada waktu menggunakan direktif, penutur berusaha menyesuaikan dunia dengan kata (lewat pendengar).

Jenis tindak tutur yang terakhir adalah komisif. Jenis tindak tutur ini adalah jenis tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk mengaitkan dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan datang. Tindak tutur ini menyatakan apa saja yang dimaksudkan oleh penutur. Tindak tutur ini dapat berupa janji, ancaman, penolakan, dan ikrar. Contoh : Saya akan kembali. Pada waktu menggunakan komisif, penutur berusaha untuk menyesuaikan dunia dengan kata-kata (lewat penutur).

2.3.3 Implikatur

Ketika terjadi sebuah tuturan, sesungguhnya penutur dan mitra tutur harus memiliki pemahaman yang sama tentang latar belakang pengetahuan dari topik yang dituturkan oleh penutur. Hal itulah yang akan memperlancar terjadinya komunikasi. Grice (1975) via Rahardi (2005:43) menyatakan bahwa sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan tersebut.


(41)

Yule (2006:61) juga memaparkan implikatur secara kompleks. Jika seorang pendengar mendengar suatu tuturan, pertama-tama dia harus berasumsi bahwa penutur sedang melaksanakan kerja sama dan bermaksud untuk menyampaikan informasi. Informasi itu tentunya (memiliki makna) lebih banyak daripada sekedar kata-kata itu. Makna ini merupakan makna tambahan yang disampaikan, yang disebut dengan implikatur. Dengan mengatakan suatu tuturan, penutur berharap pendengar akan mampu menentukan implikatur yang dimaksud dalam konteks berdasarkan pada apa yang sudah diketahui.

2.3.4 Deiksis

Deiksis adalah fenomena pragmatik tentang apa yang ditunjuk oleh penutur berkaitan dengan konteks tuturannya. Yule (2006:13−14) menjabarkan bahwa deiksis adalah istilah teknis (dari bahasa Yunani) untuk salah satu hal mendasar yang kita lakukan dengan tuturan. Deiksis berarti ‘penunjukan’ melalui bahasa. Bentuk linguistik yang dipakai untuk menyelesaikan ‘penunjukan’ disebut ungkapan deiksis. Ketika seseorang menunjuk suatu objek dan bertanya, “Apa itu?”, maka ia telah menggunakan ungkapan deiksis (“itu”) untuk menunjuk sesuatu dalam suatu konteks secara tiba-tiba. Ungkapan-ungkapan deiksis kadang-kala juga disebut indeksikal.

Masih oleh Yule, dijelaskan pula bahwa ungkapan-ungkapan itu berada di antara bentuk-bentuk awal yang dituturkan oleh anak-anak yang masih kecil dan dapat digunakan untuk menunjuk orang dengan deiksis pesona (‘ku’, ‘mu’), atau untuk menunjuk tempat dengan deiksis spasial (‘di sini’, ‘di sana’), atau untuk


(42)

menunjuk waktu dengan deiksis temporal (‘sekarang’, ‘kemudian’). Untuk menafsirkan deiksis-deiksis itu, semua ungkapan bergantung pada penafsiran penutur dan pendengar dalam konteks yang sama. Jelas sekali bahwa deiksis mengacu pada bentuk yang terkait dengan konteks penutur, yang dibedakan secara mendasar antara ungkapan-ungkapan deiksis’dekat penutur’ dan ‘jauh dari penutur’.

2.3.5 Kesantunan

Fenomena kelima yang dikaji oleh pragmatik adalah kesantunan. Bahasa yang digunakan oleh seseorang merupakan cerminan dari dirinya sendiri. Melalui bahasa pula, orang lain dapat menilai harkat dan martabat seseorang. Seseorang yang mampu berbahasa secara santun menunjukkan kepribadiannya yang santun pula. Inilah mengapa, memperhatikan kesantunan dalam berbahasa menjadi suatu hal penting pula dalam berkomunikasi dengan lingkungan sosial.

