NEO FUNGSIONALISME DALAM UNI EROPA

NEO-FUNGSIONALISME DALAM UNI EROPA
ANDI SITTI ROHADATUL AISY

Pendahuluan
Latar Belakang
Uni Eropa merupakan sebuah organisasi antar pemerintahan yang
membentuk badan supra-nasional, yang anggotanya terdiri dari negara-negara
eropa sendiri, dan sampai tahun 2007 telah memiliki 27 negara anggota,1
Persatuan ini didirikan dibawah perjanjian Uni Eropa atau yang lebih dikenal
dengan perjanjian Maastricht pada tahun 1992 (Immanuel & Wahyudi, 2016, hal.
92). Dalam sejarah perjalanan organisasi-organisasi regional, Uni Eropa
bergabung menjadi satu kekuatan baru yang tangguh dan disegani masyarakat
internasional.
Awalnya Uni Eropa menitik beratkan kerjasama di bidang ekonomi,
dengan tujuan utamanya yaitu meningkatkan kemajuan ekonomi dan sosial
terutama dengan penciptaan pasar bebas, pemerataan ekonomi dan sosial
dilakukan melalui pendirian integrasi ekonomi dan moneter, namun seiring
berjalannya waktu, maka perluasan kerja sama tidak lagi dibidang ekonomi saja
melainkan di perluas ke bidang politik, pertahanan dan keamanan, lingkungan,
kesehatan dan bidang- bidang lainnya. Uni Eropa dianggap sebagai organisasi
regional yang mampu mengintegrasikan anggota-anggotanya dalam satu

kebijakan bersama dan menjadi organisasi yang bisa dicermati kebijakannya,
karena dapat membawa dampak internasional lantaran kebijakan tersebut
merupakan suara bersama yang ditaati oleh semua negara anggotanya yang dibuat
untuk kepentingan dan keuntungan bersama bagi semua negara anggotanya.
Dalam proses pengintegrasian sebuah kawasan sangatlah penting
membentuk komunitas politik karena hal tersebut akan berpengaruh langsung
pada identitas regional di masyarakat internasional, seperti halnya European
Union (EU), mereka adalah satu kesatuan meskipun terdiri dari banyak aktor
negara, individu manapun yang berasal dari salah satu negara anggota EU akan

1

dianggap sebagai bagian dari masyarakat Eropa oleh international society yang
cakupannya jauh lebih besar dari Eropa. Demikian pula dengan integrasi politik
yang akan terjadi ketika suatu kawasan telah menjadi komunitas politik, integrasi
politik pada suatu kawasan akan memicu terciptanya lembaga supranasional yang
menyatukan kedaulatan dari masing-masing negara anggota menjadi satu
kedaulatan dalam sebuah lembaga dalam pencapaian kepentingan bersama.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, penulis kemudian ingin menganalisis

bagaimana integrasi Uni Eropa dari kacamata neofungsionalisme; sebagai suatu
pendekatan untuk menjelaskan fenomena integrasi kawasan. Tak hanya sampai di
situ, lebih lanjut penulis ingin melihat tantangan yang dihadapi dalam hubungan
antar negara anggota Uni Eropa, baik dari new members maupun strong members
ditinjau dari perjalanan sejarah integrasi Uni Eropa.
Metode Penulisan
Metode penulisan ini adalah deskriptif, yaitu menggambarkan fakta-fakta
teori neofungsionalisme dalam integrasi Uni Eropa. Data yang disajikan
merupakan data sekunder yang diperoleh melalui telaah pustaka dari berbagai
literatur yang menyangkut permasalahan seperti buku, jurnal, koran, majalah dan
situs internet. Teknik analisa data yang digunakan adalah teknik analisa data
kualitatif.

