WAJAH LITERASI DAN DUNIA INTELEKTUAL IND

WAJAH LITERASI DAN DUNIA INTELEKTUAL INDONESIA ALUMNI FILSAFAT UGM YOGYAKARTA - INDONESIA

DAFTAR ISI DARI DEMONTRASI KE MENULIS ~ 4 “SINDIRAN” PROF. ANTHONY REID UNTUK BANGSA INDONESIA ~ 6 PENDIDIKAN MALAYSIA LEBIH HEBAT DARI INDONESIA? ~ 10 MEMAKSA DOSEN JADI PENELITI ~ 13 MASIH BANYAK YANG SALAH PAHAM DENGAN “SARJANA FILSAFAT” ~ 18 NASIB BAHASA INDONESIA ~ 21 BERHENTI JADI GENERASI COPY PASTE ~ 25 KENAPA AKU MENULIS??? ~ 29 DOKTOR “CUMLAUDE” ~ 33 GELAR DOKTOR DIJUAL BAK KACANG GORENG ~ 37 MENULISLAH DENGAN HATI, BUKAN MENCARI SENSASI ~ 41 MENULIS DENGAN HATI ~ 43 MEMAKSA DOSEN JADI PENELITI ~ 47 MASA DEPAN SELF PUBLISHING DI INDONESIA ~ 51

MAHASISWA FTV (FUN TANPA VISI) ~ 55 FENOMENA SELF PUBLISHING ~ 59 GERAKAN “AYO TERBITKAN BUKU-MU” ~ 63 PRESIDEN BEM UGM DENGAN IPK SATU KOMA ~ 69 KALAU SEJARAH BISA DIPUTAR: MAU DIJAJAH INGGRIS ATAU BELANDA? ~ 74

DARI DEMONTRASI KE MENULIS

“Scripta manent, verba volant”… Yang tertulis akan abadi. Yang terucap akan sirna bersama hembusan angin”

Kalimat indah ini, kukutip dari makalah Mas Najib yang disampaikan tadi pagi saat workshop penulisan di ruang sidang Fakultas Filsafat UGM. Kalimat yang begitu mengugah bagi setiap orang untuk mengabadikan diri dalam history lewat tulisan.

“Mas, anak-anak filsafat masih sering demo ngak”. Itulah pertanyaan spontan dari Pak Hardi pegawai akademik fakultas Teknologi Pertanian UGM, ketika aku menyabangi

kantor beliau untuk meminta nilai hari kamis yang lalu. Pertanyaan yang mengindikasikan “popularitas” mahasiswa filsafat sebagai “tukang demo” sudah teramat familiar.

Ceramah singkat Pak Mukhtasar Syamsudin (Dekan Fakultas Filsafat, Doktor lulusan Korea Selatan), di sela-sela workshop tadi pagi, menjawab pertanyaan pak Hardi yang kujawab Ceramah singkat Pak Mukhtasar Syamsudin (Dekan Fakultas Filsafat, Doktor lulusan Korea Selatan), di sela-sela workshop tadi pagi, menjawab pertanyaan pak Hardi yang kujawab

Begitulah yang ditunjukan oleh politisi kita. Dimulai oleh pak Habibie yang meluncurkan buku seputa r “masa kritis” saat transisi Orba – Reformasi. Seolah tersengat dengan tulisan pak Habibie, Prabowo beberapa waktu kemudian turut pula meluncurkan buku.

Zaman ini, pendekatan kekerasan dan demonstrasi yang lebih mengandalkan fisik, telah menjadi usang. Zaman ini adalah zaman debat intelektual dengan cara yang santun tapi begitu berkesan di hati.

Stigma mahasiswa filsafat hanya bisa demo inilah yang hendak dirubah di filsafat. Seorang Pramodya Ananta Toer diteror oleh Orde Baru, bukan karena kekuatan fisik dan militer (yang tentu tidak dimilikinya), tapi karena tulisan- tulisan cerdas yang menohok pemerintah saat itu.

So, menulislah. Hingga orang akan terus mengenangmu karena engkau meninggalkan permata hidup yang teramat berharga, yaitu pengalaman hidup yang terabadikan lewat tulisanmu.

“SINDIRAN” PROF. ANTHONY REID UNTUK BANGSA INDONESIA

Walaupun semakin banyak orang Indonesia belajar di luar negeri, mereka yang ada di bidang ilmu sosial menulis hampir secara eksklusif tentang negaranya sendiri, Indonesia. Hanya tinggal segelintir ilmuwan di universitas di Indonesia yang meneliti dan mengajar tentang negara selain

Indonesia. Namun hampir 90% karya tertulis tentang Indonesia di jurnal-jurnal akademis internasional ditulis oleh orang yang tidak tinggal di Indonesia – sesuatu yang membuat Indonesia menjadi salah satu negara yang paling tidak efektif di dunia dalam menjelaskan dirinya kepada dunia.

“Sindiran” ini ditulis oleh ilmuwan Asia Tenggara kenamaan, Prof. Anthony Reid, dalam tulisannya “Indonesia dan Dunia Sesudah 66 Tahun” yang dimuat oleh Majalah Tempo Edisi 14-20 November 2011 agaknya bisa membuka misteri kenapa negeri yang kaya raya ini tidak kunjung beranjak dari “Sindiran” ini ditulis oleh ilmuwan Asia Tenggara kenamaan, Prof. Anthony Reid, dalam tulisannya “Indonesia dan Dunia Sesudah 66 Tahun” yang dimuat oleh Majalah Tempo Edisi 14-20 November 2011 agaknya bisa membuka misteri kenapa negeri yang kaya raya ini tidak kunjung beranjak dari

membawa masyarakat ke arah yang lebih baik?

Ungkapan sinis dari beberapa orang terkait riset-riset terutama di bidang sosial bertemakan Indonesia yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia yang bersekolah di luar negeri sebagai “bentuk balas budi” dan “penyenang pembe ri donasi” sedikit banyak tidak bisa dipungkiri. Karya ilmiah mereka baik berupa tesis maupun disertasi yang mengungkapkan “borok-borok” Indonesia hanya menjadi

justifikasi kelemahan negara ini. Ketika mereka pulang untuk mengabdi, kesan yang paling kentara adalah menjelek- jelekan negeri sendiri dengan membandingkan raihan yang dicapai oleh negara-negara tempat mereka belajar. Alih-alih memberikan solusi, mereka lebih banyak terjebak pada debat-debat teoritis tanpa peran partisipatif aktif di tengah- tengah masyarakat. Yang lebih parah, masalah-masalah negeri sendiri kemudian diproposalkan untuk mendapatkan

dana besar dari luar. Jadilah masalah sebagai “kelinci” percobaan ataupun sekedar riset penelitian.

