PEMBINAA KEPATUHAN PESERTA DIDIK PADA NO

PEMBINAA KEPATUHAN PESERTA DIDIK PADA NORMA
SEKOLAH
(Studi Kualitatif Penataan Situasi Pendidikan oleh Guru di SMU KOPRI
Banjarmasin)
Sarbaini

Abstrak : Penelitian ini untuk memperoleh deskripsi mengenai penataan situasi
pendidikan yang dilakukan sekolah/guru dalam membina kepatuhan peserta didik pada
norma sekolah. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif, dengan tipe
penelitian observational case studies. Sampel didasarkan pada pertimbangan reputasi
sekolah dibanding beberapa SMU Swasta lainnya yang ada di Kotamadya Banjarmasin.
Subjek penelitian pimpinan sekolah, guru yang relatif senior dan aktif-terlibat dalam
membina kepatuhan peserta didik pada norma sekolah, serta peserta didik. Teknik
pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara, dan studi dokumenter. Hasil
peneletian menunjukkan penataan situasi sekolah melalui penataan fisik ruang-ruang
dan sosio-psikologis yang dimaksudkan untuk menciptakan situasi yang memberikan
iklim tertentu yang mengundang, makin menumbuh-kembangkan dan meningkatkan
dorongan diri peserta didik untuk mematuhi norma.

Kata Kunci : pembinaan, kepatuhan, peserta didik, norma sekolah


PENDAHULUAN
Indikasi bahwa di suatu sekolah telah tumbuh dan berkembang nilai disiplin
dalam perilaku peserta didiknya antara lain terdapatnya perilaku patuh pada norma
sekolah. Kepatuhan peserta didik pada norma sekolah, akan mewujudkan lingkungan
sekolah yang tertib, teratur, tentram, efektif dan efisien dalam mencapai tujuannya.
Penumbuhkembangan kepatuhan peserta didik pada norma sekolah di tingkat SMU
menjadi lebih urgen, karena peserta didik umum berada dalam taraf transisi, baik fisik,
sosial maupun emosional, dan pada kondisi yang “rawan”.
Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pada SMU di berbagai kota
memperlihatkan adanya perilaku peserta didik yang kurang disiplin di lingkungan sekolah
(Jurusan PBB FIP IKIP Bandung, 1988; Bahri, 1994:6). Adanya perilaku peserta didik
yang tidak patuh pada norma yang berlaku, tidak hanya di dalam lingkungan sekolah,
bahkan juga di luar sekolah (Liwoso, 1989:2; Pikiran Rakyat, 1994:4), tapi juga
menimbulkan keresahan dan pertanyaan.
Pertama, munculnya anggapan yang menyatakan bahwa “sekolah-sekolah kita
dewasa ini, sangat mengabaikan fungsi sosialisasi” (Bahtiar, 1993) atau “karena
alasan-alasan pembangunan telah memaksa sekolah dan guru-guru lebih mengejar
kepada kualifikasi akademik dan profesional, mengajar di pandang lebih krusial dari
mendidik” (Tim IKIP Jakarta, 1990:26-27). Kedua, mengapa perilaku peserta didik
demikian. Apa sebenarnya yang dilakukan sekolah/guru dalam membina kepatuhan

peserta didik pada norma sekolah? Oleh karena itu, masalah yang perlu penelaah adalah
“Bagaimana sebenarnya situasi pendidikan yang dibina sekolah/guru dalam membina