Kerangka Teori
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan teori Neo- Fungsionalisme.
Neo-fungsionalisme adalah pendekatan yang digunakan unutk menjelaskan
fenomena integrasi intenasional. Menurut Ernst Haas Neo- Fungsionalisme adalah
sebuah teori Integrasi Internasional yang memiliki tujuan untuk mencapai sebuah
entitas komunitas politik yang lebih besar dari nation state. Para penganut NeoFungsionalisme percaya bahwa sebuah proses integrasi yang dimulai dari sektor
ekonomi akan menyebar ke sektor lainnya (Haas, 1968). Menurut Haas, ada tiga

hal utama yang menjadi ide utama dalam teori neo-fungsionalisme yaitu political
community,

political integration, dan spill-over. Para Neo-fungsionalist

memberikan sebuah istilah pada proses ini yang disebut dengan “functional spill2

over ” (Georges, Bache, & Bulmer, 1991). Lindberg mendefinisikan spill-over

sebagai : “situation in which a given action, related to a spesific goal, creates a
situation in which the original goal can be assured only by taking further actions,
which in turn create a further condition and a need for more action, and so forth ”

(Lindberg, 1963). Adapun fase spill-over akan terjadi pada 3 dimensi yaitu
functional spill-over, political spill-over, dan geographical spill-over. Semuanya
kerap kali terjadi pada kawasan yang telah terintegrasi dan Eropa adalah
masterpiece dari teori ini.
Integrasi Eropa bila diliat dari kacamata neofungsionalisme, selain rujukan
utamanya dapat ditemukan dalam buku Ernest B. Haas, The Uniting of Europe
(1958), Neofungsionalisme dalam integrasi Uni Eropa juga dapat dilihat dari

rujukan Rosamond (Theories of European Integration, 2000), tiga premis
neofungsionalisme untuk melihat proses integrasi di kawasan Eropa, yaitu
pertama,

teori

neofungsioalisme

berangkat

dari kekuarangan-kekurangan

fungsionalisme terutama mengenai peranan agen-agen politik dalam proses
integrasi. Neofungsionalisme menolak asusmi utama fungsionalisme bahwa
tekanan integrasi bukan semata-mata dari „otomatis‟ teknorasi sebagaimana
dikemukakan oleh David Mitrany (dalam Ambarwati, Aplikasi Teori Integritas
dalam Hubungan Internasional: Eropa dan Asia Timur, 2009), tetapi lebih
didorong oleh aktor-aktor politik yang saling berkompetisi untuk memenuhi
kepentingannya melalui integrasi. Kedua, teori neofungsionalisme bekembang
bersamaan dengan perkembangan teori pluralis dalam ilmu politik, yakni sebagai

arena kompetisi dari berbagai kelompok kepentingan untuk berebut memasukkan
kepentingan mereka dalam proses pembuatan keputusan. Ketiga, berdasarkan
asumsi kedua, pola pluralisme dalam konteks nasional bisa dipakai untuk
menganalisis sistem internasional. Dalam konteks ini, kebijakan umum
didefinisikan sebagai hasil sintesa negara untuk memenuhi tuntutan-tuntutan
kelompok tersebut. Dengan asumsi tersebut, Eropa dianggap sebagai negara
industri modern yang memunculkan kelompok-kelompok kepentingan, yang mana
aktivitas kelompok kepentingan ini bukan didorong oleh upaya pemenuhan
commom good (kebaikan bersama), tetapi lebih pada kepentingan kelompok itu

sendiri.

3

Lebih jauh, untuk memahami proses integrasi Eropa dalam kacamata
neofungsionalisme, Rosamond mengajukan kembali proposisi-proposisinya,
yaitu: a. Integrasi pada awalnya dimulai dari bidang-bidang low politics, tetapi
megambil sektor yang strategis, yaitu batubara dan baja; b. integrasi menciptakan
otoritas tinggi (high authority) tanpa mengurangi kandungan dari kepentingan
nasional dan memberikan keleluasan negara-negara anggota untuk bertindak

sebagai pendorong integrasi; c. integrasi dalam sektor-sektor ekonomi utama antar
negara akan menciptakan tekanan-tekanan fungsional dalam sektor-sektor
ekonomi lainnya. Momentum ini akan berlanjut dengan panduan yang dimainkan
oleh high authority; d. integrasi yang semakin kuat tidak hanya didorong oleh
otoritas tinggi. Di sini secara bertahap, berdasarkan kepentigan-kepetingan sosial
yang mana loyalitas semula diarahkan pada otoritas nasional perlahan bergeser
pada otoritas yang lebih tinggi ketika kepentingan material mereka bisa dipenuhi
melalui integrasi. Kepentingan ini menjadi kepentingan tetap dalam sistem Eropa
seiring dengan kerangka supranasional baru yang mulai bekerja; e. semakin
kuatnya integrasi dalam bidang ekonomi, maka diperlukan institusional lebih jauh
seperti juga integrasi yang semakin luas memerlukan kompleksitas dalam
pengaturannya.
Melihat proposisi tersebut, dengan kata lain, integrasi politik adalah akibat
sampingan yang tidak bisa dihindarkan dari integrasi ekonomi, selanjutnya,
integrasi ekonomi secara bertahap akan diikuti oleh suatu tingkatan institusional
supranasional, dan sebagai jalan yang efektif untuk menuju perdamaian jangka
panjang di Eropa.