Majalah Tempo Edisi 14-20 November itupun mamaparkan nasib berbagai pusat-pusat studi Indonesia di Luar Negeri seperti Universitas Leiden Belanda, Universitas Cornell USA, dan Universitas Monash Australia yang mulai sepi dan tak lagi diminati. Yang paling mencenggangkan adalah rencana penutupan KITLV, yang menjadi pusatnya berbagai publikasi Majalah Tempo Edisi 14-20 November itupun mamaparkan nasib berbagai pusat-pusat studi Indonesia di Luar Negeri seperti Universitas Leiden Belanda, Universitas Cornell USA, dan Universitas Monash Australia yang mulai sepi dan tak lagi diminati. Yang paling mencenggangkan adalah rencana penutupan KITLV, yang menjadi pusatnya berbagai publikasi

Tapi pasca Reformasi, dana penelitian dan jumlah peneliti asing tentang Indonesia mulai berkurang baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Dana-dana penelitian untuk Indonesia tak terlalu besar, karena para master dan doktor Indonesia lulusan luar negeri dianggap sudah “cukup” untuk

menjalankan misi dan keinginan para punggawa kebijakan luar negeri di negara- negara “maju” sana. Namun, seperti kritik Reid, sebagian besar mereka tak mampu menjadi “duta” yang “bisa” menjelaskan Indonesia kepada dunia. Karena apa yang sampaikan hanya replika dengan sedikit modifikasi dari pemikiran-pemikiran orang asing.

Secara konstruktif, apa yang disampaikan oleh Reid ini seharusnya menjadi renungan bagi “orang-orang terdidik” di negeri ini untuk merumuskan identitas pemikiran mereka

sendiri, dan merubah paradigma pengambilan riset. Ahli gamelan seharusnya orang Jawa bukan orang Belanda. Ahli sejarah manusia Minangkabau mestinya orang Minang, bukan orang Amerika. Ahli manusia Bugis selayaknya adalah orang Bugis, bukan orang Perancis. Di sisi pemilihan tema riset, mahasiswa-mahasiswa Indonesia harus berani. beralih ke tema-tema persoalan negara tempat mereka sedang menempuh studi. Ketika sisi-sisi positif dan negatif negara lain diketahui, maka peluang untuk mengadakan reflektif sendiri, dan merubah paradigma pengambilan riset. Ahli gamelan seharusnya orang Jawa bukan orang Belanda. Ahli sejarah manusia Minangkabau mestinya orang Minang, bukan orang Amerika. Ahli manusia Bugis selayaknya adalah orang Bugis, bukan orang Perancis. Di sisi pemilihan tema riset, mahasiswa-mahasiswa Indonesia harus berani. beralih ke tema-tema persoalan negara tempat mereka sedang menempuh studi. Ketika sisi-sisi positif dan negatif negara lain diketahui, maka peluang untuk mengadakan reflektif

Dua tantangan ini merupakan sebuah tugas berat. Tidak saja dari sisi “penyakit kronis” inlander yang masih membelit

banyak orang di negeri ini, tetapi dari persoalan finansial, dimana pemberi donasi cenderung memberikan persyaratan pemilihan

menguntungkan mereka. Sanggupkah

penelitian

yang

sembuh dari belitan mental inlander itu? Kuatkah pemerintah memberikan beasiswa-beasiswa kepada putra-putri terbaik negeri ini dengan misi alih pengetahuan untuk kemajuan negeri dan sedikit demi sedikit memutus pemberian beasiswa asing yang punya tendensi???

kita

segera

PENDIDIKAN MALAYSIA LEBIH HEBAT DARI INDONESIA?

Beberapa waktu yang lalu, dalam kuliah Bahasa Arab, Pak Hamdan, S.S,. M.A, seorang dosen muda yang dulu ku kenal

di Jama’ah Shalahuddin menyampaikan suatu berita yang menarik terkait dengan lulusan Universitas Al Azhar dari

Mesir. Kata beliau, dalam sejarah sampai hari ini, belum ada mahasiswa Malaysia yang memperoleh predikat cum laude dari Al Azhar.

Jangan bandingkan dengan Indonesia. Doktor Al Azhar pertama dari Al Azhar se Asia Tenggara adalah orang Indonesia, ahli tafsir Al Qur’an Prof. Dr. Quraish Shihab.

Apalagi yang lulus dengan cum laude baik dari S1, S2 atau S3. Kata pak Hamdan, hal itu disebabkan sistem pengajaran di Al Azhar sangat mengedepankan kemampuan hafalan. Bahkan diceritakan sistem komputerisasi tidak terlalu dipentingkan oleh Al Azhar, karena kemampuan hafalan staf akademik mereka luar biasa.

Meski hafalan tidak kuat-kuat amat, namun sistem pendidikan pesantren di Indonesia yang memang sangat mengandalkan aspek hafalan, telah mempersiapkan calon mahasiswa Indonesia untuk kuliah di Universitas Islam ternama itu. Sehingga mereka tidak lagi canggung dengan model pendidikan di Al Azhar dan bisa menyelesaikan studi dengan predikat kelulusan cum laude.

Berbeda dengan sistem pendidikan di Malaysia yang banyak dipengaruhi oleh model Inggris (Eropa pada umumnya) yang mementingkan aspek pemahaman dan analisis. Sehingga ketika menemukan sistem pembelajaan yang berbeda mereka membutuhkan adaptasi.

Terlepas dari sistem itu, agaknya memang orang Indonesia lebih pintar dari orang Malaysia. Sekarang coba bandingkan berapa sih siswa Malaysia yang bisa meraih medali dalam lomba-lomba olimpiade sains tingkat internasional? Berapa dosen Indonesia yang mengajar di Malaysia dan dosen Malaysia yang mengajar di Universitas Malaysia?

Memang belakangan ini institusi pendidikan Malaysia banyak dilirik oleh orang-orang Indonesia karena dinilai bagus. Namun, menurut penulis ini bukan terkait dengan kalahnya universitas-universitas di Indonesia, tapi lebih kepada sistem dan lingkungan akademis yang kondusif di Malaysia. Di sana pemerintah memang sangat memperhatikan pendidikan. Kalau di negara kita, pemerintah masih setengah hati.

Agaknya sebagai bekas jajahan Inggris, Malaysia punya sisi kelebihan dalam kemampuan Bahasa Inggris. Sehingga Agaknya sebagai bekas jajahan Inggris, Malaysia punya sisi kelebihan dalam kemampuan Bahasa Inggris. Sehingga

So, kata seorang teman, “ntar kalau kamu mau S2 jangan ke Malaysia lah. Karena mereka bukan pusat ilmu. Kalau mau S2 atau S3 sekalian aja ke Amerika atau ke Eropa.” So, Malaysia

g hebat- hebat banget gitu lhoh…

MEMAKSA DOSEN JADI PENELITI

Mari sedikit bicara dosen dan peneliti. Di indonesia, dosen dibebani dengan tugas mengajar seabrek dan tuntutan untuk menghasilkan penelitian yang berkualitas. Kalau bisa riset implementatif yang mudah dikembangkan secara massal oleh dunia industri.