Struktur bahasa yang santun adalah struktur bahasa yang disusun oleh penutur/penulis agar tidak menyinggung perasaan pendengar atau pembaca. Ketika menggunakan bahasa dalam bersosialisasi, penutur harus memperhatikan kaidah berbicara dengan baik dan benar. Bahasa yang benar adalah bahasa yang dipakai sesuai dengan kaidah yang berlaku. Begitu juga ketika seseorang sedang menulis cerpen, mereka menggunakan kaidah bahasa sesuai dengan peran tokoh yang sedang diperankan. Namun, kedua hal tersebut tidaklah cukup. Masih ada satu kaidah lagi yang perlu diperhatikan yaitu kesantunan (Pranowo, 2009:4−5).


(43)

Pranowo (2009:14−15) juga menyebutkan tiga alasan berbahasa secara santun dalam interaksi penutur dan mitra tutur. Pertama, mitra tutur diharapkan dapat memahami maksud yang diampaikan oleh penutur. Kedua, setelah mitra tutur memahami maksud penutur, mitra tutur akan mencari aspek tuturan yang lain. Ketiga, tuturan penutur kadang-kadang juga disimak oleh orang lain (orang ketiga) yang sebenarnya tidak berkaitan langsung dengan komunikasi antara penutur dengan mitra tutur.

2.3.6 Ketidaksantunan

Dalam perkembangan pragmatik, kelima fenomena yang telah dipaparkan di atas ternyata kurang menjawab semua permasalahan bahasa yang terdapat dalam kehidupan sosial masyarakat. Terdapat fenomena baru yang perlu dikaji secara mendalam di dalam kajian pragmatik. Fenomena baru ini muncul berdasarkan konteks dan lingkungan penutur yang selalu berkembang. Fenomena baru yang muncul seiring perkembangan kajian pragmatik ini adalah ketidaksantunan berbahasa. Tidak jauh berbeda dengan kelima fenomena yang telah dikaji secara mendalam sebelumnya, ketidaksantunan tentulah tidak lepas dari konteks.

Ketidaksantunan berbahasa muncul dengan melihat realita di masyarakat bahwa berbahasa secara santun masih jauh dari harapan. Penggunaan bahasa yang santun tampaknya kurang mendapat perhatian. Banyak individu yang merupakan bagian dari masyarakat tidak mengindahkan pentingnya berbahasa secara santun. Padahal, untuk dapat berkomunikasi dengan lancar, seseorang tidak hanya dituntut


(44)

mampu menggunakan bahasa yang baik dan benar, tetapi juga harus mampu berbahasa secara santun.

Pranowo (2009:72−73) menyebutkan empat faktor yang menyebabkan adanya ketidaksantunan pemakaian bahasa. Pertama, ada orang yang memang tidak tahu kaidah kesantunan yang harus dipakai ketika berbicara. Kedua, faktor pemerolehan bahasa. Kebanyakan kesantunan berbahasa Indonesia masyarakat Indonesia dikuasai secara alamiah. Mereka berbahasa secara santun, tetapi tidak dapat menjelaskan kaidah kesantunan apa yang digunakan. Ketiga, ada orang yang sulit meninggalkan kebiasaan lama dalam budaya bahasa pertama sehingga masih terbawa dalam kebiasaan baru (berbahasa Indonesia) (interferensi).

Keempat, karena sifat bawaan “gawan bayi” yang memang suka berbicara tidak santun di hadapan publik.