Objek Penulisan
Profil Uni Eropa

Negara-negara anggota Uni Eropa merupakan sebuah organisasi
antarpeerintah dan supranasional yang beranggotakan 27 negara Eropa Barat.
Yang dimaksud dengan organisasi supra-nasional adalah suatu pengaturan yang
mana pemerintahan nasional menyerahkan kedaulatannya kepada badan
pemerintahan internasional. Dengan demikian, badan internasional tersebut diakui
sebagai badan yang yang lebih tinggi daripada negara.

4

Pada awalnya pembentukkan kerja sama ekonomi negara-negara Eropa,
hanya 6 negara Eropa yang ikut berpartisipasi di dalamnya. Keenam negara
tersebut di antaranya adalah Belgia, Jerman, Perancis, Italia, Luxemburg, dan
Belanda yang kemudian keenam negara tersebut dianggap sebagai negara-negara
pendiri Uni Eropa. Sejak bergabungnya Krosia pada tanggal 1 Juli 2013, Uni
Eropa memiliki 28 negara anggota sebelum akhirnya Inggris keluar dari Uni
Eropa (Immanuel & Wahyudi, 2016, hal. 19).
Tujuan dibentukya Uni Eropa
Tujuan utama dibentuknya European Community (EU) yang kemudian
bertransformassi menjadi European Union (EU) adalah terciptanya pasar bebas.
Ketentuan-ketentuan khusus yang mengaturnya adalah Pasal 3 (a) yang melarang

adanya cukai; Pasal 3 (b) mengatur Community common commercial policy
seperti dalam bidang pertanian, perikanan, dan transportasi; Pasal 3 (g) secara
khusus mewajibkan Community memasyarakatka9n bahwa persaingan dijamin
dalam internal market tidak terganggu, dan Pasal 3 (h) mengatur tentang
perkiraan tingkat kebutuhan hukum dalam pasar bebas (Immanuel & Wahyudi,
2016, hal. 4).
Bila dilacak dari sejumlah dokumen atau traktat Uni Eropa, persyaratan
keaggotaan Uni Eropa dapat diketahui melalui dua dokumen atau traktat. Pertama,
kriteria geografis yang dirumuskan dalam Treaty Maastricht pada tahun 1992.
Dalam ayat O Traktat Maastricht, hanya negara-negara Eropa saja yang dapat
mengajukan diri sebagai bagian Uni Eropa. Kedua, kriteria politik, ekonomi, dan
legislatif yang dirumuskan dalam Copenhagen Criteria pada tahun 1993 berupa
pemerintahan yang demokratis, penegakan hukum, penegakan hak azasi manusia,
dan penghargaan atas kelompok minoritas. Sementara, indikator ekonomi
diturunkan melalui penerapan ekonomi pasar (Immanuel & Wahyudi, 2016, hal.
22). Berangkat dari hal ini, penulis melihat adanya pencapaian sebuah entitas
komunitas politik, yang lebih besar dari nation state.

Analisis Neofungsionalisme dalam Integrasi Uni Eropa
Kembali ke tahun 1987, dilihat dari sistem keuangan Uni Eropa, di saat 12

