SEJARAH PEMIKIRAN ADMINISTRASI NEGARA DI

SEJARAH PEMIKIRAN ADMINISTRASI NEGARA DI
INDONESIA: KONSEP-KONSEP PERUBAHAN
Oleh: S. Wibawa
Email: swibawa@gmx.de

Wajah administasi suatu negara merupakan produk dari sistem
politik, posisi perkembangan ekonomi dan sosial dari negara yang
bersangkutan, di samping sebaliknya dalam banyak hal administrasi
negara juga menentukan penampilan sistem politik, perkembangan
ekonomi dan kualitas sosial negara itu. Oleh karena itu seharusnya
diskusi tentang sejarah administrasi negara Republik Indonesia ini
dilakukan di tengah-tengah dan bersamaan dengan pembahasan
tentang sejarah pemerintahan dan politik. Tetapi penulis
berpendapat bahwa jika cara itu ditempuh, maka pembaca akan
dituntut untuk menyerap terlalu banyak tema informasi sekaligus
sehingga menyulitkan penyerapan dan pemahamannya. Atas dasar
itu "sejarah" administrasi RI disajikan dalam bab tersendiri di sini.
Namun harus dicatat, bahwa karena konsep-konsep perubahan,
penyempurnaan, modernisasi atau reformasi administrasi
dipraktikkan oleh hampir semua pemerintahan, maka uraian
tentang konsep-konsep ini tidak dapat dipandang sebagai

perkembangan praktik yang linear dari administrasi negara RI
melainkan lebih banyak menunjuk pada perkembangan popularitas
konsep itu di kalangan para pejabat dan ilmuwan administrasi.
Menurut bacaan penulis, istilah yang digunakan oleh pejabat dan
ilmuwan kita secara berturut-turut adalah: rasionalisasi
administrasi, administrasi pembangunan, penyempurnaan
administrasi, reformasi administrasi, dan pembaharuan atau
modernisasi administrasi. Model, konsep atau istilah ini sudah mulai
dikenal pada fase pendahulunya dan biasanya masih pula dipakai
pada fase sesudahnya. Dengan kata lain, penggunaan atau
penerapan suatu model tidak berarti hilangnya model yang lain,
atau tidak berlebihan jika dikatakan bahwa apa yang dimaksudkan
"model" di bawah ini sebenarnya hanyalah "mode" penggunaan
istilah --dengan nama yang berbeda memiliki esensi yang sama.
1. Rasionalisasi administrasi: mengatasi kelangkaan dana
Sejarah pemerintahan RI pada bagian depan telah memperlihatkan
bahwa Republik Indonesia adalah negara-kelanjutan dari Hindia
Belanda. Artinya struktur negara RI bukanlah struktur yang baru,
dan dalam sangat banyak hal malah melanjutkan --jika bukannya
melestarikan-- budaya dan perilakunya. Euphoria kemerdekaan

1945 untuk sementara menghasilkan pemerintahan pada 1950-an
yang bersifat relatif demokratis, ada puluhan partai politik dan

pemerintahannya bersistem parlementer. Namun, berlawanan
dengan nilai demokrasi, dalam negara "baru" ini para politisi
mengatur sistem administrasi hingga pada penempatan
personalianya, dimana jabatan administrasi tampaknya dipandang
sebagai imbalan bagi kemenangan politik mereka. Sistem politik
yang demokratis menghasilkan perubahan pemerintahan yang
sangat sering, dan dalam tubuh administrasi terjadi
penyalahgunaan wewenang. Ini disadari oleh politisi manapun.
Karena itu, melawan praktik mereka sendiri, berbagai pemerintahan
dari partai manapun berusaha melakukan perbaikan sistem
adminstrasi dari tahun ke tahun yang salah satu nilainya adalah:
rasional, the right man on the right place.
Penyimpangan praktik administrasi atau maladministrasi yang
ditandai dengan menurunnya atau tiadanya disiplin, ketekunan,
ketelitian, kecermatan dan semangat kerja --yang dengan mudah
tertumpangi oleh korupsi-- disebabkan oleh beberapa sebab.
Pertama, situasi transisi menciptakan ketidaknyamanan dan

ketidakamanan kerja, sehingga kebanyakan pegawai
"menyelamatkan diri sendiri"; ke-dua, pejabat yang duduk di dalam
birokrasi kebanyakan adalah pejabat lama yang sebelumnya
merupakan pegawai Hindia Belanda, yang berorientasi bukan
kepada prestasi melainkan askripsi (lihat bab sebelumnya); dan ketiga, masih sangat sedikitnya jumlah profesional modern yang dapat
ditarik ke dalam birokrasi. Memang praktik administrasi kolonial
Belanda sejak Daendels (sekitar 1810) telah dapat disebut sebagai
administrasi negara "modern", tetapi tidak banyak orang Indonesia
yang bekerja di dalamnya apalagi memegang jabatan pimpinan dan
lebih dari itu mereka cenderung mempertahankan gaya patrimonial
yang askriptif. Sementara itu organisasi pergerakan nasional yang
pertama pada awal abad ke-20 seperti Boedi Oetomo dan
Muhammadiyah serta organisasi pergerakan berikutnya seperti
Syarekat Dagang Islam dan Partai Komunis Indonesia tentunya juga
sudah mengenal adminstrasi modern itu, tetapi ketika negara
Indonesia terbentuk tidak dijumpai tenaga terdidik dalam jumlah
yang memadai di bidang ini.
Hal itu disadari sepenuhnya oleh pemerintah, sehingga setelah RI
dalam kondisi relatif normal, sukses memenangkan pengakuan
internasional, pemerintah mulai berusaha memecahkan penyebab

yang ke-tiga, yakni kelangkaan tenaga profesional di bidang
administrasi negara. Sejak 1951 hingga 1955 diperkenalkanlah ilmu
administrasi negara "modern", jauh lebih belakangan dibanding
pengenalan ilmu hukum dan ekonomi --serta teknik dan
kedokteran-- yang telah dimulai sejak 1900-an. Ilmu administrasi
yang diintrodusir pada paruh pertama dasawarsa 1950-an ini
berorientasi ke Amerika Serikat, yang dipandang lebih praktis dan
pragmatis dibanding sistem administrasi kolonial Belanda yang
bersifat legalistik. Pengintroduksiannya dilakukan melalui

pembentukan jurusan administrasi negara di Universitas Indonesia
(UI) di Jakarta dan Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta.
Pengenalan di bidang akademik itu berlangsung berbarengan
dengan usaha rasionalisasi organisasi pemerintah Pusat oleh
Kabinet Wilopo yang berumur sekitar 15 bulan (3 April 1952 hingga
1 Agustus 1953). Kabinet berikutnya yang dipimpin Ali
Sastroamidjojo (berumur dua tahun, 1 Agustus 1953 hingga 12
Agustus 1955) mempunyai program yang antara lain berisi: (a)
menyusun aparatur pemerintah yang efisien serta pembagian
tenaga yang rasional dengan mengusahakan perbaikan taraf

kehidupan pegawai dan (b) memberantas korupsi dan birokrasi.
Terlihat dari visi kedua kabinet di awal RI yang baru ini, bahwa
sistem administrasi hendaklah disusun secara rasional: sederhana,
mudah dan tidak birokratis, dimana para pegawainya yang
sejahtera dapat bekerja secara efisien dan tidak memungkinkan
terjadinya korupsi. Visi seperti ini terus dibawa pada masa-masa
berikutnya, ditambah dengan peningkatan kemampuan pegawai.
Program berikutnya adalah pembentukan Panitia Negara untuk
menyelidiki Organisasi Kementerian-kementerian (PANOK, 19521954). Pada 1953 T.R. Smith dari USA menyusun laporan untuk Biro
Perancang Negara berjudul Public Administration Training. Setahun
kemudian dua orang profesor dari Amerika yang diundang ke
Indonesia, Edward H. Lichtfeld dan Alan C. Rankin, menyusun
laporan rekomendasi yang berjudul Training for Administration in
Indonesia.
Selanjutnya pada 1957 dibentuk Lembaga Administrasi Negara
(LAN) sebagai lembaga yang hingga kini punya peran yang
menentukan terhadap penampilan birokrasi Indonesia, pada 1962
dibentuk Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) dan pada 1964
Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi (KOTRAR). Retooling
atau "pembersihan" dalam dua kepanitian terakhir bernuansa

politis: menyingkirkan pegawai yang tak sehaluan dengan partai
yang sedang memerintah (the ruling party). Dengan kata lain
birokrasi di Indonesia pada dua dasawarsa pertama ini bersifat spoil
system --situasi yang juga sangat dominan selama tahun-tahun
pertama pemerintahan Amerika Serikat abad-18. Sementara itu
pada 1958, sebagai imbas dari politik luar negeri Indonesia yang
berusaha untuk membangun solidaritas regional Asia Tenggara,
Indonesia mengikuti sebuah konferensi di Manila yang kemudian
membentuk organisasi Eastern Regional Organisation for Public
Administration (EROPA). Kecuali itu Indonesia juga menjalin
hubungan dengan International Institute for Administrative Science
(IIAS) di Brussel. Sesudah itu hingga 1965 dijumpai banyak tulisan
tentang administrasi pada umumnya dan administrasi negara pada
khususnya oleh penulis-penulis seperti Prajudi Atmosudirdjo,
Awaloedin Djamin, Achmad Sanusi, Tobias Subekti, Soejoed,
Sondang P. Siagian, Sujoto, The Liang Gie, Daoed Joesoef, J.E. Ismail

dan Kosim Adisaputra. Penulis yang terakhir ini meletakkan embrio
pemikiran tentang administrai pembangunan di Indonesia yang
akan dijelaskan di belakang.

Instabilitas politik dan ketidaknetralan birokrasi merupakan dua isu
penting yang hendak dikoreksi oleh Presiden RI ke-dua, Soeharto,
yang memerintah sejak Juli 1966 dan resmi mulai Maret 1968.
Sekalipun sesungguhnya Indonesia era Soekarno telah mencoba
mempraktikkan dua sistem ekonomi politik yang saling bertolakbelakang: liberal pada awalnya dan etatis pada akhirnya,
pemerintahan Soeharto dalam diskurs publiknya selalu menonjolkan
buruknya liberalisme era Soekarno --tentu saja untuk melegitimasi
etatisme dalam modelnya. Pada tahun 1967 dibentuklah secara
berturut-turut tiga buah tim: tim penyusun daftar susunan pegawai
dan peralatan, tim pembantu Ketua Presidium Kabinet Ampera dan
tim penertiban aparatur/administrasi pemerintah (Tim PAAP). Masih
dengan nafas politis, tim yang terakhir ini diketuai oleh Menteri
Tenaga Kerja, bukannya misalnya Mendagri atau Sekneg. Mereka
bertugas untuk merestrukturisasi susunan departemen, mengubah
penggolongan pegawai, rasionalisasi serta restrukturisasi
perusahaan negara --dengan mengurangi peran negara
(deetatisasi), menyederhanakan prosedur administrasi (debirokrasi)
antara lain dengan menggolongkan perusahaan negara ke dalam
tiga bentuk sesuai dengan besarnya kapital pemerintah di dalamnya
(perusahaan jawatan, perusahaan perseroan dan perusahaan

umum) dan mengurangi kontrol negara terhadap perusahaan
negara (dekontrolisasi). Selanjutnya, tidak ketinggalan, dibentuk
pula Tim Pemberantasan Korupsi.
Terlihat pada visi administrasi baik pemerintahan Soekarno(-Hatta)
maupun Soeharto di atas bahwa pemerintah Indonesia sejak awal
telah meyakini ide-ide administrasi yang rasional, tidak nepotis,
tidak berbelit-belit dan tidak korup. Namun berbeda dengan visi,
fase bernegara yang masih sangat muda pada era Soekarno
terbukti tidak mampu menahan nepotisme yang berakibat pada
korupsi. Bahkan usaha rasionalisasi militer yang dirancang oleh AH
Nasution (dan Hatta) menghasilkan resistensi yang meletus sebagai
pemberontakan di beberapa daerah (lihat bab depan). Bagaimana
dengan era Soeharto? Berturut-turut selama 32 tahun
pemerintahannya penyempurnaan administrasi sesungguhnya
menjadi salah satu program yang dipertahankannya. Tetapi
stabilitas politik yang cenderung monolitik memungkinkan
berlangsungnya pemekaran birokrasi yang hampir tak terkontrol.
Akibatnya sama saja dengan era sebelumnya: korupsi.
Ide tentang penyempurnaan administrasi dan administrative reform
itu berkembang sebagai bagian dari konsep administrasi

pembangunan. Yang ke-tiga sebagai induknya akan kita bahas

setelah ini, sedangkan yang pertama dan ke-dua dibahas pada
bagian sesudahnya.
2. Administrasi pembangunan: menciptakan kesejahteraan
Pemikiran tentang administrasi pembangunan mulai masuk dan
tumbuh di Indonesia pada tahun 1963, ketika Soekarno masih
berkuasa dengan gaya etatisme melalui semboyan "demokrasi
terpimpin"-nya. Gagasan ini sejak 1967 semakin dikembangkan,
yakni ketika Soeharto sebagai pejabat sementara Presiden memilih
untuk melakukan pembangunan yang terencana --bentuk lunak dari
etatisme-- dan kemudian menjadikan pembanguan sebagai
"ideologi" dan basis legitimasi utama pemerintahannya. Dari segi
akademik konsep administrasi pembangunan kiranya merupakan
perkembangan-lanjutan dari studi tentang perbandingan
administrasi dan ekologi administrasi --yang merespons paradigma
konsep dan prinsip umum administrasi serta ilmu administrasi
fungsionil. Tokoh-tokoh pemikiran administrai pembangunan ini di
Indonesia antara lain adalah Awaloedin Djamin yang pernah
menjabat Menteri Tenaga Kerja, Bintoro Tjokroamidjojo yang pernah

mengepalai LAN dan Sondang P. Siagian --ketiganya sepertinya
tidak tergantikan oleh penulis lain hingga tahun 2000 ini.
Pemerintahan Soeharto berusaha untuk mengoreksi kelemahan
--untuk tidak menyebut kegagalan-- sistem liberal di satu pihak dan
etatisme di pihak lain pada masa pemerintahan antara 1950 hingga
1965. Konsepnya adalah: dikembangkannya suatu sistem ekonomi
pasar yang terencana dimana pemerintah merupakan unsur
pembangunan (agent of development). Agen di sini mempunyai
pengertian bahwa pemerintah bukanlah pihak yang (paling)
menguasai kegiatan-kegiatan ekonomi melainkan merupakan organ
yang mengarahkan, mengawasi, membimbing dan menggairahkan
kegiatan ekonomi. Untuk itu pemerintah membuat rencana
pembangunan dan mendekonsentrasikan pengambilan keputusan
ekonomi kepada swasta. Dibandingkan dengan gagasan new public
management, reiinventing government, lean government atau
schlanker Staat, konsep administrasi pembangunan pada akhir
1960-an ini dapat dikatakan sudah sangat maju. Tetapi berbeda
dengan negara-negara Amerika dan Eropa, dimana konsep new
public management berkembang sejak awal 1980-an setelah
pemerintah menyadari bahwa dirinya telah mulai terlalu aktif dan

kemudian merasa tidak lagi berdaya untuk tetap aktif, di Indonesia
sejak awal 1970-an konsep tersebut dikembangkan justru ketika
pemerintah sedang memperoleh rejeki minyak yang
memungkinkannya aktif bekerja sebagai aktor utama
pembangunan. Akibatnya sekalipun gagasan itu tetap bertahan dan
disebarkan dalam berbagai pendikan dan latihan (diklat) pegawai
negeri, praktiknya adalah bahwa administrasi Indonesia berperan

sebagai penguasa dan bukannya pengarah hingga paruh pertama
1980-an (lihat bab terdahulu).
Perkembangan gagasan administrasi pembangunan dapat dilacak
awalnya dari tahun 1951 ketika PBB mengeluarkan buku kecil
tentang standar dan teknik administrasi negara khususnya untuk
keperluan bantuan teknis bagi negara-negara berkembang. Tahun
1952 para ahli melakukan pertemuan dan menghasilkan laporan
berjudul Outline of a Suggested Method of Study of Comparative
Administration --mereka di kemudian hari terbentuk sebagai
Comparative Administration Group (CAG) lalu berkembang menjadi
Development Administration Group (DAG). Perhatuan utama dari
organisasi ini adalah masalah-masalah administrasi di negaranegara sedang berkembang dalam konteks sosial, budaya , politik
dan ekonomi mereka. Tahun 1961 PBB menyusun buku lagi berjudul
A Handbook of Public Administration --Current Concepts and
Practice with Special Reference to Developing Countries.
Dari pengalaman empiris negara-negara sedang berkembang, DAG
merumuskan alat analisa untuk administrasi di negara-negara
tersebut. Mereka kemudian merasakan adanya beberapa perbedaan
antara konsep administrasi negara di negara-negara maju dengan
administrasi negara di negara-negara yang sedang membangun,
sebagaimana terlihat pada Tabel 5.1. Terlihat pada pembedaan ini
bahwa apa yang disebut "administrasi pembangunan" bersifat
sangat reformatif untuk mengejar tujuan-tujuan perubahan ke arah
yang lebih "baik" pada khususnya dan untuk menanggapi situasi riil
lingkungan pada umumnya.
Tabel 5.1. Perbedaan antara administrasi negara dan administrasi
pembangunan.
Administrasi negara Administrasi pembangunan
- netral di hadapan masyarakat - mempengaruhi dan mengarahkan
masyarakat
- pelayanan publik dan efisiensi - inovasi
- agen penyeimbang - agen perubahan dan pembangunan
- legalistis, hukum dan ketertiban - ekologis, pemecahan masalah,
orientasi pada
program
Sumber: Diringkas dari Tjokroamidjojo 1995, h. 9-10.

Dalam penjelasannya Tjokroamidjojo mengatakan, bahwa
administrasi pembangunan tidak saja menghendaki administrasi

kepegawaian yang rapi tapi juga memungkinkan diperolehnya
pegawai yang berkualitas untuk sektor-sektor yang diprioritaskan
bagi pembangunan serta yang berorientasi kepada prestasi.
Contohnya dalam hal ekspor, administrasi pembangunan tidak saja
menghendaki tertibnya ekspor melainkan juga bergairahnya ekspor
--dan ini seringkali mensyaratkan adanya perubahan sistem
administrai yang beresiko kurang tertib dan kurang lancar untuk
sementara waktu. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa
adminitrasi pembangunan mengandung arti "pengadministrasian
usaha-usaha pembangunan" di satu pihak dan "pembangunan
sistem administrasi" di pihak lain.
Konsep administrasi pembangunan juga terkesan berusaha menjadi
jalan tengah antara bentuk negara yang laissez faire dan welfare
state. Pemerintah tidak membiarkan masyarakat memenuhi
kebutuhannya sendiri dan sebaliknya tidak juga menjadi abdi sosial,
melainkan mendorong masyarakat untuk berkembang. Tetapi
konsep ini tampaknya sulit dilaksanakan, dalam arti pemerintah di
negara yang sedang berkembang cenderung memperluas
kegiatannya, karena di negara tersebut hanya pemerintahlah yang
memiliki potensi modernitas --tenaga terdidik, teknologi, sentuhan
informasi dan penguasaan dana. Dan tampaknya memang dalam
praktiknya konsep ini sulit dijumpai dalam bentuknya yang ideal.
Apa yang diharapkan sebagai pemerintahan-tengah tidak terwujud,
dan konsep administrasi pembangunan relatif tinggal angan-angan,
jika bukannya konsep itu sendiri memang bersifat utopis. Hal ini
diakui sendiri oleh Tjokroamidjojo, yang melihat bahwa negaranegara yang pada dasarnya laissez faire pun pada akhir 60-an
cenderung untuk meningkatkan aktivitasnya di bidang pelayanan
umum, apalagi di negara-negara yang sedang berkembang.
Konsep ini menjadi surut popularitasnya ketika praktik
pembangunan di Indonesia mendapatkan kritik terutama karena
terjadinya bias pembangunan ke Jawa, ke perkotaan dan ke lapisan
yang mampu, sehingga menimbulkan jurang sosial yang sangat
lebar antara kelompok kaya dan miskin di satu pihak, dan karena
pembangunan terbukti dijadikan ideologi untuk melanggengkan
kekuasaan dan menekan pertumbuhan demokrasi. Bahkan pada
1982 dua orang pengamat administrasi pembangunan telah
melontarkan kritik mereka dalam istilah the paradox of
development administration --pembangunan memerlukan sistem
administrasi yang efektif, tapi sistem administrasi yang efektif
menghambat pembangunan politik (baca: demokratisasi) yang
akibatnya justru menjadikan sistem administrasi itu korup, yang
mengakibatkan sistem administrasi itu boros, nepotis, tidak efektif,
sehingga menciptakan distorsi pembangunan dan apa yang disebut
"ekonomi biaya tinggi". (Lihat Gambar 5.1.) Nepotisme berlangsung
secara meluas, dimana para pejabat instansi berusaha merekrut
"teman-teman" mereka. Dan karena banyak pejabat yang

melakukan ini, maka "ketenteraman dan keharmonisan" kerja di
instansi tak dapat terjaga. Selain bias pembangunan, kritik terhadap
praktik pembangunan juga diajukan terhadap prioritas
kebijakannya, yakni terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi
(yang berdampak kesenjangan sosial) dan mengabaikan
pembangunan sumberdaya manusia. Oleh karena itu, apalagi
dengan menguatnya kepedulian terhadap pencemaran lingkungan,
sejak akhir 1980-an dan awal 1990-an di Indonesia konsep
pembangunan berkelanjutan (pertumbuhan plus pemerataan atau
redistribusi dan penghapusan kemiskinan, perhatian terhadap
kualitas manusia dan lingkungan hidup) mulai dikenal.
Administrasi pembangunan seringkali terwujud sebagai "proyek
pemerintah" dengan masyarakat sebagai obyeknya --yang tidak
boleh menolak. Misalnya, "pembangunan pengusaha kecil" berarti
dilakukannya pembinaan oleh banyak instansi pemerintah terhadap
pengusaha kecil, sehingga para pengusaha itu justeru mengeluh
karena teralalu sering dibina oleh instansi yang berbeda, yang
memakan banyak waktu tapi dengan hasil yang tidak jelas. Contoh
lain adalah di bidang kesehatan. Program-program pembangunan
kesehatan dilancarkan buka karena masyarakat ingin sehat,
melainkan karena memang pemerintah "harus" menjalankan
program itu dan menjadikan masyarakat sebagai kliennya, sebagai
"saluran bantuan obat yang memang harus disalurkan". Di berbagai
pelosok desa dididik apa yang disebut kader sehat, buka karena
mereka menghendakinya melainkan karena para birokrat lokal
harus melakukan itu untuk membuat "laporan pembangunan
kesehatan". Masyarakat tidak terlibat atau dilibatkan dalam
perumusan program, aspirasinya tersumbat dan tidak berdaya.
Mereka menjadi bersifat tergantung dan menggantungkan-diri
kepada pemerintah, kehilangan daya kritis, pasif dan menunggu.
Aktivitas pembangunan (dari dan oleh pemerintah untuk
masyarakat) jadinya menawarkan proyek-proyek yang seringkali
asing bagi masyarakat penerima, dan inilah yang tampaknya
memupuk rasa frustrasi masyarakat kelas bawah yang terpinggirkan
dan menyulut berlangsungnya banyak protes massal sejak 1992-an.
Lebih dari itu, anehnya, pada tahun 1992 itu kemiskinan dan
keterbelakangan masih tetap merupakan masalah paling nyata di
pedesaan Indonesia, di tengah puja-puji Bank Dunia terhadap
kesuksesan pembangunan Indonesia.
Oleh karenanya tampaknya patut dicurigai bahwa "administrasi
pembangunan" seperti yang dipopulerkan oleh Tjokroamidjojo
sedikit-banyaknya, sengaja atau tidak, berusaha atau minimal
berdampak memberikan legitimasi-intelektual bagi pemerintahan
Soeharto. Dengan kata lain, "administrasi pembangunan"
sebenarnya tidak mengandung pengertian akademik baru kecuali
tidak lebih dari penerapan "administrasi negara" dalam masyarakat
yang dikategorikan sedang "membangun": nation building and

socioeconomic progress, dimana persoalan-antara maupun
-lanjutannya adalah the legitimacy of regime, growth with
distributive justice, social impact of development and partizipation
in the development, sedangkan strateginya adalah ekonomi pasar
yang berencana. Artinya, kedua istilah ini hanya berbeda dalam
lokus-nya sedangkan persoalan fokus- (konseptual)nya adalah sama
saja. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sesungguhnyalah
administrasi pembangunan merupakan suatu bentuk reformasi
administrasi guna menanggapi tantangan negara yang sedang
berkembang.
3. Penyempurnaan administrasi: mengejar efektivitas dan
efisiensi
Pada tahun ke-tiga pemerintahan-transisionalnya Soeharto
mengangkat seorang menteri negara untuk penyempurnaan dan
pembersihan aparatur negara (MENPAN) yang sekaligus menjadi
ketua dari Proyek Efisiensi Aparatur Ekonomi Negara dan Aparatur
Pemerintahan. Proyek ini, yang dikenal dengan nama "Proyek 13",
pada 1969 diganti menjadi "Sektor Aparatur Pemerintah (Sektor P)"
yang bertugas menyempurnakan aparatur pemerintah agar mampu
melaksanakan rencana pembangunan lima tahun (Repelita) dengan
baik --suatu sistem perencanaan negara yang diterapkan sejak 1969
hingga setidaknya 1999. Melihat program-programnya, visi dari
MENPAN sangat menyeluruh, mencakup dua program besar, yakni
organisasi (struktur dan prosedur) dan personalia, dengan sasaran
baik pemerintah Pusat, pemerintah Daerah, perusahaan negara
maupun perwakilan RI di luar negeri.
Pada 1973 kata MENPAN diberi pengertian yang lain: Menteri Negara
Penertiban Aparatur Negara dan sejak 1974 (hingga 1989)
merangkap sebagai Wakil Ketua BAPPENAS --Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional. Istilah yang kemudian gemar diucapkan
pada lima tahun berikutnya adalah: keserasian, keselarasan,
keteraturan, kebulatan dan kemantapan. Pada masa ini, tepatnya
sejak 1977, diberlakukan apa yang disebut "operasi tertib" (Opstib)
untuk menindak mereka yang melakukan korupsi --khususnya
pemerasan dan pungutan liar (pungli). Sama dengan sebelumnya,
kebijakan Menpan diarahkan pada semua aspek administrasi:
kelembagaan, kepegawaian, ketatalaksanaan dan pengawasan.
Kebijakan ini dilanjutkan pada periode lima tahunan berikutnya
(Pelita III, dari 1979 hingga 1984). Pada periode ini penataan
organisasi di Daerah dilakukan dengan empat sasaran:
1. Penegasan susunan organisasi Pemerintah Daerah,
2. Tugas dan wesenang tiap unit organisasi serta tata-kerja dan tata-hubungankerjanya,
3. Peningkatan fungsi lembaga sosial yang ada di Daerah dan
4. Penerapan secara serasi asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas
pembantuan.

Karena dianggap bahwa pengawasan oleh instansi-instansi
pengawasan telah dapat berfungsi dengan baik, pada pertengahan
Pelita III Opstib dihentikan. Sekalipun begitu toh diperlukan lembaga
pengawas baru yang disebut Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) pada 1983 yang merupakan perluasan dari
Ditjen Pengawasan Keuangan Negara. Sejak 1984 (awal Pelita IV)
MENPAN berubah arti menjadi Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara. Perubahan ini dikarenakan fungsinya tidak lagi
melakukan tindakan yang operasional melainkan lebih pada
pembinaan kebijakan-kebijakan di bidang aparatur negara.
Sejak 1989, awal Pelita V, aktivitas MENPAN terkesan lebih
meningkat. Untuk pertama kalinya "peran serta masyarakat dalam
pembangunan" mulai disebut secara khusus, setelah dua puluh
tahun aktivitas "pembangunan" meletakkan masyarakat sebagai
obyek. Pemerintah berusaha untuk "memantapkan perilaku birokrasi
sehingga lebih menunjang prakarsa dan peran serta masyarakat".
Kecuali itu perkembangan yang sangat penting adalah
diintrodusikannya peradilan tata usaha negara. Sekalipun tidak
dapat dinilai sangat efektif, dalam praktiknya kemudian introduksi
ini meningkatkan posisi-tawar masyarakat terhadap birokrasi yang
sewenang-wenang. Dalam perspektif yang luas hal ini merupakan
sebuah langkah positif bagi proses demokratisasi. Dari sudut yang
lain ini dapat dipandang sebagi orientasi birokrasi kepada
masyarakat yang lebih tinggi, apalagi ditambah dengan adanya
program penyederhanaan tatalaksana pelayanan umum. Hingga
1994 disusunlah apa yang disebut program pemacu dan program
penyangga di sektor pendayagunaan aparatur negara. Program
pemacunya ada delapan buah, yakni:
1. Pengawasan melekat (Waskat, sejak 1983, dipertegas lagi
dengan penataran sejak 1989),
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Analisis jabatan,
Penyusunan jabatan fungsional,
Peningkatan mutu kepemimpinan,
Penyederhanaan prosedur kepegawaian,
Penyederhanaan tatalaksana pelayanan umum,
Perancangan sistem informasi administrasi pemerintahan,
Penitikberatan otonomi Daerah di Kabupaten.

Sedangkan program pendukungnya ada sepuluh buah, yakni:
1. Peningkataan kesejahteraan pegawai,
2. Pemurnian pembinaan pegawai,
3. Perampingan birokrasi,
4. Manajemen administrasi pemerintah,
5. Pemasyarakatan budaya kerja (sejak 1991, untuk menunjang Waskat),
6. Pembentukan unit swadana,
7. Penyelenggaraan peradilan tata usaha negara,
8. Pemanfaatan bantuan hibah konsultan asing Asia,
9. Penyeberluasan pemantapan manajemen kantor,
10. Pengembangan program-program PAN di Daerah.

Sebagian dari program "pemacu" di atas terlihat kurang begitu
konsisten dengan program "pendukung". Penyederhanaan
tatalaksana pelayanan umum sebagai "pemacu" kiranya sama
dengan perampingan birokrasi dalam program "pendukung". Selain
itu penerapan peradilan tata usaha negara kiranya lebih layak
disebut program pemacu dibanding program pendukung. (Pada
tahun 1997, yakni empat tahun kemudian, seorang pejabat MenPAN
pada sebuah seminar menata-ulang urutan program itu menjadi
sebagai berikut:
1. percontohan otonomi Dati II,
2.
3.
4.
5.
6.

perampingan organisasi,
kebijakan zero growth,
pemantapan sistem pembinaan karir pegawai,
model pelayanan umum dan
pemadatan hari kerja.)

Sukarno melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan programprogram pemacu di atas, yang beberapa di antaranya disinggung di
sini. Pengawasan melekat menurutnya belum menunjukkan
keberhasilan fisik yang mampu meningkatkan mutu manajemen.
Dia menyebut Keputusan Menpan No. 4 Th 1991 tentang budaya
keja merupakan penguat bagi pengawasan melekat ini. Di dalamnya
terpadukan konsep experiential learning dan total quality
management untuk perbaikan manajemen. Program analisis jabatan
telah melatih 8.000 orang pegawai di seluruh Indonesia, tapi
ternyata mereka belum bisa memanfaatkannya untuk melakukan
perencanaan kepegawaian, pendidikan dan latihan ataupun
merumuskan jabatan fungsional secara lebih tepat. Karena itu perlu
dilakukan perubahan format dan metode analisis jabatan menjadi
lebih sederhana. Sementara itu dalam penyederhanaan tatalaksana
pelayanan umum belum banyak dijumpai kemajuan. Menurut
Sukarno pihak MenPAN telah melakukan pengkajian, inventarisasi
data, memberikan anjuran dan melakukan inspeksi mendadak,
tetapi ini tidak efektif. Hal ini menyangkut peraturan perundangan
yang mengatur prosedur di satu pihak dan --yang lebih
mengemuka-- sikap-perilaku pegawai di pihak lain.
Program pemacu yang terakhir adalah penitikberatan otonomi pada
Kabupaten. Apa yang diidealkan oleh Sukarno, bahwa mulai 1995
(Pelita VI) keseimbangan pengurusan Pusat-Daerah sudah terwujud,
ternyata belum. Penataran tentang UU No. 5 Th. 1974 tentang
pemerintahan daerah telah dilakukan, telah dibentuk DPOD (Dewan
Pertimbangan Otonomi Daerah) yang berisi Depdagri, Departemen
lain, pemerintah-pemerintah Daerah dan MenPAN serta LAN sebagai
pihak netral, tapi hasilnya belum terasa. Departemen teknis,
menurut Sukarno, masih beranggapan bahwa Pemda merupakan
bawahan Depdagri, sehingga mereka enggan mendesentralisasikan
urusannya kepada pemerintah Daerah.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sejak dasawarsa
pertama kemerdekaannya pemerintah Indonesia telah menyadari

perlunya mengadakan perubahan administrasi. Tetapi keinginan
untuk menciptakan sistem administrasi yang rasional, sederhana
dan efisien ternyata tidak terwujud dengan baik. Penyebab yang
dapat diduga adalah, pada dua dasawarsa pertama, kehidupan
politik-administrasi yang masih kuat diwarnai spoil system dan,
pada tiga dasawarsa sesudahnya, sistem politik yang otoritarian
memang memberikan perhatian yang memadai pada perbaikan
sistem administrasi, namun karena birokrasi merupakan aktor
tunggal dalam pembangunan dan kecuali itu dijadikan alat oleh
pemerintah untuk mengontrol masyarakat maka usaha perbaikan
administrasi terkalahkan oleh dan tenggelam dalam pembengkakan
birokrasi (parkinsonisme) dan korupsi serta penyalahgunaan
wewenang lainnya. Ketika pada awalnya Soeharto berusaha untuk
menjadikan pegawai negeri netral dari pengaruh politik, pada
akhirnya pegawai negeri menjadi anggota partai Golkar dan karirnya
seringkali lebih banyak ditentukan oleh prestasinya dalam partai
tersebut. Ini kiranya merupakan ironi, karena salah satu legitimasi
pemerintahan Soeharto adalah teknokratisme --yang mensyaratkan
birokrasi rasional.
Sementara itu dalam hal pemberian wewenang yang lebih besar
kepada Kabupaten ada dua hal yang perlu dikomentari. Pertama,
"kelambatan" ini mungkin tidak disebabkan oleh masalah teknis
seperti disinyalir Sukarno, melainkan karena secara politis belum
dirasakan urgensinya. Disatu pihak pemerintah Soeharto masih
memiliki dana yang memadai untuk membiayai kegiatan
birokrasinya dan di pihak lain tidak ada tekanan yang berarti dari
dunia internasional terutama negara donor untuk melakukan
desentralisasi ini. Bahwa pada awal 1990-an kepedulian terhadap
desentralisasi ini menguat membuktikan dugaan ini, yakni tatkala
dana pemerintah berkurang dan terutama tekanan negara donor
menguat. (Lihat bab terdahulu.)
Mencoba merumuskan visinya, Sukarno melihat perlunya dilakukan
beberapa tindakan untuk memperbaiki mutu pelayanan umum:
1. Keterbukaan dan kemudahan prosedur,
2.
3.
4.
5.

Penetapan tarif yang jelas dan terjangkau,
Keterampilan aparatur dalam teknik pelayanan,
Penyediaan penampungan keluhan masyarakat,
Penciptaan sistem pengawasan berganda terhadap pelaksanaan prosedur
dan
6. Pemasyarakatan budaya kerja yang berorientasi pada kebutuhan
masyarakat.

Visi pelayanan seperti ini tampaknya mendapat pembenaran dari
banyak kalangan. Banyak instansi mulai tertatih-tatih untuk
memperbaiki kualitas pelayanannya: menuju proses administrasi
yang sederhana dan cepat. Tapi kegiatan ke arah itu belum
berlangsung secara meluas, hingga akhirnya setelah terjadi
Gerakan Reformasi Mei 1998 yang melengserkan Soeharto barulah
birokrasi membuka diri untuk memulainya. Salah satunya adalah

Kotamadya Malang yang membangun suatu sistem pelayanan satu
atap yang menyerupai Bürgerbüro di Jerman, dinamai UPMT (Unit
Pelayanan Masyarakat Terpadu). "Bürgerbüro" yang dibuat sejak
1998 ini menyatukan sebanyak 32 jenis layanan (dhi. ijin dan surat
keterangan) dari beberapa instansi di sebuah gedung. Efeknya
bukan hanya penyatuan fisik melainkan juga mendorong tiap
pegawai yang mewakili instansinya untuk bekerja lebih cepat,
menjadikan proses pelayanan lebih transparan sehingga
masyarakat dapat mengontrolnya dan ada kepastian waktu
pengerjaan layanan. Tapi berbeda dengan Bürgerbüro di Jerman
dimana setiap pegawai mengerjakan setiap hal, dalam biro ini
seorang pegawai bekerja mewakili instansinya masing-masing. Unit
semacam ini tampaknya telah mulai dirintis oleh beberapa
kabupaten sejak 1995, yakni bersamaan dengan diperkenalkannya
proyek percontohan otonomi kabupaten, dan diinspirasii oleh SK
MenPAN No. 81/1993 tentang pedoman tata-laksana pelayanan
umum.
Apakah sistem pelayanan satu atap itu telah dijadikan oleh
pemerintah Indonesia sebagai cita-cita? Tidak ada jawaban-persis
yang dapat diberikan. Hanya saja jika kita melihat daftar masalah
adminsitrasi yang dibuat oleh Tjokroamidjojo dan arahan dari
penyempurnaan administrasi yang disusun oleh dua orang penulis
lain di bawah ini, dapat diduga bahwa biro semacam inilah yang
diidealkan oleh pemerintah. Daftar berikut ini memberikan
penekanan yang besar terhadap efisiensi di satu pihak dan kualitas
pelayanan masyarakat di pihak lain.
Masalah administrasi di Indonesia menurut Tjokroamidjojo adalah
atau terletak pada hal-hal sebagai berikut:
1. orientasi kepada status lebih besar daripada orientasi kepada
prestasi,
2. menonjolnya hubungan pribadi dalam rangka hubungan kerja,
3. penyampaian laporan yang baik dan bukannya yang benar,
4. sikap legalistis birokrasi,
5. koordinasi, komunikasi intern dan pengawasan yang buruk,
6. sikap lama penjajahan dan mental etatisme,
7. struktur, kualitas dan penyebaran pegawai,
8. lebih bersihnya pelaksanaan pemerintahan,
9. jam kerja dan sistem gaji,
10. motivasi dan produktivitas,
11. etika, jiwa korsa dan pengabdian,
12. orientasi pelayanan,
13. entrepreneurial,
14. orientasi keadilan,
15. sistem dan proses politik,
16. geografi dan masalah persatuan nasional,
17. struktur pasar,
18. struktur penduduk.

Selanjutnya dikatakan bahwa penyempurnaan administrasi perlu
dilakukan secara terus-menerus untuk menciptakan administrasi

negara yang bersih: bebas dari penyelewengan dan penyimpangan
atau korupsi pada umumnya yang mengakibatkan pemborosan. Dua
tindakan yang perlu dilakukan bersamaan adalah: menyempurnakan
pengawasan di satu pihak dan meningkatkan kesejahteraan
pegawai di pihak lain, kecuali itu perlu disusun manual prosedur dan
persyaratan yang diketahui bersama oleh pihak birokrasi dan
pengguna jasa. Mengutip Hahn Been Lee dan Samonte (1970)
dikemukakan lima alat ukur usaha penyempurnaan administrasi
negara sebagai berikut:
1. penekanan yang baru terhadap program,
2. sikap dan perilaku yang diperbaiki terhadap klien dan anggota birokrasi,
3. perubahan dalam gaya internal administrasi ke arah manajemen yang
komunikatif dan partisipatif,
4. penekanan yang lebih kuat lagi terhadap efisiensi penggunaan sumberdaya,
5. dikuranginya penekanan terhadap hal-hal rutin dan legalistik.

4. Reformasi administrasi: menghapus otokrasi
Ide-ide reformasi administrasi, seperti terlihat di atas, telah mulai
muncul sejak tahun 1970-an, berbarengan dengan konsep
administrasi pembangunan. Sekitar satu dasawarsa kemudian
konsep reformasi memperoleh rumusan yang jelas, misalnya oleh
G.E. Caiden, tapi baru masuk ke Indonesia secara relatif meluas
sejak awal 1990-an. Menurut ide itu, reformasi administrasi dapat
terwujud dalam lima bentuk, yaitu: (a) munculnya inisiatif, upaya
dan agensi publik, (b) proses administrasi yang menjadi sederhana
melalui reorganisasi, redistribusi dan konsolidasi, (c) berkurangnya
pengaturan (deregulasi), (d) berkurangnya prosedur yang
berlebihan (debirokratisasi), dan (e) hubungan birokrasi kepada
publik sebagai pelayan dan bukan sebaliknya. Dari sudut pandang
lain, istilah "reformasi administrasi" menunjuk pada peristiwa
perubahan struktur dan prosedur (dan akibatnya teknik dan budaya)
administrasi guna menyesuaikan diri dengan perkembangan
lingkungannya.
Menurut pengertian ke-dua di atas, per definisi setiap organisasi
negara pastilah dan haruslah mengadakan reformasi setiap saat.
Negara RI pun, seperti diuraikan di depan, selalu mengadakan
reformasi sejak berdirinya, dimulai dengan apa yang disebut
"rasionalisasi" (pengurangan jumlah pegawai, perampingan
struktur). Selanjutnya dalam diskurus tentang administrasi
pembangunan sejak awal 1970-an reformasi administrasi
merupakan salah satu temanya. Namun tema ini dalam wacana
publik Indonesia kurang begitu populer, hingga pada 1984 mulai
dipakai ketika singkatan MENPAN mendapat arti baru, dari Menteri
Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara (1969)
menjadi Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara (1973) hingga
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (1984).
Pendayagunaan yang berarti "peningkatan efektivitas"
menghendaki dilakukannya perubahan atau reformasi administrasi.
Bersamaan dengan itu tuntutan liberalisasi global di satu pihak dan

berkurangnya anggaran pemerintah pada awal 1980-an memaksa
pemerintah melakukan deregulasi dan debirokratisasi. Kemudian
sejak awal 1990-an, bersamaan dengan diskursus tentang
desentralisasi pemerintahan atau otonomisasi Daerah (lihat bab
terdahulu, istilah reformasi administrasi mulai lebih sering
digunakan. Penyebutan istilah reformasi administrasi biasanya
dikaitkan selain dengan tantangan globalisasi pada abad ke-21 juga
dengan tuntutan demokratisasi dan perkembangan sosial ke arah
masyarakat industri dan informasi, yang semuanya mempengaruhi
tuntutan masyarakat atas kualitas pelayanan pemerintah.
Dinyatakan oleh Sukarno, misalnya, bahwa di masa depan teknologi
informasi akan begitu maju yang memungkinkan dilakukannya
paperless administration (administrasi tanpa kertas). Tetapi
anehnya, semua program MENPAN pada 1993 kecuali dua program
yang terakhir berikut ini masih berkutat pada masalah-masalah
lama, yakni: manajemen kantor, klasifikasi jabatan, prosedur
kepegawaian, mutu kepemimpinan, sistem informasi administrasi,
pengawasan melekat, pelayanan masyarakat dan pengembangan
kemampuan Daerah. Sementara Maret 1993 Presiden masih
menekankan lagi perlunya pelaksanaan manajeman modern dengan
enam indikator: perencanaan matang, pelaksanaan tepat,
pengawasan ketat, terkoordinasi, terintegrasi, sinkron. Ini
menandakan bahwa masalah-masalah organisasi "klasik" semacam
itu ternyata belum terkelola dengan baik selama lebih dari duapuluh
tahun pemerintahan Soeharto, yang di dalamnya selalu diucapkan
istilah administrasi pembangunan dan pembangunan administrasi.
Pernyataan Presiden itu juga menunjukkan pengakuan, bahwa
dalam sistem politik dan administrasi yang monolitik selama Orba
ternyata pimpinan administrasi tidak mampu menjamin koordinasi
kerja di antara berbagai departemen dan apalagi menjamin
efektivitasnya. Tesis awal Orba bahwa stabilitas politik dan
demokrasi yang terbatasi akan mampu menjamin administrasi yang
efektif ternyata tidak menemui bukti konkritnya di Indonesia.
Sementara itu dari sisi pandang lain, daftar program MENPAN tadi
barangkali menunjukkan bahwa MENPAN tidak mampu, jika
bukannya tidak berani, mempertajam skala prioritas programnya
pada dua yang terakhir saja, yakni peningkatan kualitas pelayanan
pemerintah dan desentralisasi pemerintahan atau otonomisasi
Daerah.
Diskursus tentang reformasi pada awal 1990-an itu juga merujuk
Taiwan dan Korea Selatan sebagai bandingan bagi Indonesia dalam
hal status industrialisasi mereka. Dikatakan bahwa industrialisasi
yang berhasil di kedua negara itu terbukti menjadikan tuntutan akan
demokrasi yang lebih tinggi, karena organisasi masyarakat semakin
terproliferasi (tidak terpusat sebagaimana dalam masyarakat
agraris tradisional), dan selain itu bersama-sama dengan kemajuan
teknologi informasi dan munculnya generasi baru industrialisasi itu
juga mendorong proses civilization yang lebih cepat. Oleh karena itu
reformasi administrasi harus diarahkan pada pemberian

kesempatan bagi partisipasi masyarakat melalui keterbukaan
mekanisme pemerintahan, deregulasi dan desentralisasi serta
pemerataan kesempatan berusaha dan kompetisi yang adil namun
dibarengi dengan proteksi terhadap mereka yang masih lemah.
Tampaknya deregulasi dan debirokratisasi itulah yang menjadi
tujuan dari reformasi administrasi sebagaimana diinginkan oleh
banyak pakar. Artinya pemerintah harus mengakaji-ulang perannya
dalam penyediaan pelayanan publik, untuk kemudian menyerahkan
sebagian besar peran itu kepada swasta dan lembaga swadaya
masyarakat (LSM). Selain karena krisis anggaran pemerintah, juga
pada dasarnya karena masyarakat sejak dulu telah melakukan
pemenuhan-sendiri kebutuhan-kebutuhan mereka, baik mandiri
maupun melalaui organisasi sosial seperti Muhammadiyah,
Nahdhatul Ulama dan Gereja. Karenanya pemerintah perlu
melakukan kemitraan dengan swasta dan LSM itu --berbagi
tanggungjawab dalam penyediaan pelayanan publik. Selain
bekerjasama, kemitraan ini dapat pula bersifat kompetitif:
pemerintah dan swasta menyediakan pelayanan publik yang sama,
dan mereka yang lebih "baik"-lah yang harus dibiarkan untuk
berjalan terus. Dengan kompetisi semua pihak akan terdorong untuk
meningkatkan daya-tanggap, kualitas dan efisiensi pelayanannya.
Masing-masing dapat belajar dari yang lainnya, terutama
pemerintah yang akan terdorong untuk belajar nilai-nilai
kewirausahaan dari swasta.
Jika visi di atas dapat berjalan, maka pemerintah akan berperan
tidak terutama sebagai penyedia pelayanan publik melainkan
terkonsentrasi pada: menetapkan agenda dan prioritas pelayanan
publik, menentukan standar performans, memonitor hasil kerja dan
memberikan insentif serta sanksi pada para penyedian layanan
publik itu. Namun harus dicatat, bahwa pengalihan peran
pemerintah kepada swasta itu harus belangsung secara transparan,
agar supaya berlangsung kompetisi yang sehat di antara swasta
sendiri dan agar tidak terjadi kolusi antara pemerintah-swasta yang
biasanya akan merugikan masyarakat pengguna layanan. Untuk
menjamin transparansi ini kontrol dari birokrasi dari level yang lebih
tinggi, kontrol politik dan kontrol masyarakat harus diusahakan
untuk dapat berlangsung dengan lancar. Dengan kata lain,
masyarakat harus diberdayakan, daya kritis mereka harus dibiarkan
untuk berkembang, karena kalau tidak --sebagaimana
pembangunan top-down yang bias kepada lapisan mampu-privatisasi sebagai pilihan reformasi juga berpotensi untuk
menjadikan pelayanan pubil bias kepada mereka yang kaya juga.
Dalam konteks inti dari reformasi adalah bahwa birokrasi
mendorong munculnya inisiatif, karsa dan upaya masyarakat
sendiri.
Jadi, seperti ditunjukkan dalam bab sebelumnya, ketika dari
kepentingan pemerintah, reformasi (deregulasi dan debirokratisasi)
perlu dilakukan karena kondisi finansial Negara yang memburuk,
dari kepentingan masyarakat, reformasi (desentralisasi dan

demokratisasi) diperlukan karena selama ini masyarakat telah
"dimatikan" oleh pemerintah. Dalam batas tertentu, hal ini
merupakan paradoks lain dari pembangunan: ketika pada awalnya
pemerintah "menstabilkan" masyarakat untuk pasif menerima
aktivitas pembangunan oleh pemerintah, pada akhirnya masyarakat
mengalami mobilitas sosial berupa "kemajuan-kemajuan" dalam hal
tingkat pendapatan, tingkat melek huruf, tingat sentuhan terhadap
media massa dan juga tingkat urbanisasi, dan ini semua berbalik
menjadi "bumerang" bagi pemerintah yang didesak untuk
membebaskan masyarakat dari intervensinya yang berlebihan (lihat
Gambar 5.2). Selama pemerintah aktif melancarkan program
pembangunan masyarakat telah berkembang sehingga memiliki
kesadaran dan kemampuan politik yang lebih tinggi, muncul kelas
menengah yang independen, sehingga artikulasi politik masyarakat
lebih kuat, memunculkan desakan kepada pemerintah untuk
menjamin hak-hak sipil seperti kebebasan pers dan berorganisasi.
Jadinya reformasi administrasi di Indonesia semestinya diarahkan
kepada dua aspek. Pertama, secara internal reformasi administrasi
hendaknya diarahkan pada usaha memantapkan pembangunan
nilai-nilai birokrasi modern (tindakan organisasi yang rasional,
efisien, legal, pasti dan terukur, serta sikap pegawai yang disiplin,
tekun, teliti, cermat, bersemangat dan berorientasi pada prestasi)
guna mencabut nilai-nilai tradisional, feodal, patrimonial dan
aristokratik (tindakan atau keputusan organisasi yang bersifat
personal, lisan, tak pasti, tak terukur serta sikap pegawai yang yang
tak disiplin, malas dan minta dilayani). Budaya malu harus diganti
dengan budaya bersalah, hal-hal ritual yang terwujud secara
ekstrem sebagai theatrical state hendaklah dikurangi ke arah hal-hal
yang substansial. Di pihak lain yang tak terlepas dari aspek ini, kedua, secara eksternal reformasi administrasi harus diarahkan pada
usaha untuk menjamin berlangsungnya demokrasi perumusan
kebijakan publik dalam suatu masyarakat industri, teknologi dan
informasi. Fungsi birokrasi sebagai pangreh pradja (abdi negara
yang mengatur masyarakat, memaksa dan wajib ditaati) hendaknya
diganti menjadi sebagai pamong pradja (abdi masyarakat yang
melayani kebutuhan publik bersama-sama dengan publik itu
sendiri), hubungan pemerintah-masyarakat yang patron-klien
hendaknya diganti dengan hubungan yang sederajat dalam suatu
civil society.
Namun kehati-hatian harus diterapkan dalam hal yang pertama.
Ialah bahwa tidak semua nilai tradisional harus dibuang, bahkan
mereka dapat dipandang bukan sebagai kendala dan hambatan
yang perlu disingkirkan melainkan justru sebagai cultural resources.
Nilai-nilai paternalisme dan solidaritas sosial yang kuat, misalnya,
dapat dimanfaatkan untuk mobilisasi massa guna mencapai tujuantujuan masyarakat yang "baik", budaya malu dapat
ditransformasikan alat kontrol yang baik bagi birokrasi. Sementara
itu nilai-nilai priyayi yang positif, seperti tekun, loyal, integritas
pribadi dan keluhuran budi pun dapat dipertahankan dan

dikembangkan, sebagaimana di Jepang nilai-nilai tradisionalnya
dapat dimanfaatkan untuk menciptakan kemakmuran masyarakat.
Nilai-nilai tradisional Jepang itu adalah familiisme (tempat kerja
dianggap sebagai milik keluarga sendiri, yang kepadanya seorang
pegawai mempersembahkan hampir seluruh komitmennya) dan
akibatnya kesetiaan seumur hidup kepada tempat kerja (sangat
jarang terjadi perpindahan bidang atau tempat kerja), gerontokrasi
(senioritas sangat dihargai) dan penghormatan pada konsensus
(pembagian kerja tidak kaku).
5. Pembaharuan (modernisasi) administrasi: menyambut
globalisasi
Pada Mei 1995 PERSADI (Perhimpunan Sarjana Administrasi
Indonesia) menyelenggarkaan sebuah seminar untuk mengawali
konggresnya yang ke-tiga. Organisasi yang para pengurusnya terdiri
dari pejabat pemerintah ini, waktu itu diketuai Mustopadidjaja AR,
staf senior Bappenas, berusaha untuk merumuskan kembali model
administrasi negara RI yang terbaik untuk menghadapi apa yang
disebutnya era globalisasi dan informasi. Mengingat karakteristik
anggotanya, Persadi membuat butir-butir rekomendasi yang secara
"bahasa" lunak, yakni pembaharuan atau modernasisasi. Kedua
istilah ini sebenarnya bukan barang baru, karena keduanya telah
menjadi inti dari gerakan pembangunan, namun isi rekomendasi itu
relatif progresif: mengurangi intervensionisme pemerintah selama
era pembangunan sebelumnya. Pengurangan intervensi ini pun
bukan barang baru, karena deregulasi dan debirokratisasi telah
dimulai oleh pemerintah pada 1983, ketika terjadi krisis penurunan
harga minyak. Jadinya ide-ide yang berkembang hanyalah
penekanan dari ide sebelumnya, presentasi dengan bahasa yang
berbeda, jika bukannya --secara tidak langsung-- berusaha
mengevaluasi dan mengritik ketidakberhasilan pemerintah selama
masa sebelumnya dalam merealisasi ide-idenya sendiri. Berikut ini
pemikiran yang terumuskan dalam seminar.
Seminar yang bertema "Modernisasi Administrasi Menghadapi
Globalisasi Menyukseskan PJP-II" itu memanfaatkan pidato Presiden
empat sebelumnya di Bogor dalam pembukaan penataran P4 bagi
para pejabat eselon I sipil maupun militer sebagai rujukannya.
(Melihat isinya, pidato ini tampaknya dipersiapkan oleh para
pengurus Persadi sendiri.) Pidato di bulan Januari itu diucapkan
setelah pada bulan Nopember tahun sebelumnya di kota yang sama
berlangsung konferensi APEC (Asia-Pasific Economic Cooperation).
Pada penataran P4 yang dilakukan enambelas tahun setelah
penataran P4 yang pertama 1978 itu ditegaskan perlunya
kesadaran akan munculnya zaman baru: kehidupan akan semakin
terbuka karena arus informasi menjadi begitu cepat (sarananya
adalah radio dan televisi, belum disebut adanya internet) dan akan
terbentuk rezim perdagangan bebas dunia. Dalam zaman baru ini
tugas negara yang utama berubah menjadi hanya penyedia saranasarana "utama" dan --yang lebih penting-- pemberi arah, pencipta
peluang, pemberi dorongan dan pengayom berlangsungnya

prakarsa dan kreativitas masyarakat. RI sebagai negara kesatuan
hanya akan merasa berkewajiban menjaga kesatuan politik,
moneter, diplomasi dan pertahanan-keamanan, sedangkan
masyarakat akan dibiarkan mandiri lewat pemberian otonomi dan
desentralisasi maupun deregulasi dan debirokratisasi yang telah
dilakukan sejak 1983.
Indonesia akan memasuki era perdagangan bebas dunia, dimulai
dari level AFTA (Asean Free Trade Agreement) sejak 2003, APEC
sejak 2010 dan dunia (lewat WTO, World Trade Organisation) sejak
2020. Perdagangan dunia yang bebas ini "mau tidak mau, suka
tidak suka, siap tidak siap" harus kita masuki, dan kita tidak perlu
risau, karena "bangsa kita adalah bangsa wiraswasta, yang terbiasa
merantau berlayar dan berniaga ke negeri-negeri yang jauh." Hanya
saja, karena semua itu bisa mengarah kepada liberalisme, perlu
dikembangkan model-model kemitraan antara pengusaha besar,
menengah dan sedang sesuai dengan asas kekeluargaan. Selain itu
masyarakat harus siap secara teknis dan profesional, disamping
secara ideologis, politis, ekonomis dan sosial budaya. Daya saing
masyarakat dan Negara harus ditingka