kepatuhan peserta didik pada norma sekolah, khususnya dalam hal penataan fisik, sosial
dan osikologis yang dilakukan sekolah”?
TINJAUAN PUSTAKA
Sekolah dan Sosialisasi Norma
Sekolah menurut Dewey mempunyai dua fungsi utama yakni fungsi
psikologis dan fungsi sosial. Dengan demikian, sekolah berfungsi selain membimbing
perkembangan kondisi psikologis, juga membantu mempersiapkan peserta didik sebagai
anggota masyarakat bagi kehidupan masyarakat mendatang (Darmodiharjo, 1981:19).
Jadi kata Hetherrington dan Parke (1979) dapat dikatakan sekolah mempunyai peluang
besar dalam mempengaruhi perkembangan anak (Larner dan Hultsch, 1983:272). Atau
menurut Hirst, ia sebagai organisasi yang memiliki beberapa tujuan dalam
mempersiapkan manusia” (Kay, 1975:204), dalam arti sebagai tujuan untuk
mengembangkan kualitas pribadi, termasuk penanaman nilai-nilai dan norma-norma”
(Cotgrove, dalam Kay, 1975:205), dan berotientasi pada norma tertentu (Breckenbridge,
1966:146).
Sekolah dalam melakukan sosialisasi norma, tidak hanya mempersiapkan
peserta didik agar memiliki norma-norma, namun juga sebagai pribadi yang mampu

menumbuhkan, memelihara dan mengembangkan norma-norma pada dirinya selaras
dengan perannya di sekolah dan di masyarakat. Sosialisasi norma di sini tidak bermakna
pencelupan aatau peleburan diri anak (Soelaeman, 1994:89), tetapi mengembangkan “diri
kreatif” (Supratiknya, 1993:251) peserta didik.
Norma bagi Kazt dan Kahn merupakan aturan-aturan yang mengatur
prosedur suatu organisasi sosial (Cohen dan Manion, 1980:323), sebagai aturan main
dalam bentuk peraturan, ketetapan dan hukum yang tertulis, untuk menilai tindakan dan
kelompok, dan standar yang mentukan apa yang benar dan salah, tepat dan tidak tepat,
adil dan tidak adil maupun baik dan buruk dalam hubungan sosial(Looms, 1960:16),
sebagai keharusan yang bersifat operasional, karena adanya sanksi (Djahiri, 1985:20).
Kepatuhan Peserta Didik pada Norma Sekolah
Kepatuhan terjadi dalam situasi-situasi di mana seseorang dengan
sungguh-sungguh menghendaki orang-orang lain agar berperilaku dalam berbagai cara
(Barn dan Byrne, 1974:281). Namun, kepatuhan dalam dimensi pendidikan adalah
kerelaan dalam tindakan terhadap perintah-perintah dan keinginan dari kewibawaan
seperti dari orang tuan atau guru (Good, 1973:392). Jadi munculnya kepatuhan adalah
karena kewibawaan (Webb,1981:5). Tingkat kesadaran dari kepatuhan seseorang
berdasarkan teori perkembangan moral Kohlberg, berkembang (Djahiri, 1985:25), dari
karena takut pada, kekuasaan atau paksaan, ingin dipuji, kiprah umum, adanya aturan
hukum, adanya manfaat dan kesenangan, memuaskan baginya, hingga sampai kepada

tingkat karena dasar prinsip etis yang layak secara universal.
Situasi Pendidikan
Situasi pendidikan bagi Linschoten dan Langeveld (Soelaeman, 1985:18)
adalah suasana di mana kita berada tidak secara ‘objektif’ dalam arti dapat diukur dan

ditimbang, melainkan sebagaimana ia hayati, sebagai keseluruhan pengalaman dari
orang-orang yang bersangkutan dimana mereka melakukan tindakan-tindakan tertentu.
Penataan situasi pendidikan tidak terlepas pada 3 aspek yang saling terpadu, yaitu
penataan situasi fisik, sosial dan psikologis.
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh deskripsi
mengenai penataan situasi pendidikan yang dilakukan sekolah/guru dalam membina
kepatuhan peserta didik pada norma sekolah, meliputi penataan fisik, sosial dan
psikologis. Sedangkan manfaat yang diharapkan adalah memberi sumbangan dan
masukan kepada sekolah terhadap berbagai upaya nyata yang dilakukan guru dalam
membina perilaku disiplin, khususnya kepatuhan peserta didik pada norma sekolah
melalui penataan situasi sekolah secara fisik, sosial dan psikologis.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif, dengan tipe penelitian
studi kasus, yang mengacu pada tipe studi kasus dari Bogdan dan Biklen (1982:59-61),