Sebenarnya tidak ada masalah apabila pemerintah dan beberapa

meminta dosen untuk memberikan kuliah berdasarkan riset terbaru yang dilakukannya. Hanya saja saya agak khawatir apabila permintaan itu tidak diiringi kesadaran akan kenyataan sosial dan budaya yang dihadapi oleh para dosen di Indonesia.

kalangan

ilmuwan

Rata-rata dosen di Indonesia punya beban mengajar 20 sks. Itupun masih akan bertambah apabila ada permintaan mengajar dari perguruan tinggi lain di luar homebase-nya. Persoalan belum selesai, karena masih ada kewajiban menjadi pembimbing tugas akhir mahasiswa (skripsi, tesis, disertasi)) dan menghadiri undangan-undangan rapat, Rata-rata dosen di Indonesia punya beban mengajar 20 sks. Itupun masih akan bertambah apabila ada permintaan mengajar dari perguruan tinggi lain di luar homebase-nya. Persoalan belum selesai, karena masih ada kewajiban menjadi pembimbing tugas akhir mahasiswa (skripsi, tesis, disertasi)) dan menghadiri undangan-undangan rapat,

Semua bertumpuk ketika masih ada kewajiban sosial yang mesti dipenuhi oleh seorang dosen agar dia tidak dianggap asosial. Undangan pernikahan di akhir pekan, undangan sunatan, syawalan, tahlilan, tirakatan, rapat RT/RW, ngisi kajian dan khutbah Jum’at. Beban itu semakin complicated

kalau sang dosen juga memegang jabatan di kampus, jabatan keprofesian, buka praktek di rumah (dosen-dokter), serta menjadi pengurus berbagai macam organisasi sosial, budaya dan keagamaan.

Mempertimbangkan kenyataan di atas, apakah cukup logis apabila kemudian pemerintah menuntut dosen untuk melakukan

yang berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan, bangsa dan negara, yang kalau bisa bisa merubah dan menggemparkan dunia?

penelitian

serius

Sementara di sisi lain, dana penelitian tak pernah mencapai angka fantastis. Ya, hanya cukup makan dan bertahan hidup

3 bulan. Paling sisanya hanya bisa untuk nambah tabungan buat mengisi modal beli mobil baru.

Ketika ada dosen yang sibuk dengan riset, maka timbul stigmatisasi dari kolega dan mahasiswa. “Dasar Dosen

Proyekan”. Mahasiswa mengeluh ketika ditinggal dalam beberapa kali pertemuan, karena sang dosen lagi berada di Proyekan”. Mahasiswa mengeluh ketika ditinggal dalam beberapa kali pertemuan, karena sang dosen lagi berada di

Saat seabrek tanggung jawab dilimpahkan ke pundak dosen, berkawan dengan budget penelitian yang kunjung naik signifikan, rasanya riset-riset yang dibuat hanya riset-riset dangkal yang paling banter berhenti meja seminar dan prosiding. Padahal ada harapan, riset-riset itu bisa diteruskan oleh dunia industri dan dijadikan kebijakan oleh pengambil policy. Karena risetnya masih separoh-separoh, dilakukan dalam waktu singkat dan dana yang minim, yang terjadi kemudian hanyalah proses mengkonfirmasi hipotesis- hipotesis awal apakah benar atau tidak lewat penelitian singkat.

Kalaupun ada riset-riset serius dalam jangka panjang di Indonesia dalam bidang sains maupun bidang sosial, itu kebanyakan didanai oleh sponsor asing atau dibiayai oleh perusahaan-perusahaan

yang beroperasi di Indonesia.

raksasa

Jika demikian situasinya, rasanya perlu sebuah kesadaran bersama dan keinsyafan akan kapasitas dan keterbatasan yang ada. Untuk kasus Indonesia, dimana beban mengajar masih menjadi nomor satu, rasanya memberikan dosen waktu untuk membaca riset-riset yang ada sudah merupakan langkah yang bagus.. memberikan kesempatan kepada dosen membuat slide baru tiap semester dengan semakin luasnya bacaan dan referensi yang dipakai, rasanya sudah menjadi Jika demikian situasinya, rasanya perlu sebuah kesadaran bersama dan keinsyafan akan kapasitas dan keterbatasan yang ada. Untuk kasus Indonesia, dimana beban mengajar masih menjadi nomor satu, rasanya memberikan dosen waktu untuk membaca riset-riset yang ada sudah merupakan langkah yang bagus.. memberikan kesempatan kepada dosen membuat slide baru tiap semester dengan semakin luasnya bacaan dan referensi yang dipakai, rasanya sudah menjadi

Biarlah kemudian riset-riset ditangani oleh orang-orang yang berprofesi dan menamakan diri sebagai “peneliti”. Mungkin mereka berada di LIPI, pusat-pusat kajian, lembaga-lembaga

penelitian, pusat-pusat

dan badan-badan pengembangan keilmuan lainnya. Bukalah seluas-luasnya

studi

lowongan kerja dengan kualifikasi “peneliti”. Jadikan itu sebagai “profesi yang bergengsi”. Biarkan mereka fokus dan serius melakukan berbagai riset sekaligus ada topangan dana yang besar entah itu dari pemerintah ataupun dari dunia industri.

Dengan demikian, kita tak lagi mengeluh kenapa hasil riset dosen Indonesia ngak berkualitas. Kenapa dosen lebih banyak di luar kampus dibanding di ruang kelas. Profesi sebagai dosen dan peneliti biarlah terpisah secara jelas, dan masing-masing kemudian bisa saling memanfaatkan produk masing-masing.

Dosen memang harus tahu bagaimana membuat sebuah penelitian yang bagus dan harus punya karya brilian dari hasil penelitian. Tapi di sisi lain, dosen semestinya juga harus mengutamakan tugas mengajar dengan dukungan bacaan- bacaan berkualitas dan selalu up to date . Jika para pengamat dari kalangan universitas sering mengatakan setiap orang Dosen memang harus tahu bagaimana membuat sebuah penelitian yang bagus dan harus punya karya brilian dari hasil penelitian. Tapi di sisi lain, dosen semestinya juga harus mengutamakan tugas mengajar dengan dukungan bacaan- bacaan berkualitas dan selalu up to date . Jika para pengamat dari kalangan universitas sering mengatakan setiap orang

tahu batas-batas kewenangan dan kapabilitasnya, seharusnya juga ada keinsyafan dari dunia akademis sendiri tentang pembagian ranah yang jelas antara dosen dan peneliti. Agar riset-riset yang dilakukan selama ini oleh kalangan kampus tak hanya berhenti di ruang seminar serta tak punya relasi dengan dunia industri – eskalator perbaikan society.

