DAYA SAING TENAGA KERJA INDONESIA DALAM

eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2015, 3 (1): 117-130
ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org
© Copyright 2015

DAYA SAING TENAGA KERJA INDONESIA DALAM
MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA)
M. Ari Sabilah Rahman1
NIM. 0702045090

Abstract
This study aims to: First, identify the competitiveness position of Indonesian labor
compared to major ASEAN countries (Singapore, Malaysia, Thailand). Secondly,
to analyze what is policy planned of Indonesian government in an effort to
improve the competitiveness of Indonesian labor in the face and won the
competition of AEC 2015. Descriptive methods has used in this research such as
depict images, tables, and specific data. The data analysis technique used in this
study is qualitative descriptive analysis techniques, namely by describing the data
in narrative and percentages and were compared. Later analyzes of existing
sources of data that are related to the problems studied. The results showed that:
First, the competitiveness of Indonesian workers in the ASEAN Economic
Community that will take in early 2015, based on the vision and mission of

ASEAN, is still not ready to show the performance compared to the major
countries of ASEAN (Singapore, Malaysia, Thailand ). Second, the policy
increased competitiveness of labor needs to be applied in terms of education,
labor productivity, and wages.
Key Words : Competitiveness, Labor, ASEAN Economic Community
Pendahuluan
Globalisasi telah menjadi isu utama dari perkembangan dan kemajuan negara.
Salah satu perkumpulan negara-negara yang diperhitungkan adalah ASEAN
(Association of South East Asian Nation). Tujuan dibentuknya ASEAN sendiri
tercantum dalam Deklarasi Bangkok yaitu untuk: (a) Mempercepat pertumbuhan
ekonomi, kemajuan sosial serta pengembangan kebudayaan kawasan; (b)
Meningkatkan perdamaian dan stabilitas regional; (c) Meningkatkan kerja sama
yang aktif dan saling membantu dalam bidang ekonomi, sosial, teknik, iptek, dan
administrasi; (d) Memelihara kerja sama erat dan berguna dengan berbagai
organisasi internasional dan regional.

1

Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Mulawarman. Email: arisabilahrahman@yahoo.com


eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 1, 2015 : 117-130

Salah satu isu yang sangat strategis untuk didiskusikan adalah terkait
implementasi
Masyarakat
Ekonomi
ASEAN
(MEA)
yang
akan
diimplementasikan mulai tahun 2015. MEA pada dasarnya ialah upaya untuk
membentuk pasar bebas antara negara-negara Asia Tenggara, misalnya bea masuk
barang dan jasa akan dihapus. Ini akan berdampak terhadap arus lalu lintas produk
dari negara ASEAN, termasuk dalam hal ini ialah tenaga kerja. Pada era pasar
bebas ASEAN 2015, semua negara ASEAN akan berkompetisi memperebutkan
lapangan kerja yang ada. Negara dengan kompetensi SDM tinggi akan mendapat
kesempatan lebih unggul mendapatkan keuntungan ekonomi dalam MEA
Negara-negara di ASEAN bebas untuk masuk bekerja ke negara tujuannya.
Dengan kata lain, tenaga kerja terampil dari negara ASEAN akan memasuki pasar

kerja di Tanah Air. Masuknya tenaga kerja asing ke Indonesia akan menjadi
ancaman apabila tenaga kerja Indonesia tidak memiliki kemampuan yang
sebanding untuk bekerja di negara lain.
Menurut Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Indonesia masih sangat kekurangan
tenaga kerja terdidik. Sebagai contoh, untuk setiap satu juta penduduk, Indonesia
hanya memiliki 164 insinyur. Sementara di Malaysia, jumlah insinyur mereka
sudah mencapai 50 persen dari total penduduknya. Direktur Utama PT Telkom
Indonesia, Arief Yahya, memprediksi bahwa Indonesia akan bersaing dengan
Filipina. Menurutnya, ribuan tenaga kerja asal Manila tersebut akan masuk ke
Indonesia memperebutkan kesempatan kerja yang terbuka pada bidang-bidang
strategis. Tenaga kerja asal Filipina memiliki kemampuan berbahasa Inggris jauh
lebih bagus dari pekerja Indonesia dan mau dibayar dengan upah lebih murah
Merujuk pada survei Forum Ekonomi Dunia (WEF) tahun 2012, Indonesia
menduduki peringkat ke-50 dari 144 negara yang disurvei. Tahun ini Indonesia
mengalami penurunan indeks daya saing global, dari posisi ke 46 (2011) menjadi
ke 50 (2012). Peringkat terbaik Indonesia adalah pada tahun 2010 (ke 44), yang
meloncat dari posisi ke 54 dari tahun sebelumnya. Jika diranking pada level
ASEAN, Indonesia berada pada peringkat kelima. Indonesia masih kalah dari
Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam dan Thailand. Negara tetangga TimorLeste menempati urutan terakhir (ke 136) di ASEAN. Negara-negara ASEAN
yang mengalami kenaikan indeks daya saing terbesar sejak 2008 adalah