salah satunya adalah observastional case studies. Lokasi penelitian SMU Swasta KOPRI
Kotamadya Banjarmasin. Pemilihan sampel sekolah didasari pertimbangan reputasi
sekolah dibanding beberapa SMU Swasta lainnya yang ada di Banjarmasin, terutama
yang seusianya. Selain itu, pendapat masyarakat di lingkungan sekolah itu dan
kemudahan serta keramahan yang diberikan (Lighfoot, 1983:11). Hal demikian juga
dilakukan oleh dalam menentukansekolah yang menjadi lokasi penelitian. Subjek
penelitian adalah pimpinan sekolah, guru yang relatif senior dan aktif terlibat dalam
membina kepatuhan peserta didik pada norma sekolah, serta peserta didik. Teknik
pengumpulan data adalah menggunakan teknik observasi, wawancara, dan studi
dokumenter. Teknik pengumpulan data terpenting adalah peneliti sendiri sebagai
pengumpul data penelitian, karena alat pengumpul data yang paling tepat pada penelitian
kualitatif adalah manusia (Hadisubroto, 1988:10).
Dengan mengacu pada kriteria-kriteria dari Lincoln dan Guba (1985:20) dan
Moleong (1988:147), penetapan keabsahan data hasil penelitian dilakukan atas
berdasarkan atas kriteria-kriteria berikut; Kredibilitas melalui member check dan
triangulasi, Transferabilitas, Dependabilitas dan Konfirmabilitas, yang ditempuh melalui
proses audit trail. Analisis data dilakukan melalui tahapan reduksi data dan tahapan
penafsiran data.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Situasi Fisik, Sosial dan Psikologis

Pada bagian depan seklah, sebelum memasuki lingkungan sekolah berdiri
pintu gerbang bergaya rumah Banjar. Di bagian atasnya terdapat tulisan “SMA KORPRI
BANJARMASIN”. Setelah itu, saat akan memasuki lingkungan sekolah memanjang
pagar kayu ulin yang menjadi batas lingkungan sekolah. Di bagian belakang pagar

terdapat pos piket bermotif rumah Banjar, sejajar dengannya terletak bangunan yang
terdiri dari ruang guru dan labotarium IPA.
Seluruh halaman depan dan sampingnya, di dalam pagar terdapat berbagai
tanaman bunga dan di sepanjang koridor bangunan itu terdapat deretan kursi, serta pada
setiap pintu kelas terdapat tong sampah dari plastik. Pada halaman samping ruang kepala
sekolah menuju kantin dan bagian depannya juga ditanami dan disusun pot aneka
tanaman bunga.
Penempatan ruang guru di bagian depan berhadapan dengan pintu pagar
sekolah adalah dengan maksud agar dapat memantau sekaligus mengawasi peserta didik
keluar masuk lingkungan sekolah (BAH, ID, RID, SOF, KHA). Deretan kursi di
sepanjang koridor adalah menciptakan kondisi, agar pada waktu istirahat para peserta
didik dapat duduk di situ, dengan secara tidak nyata dapat memonitor perilaku dan
mengenal mereka, khususnya dalam hal pakaian, juga memberikan rasa aman pada
peserta didik, karena pada jama istirahat mereka tidak boleh ada di dalam kelas. Jadi
walaupun tidak berbelanja, mereka dapat duduk-duduk saja di luar, dan mencegah hal-hal

