PERAN GURU SEBAGAI MODEL DALAM PEMBELAJA

PERAN GURU SEBAGAI MODEL DALAM PEMBELAJARAN
KARAKTER DAN BUDAYA BANGSA MELALUI PENDIDIKAN
BAHASA INGGRIS

Oleh:
Sri Sunarti, S.Pd
Widyaiswara Pertama

Abstrak

In Teaching Character and Moral Virtues of English, Teacher, should
be a model. Problems of students’ bad character and Culture which is
always appear in the field of education. This may result from the fact
that education in Indonesia emphasizes intellectual development only,
while other aspects, such as personality, affective factors, and culture,
receive less attention. Schools and teachers actually play an important
role and have a responsibility for students' learning both in the
cognitive and affective aspects. In other words, improvement of
English emphasis on the cognitive aspect such as skills in reading,
language, mathematics, and science aimed at preparing students to
enter the global world should be balanced against the improvement of

their affective aspect. This means that character building and culture
teaching must not be ignored.

Keywords: teacher as model, culture and character building

I.

Pendahuluan
Perubahan kurikulum yang terjadi di Indonesia telah mempengaruhi
perkembangan pendidikan kita. Itu disebabkan karena pendidikan merupakan
tolak ukur pembelajaran dalam lingkup sekolah. Berhasil atau tidaknya
pendidikan bergantung apa yang diberikan dan diajarkan oleh guru. Hasilhasil pengajaran dan pembelajaran berbagai bidang studi terbukti selalu
kurang memuaskan berbagai pihak (yang berkepentingan – stakeholder). Hal
tersebut setidak-tidaknya disebabkan oleh tiga hal. Pertama, Pendidikan yang
kurang sesuai dengan kebutuhan dan fakta yang ada sekarang (Need
Assessment). Kedua, Metodologi, strategi dan teknik yang kurang sesuai
dengan materi. Ketiga, Prasarana yang mendukung proses pembelajaran.
Ketiga hal tersebut memberikan dampak yang besar bagi perkembangan
pendidikan kita.
Untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu proses dan hasil

pembelajaran – di samping juga menyelaraskan dan menyerasikan proses
pembelajaran dengan pandangan-pandangan dan temuan-temuan baru di
berbagai bidang – falsafah dan metodologi pembelajaran senantiasa
dimutakhirkan, diperbaharui, dan dikembangkan oleh berbagai kalangan
khususnya kalangan pendidikan, pengajaran, dan pembelajaran. Oleh karena
itu, falsafah dan metodologi pembelajaran silih berganti dipertimbangkan,
digunakan atau diterapkan dalam proses pembelajaran dan pengajaran. Lebihlebih dalam dunia yang lepas kendali atau berlari tunggang-langgang
(Anthony Giddens, 1991). Falsafah dan metodologi pembelajaran sangat
cepat berubah dan berganti, bahkan bermunculan secara serempak; satu
falsafah dan metodologi pembelajaran dengan cepat dirasakan usang dan
ditinggalkan, kemudian diganti (dengan cepat pula) dengan dan dimunculkan
satu falsafah dan metodologi pembelajaran yang lain, malahan sering
diumumkan atau dipopulerkan secara serentak beberapa falsafah dan
metodologi pembelajaran.
Tidak mengherankan, dalam beberapa tahun terakhir ini di Indonesia
telah muncul berbagai falsafah dan metodologi pembelajaran yang dipandang

baru dan mutakhir meskipun akar-akar atau sumber-sumber pandangannya
sebenarnya sudah ada sebelumnya, malah jauh sebelumnya. Beberapa di
antaranya (yang banyak dibicarakan, didiskusikan, dan dicobakan oleh

berbagai kalangan pembelajaran dan sekolah) dapat dikemukakan di sini,
yaitu pembelajaran konstruktivis, pembelajaran kooperatif, pembelajaran
terpadu, pembelajaran aktif, pembelajaran kontekstual (contextual teaching
and learning / CTL), pembelajaran berbasis projek (project- based learning),
pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning), pembelajaran
interaksi

dinamis,

dan

pembelajaran

kuantum

(quantum

learning).