Kambodia (24 tingkat), Brunei Darussalam (11), Filipina (6), Indonesia (5) dan
Singapura (3). Sedangkan Malaysia, Thailand, Vietnam dan Timor Leste
mengalami
penurunan
peringkat
daya
saing
selama
2008-2012.
http://www.bappenas.go.id/blog/penurunan-peringkat-daya-saing-indonesiatahun2012/
Melihat data penurunan daya saing yang terus terjadi, menjadi suatu pertanyaan
apakah Indonesia sudah siap atau tidak dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi
ASEAN. Khususnya menyangkut isu daya saing tenaga kerja Indonesia yang
masih rendah produktivitasnya dan masih kerap munculnya konflik upah. Data
dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyatakan kondisi

118

Daya Saing TKI Menghadapi MEA (M.Ari Sabilah Rahman )


ketenagakerjaan di Indonesia berada dalam kuadran kritis. Hal ini disebabkan oleh
dua hal. Pertama, jumlah pengangguran yang semakin besar. Kedua, keterampilan
dan kompetensi sumber daya manusia masih belum optimal. Hal ini semakin
dilemahkan dengan belum maksimalnya pemerataan sertifikasi profesi tenaga
kerja, khususnya pada sektor-sektor padat karya.
Kerangka Dasar Teori
1. Teori Daya Saing Tenaga Kerja
Daya saing tenaga kerja, menurut Porter, ialah produktivitas seseorang dalam
menghasilkan output. Dengan kata lain semakin banyak output yang dihasilkan
per pekerja maka semakin produktif atau memiliki daya saing (Porter, 1990).
Konsep ini pada dasarnya secara tradisional dan filosofis sudah dikemukakan
oleh Adam Smith dalam bukunya “The Wealth of Nations”. Smith mengatakan
bahwa suatu negara yang maju harus dapat melakukan spesialisasi
kerja/pembagian kerja atau fokus pada apa yang benar-benar menjadi
spesialisasinya. Spesialisasi, kerja sama, dan pertukaran kontribusi pada
kemajuan perekonomian dunia, membuka jalan menuju kemajuan di masa
depan. (Drake, K. 1998).
Daya saing tenaga kerja umumnya mengikuti pendekatan ekonomi. Daya saing
ini dipengaruhi oleh upah yang mencerminkan harga daripada tenaga kerja itu
sendiri. Semakin tinggi upah, semakin tinggi produktivitas dan daya saing

tenaga kerja. Sebaliknya semakin rendah upah, semakin rendah produktivitas
dan daya saing itu sendiri. Penelitian yang pernah dilakukan di Malaysia
menunjukkan bahwa upah dan produktivitas memiliki hubungan yang positif,
demikian pula sebaliknya. Selain itu, daya saing tenaga kerja juga dipengaruhi
oleh skill (keterampilan) dan pendidikannya (Dessler, et al, 2004).
Daya saing global pada dasarnya berhubungan dengan biaya, sehingga yang
memenangkan kompetisi adalah negara yang mampu memasarkan produk
dengan harga paling rendah atau kualitas terbaik. Biaya berhubungan dengan
harga faktor-faktor input (seperti nilai tukar, upah domestik, biaya material),
produktivitas, kemampuan untuk memproduksi barang berkualitas, biaya
transportasi, biaya komunikasi, kendala perdagangan, strategi perdagangan dan
kemampuan untuk memenuhi spesifikasi pasar.
Daya saing ekonomi komparatif sebuah negara sangat dipengaruhi oleh
efisiensi penggunaan sumberdaya khususnya tanah, tenaga kerja dan modal.
Sementara pendekatan daya saing kompetitif kesempatan bisnis, kebijakan
yang berlaku dan distorsi harga perbedaan kualitas produk dan kemampuan

119

eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 1, 2015 : 117-130


memasarkan. Keunggulan kompetitif berkaitan dengan skala ekonomi,
economy of scope dan posisi di pasar.
Besarnya kecilnya jumlah tenaga kerja yang digunakan sebagai input dari
kegiatan ekonomi bergantung kepada seberapa besar permintaan dan
penawaran tenaga kerja pada pasar tenaga kerja di suatu wilayah. Permintaan
dan penawaran tenaga kerja dipengaruhi oleh tingkat upah umum yang berlaku
di pasar tenaga kerja.
Tenaga kerja adalah penduduk yang sudah berusia 18 tahun ke atas yang
dipandang siap secara fisik dan mental untuk bekerja dengan mendapat
imbalan tertentu sesuai dengan kesepakatan dan ketentuan pemerintah.
2. Liberalisasi Pasar ASEAN
Literatur yang membahas mengenai liberalisasi sering menyamakan liberalisasi
dengan semakin terbukanya perekonomian suatu negara dan semakin
berorientasi ke luar (outward-oriented). Pengertian dari kebijakan liberalisasi
adalah kebijakan perdagangan yang diambil suatu negara yang mencerminkan
pergerakan ke arah yang lebih netral, liberal atau terbuka. Secara khusus,
perubahan ke arah yang semakin netral tersebut meliputi penyamaan insentif
(rata-rata) di antara sektor-sektor perdagangan.
Suatu negara dianggap menjalankan kebijakan liberalisasi perdagangan apabila