yang tidak diinginkan (BAH, ID, RID, SOF).
Penempatan ruang perpustakaan di pertengahan banguna sekolah dan
berdampingan dengan ruang BP/UKS, dimaksudkan selain sebagai ruang baca, juga
berperan sebagai tempat peserta didik mengerjakan tugas, baik dalam rangka mencari
bahan maupun karena menjalani suatu sanksi. Ruang baca ditata secara terbuka, sehingga
guru-guru yang melewati perpustakaan akan melihat dengan jelas siapa yang ada di ruang
baca dan tidak ada peluang menjadi tempat persembunyian peserta didik. Di samping itu,
karena letaknya berdampingan dengan ruang BP/UKS, maka secara tidak langsung
petugas BP dapat memantau para peserta didik yang akan pergi ke WC maupun melihat
suasana di kantin sekolah (BAH, ID).
Penempatan ruang kepala sekolah yang berdekatan dengan kantin sekolah
dan ruang tata usaha di ujung belakang sekolah, dimaksudkan agar peserta didik
terkondisikan ke bagian belakang sekolah, jauh dari pintu pagar, karena pintunya hanya
satu, juga perilaku peserta didik akan termonitor. Penempatan ruangan ini adalah untuk
mengantisipasi peserta didik yang ada di kantin pada jam-jam belajar dan takut
berlama-lama di kantin (BAH, RID).
Tata Krama Siswa. Peserta didik yang baru duduk di kelas 1, rata-rata sudah
diberikan masing-masing naskah tata tertib dan tata krama (ID, RID). Selain pengenalan
aturan formal tentang situasi sosial psikologis, para guru juga mempunyai pandangan
masing-masing dalam memupuk hubungan sosial psikologis antara guru dengan peserta

didik. Misalnya BAH, memupuk dengan prinsip: “siswa langsung mendapatkan
pelayanan dari guru, guru siap melayani. Hal demikian dilandasi oleh iklim
kekeluargaannya lumayan baik”.
Upaya lain yang dilakukan guru dalam memupuk situasi sosial psikologis
antara guru dan peserta didik antara lain melalui himbauan kepala sekolah dalam setiap
kali rapat bulanan kepada guru, khususnya wali kelas minimal setiap minggu, hari Sabtu
memberi nasehat, kalau bisa kumpul-kumpul di hari minggu.
Di dalam kelas dalam memupuk situasi sosio-psikologis dilakukan guru
secara bervariasi bentuknya dari yang monoton; dinamis dengan banyak tanya jawab dan
selingan teguran secara halus (MZA), ataupun banyak selingan yang lucu, membuat kelas
penuh tawa (RM), bahkan ada kelas yang penuh dinamik, hangat dan aktif.

Dari hasil observasi terhadap perilaku peserta didik di sekolah, suasana riang
pada saat jam istirahat. Kalau mau masuk pintu, mengetuk pintu mengucapkan
‘assalammua’alaikum’ berdiri saat guru memasuki kelas, menyalami guru saat pulang
pada jam terakhir. Bersama-sama para guru membersihkan lingkungan sekolah dan taman
masing-masing, khususnya setiap pagi Jum’at dan saat lomba kelas 7 K. Saat berbicara
dengan guru, mengucapkan ‘ulun’ untuk menunjuk diri pribadi dan ‘inggih’ dalam
mengiyakan, dan bersikap hormat.
Landasan kebijakan penataan situasi fisik, sosial dan psikologis untuk

pembinaan norma kepatuhan pada peserta didik, antara lain adalah program 7 K
(ketertiban, keamanan, kebersihan, keindahan, kekeluargaan, kerindangan, dan kesehatan)
dan hasil rapat bulanan sekolah (BAH, RID). Semua tindakan penataan situasi fisik,
sosial dan psikologis didasari oleh konsensus, kebersamaan dalam kebijakan dan tidakan.
Menurut peserta didik, hubungan antara mereka dengan guru dalam situasi
sosio-psikologis dirasakan mereka baik, terbuka dan wajar. Dalam melaksanakan
kegiatan di sekolah, mereka selain menyuruh, tetapi juga ikut terlibat bersama kami
dalam kegiatan tersebut, misalnya aksi kebersihan, kesegaran jasmani dan pertandingan
olah raga antar kelas (PH, FAH).
Pembahasan
Penataan situasi fisik sekolah melalui penataan ruang-ruangnya mempunyai
tujuan dan maksud tertentu, demikian juga penataan situasi sosio-psikologis terhadap
upaya-upaya yang dilakukan guru maka tujuan dan maksud tertentu yang diinginkan,
dapat dikenal, diketahui dan di’baca’ peserta didik, yakni untuk menciptakan situasi yang
memberikan iklim yang tertentu bagi pengembangan diri masing-masing, baik guru
maupun peserta didik. Dalam hal ini situasi yang mengundang, makin
menumbuh-kembangkan dan meningkatkan dorongan diri peserta didik untuk mematuhi
norma sekolah. Jadi upaya-upaya yang dilakukan secara sadar dan mempunyai
maksud-maksud dan tujuan tertentu. Hal ini memperkuat kembali apa yang dikemukakan
oleh Soelaeman (1988:57-58) bahwa segala aktifitas dan kreatifitas manusia itu, baik