Dibandingkan dengan falsafah dan metodologi pembelajaran lainnya, falsafah

dan metodologi pembelajaran kuantum yang disebut terakhir tampak relatif
lebih populer dan lebih banyak disambut gembira oleh pelbagai kalangan di
Indonesia berkat penerbitan beberapa buku mengenai hal tersebut oleh
Penerbit KAIFA Bandung [Quantum Learning, Quantum Business, dan
Quantum Teaching] – di samping berkat upaya popularisasi yang dilakukan
oleh berbagai pihak melalui seminar, pelatihan, dan penerapan tentangnya.
Walaupun demikian, masih banyak pihak yang mengenali pembelajaran
kuantum secara terbatas – terutama terbatas pada bangun utamanya. Segi-segi
kesejarahan, akar pandangan, dan keterbatasannya belum banyak dibahas
orang. Ini berakibat belum dikenalinya pembelajaran kuantum secara utuh
dan lengkap.

II. Peran Guru
Dalam proses pendidikan, guru tidak hanya menjalankan fungsi alih
ilmu pngetahuan (transfer of knowledge) tapi juga berfungsi untuk
menanamkan nilai (value) serta membangun karakter (Character Building)
peserta didik secara berkelanjutan dan berkesinambungan.
Kalau kita lihat secara terminology, peran guru merupakan
manifestasi dari sifat ketuhanan. Demikian mulianya posisi guru, sampai
Tuhan, dalam pengertian sebagai rabb mengidentifikasi diri-Nya sebagai

rabbul’alamin “Sang Maha Guru”, ”Guru seluruh jagad raya”.

Oleh karena itu, kita sebagai hamba-Nya mempunyai kewajiban yaitu
belajar, mencari ilmu pengetahuan. Orang yang telah mempunyai ilmu
pengetahuan memiliki kewajiban mengajarkannya kepada orang lain. Dengan
demikian, profesi guru dalam menyebarkan ilmu pengetahuan merupakan
infestasi ibadah. Barang siapa yang menyembunyikan sebuah pengetahuan
maka ia telah melangkahkan kaki menuju jurang api neraka.
Selain itu, guru juga berperan sebagai pendidik (nurturer) yang
berperan dan berkaitan dengan tugas-tugas memberi bantuan dan dorongan
(supporter), tugas-tugas pengawasan dan pembinaan (supervisor) serta tugastugas yang berkaitan dengan mendisiplinkan anak agar anak itu menjadi
patuh terhadap aturan-aturan sekolah dan norma hidup dalam keluarga dan
masyarakat. Tugas-tugas ini berkaitan dengan meningkatkan pertumbuhan
dan perkembangan anak untuk memperoleh pengalaman-pengalaman lebih
lanjut seperti penggunaan kesehatan jasmani, bebas dari orang tua, dan orang
dewasa yang lain, moralitas tanggungjawab kemasyarakatan, pengetahuan
dan keterampilan dasar, persiapan.untuk perkawinan dan hidup berkeluarga,
pemilihan jabatan, dan hal-hal yang bersifat personal dan spiritual. Oleh
karena itu tugas guru dapat disebut pendidik dan pemeliharaan anak. Guru
sebagai penanggung jawab pendisiplinan anak harus mengontrol setiap

aktivitas anak-anak agar tingkat laku anak tidak menyimpang dengan normanorma yang ada.
Selain sebagai kewajiban, mengajar juga merupakan profesi dalam
meningkatkan kompetensi kualifikasi akademik. “Apabila dilakukan oleh
orang yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancuranmu”, penggalan hadits
Rasulullah SAW yang dijadikan warning oleh guru.

1.

Guru sebagai Model dalam Pembelajaran
Guru mempunyai tugas dan kewajiban, tidak hanya mengajar,
mendidik dan membimbing siswa tetapi juga patut sebagai model dalam
pembelajaran sehingga mampu menciptakan suasana belajar yang aktif
dan menyenangkan [yang lebih dikenal dulu, Pembelajaran PAKEM].