harus

MASIH BANYAK YANG SALAH PAHAM DENGAN “SARJANA FILSAFAT”

sarjana filsafat sebenarnya tidak harus distigmakan dan terjebak menjadi “pendebat” dan “herder galak” yang selalu menyalak terhadap agama…

beberapa teman saya, akhirnya menjadi lawyer dan memakai kekuatan berpikir logis dan sistematis yang ia dapatkan di jurusan filsafat untuk membela kaum2 tertindas dengan argumen- argumen yang bernas…beberapa kakak kelas saya, memilih berkarier di bidang jurnalistik dan punya reportase- reportase bagus yang digemari oleh banyak pembaca.. bahkan ada yang dipercaya menjadi orang penting di salah satu grup media besar di indonesia…

kawan saya yang lain memilih untuk menekuni “etika perang” untuk kuliah masternya dan ingin meneruskan kajian di bidang itu saat mengambil program d oktor… kakak kelas saya yang lain, beralih menjadi politisi dan dipercaya kawan saya yang lain memilih untuk menekuni “etika perang” untuk kuliah masternya dan ingin meneruskan kajian di bidang itu saat mengambil program d oktor… kakak kelas saya yang lain, beralih menjadi politisi dan dipercaya

terlalu sinis melihat anak filsafat dan dihujat sebagai biang kerok penghancur agama, rasanya tidak tepat… bahkan orang-orang yang sibuk mempertanyakan eksistensi tuhan

dan mengerogoti agama malah dari orang yang tidak pernah punya degree filsafat dan berasal dari keilmuan luar filsafat…

stephen hawking, sang fisikawan terkenal masa ini, adalah ilmuwan yang sampai sekarang masih keras menentang eksistensi dan keber ”ada”an Tuhan… seorang dosen bertitel doktor yang mengajar di universitas muhammadiyah sumatera barat yang beberapa waktu yang lalu melakukan aksi penginjak- injakan alqur’an karena mau membentengi mahasiswa dari pengaruh ISIS, S1, S2 dan S3 nya mengambil bidang pendidikan.. ia tak punya gelar sarjana, master atau doctor of philosophy…

kita bisa belajar dari jerman bagaimana mereka bisa menjadi kekuatan ekonomi terkuat dan nomor 1 di eropa saat ini.. selain tumbuh dengan kekuatan manufaktur dan industri dari pabrik pesawat sampai pabrik obat, jerman adalah gudangnya para filsuf… mungkin hampir 1/3 filsuf terkenal dunia yang buku2nya dibaca oleh mahasiswa dan pecinta

filsafat berasal dari jerman… filsafat berasal dari jerman…

worldview yang melatarbelakangi dan ada konsep pembangunan jangka panjang dari pengambil kebijakan…

indonesia sudah punya orang jenius dalam hal pembuatan p esawat… tapi jangankan bikin pesawat berbadan besar, memproduksi pesawat perintis saja masih banyak mendapat halangan.. persoalannya bukan tak ada uang dan investor… yang

ideologi dan orientasi pembangunan penguasa yang berasal dari pola pikir dan falsafah yg dianut pemimpin sebuah negara…

jadi masalah

adalah

meluaskan pandangan dan meluruskan pemahaman tentang filsafat rasanya masih dibutuhkan meskipun di era berbagai

informasi dan literatur ilmiah bisa diakses gratis… bahkan salah paham itu menderita orang-orang yang sudah mendapatkan pendidikan di kampus terbaik di negeri ini…

NASIB BAHASA INDONESIA

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, Bahasa Indonesia masih merupakan bahasa kedua setelah bahasa daerah (bahasa ibu). Termasuk juga bagi anak-anak Indonesia yang lahir dari perkawinan campur antar bangsa. Penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama kebanyakan kita temui pada keluarga yang terbentuk dari perkawinan antar etnis.

Kalau kita lihat dari sejarah, Bahasa Indonesia lahir dari Bahasa Melayu yang pada zaman dulu menjadi bahasa perdagangan

Nusantara. Kemudian dikukuhkan menjadi Bahasa Persatuan melalui momen Sumpah Pemuda. Bahasa Melayu menjadi dominan di kala itu dikarenakan fleksibelitasnya akan bahasa-bahasa lain. Karena interaksi bangsa Indonesia saat itu lebih banyak dengan orang-orang Arab, maka Bahasa Arablah yang banyak diserap ke dalam Bahasa Melayu.

Pengembangan suatu bahasa terkait dengan bahasa sumber dari bahasa tersebut. Perkembangan Bahasa Melayu tidaklah terlalu signifikan pada saat ini. Kemiskinan dalam memproduksi kata-kata baru membuat Bahasa Melayu Pengembangan suatu bahasa terkait dengan bahasa sumber dari bahasa tersebut. Perkembangan Bahasa Melayu tidaklah terlalu signifikan pada saat ini. Kemiskinan dalam memproduksi kata-kata baru membuat Bahasa Melayu

Eksistensi bahasa,

dipengaruhi kemassifan penggunaanya, juga didukung oleh kemampuan bahasa tersebut dalam mengungkapkan fenomena baru yang berkembang. Bahasa secara filosofis adalah pengungkapan manusia atas realitas melalui simbol-simbol. Oleh karena itu, perkembangan Bahasa Indonesia sangat tergantung pada tingkat keberhasilan menciptakan kosa kata dan istilah- istilah baru.

selain

Saat ini Bahasa Inggris menjadi Bahasa No. 1 di dunia. Sehingga

Indonesia sangat tergantung pada dinamisasi penyerapan kata-kata Bahasa Inggris. Tentu saja hal ini penuh resiko. Penyerapan bahasa tidaklah murni pada pengambilan kosa kata saja tapi lebih dari itu. Budaya yang melatarbelakangi bahasa tersebut ikut terbawa. Sedangkan banyak kultur negeri asal Bahasa Inggris yang tidak sesuai dengan konteks Indonesia. Kita tidak perlu apriori. Penyerapan Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia merupakan keadaan yang tak dapat dielakkan di era global dewasa ini. Namun satu hal yang perlu dicatat, jangan sampai situasi ini mengakibatkan alienasi keberadaan Bahasa Indonesia. Sebagai langkah alternatif, menurut penulis sudah saatnya penyerapan kosa kata Bahasa Daerah semakin digiatkan. Tidak saja akan berpengaruh positif pada penguatan persatuan nasional, tapi juga penting dalam

pengembangan

Bahasa Bahasa

Problem kedua penggunaan Bahasa Indonesia adalah masih kentalnya dialek daerah dalam percakapan. Dalam pergaulan kita sering mendengar Bahasa Indonesia ala Minang, Bahasa Indonesia ala Medan, Bahasa Indonesia ala Papua, Bahasa Indonesia ala Sunda, Bahasa Indonesia ala Jawa, dan lain sebagainya. Seringkali hal ini membuat risih telinga. Kita tidak punya standar dialek Bahasa Indonesia yang baku. Jika dikatakan dialek Bahasa Indonesia yang benar adalah dialek Jakarta, maka ini barulah sekedar asumsi belaka.