yang motorik, yang psikologis, bahkan yang bercorak filsafi, bukannya sembarang,
melainkan selalu terarah, memiliki maksud dan tujuan tertentu. Penyadaran akan tujuan
dapat membantu orang dalam mengarahkan dan merencanakan perilakunya dan berfungsi
sebagai pedoman untuk mempersatukan langkah dan upayanya dalam mencapai tujuan
tersebut.
Beberapa upaya yang dilakukan guru dalam menata situasi fisik,
sosio-psikologis di sekolah merupakan isyarat bahwa tugas mereka tidak hanya mengajar,
tetapi bagian dari upaya mendidik. Karena upaya yang dilakukan diarahkan kepada
pencapaian maksud dan tujuan tertentu yang penuh dengan muatan norma-norma tertentu
pula.
Ruang yang ditata bukan hanya ruang fisik semata, tetapi ruang juga
mengandung nuansa sosio-psikologis, karena menurut Brouwer (1983:65) ruang
merupakan hal yang luas yang di dalamnya segala hal diberi tempat. Ruang ialah syarat
yang harus dipenuhi supaya manusia bisa bergerak.
Ruang yang ditata dengan baik dan memperhatikan kebutuhan peserta didik,
maka ruang itu akan mengundang peserta didik untuk berperan serta di dalamnya, bukan

hanya sekedar mematuhi, tetapi benar-benar ingin ikut aktif terlibat di dalam ruang itu.
Manakala peserta didik tidak hanya membaca apa yang diinginkan oleh para guru dari
penataan ruang itu, tetapi mampue berdialog dengan tatanan ruang tersebut, sebab sesuai

dengan kebutuhannya, maka mendorong peserta didik untuk terlibat aktif dengan apa
yang diinginkan dari penataan tersebut.
Jika demikian adanya, terjadinya ‘pertemuan internasional’ (Soelaeman,
1985:177) atau ‘fenomena self’ (Lindgren, 1976:34) sebagai suatu tingkat keterhunian
suatu lingkungan atau ruang, yaitu bila yang bersangkutan merasa terlibat di dalamnya,
menghayatinya tidak lagi sebagai ruang tataan guru, tetapi ruang milik mereka sendiri.
Jadi, penataan ruang-ruang fisik dan interaksi sosial psikologis yang terjadi di dalamnya,
tidaklah selalu berada dalam keadaan apa adanya, tetapi memuat ‘sesuatu’ yang ingin
dituju, karena menurut Soelaeman (1994:88), anak tidak dididik dalam ruang dan
keadaan abstrak, melainkan selalu di dalam dan diarahkan kepada suatu kehidupan
masyarakat tertentu.
Namun demikian, dalam penataan situasi sosial psikologis antara guru dan
peserta didik, tidak lepas dari peran status formalnya, karena perilaku manusia ditentukan
oleh struktur dan fungsi-fungsi, demikian menurut funcitonalism structural theory
(Parsons, 1951:12). Dengan demikian perilaku ataupenampialn guru dalam memupuk
situasi sosial psikologisnya dengan peserta didik di sekolah, juga dipengaruhi oleh
struktur sekolah sebagai lembaga birokrasi dan fungsi-fungsinya yang harus dijalankan
dan diperankan oleh guru.
Di samping itu, dilihat dari analisis “social fact” Durkheim (1973:24),
bahwa ada “social fact” yang mengatur tindakan manusia. Sekolah adalah sebuah
masyarakat yang memiliki sistem sosial tersendiri dan penampilan warga sekolah, dalam
hal ini situasi sosial psikologis antara guru dan peserta didik, akan dibatasi
“rule-governed behavior ” oleh sistem sosial itu.
Oleh karenanya dalam penataan situasi sosial psikologis nampak
mempunyai keterkaitan dengan konsep “social distance” (jarak sosial). Artinya menurut
Adiikarta (1988:105), betapa pun akrabnya hubungan guru dengan pelajar, ia akan selalu
mempertahankan suatu jarak tertentu, meskipun sifatnya relatif dan sangat pribadi. Guru
tidak mungkin melarutkan diri sepenuhnya ke dalam lingkungan pelajar. Dapat dikatakan
bahwa dalam penataan situasi sosial psikologis antara guru dengan peserta didik di
sekolah, diharapkan guru harus tetap mempertahankan posisinya sebagai pembimbing
bagi peserta didik dalam proses sosialisasi dan individualisasi norma-norma yang berlaku
di sekolah.
Penataan situasi fisik, sosial dan psikologis di lingkungan sekolah, dengan
demikian bukanlah tidakan yang tidak berdasar, akan tetapi merupakan upaya-upaya
tertentu dalam mencapai tujuan dan maksud, artinya upaya tersebut dilandasi oleh alasan
dan motif tertentu. Sebab situasi sebagai suasana di mana kita berada, tidak secara
objektif dalam arti dapat diukur dan ditimbang, melainkan sebagaimana ia hayati
(Kouwe-Linschoten, 1956:92; Soelaeman, 1985:18), dan menurut Langeveld (1056:10;
Soelaeman, 1985:18) merupakan keseluruhan pengalaman dari orang-orang yang
bersangkutan di mana mereka melakukan tindakan-tindakan tertentu.
Dengan kata lain, situasi yang telah ditata, mampu menumbuhkan dialog
peserta didik dengan situasi tersebut, kemudian situasi itu mendorongnya untuk
berperilaku sebagaimana norma yang ditata dalam situasi sekolah, baik fisik, sosial