negara anggota Uni Eropa membuat pasar tunggal untuk barang, jasa, dan moodal

5

yang baru dapat disempurnakan peraturannya pada tahun 1992 dengan
menghasilkan 282 peraturan sehubungan dengan pasar tunggal Eropa. Langkah
yang dilakukan adalah pembentukan Economic and Monetary Union (EMU)
termasuk pembentukan European Central Bank dan mata uang tunggal Eropa,
yakni Euro di tahun 1999 yang berlaku per Januari 2002. Penyatuan mata uang
Eropa menjadi Euro pada masa itu diikuti oleh 12 negara kecuali Inggris (United
Kingdom), Swedia, dan Finlanda. Kedua belas negara yang menyatukan mata
uangnya menjadi euro kemudian diseut Euro Zone (Immanuel & Wahyudi, 2016).
Penulis melihat, mata uang euro (€), akan membantu pasar tunggal mencapai
potensinya secara penuh. 16 dari 27 negara anggota Uni Eropa saat ini telah
menggunakan euro sehingga menghilangkan ketidakpastian yang terkait dengan
ketidakstabilan nilai tukar.
Latar belakang historis hubungan antara negara-negara besar di benua
Eropa juga memegang peranan yang sangat penting dalam perkembangan Uni
Eropa sejak awal pembentukannya, sehingga dapat disimpulkan bahwa
pengambilan keputusan pada setiap pertemuan yang diadakan juga dipengaruhi

oleh kepentingan politik dan ekonomi dari beberapa negara besar. Seiring
perkembangannya, berbagai kerja sama di bidang ekonomi juga mendorong
lahirnya kerja sama lain yang merupakan usaha pemenuhan kepentingan politik
negara-negara anggota (terutama Peracis, Jerman, dan Inggris).
Penulis lebih lanjut menganalisis bagaimana Uni Eropa melihat
keterbukaan progresif terhadap perdagangan sebagai satu bagian dari strategi
pembangunan yang telah mengangkat ratusan juta otang keluar dari kemiskinan.
Pembangunan merupakan suatu prinsip dasar bagi strategi perdagangan Uni
Eropa, yang bertujuan untuk mendukung integrasi negara-negara sedang
berkembang secara bertahap ke dalam ekonomi dunia dan sistem perdagangan
multilateral. Hal ini sejalan dengan asumsi dikemukakan oleh David Mitrany,
bagaimana adanya kompetisi dari berbagai kelompok kepentingan untuk berebut
memasukkan kepentingan mereka dalam proses pembuatan keputusan. Beberapa
keuntungan atas enlargement atau integrasi yang dijanjikan oleh Uni Eropa
membuat negara-negara yang sebelumnya belum bergabung turut serta. Seperti
halnya dengan negara anggota lama, Uni Eropa menerapkan beberapa syarat

6

berkenaan dengan keanggotaan negara baru terhadap Uni Eropa. Pada mulanya

segala persyaratan ini bukanlah menjadi masalah sampai akhirnya negara-negara
anggota yang baru seperti Bulgaria dan Yunani membawa beberapa masalah yang
berdampak langsung pada struktur Uni Eropa sebagai sebuah organisasi regional
kawasan. Sistem yang diterapkan oleh Uni Eropa dalam mengintegrasikan Uni
Eropa sangat terstruktur. Sebuah dampak negative yang terjadi di salah satu
negara Eropa akan membuat negara lainnya sedikit banyak akan terimbas,
sehingga menjadi kewajiban bagi negara-negara anggota Uni Eropa dan Uni
Eropa sendiri untuk menuntaskan permasalahan yang dihadapi oleh negara-negara
anggota baik yang baru maupun yang lama.
Barysch (Barysch, 2011, hal. 3) menuliskan bahwa keberhasilan Uni
Eropa ini tidak terlepas dari faktor ekonomi yang menjadi kerangka dasar
pembentukan Uni Eropa. Hal ini senada dengan penjelasan di dalam spillover
theory yang dikemukakan oleh Ernest Haas, bahwa kerjasama yang dimulai dari