Pengalaman penulis sampai hari ini di Universitas Gadjah Mada, para dosen masih menggunakan Bahasa Jawa dalam sesi-sesi perkuliahan. Bagi mahasiswa yang bukan berasal dari kultur Jawa, biasanya kesulitan ketika baru-baru masuk kuliah, karena belum mengerti kosa kata Bahasa Jawa. Bayangkan saja, universitas sekaliber UGM yang telah melaunching dirinya sebagai Univesitas Internasional, penggunaan Bahasa Indonesia masih tercampur oleh penggunaan Bahasa Daerah. Padahal keadaan sosiologis mahasiswa UGM sudah ibaratkan Indonesia mini, karena dari orang Aceh hingga orang Papua ada di sana. Bahkan mahasiswa asing-pun telah menjamur di UGM.

Penulis, tidak hendak menyalahkan situasi penggunaan Bahasa Indonesia dengan dialek daerah. Namun, ketika Penulis, tidak hendak menyalahkan situasi penggunaan Bahasa Indonesia dengan dialek daerah. Namun, ketika

Akhirnya, ketika kita meletakkan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa

kepedulian kita demi keberlangsungan eksistensi Bahasa Indonesia sangatlah diperlukan. Tidak hanya sebagai alat untuk berkomunikasi, tapi lebih dari itu, dengan penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, kita bisa menampakkan pesona keluhuran budi bangsa Indonesia. Hidup Bahasa Indonesia.

Persatuan,

maka

BERHENTI JADI GENERASI COPY PASTE

Tak ada yang salah dengan tulisan Prof. Rhenald Kasali, tidak ada yang sumir dari quote menyentuh dari Om Mario Teguh, semua baik-baik saja dengan tausiyah dari akhi Salim Al Fillah, semua terhibur dengan status kece Tere Liye dan semua tertarik dengan status cinta Setia Furqon Kholid. Namun hal-hal di atas bermetamorfosis menjadi masalah intelektual serius ketika kebanyakan dari orang Indonesia terlalu sering menjejali sosial medianya dengan threat copy paste dari orang-orang hebat itu.

Masih berbekas jelas dalam ingatan kita, ketika seorang akademisi rising star dan pakar ekonomi hebat di negeri ini tersandung kasus plagiasi karena tak teliti membaca kembali artikelnya yang hendak dikirim rubrik OPINI sebuah koran nasional

menutup malu dengan menanggalkan status sebagai pengajar dari sebuah perguruan tinggi tempat Presiden Jokowi meraih gelar

sehingga

terpaksa terpaksa

Di kampus-kampus pun masih sering didapati kasus mahasiswa yang mengupahkan skripsi untuk meraih gelar sarjana. Sayapun punya seorang teman yang rela merogoh kocek sekian juta demi kelulusan dari sebuah perguruan tinggi negeri yang memakai nama patih terkenal dari kerajaan Majapahit. Jika skripsi sudah bisa dibeli, apalagi hanya sekedar makalah dan laporan pratikum. Terlalu banyak di antara intelektual muda kita yang menyandarkan diri pada kemampuan browsing dan memindahkan apa yang ada di internet ke dalam beberapa lembar kertas sebagai makalah ataupun tugas kuliah.

Sebagai sebuah budaya negatif yang harus dibuang jauh dari denyut nadi bangsa Indonesia, terutama para cendikiawan muda generasi penerus estafet perjuangan bangsa, sebenarnya plagiasi dan menyadur tanpa penyantuman referensi bisa dimulai dari tabiat dan kesenangan kita bercopy paste di sosial media. Dari sisi pencitraan, bisa jadi mengshare ataupun memajang kata-kata hikmah ataupun untaian kalimat inspiratif dari motivator terkenal, orang- Sebagai sebuah budaya negatif yang harus dibuang jauh dari denyut nadi bangsa Indonesia, terutama para cendikiawan muda generasi penerus estafet perjuangan bangsa, sebenarnya plagiasi dan menyadur tanpa penyantuman referensi bisa dimulai dari tabiat dan kesenangan kita bercopy paste di sosial media. Dari sisi pencitraan, bisa jadi mengshare ataupun memajang kata-kata hikmah ataupun untaian kalimat inspiratif dari motivator terkenal, orang-

Generasi copy paste sebenarnya adalah generasi yang malas berpikir dan sudah berpuas diri dengan motivasi dan inspirasi dari orang lain. Untuk masa singkat, kata-kata mutiara memang bisa memukau dan menghipnotis para pembaca dan penyimaknya. Namun, semangat yang lahir selepas membaca kemudian hilang tak berbekas ketika berhadapan dengan dunia dan problematika nyata. Sehingga terjadi proses ketergantungan, setiap hari sibuk mencari quote-quote motivasi dan kehilangan waktu untuk berkreasi dan melahirkan ide-ide sendiri.

Sudah saatnya kita mengimbangi budaya “tweet” dengan kebiasaan memperbanyak “credit” penulisan artikel-artikel ilmiah. Mestinya kita bersegera mengurangi status galau di facebook dengan menyibukkan diri dalam kerja “writing book”.

Dunia sosial media dengan ribuan informasi yang berseliweran setiap menit, dihiasi berbagai luahan perasaan dan emosi, telah menjadi tempat persaingan baru dalam aktivitas kehidupan manusia. Masyarakat dipecah dalam barisan “haters” dan “lovers”. Para haters membully dan mencaci sosok/sesuatu yang tidak disukainya, sementara para lovers membela mati-matian sosok yang dipuja atau sesuatu yang dikaguminya. Semuanya bermuara pada hal-hal Dunia sosial media dengan ribuan informasi yang berseliweran setiap menit, dihiasi berbagai luahan perasaan dan emosi, telah menjadi tempat persaingan baru dalam aktivitas kehidupan manusia. Masyarakat dipecah dalam barisan “haters” dan “lovers”. Para haters membully dan mencaci sosok/sesuatu yang tidak disukainya, sementara para lovers membela mati-matian sosok yang dipuja atau sesuatu yang dikaguminya. Semuanya bermuara pada hal-hal

Yang dibutuhkan Indonesia sekarang adalah generasi literasi. Generasi tipe ini dibangun di atas budaya membaca. Mereka melahirkan karya setelah mengambil pelajaran-pelajaran dari orang-orang telah lebih dahulu melewati jalan yang saat ini sedang ditempuhnya. Agar tidak terjadi pengulangan ketergelinciran dan keteperosokan di lubang yang sama. Mereka mahir membuat imajinasi dan membentuk persepsi orang terhadap diri, bukan lewat polesan ataupun penyandaran diri kepada orang-orang terkenal, tetapi membangun image lewat kekuatan kata dan karya-karya orisinal mereka sendiri.

Mari hentikan gelombang besar plagiasi lewat minimalisir copy status di sosial media. Dan kita kitapun bisa bermetamorfosis menjadi generasi kreatif dengan kekuatan catatan kaki.

KENAPA AKU MENULIS???

Aku sadar sepenuhnya, aku hanyalah pemuda biasa yang tak punya apa-apa. Seringkali menghibur hati dengan lamunan- lamunan indah yang jauh dari kenyataan. Memang ketika menghadapi realitas, hadir rasa sakit karena semua hanya ilusi belaka. Tapi apa yang bisa kujadikan sebagai pengobat rasa sakit, selain meletakkan harapan bahwa esok akan lebih cerah?