terjadi pengurangan tingkat intervensi secara keseluruhan serta pengurangan
hambatan-hambatan dalam perdagangan. Selain itu, kebijakan yang liberal juga
dapat ditandai melalui semakin pentingnya peranan perdagangan dalam
perekonomian.
Orientasi kebijakan perdagangan suatu negara diukur berdasarkan tingkat
struktur proteksi dan sistem insentif yang diberlakukan. Bank Dunia
mengklasifikasikan negara-negara dalam kelompok berdasarkan orientasi
perdagangan untuk melihat performa ekspor menjadi empat kelompok yaitu
negara-negara kuat yang berorientasi keluar (strongly outward oriented
countries), negara-negara moderat yang berorientasi keluar (moderately
outward oriented countries), negara moderat yang berorientasi ke dalam
(moderately inward oriented countries), negara-negara kuat yang berorientasi
ke dalam (strongly inward oriented countries).
Indonesia pada periode tahun 1963-1973 masuk dalam kelompok moderately
outward oriented sedangkan pada tahun 1973-1985 menjadi moderately inward
oriented. World Bank menyimpulkan bahwa negara yang tergolong outward

120

Daya Saing TKI Menghadapi MEA (M.Ari Sabilah Rahman )


oriented memiliki performa lebih baik daripada negara yang inward oriented.
Ekspansi ekspor berhubungan dengan kebijakan liberalisasi yang identik
dengan usaha peningkatan ekspor untuk meningkatkan pendapatan nasional.
Alasan diberlakukannya ekspansi ekspor adalah memungkinkan terciptanya
arus modal internasional dan jaringan pertukaran keterampilan, teknologi, dan
manajemen. Strategi tersebut juga akan menciptakan kesempatan kerja yang
lebih besar bila dibandingkan dengan substitusi impor. Hal ini dikarenakan
ekspansi ekspor lebih bersifat padatkarya dan sangat berperan dalam
penyerapan tenaga kerja. Keuntungan dari ekspansi ekspor adalah dapat
meningkatkan pemasukan negara berupa cadangan devisa. Namun, strategi ini
berpotensi meningkatkan pengeluaran untuk impor seiring dengan kenaikan
pendapatan suatu negara yang pada akhirnya akan menimbulkan defisit pada
neraca perdagangan.
Dikaitkan dengan ASEAN, liberalisasi semakin diterima dengan disepakatinya
kawasan perdagangan bebas di ASEAN. Meskipun tidak semua negara
bersedia menghilangkan hambatan perdagangan. hambatan itu mulai dari
masih banyaknya negara yang berniat menjalankan hambatan non-tarif untuk
memproteksi pasar dalam negeri masing-masing. Demikian pula dari kalangan
pebisnis, masih ada ketidakrelaan membiarkan perusahaan negara ASEAN

lainnya memasuki pasar mereka.
Politik liberalisasi memiliki sisi positif dan negatif. Dari sudat pandang positif
ini akan menguntungkan karena ada persaingan kompetitif antar perusahaan.
Selain itu, biaya barang dan jasa semakin murah. Namun, selalu akan ada pihak
yang kalah seiring liberalisasi tersebut.
3. Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pemerintah juga dinamakan kebijakan publik yang berarti: “Public
policy is the study of governments decision and actions designed to deal with
matter of public concern.” Sementara Dye (Winarno, 2002) mengatakan bahwa
kebijakan publik merupakan hal berkenaan dengan apa yang dilakukan
pemerintah; bagaimana mengerjakannya; mengapa perlu dikerjakan; dan
perbedaan apa yang dibuat. Dengan kata lain dapat dimaknai bahwa kebijakan
pemerintah merupakan pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu bagi kepentingan publik.
Kebijakan pemerintah memiliki definisi baku sebagai suatu keputusan yang
dibuat secara sistematik oleh pemerintah dengan maksud dan tujuan tertentu
yang menyangkut kepentingan umum. Ciri utama kebijakan pemerintah/publik

