DEMOKRASI DAN KEKUASAAN POLITIK PETAHANA

1

DEMOKRASI DAN KEKUASAAN POLITIK PETAHANA
PADA PILKADA TAKALAR 2007
Ilham Yamin1
Leo Agustino2
Abstract
This article addresses the political power of the incumbent in the domain of local democracy in the reform
era. The paper especially addresses the weak function of Election Supervisory Committee (Panwaslu)and
identifies the position of the incumbent to remain in power. This paper also reveals the delays of the
formation of Election Supervisory Committee, the dependency of the district election committee, and the
utilization of the position and role of bureaucrats with the incumbent winning team. This paper uses a
qualitative approach through case studies of the 2007 local elections in Takalar South Sulawesi, Indonesia.
The samples were selected using purposive sampling method. The data were collected by means of
observation and in-depth interviews. Overall, this paper aims to construct an understanding of local level of
political practices that generate unflorishing democracy.
Key words: Democracy, local election, political party, incumbent, election supervisory committee

Demokrasi melalui pemilihan kepala daerah langsung (Pemilukada) merupakan pintu
peralihan era orde baru yang sentralistik ke era reformasi melalui desentralisasi politik
tingkat lokal. Erb & Priyambudi (2009:17) menyebutkan tahun 2004 masyarakat

Indonesia mempunyai pengalaman untuk pertama kalinya memilih secara langsung
pemimpin nasionalnya dan ini adalah momentum awal proses Demokratisasi di Indonesia.
Lebih dalam menjelaskan bahwa Pemilihan Kepala daerah (Pemilukada) merupakan aspek
terbaru transition of democracy yang selanjutnya menjadi demokratisasi. Demokratisasi
merupakan kekuasaan masyarakat lokal membuat keputusan untuk kepentingan lokal dan
memilih pemimpin daerahnya secara langsung. Namun gelanggang arena demokrasi
dalam aras lokal melahirkan pembusukan politik di mana-mana. Pemilukada di Indonesia
pertama kali dimulai bulan Juni tahun 2005. Dalam perjalanannya hingga saat ini, banyak
terjadi permasalahan dalam pemilukada. Salah satu peneliti masalah pemilukada adalah
Crouch (2010:220) yang mengungkapkan kasus-kasus pemilukada. Dalam setahun
berlakunya pemilukada saja telah terjadi penyidikan kasus 7 gubernur, 45 bupati/walikota
dan wakilnya. Bahkan, beberapa diantaranya telah dihukum pada awal tahun 2006
(http://riangold.wordpress.com/2011/03/14/rekor-korupsi-di-indonesia-dari-30-gubernur17-gubenur-dinonaktifkan-kerana-korupsi.html 10 januari 2011). Kemudian hasil kajian
mengenai pemilukada Mietzner (2007) dalam Erb dan Priyambudi (2009:3-4)
menyebutkan bahwa desentralisasi menggabungkan lahirnya preman (gangster), serta
melahirkan politik uang (money politic) dan korupsi (corruption) di daerah. Selaras
dengan itu, melalui workshop tentang masalah pemilukada bulan Mei 2006 di Singapura
yang menyertakan sarjana Singapura, Australia, Inggris dan Indonesia menyimpulkan
bahwa banyak pandangan pesimis melalui pemilihan langsung tersebut.
1Kandidat Ph.D pada Program Sains Politik, PPSPS FSSK, Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM),

Malaysia. E-mail: ilham_mei@yahoo.com
2
Dosen di Program Sains Politik, Pusat Pengajian Sejarah, Politik dan Strategi (PPSPS), Fakulti Sains Sosial
dan Kemanusiaan (FSSK), Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Bangi, Malaysia.
E-mail:
leoagustino@yahoo.com

2

Kekuasaan politik melalui praktik demokrasi lokal ternyata menyisakan
permasalahan. Selanjutnya, paper ini akan menjelaskan hal tersebut dari konteks posisi
sebagai incumbent dalam studi kasus pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada).
Sebelum jauh membicarakan perkara ini tentunya kita melihat praktik kekuasaan
incumbent yang telah dikaji berbagai sarjana sebelumnya. Seperti studi tentang demokrasi
dan kekuasaan politik oleh Gordon & Landa (2009:1481) melihat incumbent untuk
bertarung kembali mempertimbangkan beberapa sumber daya seperti keuntungan
memegang jabatan atau disebut juga diskon kampanye sehingga pembiayaan kampanye
lebih sedikit dibanding penantangnya. Kemudian dukungan incumbent, keuntungan unik
berguna membangun hubungan pengaruh kelompok kepentingan atau elit dalam sebuah
distrik/kabupaten. Selain itu, La Venia (2011:9) yang menyebutkan sebagai pemegang

kekuasaan politik, incumbent memiliki banyak keuntungan untuk maju ke pemilihan
umum berikutnya. Hal ini berdampak berkurangnya nilai-nilai demokrasi dalam proses
pemilihan umum, serta menjadi tidak fair bagi penantangnya. Selanjutnya, partai-partai
politik dituntut mampu memenangkan kekuasaan melalui pemilihan umum.
Setelah menelaah berbagai kajian tersebut, posisi incumbent untuk level lokal
seperti kabupaten/kota diberi jaminan konstitusi negara bagi pejabat yang telah berkuasa
untuk bertarung dalam periode keduanya. “Ruangan” untuk maju dalam periode berikutnya
secara harfiah disebut incumbent. Mengapa hal ini menjadi penting untuk dikaji?
Pertanyaan ini penting untuk melihat arena demokrasi aras lokal tercemar oleh berbagai
praktik politik yang menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan, khususnya yang
melibatkan incumbent. Intervensi kekuasaan politik melemahkan fungsi Panitia pengawas
pemilihan Umum. Kontrol kekuasaan yang diperankan oleh masyarakat sipil seakan tak
terbendung dengan derasnya pengaruh kekuasaan incumbent untuk maju berkuasa. Tulisan
ini akan membahas kekuasaan politik incumbent melalui studi kasus Pemilukada
Kabupaten Takalar 2007 yang tidak menyuburkan demokrasi. Juga akan mengungkapkan
bagaimana intervensi-intervensi kekuasaan politik incumbent terhadap rezim pemilukada.
Konsep Demokrasi dan Kekuasaan Incumbent
Konseptualisasi demokrasi minimalis Schumpeter (2003:13) dapat kita pahami seperti
pernyataannya sebagai berikut:
... is arguing for a minimalist conceptualization of democracy and that civil rights or