maupun psikologis. Situasi demikian berarti melahirkan iklim yang mampu mengundang
peserta didik untuk berperilaku patuh pada norma sekolah. Karena iklim menurut
Lindgren (1976;Soelaeman, 1994:157) memberikan kondisi bagi lahirnya perilaku terentu
pada mereka yang ada di dalamnya.
Pembinaan yang dilakukan sekolah dalam bentuk penataan situasi sekolah
berupa fisik, sosial psikologis adalah berlandaskan pada suatu kebijakan, yakni dari
Permen No. 19 tahun 1990 yang menyangkut tentang Wawasan Wiyata Mandala dan Tata
Krama Pergaulan Siswa, program 7 K dan hasil rapat bulanan sekolah. Adanya kebijakan
demikian menunjukkan, penataan situasi yang dilakukan betul-betul mempunyai landasan,
selain maksud dan tujuan. Landasan kebijakan merupakan fondasi dalam menentukan
upaya-upaya yang dilakukan dalam mencapai maksud dan tujuan. Karena landasan
kebijakan tersebut berfungsi sebagai “principium rationis sufficientis” (Soelaeman,
1988:65), yakni dasar yang mencukupi penuturan atau penjabarannya secara rasional.
Prinsip ini merupakan dasar rasional yang terjabar dari pada suatu tindakan. Menurut
Langeveld (1951:10; Soelaeman, 1988:66) adalah tidak dibenarkan untuk menyatakan
suatu pandangan atau pendapat yang tidak berlandasan pada suatu dasar pikiran.
Landasan kebijakan yang diacu guru dalam penataan situasi sekolah adalah berupa
landasan formal dan landasan operasional.
Landasan kebijakan formal adalah karena sekolah merupakan lembaga
formal, yang dalam pelaksanaan lembaga tersebut, tidak bisa lepas dari seperangkat
aturan yang bersifat formal juga. Perangkat peraturan formal inilah yang memberikan
dasar rasional untuk melakukan pembinaan kepatuhan peserta didik pada norma sekolah,
melalui penataan situasi sekolah. Sedangkan landasan kebijakan operasional adalah
mengacu pada mekanisme dan hasil rapat bulanan sekolah. Forum rapat bulanan sekolah
menghasilkan konsensus dan kebersamaan dalam menentukan kebijakan, tindakan dan
evaluasi serta memberikan dasar rasional dalam penataan situasi sekolah guna membina
kepatuhan peserta didik kepada norma sekolah.
Landasan kebijakan formal dan operasional yang menjadi acuan guru dalam
menata situasi di sekolah guna membina kepatuhan peserta didik pada norma sekolah
dapat dilihat sebagai bagian dari kepentingan “social heritage” (Henderson, 1959:35;
Soelaeman, 1985:210), atau lebih luas bagi Darmodiharjo (1981:18) untuk kepentingan
culture pre-server, culture transmitter, culture transformer. Namun dalam konteks
mengembangkan pribadi peserta didik, yakni pribadi yang patuh terhadap norma sekolah,
yang mampu mengacu pada “norma ketertiban, keamanan, kebersihan, keindahan,
kekeluargaan, kerindangan, dan kesehatan”, seperti norma yang dalam Wawasan Wiyata
Mandala, dan norma “sopan santun” dalam Tata Krama Siswa, serta norma
“kebersamaan dan otonomi pribadi” dalam tindakan operasional pembinaan kepatuhan.
KESIMPULAN
1. Penataan situasi sekolah melalui penataan fisik ruang-ruang dan sosio-psikologis
terdapat upaya-upaya yang dilakukan agar terwujud tujuan dan maksud tertentu yang
diinginkan, yakni untuk menciptakan situasi yang memberikan iklim tertentu,
mengundang dan makin menumbuh-kembangkan serta meningkatkan dorongan diri
peserta didik untuk mematuhi norma sekolah maupun bagi pengembangan diri
masing-masing, baik guru maupun peserta didik.