Pranowo (2009:68−71) menunjukkan beberapa fakta dalam berkomunikasi yang tidak santun. Komunikasi menjadi tidak santun jika penutur ketika bertutur menyampaikan kritik secara langsung kepada mitra tutur. Ketika bertutur, penutur didorong rasa emosi yang berlebihan ketika bertutur sehingga terkesan marah kepada mitra tutur. Selain itu, seorang penutur kadang-kadang protektif terhadap pendapatnya ketika bertutur. Hal demikian dimaksudkan agar tuturan mitra tutur tidak dipercaya oleh pihak lain. Fakta lain, dapat pula penutur sengaja ingin memojokkan mitra tutur dalam bertutur. Dengan demikian, mitra tutur menjadi tidak berdaya. Tuturan menjadi tidak santun dengan fakta jika penutur terkesan menyampaikan kecurigaan terhadap mitra tutur.


(45)

2.4 Teori-teori Ketidaksantunan

Dalam buku Impoliteness in Language: Studies on its Interplay with Power in Teory and Practice yang disusun oleh Bousfield dan Locher (2008) seperti yang telah dikutip dan dibahasakan oleh Rahardi (2012) dalam presentasinya “Penelitian Kompetensi: Ketidaksantunan Pragmatik dan Linguistik Berbahasa dalam Ranah Keluarga (Family Domain)”, tampak bahwa beberapa ahli telah menelaah fenomena baru ini. Berikut pemaparan beberapa ahli mengenai ketidaksantunan berbahasa.

2.4.1 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher

Miriam A Locher (2008) berpendapat bahwa ketidaksantunan dalam berbahasa dapat dipahami sebagai berikut, ‘…behaviour that is face-aggravating in a particular context.’ Intinya, ketidaksantunan berbahasa itu menunjuk pada perilaku ‘melecehkan’ muka (face-aggravate). Perilaku melecehkan muka itu sesungguhnya lebih dari sekadar ‘mengancam’ muka (face-threaten), seperti yang ditawarkan dalam banyak definisi kesantunan klasik Leech (1983), Brown and Levinson (1987), atau sebelumnya pada tahun 1978, yang cenderung dipengaruhi konsep muka Erving Goffman (cf. Rahardi, 2009).

Interpretasi lain yang berkaitan dengan definisi Locher terhadap ketidaksantunan berbahasa ini adalah bahwa tindakan tersebut sesungguhnya bukanlah sekadar perilaku ‘melecehkan muka’, melainkan perilaku yang ‘memain-mainkan muka’. Jadi, ketidaksantunan berbahasa dalam pemahaman Miriam A.


(46)

Locher adalah sebagai tindak berbahasa yang melecehkan dan memain-mainkan muka, sebagaimana yang dilambangkan dengan kata ‘aggravate’ itu.

Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher ini dapat diilustrasikan dengan situasi berikut.

Situasi:

Ketika liburan tiba, sang anak yang sedang kuliah di Jogja pulang ke kampung halamannya di Lampung dan bercakap-cakap dengan ibunya.

Wujud Tuturan:

Anak : “Bu, aku pulang ni. Hehe.” (berbasa-basi dengan ibu dengan nada riang).

Ibu : “Eh, anakku udah pulang. Lho, katanya kuliah di Jogja, tapi kok pulang-pulang kulitmu jadi kayak kulit orang utan, item kayak gak keurus gitu.”

Anak : “Ibu ni lho.” (langsung masuk kamar dengan wajah tertunduk).

Dari percakapan di atas, tuturan sang ibu menunjukkan bahwa ia mengejek kulit anaknya yang hitam seperti tidak dirawat. Hal itu ditunjukkan pada tuturan

kulitmu jadi kayak kulit orang utan. Tuturan tersebut menunjukkan tuturan seorang ibu yang tidak santun meskipun diucapkan dengan nada santai dan berjanda. Namun, tuturan tersebut justru mengakibatkan sang anak tersinggung. Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher ini menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan berbahasa oleh penutur yang memiliki maksud menyinggung perasaan mitra tutur dengan melecehkan muka atau memain-mainkan muka.