aspek ekonomi memiliki kemungkinan keberhasilan integrasi yang lebih besar
karena menghasilkan spillover bagi kerjasama dalam aspek lain. Kembali pada
tahun 1951, dasar pembentukan Uni Eropa adalah ECSC (European Economic
Coal and Steel Community), terdapat regulasi mengenai pembentukan pasar bebas
melalui konsep liberalisasi perdagangan yang ditandatangani oleh Perancis,
Jerman Barat, Belanda, Italia, Belgia, dan Luxemburg. Kerjasama dalam bidang
baja dan batu bara dipilih karena keduanya merupakan komoditi penting yang
menjadi modal bagi industri alat perang, transportasi, dan sebagainya. Tujuan dari
pembentukan ECSC yaitu untuk menanggulangi perpecahan antar negara di
Eropa, terutama antara Perancis dan Jerman. Melalui pembentukan ECSC para
negara anggota berharap adanya rekonsiliasi bagi kondisi Eropa yang pada saat itu
sarat dengan konflik (Barysch, 2011, hal. 12). Keberhasilan yang dicapai melalui
ECSC mendorong enlargement dalam tubuh Uni Eropa, baik dalam aspek
keanggotaan maupun isu kerjasama.
Terlepas dari keberhasilan tersebut, masalah yang harus dihadapi Uni
Eropa adalah tatkala hampir setengah dari negara anggota Uni Eropa mengalami
krisis dan terancam menghadapi kemiskinan. Bahkan diprediksi setengah dari
masyarakat Bulgaria pada tahun 2011 mengalami kemiskinan dan termarjinalkan

7

secara sosial (Baig, 2013). Selain itu, dengan diterapkannya sistem pasar bebas
dalam kuota perdagangan mau tidak mau harus menelan korban jiwa bagi negaranegara anggota yang rentan terhadap dinamika pasar. Misalkan saat diterimanya
Portugal, Spanyol, dan Yunani menjadi anggota Uni Eropa. Pada dasarnya mereka
adalah

negara-negara

yang

belum

memperlihatkan

kemajuan

dalam

perekonomian, namun tetap diterima sebagai anggota Uni Eropa. Konsekuensinya
bisa dilihat pada perkembangan selanjutnya, ada beberapa negara anggota Uni
Eropa yang mengalami krisis finansial sehingga memerlukan penanganan khusus.
Permasalahan-permasalahan ini menuntut penyelesaian karena bersangkutan
dengan integrasi Uni Eropa. Lantas sebagai sebuah langkah awal, Presiden
European Council Herman van Rompuy menawarkan sebuah penyelesaian dengan
memaksimalkan pemberdayaan remaja di negara – negara yang mengalami krisis
sehingga roda perekonomian mampu didongkrak naik. Dari hal ini dapat kita lihat
respon-respon yang diberikan oleh Uni Eropa terhadap keberlangsungan integrasi
Uni Eropa menunukkan betapa intensi negara-negara yang terlibat begitu tinggi
sebagai suatu entitas komunitas politik yang kini saling terintegrasi di bawah satu
payung, yakni Uni Eropa.

Kesimpulan
Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa Uni Eropa sebagai organisasi
kawasan merupakan daya tarik bagi negara-negara yang belum menjadi anggota
untuk bergabung dan mengintegrasikan berbagai hal untuk mendapatkan
keuntungan lebih dalam integrasi ekonomi dan politik tersebut. Pada akhrinya,
integrasi, dengan pendekatan neofungsionalisme telah menganalisa kondisi di
bawah kerjasama internasional sudah dapat dijalankan dengan baik.

Referensi
Buku:
Ambarwati. (2009). Aplikasi Teori Integritas dalam Hubungan Internasional:
Eropa dan Asia Timur. Dalam Asrudin, & M. J. Suryana, Refleksi Teori
Hubungan Internasional: Dari Tradisional ke Kontemporer (hal. 146).
Yogyakarta: Graha Ilmu.
8

Georges, S., Bache, I., & Bulmer, S. (1991). Politic and Policy in the European
Community. New York: OUP Oxford.
Haas, E. B. (1968). The Uniting of Europe. California: Stanford University Press.
Immanuel, P., & Wahyudi. (2016). Sejarah Uni Eropa: Mendedah Masa Lalu dan
Isu Terkini. (R. Sastra, Penyunt.) Solo: Azka Pressindo.
Lindberg, L. N. (1963). The Political Dynamics of European Economic
Integration. London: Stanford University Press.
Rosamond, B. (2000). Theories of European Integration. Houndmills: Macmillan
Press.
Jurnal:
Barysch, K. (2011). A New Reality for the European Union. CFR’s International
Institutions and Global Governance Program. New York: Council on
Foreign Relations.
Internet:
Baig, R. (2013, Maret 13). Eropa Hadapi Ancaman Kemiskinan. Diakses pada
Maret 13, 2017, melalui Deutsche Welle: http://www.dw.com/id/eropahadapi-ancaman-kemiskinan/a-16667496

9