Disini, guru sangat berperan untuk menjadi contoh sekaligus motivator
dan inspirator sehingga peserta didik akan lebih tertarik dan antusias
dalam belajar, sehingga hasil belajar yang didapat berdaya guna dan
berhasil.
Sebagai


model atau contoh bagi anak tidaklah mudah bagi

seorang guru karena kita tahu bahwa setiap anak mengharapkan guru
mereka dapat menjadi contoh atau model baginya. Oleh karena itu
tingkah laku pendidik baik guru, orang tua atau tokoh-tokoh masyarakat
harus sesuai dengan norma-norma yang dianut oleh masyarakat, bangsa
dan negara. Karena nilai nilai dasar negara dan bangsa Indonesia adalah
Pancasila, maka tingkah laku pendidik harus selalu diresapi oleh nilainilai Pancasila.
Guru sebagaimana orang tua sudah seharusnya bisa menjadi
model bagi anak-anak. Perilaku keseharian bisa menjadi tauladan bagi
anak-anak didik. Guru bisa menjadi figur sentral dalam pembentukan
kepribadian anak. Jujur, saat ini banyak anak kehilangan figur sentral.
Banyak anak yang lebih cenderung untuk menjadikan tontonan sebagai
model. Bisa saja hal ini terjadi karena orang tua yang mestinya bisa
sebagai model jarang ditemui karena sibuk. Sehingga anak-anak mencari
figur lainnya. Misalnya saja model itu bisa ditemukan pada diri
pembantu, pada tokoh sinetron yang dikagumi, atau mungkin sahabatnya
yang dijadikan figur.
Di sinilah guru dituntut untuk menjadi model. Berikan yang
terbaik buat anak-anak kita. Banyak anak-anak yang sukses karena

melihat figur gurunya yang bersahaja, tegas, dan berwibawa.
Anak-anak adalah mata rantai pewaris perjuangan dalam
menegakkan nilai-nilai kebenaran. Anak-anak adalah pengawal negeri
tercinta. Dialah yang akan menjaga dan melestarikan nilai-nilai budaya
yang telah dibangun dengan susah payah.
Dalam proses transfering values and knowladge guru senantiasa
mengajar dan berkomunikasi. Guru tidak bisa meninggalkan nilai-nilai

dalam mendidik putra-putrinya. Sekali lagi, sebagai agen perubahan,
guru bukan hanya transfer knowledge, tetapi transfer nilai-nilai. Hal-hal
yang tidak baik segera diganti dengan nilai-nilai yang baik.
Berbagai teori telah menyebutkan bahwa apa yang sudah diterima
anak di masa tanam akan masuk dalam memori jangka panjang atau
tersimpan pada alam bawah sadar. Namun demikian, kita tidak boleh
berputus asa, tidak boleh hawatir untuk melakukan perubahan. Masa
model bisa untuk memperbaiki kondisi yang pernah terjadi di masa
tanam.
Kita bisa melihat cara kerja komputer. Ketika masih baru dan
mulai diisi kemudian disimpan, maka itulah yang akan tersimpan terus.
Namun suatu saat apa yang tersimpan itu harus kita delet untuk diganti

dengan yang lebih baik, maka yang sudah didelet itu akan hilang.
Berbeda jika ada file baru yang masuh dan tersimpan, maka sejauh mana
file yang tersimpan itu terbuka kembali.
Di sinilah peran guru sebagai agen perubahan. Guru berperan
sebagi model yang bisa diteladani oleh anak-anak. Banyak model yang
dilihat oleh anak-anak di luar sekolah. Namun di sekolahlah yang
diharapkan model itu bisa ditemukan oleh anak. Sekolah setidaknya
mampu menjadi filter terhadap pengaruh yang terjadi di luar rumah.

2.

Pembelajaran Karakter dan Budaya Bangsa
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan
tujuan

pendidikan

nasional


yang

harus

digunakan

dalam

mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas
menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka

mencerdaskan

kehidupan

bangsa,

bertujuan


untuk

berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,

sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab”. Tujuan pendidikan nasional itu
merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus
dikembangkan. oleh setiap satuan pendidikan. Oleh karena itu, rumusan
tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan
pendidikan budaya dan karakter bangsa.
Untuk mendapatkan wawasan mengenai arti pendidikan budaya
dan karakter bangsa perlu dikemukakan pengertian istilah budaya,
karakter bangsa, dan pendidikan. Pengertian yang dikemukakan di sini
dikemukakan secara teknis dan digunakan dalam mengembangkan
pedoman ini.
Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai,
moral, norma, dan keyak nan (belief) manusia yang dihasilkan
masyarakat. Sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan itu
adalah hasil dari interaksi manusia dengan sesamanya dan lingkungan
alamnya. Sistem berpikir, nilai, moral, norma dan keyakinan itu
digunakan dalam kehidupan manusia dan menghasilkan sistem sosial,
sistem ekonomi, system kepercayaan, sistem pengetahuan, teknologi,
seni, dan sebagainya.
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang
yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang
diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir,
bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan
norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat
kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan
karakter

masyarakat

dan

karakter

bangsa.

Oleh

karena

itu,

pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui
pengembangan karakter individu seseorang.
Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam
mengembangkan potensi peserta didik. Pendidikan adalah juga suatu
usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya

bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik
di masa depan. Keberlangsungan itu ditandai oleh pewarisan budaya dan
karakter yang telah dimiliki masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu,
pendidikan adalah proses pewarisan budaya dan karakter bangsa bagi
generasi muda dan juga proses pengembangan budaya dan karakter
bangsa untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa di
masa mendatang. Dalam proses pendidikan budaya dan karakter bangsa,
secara aktif peserta didik mengembangkan potensi dirinya, melakukan
proses internalisasi, dan penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian
mereka dalam bergaul di masyarakat, mengembangkan kehidupan
masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan
bangsa yang bermartabat.
Berdasarkan

pengertian

budaya,

karakter

bangsa,

dan

pendidikan yang telah dikemukakan di atas maka pendidikan budaya dan
karakter bangsa dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan
nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga
mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya,
menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai
anggota masyarakat, dan warganegara yang religius, nasionalis,
produktif dan kreatif .
Pendidikan yang berbasis karakter dan moral bangsa sesuai
dengan Pasal 20 tahun 2010. Dalam isi kurikulum ini, perlu sekali bagi
kita tidak hanya mengajar tetapi memberikan tingkah laku dan perilaku
yang baik sehingga kedepan peserta didik mempunyai perilaku yang
baik. Tidak hanya ilmu pengetahuan saja yang diharapkan kita, sebagai
generasi penerus bangsa, peserta didik perlu sekali dibekali attitude yang
baik dan terpuji, mengenal karakter diri dan budaya yang selama ini
menjadi kebiasaan yang baik dimata masyarakat bahkan dunia.

3.

Guru sebagai model dalam pembelajaran karakter dan budaya
bangsa dalam pendidikan bahasa inggris

Mata pelajaran Bahasa Inggris merupakan salah satu mata
pelajaran di sekolah yang juga di ujikan dalam ujian nasional. Oleh
karena itu, guru harus berperan aktif dalam pembelajaran tidak hanya
memberikan materi pelajaran bahasa Inggris tetapi juga menanamkan
perilaku yang baik di kelas, sekolah dan masyarakat.
Seorang guru tidak hanya mengajar di dalam kelas saja tetapi
seorang guru harus mampu menjadi katalisator, motivator dan
dinamisator pembangunan tempat di mana ia bertempat tinggal. Ketiga
tugas ini jika dipandang dari segi anak didik maka guru harus
memberikan nilai-nilai yang berisi pengetahuan masa lalu, masa sekarang
dan masa yang akan datang, pilihan nilai hidup dan praktek-praktek
komunikasi. Pengetahuan yang kita berikan kepada anak didik harus
mampu membuat anak didik itu pada akhimya mampu memilih nilai-nilai
hidup yang semakin komplek dan harus mampu membuat anak didik
berkomunikasi dengan sesamanya di dalam masyarakat, oleh karena anak
didik ini tidak akan hidup mengasingkan diri. Kita mengetahui cara
manusia berkomunikasi dengan orang lain tidak hanya melalui bahasa
tetapi dapat juga melalui gerak, berupa tari-tarian, melalui suara (lagu,
nyanyian), dapat melalui warna dan garis-garis (lukisan-lukisan), melalui
bentuk berupa ukiran, atau melalui simbul-simbul dan tanda tanda yang
biasanya disebut rumus-rumus.
Jadi