Mungkin atas dasar itu pula, aku tertarik untuk membuat skripsi tentang “Messianik Yahudi”, yang bercerita tentang

pengharapan bangsa Yahudi akan masa messiah, dimana Tuhan membuang segala duka, dan merubahnya dengan suka cita. Itulah yang membuat bangsa Yahudi bertahan di tengah penderitaan bertubi-tubi dari zaman sebelum masehi, sampai abad kontemporer ini. HANYA SEBUAH HARAPAN, tidak lebih.

Menjadi bangsa tersisih, menjadi orang yang tersisih di tengah pergaulan, tentu amat menyakitkan di tengah kondisi Menjadi bangsa tersisih, menjadi orang yang tersisih di tengah pergaulan, tentu amat menyakitkan di tengah kondisi

Tak jarang aku menangis akan perhatian mereka. Orang- orang yang menyapa karena ikhlas, merajut persahabatan karena kasih. Tapi hanya sedikit sosok-sosok spesial seperti itu. Daripada terjebak dalam canda tawa penuh kemunafikan dengan orang-orang yang tak jelas punya tendensi apa, bukankah lebih baik menikmati kesunyian???

Kesunyianlah yang membuatku punya waktu untuk menuliskan apa yang kurasakan. Mungkin hanya sekedar cerita biasa yang sangat personal dan subjektif. Tapi bagiku, itu sudah cukup untuk meringankan belitan irrasionalitas kehidupan.

Ekspresi kemarahan, sedih, gembira dan bahagia mengalir seiring gejolak hati yang tak menentu. Tapi menuliskan itu semua, memperlihatkan sisi kemanusiaan secara lebih jelas. Karena omongan teoritis yang tak punya pijakan, hanya menjadi tumpukan keangkuhan dan kesombongan. Orang belajar dari kisah hidup, bukan belajar dari teori.

Dendam ataupun fanatisme menjadi konsekuensi atas semua itu. Manusia harus terus mengingat sejarah hidupnya, agar tak menjadi amnesia. Manusia yang melupakan sejarah, hanya akan menjadi sosok hipokrit yang tak punya pendirian. Dendam bukan berarti tak memaafkan. Karena sifat dasar manusia adalah khilaf. Tapi bukan berarti kita menjadi kehilangan sensitifitas memori. Kepahitan dan kegelapan menjadi pelajaran untuk kita melangkah ke depan tanpa terseret pada kesalahan di masa lalu.

Dengan apa sejarah dikekalkan? Memori manusia hanya bertahan sepanjang usia. Jika sudah meninggal, hilanglah semua kisah. Maka perlulah sebuah tulisan yang bisa dibaca oleh generasi setelah kita. Mungkin kisah kita hanyalah “kisah biasa”. Tapi tetaplah menuliskannya. Karena sesuatu yang

biasa bisa menjadi begitu inspiratif jika kita menuliskannya dengan hati. Bukankah tulisan berhati, akan mampu menyentuh manusia yang punya hati?

Atas dasar itulah, sampai hari ini aku tetap menulis. Tanpa ambil pusing dengan komentar-komentar miring dari orang- orang yang merasa hebat. Buat pemuda sunyi sepertiku, menulis telah hadirkan kegembiraan, mengobati sakit, dan melanggengkan optimisme untuk melanjutkan kehidupan.

Pria sunyi, tetaplah sepi. Bukanlah tersingkir dari kehidupan yang ia takutkan, tapi hilangnya inspirasi dan kesempatan berkontemplasi yang menjadi hantu mengerikan baginya. Sakit karena cinta, tetap membuatnya menangis. Tapi tak akan membuatnya berhenti melambungkan asa. Hingga Pria sunyi, tetaplah sepi. Bukanlah tersingkir dari kehidupan yang ia takutkan, tapi hilangnya inspirasi dan kesempatan berkontemplasi yang menjadi hantu mengerikan baginya. Sakit karena cinta, tetap membuatnya menangis. Tapi tak akan membuatnya berhenti melambungkan asa. Hingga

DOKTOR “CUMLAUDE”

Rapat tim penguji promosi doktor boleh saja memutuskan nilai “cumlaude”. Tapi bagiku pribadi sebagai pendengar yang baik selama ujian terbuka berlangsung, parade ini

menyisakan banyak tanya. Pertama terkait, program studi yang meluluskan sang doktor bernama “Cultural and Media”. Apa yang terbayang dalam benak kita ketika mendengar

istilah media dan budaya?

Pemahaman saya adalah prodi ini lebih menekankan bagaimana perkembangan budaya mendorong perubahan- perubahan yang terjadi di masyarakat. Bisa juga dipahami bagaimana perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan mempengaruhi perubahan-perubahan budaya di masyarakat.

Jika demikian adanya, apakah terasa logis jika sebuah produk akademis yang dihasilkan lebih menyoroti kajian relasi pusat dan daerah yang coba dikoneksikan dengan perhatian Negara terhadap pembangunan di daerah perbatasan? Semakin awut-awutan ketika yang menjadi titik sentral adalah Jika demikian adanya, apakah terasa logis jika sebuah produk akademis yang dihasilkan lebih menyoroti kajian relasi pusat dan daerah yang coba dikoneksikan dengan perhatian Negara terhadap pembangunan di daerah perbatasan? Semakin awut-awutan ketika yang menjadi titik sentral adalah

Sebagai prodi yang berlabel multidisiplin sah-sah saja menghubungkan fenomena yang ada dengan berbagai aspek kehidupan seperti politik, ekonomi, sosial dan budaya. Tetapi pertanyaannya

tindakan ini tidak overlap dengan keberadaan program-program lain seperti Ketahanan Nasional, Ilmu Politik, atau Kebijakan Publik?

adalah

apakah

Anehnya, kekaburan penjurusan ini dimaklumi secara sadar oleh para profesor yang ketika memberikan perkuliahan begitu berapi-api menerangkan kekhasan metodologi ilmu pengetahuan dan filsafat ilmu pengetahuan. Bukankah sebuah karya akademis setingkat doktoral menekankan aspek kedalaman analisis bukan meloncat ke sana ke mari dan membiarkannya tanpa fokus yang jelas?

Sorotan kedua yang menjadi kegelisahan saya adalah ketika sang promovendus beberapa kali mengatakan bahwa data yang disampaikannya berdasarkan wawancara dan focus group discussion . Sulit untuk mempertahankan objektifitas jika semua itu dilakukan dalam balutan baju pejabat. Pertanyaan besarnya adalah apakah ketika proses-proses itu berlangsung, ada penanggalan embel-embel jabatan dan murni hadir sebagai peneliti?

Termasuk juga jangka waktu penelitian. Apakah ketika ada kesempatan kunjungan saja, ataukah memang sang doktor menghabiskan waktu berbulan-bulan tinggal dan berbaur Termasuk juga jangka waktu penelitian. Apakah ketika ada kesempatan kunjungan saja, ataukah memang sang doktor menghabiskan waktu berbulan-bulan tinggal dan berbaur

gambaran yang komprehensif terkait komunitas yang diteliti.