‘abiding by the will of the people directly’ is not necessary for a government to be a
democracy and function accordingly. Democracy is merely a method of, and the
institutions used in, choosing a government through competitive elections. Through
these elections, representatives are chosen, and the common good is derived from the
tally of votes. It is the competition for representation that drives democracy, and
through this competition that the benefits that citizens acquire from democracy over
other forms of government manifest themselves.
Selaras konsep tersebut pemilih memilih wakilnya melalui metode demokrasi
pemilihan langsung sehingga tercipta pemerintahan yang akan melayani rakyatnya.
Namun, sebelum terciptanya pemerintahan ini tentunya memiliki syarat dan kondisi
tertentu. Inilah yang disebut oleh Schumpeter dalam terminologi demokrasi sebagai

3

metode pemilihan berbasis hak asasi pemilih yang mereka nyatakan menghasilkan suatu
pilihan, dimanifestasikan menjadi suatu bentuk pemerintahan. Bersandarkan hal tersebut
peneliti demokrasi pemikiran Schumpeter dibedah oleh Bunce (2000:7) menghasilkan
tentang pra kondisi untuk mengkonsolidasi demokrasi seperti yang disebutkan : ”... how
governance infrastructure and democracy interact with one another, while jointly affecting
states, has to do with the possibility that governance infrastructure is a pre-condition for a

consolidated democracy.”
Berangkat dari berbagai pemikiran sarjana di atas, aplikasi konsep demokrasi
sebagai sistem politik yang bekerja dalam sistem pemerintahan di kaji khusus oleh Baird
(2012:272) yang menemukan konsep infrastruktur pemerintahan terdiri atas empat unsur
yang mendukungnya yaitu: (i) government effectiveness; (ii) regulatory quality; (iii) rule
of law, (iv) control of corruption. Pemikiran Baird inilah menjadi pijakan yang
mengungkapkan bagaimana arena demokrasi lokal melalui pemilukada Takalar 2007 oleh
kekuasaan incumbent melalui penggunaan komisi pemilihan suara, penundaan pengawas
pemilihan umum sehingga mampu berkuasa kembali.
Argumen lain tentang konsep demokrasi sebagai sistem politik menurut Diamond,
Linz & Lipset (dlm. Vanhanen 1997:28-29) mendefenisikan demokrasi untuk menunjukan
sebuah sistem pemerintahan:
... that meets 3 essential conditions: meaningful and extensive competition among
individuals and organized groups (especially political parties) for all effective
positions of government power, at regular intervals and excluding the use of power,
at regular intervals and excluding the use of force; a highly inclusive level of
political participation in the selection of the leaders and policies, at least through
regular and fair elections, such that no major (adult) social group is excluded; and
a level of civil and political liberties- freedom expressions, freedom the press,
freedom to form and join organizations - sufficient to ensure the integrity of

political competition and participation.
Perkembangan konsep dan teori demokrasi melahirkan pemikiran lebih maju oleh
Dahl (1989:233) yaitu peranan lembaga-lembaga demokrasi yang bersandar normatif ke
proses demokratis disebut poliarkis dengan karakteristik sebagai berikut; (i) pengawasan
atas keputusan pemerintah yaitu secara konstitusional disembunyikan melalui pejabat
terpilih, (ii) pejabat yang terpilih melalui pemilihan secara bebas, adil, dan secara berkala,
(iii) secara praktik semua orang dewasa memiliki hak untuk memilih dalam pemilu, (iv)
secara praktik semua orang dewasa memiliki hak untuk menjalankan dalam pemilihan
pejabat, (v) warga negara memiliki hak untuk mengekspresikan secara bebas dalam
berbagai persoalan politik, (vi) sumber alternatif informasi secara bebas dan legal dapat
ditemukan, (vii) setiap orang memiliki hak untuk membentuk partai, kelompok penekan,
dan lembaga independen negara.
Mengkritisi lembaga demokrasi bersandar konsep Dahl (1989) dalam paragraf
tersebut di atas, tentunya partai politik menjadi salah satu kunci utama kesuburan
demokrasi. Untuk perihal ini perlu melihat kembali hasil penelitian peranan partai politik
yang bertarung guna mendapatkan jumlah pemilih. Yang kerap kali terjebak dengan
praktik politik yang dilakukan dengan berbagai cara. Kajian Yadav (2012:1032) pada 64

4


negara demokrasi tahun 1984-2004 menemukan pengaruh kebijakan partai politik dan
korupsi, yaitu elit politik menghadapi masalah kronis dalam mengumpulkan uang yang
cukup untuk membiayai politik yang berbiaya tinggi dalam demokrasi. Selain itu, kajian
mengenai partai politik yang kerap menggunakan taktik politik yang ilegal untuk tetap
berkompetisi dan makmur dalam berpolitik terlihat di Bangladesh dan Kenya. Bryan &
Baer (2005:33) pula menjelaskan melalui studinya di 22 negara bahwa partai politik
memakai taktik pemilihan ilegal meliputi pembelian suara, menyewa preman untuk
mengintimidasi lawan, mengisi kotak suara, dan menyuap petugas pemilihan umum.
Diskusi konsep demokrasi dan kekuasaan politik disebutkan oleh Haugaard
(2010:1049) yang menjelaskan Demokrasi adalah sebuah bunga yang mudah rusak yang
mensyaratkan bentuk khusus dari kekuasaan dan persepsi kewenangan. Ia menerangkan
kekuasaan politik yaitu kekuasaan yang ditaklukan melalui kewenangan, didasari tindakan
yang dilakukan. Kewenangan mensyaratkan sebuah perihal demokrasi yang dalamnya
terkandung norma kesamaan, norma keseimbangan, tertib, bertanggung jawab. Untuk term
kekuasaan politik disini akan membahas khusus incumbent oleh beberapa riset sarjana.
Seperti yang dilakukan Gordon & Landa (2009) meneliti incumbent dengan
mempertimbangkan sumber-sumber yang bermanfaat untuknya. Atau lebih dikenal dengan
‘diskon kampanye.’ Ini berdampak untuk biaya lebih kecil untuk kembali bertarung.
Dibandingkan penantang dengan biayanya lebih meningkat untuk kampanye, dan
dukungan incumbent memunculkan keuntungan unik dengan kemampuan menjalin