121


eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 1, 2015 : 117-130

adalah “formulated; implemented; and evaluated” (Lester, James P and
Stewart, J. 2000)
Pembahasan
A. Daya Saing Tenaga Kerja Indonesia dalam Kerangka ASEAN Economic
Community 2015
Dari sisi pendidikan daya saing tenaga kerja Indonesia dan negara-negara
utama ASEAN (Singapura, Malaysia, Thailand) diukur dengan
membandingkan rasio angkatan kerja yang memiliki pendidikan level
Diploma/Universitas dengan total angkatan kerja. Dari hasil perhitungan,
rata-rata (selama tahun 2007-2012) rasio angkatan kerja berpendidikan tinggi
di Indonesia adalah sebesar 7,02. Sementara negara seperti Singapura dan
Malaysia memiliki rasio masing-masing sebesar 26,92 % dan 23 %. Thailand
sendiri memiliki 13,38 %.
Tabel 1.
Persentase Rasio Angkatan Kerja Berpendidikan Tinggi (Diploma/Universitas) terhadap
Total Angkatan Kerja, Tahun 2007-2008

Tahun

Indonesia Filipina Malaysia Singapura

2007
6,50
21,20
20,30
2008
7,10
21,70
21,20
2009
7,10
22,30
23,40
2010
7,10
22,10
24,20
2011
7,12
23,60
24,50
2012
7,20
24,40
24,40
Posisi/Ranking
4
5
2
Daya Saing
Sumber: World Bank data base, ASEAN (diolah)

Thailand

23,70
25,80
26,70
27,60
28,30
29,40

14,90
15,50
16,00
16,80
17,10

1

3

Data ini menjelaskan secara nyata bahwa daya saing tenaga kerja Indonesia,
dari sisi pendidikan tinggi (Diploma/Universitas) adalah masih yang terendah
posisinya dibandingkan negara-negara pesaing utama yaitu Singapura,
Malaysia, dan Thailand.
Analisa peneliti ini berkesesuaian dengan apa yang disampaikan oleh Core
Institute Indonesia bahwa sekitar 67 persen dari 240 juta penduduk Indonesia
berpendidikan paling tinggi SMP, sementara Singapura 80 persen tingkat
pengangguran didominasi lulusan perguruan tinggi. Analisa ini dapat menjadi
faktor yang merugikan Indonesia jika AEC berjalan pada 2015. Karena
sebagaimana yang ditetapkan dalam MRA, ada penentuan standar dan
persyaratan lainnya yang diterapkan baik di negara penerima maupun di

122

Daya Saing TKI Menghadapi MEA (M.Ari Sabilah Rahman )

negara asal. Keberadaan sumber daya manusia yang berkualitas, kompeten
dan terampil mutlak diperlukan untuk bersaing di era AEC. Hambatan pekerja
Indonesia di era internasionalisasi semacam AEC ialah mengenai bahasa dan
perbedaan peraturan kerja, maka perlu ditingkatkan kemampuan bahasa dan
pemahaman
aturan
di
negara-negara
ASEAN.http://www.tribunnews.com/nasional/2013/12/17/kualitaspendidikan-tenaga-kerja-indonesia-masih-rendah.
Jika kita bandingkan rasio angkatan kerja di Indonesia dengan negara utama
ASEAN lainnya yang telah berpendidikan menengah (secondary education)
maka Indonesia tetap berada di belakang Singapura dan Malaysia. Rasio
Indonesia adalah 22,41 persen atau berada pada posisi ketiga. Singapura
menduduki posisi pertama dengan rasio sebesar 49,43 persen. Malaysia
menempati posisi kedua dengan rasio sebesar 47,80 persen.
Masyarakat Indonesia dinilai belum siap untuk menghadapi perdagangan
bebas pada 2015. Hal itu disebabkan, kualitas pendidikan tenaga kerja
Indonesia masih kurang dibanding dengan negara lain. Rena Usman, Direktur
Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi (Kemenakertrans), mengatakan selama program dan
mahalnya uang pendidikan belum bisa diatasi pemerintah, masyarakat
Indonesia masih jauh tertinggal dari negara lain. Sistem pendidikan kita
belum bisa mempersiapkan mereka (tenaga kerja) untuk terakses kepada
lapangan kerja.
Daya saing tenaga kerja juga ditinjau dengan menggunakan ukuran
produktivitas tenaga kerja pada sektor perekonomian (pertanian, industri
pengolahan/manufaktur, dan jasa-jasa). Tabel menunjukkan bahwa daya saing
tenaga kerja Indonesia dari sisi pertumbuhan produktivitasnya berada pada
ranking ketiga atau rata-rata sebesar 3,60 persen.
Daya saing tenaga kerja tertinggi adalah Malaysia dan Singapura dengan ratarata sebesar 4,17 persen dan 3,63 persen. Indonesia dalam hal ini bisa
bersaing dengan Thailand dan masih unggul dari negara-negara non-utama
ASEAN yang lain yaitu Kamboja, Filipina, dan Vietnam (lihat Tabel 2).
Tabel 2.
Rata-rata Pertumbuhan Produktivitas Tenaga Kerja Tahunan (%)