Persoalan ketiga yang cukup membinggungkan adalah tesis yang disampaikan sang doktor bahwa masyarakat di sana lebih memilih diam atas keadaan yang ada. Hal itu didorong kearifan lokal set empat, “Orang lupa akan diingatkan Tuhan. Orang berbuat dosa akan diingatkan Tuhan.” Akan tetapi

agak aneh rasanya jika itu menjadi sifat dominan masyarakat yang notabene berada di daerah kepulauan. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa orang laut bukanlah orang yang pantang menyerah dengan desakan-desakan yang terjadi baik karena faktor alam maupun tekanan penguasa.

Kebinggungan saya semakin kuat ketika mendengarkan kesimpulan sang doktor. Beliau menetengahkan konsep

“Centering The Margin” dengan mengedepankan keterlibatan aktif masyarakat lokal dalam perumusan kebijakan pemerintah. Kalau kita cermati tulisan-tulisan yang ada di koran-koran ataupun dialog-dialog yang disiarkan oleh televisi, tawaran itu telah menjadi wacana populer. Terus dimana letak kebaru an konsep “Centering The Margin”, agar pantas disebut “the invention of dissertation”?

Kesimpulan bahwa perlu dilakukan perubahan paradigma dari Negara Agraris menjadi Negara maritim juga menyisakan persoalan teoritis dan empiris. Benarkah negara Indonesia saat ini merupakan negara Agraris? Tak tampakkah oleh sang Kesimpulan bahwa perlu dilakukan perubahan paradigma dari Negara Agraris menjadi Negara maritim juga menyisakan persoalan teoritis dan empiris. Benarkah negara Indonesia saat ini merupakan negara Agraris? Tak tampakkah oleh sang

maritim itu sekedar memperbanyak armada-armada kapal? Atau sekedar mempergiat pembangunan di daerah-daerah kepulauan?

Apakah

negara

Hari ini saya tersadar dengan status akademik bernama doktor. Tafsir idealis bahwa doktor itu adalah orang yang mampu membuat sebuah karya ilmiah mumpuni dan menghasilkan penemuan baru sangat perlu dipertanyakan. Terkadang gelar itu menunjukkan “kegamangan” universitas terhadap orang-orang yang memiliki kekuasaan demikian besar.

Jika hanya sekedar penghormatan, mengapa tidak memberikan penghargaan “Doktor Honoris Causa” saja???

Atau memang sebuah ujian terbuka bukanlah tempat yang baik untuk menilai disertasi seorang doktor??? Entahlah…

GELAR DOKTOR DIJUAL BAK KACANG GORENG

Hari itu, para pegawai sebuah perguruan tinggi beken dibuat kelabakan karena akan menghelat ujian promosi doktor seorang pejabat tinggi negara.

Menempuh pendidikan sampai ke jenjang tertinggi adalah setiap warga negara. Siapapun itu, orang miskin – orang kaya, pegawai rendahan – pejabat negara, laki-laki ataupun perempuan, tua-muda, pedagang asongan – pengusaha kelas atas. Atas dasar inilah sebenarnya tidak ada yang spesial dengan prosesi pengukuhan seorang pejabat negara.

Secara definisipun tidak ada yang salah dengan gelar doktor yang diraih oleh pejabat tinggi negara. Mac Millan

Dictionary misalnya, mendefinisikan “doctor” sebagai “someone who has the highest degree given by a

university“. The Free Dictionary mengatakan “doctor” adalah, “A person who has earned the highest academic degree awarded by a college or university in a specified discipline”.

Sementara Wikipedia menyebutkan doktor adalah “Gelar akademik tingkat tertinggi yang diberikan kepada lulusan program pendidikan doktor (S-3) atau pascasarjana. Biasanya, pemberian gelar doktor membutuhkan pengakuan terhadap kandidat oleh dewan pengajar di universitas tempat dia belajar bahwa ia telah mencapai tingkat yang setara dengan para anggota dewan itu. Karya ilmiah yang digunakan untuk mencapai tingkat ini adalah disertasi.”

Persoalan kemudian muncul, ketika kita mempertanyakan, apa sebenarnya esensi sebuah gelar “doktor”?

Mari kita mulai dengan karya ilmiah yang bernama disertasi. Tradisi keilmuan yang dibangun di luar negeri menuntut seorang calon doktor untuk terjun langsung ke objek penelitian yang akan dikajinya. Sangat berpantang bagi

mereka untuk “menyewa” orang lain melakukan riset. Maka tak salah kalau kita melihat para calon doktor di universitas di luar negeri masyuk di lapangan, perpustakaan ataupun

bergelut di laboratorium. Seringkali mereka melepaskan semua pekerjaan yang ada demi keberhasilan riset doktoralnya.

Kita bisa membayangkan, seorang pejabat dengan seabrek tanggung-jawab, apalagi itu berkaitan dengan persoalan keamanan negara bisa menyelesaikan sebuah disertasi? Ada

2 kemungkinan, tugas negara terabaikan dan lebih banyak diserahkan kepada kolega, atau ada sekelompok orang yang direpotkan untuk penyediaan data.

Jangankan untuk seorang pejabat negara, para mahasiswa S3 yang cuma berstatus dosen atau pegawai negeri biasanya lebih

kerja untuk fokus menyelesaikan disertasinya. Saya tidak tahu betapa hebatnya seorang pejabat membagi waktu antara studi dan kerja. Jika kemungkinan kedua yang lebih kuat, maka disorientasi akademik sesungguhnya telah terjadi.

memilih mengambil

cuti

Disorientasi akademik tidak mungkin ada tanpa ada campur tangan pihak-pihak tertentu di universitas. Entah apa kompensasi yang diberikan untuk sebuah gelar doktor?

Saya masih ingat ketika seorang doktor lulusan Amerika Serikat tidak meluluskan kandidat doktor di sebuah universitas Islam terkenal di Indonesia gara-gara ia tidak terjun langsung untuk mendapatkan data.

Sayapun tidak menutup mata bahwa di luar negeripun banyak pejabat yang bergelar Doktor. Sebut saja Barrack Husein Obama yang bergelar Doktor Hukum (J.D.) dengan predikat magna cum laude dari Harvard University. Tetapi doktor itu diraih sebelum ia sibuk menjadi presiden Amerika Serikat.

Seorang Soekarno tidak sempat meraih gelar doktor karena sibuk meng urus “Indonesia muda”. Seorang Natsir tidak sempat kuliah karena perjuangan kemerdekaan lebih penting dari sekedar memperoleh gelar sarjana. Bahkan Tan Malaka tak sibuk mengurusi kuliah karena Indonesia Merdeka 100% yang diimpikannya.

Entah apa yang terjadi dengan negeri ini. Banyak orang yang masih berharap dengan idealisme orang-orang di perguruan tinggi. Tapi jika universitas juga telah terlibat dalam “aksi pelacuran gelar akademik”, mau dibawa kemana bangsa ini???