nilai-nilai

yang

diteruskan

oleh

guru

atau

tenaga

kependidikan dalam rangka melaksanakan tugasnya, tugas profesional,
tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan, apabila diutarakan sekaligus
merupakan pengetahuan, pilihan hidup dan praktek komunikasi. Jadi
walaupun pengutaraannya berbeda namanya, oleh karena dipandang dari
sudut guru dan dan sudut siswa, namun yang diberikan itu adalah nilai
yang sama.
Selanjutnya, pembinaan terhadap guru sebelum mendidik dan
mengajar sangat diperlukan sekali, mengingat perannya dalam dunia
pendidikan untuk menjadi manusia, pribadi (person) dan tidak hanya

menjadi pengajar (teachers) atau pendidik (educator), dan orang ini kita
didik untuk menjadi manusia dalam artian menjadi makhluk yang
berbudaya. Sebab kebudayaanlah yang membedakan makhluk manusia
dengan makhluk hewan. Kita tidak dapat mengatakan bahwa hewan
berbudaya, tetapi kita dapat mengatakan bahwa makhluk manusia adalah
berbudaya, artinya di sini jelas kalau yang pertama yaitu training
menyiapkan orang itu menjadi guru, membuatnya menjadi terpelajar,
aspek yang kedua mendidiknya menjadi manusia yang berbudaya, sebab
sesudah terpelajar tidak dengan sendininya orang menjadi berbudaya,
sebab seorang yang dididik dengan baik tidak dengan sendininya menjadi
manusia yang berbudaya.
Memang lebih mudah membuat manusia itu berbudaya kalau ia
terdidik atau terpelajar, akan tetapi orang yang terdidik dan terpelajar
tidak dengan sendirinya berbudaya. Maka mengingat pendidikan ini
sebagai pembinaan pra jabatan yaitu di satu pihak mempersiapkan
mereka untuk menjadi guru dan di lain pihak membuat mereka menjadi
manusia dalam artian manusia berbudaya, kiranya perlu dikemukakan
mengapa guru itu harus menjadi rnanusia berbudaya. Oleh karena
pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan maka pendidikan dapat
berfungsi melaksanakan pengajaran perilaku yang berdasarkan adat
istiadat dan budaya bangsa.
Oleh sebab itu, pendidikan karakter dan budaya bangsa sekarang
ini disosiaisasikan dan dimasukkan ke dalam kurikulum baru kita yaitu
kurikulum 2011 yang berisikan pendidikan karakter dan budaya bangsa.
Disinilah, guru harus menanamkan rasa solidaritas, persahabatan dan
toleransi kepada sesama maupun orang lain sehingga peserta didik
menjadi lebih mengenal budaya bangsa dan karakter bangsa-nya.

III. Kesimpulan
Pendidikan karakter dan budaya bangsa merupakan kurikulum baru
yang telah disosialisasikan di sekolah-sekolah karena perlu bagi kita
memberikan dan mengajarkan perilaku yang baik kepada peserta didik
sehingga mereka mampu bertindak dengan baik dan terpuji. Dalam
kurikulum ini, guru sangat berperan aktif untuk menjelaskan hal-hal atau
perilaku yang perlu diterapkan ke peserta didik baik dalam kehidupan
sehari-hari maupun di lingkungan formal seperti sekolah.

Daftar Pustaka:
DePorter, Bobbi, Mark Reardon, dan Sarah Singer-Nourie. 2001. Quantum
Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas.
Bandung: Penerbit KAIFA.
DePorter, Bobbi dan Mike Hernacki. 1999. Quantum Learning: Membiasakan
Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Penerbit KAIFA.
DePorter, Bobbi dan Mike Hernacki. 2000. Quantum Business: Membiasakan
Bisnis secara Etis dan Sehat. Bandung: Penerbit KAIFA.
Ni’am, Sholeh, Asrorun. 2006. Membangun Profesionalitas Guru:analisis
Kronologis atas Lahirnya UU Guru dan Dosen. Jakarta: ElSas
_________. 2010. Undang-Undang No. 20 Tahun 2010.