hubungan kelompok kepentingan atau elit dalam sebuah kabupaten. Diskusi keuntungan
incumbent serupa pengkaji lainnya yaitu Weisberg (2002:339) di Amerika. Persaingan
presiden Amerika dari Partai Demokrat dan penantangnya dari Partai Republik. Terdapat
keuntungan-keuntungan : (i) kelesuan politik: pemilih cenderung memilih incumbent yang
relevan dengan pepatah “If ain’t broke, don’t fix it”; (ii) dapat belajar dari pengalaman
masa pemilu sebelumnya yaitu biaya kesuksesan kampanye, pekerjaan politik apa saja
selama menjabat, dan perbaikan kesalahan untuk ikut bertarung kembali;(iii) incumbent
mampu mempersatukan partai-partai, sehingga penantang kesulitan memperbaiki celahcelah pada waktu pemilihan; (iv) mampu mengontrol setiap kegiatan menstimulasi
ekonomi, dan mampu mengontrol agenda-agenda; (v) dapat berkampanye tanpa harus
selalu berkampanye—“The Rose Garden Strategy”; (vi) mengklaim bahwa mereka adalah
kandidat yang mampu melalukan perubahan.
Kajian lain tentang kualitas capaian kerja incumbent di negara demokrasi
membangun di Filipina yang lokusnya 48 kota dan kabupaten selama periode juni 2004 –
juni 2008. Riset ini melihat kompetensi incumbent (usia, latar belakang pendidikan), status
untuk kembali bertarung, dan masa jabatan. Penemuannya yaitu adanya inovasi lokal
melalui tumbuhnya sumber daya keuangan lokal. Adapun faktor lain yang mempengaruhi
incumbent yaitu performa kerja sebelumnya dengan mempertimbangkan capaian tingkat
kemiskinan dan capaian pelayanan administasi publik (Capuno 2011:49). Sebaliknya,
penelitian tentang perihal kesulitan incumbent untuk berkuasa kembali oleh Lazarus
(2008:109) di seluruh negara bagian Amerika untuk pemilihan gubernur mulai 1976

-1998. Ia mendapatkan kerentanan melaui kecaman akan kekurangannya selama menjabat.
Ini berdampak terhadap penantang untuk masuk berkompetisi.
Setelah membahas kerangka konsep dan teori, maka bagian seterusnya
membincangkan (i) lemahnya fungsi pengawasan Pemilukada melalui penundaan

5

pembentukan Panwaslu dan (ii) campur tangan kekuasaan incumbent memanfaatkan posisi
dan peran birokrat melalui tim pemenangan.
Lemahnya Fungsi Pengawasan Pemilukada: Penundaan pembentukan Panwaslu .
Kelemahan Fungsi pengawasan pemilukada merupakan salah satu indikator untuk melihat
keberhasilan pemilihan kepala daerah sebagai bentuk pelaksanaan berdemokrasi aras lokal.
Mengapa fungsi pengawasan menjadi lemah ? Untuk menjawab pertanyaan ini, paragraf
selanjutnya menjelaskan beberapa faktor penyebabnya, yaitu: (i) penundaan pembentukan
panitia pengawas pemilihan umum (Panwaslu); (ii) pengangkatan pegawai panitia
pengawas pemilihan umum kecamatan ditentukan oleh Bupati Takalar, dan (iii) biaya
operasionalisasi panitia pengawas pemilihan umum kecamatan melalui pemerintah lokal.
Faktor pertama penyebab kelemahan pengawasan yaitu penundaan pembentukan
Panwaslu. Paragraf ini menjelaskan temuan penelitian dimulai dengan pemilihan kepala
daerah takalar tahun 2007 menggunakan Undang Undang –Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 tentang
Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Secara garis besar pelaksanaan Pemilukada melalui
tiga tahap, yaitu: (i) tahap persiapan; (ii) tahap pelaksanaan dan; (iii) tahap penyelesaian. 3
Aturan tersebut dengan mudah dapat terabaikan melalui kewenangan pemerintah yang
berkuasa. Ditemukannya Panwaslu terbentuk setelah melewati masa tahap persiapan. Hal
3Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Takalar tentang Tahapan, Program dan jadwal waktu
Penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan wakil Kepala daerah kabupaten Takalar tahun 2007 ; Nomor :
001/P.KWK-TK/VII/2007 tanggal 20 juli 2007.tentang tahapan , program penyelenggaraan secara garis
besarnya terdiri tiga tahap yaitu : (i) tahap persiapan; (ii) tahap pelaksanaan dan; (iii) tahap penyelesaian.
Adapun bagian pelaksanaan dalam tahap persiapan, yaitu : (a) pemberitahuan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten takalar kepada KPU Kabupaten Takalar mengenai berakhirnya masa jabatan Bupati dan
Wakil Bupati Takalar; (b penetapan tahapan, program dan jadwal waktu penyelenggaraan; (c) penetapan kode
etik penyelenggara pemilu; (d) penetapan Panitia pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara
(PPS), Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) sebagai bagian pelaksana tahapan
penyelenggaraan Pemilu; (e) pembentukan kelompok kerja penyelenggaraan dan kepanitiaan lainnya; (f)
pembentukan kelompok kerja penyelenggaraan dan kepanitiaan lainnya; (g) pengukuhan PPK, PPS, KPPS
selaku bagian penyelenggara dan rapat kerja KPU Kabuptaen takalar dengan PPK, PPS, KPPS se- Kabupaten
Takalar; (h) bimbingan teknis PPK, PPS, KPPS; (i) penyerahan tahapan, program dan jadwal waktu
penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah Takalar ke DPRD Takalar; (j)
pembentukan dan pelantikan, rapat kerja dan bimbingan teknis PPK dan PPS; (k) pembentukan dan

pelantikan, rapat kerja dan bimbingan teknis KPPS; (l) pemberitahuan dan pendaftaran pemantau Pemilu; (m)
penerangan/penyuluhan/sosialisasi; dan (n) pelatihan operator pengolahan data elektronik hasil penghitungan
suara.
Sedangkan tahap pelaksanaan terdiri dari beberapa point, yaitu: (a) pemutakhiran data pemilih; (b)
pencalonan; (c) proses pengadaan dan pendistribusian logistik; (d) kampanye; (e) pemungutan dan
penghitungan suara.
Terakhir, tahap Penyelesaian terdiri dari beberapa point, yaitu: (a) penerimaan laporan dana
kampanye dari pasangan calon; (b) penyerahan laporan dana kampanye pasangan calon ke akuntan publik;
(c) proses audit laporan dana kampanye pasangan calon; (d) rapat kerja KPU Kabupaten Takalar dengan
PPK, PPS; (e) pengumuman hasil audit dana kampanye pasangan calon; (f) pembubaran KPPS; (g)
pembubaran PPS dan PPK secara berjenjang; (h) laporan penyelenggaraan PPK ke KPU Kabupaten; (i)
laporan penyelenggaraan KPU Kabupaten Takalar kepada KPU Provisnsi Sulawesi Selatan, Bupati dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Takalar; (j) evaluasi hasil Pelaksanaan Pemilu kepala
daerah dan wakil kepala daerah; dan (k) penyampaian laporan penggunaan anggaran pelaksanaan Pemilu
kepada Bupati dan DPRD kabupaten Takalar .