Tahun
2004
2005

Indonesia Filipina
8,670
7,188
9,140
7,398

Malaysia
21,400
22,394

Thailand
14,215
14,591

Sing
45,392
48,122

123

eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 1, 2015 : 117-130

Tahun Indonesia Filipina Malaysia Thailand
2006
9,491
7,677
23,118
15,122
2007
9,642
7,958
23,962
15,690
2008
9,960
8,163
24,826
15,611
2009
10,186
8,024
23,920
15,157
2010
10,474
8,401
23,728
16,152
2011
11,002
8,457
24,226
15,988
2012
11,461
8,667
24,857
16,764
Rerata
10,003
7,993
23,603
15,477
Posisi
Daya
4
5
2
3
Saing
Sumber: World Bank data base, ASEAN (diolah)

Sing
47,345
49,069
45,955
44,756
48,981
49,704
49,719
47,671
1

Data yang peneliti dapatkan dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
menggambarkan struktur tenaga kerja Indonesia memang masih didominasi
oleh tenaga kerja berpendidikan rendah (SD dan SMP). Jumlah angkatan
kerja per Agustus 2012 sebesar 118,05 juta, Sekolah Dasar (SD sebanyak
82,10 juta, lulusan SMP adalah 38,57 juta, dan lulusan SMA adalah sebanyak
27,65 juta, lulusan SMK adalah 13,54 juta. Adapun untuk lulusan Diploma
dan 8,17 juta lulusan Sarjana. Struktur pendidikan tenaga kerja seperti ini
disinyalir menjadikan daya saing dan produktivitas serta penghasilan tenaga
kerja Indonesia relatif rendah. Fakta ini senada dengan apa yang disampaikan
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia untuk
bidang tenaga kerja. Bahwa masalah ketenagakerjaan di Indonesia di
antaranya ialah kompetensi dan produktivitas yang relatif rendah.
Sekretaris Jenderal Organisasi untuk Kerja Sama dan Pengembangan
Ekonomi (OECD), Angel Gurria, mengatakan bahwa tingkat rata-rata
produktivitas buruh di seluruh sektor di Indonesia masih sangat rendah. Jika
dikomparasikan misalnya dengan Malaysia yang dianggap relevan sebagai
pesaing Indonesia. Kontribusi tenaga kerja Indonesia terhadap produk
domestik bruto (PDB) adalah 6.000 dollar Amerika Serikat (AS), sedangkan
di Malaysia 14.000 dollar AS.
Faisal mengatakan, pemerintah harus mencari solusi untuk meningkatkan
produktivitas melalui pelatihan kepada buruh, seperti penguasaan bahasa
asing atau keterampilan dalam menggunakan teknologi. Jika tidak dilakukan
Indonesia akan dibanjiri tenaga tenaga atau buruh hebat dari negara lain serta
mendapatkan fasilitas terbaik. Sedangkan buruh Indonesia bekerja di negara

124

Daya Saing TKI Menghadapi MEA (M.Ari Sabilah Rahman )

lain tanpa mendapatkan fasilitas karena produktivitasnya masih dianggap
kurang memiliki daya saing.
Hasil ini paralel dengan beberapa rujukan dari media massa yang
mendokumentasikan respon dari pasar terhadap produktivitas tenaga kerja
Indonesia. Misalnya dalam sektor tekstil dan produk tekstil, indeks
produktivitas tenaga kerja jauh dibandingkan rata-rata ASEAN. Menurut
Sekretaris Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia, produktivitas produksi
baju tenaga kerja Indonesia adalah delapan potong per jam, sementara ratarata negara ASEAN lain sudah mampu 12 potong per jam kerja. Sementara
itu, untuk produktivitas jam kerja, TKI, kata Ernovian, hanya memiliki 40
jam kerja per minggu atau terpaut delapan jam dari rata-rata ASEAN yang
memiliki 48 jam kerja per minggu. Indonesia hanya unggul di level operator
mesin ke bawah. Untuk level manajemen ke atas masih sangat kekurangan
SDM berkualitas, posisi ini yang bisa berpeluang diduduki oleh tenaga kerja
asing.
Daya saing tenaga kerja Indonesia dan negara-negara utama ASEAN
(Singapura, Malaysia, Thailand) ditinjau dari sisi upah dapat dilihat pada
Tabel 3. Indikator upah diukur dengan membandingkan besarnya upah
dengan total penduduk yang bekerja sehingga didapatkan angka rasio yang
ideal. Berdasarkan perhitungan tersebut maka rata-rata (selama tahun 19972012) rasio upah tertinggi adalah terdapat pada negara Malaysia yaitu 74,37
persen. Selanjutnya adalah Singapura (74,37 persen) dan Thailand (41,73
persen). Sementara Indonesia berada pada urutan terakhir yaitu sebesar 31,57
persen.
Tabel 3.
Persentase Rasio Upah / Gaji Negara Utama ASEAN
terhadap total penduduk yang bekerja

