ISLAM RADIKAL DALAM KONTEKS SEJARAH

ISLAM RADIKAL DALAM KONTEKS SEJARAH
Oleh: Zainal, M.Ag1
Abstrak
Penekanan tulisan ini akan menelusuri kemunculannya
radikalisme dalam Islam. Pemikiran yang berkembang tentang
kemunculan radikalisme Islam banyak terkait dengan persoalan sosial,
ekonomi, politik, dan ideologi. Pada pembahasan ini juga akan
mengungkap genealogi radikalisme dalam Islam. Pada dasarnya
radikalisme yang terjadi di dunia Muslim memiliki keterkaitan dengan
radikalisme tempo dulu, seperti dengan khawarij, dan sebagainya.
Tulisan ini akan membuktikan bahwa radikalisme yang melanda dunia
Muslim, seperti di Indonesia ada keterkaitan dengan radikalisme
sebelumnya, dan ia tidak berdiri sendiri, paling tidak dari segi ideologi
ada kesinambungan dengan radikalisme sebelumnya, meskipun
dilakukan orang yang berbeda dan tempat yang berlainan. Dalam
mencermati radikalisme Islam pada konteks sejarah digunakan dua
paradigma, yaitu: radikalisme dalam Islam dipengaruhi oleh ideologi
agama melalui pemahaman keagamaan yang sempit, dan memiliki
ketersinambungan dengan sejarah. Berdasarkan dua paradigma ini
akan mempertegas bahwa faktor ideologi dan kesinambungan
radikalisme Islam dengan peristiwa sebelumnya, menjadi pokok

permasalahan dalam menelusuri radikalisme di beberapa kawasan
dunia Muslim.
A. Beberapa Istilah tentang Islam Radikal
Sampai sekarang, penyematan kata radikal terhadap Islam
masih dalam wilayah perdebatan, karena dengan kata radikal terkesan
mengaburkan makna dasar Islam. Secara generik “Islam” berarti
“tunduk”, “damai”, “keselamatan” dan seterusnya. 2 Sedangkan radikal
dikonotasikan kebalikan dari kata Islam, seperti yang diungkap oleh M.
Rais radikal adalah suatu sikap atau posisi dengan menggunakan
ideologi atas nama agama untuk melakukan sebuah perubahan kepada
sesuatu yang baru dengan cara kekerasan (violence) dan aksi-aksi
yang ekstrem tanpa mempertimbangkan nilai-nilai yang telah ada. 3
1Dosen Sejarah Peradaban Islam di Fak. Dakwah IAIN Imam Bonjol Padang
2Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia Pengalaman Islam (Jakarta:
Paramadina, 1999), 89.
3Lihat Amien Rais, Cakrawala Islam (Bandung: Mizan, 1995), 132.

Sehingga pada kontek ini makna normatif Islam seakan terkikis oleh
prilaku menyimpang penganutnya.
Pelabelan Islam dengan kata radikal mendatangkan pro dan

kontra,4 baik dari kalangan Islam maupun dari luar kalangan Islam,
sehingga terdapat banyak istilah dalam penyebutan Islam pada
konteks radikal ini. Istilah yang dimunculkan para ahli dalam menyorot
ekspresi Islam berhaluan radikal, paling tidak terdapat empat nama,
tetapi beberapa istilah itu masih memiliki kemiripan makna dengan
radikalisme dan terorisme.
Pertama, fundamentalisme, Martin Riesebrodt dalam bukunya
“Fundamentalism and the Resurgence of Religion” menggunakan kata
fundamentalisme

dalam

menyorot

sikap

dan

prilaku


kelompok

masyarakat yang menggunakan tindak kekerasan dalam menyalurkan
pemikiran dan aspirasinya, tanpa mempertimbangkan aspek realitas
yang mengitarinya. Artinya kelompok masyarakat seperti ini, hanya
menggunakan teks agama apa adanya tanpa dibarengi dengan
penafsiran yang logis dalam menjawab permasalahan yang terjadi.
Demikian juga halnya Oliver Roy dalam karyanya “The Failure of
Political Islam” juga menggunakan kata fundamentalisme untuk
mencermati

Islam

berhaluan

keras.

Pendapat

yang


sama

juga

dikemukakan oleh Ernest Gellner,5 dan Samuel Huntington6 yang juga
menggunakan istilah fundamentalisme dalam melabeli kelompok yang
bergaris keras. Sementara itu, Bassam Tibi yang juga menggunakan
istilah

fundamentalisme,

menyebutkan

istilah

tersebut

dengan


fundamentalisme Islam (Ushuliyyah al-Islamiyyah). Di dunia Arab
istilah fundamentalisme lebih dikenal dengan nama “al-Islam al4Karena umumnya kata yang senada dengan radikal ini seperti “terorisme”,
“fundamentalisme”, “militanisme” dan “ektremisme” pada umumnya dipopulerkan
oleh para pakar sosial-politik Barat, sehingga pengaruh subjekivitasnya sulit terlepas.
Lihat makalah Riza Sihbudi, “Dimensi Internasional Terorisme” (Pamulang 6
Desember 2005), 1-2.
5Ernest Gellner, Muslim Society (Cambridge: Cambridge University, 1984)
6Samuel P. Huntington, “The Clash of Civilization?”, Affair, Vol. 72, No. 3,
Summer 1993, 1996)

Siyasi”, karena kelompok Muslim di sana memahami Islam bukan
sebagai keimanan atau sistem etika, tetapi lebih sebagai ideologi
politik.7 Dalam tradisi pemikiran teologi keagamaan, fundamentalisme
merupakan gerakan untuk mengembalikan seluruh prilaku dalam
tatanan kehidupan umat Islam kepada Al-Qur’an dan Al-Hadis.8
Pemakaian kata fundamentalisme dalam Islam adalah tidak
lazim, karena terkesan menyamakan permasalahan yang di alami
Islam dengan Kristen. Pemakaian kata fundamentalisme ini lebih
melekat pada kalangan Kristen dibandingkan dengan Islam, sebab
pertama kali kata ini dipakai untuk melabalei kelompok Kristen yang

ortodoks atau menolak segala bentuk aktivitas rasionalitas. Kemudian
istilah itu dipasangkan kepada Islam oleh para pengamat dalam
menganalisis dinamika Islam kontemporer. Pada umumnya mereka
yang memberikan istilah demikian kepada Islam banyak berasal dari
kalangan Kristen. Di samping itu, istilah fundamentalisme sangat akrab
dalam lingkungan mereka untuk menyorot kelompok garis keras yang
melakukan gerakan perlawanan terhadap sistem sosial, budaya, dan
politik mereka yang telah ada. Kondisi ini berlangsung di Amerika
Serikat pada akhir abad 20, sebagai bentuk perlawanan mereka atas
penafsiran agama yang terlalu longgar oleh kalangan rasionalitas
(Protestan), maka muncul gerakan pembatasan interpretasi terhadap
Bible.
Dalam pandangan Karen Armstrong, gerakan fundamentalisme
tidak hanya terdapat pada agama munities saja, tetapi ada juga
fundamentalisme Budha, Hindu dan bahkan Kong Hu Cu. Pada intinya
7 Bassam Tibi, “Islamism, Demokrasi, and the Clash of Civilization”, dalam
Chaider S. Bamualim (ed), Islam & The West, (Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN,
2003), 17
8William Montgmery Watt, Islamic Fundamentalism and Modernity (London:
T.J. Press (Padstow) Ltd, 1998), 2. Fundamentalisme juga berarti anti-pembaratan

(westernisme). Lihat Fazlur Rahman, Islam and Modernity, (Chicago: The University of
Chicago Press, 1982), 136. Terkadang fundamentalisme diartikan sebagai radikalisme
dan terorisme disebabkan gerakan fundamentalisme memiliki implikasi politik yang
membahayakan negara-negara industri di Barat. Lihat Kuntowijoyo, Identitas Politik
Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997), 49.

sama-sama menolak butir-butir nilai budaya liberal, saling berperang
atas nama agama (Tuhan) dan berusaha membawa hal-hal yang sakral
ke dalam urusan politik dan Negara.9
John Obert Voll sependapat dengan Muhammad Said al-Asmawi,
dalam hal pengelompokan

fundamentalisme, hanya saja redaksinya

yang berbeda, al-Asmawi menyebutnya dengan
fundamentalisme

dan

rational


spritualis

aktivis

political

fundamentalisme.10

Sedangkan John Obert Voll menamakannya dengan fundamentalisme
tradisional

dan

fundamentalisme

radikal.