6

ini semakin diperburuk ketika pelaksanaan pengawasan tidak berjalan dan telah memasuki
tahap pelaksanan, tahap ini merupakan tahap penting. Mengapa penting? Karena tahap
pelaksanaan ini adalah pemutakhiran data pemilih/pendaftaran pemilih tambahan.4 Adapun
beberapa kegiatan dalam kegiatan pemutakhiran data pemilih/pendaftaran pemilih
tambahan yang tidak terlaksana pengawasannya, yaitu : (a) penyampaian hasil daftar
penduduk pemilih potensial Pemilu oleh KPU ke PPK, PPS se-Kabupaten Takalar; (b)
penyampaian daftar penduduk pemilih potensial pemilu oleh KPU Takalar ke PPK, PPS seKabupaten Takalar; (c) penyusunan daftar pemilih sementara oleh PPS; (d) pengumuman
daftar pemilih sementara oleh PPS; (e) perbaikan daftar pemilih sementara dan pendaftaran
pemilih sementara dan daftar pemilih tambahan oleh PPS; (f) pengumuman daftar pemilih
tambahan oleh PPS; (g) pengesahan dan penetapan hasil erbaikan daftar pemilih sementara
dan daftar pemilih tetap oleh PPS; (h) pengumuman daftar pemilih tetap oleh PPS; (i)
penyusunan salinan daftar pemilih tetap oleh PPS; (j) penyusunan rekapitulasi jumlah
pemilih terdaftar oleh KPU Kabupaten Takalar; (k) penyusunan rekapitulasi dan penetapan
jumlah pemilih terdaftar oleh KPU Kabupaten Takalar.
Idealnya, untuk pelaksanaan pemilihan umum kegiatan seperti pendaftaran pemilih,
perbaikan pendaftaran pemilih hingga penetapan daftar pemilih merupakan ‘area’ yang
wajib mendapat pengawasan baik oleh lembaga resmi pengawas pemilihan umum maupun
melalui kelompok masyarakat sipil lainnya. Sebaliknya, kasus Pemilukada Takalar
menjadi penemuan penting yaitu semua proses pendaftaran pemilih tidak mendapat
pengawasan oleh Panwaslu Takalar. Sekali lagi, ini merupakan bukti bahwa pelaksanaan
pemilihan kepala daerah tidak patuh terhadap aturan hukum negara. Fakta tersebut
menunjukkan kesesuaian kajian Baird (2012:272) bahwa interaksi antara demokrasi dan
infra struktur pemerintahan salah satunya didukung dengan ketaatan terhadap aturan
hukum. Juga, penggunaan kekuasaan incumbent untuk melemahkan lembaga pengawasan
pemilihan umum merupakan salah satu taktik yang dapat melemahkan demokrasi yang
oleh pemikiran Bryan & Baer, (2005:33) menerangkan bahwa dalam pemilihan umum
terdapat penggunaan taktik yang ilegal dalam memenangkan persaingan.
Lemahnya pengawasan sejak awal tahapan pemilukada mempunyai dampak terhadap
munculnya beberapa pelanggaran yang ditemukan seperti kasus penghitungan ulang di
Desa Patani. Panwaslu mendapatkan kecurangan yang dilakukan oleh Bostan Tika
sebagai orang dekat Ibrahim Rewa (bupati incumbent).5 Dia melakukan pemungutan
suara sebanyak dua kali yaitu di Tempat Pemungutan Suara (TPS) Kelurahan Sombala
Bella dan Desa Patani. Ini merupakan kelalaian dari petugas Komisi Penyelenggara
Pemungutan Suara (KPPS) di dua desa tersebut. Penyebab awalnya adalah kelalaian
petugas KPPS dalam pendataan daftar pemilih tetap (DPT) di dua desa itu. Untuk hal ini
pelanggaran terhadap kelemahan DPT dapat diminimalkan melalui fungsi pengawasan
yang dijalankan oleh Panwaslu Takalar. Sayangnya, seperti diungkapkan paragraf
sebelumnya tugas pengawasan pendaftaran pemilih tetap (DPT) tidak dapat dilaksanakan
karena lembaga ini belum terbentuk. Selanjutnya, akibat perbuatannya menghasilkan
4 Hasil wawancara dengan Jussalim Sammak, SH mantan Ketua panitia Pengawas Pemilihan Umum Takalar
tahun 2007 tanggal 25 Juli 2012 di Kabupaten Takalar

5Hasil wawancara dengan Jufri Amir, SH.,MH. mantan anggota Panwaslu Takalar 2007 pada 1 Agustus
2012 di Kabupaten Takalar. Perihal kasus penghitungan ulang di Desa Patani ini terliput dalam website
http://news.liputan6.com/read/150590/pemilukada_takalar_diulang_di_satu_desa.htm (7 Oktober 2012).