(47)

2.4.2 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Bousfield

Dalam pandangan Bousfield (2008), ketidaksantunan dalam berbahasa dipahami sebagai, ‘The issuing of intentionally gratuitous and conflictive face-threatening acts (FTAs) that are purposefully perfomed.’ Bousfield memberikan penekanan pada dimensi ‘kesembronoan’(gratuitous), dan konfliktif (conflictive)

dalam praktik berbahasa yang tidak santun itu. Jadi apabila perilaku berbahasa seseorang itu mengancam muka, dan ancaman terhadap muka itu dilakukan secara sembrono (gratuitous), hingga akhirnya tindakan berkategori sembrono demikian itu mendatangkan konflik, atau bahkan pertengkaran, dan tindakan tersebut dilakukan dengan kesengajaan (purposeful), maka tindakan berbahasa itu merupakan realitas ketidaksantunan.

Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Bousfiled ini dapat diilustrasikan dengan situasi berikut.

Situasi:

Pada sebuah keluarga, seorang ayah sedang menerima dua orang tamu yang cukup penting. Mereka berbincang-bincang di ruang tamu. Namun, dalam sela-selan perbincangan itu, anak si pemilik rumah yang berusia 8 tahun berlari-lari dengan seorang temannya melintasi ruang tamu. Hal itu dilakukannya berulang kali, sehingga ayah dan dua orang tamunya terganggu dengan situasi itu.

Wujud Tuturan:

Ayah : “Nak, kamu tu apa ndak bisa mainnya di luar aja? Bapak tu lagi ada tamu ni lho. Kalau ada tamu tu mbok dihargai.”

Anak : “Ih, wong aku seneng mainnya di sini kok, Pak. Di luar panas.” (masih sambil berlari-lari di ruang tamu).

Ayah : “Kamu tu susah banget di omongin. Masih kecil udah ngelawan, gimana kalau besar nanti.” (sang ayah semakin bernada tinggi).


(48)

Berdasarkan percakapan di atas, sang ayah menegur anaknya agar menghargai orang lain yang sedang bertamu. Namun, sang anak justru memjawab secara sembrono dengan tuturan Ih, wong aku seneng mainnya di sini kok, Pak.

Jawaban sang anak tersebut merupakan tuturan yang tidak santun, karena ia bukannya menuruti kata-kata ayahnya, justru membantah dengan menjawab demikian. Tuturan tersebut justru semakin menimbulkan konflik dan membuat sang ayah marah.

Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Bousfield lebih menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang memiliki maksud adanya sebuah kesembronoan yang akhirnya menimbulkan adanya koflik antara penutur dan mitra tutur.

2.4.3 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Culpeper

Pemahaman Culpeper (2008) tentang ketidaksantunan berbahasa adalah, ‘Impoliteness, as I would define it, involves communicative behavior intending to cause the “face loss” of a target or perceived by the target to be so.’ Dia memberikan penekanan pada fakta ‘face loss’ atau ‘kehilangan muka’—kalau dalam bahasa Jawa mungkin konsep itu dekat dengan konsep ‘kelangan rai’

(kehilangan muka). Jadi ketidaksantunan (impoliteness) dalam berbahasa itu merupakan perilaku komunikatif yang diperantikan secara intensional untuk membuat orang benar-benar kehilangan muka (face loss), atau setidaknya orang tersebut ‘merasa’ kehilangan muka.


(49)

Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Culpeperr ini dapat diilustrasikan dengan situasi berikut.

Situasi:

Pada suatu kesempatan, terdapat sebuah pertemuan keluarga besar. Mereka memperbincangkan suatu masalah keluarga yang cukup serius. Setelah perbincangan serius itu selesai, mereka berbasa-basi satu sama lain.

Wujud Tuturan:

Paman : “Gimana kuliahmu, Nduk? Lancar tow?” (seorang paman berkata dengan keponakannya yang masih kuliah).

Keponakan : “Lancar kok, Paman.”