Sesungguhnya


kedua

pendapat ini sama menyatakan, pertama: bahwa fundamentalisme ada
yang terinfiltrasi kepada kelompok yang memperjuangkan Islam
sebagai kekuatan politik, contohnya adalah kelompok Islam yang
merujuk pada khawarij yang pada saat itu menghendaki hukum
sebagai landasan politik. Kedua: fundamentalisme yang terinfiltrasi
oleh keinginan kembali kepada al-Qur’an dan tradisi sebagaimana
yang dipraktekkan oleh generasi Muslim pertama.
John Obert Voll mencontoh negara yang menganut paham
fundamentalis tradisional adalah Arab Saudi, karena di sana tercermin
dalam monarkinya. Paham seperti ini selalu dipertahankan serta terus
dikembangkan

sebagai

pandangan-pandangan

ideologi,


sehingga

menjadi sebuah kekuatan sosial-politik. Sementara Negara yang
mempraktekkan fundamentalisme radikal adalah Libya, karena paham
kelompok ini terikat pada dalam suatu oreantasi tentang tradisi Islam,
artinya radikalisme ini merupakan sintesis dari radikalisme yang telah
ditransformasikan

pada

tahun

1960-an

dengan

semangat

fundamentalisme Islam.


9Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan, terj. Sutrisno Wahono dkk, (Jakarta
Bandung: Kerjasama Serambi dengan Mizan, 2001), x.
10Muhammad Said al-Asmawi, Islam and the Political orderi (……………………),
78.

Kedua, radikalisme, Horace M Kallen11 dan Ira M. Lapidus12
memilih

istilah

radikalisme ketimbang

fundamentalisme, mereka

berpendapat bahwa radikal adalah suatu gerakan yang dilakukan oleh
kelompok tertentu untuk mengganti tatanan yang sudah ada dengan
keyakinan yang mereka anggap benar (menarik-narik ajaran agama)
dengan sikap emosional yang menjurus keras dan anarkis. Lebih tegas
lagi diungkapkan bahwa radikalisme ini dapat dilihat pada dua lapis;
pertama, kekerasan dan manipulasi untuk membenarkan radikalisme
dengan mengutip

doktrin-doktrin Islam tertentu,

sehingga

logis

kekerasan dapat muncul karena interpretasi secara literal terhadap
Islam. Kedua, penggunaan kekerasan sudah dapat dipastikan bertolak
belakang dengan nilai-nilai Islam.13
Radikalisme Islam, secara bahasa radikalisme berawal dari kata
radikal yang berasal dari kata “radic” mempunyai arti perubahan
secara mendasar dan prinsip. Dapat dipahami radikal adalah sebuah
tingkah laku yang menjurus keras, radikalis adalah orang yang
melakukan tindak kekerasan, sedangkan radikalisme adalah sifatnya
yang

terlahir

dari

radikal.

Menurut

Sartono

Kartodirjo

seorang

sejarawan menyebutkan pemakaian kata “radikal” sering digunakan
sebagai indikator sikap penolakan total terhadap seluruh kondisi yang
ada dengan menggunakan simbol agama.14
Menurut Jhon Esposito ideologi Islam radikal atau dengan istilah
lainnya “Islam Revivalis” memiliki kecendrungan sebagai berikut:
11Lihat Horace. M. Kallen, “Radicalism,” dalam Edwin R.A. Seligman,
Encyclopedia of The Social Sciences, Vol. XIII-XIV (New York: The Macmillan Company,
1972), 51-54. Dapat juga ditemukan pada Huff, “The Challenge of Fundamentalism
for Interreligious Dialogue,” Cross Current (Spring-Summer, 2002). Diakses dari
http://www.findarticles.com/cf_0/m2096/2000_Spring-Summer/63300895/print.jhtml.
12 Dapat dilihat Ira M. Lapidus, “Islamic Political Movement: Patterns of
Historical Change” dalam Edmund Burke III dan Ira. M. Lapidus (ed), Islam, Politics,
and Social Movement (Berkeley: University of California Press, 1988), 3.
13Azyumardi Azra, “Revisitasi Islam Politik dan Islam Kultural Indonesia”
dalam Jurnal Indo-Islamika, Vol. 1, Nomor 2, 2012, 240.
14Dapat ditinjau dalam beberapa karyanya seperti: Sartono Kartodirdjo, Protest
Movements in Rural Java (Singapore: Oxford University Press, 1973). Lihat juga
karyanya yang lain, Ratu Adil (Jakarta: Sinar Harapan, 1992)

pertama, kelompok-kelompok ini berpendapat bahwa Islam adalah
sebuah pandangan hidup yang komprehensif dan bersifat total,
sehingga Islam tidak bisa dipisahkan dari kehidupan politik, hukum dan
masyarakat, kedua, Mereka sering menganggap bahwa ideologi
masyarakat Barat yang sekuler dan cendrung materialistis harus
ditolak. Masyarakat Muslim tidak mampu membangun masyarakat
beragama ideal yang sesuai jalan lurus, malah mengikuti cara pandang
Barat yang sekuler dan materialistis.

Ketiga, Mereka cendrung

mengajak pengikutnya untuk kembali kepada Islam sebagai sebuah
usaha untuk perubahan sosial. Perubahan harus merujuk al-Qur’an dan
Hadist sepenuhnya. Keempat, Peradaban dan peraturan yang dari
Barat harus ditolak karena ideologinya jauh menyimpang dari Islam
dan sebagai gantinya masyarakat Muslim harus menegakkan hukum
Islam sebagai satu-satunya sumber hukum yang diterima. Kelima,
Mengagungkan kejayaan Islam di masa lalu, dan keenam, Mereka
berkeyakinan bahwa upaya-upaya Islamisasi pada masyarakat Muslim
tidak akan berhasil tanpa menegakkan aspek perorganisasian atau pun
pembentukan sebuah kelompok yang kuat.
Kemudian pendapat lain menyebutkan kriteria Islam radikal
adalah memiliki empat kategori, pertama, Mempunyai keyakinan
ideology

tinggi

dan

fanatik

yang

mereka

perjuangkan

untuk

menggantikan tatanan nilai dan system yang sedang berlangsung,
kedua, Dalam kegiatannya, mereka seringkali menggunakan aksi-aksi
yang keras, bahkan tidak menutup kemungkinan kasar terhadap
kegiatan kelompok lain yang dinilai bertentangan dengan keyakinan
mereka. Ketiga, Secara sosio-kultural dan sosio-religius, kelompok
radikal mempunyai ikatan kelompok yang kuat dan menampilkan ciriciri penampilan dari ritual yang khas. Keempat, Kelompok Islam radikal

seringkali bergerak secara bergeriliya walaupun banyak juga yang
bergerak secara terang-terangan.15
Menurut Armahedi Mahzar akar radikalisme didorong oleh tiga
hal:

pertama,

kesombongan

intelektual

dengan

memutlakkan

kebenaran pandangan sendiri (absolutism), kedua, kesombongan
sosial berupa sikap tertutup dan tidak mau berdialog dengan pihak lain
(eksklusivisme), dan ketiga, kesobongan emosional berupa sikap yang
fanatik

pada

pandangan

sendiri

(fanatisme).

Kenyataan

yang

ditangkap bahwa kekerasan yang menjurus radikal adalah ekspersi
Islam eksklusivisme yang tidak mampu menerima perbedaan yang
ada. Hal ini cukup beralasan apa bila berkaca pada kejadian yang
mengatasnamakan Islam seperti kasus-kasus kekerasan, pada hal
Islam tidak seperti yang mereka pahami.16
Berpijak pada penjelasan di atas, sesungguhnya penyebutan
Islam dengan istilah “Islam radikal” tidak lain merupakan sebuah
kesatuan dari berbagai fenomena sosial dan keagamaan kelompokkelompok Muslim yang sedemikian kompleks, sehingga pemakaian
kata ini hanya ditujukan sebuah titik tolak (point of departure)
ketimbang sebagai sebuah penjulukan , pelabelan yang mapan dan
tidak berubah terhadap fenomena tersebut, karena penyebutan label
demikian tidak sepenuhnya menampilkan keberagaman gerakangerakan tersebut, disamping ia hanya bagian diskursus kehidupan
sosial politik dan keagamaan kontemporer.17

15Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat Dalam Studi Islam di Perguruan
Tinggi (Jakarta: Gema Insan Press, 2006), 243.
16 Olivier Roy, The Failure of Political Islam, trans. Carol Volk (Cambridge,
Massachusetts: Harvard University Press, 1994), 12 dan 75.
17Jamhari dan Jajang Jahroni (Penyunting), Gerakan Salafi Radikal di
Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), 2.

Ketiga, istilah berikutnya adalah

18

“militan”, seperti yang

dikemukakan oleh G. H. Jansen dalam bukunya “Militant Islam”, begitu
dengan Adam Schwarz melalui karyanya “A Nation in Waiting:
Indonesia Search for Stability”, ketika mencermati gerakan Islam yang
diekspresikan

oleh

organisasi

DDII

dan

KISDI.

Argumen

yang

dikemukakan oleh masing-masing ini adalah: organisasi demikian
sangat kaku dalam menafsirkan hukum, bersikap anti- Barat beserta
bagiannya, dan merasa tidak senang terhadap etnis China, dan umat
Kristen. Selain Jansen, Lee Kuan Yew juga menggunakan militan, ketika
mengamati kelompok“ekstrem”.19
Sementara itu Yusuf Qardhawi cukup hati-hati dalam menyebut
kelompok Muslim yang peduli terhadap agamanya, sebagai bentuk
sikap ekstrem. Ia memberikan analisis, bahwa seseorang yang kuat
pendidikan agamanya, dan dibesarkan dalam lingkungan yang kuat
berpegang pada agama, niscaya perasaannya menjadi amat peka
setiap kali melihat pelanggaran atau pengabaian yang bagaimanapun
terhadap agama. Ia akan merasa heran bila melihat seorang Muslim
tidak pernah mendirikan shalat malam atau puasa sunah di siang
harinya. Oleh sebab itu tidak cocok label ekstrem dilekatkan terhadap
Muslim seperti ini.20
Di sini Yusuf Qardhawi menekankan pada dua sisi tentang
pelabelan ekstrem ini, pertama, sebutan ekstrem tidak bisa diberikan
kepada seseorang yang mengimani agamanya yang benar, dan tidak
kompromi terhadap segala bentuk kebatilan. Sesungguhnya kadar
keberagamaan seseorang dan keberagamaan lingkung yang ia hidup di
dalamnya, ditinjau dari sudut kekuatan dan kelemahannya, sangat
mempengaruhi dalam menetapkan penilaian atas orang lain, sebagai
ekstrem, moderat, ataupun menyia-nyiakan, dan “menggampangkan”
18Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentalisme,
Modernisme Hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996)
19 Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia Pengalaman Islam, 93.
20Yusuf Qardhawi, Membedah Islam “Ekstrem” Terj. Alwi A.M, cet. IX
(Bandung: Mizan, 2001), 23.

agama. Kedua, tidak adil memberikan label ekstrem kepada orang
yang memilih salah satu pendapat di antara pendapat-pendapat fiqih
yang agak keras (ketat), selama ia percaya bahwa itu lebih benar dan
lebih baik. Mencermati pandangan Yusuf Qardhawi di atas, cukup
kelihatan ia cendrung membela kelompok yang berprinsip kebenaran
hanya berada kelompok Muslim yang merujuk kepada model Islam
pada priode salaf, dan membatasi interaksi pemikiran Islam dengan
priode kontemporer, sehingga dapat diketahui bahwa Islam yang
diidolakan adalah Islam yang tertutup dari perkembangan dan
kemajuan pemikiran.
Dalam hal ini, Yusuf Qardhawi menjelaskan ciri-ciri ekstrem
sebagai berikut: pertama, fanatik pada suatu pendapat dan tidak
mengakui pendapat-pendapat lain. Sikap seperti

ini merupakan

cerminan dari fanatisme yang keterlaluan sehingga tidak ada ruang
kompromi, yang menyebabkan tidak ada yang benar kecuali dirinya
sendiri. Fanatisme seperti sangat dicela, yang hanya mengakui dirinya
sendiri berada pada pihak yang benar, sementara menafikan dan
menolak orang lain. Kedua, mewajibkan diri sendiri dan orang lain
pada sesuatu yang tidak diwajibkan Allah. Kelompok ini adalah orang
yang memiliki paham memberatkan diri sendiri dan diri orang di
tengah ketidakmampuannya mengerjakan sesuatu itu, pada hal di
dalamnya telah diberikan kemudahan untuk mengerjakannya. Ketiga,
memperberat yang tidak pada tempatnya. Maksudnya di sini adalah
meletakkan sesuatu pada proporsi yang tidak sesuai dengan tempat
dan zamannya; seperti melakukannya disuatu negara yang bukan
Islam dan bukan negara asal Islam; atau atas kaum yang baru
memeluk agama Islam atau orang yang baru bertaubat. Keempat,
sikap kasar dank eras. Dalam hal ini tercermin dalam perkataan dalam
berkomunikasi serta berdakwah, dan bersikap intoleransi terhadap
sesama dan antara sesame umat beragama. Kelima, buruk sangka
terhadap manusia. Atinya di sini adalah dalam memandang orang lain

digunakan “kacamata hitam”, menyembunyikan kebaikan mereka
sementara

membesar-besarkan

keburukan

mereka.

Keenam,

terjerumus ke dalam jurang pengafiran. Kondisi ini adalah puncak dari
beberapa ciri-ciri ekstrem yang telah disebutkan di atas, sehingga hak
kehormatan orang lain, jiwa dan harta orang lain sudah halal untuk
dirampas dan diperlakukan dengan keras.21
Keempat,

istilah “revivalis”,

Fazlur

Rahman 22

dan Jhon

L.

Esposito23 adalah orang yang cendrung melabelkan kelompok Islam
yang beraliran keras dengan istilah “Islam Revivalis”. Hal ini ditandai
dengan pandangan hidup yang komprehensif dan bersifat total, artinya
tidak ada pemisahan Islam dari kehidupan politik, hukum, dan
masyarakat. Tanda berikutnya adalah semua yang terkait dengan
pengaruh lokal maupun yang terkait dengan global (Barat) 24 harus
ditolak, karena hal ini dianggap sebagai pengikis kemurnian Islam. 25
Arti kata Islam hanya dikembalikan seperti yang terpraktekkan pada
zaman Nabi dan Sahabat dulu.26 Seterusnya ditandai dengan sikap
21 Yusuf Qardhawi, Membedah Islam “Ekstrem”, 29-45.
22Fazlurrahman memberi istilah gerakan radikalisme Islam dengan sebutan
gerakan neorevivalisme atau neofundamentalisme, sebuah gerakan yang yang
mempunyai semangat anti Barat. Lebih lanjut lihat Fazlurrahman, Islam dan
Modernitas: Tantangan Transformasi Intelektual (Bandung: Pustaka, 1995), 162.
23John L. Esposito, Islamic Threat, Myth or Reality? (New York and Oxford:
Oxford University Press, 1992), 69.
24Barat dalam konteks ini dianggap oleh sebagian kalangan Muslim yang
paling bertanggung jawab atas marjinalisasi Bangsa Timur dengan ide
sekularismenya yang berdampak pada dekadensi moral Bangsa Timur, pandangan ini
sepenuhnya menyatakan penolakan total terhadap Barat seperti yang ditunjukkan
oleh Sayyi>d Qu>tb. Lebih lanjut lihat Ibra>hi>m M. Abu> Rabi’, Intellectual Origin
of Islamic Resurgence in the Modern Arab World (New York: State University of New
York Press, 1996), 93-137. Informasi ini juga dikemukakan oleh Mu>sa> Ash'ari>,
Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al-qur'an (Yogyakarta: LESFI, 1992), 95.
25 Barat dalam konteks ini dianggap oleh sebagian kalangan Muslim yang
paling bertanggung jawab atas marjinalisasi Bangsa Timur dengan ide
sekularismenya yang berdampak pada dekadensi moral Bangsa Timur, pandangan ini
sepenuhnya menyatakan penolakan total terhadap Barat seperti yang ditunjukkan
oleh Sayyi>d Qu>tb. Lebih lanjut lihat Ibra>hi>m M. Abu> Rabi’, Intellectual Origin
of Islamic Resurgence in the Modern Arab World (New York: State University of New
York Press, 1996), 93-137. Informasi ini juga dikemukakan oleh Mu>sa> Ash'ari>,
Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al-qur'an (Yogyakarta: LESFI, 1992), 95.
26Hasan al-Banna menyebut ajaran kelompoknya (al-Ikhwa>n al-Muslimu>n)
dengan salafiyun yang artinya orang-orang terdahulu. Istilah ini secara teknis
menunjukkan upaya mengikuti perilaku keagamaan yang didasarkan pada al-Qur’an,

pengagungan kejayaan Islam pada masa lalu tanpa memperhatikan
kondisi sekarang.
Oleh karena itu dalam pembahasan ini peneliti menggunakan
istilah Islam radikal dalam menelusuri genealogi, pemikiran, dan
gerakan ormas Islam yang diduga beraliran keras. Radikal dalam
konteks ini, tidak hanya sebatas kekerasan dalam bentuk fisik, seperti
penyerangan, perusakan, pemukulan, dan lain sebagainya, tetapi
kekerasan di sini juga dimasukan dalam bentuk simbolik yang
terinfiltrasi dalam agitasi, provokasi, dan bahasa yang menaruh
kebencian. Kenyataannya kekerasan itu secara umum berawal dari
ungkap-ungkapan yang menyudutkan kelompok lainnya. Artinya dalam
pembahasan ini, radikal yang dipakai adalah radikal yang telah
diturunkan frekuensinya. Meskipun terlihat tidak terpotret dalam
bentuk gerakan adu fisik, tetapi pernyataan yang telah bernada
kebenci juga dianggap radikal dalam kajian ini.
B. Islam Radikal: Fenomena Sosial, Ekonomi, dan Politik
Pada uraian berikut ini akan mempertegas bahwa Islam radikal
dipengaruhi oleh persoalan sosial. Menjelaskan akar kemunculan
radikalisme Islam kontemporer dalam berbagai dunia Muslim, terdapat
beberapa dimensi. John L. Esposito dalam tulisannya “Religion and
Global Affair” menyebutkan bahwa “kebangkitan global agama tidak
hanya bersifat religious, tapi juga kebangunan sosial, dan politik,
sehingga ditemukan revitalisasi agama di samping sebagai sumber
pembebasan, juga sekaligus sebagai ekstremisme kekerasan. Pada
konteks ini fenomena sosial cukup memberikan pengaruh kemunculan
Islam radikal.
Menurut John L. Esposito kebangkitan agama juga cerminan
pencarian identitas, otentisitas, dan komunitas, serta kebulatan tekad
Sunnah Rasul, dan praktik kehidupan orang-orang saleh terdahulu. Lihat Bahtiar
Efendy dan Hendro Prasetyo, Radikalisme Agama (Jakarta: PPIM-IAIN, 1998), 7.

untuk mewujudkan makna dan tatanan dalam kehidupan pribadi dan
masyarakat. Sepanjang sejarah, “politik agama (politicized religion)
telah melahirkan konstruk-konstruk budaya dan hukum yang cendrung
menciptakan batas sektarianisme dan komunalisme. Misalnya, konsep
ahl al-zimmah (nonmuslim yang berdiam di dalam masyarakat
Muslim), dar al-Islam (wilayah yang dikuasai oleh negara Muslim), dar
al-harb (wilayah perang), jihad (perang keagamaan), dan seterusnya.
Berdasarkan

pengkotakan

masyarakat,

wilayah,

dan

egoisme

kelompok yang menjadi penyebab timbulnya kesenjangan sosial di
tengah masyarakat heterogen. Kelompok yang merasa terasing dari
komunitas yang mendominasi, merasa terancaman eksistensinya
dalam perubahan sosial.
Kemudian Bobby S Sayyid dalam studinya menyatakan faktorfaktor yang dapat menjelaskan fenomena radikalisme Islam antara
lain: pertama, kegagalan para elite nasionalis sekuler. Artinya para
elite tidak mampu memenuhi aspirasi masyarakat melalui konfirmitas
dengan modernitas dan Barat, yang terlanjur meremehkan masyarakat
terbelakang, sehingga menimbulkan reaksi dari kalangan kelompok
Muslim atas gagalnya beberapa tawaran para elit sekuler itu.
Kedua, ketiadaan partisipasi politik. Radikalisme atau disebut
juga fundamentalisme, juga disebabkan oleh ketiadaan partisipasi
publik dalam proses politik. Akibat keterasingan ini mereka melarikan
diri dan mencari sandaran aktivisme berupa politisasi atas sebagai
satu-satunya sarana ekspresi politik dan memanfaatkan jargon atau
idiom keagamaan dalam proses politik.
Ketiga, krisis di kalangan borjuis kecil atau borjuis rendahan.
Menurut Nikki Kiddie dan Gilsenan, realita pascakolonial di sejumlah
negara hanya merupakan kesinambungan dari dominasi kekuasaan
para elite kelas atas, dan para borjuis rendahan tetap saja dalam
peranan yang marginal. Krisis di kalangan borjuis rendahan inilah yang
melahirkan sikap radikal.

Keempat, adanya kelimpahan kekayaan dan kesenjangan atau
ketidak-merataan

pembangunan

ekonomi.

Radikalisme

atau

Fundamentalisme

Islam juga merupakan sebuah reaksi terhadap

konsekuensi pertumbuhan ekonomi yang cepat yang diikuti oleh porakporandanya pola atau struktur kehidupan tradisional dan ketidakpastian, yang mendorong masyarakat untuk menegaskan kembali
pandangan kehidupan tradisional mereka.
Kelima, efek atau akibat dari erosi kebudayaan. Integrasi Muslim
dengan sistem kapitalisme dunia, yang didominasi oleh Barat,
mengarahkan mereka ke pemerkuatan identitasnya sebagai Muslim.
Artinya hal ini merupakan tanggapan yang alamiah terhadap pelibatan
(inclusion) kaum Muslim dalam sistem dunia yang dikendalikan Barat.27
Berikut

penjelasan

Juergensmeyer

dalam

menelusuri

akar

kemunculan radikalisme keagamaan, dimana ia lebih memilih dengan
penyebutan
dipahami

sebagai

dalam

fenomena

konteks

nasionalisme

kekecewaan

religius,

terhadap

walaupun

realitas

Negara

nasionalis sekuler yang ditengarai telah gagal dalam memberikan
ruang yang memadai untuk peranan agama di dalamnya. Dalam
pandangan Juergensmeyer, selama ini rezim-rezim yang berkuasa
sering menjauhkan agama dari politik yang diiringi dengan kepicikan
para elite sekuler dalam memanipulasi simbol-simbol keagamaan
untuk kepentingan politiknya, sehingga dengan kondisi seperti ini,
semakin meletupkan kejengkelan kalangan aktivis Islam, maka muncul
keinginan untuk meruntuhkan kekuasaan yang didominasi kaum
nasionalis sekuler.28
Sementara itu, menurut Bassam Tibi menjelaskan radikalisme
Islam dalam spectrum yang lebih luas. Ia menyatakan bahwa
27Bobby S. Sayyid, Fundamental Fear: Eurocentrism and the Emergence of
Islamism (London & New York: Zed Books, 1997), 19-22.
28Mark Juergensmeyer, Menentang Negara Sekuler: Kebangkitan Global
Nasionalisme Religius (Bandung: Mizan, 1998), 175-176. Pendapat yang sama juga
dapat ditemui dalam Nazih N. Ayubi, Political Islam: Religion and Politics in the Arab
World (London & New York: Routledge, 1991), 50-51.

radikalisme Islam merupakan persoalan yang berhubungan dengan
globalisasi

dan

fragmentasi.

Seperti

diketahui,

globalisasi

yang

menembus segala bidang: ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya,
telah

mengakibatkan

terciptanya

“penyempitan

bumi”,

namun

demikian ia ternyata tidak serta merta disertai dengan kemampuannya
untuk menciptakan suatu kesatuan pandangan (yang bersifat kultural)
dalam dirinya sendiri. Pada akhirnya dunia yang terglobalisasi tidak
dengan sendirinya merupakan dunia yang lebih fragmentasi. Asumsi
bahwa globalisasi dan fragmentasi bakal mengakibatkan suasana
kacau-balau dan serba tidak menentu inilah yang oleh kalangan
radikalisme dianggap sebagai ancaman. Seterusnya mereka lebih
memilih bersikap menyempal dan melakukan “pembrontakan melawan
Barat.29
Dalam tinjauan deprivasi sosial, juga ikut melatarbelakangi
kelahiran radikalisme Islam, dalam bahasa Saad Eddin Ibrahim,
militansi Islam, seperti yang diungkapkan oleh Bobby S. Sayyid dan
Saad Eddin Ibrahim, bahwa faktor yang memunculkan radikalisme
Islam juga disebabkan oleh deprivasi sosial. Menurut Ted Robert Gurr
bahwa persepsi merasa tertinggal (sense of deprivation), dapat
menimbulkan radikalisme, karena di tengah persaingan yang ketat
serta dibutuhkan kompetensi yang memadai dalam memperoleh status
dan materi, menyebabkan ada sebagian kelompok yang merasakan
kesenjangan dan ketidakadilan.30
David F Aberle dalam mencermati deprivasi serius bagi individu
dan masyarakat tertentu dapat ditemukan pada referensi mereka
sebagai berikut: pertama, persepsi atas keadaan/kondisi masa lampau
dibandingkan keadaan/kondisi masa sekarang. Kedua, persepsi atas
keadaan/kondisi masa sekarang dibandingkan dengan keadaan/kondisi
29Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000),
10-11.

30Ted Robert Gurr, Why Men Rebel (Princeton, New Jersey: Princeton
University Press, 1970), 24-29.

masa mendatang. Ketiga, persepsi atas keadaan/kondisi suatu pihak di
saat ini dibandingkan dengan keadaan/kondisi pihak lain masa kini.31
Pada tataran ini, setiap kelompok atau orang-orang yang
terdeprivasi relatif yang bersifat berat dan terjadi secara merata, maka
keadaan itu merupakan prakondisi bagi lahirnya gerakan protes
kolektif untuk mengubah keadaan. Konteks kemunculan deprivasi
sosial sangat bervariasi, yang sangat dalam beberapa kasus mungkin
dimotivasi oleh faktor berupa kesenjangan keadaan ekonomi atau
bersifat material maupun politik, tetapi dalam kasus lainnya, faktorfaktor tersebut sangat mungkin kurang penting apabila dibandingkan
dengan ancaman terhadap kepercayaan atau status sosial. Artinya
radikalisme Islam dalam konteks ini disebabkan oleh faktor-faktor
prakondisi dan pemicu.

Faktor prakondisian disebut penyebab tidak

langsung

eksternal,

atau

faktor

seperti

ekonomi,

militer,

dan

globalisasi, sedangkan faktor pemicunya adalah ketidakadilan hukum,
sosial, ekonomi, dan tuna kuasa.
Faktor politik dalam artian proses memperoleh kekuasaan
cendrung menjadi pemicu kemunculan radikalisme dalam Islam.
Dicermati dengan seksama, sebenarnya politik merupakan beberapa
persoalan yang terkait dengan berbagai bidang kenegaraan, seperti
menyangkut proses menentukan tujuan, merealisasikan tujuan, dan
pengambilan keputusan. Dalam rangka melaksanakan tujuan mesti
ditentukan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang terkait
dengan pengaturan

dan pembagian (distribution) atau alokasi

(alocation) dari sumber-sumber yang ada dalam proses melaksanakan
tujuan
Dalam

kasus

Indonesia,

setelah

rezim

Orde

Baru

runtuh

kepentingan politik semakin beragam. Kecendrungan yang muncul
adalah memanfaatkan alasan kebebasan, demokrasi, serta istilah
31David F Aberlee, “Catatan mengenai Teori Deprivasi Relatif” dalam Sylvia L.
Thruup, Gebrakan Kaum Mahdi (Bandung: Pustaka, 1984)

lainnya untuk mengeksperiskan ide dan pemikiran menurut cara
masing-masing. Dampaknya kesadaran hidup dalam keberagaman
mulai terlupakan, menjaga keamanan dan ketertiban umum sudah
dianggap tidak penting, diperparah lagi proses demokrasi yang cukup
longgar yang tidak didukung ketahanan negara
Dalam sejarah perjalanan Islam, dari empat orang sahabat (alKhulafa> al-Ra>shidi>n) yang melanjutkan tugas Nabi, pada masa Ali
bin Abi T{alib (memerintah 36-41 H/ 656-661 M) tercatat yang
mengalami persoalan yang “akut” (perang berkepanjangan yang
dikenal

dengan

istilah

al-fitnah

al-kubra>

berlangsung

selama

pemerintahanya), sehingga pada masa ini banyak terdapat fakta
sejarah yang menghubungkan akar kemunculan radikalisme dalam
Islam. Secara umum para peneliti menyebut bibit radikal berawal dari
peristiwa perang S{iffin− antara Ali bin Abi Talib dengan Mu’awiyah bin Abi
Syofyan− yang berunjung dengan arbitrase, yang dimenangkan oleh
pihak Mu’awiyah, sehingga sebagian pihak yang mendukung Ali
menaruh rasa kecewa atas keputusan Ali menerima perundingan
damai

kelompok

pembrontak.

Sampai

pada

akhirnya

mereka

memutuskan untuk keluar dari barisan Ali dengan mengusung sikap
ekstrem. Menurut Azra32 keputusan Ali menerima tawaran perdamaian
yang diajukan pihak Mua’wiyah mengakibatkan munculnya radikalisme
dalam Islam. Kelompok yang memilih keluar dari barisan Ali ini hingga
sekarang disebut dengan istilah “khawa>rij” atau “kha>riji” yang
keluar.33
32 Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia Pengalaman Islam, 09.
33Peristiwa ini terjadi setelah pihak Ali menerima penyelesaian perang
dengan Mu’awiyah pada bulan S{afar 37 H melalui tahkim yang berlangsung di
Dumatul Jandal pada bulan Sha’ban 37 H, sedangkan menurut kelompok ini,
Mu’awiyah bersama pengikutnya harus ditumpas habis sampai keakar-akarnya. Lihat
Muhammad Jamaluddin Surur, al-Hayaus Siasat fid Dawlah al-Islamiyah (Kairo: Dar alFikr al-Arabi, cet. V, 1975), 78. Lebih jelas peristiwa keluarnya khawarij dari barisan
Ali serta pedebatan seputarnya dapat dilihat karya Al-Syahrustani, al-Milal wa alNihal (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), 115. Dapat juga ditemukan panjang lebar dalam Amir
al-Najjar, Aliran Khawarij, Mengungkap Akar Perselisihan Umat” terj. A. Sholihin dan
Afif Muhammad (Jakarta: Lentera, cet. I, 1994), 7-38.

Setelah dicermati akar historisnya, ternyata kemunculan radikal
dari

kalangan

ketimbang

khawa>rij

persoalan

ini

didorong

pemahaman

oleh

kepentingan

keagamaan.

Dalam

politik
rangka

melegalkan tujuan politik tersebut harus berpijak pada pemahaman
keagamaan (seperti pemahaman terhadap beberapa ayat) 34 secara
sempit, sehingga harus dipahami dan dilaksanakan sebagaimana yang
tertulis. Pada hal ayat tersebut masih ada ruang untuk dipahami
secara luas yang tidak mudah menggolongkan seseorang pada
kelompok yang salah apalagi kafir.
Pertanyaan

berikutnya

kenapa

kelompok

Islam

Baru

ini

menentang Islam mainstream yang ada, apakah ada dipengaruh
runtuhnya rezim otoriter seperti teori yang dikemukakan oleh Mark R
Woodward bahwa pemerintahan yang otoriter akan menimbulkan sikap
radikal. Teori demikian bertolak belakang dengan Sidney Jones, bahwa
radikalisme agama tidak memandang wilayah apakah pemerintahanya
menganut sistem demokratis atau otoriter, ia cendrung tumbuh yang
dipengaruhi

oleh

fundamentalisme

agama.

Dengan

alasan

mengaplikasikan dari kebebasan berekspresi diri di tengah kebebasan
yang dimiliki, menjadikan radikalisme

dapat mengakar dalam

kehidupan masyarakat.
Menurut Fukuyama seperti yang dikutip Azra, di sinilah terletak
relevansi salah satu argumen pokok lain yang secara implicit, bahwa
radikalisme di kalangan Muslim –yang muncul dalam bentuk “harakah
Islamiyah”

misalnya−pada

modernisasi.
sementara

dasarnya

Modernisasi−dengan
kalangan

Muslim

merupakan
ideology

merupakan

reaksi

terhadap

“modernism”−bagi
salah

satu

bentuk

“imperialism cultural”. Kalangan Muslim melihat modernisasi dan
34Diantaranya surat al-Hujurat (49) ayat 9 yang menyebutkan pertikaian
serta pola penyelesainya, sebagai kontrasnya mereka menggunakan surat al-Anfal
(8) ayat 39-40 sebagai dasar menyatakan kafir suatu kelompok manakala dia
berhenti memerangi orang yang mendurhakai Allah. Dan lebih keras lagi mereka
menggunakan surat al-Maidah (8) ayat 44 yang menyatakan siapa yang tidak
menghukum sesuai dalam al_qur’an (yang tertulis) maka mereka adalah kafir dan
mesti diperangi.

modernism yang muncul di banyak kawasan dunia Muslim sejak akhir
abad ke-18 melalui ekspansi militer dan penetrasi budaya Eropa
merupakan “proyek” Barat, tidak hanya untuk memaksakan peradaban
mereka terhadap dunia Muslim, tetapi bahkan lebih jauh lagi untuk
menyingkirkan pengaruh Islam dari pelbagai aspek kehidupan, karena
modernisasi hanya akan menghasilkan sekularisasi dan sekularisme. 35

C. Islam Radikal: Fenomena Teologi
Dalam mencermati fenomena radikalisme, tidak memadai kalau
hanya menekankan pada aspek pelakunya, tanpa mengkaji keyakinan
yang mendorong perbuatan pelakunya. Artinya, walaupun pelaku
radikalisme

dapat

ditangkap,

bahkan

dibunuh,

tetapi

kalau

keyakinannya masih berkembang, maka ia terus berkesinambungan
sepanjang waktu dengan pelaku yang berbeda. Demikian juga halnya
dengan pergerakan radikalisme Islam di Indonesia, meskipun para
pelaku kekerasan (terorisme) telah ditangkap, bahkan terbunuh,
seperti: Dr. Azhari, Noordin M. Top, Imam Samudra, Ali Gufran, lantas
tidak ada jaminan kesinambungan radikalisme Islam akan terhenti.
Kalau dicontohkan seperti tanaman, ia bagaikan patah tumbuh, hilang
berganti.
Menurut Azyumardi Azra, akar persoalan radikalisme Islam
adalah berawal dari pemahaman sepotong-potong dan
terhadap

ayat-ayat

al-Qur’an,

sehingga

pemahaman,

ad hoc

penafsiran

seperti itu hampir tidak memberikan ruang akomodasi dan kompromi
dengan kelompok-kelompok Muslim lain yang
(mainstream).36

Contoh

penafsiran

yang

umumnya moderat

sepotong-potong

dapat

35 Azyumardi Azra, Sebuah Pengantar dalam Tariq Ramadhan, Menjadi
Modern bersama Islam: Islam, Barat dan tantangan Modernitas ( Bandung: Teraju,
2003), xvi.
36Azyumardi Azra, “Akar Radikalisme Keagamaan: Peran Aparat Negara,
Pemimpin Agama dan Guru untuk Kerukunan Umat Beragama”. Makalah Workshop
Memperkuat Toleransi melalui Institusi Sekolah, The Habibie Center-Hanns Seidel
Foundation, Bogor, 14-15 Mei 2011

ditemukan dalam buku “Al-Adhwa’ ‘ala Ma Waqa’a fil Jihad min
Akhtha’” yang disampaikan oleh Jama’ah Islamiyah Mesir, seperti:
Shaikh Najih Ibrahim, bahwa penafsiran terhadap jihad sering keliru,
karena

hanya

didorong

oleh

emosional

yang

tinggi

tanpa

mempertimbangkan aspek sosial, politik, dan lain sebagainya. Lebih
tegas lagi, radikalisme Islam ini menurut Azra, juga bersumber dari
bacaan yang salah terhadap sejarah Islam yang dikombinasikan
dengan idealisasi berlebihan terhadap Islam masa tertentu.
Pada konteks ini, pemahaman yang sempit terhadap agama,
cendrung

mengalami

kekakuan,

dan

berpotensi

salah.

Apalagi,

pemahaman tersebut tidak dibicarakan secara terbuka. Harus diakui,
bahwa

faktor

sentimen

keagamaan,

diantaranya

solidaritas

keagamaan yang tertindas oleh kekuatan tertentu, atau juga disebut
dengan faktor emosi keagamaan yang disebabkan oleh pemahaman
realitas yang sifatnya interpretatif yang dicampuri oleh sifat nisbi dan
subjektif.
Sementara itu Mark Juergensmayer dalam bukunya “ Teror in the
Mind of God” menegaskan bahwa faktor pemahaman terhadap agama
yang tidak tepat juga mengakibatkan munculnya sikap radikal.
Analisisnya dijelaskan, semua agama yang ada, apabila ia dipahami
secara eksklusif dan menutup pintu dialog akan berujung pada
pembenaran tindakan radikal/terror. Contoh yang disampaikan Mark
adalah, Sidarta Goutama, Isa al-Masih, dan Muhammad, dalam sejarah
hidupnya dipenuhi dengan kisah-kisah indah tentang cinta dan
kemanusian, tetapi ketika agama sampai di tangan pemeluknya yang
paranoid dan haus kekuasaan, ajaran-ajaran agama berubah menjadi
kekerasan atau radikal. Kecendrungan yang berkembangan adalah
mengambil ayat-ayat untuk membenarkan ideology mereka, seperti
“Hidup Mulia atau Mati Syahid”. Pernyataan-pernyataan ini dituangkan
dalam buku-buku atau famplet, pada intinya bermuatan provokasi dan
menolak segala bentuk kompromi terhadap kelompok yang dianggap

tidak sepaham dengan mereka. Hal sama juga diungkapkan oleh Alwi
Shihab dalam bukunya Islam Insklusif, sesungguhnya penyempitan
terhadap ruang gerak penafsiran agama yang dilimpahkan kepada
manusia, sebenarnya akan menghambat keberagaman dalam menuju
kesempurnaan. Agama pada dasarnya adalah memberikan ruang yang
cukup

bagipenganutnya

mengekspersikan

Islam

sesuai

dengan

konteks sosial yang mengitarinya.
Dalam sejarah dan perkembangan Islam Indonesia diwarnai
banyak pengalaman, sekaligus menunjukkan Islam Indonesia tidak
terlepas dari kepentingan berbagai pihak, baik itu sifatnya lokal
maupun itu sifatnya transnasional. Dalam konteks ini menurut
sejarawan terkemuka, M.C. Ricklefs menggambarkan telah terjadi
transisi-transisi budaya keagamaan di Indonesia, yang pada gilirannya
ikut memengaruhi dinamika keagamaan masyarakat di Indonesia. 37
Pada sisi lain Azra melihat kondisi ini adalah sebuah potret kebangkitan
Islam yang ditandai dengan munculnya pengistilahan “modernism”
dan “reformisme, tetapi kemunculan istilah tersebut tidak berbanding
lurus dengan perkembangan pesat kelompok-kelompok radikal di
kalangan kaum Muslim.38

Sehingga kuat dugaan bahwa radikalisme

berpeluang tumbuh dan berkembang, seperti yang disebut teori sosial
klasik−sosiologi, psikologi maupun politik−gerakan radikal sosial baik
yang mengatas namakan agama atau murni gejala sosial dapat
dianggap sebagai suatu gerakan menyimpang (defiance).39 Beberapa
tahun belakangan ini, radikalisme, anarkisme atau kekerasan berbau
agama cendrung terus meningkat, tidak hanya antar agama−seperti
Islam versus Kristen−tetapi juga intra agama−seperti Islam garis keras
(radikal) dengan Islam mainstream (moderat)
37M.C. Ricklefs, Mystic Synthesis in Java: A History of Islamization from the
Fourteenth to the Early Nineteenth Century (Norwalk, CT: Eastbridge, 2006)
38Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia Pengalaman Islam
(Jakarta: Paramadina, 1999), 93.
39Doug McAdam, Political Process and the Development of Black Insurgency,
1930-1970 (Chicago: The University of Chicago Press, 1999), 7-9.

Gerakan radikalisme Islam seperti mendapatkan “angin segar”
pasca runtuhnya Orde Baru dan bergulirnya era reformasi. Sebagai
sebuah paham, radikalisme Islam tidak dapat dipisahkan dari gerakan
fundamentalisme atau revivalisme, karena keduanya merupakan
gerakan keislaman yang sejiwa. Arus radikalisme Islam ini dibawa oleh
kelompok Islam radikal baik skala lokal maupun skala transnasional.
Seiring dengan itu, Robert N. Bellah menyebut bahwa sesungguhnya
ajaran Islam terlalu modern pada zamannya sehingga sulit dipahami
oleh dunia saat itu, bahkan oleh umat Islam sendiri sepeninmggal
Muhammad. Sayangnya kemajuan ajaran Islam itulah yang kini
diadopsi oleh umat non-Islam. Hasilnya: mereka maju, sedangkan
umat Islam tertinggal.
Kecendrungan ke arah radikalisme dan militansi keagamaan
dapat

juga

dijelaskan

sebagai

implikasi

dari

berlangsungnya

disorientasi nilai-nilai yang diakibatkan oleh modernisasi. Perputaran
modernisasi kehidupan masyarakat membawa berbagai perubahan
secara drastis, yang tidak hanya berlangsung di negeri industri maju,
tetapi juga yang tengah merambah negara-negara berkembang.

D. Islam Radikal: Dinamika Kesinambungan Sejarah
Asumsi awal yang dijabarkan dalam pembahasan bab ini adalah
bahwa Islam radikal bermula dari peristiwa tah}kim antara pihak Ali
bin Abi> T{a>lib dengan Mu’awiyah bin Abi Syofyan, sehingga muncul
kelompok yang tidak menerima hasil keputusan tah}kim tersebut.
Pihak yang tidak menerima adalah potret orang yang kalah dan
merasa terasing dari kelompok Islam mayoritas, sehingga hanya
melalui kekerasan keinginan mereka dapat diwujudkan. Beranjak dari
argumen ini akan ditelusuri perjalanan Islam radikal dalam tinjauan
sejarah, baik yang terjadi kawasan Asia Tenggara, Timur –Tengah, dan
tempat lainnya, sekaligus menegaskan argumen peneliti bahwa

kemunculan radikalisme Islam dalam kawan dunia Muslim merupakan
bagian dari ketersambungan sejarah.
Khaled Abou El Fadl dalam karyanya The Great Theft: Wrestling
Islam From the Extremists, membuktikan bahwa radikalisme dalam
Islam

adalah

keberlanjutan

sejarah,

sekaligus

menolak,

bahwa

radikalisme terputus dengan sejarah. Khaled melalui karyanya ini
mencontohkan adanya keterkaitan antara paham Wahabisme dengan
aksi teroris yang disponsori oleh jaringan terorisme internasional AlQaeda dan gerakan Taliban di Afganistan. Dalam kajian ini, terungkap
bahwa paham Wahabisme tidak hanya subur dan berkembang di tanah
kelahirannya, tetapi ia juga tumbuh dan berkembang di negara-negara
Muslim lain. Demikian juga halnya di Indonesia, paham Wahabisme
mempunyai

akar-akar

yang

kuat,

baik

dalam

bentuk

paham

keagamaan yang bersifat massif, maupun dalam bentuk gerakan yang
dimanifestasikan dalam berbaghai aksi kekerasan. Dalam kasus ini,
dapat ditemukan bahwa pergerakan ini satu sisi memiliki semangat
kembali kepada ajaran Islam murni, tetapi pada sisi lain dibarengi
dengan

semangat

persoalan,

karena

kekerasan.
kondisi

Model

akan

seperti

berkaitan

ini

yang

dengan

menjadi

kelangsung

kehidupan yang heterogen di tengah perubahan sosial.

1. Ketersambungan Islam Radikal dengan Sejarah
Ditinjau dari sejarah dan perkembangan Islam pasca ditinggalkan
oleh Muhammad, permasalahan radikalisme terus bergulir melintasi
waktu yang dilaluinya. Dikaji lebih dalam, ternyata tercatat dalam
sejarah bahwa gerakan khawarij adalah awal radikalisme dalam Islam.

Pada pembahasan ini akan dibuktikan ketersambungan radikalisme
Islam semenjak dari khawarij hingga kontemporer, melalui genealogi,
pemikiran, dan gerakannya yang terangkum dalam fase-fase sejarah
Islam radikal.
a. Khawarij
Khawarij pada awalnya merupakan kelompok yang berpihak
pada Ali bin Abi> T{a>lib ketika terjadi perselisihan dengan Mu’awiyan
bin Abu Syofyan, tepatnya pada priode awal Islam atau pada era
pemerintahan khulafa al-Rasyidin. Namun ketika ada kesepakatan
mengakhiri pertikaian ini melalui prosesi tahkim, muncul sekelompok
pengikut Ali yang tidak setuju dengan keputusan ini, dan akhirnya
mereka memutuskan untuk keluar dari Ali sekaligus melakukan
perlawanan. Kelompok yang keluar ini, disebut dengan istilah khawarij.
Bagi mereka konsensus menetapkan tahkim sudah termasuk dosa
besar, karena proses ini tidak mengambil hukum berdasarkan alQur’an.

Menurut

khawarij

pemerintah

Ali

yang

kemudian

dan

Mu’awiyah tidak sah, karena keduanya sudah tergolong kafir yang
disebabkan keduanya telah berbuat dosa besar.40
Semenjak itu prilaku radikalisme dalam Islam mulai muncul,
yang ditandai dengan pelabelan kafir terhadap golongan di luar
mereka. Mereka mendefinisikan umat Islam dalam dua kategori yang
sangat kaku, yaitu mukmin dan kafir. Dapat dipahami, dari prilaku
keagamaan

mereka

pemahaman

keagamaan

pengelompokan
Pemahaman

seperti

mereka

masyarakat

keagamaan

itu,
Islam

mereka

cukup
yang

membuktikan

ketat

berdampak

yang

tidak

pada

tidak

berhenti

bahwa
pada

tempatnya.

sampai

pada

pembenaran golongan mereka sebagai mukmin sejati, tetapi berlanjut
pada sikap terhadap golongan yang mereka kategorikan kafir, halal
40Mustofa Muhammad asy-Syak’ah, Islam Tidak Bermazhab, Terj. A.M.
Basalamah (Jakarta: Gema Insan Press, 1995), 103-135.

darahnya untuk dibunuh atau diperangi. Di samping itu, dalam
memanifestasikan keyakinan mereka, didorong oleh kegigihan dan
kefanatismean berujung pada tindakan kekerasan.
b. Syi’ah
Radikalisme Islam tidak berakhir sampai pada gerakan khawarij
ini, ia terus bergulir dengan subur. Estapet radikal berikutnya adalah
Syi’ah. Dalam dunia Islam, kelompok Syi’ah termasuk yang paling
besar. Alwi Shihab membagi kelompok Muslim pada waktu itu dengan
tiga bagian: pertama khawarij, kedua Syi’ah dan ketiga Suni. Prinsip
dasar yang miliki Syi’ah adalah setelah wafat Muhammad, terpikul
suatu kewajiban bagi umat Islam untuk mengangkat Ali bin Talib dan
keturunannya sebagai pemimpin bagi seluruh umat Islam, sekaligus
menjadi teladan hidup sepeninggal Muhammad. Pada awalnya Syi’ah
adalah aspirasi politik kemudian berubah sebuah keyakinan teologis
(akidah). Artinya proses kemunculan radikalnya tidak jauh berbeda
dengan khawarij, hanya terdapat perbedaan dalam mendukung dan
menentang Ali. Kalau Syi’ah adalah bertahan dan berjuang untuk
menjadikan keturunan Ali sebagai pemimpin umat, meskipun disertai
dengan tindak kekerasan dan pembrontakan, sedangkan khawarij
adalah

kelompok

yang

menentang

Ali

atas

keputusan

Ali

menyelesaikan sengketa pemerintahan dengan pihak Mu’awiyah tidak
berdasarkan perintah Tuhan.
Puncak radikalisme Syi’ah terpotret dalam peristiwa Karbala (681
M) ketika tewasnya Husein putra Ali oleh pasukan Mu’awiyah untuk
menyingkir Ahlu Bait dari kepemimpinan umat Islam, sehingga dengan
kejadian tersebut menimbulkan kemarahan yang sangat mendalam
bagi kelompok Syi’ah untuk segera membalaskannya dengan ekspresi
militan dan ekstrem.41 Berdasarkan kejadian ini golongan Syi’ah terus
berjuang dengan gigih melalui aksi pembangkangan dan perlawanan
41 Tamim Ansari, Dari Puncak Bagdad Sejarah Dunia Versi Islam (Jakarta:
Zaman, 2010), 128-135.

terhadap pemerintah yang berkuasa dengan haluan radikal untuk
mengembalikan kepemimpian Islam kepangkuan Ahlu Bait.

c. Zanj (869-885 M)
Pemicu radikalisme Zanj memang berbeda dari dua kelompok
Islam yang telah disebutkan di atas, pada umumnya disebabkan oleh
masalah politik atau kekuasaan. Sedangkan golongan Zanj disebabkan
oleh tekan kondisi sosial dan ekonomi yang tidak stabil. Dalam upaya
peningkatan taraf kehidupan, kelompok ini berkeyakinan akan datang
juru penyelamat yang diutus Tuhan memberikan keadilan bagi mereka.
Ideologi ini tidak muncul dengan sendirinya, tetapi dikembangkan oleh
seseorang yang bernama Ali bin Muhammad yang mengaku sebagai
keturunan Alin bin Talib.
Radikalisme kelompok Zanj adalah contoh radikalisme yang
didorong oleh factor sosial-ekonomi. Pada awalnya Zanj adalah sebuah
kelompok pekerja imigran dari Afrika yang hidup dari penghasilan
pembuatan garam di kawasan Baghdad. Di tengah kondisi yang
menyedihkan, dan didorong oleh ideologi kedatangan juru penyelamat,
para pekerja tadi berhasil membangkitkan solidaritas dan kesadaran
nasib mereka, sehingga merubah sikap mereka menjadi radikal dengan
mengangkat senjata melawan pemerintahan yang berkuasa, pada
waktu itu Dinasti Abbasiah (750-1258). 42 Puncak perjuangan kelompok
Zanj

ini,

mereka

berhasil

mendirikan

sebuah

negara

dengan

pemerintahan sendiri selama 15 tahun, dan berakhir pada tahun 885
M, setelah berhasil ditumpas oleh pemerintahan dinasti Abbasiyah.
d. Qaramithah
42