7

pidana pemilu. Pelanggaran administrasi pemilu ditanggung oleh KPU Takalar, yaitu 350
orang wajib pilih melakukan pemungutan suara ulang di TPS Desa Patani. Terungkapnya
praktik kecurangan ini memberikan pemahaman yang selaras dengan kajian La Venia
(2011:9) yang menyebutkan incumbent menyebabkan pemilu menjadi tidak fair bagi
penantangnya.
Faktor kedua, yaitu proses pengangkatan pegawai Panwaslu Kecamatan ditentukan
oleh Bupati Takalar. Panwaslu Kabupaten Takalar tidak memiliki kewenangan untuk
menempatkan pegawai Panwaslu tingkat kecamatan. Pengangkatan pegawai panwaslu
tingkat kecamatan, keseluruhannya melalui usulan Camat dan diputuskan melalui Surat
Keputusan Bupati Takalar. Setiap Panwaslu kecamatan mempekerjakan Pegawai Negeri
Sipil sebanyak tiga orang, keseluruhan pegawai merupakan orang dekat incumbent. Hal
inilah yang melemahkan fungsi pengawasan di tingkat kecamatan. Untuk hal ini, kasus
pembagian beras miskin di kelurahan Pabundukang menjadi bukti kuat ketidaknetralan
/tidak independennya panwaslu kecamatan. Dua hari sebelum pemilukada terdapat
pembagian beras miskin ke masyarakat yang dilakukan oleh Daeng Tutu . Dia juga
merupakan imam kelurahan Pabundukang. Beras miskin tersebut menggunakan label partai
pengusung kandidat yaitu Partai Golkar dan stiker pasangan calon Bupati Ibrahim Rewa –
A. Makmur. Namun, karena ditemukan oleh panwaslu kecamatan Polsel sehingga kasus ini
dapat segera ditutupi.6
Faktor ketiga, yaitu pembiayaan operasionalisasi kelembagaan Panwaslu kabupaten
dan Panwaslu kecamatan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) Takalar tahun 2007. Jumlah total pembiayaannya hanya sebesar Rp.400.000.000.
untuk seluruh kegiatan Panwaslu Kabupaten Takalar dan tujuh Panwaslu kecamatan. Selain
itu, mekanisme tanggung jawab keuangan melalui Pemerintah Daerah Takalar, tidak
melalui Badan Pengawas pemilihan Umum tingkat provinsi ataupun tingkat pusat. Hal
inilah yang semakin melemahkan fungsi pengawasan Panwaslu. 7 Dengan demikian,
penjelasan faktor kedua dan ketiga di atas menunjukkan bahwa kenetralan
penyelenggaraan Lembaga Pengawas Pemilihan Umum terlalu mudah dintervensi oleh
pejabat yang berkuasa untuk dapat memenangkan persaingan, sehingga kajian oleh Dahl
(1989:233) selaras yang disebutkan bahwa
pejabat yang terpilih sedianya melalui
pemilihan umum secara bebas dan adil.
Instrumen Kekuasaan Incumbent : Pengalaman Partai Golkar dan Pegawai Negeri
Sipil
Pemilukada di Kabupaten Takalar diselenggarakan pada 5 November 2007 yang diikuti
oleh empat pasangan kandidat. Mereka adalah (diurutkan sesuai nomor urut Pemilukada)
pasangan Hasanuddin Tisi dan Nashar Baso yang diusung oleh gabungan partai seperti
PPP, PBSD, PPD, PBR, PPNU, PKPB, PKB dan PDIP; pasangan Ibrahim Rewa dan
Makmur A. Sadda diusung partai Golkar; pasangan Burhanuddin Baharuddin dan Syamsari
Kitta diusung oleh PNBK, PAN, Partai Merdeka, PKS, Partai Pelopor, PSI dan PKPI; dan
6Wawancara dengan Ketua Partai Merdeka Takalar , Syamsuddin Daeng Kio pada 6 Agustus 2012 di
kediamannya Kelurahan Canrego Polsel, Kabupaten Takalar
7Hasil pengamatan lapangan serta studi dokumentasi oleh peneliti bulan Juli–Agustus 2012 di Kabupaten
Takalar.

8

pasangan Said Pammusu dan Ikrar Kamaruddin yang diusung oleh Partai Demokrasi
Kebangsaan Sokongan partai yang ramai tidak menjamin perolehan suara yang banyak
pula. Ini karena pasangan Ibrahim Rewa dan Makmur A. Sadda yang hanya diusung oleh
satu partai (Partai Golkar) telah berhasil memperoleh suara terbanyak dalam Pemilukada
tahun 2007 sebanyak 60.353 suara. Sedangkan, pasangan lain yang diusung oleh beberapa
partai justru tertinggal jauh; Burhanuddin Baharuddin dan Syamsari Kitta hanya
memperoleh 34.829 suara, pasangan Hasanuddin Tisi dan Nashar Baso memperoleh
29.618 suara dan bahkan pasangan Said Pammusu dan Ikrar Kamaruddin hanya
memperoleh 16.844 suara. 8
Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Sebab, asumsinya semakin banyak partai, maka
semakin besar suara yang diperoleh. Tetapi kenyataannya tidak, satu yang tidak dapat
ditutupi adalah karisma Ibrahim di Takalar yang besar, sehingga dominasi partai dapat
ditumbangkan oleh dominasi individu. Karisma Ibrahim sudah mulai dipupuknya sangat
lama, ini misalnya bisa dilihat dari jejak rekamnya berorganisasi.9 Pengalaman ini jugalah
yang merupakan modal utama Ibrahim dalam membangun karisma dan citranya di Takalar,
sekaligus juga menjelaskan mengapa Ibrahim Rewa berani bersaing untuk berkompetisi
pada pemilihan Bupati Takalar periode sebelumnya (2002-2007).10
Selain itu, hubungan dekat dengan Gubernur Sulawesi Selatan, H.M. Amin Syam
yang sekaligus juga Ketua DPD Golkar Sulawesi Selatan menjadikan Ibrahim Rewa
hampir mustahil ditandingi. Mengapa dikatakan demikian? Satu yang pasti Ibrahim
adalah bupati yang secara langsung maupun tidak langsung memiliki basis massa yang
tersebar di beberapa kecamatan. Selain itu, jika diperhatikan profil para pesaing Ibrahim
pada Pemilukada tahun 2007 (Hasanuddin Tisi, Said Pammussu dan Burhanuddin
Baharuddin) semuanya hanya kuat di kecamatan yang mereka tinggali saja.11
8Keputusan KPU Kabupaten Takalar 2007 Nomor 22/P.KWK-TK/XI/2007 tentang Pemilihan Umum
Kepala Daerah dan Penetapan Pasangan Calon Terpilih Kepala Daerah Dan Wakil Kepala daerah Tahun 2007

9Dengan pengalaman organisasi partai politik Golongan Karya serta organisasi kemasyarakatan yang
berafiliasi dengan Partai Golkar membuat pengalaman dan kiprah politik Ibrahim Rewa semakin matang.
Pengalaman sebagai Komandan Brigade DPD II AMPI Takalar (1980-1985), Ketua I DPD II. KNPI Takalar
(1978-1982), Ketua Umum DPD II KNPI Takalar (1982-1985), Ketua MDI Kab. Takalar (1978-1985), Ketua
Bagian Pengembangan Sarana DPD II GOLKAR Takalar (1978-1983), Sekretaris DPD II GOLKAR Takalar
(1983-1988), Wakil Ketua DPD II GOLKAR Takalar (1988-1993), Ketua IPHI Takalar (1988-2003), Ketua
DPD II GOLKAR Takalar (1993-1998), Ketua DPD II GOLKAR Takalar (1998-2004), Sekwan Pembina
Kosgoro Takalar (1985-1990), Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Takalar (1978-1999), Anggota Dewan
Pakar ICMI Takalar (1993-sekarang), Ketua Dekopin Kab. Takalar (1985-2004), Anggota Dewan Pembina
KONI Takalar (2002-sekarang), Ketua DPD II GOLKAR Takalar (2004-2009), Pembina DPD II GOLKAR
Takalar (2009). Selain itu, beliau pun merupakan pejabat karir yang memulai kerja birokrasinya sejak tahun
1970 (www.takalarkab.go.id/?pilih=hal&id=17nnu.htm 24 Juni 2012).
10Pada masa itu, pemilihan Bupati tidak diselenggarakan secara langsung, tetapi dilaksanakan melalui
mekanisme pemilihan oleh anggota DPRD Takalar. Tahun 2002, Ibrahim Rewa tidak menang mudah seperti
mana dalam Pemilukada 2007. Ini karena kemenangannya tipis dari pesaingnya Ichsan Yasin Limpo yang
hanya dua suara—itu pun harus melalui putaran kedua. Manakala Ikhsan Yasin Limpo pada masa itu adalah
anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan (periode 1999-2004) dan merupakan adik kandung Wakil
Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin. Saat ini Syahrul menjabat sebagai Gubernur Sulawesi Selatan
untuk periode 2008-2013. Sedangkan Ichsan Yasin Limpo, sekarang ini, memangku sebagai Bupati Gowa
untuk kali keduanya (periode I tahun 2005-2010 dan periode II tahun 2010-2015).
11Pengamatan lapangan secara langsung oleh penulis pada bulan Februari dan Juni 2012.

9

Hasanuddin misalnya, kendati beliau adalah putera daerah Takalar, tetapi kiprahnya
lebih banyak dihabiskan di Jakarta sebagai pengusaha. Di samping itu, Hasanuddin
dianggap membonceng nama besar ayahnya sebagai kolonel purnawirawan dan tokoh
masyarakat di Kabupaten Takalar. Kelemahan Hasanuddin lainnya dapat diamati dari sisi
finansial; majunya beliau turut dibantu oleh Ketua DPP Partai Persatuan Daerah, Oemar
Sapta (pengusaha sukses yang bedomisili di Jakarta). Sama halnya dengan Hasanuddin,
Said Pammussu pun setali tiga uang. Kendati beliau adalah seorang mantan Sekretaris
Daerah (Sekda) Kabupaten Takalar, wakil bupati, mantan anggota DPRD Takalar, dan
Ketua Partai Demokrasi Kebangsaan (serta bersahabat rapat dengan pendiri PDK yaitu
Prof. Dr. Ryaas Rasyid), tetapi Said hanya berakar di Kecamatan Mangarabombang.
Elektabilitas yang tidak berakar ini juga ditemui dalam diri Burhanuddin (basis terbesarnya
berada di Kecamatan Galesong Utara dan Galesong Selatan). Karena itu, kelebihan
Ibrahim berbanding kandidat lainnya adalah citranya yang telah dikenal oleh banyak
pemilih di banyak kecamatan di Kabupaten Takalar.
Hasil yang sama akan muncul ketika pertanyaan diarahkan pada kandidat wakil
bupati dari masing-masing pesaing—mengapa Ibrahim Rewa hampir mustahil ditandingi?
Nashar Baso yang berpasangan dengan Hasnuddin Tisi, hanya dikenal luas di Kecamatan
Galesong. Ini pun karena beliau berasal dari daerah tersebut, lebih kurang sama halnya
dengan Syamsari Kitta (pasangan Burhanuddin) dan Ikrar (pasangan Said); mereka hanya
mempunyai basis di kecamatan Pattallassang dan di kecamatan Mangarabombang,
kecamatan Mappakasunggu serta kecamatan Galesong. Malah Ikrar, diketahui berasal dari
etnik bugis (Kabupaten Bone) sehingga dalam kalkulasi politik Pemilukada Kabupaten
Takalar dianggap tidak merepresentasikan ‘keputeradaerahan’—yang diisyaratkan secara
informal pada Pilkada Takalar pada tahun 2007. 12
Merujuk konfigurasi di atas, persoalannya sekarang, bagaimanakah Ibrahim Rewa
dapat mempertahankan kekuasaannya pada Pemilukada 2007? Dan, kekuatan atau
instrumen apakah yang digunakan beliau untuk mempertahankan kekuasaannya tersebut?
Untuk pertanyaan pertama, beberapa paragraf sebelum ini paling tidak telah menjawabnya
yakni selaku Bupati Takalar Ibrahim secara langsung ataupun tidak memiliki basis massa
yang tersebar di beberapa kecamatan. Alasan kedua, selaku ketua Golkar Takalar periode
2004-2009, beliau mendapat sokongan mutlak lagi kuat dari Pengurus DPD II Golkar
Kabupaten Takalar. Ini ditunjukkan melalui konvensi Golkar pada 26 Maret 2007 yang
mengikrarkan beliau berpasangan dengan pejabat Wakil Bupati Takalar 2002-2007,
Makmur Andi Sadda, yang juga ketua Ormas Kosgoro Kabupaten Takalar untuk maju pada
Pemilukada takalar 2007. Pasangan ini kemudian lebih dikenali dengan sebutan ‘Irama’
selama kampanye Pemilukada. ‘Irama’ sendiri merupakan kependekan dari Ibrahim RewA
dan MAkmur Sadda. Satu lagi, indikasi kekuatan Ibrahim untuk kekal mempertahankan
kursi bupati di Kabupaten Takalar adalah adanya peranan pengurus partai Golkar
kecamatan di tujuh kecamatan menyatakan dukungannya kepada Ibrahim, dan siap
membantunya dalam penyuksesan dirinya sebagai Bupati Takalar untuk periode 20072012.
12Hasil penelitian melalui wawancara langsung oleh penulis pada bulan Februari dan Juni 2012 dengan
beberapa calon Bupati/wakil Bupati.

10

Instrumen yang digunakan Ibrahim untuk mempertahankan kekuasaannya pada
Pilkada 2007, adalah: pertama, memanfaatkan posisi dan peran birokrat yang sentral.
Selaku kepala daerah, Ibrahim Rewa dengan mudah ‘menggunakan’ birokrat sebagai tim
inti pemenangannya dalam Pemilukada. Ketua Tim Pemenangan beliau adalah Drs.
Syarifuddin Hamzah, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat (Kabag Humas Kabupaten
Takalar) yang berlatar belakang pegawai Kementerian Penerangan.13 Di bawah Ketua Tim
Pemenangan terdapat Manajemen Tim Pemenangan yang diperankan secara berlapis-lapis
mulai dari Tim inti, Tim Keluarga dan Tim Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD). 14
Semua tim bergerak dengan tujuan untuk memenangkan ‘Irama’ secara mutlak. Jika
merujuk kajian Gordon & Landa (2009) incumbent menggunakan berbagai sumber daya
yaitu pegawai pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya, entah untuk
mendapatkan posisi, jabatan atau yang lainnya.
Kedua, mengintervensi penetapan anggota PPK, PPS, KPPS jelang Pemilukada.
Ini karena penentuan calon anggota PPK, PPS dan KPPS hanya boleh diusulkan melalui
Camat dan Kepala Desa/Kelurahan.15 Akibatnya, PPK, PPS dan KPPS bercenderungkan
memihak kepada incumbent. Jika demikian, maka persaingan menjadi tidak sehat
sehingga prinsip demokrasi yang disyaratkan oleh Dahl (1992:19), seperti adanya lembaga
demokratik dalam menyelenggarakan pemilihan serta wujudnya pemilihan yang bebas dan
adil tidak terpenuhi. Apatah lagi, incumbent tanpa bersalah kerap menggunakan sarana dan
prasarana pemerintah desa atau kelurahan sebagai sekretariat misalnya (seluruh sekretariat
13Pengalaman hampir 25 tahun sebagai Juru Penerangan di tingkat kecamatan dan kemampuannya
berdakwah di Masjid membuatnya memiliki simpul-simpul massa di tingkat akar rumput hingga pelosok
desa. Kedudukan sebagai Ketua Tim Pemenangan merupakan kepercayaan yang diberikan Ibrahim Rewa
untuk mengomandoi tim pemenangan, selain juga karena alasan kedekatan secara individual. Pengamatan
lapangan secara langsung oleh penulis pada bulan Februari dan Juni 2012.
14
Tim Inti merupakan gabungan ‘elit-elit’ dari berbagai unsur yang dekat dengan Ibrahim seperti pengusaha
lokal (MM, Kontraktor yang memiliki 2 Perusahaan CV. Tiga-Tiga Jaya DAN CV. Karya Palapa serta S.S.
yang memiliki 3 perusahaan jasa konstruksi PT. Ikram Tiga Berlian, PT. Harfiah Graha Perkasa, PT. Sinar
Jaya Abadi CC, SKPD/Birokrat, LSM (AE dan SK) dan media cetak lokal (Inti Berita dan Aktualita).
Sumber wawancara Wartawan pedoman Rakyat, J.S tgl 25 juli 2012 di Takalar, dan Wawancara salah satu
Pejabat Dinas PU Kab. Takalar, AF tgl 25 juli 2012 di Kabupaten Takalar)
Tim Keluarga merupakan tim lapis kedua yang terdiri dari gabungan keluarga dekat dari pasangan
Ibrahim-Makmur yang memiliki pekerjaan sebagai pengusaha, aktivis LSM dan juga birokrat. Tidak hanya
itu, Tim Keluarga juga mendapat dukungan dari para sukarelawan ormas-ormas yang berafiliasi dengan
Golkar seperti AMPG (Angkatan Muda Partai Golongan Karya), Komite Nasional Pemuda Indonesia
(KNPI), Pengajian Alhidayah Golkar, Kosgoro, AMPI, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ikatan Persaudaraan
Haji Indonesia, dan lainnya.
Sementara itu, Tim SKPD merupakan gabungan dari aparat pelbagai Kantor, Dinas, Badan,
Kelurahan dan Kecamatan. Tim SKPD memiliki mekanisme atau tugas khusus untuk mendekati masyarakat.
Misalnya, Dinas Koperasi diarahkan untuk mendekati kelompok-kelompok koperasi rakyat di tingkat dusun
dengan tujuan meraih suara sebanyak mungkin bagi pemenangan ‘Irama.’ Demikian pula dengan Dinas
Pertanian, Dinas Perikanan, Dinas Keluarga Berencana, Dinas kesehatan (menggerakkan karyawan di level
Puskesmas dan Bidan Desa), Dinas Sosial (menggerakkan Taruna Siaga Bencana), Dinas Pendidikan
(menggerakkan tujuh Unit pelaksana Teknis Dinas (UPTD) pada setiap Kecamatan yang memiliki PNS dari
tingkat TK hingga SMA, dan juga pengawas lingkup Dinas Pendidikan). Semua informasi ini merupakan
intisari dari wawancara penulis dengan Ketua Tim Pemenangan Incumbent, S.H. pada 20 Juni 2012 di
Takalar.
15 Wawancara dengan Nashar Baso (Calon Wakil Bupati Takalar pada Pemilukada tahun 2007) di
Kabupaten Takalar pada tanggal 23 Februari 2012.

11

PPK menggunakan salah satu ruangan kantor camat dan sekretariat PPS menggunakan
kantor desa atau kelurahan).
Impak negatifnya, netralitas panitia penyelenggara
Pemilukada dipertanyakan.
Tidak berbeda dengan PPK, PPS dan KPPS, Panwaslu pun dipertanyakan
keindependenannya. Mengapa demikian? Ini karena beberapa kasus dibiarkan oleh
Panwaslu, seperti: (i) surat suara yang disembunyikan oleh Kepala Desa Parangmata
(Kecamatan Galesong Utara) sebanyak lebih dari 120 surat suara; (ii) tiga hari sebelum
Pemilukada, Ibrahim Rewa dibiarkan membagikan Raskin kepada masyarakat meskipun
telah masuk masa tenang, dan lainnya. Meski begitu, bukan berarti ‘Irama’ tidak bekerja
keras. Misalnya ‘Irama’ berusaha sebaik mungkin menyediakan pelayanan perobatan
secara cuma-cuma, memberikan bantuan kepada seluruh mesjid melalui safari keliling
Jumat melalui Bantuan Sosial mesjid (Bagian Kesejahteran Sosial Setda Kabupaten
Takalar), mengadakan kegiatan olahraga seperti bola Voli (Ibrahim Rewa Cup yang
diselenggarakan oleh organisasi motor Vespa Takalar SOG 777) dan lain-lain. Dan
hasilnya, ‘Irama’ terpilih menjadi pasangan bupati dan wakil bupati Takalar untuk periode
2007-2012. Fakta ini sejalan pemikiran Haynes (2001:12) mengenai lemahnya kontrol
yang diperankan oleh masyarakat sipil
Setelah terpilih kembali sebagai Bupati Takalar Ibrahim Rewa kemudian
melakukan perombakan terhadap ‘kabinet’ nya.
Mereka yang sehaluan selama
pelaksanaan Pemilukada dipromosi dan mereka yang berseberangan didemosi. Hal ini
adalah umum berlaku pada pemerintahan pasca pemilukada. Mereka yang berjasa dalam
pemenangan Bupati akan mendapat posisi-posisi yang strategis, sebaliknya yang menjadi
lawan politik dalam proses Pemilukada akan ‘diparkir.’ Sayangnya penempatan para
pendukungnya sarat dengan nepotisme dan tidak berdasarkan kompetensi jabatan.
Merujuk berbagai realita Pemilukada Takalar 2007 jika didekatkan melalui konsep
demokrasi oleh beberapa sarjana, maka ditemukan antara praktik yang menyimpang
dengan konsepnya. Demokrasi hanya dijadikan sebagai tunggangan untuk melegalkan
kekuasaan pejabat incumbent dalam mempertahankan kekuasaannya. Incumbent
memanfaatkan posisi dan peran birokrat yang sentral. Pegawai negeri sipil terlibat di
berbagai tim pemenangan baik tim inti, tim keluarga maupun tim lembaga kantor
pemerintah (SKPD). Selanjutnya, independensi penyelenggara pemilu dan kelemahan
pengawasan masyarakat sipil berakibat demokrasi yang menurun di Takalar.
Simpulan
Perbincangan paper ini telah menggariskan satu hal bahwa incumbent selalu
memiliki keuntungan dengan kekuasaannya. Kasus di Kabupaten Takalar menunjukkan
realita tersebut. Partai politik lokal sekedar menjadi kendaraan menghantarkan elit politik
berkuasa. Terlebih setelah memasuki periode keduanya, wewenangnya dengan menunda
pembentukan Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Takalar dan pengaturan
pegawai panwaslu kecamatan mengakibatkan berbagai pelanggaran pemilihan umum.
Demikian halnya intervensi penetapan anggota Komisi Penyelenggara Pemungutan Suara
menambah kasus pelanggaran tersebut. Tentunya untuk berkuasa kembali pemanfaatan
posisi dan peran birokrat yang sentral untuk terlibat di berbagai tim pemenangan
menambah lemahnya fungsi kontrol sosial yang diperankan oleh organisasi masyarakat

12

sipil di Takalar.

Rujukan:
Crouch, H. 2010. Political Reform in Indonesia After Soeharto, Institute of Southeast
Asian studies. Singapore.
Dahl, R. A. 1989. Democracy and its Critics. Yale University Press . New Haven and
London
Dahl, R.A. 1992. Demokrasi dan Para Pengkritiknya. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Erb, Maribeth & Priyambudi Sulistiyanto. 2009. Deepening Democracy Indonesia? Direct
Elections forLocal Leaders (Pemilukada). Institute Of Southeast Asian Studies.
Singapore.
Weisberg, H.F. 2002. Partisanship and Incumbency in Presidential Elections : Special
Issues Parties and Partisanship, Part Three. Jurnal Political Behavior. 24(4) : 339360.
Lazarus, Jeffrey. 2008. Incumbent Vulnerability and Challenger Entry in Statewide
Elections. American Politics Research. 36 (1) : 108-129.
Vanhanen, Tatu. 1997. Prospect of Democracy a Study of 172 Countries. Routledge,
London and New York.
Schumpeter , J. 2003. Capitalism, Socialism, And Democracy. In: Dahl R.A., Shapiro I,
Cheibub JA (eds) The Democracy Sourcebook. Cambridge, MA: MIT Press.
Baird, R.G. 2012. Unpacking Democracy And Governance: Conceptualizing Governance
Infrastructure. Social Science Information 51(2) : 263–279
Bunce ,V. 2000. Comparative Democratization: Big And Bounded Generalizations.
Comparative Political Studies 33(6/7): 703–734.
Bryan, Shari, & Baer, Denise. 2005. Money in politics: A study of party financing practices
in 22 countries. National Democratic Institute forInternational Affairs. Washington
DC.
Haugaard, M. 2010. Democracy, Political Power, and Authority. Social Research 77(4):
2010.
Yadav, Vineeta. 2012. Legislative Institutions and Corruption in Developing Country
Democracies. Comparative Political Studies 45(8) : 1027–1058.
LaVenia, P.A. Jr. A. 201. Breaking the Iron Law: Robert Michels, The Rise of the Mass
Party, and the Debate over Democracy and Oligarchy. Dissertation. The University
at Albany, State University of New York, Rockefeller College of Public Affairs and
Policy Department of Political Science.
Gordon, S. C. and Landa, D. 2009. Do the Advantages of Incumbency Advantage
Incumbents? The Journal of Politics. 71(4) : 1481–1498.
Capuno, J. J. 2011. Incumbents and Innovations under Decentralization: An Empirical
Exploration of Selected Local Governments in the Philippines. Asian Journal of
Political Science. 19(1) : 48-73.
Dokumen

13

Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Takalar 2007 Nomor : 001/P.KWKTK/VII/2007 tentang Tahapan, Program dan jadwal waktu Penyelenggaraan Pemilu
Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah Kabupaten Takalar Tahun 2007.
Surat Keputusan KPU Kabupaten Takalar 2007 Nomor 163/P.KWK-TK/XI/2007 tahun
2007 tentang Tahapan, Program Penyelenggaraan Pemilihan Kepala daerah Dan
wakil Kepala Daerah Takalar Tahun 2007.
Surat Keputusan KPU Kabupaten Takalar 2007 Nomor 22/P.KWK-TK/XI/2007 tentang
Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Penetapan Pasangan Calon Terpilih Kepala
Daerah Dan Wakil Kepala daerah Tahun 2007.