2. Pembinaan yang dilakukan sekolah dalam bentuk penataan situasi sekolah berupa
fisik, sosial dan psikologis adalah berlandaskan pada suatu kebijakan formal, yakni
Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1990, yang menyangkut tentang Wawasan Wiyata
Mandala, Tata Krama Siswa (termasuk tata tertib sekolah) dan Program 7K, sedangkan
landasan kebijakan operasionalnya adalah forum dan hasil rapat bulanan.
3. Landasan kebijakan formal dan operasional yang menjadi acuan guru dalam menata
situasi sekolah guna membina kepatuhan peserta didik pada norma sekolah adalah
mengembangkan pribadi peserta didik, yakni pribadi yang patuh terhadap norma
ketertiban, keamanan, kebersihan, kekeluargaan dan kesehatan, dalam Wawasan Wiyata
Mandala, norma sopan santun, Program 7 K, serta norma kebersamaan dan otonomi
pribadi dalam tindakan operasional.
Saran
1. Dalam penataan situasi sekolah, kepala sekolah dan guru hendaknya tidak hanya
terpaku dan puas kepada penataan fisik, sosial dan psikologis yang ada, tetapi hendaknya
mampu mengembangkan kreatifitas lagi, guna meningkatkan penataan situasi yang ada
berdasarkan kebutuhan peserta didik. Karenanya pada periode tertentu perlu diadakan
evaluasi dan pembaharuan penataan, jika perlakukan yang terdapat dalam penataan
situasi sekolah, ternyata mulai menunjukkan gejala kurang efektif lagi dalam membina
kepatuhan peserta didik pada norma sekolah.
2. Kepala sekolah dan guru guna perluasan wawasan dan peningkatan kemapuan teknis
operasional pengembangan kepatuhan peserta didik pada norma melalui penataan situasi
sekolah, hendaknya mencari peluang dan melakukan studi banding kepada sekolah yang
lebih maju, bekerja sama atau melakukan dialog dengan sesama para guru antar sekolah
maupun LPTK, para ahli, orang tua dan peserta didik sendiri serta masyarakat di
lingkungan sekolah.