1997

Indonesia
Upah / Gaji
(% dari total
tenaga kerja)
35,50

Malaysia
Upah / Gaji
(% dari total
tenaga kerja)
74,50

Singapura
Upah / Gaji
(% dari total
tenaga kerja)
86,10

Thailand
Upah / Gaji
(% dari total
tenaga kerja)
37,70

1998
1999
2000

32,90
33,10
32,80

73,40
74,70
74,30

85,50
84,40
-

36,50
38,30
39,60

2001

33,30

75,40

84,60

40,40

2002

32,30

76,70

84,90

40,00

2003

31,00

76,20

85,10

40,50

Tahun

125

eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 1, 2015 : 117-130

Tahun

Indonesia
Upah / Gaji
(% dari total
tenaga kerja)

Malaysia
Upah / Gaji
(% dari total
tenaga kerja)

Singapura
Upah / Gaji
(% dari total
tenaga kerja)

Thailand
Upah / Gaji
(% dari total
tenaga kerja)

2004

31,90

74,60

84,40

43,80

2005

33,60

75,50

-

43,70

2006

33,90

74,30

84,90

43,70

2007

34,00

74,20

84,70

43,60

2008

32,60

74,60

84,90

43,20

2009

33,40

74,80

85,20

44,60

2010

35,40

74,30

85,50

44,40

2011

39,40

76,60

85,00

44,00

2012

39,40

74,90

84,70

43,70

Rerata
Posisi/Ranking
Daya Saing

31.57

74.94

74.37

41.73

4

1

2

3

Sumber: World Bank data base, ASEAN (diolah)

Hasil ini menggambarkan bahwa daya saing tenaga kerja Indonesia jika
dilihat dari sisi upah terhadap negara-negara utama di ASEAN adalah sangat
rendah. Malaysia menduduki peringkat tertinggi, yang berarti bahwa negara
tersebut paling tinggi daya saingnya relatif terhadap negara-negara utama
ASEAN yang lain dari sisi upah. Singapura menduduki tempat kedua negara
yang memiliki daya saing tinggi setelah Malaysia dari sisi upah.
Menurut kajian dari Lembaga CORE Indonesia, sebagaimana yang
disampaikan oleh Hendri Saparini, bahwa di wilayah ASEAN dari sisi upah
minimum Indonesia memang masih unggul atas negara lain misalnya:
Vietnam, Myanmar, dan Laos. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan
Malaysia, Thailand, atau Filipina, terlebih lagi dengan Singapura ataupun
China.
Data pada Tabel dapat menunjukkan informasi yang bermanfaat tentang
mengapa upah di Indonesia tidak jauh lebih baik dibandingkan Malaysia,
Singapura, dan Thailand. Rasio pekerja di sektor pertanian di Indonesia ratarata selama tahun 1991-2012 adalah sebesar 42,15 persen atau berada di
tempat ketiga setelah Thailand dibandingkan negara ASEAN lainnya.
Thailand misalnya yang perekonomiannya juga berbasis pertanian memiliki
persentase rasio pekerja pertanian tertinggi yaitu 47,20 persen.

126

Daya Saing TKI Menghadapi MEA (M.Ari Sabilah Rahman )