MENULISLAH DENGAN HATI, BUKAN MENCARI SENSASI

Saya kembali teringat kata-kata yang disampaikan pakar Psikologi Pendidikan dan Penulis Buku Motivasi, Fauzil Adhim

pada saat seminar “Trik Menjadi Penulis Sukses” sekitar 3 tahun

kesempatan itu beliau menyampaikan, “Betapa banyak bacaan, artikel, dan buku yang beredar saat ini tak lebih dari sampah yang tak layak untuk dikonsumsi”.

yang lalu.

Dalam

Pertimbangan ingin mencapai popularitas dengan menulis merupakan suatu hal alamiah bagi manusia. Ini adalah potensi dasar manusia yang memang cendrung egoistik dalam menunjukkan eksistensi dirinya. Namun, sikap ini akan bergerak tak tepat, jika untuk mencapai kepopuleran dengan melakukan hal-hal yang tidak tepat. Sudah sering kita mendengar pepatah Arab, “Barang siapa yang ingin terkenal, kencingilah sumur zam- zam.” Ternyata ungkapan ini telah menjadi inspirasi banyak orang untuk menjadikan dirinya Pertimbangan ingin mencapai popularitas dengan menulis merupakan suatu hal alamiah bagi manusia. Ini adalah potensi dasar manusia yang memang cendrung egoistik dalam menunjukkan eksistensi dirinya. Namun, sikap ini akan bergerak tak tepat, jika untuk mencapai kepopuleran dengan melakukan hal-hal yang tidak tepat. Sudah sering kita mendengar pepatah Arab, “Barang siapa yang ingin terkenal, kencingilah sumur zam- zam.” Ternyata ungkapan ini telah menjadi inspirasi banyak orang untuk menjadikan dirinya

Aktivitas menulis

intelektual untuk menyampaikan informasi dan mudah-mudahan pencerahan bagi pembaca. Meskipun seorang filsuf Barat mengatakan, “Pandangan baru yang berbeda dari pandangan sebelumnya tidak elegan jika disikapi dengan pemberangusan. Karena melalui pandangan yang kontra itulah, orang akan mengetahui letak kesalahan dan menguji kekuatan pandangan yang telah ada”, namun ketika tulisan yang kita sampaikan akan semakin membuat resah masyarakat berarti ada

adalah

upaya

tersampaikan yaitu, aspek kemanfaatannya.

spirit yang

tidak

Pilihan tentunya ada di tangan kita, mau menulis dengan baik dan inspiratif atau menulis ngawur demi popularitas sesaat. Karya yang ditulis dengan niat yang baik, dilandasi argumentasi

secara serius demi kemanfaatan orang banyak, niscaya akan abadi. Sedangkan tulisan demi popularitas, tanpa kajian ilmiah yang ketat, hanya ingin menciptakan sesuatu yang berbeda sebagai sebuah kontroversi, pada akhirnya akan menjadi sampah di tengah deretan karya emas monumental sepanjang zaman.

ilmiah,

dikerjakan

MENULIS DENGAN HATI

Tentunya pembaca budiman sudah akrab dengan Novel Ayat- Ayat Cinta, buah karya Habiburrahman Al Shirazy yang telah diangkat ke layar lebar oleh sutradara muda Hanung Bramantyo. Sebuah Novel yang menjadi best seller dan menjadi rujukan banyak orang terutama muslim dalam melihat hakikat cinta.

Selain Novel Kak Abik, bagi pembaca yang akrab dengan sastra tentu kenal juga dengan “Tenggelamnya Kapal van Der

Wicjk”, “Di Bawah Lindungan Ka’bah” dan “Merantau ke Deli” buah pena Ulama Besar Buya Hamka. Banyak yang mengisahkan, ketika membaca roman-roman Buya tersebut tak terasa airmata mengalir dibawa larut oleh cerita yang digugah.

Pembaca sekalian, sesungguhnya apa yang membuat sebuah karya terutama karya sastra bisa mengobok-obok perasaan, menimbulkan tangis, mengobarkan semangat dan idealisme? Menurut hemat penulis, semua itu lahir bukan dari pemenuhan kriteria-kriteria penulisan yang lazim dipahami Pembaca sekalian, sesungguhnya apa yang membuat sebuah karya terutama karya sastra bisa mengobok-obok perasaan, menimbulkan tangis, mengobarkan semangat dan idealisme? Menurut hemat penulis, semua itu lahir bukan dari pemenuhan kriteria-kriteria penulisan yang lazim dipahami

Hati…Ya, karya yang ditulis dengan hatilah yang bisa menggugah hati. Berdasarkan penuturan Kak Abik sendiri, Ayat-Ayat Cinta lahir ketika beliau mengalami kecelakaan yang mengakibat kakinya patah. Pada saat sakit beliau

merasakan, belum ada usaha yang telah dilakukan untuk memperjuangkan agama Allah. Berangkat dari pengalaman antara hidup dan maut inilah Ayat-Ayat Cinta Lahir.

Sementara karya Buya Hamka hadir dari perjalanan hidup beliau yang pahit sejak masa kecil. Lahir sebagai anak laki- laki yang sangat dinantikan karena saudara-saudaranya perempuan semua, berjalan traumatik ketika Ayah beliau Haji Rasul beristri lagi yang membuat Hamka kecil teriris hatinya melihat penderitaan yang dialami oleh Ibu kandungnya. Sempat juga kabur dari rumah, lari menuju daerah selatan Minangkabau, namun di tengah perjalanan mengalami sakit yang hendak mengambil nyawa di badan.

Pengalaman hidup yang membekas di hati ketika disampaikan lewat karya sastra dengan pengolahan bahasa yang sederhana, bisa menjadi meteor yang berpijar sepanjang masa. Karena cerita yang disampaikan tidak lahir dari sebuah kebohongan dan khayalan semata, tapi hadir sebagai kritik dan ungkapan terdalam dari dalam jiwa.

Saya kira, setiap orang punya potensi untuk melahirkan karya-karya

Buya Hamka dan Habiburrahman. Namun, pengalaman kita berbeda dari

fenomenal

layaknya layaknya

Tapi, bagi yang pernah merasakan cinta tentu pernah merasakan bagaimana beratnya mengungkapkan perasaan kepada insan yang disayang, meski untuk mengucapkan sepatah kata saja. Bagi yang sudah merasakan, sadarilah bahwa

positif yang bisa dikembangkan untuk menghasilkan karya-karya yang bisa

ini merupakan

potensi

menjangkau hati…

MEMAKSA DOSEN JADI PENELITI

Mari sedikit bicara dosen dan peneliti. Di indonesia, dosen dibebani dengan tugas mengajar seabrek dan tuntutan untuk menghasilkan penelitian yang berkualitas. Kalau bisa riset implementatif yang mudah dikembangkan secara massal oleh dunia industri.

Sebenarnya tidak ada masalah apabila pemerintah dan beberapa