DAFTAR PUSTAKA
Adiwikarta, Sutardja, 1988. Sosiologi Pendidikan, Isu dan Hipotesis tentang Hubungan
Pendidikan dengan Masyarakat. Jakarta: Depdikbud. P2LPTK.
Bahri, Syamsul. 1989. Disiplin Diri dalam Belajar Dihubungkan dengan Penamaan
Disiplin yang Dilakukan Orang Tua dan Guru. Tesis. PPS IKIP Bandung; Tidak
diterbitkan.
Bakhtiar, Harsya. 1993. Pendidikan Tidak Dapat Tunduk Kepada Asumsi Ekonomi Media
Indonesia . 10 April 1993.
Baron, Robert. A and Byrne, Donn. 1974. Social Psychology, Understanding Human
Interaction. Boston: Ally and Bacon.Inc.
Bogdan, R.C and Biklen, S.K. 1982. Qualitative Research for Education, An Introduction
to Theory and Methode. Boston: Ally and Bacon.Inc.

Breckenridge, Marian, E, M.S. 1966. Child Development, Physical and Psychological
Growth Through Adolescence. London: W.B. Sadders Company.
Cohen, Louis and Manidon, Lawrence. 1980. Perspective on Classroom and Schools.
London: Holt, Rinehart and Winston.
Darmodihardjo, 1981. “Peranan IKIP dalamPengembangan dan Pembinaan Sekolah
sebagai Pusat Kebudayaan”. Dalam Analisis Pendidikan Jakarta: Tahun II
Nomor. 3
Djahiri, A. Kosasih. 1985. Strategi Pengajaran Afektif-Nilai-Moral, VCT dan Games
dalam VCT. Bandung: Jurusan PMPKN FPIPS IKIP Bandung.
Durkeim, Emile, 1973. Moral Education, trans-Everett Wilson and Herman Schrurer,
New York: The Free Press.
Good, Carter.V, 1973. Dictionary of Education. New York: McGraw-Hill Book Company.
Hadisubroto, Subino. 1988. Pokok-pokok Pengumpulan Data, Analisis Data, Penafsiran
Data dan Rekomendasi Data Penelitian Kualitatif. Bandung: PPS IKIP
Bandung.
Jurusan PBB. 1988. Laporan Hasil PPL BP Mahasiswa Jurusan PBB. Bandung: FIP
IKIP Bandung.
Kay, William. 1975. Moral Education, A Sociological Study of the Influence of Society,
Home and School. London : George Allen and Unwin.
Lerner, Richard. M and Hultsch, David. F. 1985. Human Development, A Life-Span
Perspective. New York: McGraw-Hill Book Company.
Lightfoot, Sara Lawrence, 1988. The Good High School. New York: Basic Book,
Inc.Publishers.
Liwoso, M.A, 1989. Latar Belakang Keterlibatan Siswa Remaja dalam Minuman Keras;
Studi Kasus Mengenai Siswa Peminum Minuman Keras. Tesis. PPS IKIP
Bandung: Tidak diterbitkan.
Moleong, Lexy.J. 1988. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta : Depdikbud. P2LPTK.
Parson, Talcott, 1951. The Social System, Glenoeo: The Free Press.
Soelaeman, M.I. 1994. Pendidikan dalam Keluarga . Bandung: Alfabeta.
Soelaeman, M.I. 1988. Suatu Telaah tentang Manusia-Religi-Pendidikan. Jakarta;
Depdikbud P2LPTK.

Soealaeman, M.I. 1985. Suatu Upaya Pendekatan Terhadap Situasi Kehidupan dan
Pendidikan dalam Keluarga dan Sekolah. Disertasi. FPS IKIP Bandung: Tidak
diterbitkan.
Supratiknya, A. 1993. Teori-teori Psiko-dinamik (Klinis). Yogyakarta: Kanisius.
Tim Pengkasi Sejarah dan Filsafat Pendidikan. 1990. Keperluan dan Keharusan Ilmu
Pendidikan. Jakarta: IKIP Jakarta.
Webb, Rodman. B. 1981. Schooling and Society. New York: McGraw-Hill Book
Company.

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI UROPATOGENIK TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2008)

2 106 1

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

PENGARUH BIG FIVE PERSONALITY TERHADAP SIKAP TENTANG KORUPSI PADA MAHASISWA

11 131 124