Singapura dan Malaysia, mayoritas penduduknya bekerja pada sektor jasa
yaitu masing-masing sebesar 58,63 persen dan 50,32 persen. Hal inilah yang
menyebabkan tingkat upah di kedua negara tersebut tertinggi di ASEAN. Ini
sesuai dengan keadaan bahwa pada di kedua negara ini, Singapura dan
Malaysia, memiliki persentase pekerja di sektor pertanian yang paling rendah
yaitu masing-masaing sebesar 0,61 persen dan 15,83 persen.
B. Upaya Indonesia Dalam Meningkatkan Daya Saing Tenaga Kerja
Menjelang Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015
Dari paparan sebelumnya dapat kita ambil kesimpulan bahwa daya saing
tenaga kerja di Indonesia termasuk rendah jika diukur dengan menggunakan
indikator pendidikan, produktivitas, dan upah. Dalam kerangka Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA), rendahnya daya saing tenaga kerja Indonesia ini
justru menjadi ancaman yang merugikan Indonesia. Hal ini karena kebebasan
mobilitas faktor produksi (modal dan tenaga kerja) merupakan hal yang
dipersyaratkan dalam MEA. Dengan kata lain jika tidak bisa bersaing,
Indonesia hanya akan menjadi pasar bagi negara-negara utama ASEAN lain,
khususnya dalam konteks arus bebas tenaga kerja terampil/profesional (free
flow of skilled labor).
1. Kebijakan Daya Saing Tenaga Kerja dari Sisi Pendidikan
Peningkatan daya saing tenaga kerja Indonesia dari sisi pendidikan dalam
rangka menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN telah dilakukan melalui
kebijakan dari kementerian terkait. Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Indonesia dan Kamar Dagang Industri Nasional (KADIN)
telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) telah
menetapkan beberapa kebijakan dalam rangka peningkatan daya saing
tersebut. Hal ini dituangkan di antaranya ialah:
a. Peningkatan kualitas tenaga kerja melalui pengembangan sistem
pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi. Contohnya ialah telah
diimplementasikan dengan membentuk Lembaga Sertifikasi Profesi
(LSP) di bawah naungan dari Asosiasi-asosiasi profesi bidang.
b. Dalam sistem berbasis kompetensi ini terdapat tiga komponen yang
saling berhubungan yaitu standar kompetensi, pelatihan berbasis
kompetensi,
dan
sertifikasi
kompetensi.
Contoh
yang
diimplementasikan dengan menghubungkan kebijakan kurikulum
pendidikan vokasional perawat (SMK, Diploma), lembaga sertifikasi
profesi (Kementerian Kesehatan), dan penyelenggaran sertifikasi di
Indonesia2.

127

eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 1, 2015 : 117-130

Berdasarkan data BPS sebelumnya, sumber daya manusia Indonesia belum
mampu menghadapi era MEA karena hampir 50 persen angkatan kerja
lokal hanya lulusan Sekolah Dasar (SD). Lulusan perguruan tinggi juga
hanya berkisar 10 persenan3.
Adapun kebijakan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui
Kepala Pusat Pengembangan Profesi Pendidikan, yaitu :
a. Menyusun kurikulum 2013 untuk menjawab persoalan SDM dalam
menghadapi industri dan pasar bebas. Kurikulum ini berisikan banyak
perubahan dan menekankan pada skill, knowledge, dan attitude dari
pendidikan dasar hingga pendidikan menengah atas.
b. Kurikulum 2013 diarahkan pada orientasi keterampilan tertentu
c. Memfokuskan pada kurikulum di perguruan tinggi berbasis kompetensi
dan sertifikasi internasional.
d. Penguasan soft skill dan bahasa Inggris.
2. Kebijakan Daya Saing Tenaga Kerja dari Sisi Produktivitas
Menurut BNP2TKI, tenaga kerja Indonesia memiliki potensi yang unggul
melebihi tenaga kerja dari negara-negara lain. Masalahnya ialah belum
adanya pemberdayaan yang optimal yang membuat dampaknya tidak
begitu terlihat. Keunggulan TKI adalah tekun, ulet, telaten dan sabar.
Namun yang lebih penting lagi ialah faktor budaya daerah di Indonesia
banyak digemari oleh bangsa-bangsa di dunia. Dengan kata lain jika
keunggulan ini dipadukan dengan keahlian mereka, maka TKI akan dapat
bersaing dengan negara-negara lain.
Yue (2013) dalam Keliat, et al. (2013) menyatakan bahwa terdapat faktor
yang dapat menghambat mobilitas tenaga kerja berkeahlian yaitu : (i)
Kebijakan proteksi yang berlaku di setiap negara; (ii) disparitas yang
tinggi antara upah dan kesempatan kerja yang tersedia; (iii) geographical
proximity dan lingkungan sosial budaya serta bahasa; (iv) disparitas
perkembangan sektor pendidikan di antara negara di ASEAN4.
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Indonesia telah menetapkan
beberapa kebijakan dalam rangka peningkatan daya saing tenaga kerja dari
sisi produktivitas ini di Indonesia dalam menghadapi MEA.
Adapun kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia terkait
tenaga kerja dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN ialah:
a. Mempercepat pelaksanaan Sertifikasi Internasional dalam bidangbidang tertentu: arsitek, tenaga konstruksi, operator alat berat, tenaga