Bibi : “Loh, Nduk, kamu tu kan Cuma ngambil D3, kok udah 4 tahun gak lulus-lulus. Nek gitu sih mending sana kamu bantuin ibumu mepe gabah. Kayak gitu kan malah lumayan bisa ngasih makan sekeluarga.”

Semua keluarga tertawa mendengar tuturan sang bibi.

Keponakan : (diam saja, tertunduk malu dan tersinggung dengan tuturan bibinya).

Dari percakapan di atas, jika dilihat dari konteks situasi tuturan, sebenarnya sang bibi bertutur dengan nada bercanda. Namun, dengan tuturan Nek gitu sih mending sana kamu bantuin ibumu mepe gabah yang dimaksud oleh sang bibi bukan hanya candaan, melainkan juga sebuah sindiran. Candaan sang bibi tersebut diikuti dengan tawa dari semua keluarga yang hadir dalam pertemuan keluarga tersebut. Tuturan yang diungkapkan oleh sang bibi merupakan tuturan yang tidak santun karena mengakibatkan keponakannya tersinggung dan tertunduk malu.

Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Culpeper lebih


(50)

menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang memiliki maksud mempermalukan mitra tuturnya.

2.4.4 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Terkourafi

Terkourafi (2008) memandang ketidaksantunansebagai, ‘impoliteness occurs when the expression used is not conventionalized relative to the context of

occurrence; it threatens the addressee’s face but no face-threatening intention is

attributed to the speaker by the hearer.’ Jadi, perilaku berbahasa dalam pandangannya akan dikatakan tidak santun bilamana mitra tutur (addressee)

merasakan ancaman terhadap kehilangan muka (face threaten), dan penutur

(speaker) tidak mendapatkan maksud ancaman muka itu dari mitra tuturnya. Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Terkourafi ini dapat diilustrasikan dengan situasi berikut.

Situasi:

Pada suatu kesempatan dalam sebuah kamar, tiba-tiba dari luar kamar seorang adik masuk dan menepuk pundak kakaknya yang sedang rebahan di tempat tidur.

Wujud Tuturan:

Adik : “Baaaaaaaa, kakak liat bajuku yang baru dibelikan ibu gak:” (sambil menepuk pundak kakaknya).

Kakak : “Ih, apaan si kamu. Dasar, kurang kerjaan.” (dengan nada tinggi dan membentak).

Dari ilustrasi di atas, tuturan adik menunjukkan bahwa ia ingin mendapatkan respon dari kakaknya dengan nada tanya dan menepuk pundak kakaknya tersebut. Namun, cara si adik meminta respon tersebut mengakibatkan


(51)

kakak merasa tidak nyaman dengan disentuh pundaknya. Adik berkata dengan intonasi normal, tetapi si kakak menjawab dengan intonasi tinggi dan membentak. Dari percakapan antara kakak dan adik di atas, dapat diketahui bahwa kakak menanggapi adiknya dengan rasa kesal yang mengancam muka si adik secara sepihak. Hal tersebut mengakibatkan si adik sebagai mitra tutur merasa terancam dan malu dengan tanggapan kakaknya.

Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Terkourafi lebih menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang memiliki maksud mengancam muka sepihak mitra tuturnya, tetapi di sisi lain penutur tidak menyadari bahwa perkataannya menyinggung mitra tutur.

2.4.5 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher and Watts

Locher and Watts (2008) berpandangan bahwa perilaku tidak santun adalah perilaku yang secara normatif dianggap negatif (negatively marked behavior), lantaran melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Juga mereka menegaskan bahwa ketidaksantunan merupakan peranti untuk menegosiasikan hubungan antarsesama (a means to negotiate meaning). Selengkapnya pandangan mereka tentang ketidaksantunan tampak berikut ini,

‘…impolite behaviour and face-aggravating behaviour more generally is as much


(52)

Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher and Watts ini dapat diilustrasikan dengan situasi berikut.

Situasi:

Pada suatu malam pukul 22.00 WIB, seorang ibu menegur anaknya yang pulang terlambat. Sebelum pergi, si anak sudah menyetujui akan pulang pukul 21.00 WIB sesuai dengan aturan dari ibunya. Namun, sang anak justru baru pulang pukul 22.00 WIB.

Wujud Tuturan:

Ibu : “Udah puas mainnya?” (ibu menyambut kepulangan anaknya dengan nada sinis).

Anak : “Apa to, bu? Wong baru jam segini kok.” (menjawab pertanyaan ibunya dengan nada santai)

Ibu : “Oalah, Nduk. Wong udah telat, kok masih ngomong baru jam segini.” (berlalu dengan nada semakin sinis).

Anak : “Ibu ki gak tau anak zaman sekarang.”

Dari ilustrasi tersebut, tuturan ibu menunjukkan bahwa ia menegur anaknya yang pulang terlambat, tidak sesuai dengan kesepakatan sebelum pergi. Namun, si anak justru tidak merasa bersalah telah melanggar aturan yang telah disepakati. Hal itu mengakibatkan sang ibu semakin jengkel dan sinis menanggapi tuturan anaknya. Tuturan sang ibu yang semakin sinis justru tetap tidak dihiraukan oleh sang anak dengan tuturan ibu ki gak tau anak zaman sekarang. Tuturan sang anak tersebut merupakan tuturan yang tidak sopan kepada ibunya karena telah mengacuhkan dan melanggar kesepakatan yang telah disepakatinya sebelum pergi.

Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher and Watts lebih menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur


(53)

yang secara normatif dianggap negatif, karena dianggap melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat (tertentu).

Peneliti memahami sejumlah teori ketidaksantunan berbahasa menurut pandangan beberapa tokoh di atas dengan megaskan bahwa (1) dalam pandangan Miriam A. Locher ketidaksantunan berbahasa sebagai tindak berbahasa yang menyinggung perasaan mitra tutur dengan melecehkan muka atau memain-mainkan muka, (2) ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Bousfield adalah perilaku berbahasa yang dilakukan dengan adanya sebuah kesembronoan yang akhirnya menimbulkan adanya koflik antara penutur dan mitra tutur, (3) ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Culpeper adalah perilaku berbahasa untuk membuat orang benar-benar kehilangan muka (face loss), atau setidaknya orang tersebut ‘merasa’ kehilangan muka dengan maksud untuk mempermalukan mitra tuturnya, (4) ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Terkourafi adalah perilaku berbahasa yang bilamana mitra tutur merasakan ancaman terhadap kehilangan muka atau penutur mengancam muka mitra tuturnya tetapi di sisi lain penutur tidak menyadari bahwa perkataannya menyinggung mitra tutur, dan (5) ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher and Watts adalah perilaku berbahasa yang secara normatif dianggap negatif, lantaran melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Kelima teori ketidaksantunan tersebut akan digunakan dalam penelitian ini.


(54)

2.5 Konteks

Pada prinsipnya, pragmatik adalah ilmu yang menonjolkan adanya konteks situasi dalam tuturan. Konteks sangat mempengaruhi bentuk kebahasaan yang digunakan oleh penutur. Konteks adalah bagian terpentig dalam pragmatik di mana maksud penutur dalam tuturan dapat diketahui dengan mengetahui konteks situasi yang mengelilingi terjadinya sebuah tuturan.

Sebelum para ahli linguistik dan pragmatik, pada tahun 1923 Malinowsky telah terlebih dahulu berbicara tentang konteks itu, khususnya konteks yang berdimensi situasi atau ‘context of situation’. Secara khusus Malinowsky mengatakan, seperti yang dikutip di dalam Vershueren (1998:75) via Kunjana (2003), ‘Exactly as in the reality of spoken or written languages, a word without linguistics context is a mere figment and stands for nothing by itself, so in the

reality of a spoken living tongue, the utterance has no meaning except in the

context of situation.’ Jadi, di dalam pandangannya sesungguhnya dinyatakan bahwa kehadiran konteks situasi menjadi mutlak untuk menjadikan sebuah tuturan benar-benar bermakna.

Rahardi (2003:20) mengemukakan bahwa konteks tuturan dapat diartikan sebagai semua latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang diasumsikan sama-sama dimiliki dan dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur, serta yang mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang dimaksudkan oleh si penutur itu di dalam keseluruhan proses bertutur. Kemudian Levinson (1983:22−23) via Nugroho (2009:119) menjelaskan bahwa untuk mengetahui konteks, seseorang harus membedakan antara situasi aktual sebuah tuturan dalam


(55)

semua keserbaragaman ciri-ciri tuturan mereka, dan pemilihan ciri-ciri tuturan tersebut secara budaya dan linguistis yang berhubungan dengan produksi dan penafsiran tuturan.

Jika Malinosky menyebut ‘context of situation’, Leech (1983) menggunakan istilah ‘speech situation’ dalam pemahamannya tentang konteks. Sehubungan dengan bermacam-macamnya maksud yang dikomunikasikan oleh penuturan sebuah tuturan, Leech (1983) dalam Wijana (1996:10−13) mengemukakan sejumlah aspek yang senantiasa harus dipertimbangkan dalam rangka studi pragmatik. Aspek-aspek itu adalah sebagai berikut.

1) Penutur dan lawan tutur

Konsep penutur dan lawan tutur ini juga mencakup penulis dan pembaca bila tuturan bersangkutan dikomunikasikan dengan media tulisan. Aspek-aspek yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur ini adalah usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan sebagainya.

2) Konteks tuturan

Konteks tuturan penelitian linguistik adalah konteks dalam semua aspek fisik atau setting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan. Konteks yang bersifat fisik lazim disebut koteks (cotext), sedangkan konteks setting sosial disebut konteks. Di dalam pragmatik konteks itu pada hakikatnya adalah semua latar belakang pengetahuan (back gorund knowledge) yang dipahami bersama oleh penutur dan lawan tutur.


(56)

3) Tujuan penutur

Bentuk-bentk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu. Dalam hubungan ini bentuk-bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama. Atau sebaliknya, berbagai macam maksud dapat diutarakan dengan tuturan yang sama. Di dalam pragmatik, berbicara merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan (goal oriented activities). Ada perbedaan yang mendasar antara pandangan pragmatik yang bersifat fungsional dengan pandangan gramatika yang bersifat formal. Di dalam pandangan yang bersifa formal, setiap bentuk lingual yang berbeda tentu memiliki makna yang berbeda.

4) Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas

Bila gramatika menangani unsur-unsur kebahasaan sebagai entitas yang abstrak, seperti kalimat dalam studi sintaksis, proposisi dalam studi semantik, dan sebagainya, pragmatik berhubungan dengan tindak verbal (verbal act) yang terjadi dalam situasi tertentu. Dalam hubungan ini, pragmatik menangani bahasa dalam tingkatannya yang lebih konkret dibanding dengan tata bahasa. Tuturan sebagai entitas yang konkret jelas penutur dan lawan tuturnya, serta waktu dan tempat pengutaraannya.

5) Tuturan sebagai produk tindak verbal

Tuturan yang digunakan di dalam rangka pragmatik, seperti yang dikemukakan dalam kriteria keempat merupakan bentuk dari tindak tutur. Oleh karenanya, tuturan yang dihasilkan merupakan bentuk dari tindak


(57)

verbal. Sebagai contoh, kalimat Apakah rambutmu tidak terlalu panjang?

Dapat ditafsirkan sebagai pertanyaan atau perintah. Dalam hubungan ini, dapat ditegaskan ada perbedaan yang mendasar antara kalimat (sentence)

dengan tuturan (utturance). Kalimat adalah entitas gramatikal sebagai hasil kebahasaan yang diidentifikasikan lewat penggunaannya dalam situasi tertentu.

Selain kelima aspek tuturan yang telah dijelaskan oleh Leech (1983), lebih lanjut dijelaskan perihal yang berkenaan dengan penutur dan lawan tutur di dalam Verschueren (1998:76) via Kunjana (2012), bahwa bagi sebuah pesan (message), untuk dapat sampai kepada ‘interpreter’ (I) dari seorang ‘utterer’ (U), selain akan ditentukan oleh keberadaan konteks linguistiknya (linguistic context), juga oleh konteks dalam pengertian yang sangat luas, yang mencakup latar belakang fisik tuturan (physical world of the utterance), latar belakang sosial dari tuturan (social world of the utterance), dan latar belakang mental penuturnya (mental world of the utterance). Jadi setidaknya, Verschueren menyebut empat dimensi konteks yang sangat mendasar dalam memahami makna sebuah tuturan.

1) ‘The utterer’ dan ‘The Interpteter’

Pembicara dan lawan bicara, penutur dan mitra tutur, atau ‘the utterer’

and ‘the interpreter’ adalah dimensi paling signifikan dalam pragmatik. Dalam hal ini, ‘pembicara’ atau ‘penutur’ (utterer) itu memiliki banyak suara (many voices), sedangkan mitra tutur atau mitra wicara atau interpreter, lazimnya dikatakan memiliki banyak peran. Penutur atau pembicara, atau yang lazim disebut ‘the speaker’ dan ‘the utterer’, memang memiliki banyak


(1)

Kasus/Situasi

Respons Anda:

--- ---

Situasi 3:

Anda diajak teman-teman keluar rumah pada malam hari. Namun, orang tua tidak mengizikinkan Anda untuk pergi. Apa yang akan Anda katakan kepada orang tua Anda di depan teman-teman Anda?

Respons Anda:

--- ---

Situasi 4:

Ketika Anda pulang sekolah dan merasa lapar, tidak ada makanan di rumah. Apa yang akan Anda katakan kepada orang tua Anda?

Respons Anda:

--- ---

Situasi 5:

Ketika Anda sedang dimarahi oleh orang tua karena Anda dianggap pergi tanpa seizin mereka, padahal Anda merasa sudah meminta izin kepada orang tua Anda. Apa yang akan Anda katakan dalam situasi seperti ini?

Respons Anda:

---


(2)

InstrumenPenelitian Maksud Penutur

Kode Tuturan:

1. Lokasi :

2. Suasana :

3. Keadaanemosi :

4. Identitaspenutur :

a. Gender :

b. Umur :

c. Pekerjaan :

d. Domisili :

e. Daerah Asal :

f. Bahasa yang dipakaisehari-hari :

5. Identitaslawantutur :

a. Gender :

b. Umur :

c. Pekerjaan :

d. Domisili :

e. Daerah Asal :

f. Bahasa yang dipakaisehari-hari :

6. Tanggalpercakapan :

7. Waktupercakapan :

Tuturan:--- --- --- Maksud:--- --- ---

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(3)

(4)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(5)

(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Katarina Yulita Simanulang lahir di Jawa Tengah,

tanggal 1 April 1992. Ia menyelesaikan pendidikan tingkat

sekolah dasar di SD Negeri No 204/VII Singkut 7,

Sarolangun, Jambi pada tahun 2003. Kemudian, ia

melanjutnya studinya di SMP Xaverius Tugumulyo, Musi

Rawas, Sumatera Selatan dan tamat pada tahun 2006.

Pendidikan tingkat menengah atas ditempuhnya di SMA Xaverius Lubuk

Linggau, Sumatera Selatan dan lulus pada tahun 2009. Setelah menyelesaikan

sekolah tingkat menengah atas, ia melanjutnya studi S1 Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta. Masa pendidikan S1 tersebut berakhir pada tahun 2013.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI