Ketidaksantunan linguistik dan pragmatik dalam ranah keluarga petani di Kabupaten Bantul Yogyakarta.

(1)

ABSTRAK

Natalia, Clara Dhika Ninda. 2013. Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik dalam Ranah Keluarga Petani di Kabupaten Bantul Yogyakarta.

SKRIPSI. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

Penelitian ini membahas ketidaksantunan linguistik dan pragmatik dalam ranah keluarga petani di Kabupaten Bantul Yogyakarta. Tujuan penelitian ini adalah: (1) mendeskripsikan wujud-wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, (2) mendeskripsikan penanda-penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta (3) mendeskripsikan maksud yang mendasari orang menggunakan bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga petani di Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Data penelitian ini adalah berbagai macam cuplikan tuturan yang semuanya diambil secara natural dalam praktik-praktik perbincangan dalam ranah keluarga. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi, pertama metode simak dengan teknik rekam dan catat. Kedua, metode cakap dengan menggunakan teknik pancing. Kemudian, instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara (daftar pertanyaan, pancingan, dan daftar kasus) dan blangko pengamatan dengan bekal teori ketidaksantunan berbahasa. Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan metode kontekstual, yakni dengan mendeskripsikan dimensi-dimensi konteks dalam menginterpretasi data yang telah berhasil diinventarisasi, diidentifikasi, dan diklasifikasi.

Simpulan hasil penelitian ini adalah: (1) wujud ketidaksantunan linguistik yang ditemukan dalam interaksi antaranggota keluarga petani di Kabupaten Bantul, Yogyakarta berupa tuturan lisan tidak santun, yakni dalam kategori melanggar norma (subkategori menentang, menolak, kesal, marah), mengancam muka sepihak (subkategori menyindir, marah, memerintah, kecewa, menanyakan, mengancam, dan menegaskan), melecehkan muka (subkategori kesal, mengejek, menolak, menyindir, marah, menyarankan, dan menanyakan), menghilangkan muka (subkategori menyindir, mengejek, kesal, dan menegaskan), serta menimbulkan konflik (subkategori marah, kesal, menyepelekan, menyindir, dan menolak). Sementara itu, wujud ketidaksantunan pragmatik berkaitan dengan cara penutur ketika menyampaikan tuturan lisan tidak santun tersebut, (2) penanda ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan intonasi, tekanan, nada tutur, pilihan kata (diksi), dan penggunaan kata fatis. Adapun penanda ketidaksantunan pragmatik dilihat berdasarkan uraian konteks yang melingkupi tuturan, meliputi penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai bentuk tindakan, dan tuturan sebagai produk tindak verbal, dan (3) maksud ketidaksantunan yang ditemukan antara lain maksud kesal, bercanda, memberi informasi, menolak, marah, protes, menyindir, menakut-nakuti, mengusir, menyimpulkan, menanyakan, memberi saran, merahasiakan, membela diri, memerintah, menagih, mengejek, dan meminta bantuan.


(2)

ABSTRACT

Natalia, Clara Dhika Ninda. 2013. Impoliteness Language of Linguistics and Pragmatics in the domain of Farmer’s Family in Bantul Regency Yogyakarta. Thesis. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

This research discussed impoliteness language of linguistics and pragmatics in farmer’s family in Bantul Regency Yogyakarta. This research aimed: (1) to describe the forms of impoliteness language of linguistics and pragmatics, (2) to describe the signs of impoliteness language of linguistics and pragmatics, and (3) to describe the intentions that provided the basis for the use of impoliteness’ forms in farmer’s family in Bantul Regency, Yogyakarta.

Type of this reseach is descriptive qualitative. The data of this research is the various kinds of speech excerpts of which were taken naturally in conversation practices in family domain. The method is first, tapping method by record and note. Second, elicitation method by interview. Instruments that are used in this research are interview (question list, elicitation, and cases list) and observation form with impoliteness language theory. To analyze the data, this research uses contextual method, by describing context’s dimensions in interpret the data that are succesful being inventoryed, identified, and classified.

The results in this research are: (1) the forms of linguistics’ impoliteness that are found in the interactions between members of family farmer’s in Bantul Regency, Yogyakarta are in the form of impolite oral speech, that in this category are break the norm (subcategory oppose, refuse, annoy, and angry), face-threaten (subcategory tease, angry, order, disappoint, ask, threaten, and insist), aggravate (subcategory annoy, mock, refuse, tease, angry, suggest, and ask), face-loss (subcategory tease, mock, annoying, and insist), as well as cause conflict (subcategory angry, annoy, ignore, tease, and refuse). While, form of pragmatics’ impoliteness related with the way the speakers speech impolite, (2) the signs of linguistics’ impoliteness can be seen by intonations, stress, tone, diction, and particles. While, the signs of pragmatics’ impoliteness can be seen by speech context covers speakers and receivers, context of situation, purpose of speech, verbal act, and perlocutionary act, as well as (3) impoliteness’ intentions that is found such as annoying, just kidding, give informations, refuse, angry, protest, tease, frighten, expel, conclude, ask, give suggestion, keep secret, defend, order, demand fulfillment, mock, and asking for help.


(3)

KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK

DALAM RANAH KELUARGA PETANI

DI KABUPATEN BANTUL YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Disusun oleh:

Clara Dhika Ninda Natalia 091224066

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2013


(4)

i

KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK

DALAM RANAH KELUARGA PETANI

DI KABUPATEN BANTUL YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Disusun oleh:

Clara Dhika Ninda Natalia 091224066

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2013


(5)

ii SKRIPSI

KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK

DALAM RANAH KELUARGA PETANI

DI KABUPATEN BANTUL YOGYAKARTA

Disusun oleh: Clara Dhika Ninda Natalia

091224066

Telah disetujui oleh:

Dosen Pembimbing


(6)

iii SKRIPSI

KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK

DALAM RANAH KELUARGA PETANI

DI KABUPATEN BANTUL YOGYAKARTA

Dipersiapkan dan disusun oleh: Clara Dhika Ninda Natalia

091224066

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal 17 Desember 2013

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Nama Lengkap Tanda Tangan Ketua : Dr. Yuliana Setiyaningsih ... Sekretaris : Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum. ... Anggota 1 : Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. ... Anggota 2 : Prof. Dr. Pranowo, M.Pd. ... Anggota 3 : Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum. ...

Yogyakarta, 17 Desember 2013

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma

Dekan,


(7)

iv MOTTO

“Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya.”

(Yohanes 1:4-5)

“Karena masa depan sungguh ada dan harapanmu tidak akan hilang.”

(Amsal 23:18)

“Melangkah di bawah mentari yang sama. Mencari tempat kita di masa depan. Berjanji kita tak akan putus asa, walaupun semua tak kan mudah.”


(8)

v Persembahan

Kupersembahkan skripsi ini untuk:

1. Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang selalu menjadi terang dan sumber ketenangan dalam setiap jengkal dan langkah hidupku.

2. Kedua orang tuaku, Bapak Gregorius Sutamta dan Ibu Caecilia Dwi Ana Murtiningsih yang penuh cinta dan kasih sayang senantiasa membimbing, memberikan motivasi, arahan, nasihat, serta doa bagi penulis selama ini.

3. Kekasihku, Yakobus Wijang Wijanarko yang dengan setia dan penuh cinta menemani juga memberi warna bagi perjalanan hidupku.

4. Teman seperjuanganku, Valentina Tris Marwati, Katarina Yulita Simanulang, Catarina Erni Riyanti, dan Nuridang Fitra Nagara, terima kasih atas pengalaman dan kebersamaan kalian, lengkap dengan suka dan duka dalam penyusunan skripsi ini.

5. Sahabat terbaik, Agnes Surianingtyas, Silvia Erawati, Dominika Restu Sekaringtyas, Kandi Antika Metasari, Indah Purnamasari, Wiwin Swandari, Roland Kadhafi, Cornelius Ardiyanto Wibowo, terima kasih atas persahabatan yang penuh cerita dan cinta selama ini.

6. Teman dan sahabat PBSI, terima kasih telah memberi nuansa yang berbeda dalam perjalanan yang kutempuh.


(9)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 17 Desember 2013 Penulis


(10)

vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Clara Dhika Ninda Natalia Nomor Mahasiswa : 091224066

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK DALAM RANAH KELUARGA PETANI

DI KABUPATEN BANTUL YOGYAKARTA

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal: 17 Desember 2013 Yang menyatakan

(Clara Dhika Ninda Natalia)


(11)

viii ABSTRAK

Natalia, Clara Dhika Ninda. 2013. Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik dalam Ranah Keluarga Petani di Kabupaten Bantul Yogyakarta.

SKRIPSI. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

Penelitian ini membahas ketidaksantunan linguistik dan pragmatik dalam ranah keluarga petani di Kabupaten Bantul Yogyakarta. Tujuan penelitian ini adalah: (1) mendeskripsikan wujud-wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, (2) mendeskripsikan penanda-penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta (3) mendeskripsikan maksud yang mendasari orang menggunakan bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga petani di Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Data penelitian ini adalah berbagai macam cuplikan tuturan yang semuanya diambil secara natural dalam praktik-praktik perbincangan dalam ranah keluarga. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi, pertama metode simak dengan teknik rekam dan catat. Kedua, metode cakap dengan menggunakan teknik pancing. Kemudian, instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara (daftar pertanyaan, pancingan, dan daftar kasus) dan blangko pengamatan dengan bekal teori ketidaksantunan berbahasa. Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan metode kontekstual, yakni dengan mendeskripsikan dimensi-dimensi konteks dalam menginterpretasi data yang telah berhasil diinventarisasi, diidentifikasi, dan diklasifikasi.

Simpulan hasil penelitian ini adalah: (1) wujud ketidaksantunan linguistik yang ditemukan dalam interaksi antaranggota keluarga petani di Kabupaten Bantul, Yogyakarta berupa tuturan lisan tidak santun, yakni dalam kategori melanggar norma (subkategori menentang, menolak, kesal, marah), mengancam muka sepihak (subkategori menyindir, marah, memerintah, kecewa, menanyakan, mengancam, dan menegaskan), melecehkan muka (subkategori kesal, mengejek, menolak, menyindir, marah, menyarankan, dan menanyakan), menghilangkan muka (subkategori menyindir, mengejek, kesal, dan menegaskan), serta menimbulkan konflik (subkategori marah, kesal, menyepelekan, menyindir, dan menolak). Sementara itu, wujud ketidaksantunan pragmatik berkaitan dengan cara penutur ketika menyampaikan tuturan lisan tidak santun tersebut, (2) penanda ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan intonasi, tekanan, nada tutur, pilihan kata (diksi), dan penggunaan kata fatis. Adapun penanda ketidaksantunan pragmatik dilihat berdasarkan uraian konteks yang melingkupi tuturan, meliputi penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai bentuk tindakan, dan tuturan sebagai produk tindak verbal, dan (3) maksud ketidaksantunan yang ditemukan antara lain maksud kesal, bercanda, memberi informasi, menolak, marah, protes, menyindir, menakut-nakuti, mengusir, menyimpulkan, menanyakan, memberi saran, merahasiakan, membela diri, memerintah, menagih, mengejek, dan meminta bantuan.


(12)

ix ABSTRACT

Natalia, Clara Dhika Ninda. 2013. Impoliteness of Linguistics and Pragmatics in the domain of Farmer’s Family in Bantul Regency Yogyakarta. Thesis. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

This research discussed impoliteness of linguistics and pragmatics in farmer’s family in Bantul Regency Yogyakarta. This research aimed: (1) to describe the forms of impoliteness language of linguistics and pragmatics, (2) to describe the signs of impoliteness language of linguistics and pragmatics, and (3) to describe the intentions that provided the basis for the use of impoliteness’ forms in farmer’s family in Bantul Regency, Yogyakarta.

Type of this reseach is descriptive qualitative. The data of this research is the various kinds of speech excerpts of which were taken naturally in conversation practices in family domain. The method is first, tapping method by record and note. Second, elicitation method by interview. Instruments that are used in this research are interview (question list, elicitation, and cases list) and observation form with impoliteness language theory. To analyze the data, this research uses contextual method, by describing context’s dimensions in interpret the data that are succesful being inventoryed, identified, and classified.

The results in this research are: (1) the forms of linguistics’ impoliteness that are found in the interactions between members of family farmer’s in Bantul Regency, Yogyakarta are in the form of impolite oral speech, that in this category are break the norm (subcategory oppose, refuse, annoy, and angry), face-threaten (subcategory tease, angry, order, disappoint, ask, threaten, and insist), aggravate (subcategory annoy, mock, refuse, tease, angry, suggest, and ask), face-loss (subcategory tease, mock, annoying, and insist), as well as cause conflict (subcategory angry, annoy, ignore, tease, and refuse). While, form of pragmatics’ impoliteness related with the way the speakers speech impolite, (2) the signs of linguistics’ impoliteness can be seen by intonations, stress, tone, diction, and particles. While, the signs of pragmatics’ impoliteness can be seen by speech context covers speakers and receivers, context of situation, purpose of speech, verbal act, and perlocutionary act, as well as (3) impoliteness’ intentions that is found such as annoying, just kidding, give informations, refuse, angry, protest, tease, frighten, expel, conclude, ask, give suggestion, keep secret, defend, order, demand fulfillment, mock, and asking for help.


(13)

x

Kata Pengantar

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih dan karya-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik dalam Ranah Keluarga Petani di Kabupaten Bantul Yogyakarta dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan studi sesuai dengan kurikulum Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma.

2. Caecilia Tutyandari, S.Pd., M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

3. Dr. Yuliana Setiyaningsih, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma.

4. Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum., selaku Wakil Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma.

5. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum., selaku dosen pembimbing yang penuh pengertian dan kesabaran senantiasa memberi bimbingan, nasihat, motivasi, dan masukan yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Seluruh dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang selalu mendukung, memberi pengalaman, dan pengarahan yang sangat berguna bagi perkembangan penulis selama proses perkuliahan.

7. Sdr. Robertus Marsidiq, selaku staf sekretariat Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang selalu memberikan kemudahan bagi penulis dalam pelayanan administrasi selama penyusunan skripsi.

8. Pemerintah Kabupaten Bantul yang telah memberikan izin penelitian kepada penulis selama ini.


(14)

xi

9. Bapak Gregorius Sutamta dan Ibu Caecilia Dwi Ana Murtiningsih, selaku orang tua penulis yang penuh kesetiaan, cinta, dan kasih sayangnya tulus memberikan motivasi, arahan, bimbingan, dan doa bagi penulis selama ini. 10. Yakobus Wijang Wijanarko, yang dengan setia menemani dan memberi

ketenangan hati bagi penulis selama ini.

11. Teman seperjuangan, Valentina Tris Marwati, Katarina Yulita Simanulang, Catarina Erni Riyanti, dan Nuridang Fitra Nagara terima kasih atas kebersamaan, pengalaman, dan perjuangan yang penuh suka duka dalam penyusunan skripsi ini.

12. Agatha Wahyu Wigati, Mikael Jati Kurniawan, Ambrosius Bambang Sumarwanto, Rosalina Anik Setyorini, Cicilia Verlit Warasinta, Yuli Astuti, Bernadetha Setya Febriyanti, Risa Ferina Setyorini, Ade Henta Hermawan, Yudha Hening Pinandhito, Ignatius Satrio Nugroho, dan semua sahabat PBSI angkatan 2009, terima kasih atas kebersamaan dan pengalaman yang penuh warna warni dalam berproses di Sanata Dharma.

13. Warga Kabupaten Bantul yang bersedia menjadi sumber data dalam penelitian ini.

14. Semua pihak yang telah membantu.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, penulis senantiasa mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan di masa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi pembaca dan perkembangan ilmu pragmatik.

Yogyakarta, 17 Desember 2013 Penulis


(15)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR BAGAN ... xvii

DAFTAR TABEL ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

1.5 Batasan Istilah ... 7

1.6 Sistematika Penyajian ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 10

2.1 Penelitian yang Relevan ... 10

2.2 Pragmatik ... 16

2.3 Fenomena Pragmatik ... 17

2.3.1 Praanggapan ... 18

2.3.2 Tindak Tutur ... 18


(16)

xiii

2.3.4 Deiksis ... 21

2.3.5 Kesantunan Berbahasa ... 22

2.3.6 Ketidaksantunan Berbahasa ... 24

2.4 Teori-teori Ketidaksantunan ... 25

2.4.1 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher and Watts ... 25

2.4.2 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Terkourafi... 27

2.4.3 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher ... 28

2.4.4 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Culpeper ... 30

2.4.5 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Bousfield ... 31

2.5 Konteks ... 33

2.6 Unsur Segmental ... 42

2.6.1Diksi ... 43

2.6.2Gaya Bahasa ... 49

2.6.3Kata Fatis ... 49

2.7 Unsur Suprasegmental ... 52

2.7.1Intonasi ... 52

2.7.2Tekanan ... 53

2.7.3Nada ... 53

2.8 Teori Maksud ... 54

2.9 Kerangka Berpikir ... 56

BAB III METODE PENELITIAN ... 58

3.1Jenis Penelitian ... 58

3.2Data dan Sumber Data ... 59

3.3Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 60

3.4Instrumen Penelitian ... 61

3.5Metode dan Teknik Analisis Data ... 62

3.6Sajian Hasil Analisis Data ... 64


(17)

xiv

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 65

4.1Deskripsi Data ... 65

4.1.1Melanggar Norma ... 67

4.1.2Mengancam Muka Sepihak ... 68

4.1.3Melecehkan Muka ... 68

4.1.4Menghilangkan Muka ... 70

4.1.5Menimbulkan Konflik ... 71

4.2 Analisis Data ... 71

4.2.1Kategori Ketidaksantunan Melanggar Norma ... 73

4.2.1.1Subkategori Menentang ... 73

4.2.1.2Subkategori Menolak ... 75

4.2.1.3Subkategori Kesal ... 78

4.2.1.4Subkategori Marah ... 79

4.2.2Kategori Ketidaksantunan Mengancam Muka Sepihak ... 81

4.2.2.1Subkategori Menyindir ... 81

4.2.2.2Subkategori Marah ... 83

4.2.2.3Subkategori Memerintah ... 85

4.2.2.4Subkategori Kecewa ... 88

4.2.2.5Subkategori Menanyakan ... 89

4.2.2.6Subkategori Mengancam ... 90

4.2.2.7Subkategori Menegaskan ... 92

4.2.3Kategori Ketidaksantunan Melecehkan Muka ... 93

4.2.3.1Subkategori Kesal ... 93

4.2.3.2Subkategori Mengejek ... 96

4.2.3.3Subkategori Menolak ... 98

4.2.3.4Subkategori Menyindir ... 101

4.2.3.5Subkategori Marah ... 103

4.2.3.6Subkategori Menyarankan ... 106

4.2.3.7Subkategori Menanyakan ... 108

4.2.4 Kategori Ketidaksantunan Menghilangkan Muka ... 110


(18)

xv

4.2.4.2 Subkategori Mengejek ... 112

4.2.4.3 Subkategori Kesal ... 115

4.2.4.4 Subkategori Menegaskan ... 118

4.2.5 Kategori Ketidaksantunan Menimbulkan Konflik ... 119

4.2.5.1 Subkategori Marah ... 119

4.2.5.2 Subkategori Kesal ... 121

4.2.5.3 Subkategori Menyepelekan ... 124

4.2.5.4 Subkategori Menyindir ... 126

4.2.5.5 Subkategori Menolak ... 128

4.3 Pembahasan ... 129

4.3.1Kategori Ketidaksantunan Melanggar Norma ... 130

4.3.1.1Subkategori Menentang ... 130

4.3.1.2Subkategori Menolak ... 137

4.3.1.3Subkatgeori Kesal ... 142

4.3.1.4Subkategori Marah ... 145

4.3.2Kategori Ketidaksantunan Mengancam Muka Sepihak ... 148

4.3.2.1Subkategori Menyindir ... 148

4.3.2.2Subkategori Marah ... 153

4.3.2.3Subkategori Memerintah ... 157

4.3.2.4Subkategori Kecewa ... 160

4.3.2.5Subkategori Menanyakan ... 162

4.3.2.6Subkategori Mengancam ... 164

4.3.2.7Subkategori Menegaskan ... 166

4.3.3Kategori Ketidaksantunan Melecehkan Muka ... 169

4.3.3.1Subkategori Kesal ... 170

4.3.3.2Subkategori Mengejek ... 174

4.3.3.3Subkategori Menolak ... 178

4.3.3.4Subkategori Menyindir ... 182

4.3.3.5Subkategori Marah ... 185

4.3.3.6Subkategori Menyarankan ... 189


(19)

xvi

4.3.4Kategori Ketidaksantunan Menghilangkan Muka ... 194

4.3.4.1Subkategori Menyindir ... 195

4.3.4.2Subkategori Mengejek ... 199

4.3.4.3Subkategori Kesal ... 203

4.3.4.4Subkategori Menegaskan ... 206

4.3.5Kategori Ketidaksantunan Menimbulkan Konflik ... 209

4.3.5.1Subkategori Marah ... 209

4.3.5.2Subkategori Kesal ... 213

4.3.5.3Subkategori Menyepelekan ... 217

4.3.5.4Subkategori Menyindir ... 220

4.3.5.5Subkategori Menolak ... 223

BAB V PENUTUP ... 227

5.1Simpulan ... 227

5.1.1Wujud Ketidaksantunan ... 227

5.1.2Penanda Ketidaksantunan ... 227

5.1.2.1 Melanggar Norma ... 228

5.1.2.2 Mengancam Muka Sepihak ... 228

5.1.2.3 Melecehkan Muka ... 229

5.1.2.4 Menghilangkan Muka ... 229

5.1.2.5 Menimbulkan Konflik ... 230

5.1.3Maksud Ketidaksantunan ... 231

5.2Saran ... 232

5.2.1Bagi Keluarga ... 232

5.2.2Bagi Penelitian Lanjutan ... 233

DAFTAR PUSTAKA ... 234

LAMPIRAN ... 236 DAFTAR RIWAYAT HIDUP


(20)

xvii

DAFTAR BAGAN


(21)

xviii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jumlah Data Tuturan berdasarkan Kategori Ketidaksantunan... 65

Tabel 2 Persentase Jumlah Data Tuturan berdasarkan Subkategori Ketidaksantunan.... 66

Tabel 3 Data Tuturan Melanggar Norma... 67

Tabel 4 Data Tuturan Mengancam Muka Sepihak... 68

Tabel 5 Data Tuturan Melecehkan Muka... 69

Tabel 6 Data Tuturan Menghilangkan Muka... 70


(22)

1 BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi uraian tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, dan sistematika penyajian.

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain. Sebagai makhluk sosial, manusia tentu saling berinteraksi satu sama lain. Manusia dapat berinteraksi dan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa. Secara sederhana, bahasa dapat diartikan sebagai alat untuk menyampaikan sesuatu yang terlintas dalam hati. Namun, lebih jauh lagi bahasa merupakan alat untuk berinteraksi atau berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan gagasan, pikiran, konsep atau perasaan. Chaer (2011:1) mendefinisikan bahasa sebagai suatu sistem lambang berupa bunyi, bersifat arbitrer, digunakan oleh suatu masyarakat tutur untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri.

Ilmu yang mengkaji dan menjelaskan tentang bahasa disebut linguistik. Perkembangan linguistik sangat pesat. Kajian tentang bahasa tidak hanya meliputi satu aspek saja. Pada dasarnya linguistik mempunyai dua bidang besar yaitu mikrolinguistik dan makrolinguistik (Nikelas, 1988:14). Mikrolinguistik adalah bidang yang mengkaji bahasa dari struktur dalam bahasa tersebut, sedangkan makrolinguistik mempelajari bahasa dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar bahasa. Ilmu linguistik tersebut menjadi dasar bagi ilmu-ilmu yang lain, seperti kesusastraan, filologi, pengajaran bahasa, penterjemahan, dan sebagainya.


(23)

Linguistik ditinjau dari faktor-faktor di luar bahasa memiliki beberapa cabang. Salah satunya yaitu ilmu pragmatik. Pragmatik merupakan ilmu yang mempelajari penggunaan bahasa sesuai konteks situasi tuturan. Rahardi (2003:16) mengemukakan bahwa ilmu pragmatik sesungguhnya mengkaji maksud penutur di dalam konteks situasi dan lingkungan sosial-budaya tertentu. Pragmatik mengkaji satuan lingual tertentu secara eksternal. Makna yang dikaji dalam pragmatik bersifat terikat konteks dan bertujuan untuk memahami maksud penutur. Sejalan dengan pengertian tersebut, banyak hal menarik untuk dikaji lebih mendalam, khususnya berkaitan dengan bidang kajian pragmatik yaitu kesantunan dan ketidaksantunan berbahasa.

Berbahasa itu sendiri terdiri dari dua bentuk, yaitu bahasa lisan dan bahasa tulis. Bahasa lisan atau yang sering diucapkan dianggap utama di dalam bahasa karena lambang yang digunakan berupa bunyi. Fungsi bahasa yang terutama adalah sebagai alat untuk bekerja sama atau berkomunikasi di dalam kehidupan bermasyarakat (Chaer, 2011:2). Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa setiap individu menggunakan bahasa dengan tujuan tertentu. Salah satunya untuk menyampaikan maksud kepada orang lain.

Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, budaya, adat istiadat, agama, latar belakang sosial, dan profesi yang beragam, sudah tentu memiliki kemampuan dan karakteristik yang berbeda pula ketika berkomunikasi. Ada yang mampu bertutur kata secara halus dengan maksud yang jelas sehingga membuat orang lain berkenan. Namun, tidak sedikit yang kurang memperhatikan tuturan ketika berkomunikasi.


(24)

Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar saja belum cukup ketika seseorang berkomunikasi. Masih ada satu kaidah lagi yang perlu diperhatikan yaitu kesantunan. Struktur bahasa yang santun adalah struktur bahasa yang disusun oleh penutur/penulis agar tidak menyinggung perasaan pendengar atau pembaca (Pranowo, 2009:4). Selain bahasa yang santun, dibutuhkan pula mimik, gerak-gerik tubuh, sikap atau perilaku untuk mendukung pengungkapan kepribadian seseorang. Kesantunan berbahasa adalah bidang kajian pragmatik yang sudah banyak diteliti dan dikaji secara mendalam oleh para peneliti. Kesantunan berbahasa berkaitan dengan penggunaan bahasa yang baik agar tidak menyinggung perasaan orang lain. Sementara itu, ketidaksantunan berbahasa merupakan kajian pragmatik baru yang dipahami sebagai penggunaan bahasa yang tidak baik dan seringkali menyinggung perasaan orang lain. Fenomena pragmatik yang tidak dikaji secara mendalam, tentu tidak akan bermanfaat banyak bagi perkembangan ilmu bahasa, khususnya pragmatik.

Ketidaksantunan berbahasa dapat dikaji dalam berbagai ranah, yaitu pendidikan, keluarga, dan agama. Ranah keluarga merupakan salah satu bidang kajian yang menarik untuk diteliti, karena kemampuan berbahasa seseorang tentu berawal dari kebiasaan berbahasa di dalam keluarganya. Sebagaimana sudah dipaparkan sebelumnya bahwa setiap individu memiliki kemampuan dan karakteristik tersendiri ketika berkomunikasi. Oleh karena itu, kebahasaan yang mereka gunakan tentu akan berbeda.

Strata sosial dalam masyarakat turut mempengaruhi kebahasaan ketika berkomunikasi. Strata sosial adalah struktur sosial yang berlapis-lapis di dalam


(25)

masyarakat (Bungin, 2006:49). Secara umum, strata sosial dalam masyarakat memunculkan kelas-kelas sosial yang terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu atas (upper class), menengah (middle class), dan bawah (lower class). Kelas atas mewakili kelompok elite di masyarakat yang jumlahnya sangat terbatas. Kelas menengah mewakili kelompok profesional, kelompok pekerja, wiraswastawan, pedagang, dan kelompok fungsional lainnya. Kelas bawah mewakili kelompok pekerja kasar, buruh harian, buruh lepas, dan semacamnya (Bungin, 2006:49-50). Keluarga yang memiliki status sosial lebih tinggi cenderung memiliki kemampuan berkomunikasi yang lebih baik daripada keluarga dengan status sosial rendah.

Selain strata sosial yang ada dalam masyarakat, perkembangan zaman sudah tentu turut mempengaruhi kebahasaan seseorang ketika berkomunikasi. Terlebih ketika profesi tertentu mengakibatkan sifat individualis semakin menjamur di kalangan masyarakat. Harapan untuk dapat berbahasa secara santun nampaknya akan sulit terwujud jika bertegur sapa saja menjadi aktivitas yang langka dijumpai dalam masyarakat individualis. Fenomena kebahasaan yang terjadi dalam setiap keluarga tentu berbeda-beda. Fenomena kebahasaan dalam keluarga petani yang sebagian besar masih hidup dalam kesederhanaan dan tinggal di wilayah yang jauh dari keramaian kota tentu berbeda jika dibandingkan dengan kebahasaan dalam komunikasi keluarga di lingkungan kraton, keluarga pendidik, keluarga pedagang, dan lainnya.

Petani merupakan salah satu mata pencaharian yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bercocok tanam di sawah atau ladang. Ketika melakukan aktivitas bercocok tanam, sudah tentu terjadi sebuah komunikasi


(26)

antara petani yang satu dengan petani yang lain. Mereka akan saling bertegur sapa, membantu menggarap sawah, melakukan perbincangan, bahkan bergurau. Kebahasaan dalam komunikasi yang terjadi mungkin ditandai dengan suara yang keras, penggunaan bahasa daerah yang masih khas, dan percakapan yang akrab atau terdengar ramah. Oleh karena keakraban yang terjalin setiap kali beraktivitas, memungkinkan timbulnya bentuk-bentuk ketidaksantunan dalam berbahasa. Penggunaan bahasa demikian dengan sendirinya akan terbawa dalam komunikasi di dalam keluarga masing-masing.

Kabupaten Bantul adalah salah satu kabupaten dari lima kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kabupaten Bantul merupakan kawasan yang identik dengan persawahan. Letak geografis yang demikian tentu menandakan bahwa sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani, baik sebagai pemilik sawah itu sendiri maupun petani sebagai penggarap sawah milik orang lain. Oleh karena itu, Kabupaten Bantul menjadi daya tarik tersendiri bagi peneliti untuk mengkaji lebih dalam bagaimana ketidaksantunan linguistik dan pragmatik dalam ranah keluarga petani. Bertolak dari latar belakang masalah di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji ketidaksantunan linguistik dan pragmatik dalam ranah keluarga petani di Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.


(27)

1) Wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik apa sajakah yang terdapat dalam ranah keluarga petani di Kabupaten Bantul, Yogyakarta? 2) Penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik apa sajakah yang

digunakan dalam ranah keluarga petani di Kabupaten Bantul, Yogyakarta?

3) Maksud apa sajakah yang mendasari orang menggunakan bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga petani di Kabupaten Bantul, Yogyakarta?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Mendeskripsikan wujud-wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik dalam ranah keluarga petani di Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

2) Mendeskripsikan penanda-penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik dalam ranah keluarga petani di Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

3) Mendeskripsikan maksud yang mendasari orang menggunakan bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga petani di Kabupaten Bantul, Yogyakarta.


(28)

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan hasil dan manfaat bagi berbagai pihak. Manfaat-manfaat tersebut antara lain sebagai berikut.

1) Manfaat teoretis

a) Penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu bahasa, khususnya pragmatik di Prodi PBSI.

b) Berbagai kajian teori yang digunakan dalam penelitian ini dapat memperluas kajian dan memperkaya khasanah teoretis tentang ketidaksantunan dalam bahasa sebagai fenomena pragmatik baru. 2) Manfaat praktis

a) Penelitian ini dapat digunakan oleh para penutur dalam ranah keluarga untuk mempertimbangkan bentuk-bentuk ketidaksantunan berbahasa yang harus dihindari dalam berkomunikasi.

b) Penelitian ini diharapkan dapat memperkuat pendidikan karakter dalam lingkup keluarga yang merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh bagi pembentukan karakter bangsa.

1.5 Batasan Istilah

1) Ketidaksantunan berbahasa

Struktur bahasa penutur yang tidak berkenan di hati mitra tutur. 2) Linguistik


(29)

3) Pragmatik

Ilmu pragmatik adalah ilmu yang mengkaji maksud penutur di dalam konteks situasi dan lingkungan sosial-budaya tertentu (Rahardi, 2003:16). 4) Ketidaksantunan linguistik

Ketidaksantunan berbahasa yang dikaji dari aspek linguistik suatu tuturan.

5) Ketidaksantunan pragmatik

Ketidaksantunan berbahasa yang dikaji dari konteks situasi yang menyertai suatu tuturan.

6) Keluarga

Ibu dan bapak beserta anak-anaknya; orang seisi rumah yang menjadi tanggungan; satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat (Depdiknas, 2008:659).

7) Petani

Orang yang pekerjaannya bercocok tanam (Depdiknas, 2008:1400). 8) Keluarga Petani

Satuan kekerabatan terkecil dalam masyarakat yang pekerjaannya bercocok tanam.

1.6 Sistematika Penyajian

Penelitian yang mengkaji ketidaksantunan linguistik dan pragmatik ini terdiri dari lima bab. Bab I merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang


(30)

masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, dan sistematika penyajian.

Bab II berisi kajian pustaka yang digunakan untuk menganalisis dan membahas masalah-masalah yang diteliti, yaitu tentang ketidaksantunan berbahasa. Teori-teori yang dikemukakan dalam Bab II ini adalah teori tentang (1) penelitian-penelitian yang relevan, (2) teori pragmatik, (3) fenomena pragmatik, (4) teori ketidaksantunan, (5) teori mengenai konteks, (6) unsur segmental, (7) unsur suprasegmental, (8) teori maksud, dan (9) kerangka berpikir.

Bab III adalah metode penelitian yang memuat tentang cara dan prosedur yang digunakan oleh peneliti untuk memperoleh data. Dalam Bab III diuraikan (1) jenis penelitian, (2) data dan sumber data, (3) metode dan teknik pengumpulan data, (4) instrumen penelitian, (5) metode dan teknik analisis data, (6) sajian hasil analisis data, dan (7) trianggulasi data.

Bab IV berisi uraian tentang (1) deskripsi data, (2) analisis data, dan (3) pembahasan hasil penelitian. Lebih lanjut lagi pada Bab V yang berisi kesimpulan penelitian dan saran untuk penelitian selanjutnya berkaitan dengan penelitian ketidaksantunan berbahasa.


(31)

10 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Bab ini berisi uraian tentang penelitian yang relevan, landasan teori, dan kerangka berpikir. Penelitian yang relevan berisi tinjauan terhadap topik-topik sejenis yang dilakukan oleh peneliti-peneliti lain. Landasan teori berisi teori-teori yang digunakan sebagai landasan analisis dari penelitian ini yang terdiri atas teori pragmatik, fenomena pragmatik, teori ketidaksantunan berbahasa, konteks, unsur segmental, unsur suprasegmental, dan teori maksud. Kerangka berpikir berisi tentang acuan teori yang digunakan dalam penelitian ini dengan berpijak pada penelitian terdahulu yang relevan dan digunakan untuk menjawab rumusan masalah.

2.1 Penelitian yang Relevan

Penelitian mengenai ketidaksantunan berbahasa merupakan kajian pragmatik baru yang belum banyak diteliti dan dikaji oleh para peneliti bahasa. Oleh karena itu, penelitian pragmatik yang mengkaji ketidaksantunan berbahasa masih sangat terbatas. Sebaliknya, untuk penelitian pragmatik yang mengkaji tentang kesantunan berbahasa sudah banyak ditemukan oleh para peneliti. Pada penelitian ini, peneliti mencantumkan beberapa penelitian ketidaksantunan berbahasa sebagai penelitian yang relevan. Penelitian-penelitian tentang ketidaksantunan berbahasa tersebut antara lain penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth Rita Yuliastuti (2013), Caecilia Petra Gading May Widyawari (2013), Olivia Melissa Puspitarini (2013), dan Agustina Galuh Eka Noviyanti (2013).


(32)

Penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth Rita Yuliastuti (2013) berjudul

Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Berbahasa antara Guru dan Siswa di

SMA Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2012/2013. Penelitian ini

merupakan kajian yang membahas wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa antara guru dan siswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2012/2013. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa, mendeskripsikan penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa, dan mendeskripsikan makna ketidaksantunan berbahasa yang digunakan oleh guru maupun siswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Pengumpulan data diperoleh dengan menggunakan metode simak dan metode cakap. Data dalam penelitian ini adalah tuturan-tuturan lisan yang tidak santun antara guru dan siswa. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis kontekstual. Adapun hasil dari penelitian ini adalah

pertama, wujud ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan tuturan lisan

yang tidak santun antara guru dan siswa yang berupa tuturan melecehkan muka, memain-mainkan muka, kesembronoan, mengancam muka, dan menghilangkan muka, sedangkan wujud ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan uraian konteks berupa penutur, mitra tutur, tujuan tutur, situasi, suasana, tindak verbal, dan tindak perlokusi yang menyertai tuturan tersebut. Kedua, penanda ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan nada, tekanan, intonasi, dan diksi, serta penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks yang menyertai tuturan yakni penutur, mitra tutur, situasi, suasana, tujuan tutur,


(33)

tindak verbal, dan tindak perlokusi. Ketiga, makna ketidaksantunan (1) melecehkan muka yakni hinaan dan ejekan dari penutur kepada mitra tutur hingga melukai hati mitra tutur, (2) memain-mainkan muka yakni tuturan yang membuat bingung mitra tutur sehingga mitra tutur menjadi jengkel karena sikap penutur yang tidak seperti biasanya, (3) kesembronoan yang disengaja yakni penutur bercanda kepada mitra tutur sehingga mitra tutur terhibur, tetapi candaan tersebut dapat menimbulkan konflik, (4) mengancam muka yakni penutur memberikan ancaman kepada mitra tutur sehingga mitra tutur merasa terpojokkan, dan (5) menghilangkan muka yakni penutur mempermalukan mitra tutur di depan banyak orang.

Penelitian serupa juga dilakukan oleh Caecilia Petra Gading May Widyawari (2013) yang berjudul Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik

Berbahasa Antarmahasiswa Program Studi PBSID Angkatan 2009—2011 Universitas Sanata Dharma. Penelitian ini membahas ketidaksantunan linguistik

dan pragmatik berbahasa yang dituturkan antarmahasiswa Program Studi PBSID Angkatan 2009—2011 di Universitas Sanata Dharma. Sumber data penelitian ini adalah mahasiswa PBSID angkatan 2009—2011 di Universitas Sanata Dharma. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Tujuan penelitian ini adalah: (1) mendeskripsikan wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa, (2) mendeskripsikan penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa, dan (3) mendeskripsikan makna ketidaksantunan berbahasa yang digunakan antarmahasiswa PBSID Angkatan 2009—2011 di Universitas Sanata Dharma. Instrumen penelitian berupa panduan wawancara (daftar pertanyaan),


(34)

pertanyaan pancingan, dan pernyataan kasus. Metode pengumpulan data yakni,

pertama metode simak dengan teknik dasar berupa teknik sadap dan teknik

lanjutan berupa teknik simak libat cakap dan teknik cakap, kedua metode cakap dengan teknik dasar berupa teknik pancing dan dua teknik lanjutan berupa teknik lanjutan cakap semuka dan tansemuka. Beberapa teknik tersebut diwujudkan dengan cara menginventarisasi, mengidentifikasi, dan mengklasifikasi. Simpulan hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan simpulan hasil penelitian Elizabeth Rita Yuliastuti (2013), yakni (1) wujud ketidaksantunan linguistik dapat dilihat dari tuturan antarmahasiswa yang terdiri dari melecehkan muka, sembrono, mengancam muka, dan menghilangkan muka. Lalu wujud ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks (penutur, mitra tutur, situasi, suasana, tindak verbal, tindak perlokusi dan tujuan tutur), (2) penanda ketidaksantunan linguistik yang ditemukan berupa nada, tekanan, intonasi, dan diksi. Penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks tuturan yang berupa penutur dan mitra tutur, situasi dan suasana, tindak verbal, tindak perlokusi, dan tujuan tutur, dan (3) makna ketidaksantunan berbahasa yaitu: a) melecehkan muka, ejekan penutur kepada mitra tutur dan dapat melukai hati, b) memain-mainkan muka, membingungkan mitra tutur dan itu menjengkelkan, c) kesembronoan, bercanda yang menyebabkan konflik, d) menghilangkan muka, mempermalukan mitra tutur di depan banyak orang, dan e) mengancam muka, menyebabkan ancaman pada mitra tutur.