128

Daya Saing TKI Menghadapi MEA (M.Ari Sabilah Rahman )

perawat, guru, dokter, akuntan, tenaga pariwisata, pertanian, ekonomi,
petugas pengoperasian traktor.
b. Memproteksi jabatan-jabatan pekerjaan terampil tertentu dengan
menerapkan kualifikasi-kualifikasi pada setiap sektor ekonomi.
c. Merevisi Undang-Undang Ketenagakerjaan Indonesia khususnya Pasal
39 terkait dengan penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia
(TKI).
3. Kebijakan Daya Saing Tenaga Kerja dari Sisi Upah
Kebijakan daya saing upah tenaga kerja di Indonesia, pada dasarnya sangat
berkaitan dengan produktivitas tenaga kerja sendiri. Dengan kata lain
semakin tinggi produktivitas yang dihasilkan, semakin besar potensi
kenaikan upah yang didapatkan. Sehingga kebijakan peningkatan
produktivitas inilah yang akan berkorelasi positif dengan upah.
Data tahun 2012 menunjukkan bahwa upah tertinggi > Rp 2.000.000
umumnya diisi oleh tenaga kerja yang memiliki level pendidikan
Universitas, SMA/SMK, dan Diploma/Akademi. Hal yang cukup menarik
adalah masuknya kelompok tenaga kerja berpendidikan SMA/SMK ke
dalam strata upah terbesar mengindikasikan semakin prospektifnya daya
saing lulusan SMA/SMK dalam mendapatkan level upah yang memadai di
pasar kerja.
Dapat kita perhatikan bahwa mayoritas angkatan kerja di Indonesia adalah
lulusan Sekolah Dasar (SD). Hal inilah yang menyebabkan semakin
sulitnya menaikkan daya saing tenaga kerja dari sisi upah. Karena
pendidikan rendah, menyebabkan produktivitas rendah, dan produktivitas
rendah menyebabkan upah yang rendah. Kebijakan dari Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan dalam rangka mempercepat angkatan kerja
terampil dan produktif dengan memperbesar lulusan Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) yang keluarannya ialah memiliki sertifikasi kompetensi
dan diakui di tingkat internasional, khususnya pada bidang-bidang yang
disepakati. Kemudian membangun akademi komunitas dan pendidikan
diploma yang fokus pada orientasi keterampilan.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
Pertama, Daya saing tenaga kerja Indonesia dalam menghadapi Masyarakat
Ekonomi ASEAN yang akan diberlakukan pada awal tahun 2015, berdasarkan visi

129

eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 1, 2015 : 117-130

dan misi ASEAN, masih belum menunjukkan performa yang siap dibandingkan
negara-negara utama ASEAN lainnya (Singapura, Malaysia, Thailand).
Kedua, Kebijakan peningkatan daya saing tenaga kerja dalam menghadapi MEA
merupakan hal yang urgen dan sesegera mungkin diterapkan. Kebijakan tersebut
menyangkut sisi pendidikan, produktivitas tenaga kerja, dan upah. Dari sisi
pendidikan, pengembangan sistem pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi
serta penerapan kurikulum 2013 yang menekankan pada skill, knowledge, dan
attitude merupakan penekanan utama. Dari sisi produktivitas, mempercepat
pelaksanaan Sertifikasi Internasional dalam bidang-bidang tertentu: arsitek, tenaga
konstruksi, operator alat berat, tenaga perawat, guru, dokter, akuntan, tenaga
pariwisata, pertanian, ekonomi, petugas pengoperasian traktor. Dan dari sisi upah,
karena korelatif dengan produktivitas maka mempercepat angkatan kerja terampil
dan produktif dengan memperkuat kelembagaan seolah-sekolah vokasi dan
memperbesar lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang keluarannya ialah
memiliki sertifikasi kompetensi dan diakui di tingkat internasional, khususnya
pada bidang-bidang yang disepakati merupakan langkah jangka pendek yang
konkret dapat dilakukan untuk mempercepat daya saing tenaga kerja Indonesia
dari sisi upah.
Daftar Pustaka
Buku-Buku :
Porter, Michael. 1990. Competitive Advantage on Nations. New York: Free Press
Dessler, G., Griffiths, J & Llyod-Walker, B. 2004. Human Resource Management
(2nd Edition). Pearson: Australia
Drake, K. 1998. Firms, Knowledge and Competitiveness. The OECD Observer
211: 24-26
Lester, James P and Stewart, J. 2000. Public Policy: An Evolutionary Approach.
The University of California: Wadsworth Thomson Learning.
Keliat, M., Virgianita, A., Choiruzzad, S. A., dan Aryanto, A. C. 2013. Pemetaan
Pekerja Terampil Indonesia dan Liberalisasi Jasa ASEAN. Laporan
Penelitian ASEAN Study Center UI bekerja sama dengan Kementerian Luar
Negeri Republik Indonesia.
Website :
Penurunan Peringkat Daya Saing Indonesia Tahun 2012. Tersedia di
http://www.bappenas.go.id/blog/penurunan-peringkat-daya-saing-indonesia-tahun2012/diakses pada tanggal 16 Desember 2013

Kualitas Pendidikan Tenaga Kerja Indonesia. Selasa, 17 Desember 2013.
http://www.tribunnews.com/nasional/2013/12/17/kualitas-pendidikan-tenaga-kerjaindonesia-masih-rendah. Diakses pada tanggal 25 Maret 2014

130