Peneliti berikutnya yang mengkaji tentang ketidaksantunan berbahasa adalah Olivia Melissa Puspitarini (2013) dengan judul Ketidaksantunan Linguistik


(35)

dan Pragmatik Berbahasa antara Dosen dan Mahasiswa Program Studi PBSID,

FKIP, USD, Angkatan 2009—2011. Penelitian ini membahas ketidaksantunan

linguistik dan pragmatik antara dosen dan mahasiswa Program Studi PBSID, USD, angkatan 2009—2011. Jenis penelitian yang dilakukan oleh Olivia Melissa Puspitarini (2013) ini serupa dengan penelitian sebelumnya, yaitu deskriptif kualitatif. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak dan metode cakap dengan instrumen berupa panduan wawancara, daftar pertanyaan pancingan, dan daftar kasus. Analisis data dilakukan dengan analisis kontekstual. Hasil dari penelitian ini juga serupa dengan penelitian sebelumnya, yakni pertama, wujud ketidaksantunan linguistik berdasarkan tuturan lisan dan wujud ketidaksantunan pragmatik berbahasa yaitu uraian konteks tuturan tersebut.

Kedua, penanda ketidaksantunan linguistik yaitu nada, intonasi, tekanan, dan

diksi, serta penanda pragmatik yaitu konteks yang menyertai tuturan yakni penutur, mitra tutur, situasi, dan suasana. Ketiga, makna ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa meliputi 1) melecehkan muka yakni penutur menyindir atau mengejek mitra tutur, 2) memainkan muka yakni penutur membuat jengkel dan bingung mitra tutur, 3) kesembronoan yang disengaja yakni penutur bercanda kepada mitra tutur dan mitra tutur terhibur namun candaan tersebut dapat menimbulkan konflik bila candaan tersebut ditanggapi secara berlebihan, 4) menghilangkan muka yakni penutur mempermalukan mitra tutur di depan banyak orang, dan 5) mengancam muka yakni penutur memberikan ancaman atau tekanan kepada mitra tutur yang menyebabkan mitra tutur terpojok.


(36)

Agustina Galuh Eka Noviyanti (2013) juga melakukan penelitian tentang ketidaksantunan berbahasa dengan judul Ketidaksantunan Linguistik dan

Pragmatik Berbahasa Antarsiswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun

Ajaran 2012/2013. Jenis penelitian yang dilakukan oleh Agustina Galuh Eka

Noviyanti (2013) ini serupa dengan ketiga penelitian sebelumnya, yaitu penelitian deskriptif kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak dan metode cakap dengan teknik sadap dan teknik pancing, dengan instrumen berupa pedoman atau panduan wawancara (daftar pertanyaan), pancingan, daftar kasus, dan peneliti sendiri. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode kontekstual. Penelitian ini menjawab tiga masalah tentang (a) wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa apa saja yang digunakan oleh antarsiswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta, (b) penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa apa saja yang digunakan antarsiswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta, dan (c) apakah makna penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa yang digunakan antarsiswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta.

Beberapa penelitian di atas merupakan penelitian yang mengkaji tentang ketidaksantunan berbahasa. Hasil dari penelitian tersebut mendeskripsikan wujud, penanda, dan makna ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa. Keempat penelitian di atas dapat dijadikan acuan dan pijakan dalam mengkaji fenomena pragmatik baru, yaitu ketidaksantunan berbahasa yang memang belum banyak dikaji oleh para peneliti bahasa.


(37)

2.2 Pragmatik

Pragmatik sebagai sebuah ilmu bahasa memiliki peranan yang besar dalam penggunaan bahasa pada masyarakat. Secara singkat telah dipaparkan pada bagian awal bahwa pragmatik merupakan ilmu yang mempelajari penggunaan bahasa sesuai konteks. Selain memahami maksud yang disampaikan oleh orang lain, seseorang juga harus melibatkan kepekaannya dalam memahami situasi dan kondisi lawan tutur. Hal tersebut perlu diperhatikan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam sebuah percakapan.

Yule (1996) dalam bukunya Pragmatics yang diterjemahkan oleh Wahyuni (2006:3-4) dengan judul Pragmatik memaparkan empat ruang lingkup pragmatik sebagai berikut. Pertama, pragmatik adalah studi tentang maksud penutur. Kedua, pragmatik adalah studi tentang makna kontekstual. Ketiga, pragmatik adalah studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan daripada yang dituturkan. Terakhir, pragmatik adalah studi tentang ungkapan dari jarak hubungan.

Definisi lain dipaparkan oleh Levinson (1983) via Nadar (2009:4) tentang pragmatik adalah kajian hubungan antara bahasa dan konteks yang tergramatikalisasi atau terkodifikasi dalam struktur bahasa. Jacob L. Mey (1983) via Rahardi (2003:15) juga mendefinisikan pragmatik sebagai berikut. ‘Pragmatics is the study of the conditions of human language uses as these are determined by the context of society’. Sesungguhnya, pragmatik adalah ilmu bahasa yang mempelajari pemakaian atau penggunaan bahasa yang pada dasarnya


(38)

selalu ditentukan oleh konteks situasi tutur di dalam masyarakat dan kebudayaan yang melatarbelakanginya.

Pemahaman tentang pragmatik lainnya juga dikemukakan oleh Huang (2007:2) sebagai berikut ‘Pragmatics is the systematic study of meaning by virtue

of, or dependent on, the use of language. The central topics of inquiry of

pragmatics include implicature, presupposition, speech acts, and deixis’. Jadi,

pragmatik adalah studi sistematis makna berdasarkan atau yang tergantung pada penggunaan bahasa. Topik utama penyelidikan pragmatik meliputi implikatur, presuposisi, tindak tutur, dan deiksis. Selain itu, dijelaskan pula ‘Pragmatics is the

study of linguistic acts and the contexts in which they are performed’ (Huang, 2007:2) yang dapat dipahami bahwa pragmatik adalah ilmu yang mempelajari tentang perilaku linguistik dan konteksnya ketika keduanya digunakan.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat dipahami bahwa pragmatik adalah ilmu yang mengkaji pengguaan bahasa sesuai dengan konteks situasi yang melatarbelakangi bahasa tersebut. Pragmatik adalah studi tentang maksud dan makna yang disampaikan oleh penutur dengan melihat situasi dan kondisi terjadinya tuturan. Hal tersebut perlu diperhatikan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam sebuah komunikasi. Dapat dikatakan pula bahwa pragmatik bersifat terikat konteks.

2.3 Fenomena Pragmatik

Pragmatik sebagai ilmu yang mempelajari penggunaan bahasa sesuai dengan konteks situasi, mengkaji enam fenomena pragmatik, yaitu praanggapan,


(39)

tindak tutur, implikatur, deiksis, kesantunan, dan ketidaksantunan. Fenomena-fenomena pragmatik tersebut akan dipaparkan sebagai berikut.

2.3.1 Praanggapan

Penyampaian pesan dari seseorang kepada orang yang lain tentu dilakukan melalui komunikasi. Ketika terjadi sebuah komunikasi, seringkali seorang penutur menganggap informasi tertentu sudah diketahui oleh mitra tuturnya. Oleh karena informasi tertentu itu dianggap sudah diketahui, informasi yang demikian biasanya tidak akan dinyatakan dan akibatnya akan menjadi bagian dari apa yang disampaikan tetapi tidak dikatakan.

Presupposisi adalah sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan (Yule, 2006:43-52). Yule membagi presupposisi menjadi 6 jenis yaitu, presupposisi eksistensial, presupposisi faktif, presupposisi non-faktif, presupposisi leksikal, presupposisi struktural, dan presupposisi konterfaktual.

2.3.2 Tindak Tutur

Melalui sebuah tuturan, seseorang tidak hanya menghasilkan tuturan yang mengandung kata-kata saja, tetapi juga dapat memperlihatkan tindakan-tindakan melalui tuturan tersebut. Tindakan-tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan disebut tindak tutur (Yule, 2006:82). Pada suatu saat, tindakan yang ditampilkan dengan menghasilkan suatu tuturan akan mengandung tiga tindak yang saling berhubungan. Pertama adalah tindak lokusi yang berupa rentetan atau deretan bunyi yang membentuk struktur tuturan/kalimat.


(40)

Tuturan-tuturan yang kita hasilkan tentu terbentuk untuk mencapai sebuah tujuan. Seseorang membentuk tuturan dengan beberapa fungsi di dalam pikiran. Inilah yang dimaksud dengan tindak ilokusi. Tindak ilokusi ditampilkan melalui penekanan komunikatif suatu tuturan. Tuturan-tuturan tersebut dapat berupa pernyataan, tawaran, penjelasan atau maksud-maksud komunikatif lainnya.

Seorang penutur tidak secara sederhana menciptakan tuturan yang memiliki fungsi tanpa memaksudkan tuturan itu memiliki sebuah akibat. Inilah yang dipahami dengan tindak perlokusi. Dengan bergantung pada keadaan, penutur akan mengujarkan dengan asumsi bahwa mitra tutur akan memahami akibat yang penutur timbulkan.

Yule (2006:92-94) mengklasifikasikan lima jenis fungsi umum yang ditunjukkan oleh tindak tutur dan akan dipaparkan sebagai berikut. Deklarasi merupakan jenis tindak tutur yang mengubah dunia melalui tuturan. Contoh: Saya

nyatakan terdakwa bersalah. Pada contoh tersebut, penutur harus memiliki peran

institusional khusus, dalam konteks khusus, untuk menampilkan suatu deklarasi secara tepat. Saat menggunakan deklarasi, penutur mengubah dunia dengan kata-kata.

Representatif ialah jenis tindak tutur yang menyatakan apa yang diyakini penutur kasus atau bukan. Contoh: Bumi itu bulat. Representatif memuat pernyataan suatu fakta, penegasan, kesimpulan, dan pendeskripsian. Saat menggunakan sebuah representatif, penutur mencocokan kata-kata dengan dunia (kepercayaannya).


(41)

Jenis tindak tutur selanjutnya yaitu ekspresif, berupa pernyataan yang dirasakan oleh penutur. Tindak tutur itu mencerminkan pernyataan-pernyataan psikologis dan dapat berupa pernyataan kegembiraan, kesulitan, kesukaan, kebencian, kesenangan, atau kesengsaraan. Contoh: Sungguh, saya tidak suka dia

datang. Penutur menyesuaikan kata-kata dengan dunia (perasaannya).

Direktif merupakan jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Jenis tindak tutur ini menyatakan apa yang menjadi keinginan penutur. Tindak tutur ini meliputi; perintah, pemesanan, permohonan, pemberian saran, dan bentuknya dapat berupa kalimat positif dan negatif. Contoh: Jangan memegang itu!

Jenis tindak tutur yang terakhir adalah komisif, yang dipahami oleh penutur untuk mengikatkan dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan datang. Tindak tutur ini menyatakan apa saja yang dimaksudkan oleh penutur. Tindak tutur ini dapat berupa; janji, ancaman, penolakan, ikrar, dan dapat ditampilkan sendiri oleh penutur atau penutur sebagai anggota kelompok. Contoh:

Saya tidak akan melakukan itu.

2.3.3 Implikatur

Yule (2006:61-62) memberikan penjelasan bahwa ketika seseorang mendengarkan sebuah ujaran, dia harus berasumsi bahwa penutur sedang melaksanakan kerja sama dan bermaksud menyampaikan informasi. Informasi tersebut tentunya memiliki makna lebih banyak dari kata-kata yang dituturkan. Makna ini merupakan makna tambahan yang dikenal dengan istilah implikatur. Implikatur adalah contoh utama dari banyaknya informasi yang disampaikan


(42)

daripada yang dikatakan. Supaya implikatur-implikatur tersebut dapat ditafsirkan, maka beberapa prinsip kerja sama dasar harus lebih dini diasumsikan dalam pelaksanaannya.

Konsep tentang adanya sejumlah informasi yang diharapkan terdapat dalam suatu percakapan hanya merupakan satu aspek gagasan yang lebih umum bahwa orang-orang yang terlibat dalam suatu percakapan akan bekerja sama satu sama lain. Asumsi kerja sama dapat dinyatakan sebagai suatu prinsip kerja sama percakapan dan dapat dirinci ke dalam empat sub-prinsip, yang disebut dengan maksim. Yule (2006:69-80) membedakan implikatur menjadi lima macam, yaitu implikatur percakapan, implikatur percakapan umum, implikatur berskala, implikatur percakapan khusus, dan implikatur konvensional.

2.3.4 Deiksis

Yule (1996) dalam bukunya Pragmatics yang diterjemahkan oleh Wahyuni (2006:13) dengan judul Pragmatik berusaha memberi gambaran, ketika seseorang menunjuk objek asing dan bertanya, “Apa itu?”, maka orang tersebut menggunakan ungkapan deiksis “itu” untuk menunjuk sesuatu dalam suatu konteks secara tiba-tiba. Deiksis dapat dipahami sebagai istilah teknis untuk salah satu hal mendasar yang dilakukan dengan tuturan. Deiksis berarti ‘penunjukan’ melalui bahasa. Bentuk linguistik yang dipakai untuk menyelesaikan ‘penunjukan’ disebut ungkapan deiksis.

Deiksis terbagi menjadi tiga jenis, yaitu deiksis persona, yang artinya ungkapan-ungkapan untuk menunjuk orang. Contoh: saya, kamu, dia. Deiksis spasial, yang artinya ungkapan-ungkapan untuk menunjuk tempat. Contoh: di sini,


(43)

di sana, di situ. Terakhir adalah deiksis temporal, yang artinya ungkapan-ungkapan untuk menunjuk waktu. Contoh: sekarang, kemudian, kemarin, besok, nanti malam. Keberhasilan sebuah interaksi antara penutur dan lawan tutur sedikit banyak tergantung pada pemahaman deiksis yang digunakan oleh penutur, karena ketika berkomunikasi seringkali lawan tutur menggunakan kata-kata yang menunjuk baik pada orang, waktu, maupun tempat.

Berdasarkan paparan di atas, dapat dipahami bahwa penafsiran deiksis tergantung pada konteks, maksud penutur, dan ungkapan-ungkapan itu mengungkapkan jarak hubungan. Diberikannya ukuran kecil dan rentangan yang sangat luas dari kemungkinan pemakainya, ungkapan-ungkapan deiksis selalu menyampaikan lebih banyak hal daripada yang diucapkan (Yule, 2006:26).

2.3.5 Kesantunan Berbahasa

Bahasa merupakan alat untuk menyampaikan maksud dari seseorang kepada orang yang lain. Penggunaan bahasa yang santun sudah sepantasnya diterapkan ketika seseorang melakukan komunikasi. Bahasa juga merupakan cermin kepribadian seseorang. Melalui bahasa yang diungkapkan, baik verbal maupun nonverbal akan terlihat bagaimana kepribadian seseorang yang sesungguhnya.

Pranowo (2009:3) menjelaskan bahasa verbal adalah bahasa yang diungkapkan dengan kata-kata dalam bentuk ujaran atau tulisan, sedangkan bahasa nonverbal adalah bahasa yang diungkapkan dalam bentuk mimik, gerak gerik tubuh, sikap atau perilaku. Selain penggunaan bahasa yang berupa kata-kata


(44)

atau ujaran, terdapat pula bahasa nonverbal berupa mimik, gerak gerik tubuh, sikap atau perilaku yang mendukung pengungkapan kepribadian seseorang.

Ketika berkomunikasi, selain menggunakan bahasa yang baik dan benar, perlu diterapkan juga kesantunan dalam setiap tindak bahasa. Struktur bahasa yang santun adalah struktur bahasa yang disusun oleh penutur/penulis agar tidak menyinggung perasaan pendengar atau pembaca (Pranowo, 2009:4).

Pada kenyataannya, penggunaan bahasa santun belum banyak diterapkan dalam komunikasi sehari-hari. Ada beberapa alasan yang mendasari hal tersebut, antara lain (a) tidak semua orang memahami kaidah kesantunan, (b) ada yang memahami kaidah tetapi tidak mahir menggunakan kaidah kesantunan, (c) ada yang mahir menggunakan kaidah kesantunan dalam berbahasa, tetapi tidak mengetahui bahwa yang digunakan adalah kaidah kesantunan, dan (d) tidak memahami kaidah kesantunan dan tidak mahir berbahasa secara santun (Pranowo, 2009:51).

Pranowo (2009:76-79) juga menjelaskan adanya dua aspek penentu kesantunan, yaitu aspek kebahasaan dan aspek nonkebahasaan. Aspek kebahasaan meliputi aspek intonasi (keras lembutnya intonasi ketika seseorang berbicara), aspek nada bicara (berkaitan dengan suasana emosi penutur: nada resmi, nada bercanda atau bergurau, nada mengejek, nada menyindir), faktor pilihan kata, dan faktor struktur kalimat, sedangkan aspek nonkebahasaan berupa pranata sosial budaya masyarakat (misalnya aturan anak kecil yang harus selalu hormat kepada orang yang lebih tua), pranata adat (seperti jarak bicara antara penutur dengan mitra tutur).


(45)

2.3.6 Ketidaksantunan Berbahasa

Permasalahan kebahasaan yang terjadi dalam perkembangan kehidupan sosial masyarakat turut memunculkan fenomena baru dalam ilmu pragmatik. Fenomena baru tersebut adalah ketidaksantunan berbahasa. Ketidaksantunan berbahasa muncul melihat realita yang terjadi dalam masyarakat bahwa penggunaan bahasa santun belum banyak diterapkan dalam komunikasi sehari-hari. Fenomena ketidaksantunan ini merupakan fenomena baru yang belum banyak dikaji oleh para peneliti. Kesantunan berbahasa berkaitan dengan penggunaan bahasa yang baik agar tidak menyinggung perasaan orang lain, sedangkan ketidaksantunan berbahasa dipahami sebagai penggunaan bahasa yang tidak baik, melanggar tatakrama, dan seringkali menyinggung perasaan orang lain. Pranowo (2009:68-73) juga memaparkan fakta pemakaian bahasa yang tidak santun sebagai berikut. Pertama, penutur menyampaikan kritik secara langsung (menohok mitra tutur) dengan kata atau frasa kasar. Penggunaan kata atau frasa yang kasar dinilai tidak santun karena dapat menyinggung perasaan mitra tutur. Kedua, penutur didorong rasa emosi ketika bertutur. Penutur yang didorong rasa emosi berlebihan ketika bertutur akan mengakibatkan timbulnya kesan marah terhadap mitra tutur. Ketiga, penutur protektif terhadap pendapatnya. Kadang kala seorang penutur protektif terhadap pendapatnya dengan maksud agar tuturan mitra tutur tidak dipercaya oleh pihak lain. Cara yang demikian mengakibatkan tuturan menjadi tidak santun. Keempat, penutur sengaja ingin memojokkan mitra tutur dalam bertutur. Terakhir, penutur menyampaikan tuduhan atas dasar kecurigaan terhadap mitra tutur.


(46)

2.4 Teori-teori Ketidaksantunan

Dalam buku Impoliteness in Language: Studies on its Interplay with

Power in Teory and Practice yang disusun oleh Bousfield dan Locher (2008)

seperti yang telah dibahasakan oleh Rahardi (2012) dalam presentasinya “Penelitian Kompetensi: Ketidaksantunan Pragmatik dan Linguistik Berbahasa dalam Ranah Keluarga (Family Domain)”, nampak bahwa beberapa ahli telah menelaah fenomena baru ini. Berikut pemaparan beberapa ahli mengenai ketidaksantunan berbahasa.

2.4.1 Teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher and Watts Locher dan Watts berpandangan bahwa perilaku tidak santun adalah perilaku yang secara normatif dianggap negatif (negative marked behavior), karena melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Locher dan Watts juga menjelaskan bahwa ketidaksantunan merupakan alat untuk menegosiasikan hubungan antarsesama (a means to negotiate meaning). Lebih lanjut lagi pandangan Locher dan Watts tentang ketidaksantunan tampak berikut ini, ‘...impolite behaviour and face-aggravating behaviour more generally is as

much as this negation as polite versions of behavior.’ (cf. Locher and Watts, 2008:5). Pengertian teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher dan Watts dapat diilustrasikan dengan situasi berikut.

Situasi:

Petang hari di serambi rumah, ayah, ibu, dan kakak sedang menunggu adik pulang. Tidak lama kemudian, adik memasuki halaman rumah dan langsung bertemu dengan ayah, ibu, dan kedua kakaknya. Dalam keluarga tersebut sudah


(47)

disepakati bahwa tidak boleh terlambat saat kembali ke rumah. Jikalau terlambat, harus dengan alasan yang jelas. Kemudian terjadilah percakapan di dalam keluarga tersebut.

Wujud tuturan:

Adik : “Mas, bapak sama ibu nunggu aku pulang udah dari tadi to?”

Kakak 1 : “Udah hampir satu jam. Coba kamu jelasin sana kenapa bisa pulang terlambat!”

Adik : “Oooohh..”

Kakak 2 : “Kamu nggak inget kesepakatan awal gimana? Kita harus pulang ke rumah tepat waktu. Jangan sampe deh bapak sama ibu

marah-marah.”

Adik : “Haduhh, lupa Mas. Emangnya, Mas juga patuh sama peraturan itu?”

Kakak 1 : “Iya dong, itu kan udah jadi kesepakatan bersama.”

Dari percakapan tersebut dapat dilihat bahwa tuturan yang disampaikan oleh penutur (adik) saat terlambat pulang ke rumah terdengar datar tanpa rasa bersalah. Tuturan itu mengakibatkan mitra tutur 1 (kakak 1) dan mitra tutur 2 (kakak 2) meresponnya dengan sinis dan kesal. Percakapan di atas menunjukkan bahwa adik menghiraukan komitmen keluarga yang sudah disepakati bersama yaitu tidak boleh terlambat pulang ke rumah. Sebaliknya, penutur (adik) tanpa merasa bersalah menanggapi teguran mitra tutur dengan berkata Haduhh, lupa

mas. Emangnya mas juga patuh sama peraturan itu? Tuturan tersebut merupakan

tuturan yang tidak santun karena telah mengacuhkan dan melanggar kesepakatan keluarga yang sudah menjadi peraturan dalam keluarga tersebut.

Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat dipahami bahwa teori ketidaksantunan berbahasa menurut pandangan Locher dan Watts (2008) menitikberatkan bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang


(48)

secara normatif dianggap menyimpang, karena dianggap melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat (tertentu).

2.4.2 Teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Terkourafi

Terkourafi (2008:3-4) memandang ketidaksantunan sebagai, ‘impoliteness occurs when the expression used is not conventionalized relative to

the context of occurrence; it threatens the addressee’s face but no face

-threatening intention is attributed to the speaker by the hearer.’ Jadi, perilaku berbahasa dalam pandangan Terkourafi akan dikatakan tidak santun bilamana mitra tutur (addressee) merasakan ancaman terhadap kehilangan muka (face

threaten), dan penutur (speaker) tidak mendapatkan maksud ancaman muka itu

dari mitra tuturnya. Konsep tentang ketidaksantunan berbahasa ini dapat dipahami dengan ilustrasi sebagai berikut.

Situasi:

Ibu sedang menyiapkan makan malam di dapur ketika hari mulai petang. Pada saat yang bersamaan, ayah datang menghampiri ibu dengan tergesa-gesa. Kemudian terjadi percakapan di antara ayah dan ibu.

Wujud tuturan:

Ayah : “Bu, baju yang kemarin ibu setrika di mana? Bapak mau arisan, sudah

ditunggu itu.” (sambil menyentuh badan ibu yang sedang sibuk

memasak)

Ibu : “Bapak ni apa to nggak usah senggal senggol, kurang kerjaan aja.

Percakapan tersebut menunjukkan bahwa penutur (ayah) berusaha meminta respon dari mitra tutur (ibu), akan tetapi penutur meminta respon dengan cara yang mengakibatkan mitra tutur tidak nyaman dan merasa aktivitasnya


(49)

terganggu. Penutur sendiri tidak menyadari bahwa tuturannya mengancam mitra tutur. Akibatnya, mitra tutur (ibu) menjawab dengan nada sinis dan kurang bersahabat. Dari percakapan di atas dapat diketahui bahwa mitra tutur menanggapi perkataan penutur dengan rasa kesal. Hal tersebut dapat dilihat dari tuturan mitra tutur sebagai berikut. Bapak ni apa to nggak usah senggal senggol, kurang

kerjaan aja.

Berdasarkan ilustrasi yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Terkourafi (2008) menitikberatkan pada bentuk penggunaan tuturan yang tidak santun oleh penutur yang memiliki maksud untuk mengancam muka sepihak mitra tuturnya tetapi di sisi lain penutur tidak menyadari bahwa perkataannya menyinggung mitra tutur.

2.4.3 Teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher

Menurut pandangan Miriam A Locher (2008:3), ketidaksantunan dalam berbahasa dapat dipahami sebagai berikut ‘impoliteness behaviour that is

face-aggravating in a particular context.’ Pandangan Locher dapat diartikan bahwa ketidaksantunan berbahasa adalah perilaku yang memperburuk ‘muka’ pada konteks tertentu. Ketidaksantunan itu menunjuk pada perilaku ‘melecehkan’ muka

(face-aggravate).

Pemahaman lain yang berkaitan dengan definisi Locher terhadap ketidaksantunan berbahasa ini adalah bahwa tindakan tersebut sesungguhnya bukanlah sekadar perilaku ‘melecehkan muka’, melainkan perilaku yang ‘memain


(50)

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Miriam A. Locher adalah sebagai tindak berbahasa yang melecehkan dan memain-mainkan muka pada konteks

tertentu sebagaimana yang dilambangkan dengan kata ‘aggravate’ itu. Konsep

tentang ketidaksantunan berbahasa tersebut dapat diilustrasikan dengan situasi seperti berikut.

Situasi:

Pada sore hari di sebuah keluarga terjadi percakapan antara adik dengan kakak. Adik mengomentari baju kakak sembari berkata demikian:

Wujud tuturan:

Adik : “Mbak, itu baju apa saringan tahu?” Kakak : “Pancen modele kayak gini.”

Adik : “Model sih boleh ya, tapi nggak setipis saringan tahu juga kalik Mbak”. Berdasarkan percakapan tersebut dapat dilihat bahwa penutur (adik) bermaksud mengejek mitra tutur (kakak) dengan berkata bahwa baju yang dikenakan kakak terlalu tipis seperti saringan tahu. Tuturan adik menandakan bahwa terdapat tuturan tidak santun yang terjadi dalam komunikasi kebahasaan tersebut. Meskipun maksud penutur hanya mengajak mitra tutur bergurau, seharusnya tuturan tersebut tidak diucapkan karena dapat menyinggung perasaan mitra tutur.

Ilustrasi di atas semakin menjelaskan teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher (2008) yang menitikberatkan pada bentuk-bentuk penggunaan tuturan tidak santun dengan maksud untuk melecehkan muka atau menghina mitra tutur.


(51)

2.4.4 Teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Culpeper

Pemahaman Culpeper (2008:3) tentang ketidaksantunan berbahasa adalah, ‘Impoliteness, as I would define it, involves communicate behavior

intending to cause the “face loss” of a target or perceived by the target to be so.’ Culpeper memberikan penekanan pada fakta ‘face loss’ atau ‘kehilangan muka’, jika dalam bahasa Jawa mungkin konsep itu sejalan dengan konsep ‘kelangan rai’ (kehilangan muka). Sebuah tuturan akan dianggap sebagai tuturan yang tidak santun jika tuturan itu menjadikan muka seseorang hilang. Jadi, ketidaksantunan

(impoliteness) dalam berbahasa merupakan perilaku komunikatif yang

diperantikan secara intensional untuk membuat orang benar-benar kehilangan muka (face loss), atau setidaknya orang tersebut ‘merasa’ kehilangan muka. Konsep tentang teori ketidaksantunan berbahasa menurut pandangan Culpeper dapat diilustrasikan dengan situasi berikut.

Situasi:

Siang ini dilaksanakan pembagian rapor di sekolah adik. Usai mengambil rapor, adik dan ibu kembali ke rumah. Sesampainya di rumah, seluruh anggota keluarga berkumpul dan berbincang-bincang di serambi depan. Terjadi percakapan di antara mereka.

Wujud tuturan:

Ayah : “Waahh, kamu hebat dik” (sambil membuka rapor)

Renno : “Kenapa Yah?”

Ayah : “Lihat nih, dari dulu selalu dapat nilai kurang dari 7.”(dengan nada mengejek)

Renno : “Ahh, ayah tu mujinya kelewatan.” (tersenyum kesal)

Raffa : “Makanya kalo sekolah tu belajar yang bener. Jangan cuma tidur di

kelas doang dibanggain.”


(52)

Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat dipahami bahwa Renno merasa kehilangan muka akibat tuturan yang diucapkan oleh ayah dan kakaknya, yaitu Raffa. Tuturan yang disampaikan ayah adalah lihat nih, dari dulu selalu dapet

nilai kurang dari 7. Renno merasa semakin kehilangan muka ketika kakaknya,

Raffa menyampaikan tuturan seperti berikut makanya kalo sekolah tu belajar

yang bener. Jangan cuma tidur di kelas doang dibanggain. Ayah dan Raffa

menyampaikan tuturan tersebut dengan maksud mempermalukan Renno di depan anggota keluarga yang lain. Meskipun disampaikan dengan maksud mengajak bercanda, akan menjadi sangat fatal ketika tuturan tersebut disampaikan tidak pada konteks situasi yang tepat.

Dari pengertian dan ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa menurut pandangan Culpeper ini menekankan bentuk penggunaan tuturan yang disampaikan oleh penutur dengan maksud untuk mempermalukan mitra tutur.

2.4.5 Teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Bousfield

Bousfield (2008:3) mengemukakan bahwa ketidaksantunan berbahasa dipahami sebagai, ‘...the issuing of intentionally gratuitous and conflictive

face-threatening acts (FTAs) that are purposefully perfomed.’ Bousfield memberikan penekanan pada dimensi ‘kesembronoan’ dan konfliktif (conflictive) dalam praktik berbahasa yang tidak santun. Jadi, apabila perilaku berbahasa seseorang itu mengancam muka, dan ancaman terhadap muka itu dilakukan secara sembrono (gratuitous), hingga akhirnya tindakan berkategori sembrono demikian itu mendatangkan konflik, atau bahkan pertengkaran, dan tindakan tersebut dilakukan


(53)

dengan kesengajaan (purposeful), maka tindakan berbahasa itu merupakan realitas ketidaksantunan. Pengertian tentang teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Bousfield dapat diilustrasikan dengan situasi berikut.

Situasi:

Ruang tamu adalah bagian dari rumah yang biasanya dipakai sebagai tempat untuk menerima tamu. Pada suatu hari, ayah dan ibu sedang menerima tamu dan melakukan percakapan di ruang tamu, sedangkan adik terdengar gaduh ketika bermain play station di ruang keluarga. Ayah menghampiri adik dan bermaksud menegurnya.

Wujud tuturan:

Ayah : “Dik, main game-nya nggak usah teriak-teriak kayak gitu,

berisik. Ayah nggak enak, lagi ada tamu.”

Adik : “Ah, biarin aja yah. Aku kan nggak kenal sama mereka. Terserah aku dong mau berisik apa enggak.”

Percakapan antara ayah dengan adik di atas menandakan adanya bentuk ketidaksantunan dalam berbahasa. Mitra tutur (ayah) bermaksud memperingatkan penutur (adik) agar tidak berisik dan tidak gaduh karena mitra tutur sedang menerima tamu. Akan tetapi, penutur justru menjawab teguran mitra tutur sekenanya bahkan terkesan sembrono dan tidak serius dalam menanggapi mitra tutur. Keadaan demikian akan menimbulkan konflik di antara keduanya apabila mitra tutur menanggapi tuturan penutur dengan serius.

Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa menurut Bousfield (2008) menekankan bentuk penggunaan tuturan yang tidak santun dengan maksud selain melecehkan dan


(54)

menghina mitra tutur dengan tanggapan sekenanya secara sengaja dapat menimbulkan konflik di antara penutur dan mitra tutur.

2.5 Konteks

Ilmu pragmatik adalah ilmu yang mempelajari penggunaan bahasa sesuai konteks situasi tuturan. Rahardi (2003:20) mengatakan bahwa konteks tuturan dapat diartikan sebagai semua latar belakang pengetahuan (background

knowledge) yang diasumsikan sama-sama dimiliki dan dipahami bersama oleh

penutur dan mitra tutur, serta yang mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang dimaksudkan oleh si penutur itu di dalam keseluruhan proses bertutur. Kemudian, Levinson (1983:22−23) via Nugroho (2009:119) memaparkan bahwa untuk mengetahui konteks, seseorang harus membedakan antara situasi aktual sebuah tuturan dalam semua keserberagaman ciri-ciri tuturan mereka, dan pemilihan ciri-ciri tuturan tersebut secara budaya dan linguistis yang berhubungan dengan produksi dan penafsiran tuturan.

Malinowsky juga berbicara tentang konteks, khususnya konteks yang

berdimensi situasi atau ‘context of situation’. Secara khusus Malinowsky

mengatakan, seperti yang dikutip di dalam Vershueren (1998:75), ‘Exactly as in the reality of spoken or written languages, a word without linguistics context is a

mere figment and stands for nothing by itself, so in the reality of a spoken living

tongue, the utterance has no meaning except in the context of situation.’ bahwa kehadiran konteks situasi menjadi mutlak untuk menjadikan sebuah tuturan benar-benar bermakna. (Rahardi, 2012).


(55)

Berbeda dengan Malinowsky yang menyebut ‘context of situation’, Leech (1983) via Rahardi (2012) memahami konteks dengan istilah ‘speech

situation’. Sehubungan dengan bermacam-macamnya maksud yang mungkin

dikomunikasikan oleh penuturan sebuah tuturan, Leech (1983) dalam Wijana (1996:10-13) mengemukakan sejumlah aspek yang senantiasa harus dipertimbangkan dalam rangka studi pragmatik. Berikut pemaparan aspek-aspek tersebut.

1) Penutur dan lawan tutur

Konsep penutur dan lawan tutur ini mencakup penulis dan pembaca bila tuturan bersangkutan dikomunikasikan dengan media tulisan. Aspek-aspek yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur ini adalah usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan sebagainya.

2) Konteks tuturan

Konteks tuturan penelitian linguistik adalah konteks dalam semua aspek fisik atau setting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan. Konteks yang bersifat fisik lazim disebut koteks (cotext), sedangkan konteks setting sosial disebut konteks. Di dalam pragmatik, konteks itu pada hakikatnya adalah semua latar belakang pengetahuan (back ground knowledge) yang dipahami bersama oleh penutur dan lawan tutur.

3) Tujuan tuturan

Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu. Dalam hubungan ini bentuk-bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama


(56)

atau sebaliknya, berbagai macam maksud dapat diutarakan dengan tuturan yang sama. Di dalam pragmatik, berbicara merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan (goal oriented activities). Ada perbedaan yang mendasar antara pandangan pragmatik yang bersifat fungsional dengan pandangan gramatika yang bersifat formal. Dalam pandangan yang bersifat formal, setiap bentuk lingual yang berbeda tentu memiliki makna yang berbeda.

4) Tujuan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas

Gramatika menangani unsur-unsur kebahasaan sebagai entitas yang abstrak, seperti kalimat dalam studi sintaksis, proposisi dalam studi semantik, dan sebagainya, sedangkan pragmatik berhubungan dengan tindak verbal

(verbal act) yang terjadi dalam situasi tertentu. Dalam hal ini, pragmatik

menangani bahasa dalam tingkatannya yang lebih konkret dibanding dengan tata bahasa. Tuturan sebagai entitas yang konkret jelas penutur dan lawan tuturnya, serta waktu dan tempat pengutaraannya.

5) Tuturan sebagai produk tindak verbal

Tuturan yang digunakan di dalam rangka pragmatik, seperti yang dikemukakan dalam kriteria keempat merupakan bentuk dari tindak tutur. Oleh karenanya, tuturan yang dihasilkan merupakan bentuk dari tindak verbal. Sebagai contoh, kalimat Apakah rambutmu tidak terlalu panjang? dapat ditafsirkan sebagai pertanyaan atau perintah. Dalam hubungan ini dapat ditegaskan ada perbedaan mendasar antara kalimat (sentence) dengan tuturan


(1)

B. Daftar Pertanyaan untuk Anggota Keluarga dalam Relasi dengan Orang Tua

PETUNJUK:

Gunakan daftar pertanyaan berikut untuk mewawancarai informan, kemudian tulislah atau rekamlah bentuk kebahasaan yang disampaikan oleh informan (pertanyaan disesuaikan dengan situasi dalam keluarga)!

1. Bagaimana respon Anda ketika mengetahui bahwa orang tua Anda tidak dapat mengoperasikan komputer? (melecehkan muka)

Penjelasan Informan:

--- --- 2. Bagaimana respon Anda ketika orang tua Anda menegur Anda karena

mendengarkan musik dengan volume yang keras? (menimbulkan konflik) Penjelasan Informan:

--- --- 3. Bagaimana respon Anda ketika orang tua Anda berusaha membanding-bandingkan nilai Anda dengan kakak/adik yang memiliki nilai lebih baik dari Anda? (menghilangkan muka)

Penjelasan Informan:

--- --- 4. Bagimana respon Anda bila saat Anda belajar, orang tua Anda meminta

bantuan Anda, tetapi hanya dengan meneriakkan nama Anda tanpa memberikan penjelasan mengenai bantuan apa yang diperlukan? (mengancam muka sepihak)

Penjelasan Informan:

--- --- 5. Bagaimana respon Anda ketika orang tua Anda mengotak-atik handphone

Anda dan membaca pesan singkat antara Anda dengan teman dekat Anda? (melanggar aturan)

Penjelasan Informan:


(2)

Instrumen Penelitian Maksud Penutur

Kode Tuturan :

1. Lokasi :

2. Suasana :

3. Keadaan emosi :

4. Identitas penutur :

a. Gender :

b. Umur :

c. Pekerjaan :

d. Domisili :

e. Daerah Asal :

f. Bahasa yang dipakai sehari-hari : 5. Identitas lawan tutur :

a. Gender :

b. Umur :

c. Pekerjaan :

d. Domisili :

e. Daerah Asal :

f. Bahasa yang dipakai sehari-hari :

6. Tanggal percakapan :

7. Waktu percakapan :

--- --- Maksud: --- --- ---

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(3)

(4)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(5)

(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Clara Dhika Ninda Natalia lahir di Gunungkidul tanggal 18 Desember 1990. Pendidikan dasar ditempuh di SD Negeri 02 Pagi Susukan, Ciracas, Jakarta Timur tahun 1997 – 2002. Ia menamatkan pendidikan tingkat sekolah dasar di SD Negeri Tepus IV, Wonosari, Gunungkidul tahun 2002 – 2003. Pada tahun 2003 – 2006 melanjutkan sekolah di SMP Negeri 1 Wonosari, Gunungkidul. Sekolah menengah atas ditempuh di SMA Negeri 2 Wonosari, Gunungkidul tahun 2006 – 2009. Setelah menamatkan pendidikan di sekolah menengah atas, ia menempuh studi S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Masa berakhirnya studi adalah tahun 2013.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI