Hubungan Tumor Infiltrasi Limfosit (TILS) Terhadap Respon Patologi Pada Kanker Payudara Stadium Lokal Lanjut Dengan Kemoterapi Neoadjuvant Di RSUP H.Adam Malik Medan

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi
Globocan 2012, versi baru dari Badan Internasional untuk Penelitian Kanker
(IARC), merupakan badan khusus kanker dari Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO), merilis data terbaru tentang kejadian kanker, kematian akibat kanker
diseluruh dunia. Untuk 28 jenis kanker di 184 negara di seluruh dunia. Angka
kejadian kanker payudara telah meningkatdi sebagian besar wilayah dunia, tetapi
ada kesenjangan besar antara negara kaya dan miskin.Tingkat insiden tetap
tertinggi didaerah yang lebih maju, namun kematian relatif jauh lebih tinggi di
negara-negara kurang berkembang karena pergeseran gaya hidup khas negaranegara industri menyebabkan meningkatnya kanker yang berhubungan dengan
reproduksi, diet, dan faktor resiko hormon serta kurangnya deteksi dini dan akses
fasilitas pengobatan. (Globocan 2012).
Di Indonesia diperkirakan 133,52 kasus kanker per 100.000 orang dewasa
pada tahun 2012, dan diperkirakan 299.673 kasus secara total. Kanker payudara
menyumbang sekitar 9% penyebab kematian pada wanita di kawasan AsiaPasifik secara keseluruhan, peringkat keempat setelah paru-paru, hati dan
lambung. Di Indonesia diperkirakan sekitar 22% wanita meninggal akibat kanker
payudara.

Beberapa


negara

lainnya

di

Asia–Pasifik

lainnya

diantaranya Fiji, Kepulauan Solomon (27% ), Malaysia (25%), Filipina
(23%), Kaledonia Baru, Vanuatu (21%), Singapura (20%) dan Samoa (13%) dan
yang kedua yang paling sering di Guam (19%), Polinesia Prancis (18%), Brunei

Universitas Sumatera Utara

(17%), Australia, Selandia Baru (keduanya16%), Papua Nugini, Timor Leste
(15%) dan Korea Utara (12%). (Globocan, 2012).


2.2. Sistem Imun Tubuh
Telah diketahui bahwa proliferasi dan maturasi atau diferensiasi sel normal diatur
secara ketat oleh sejumlah proto-onkogen yang merangsang pertumbuhan dan
berbagai anti-onkogen atau gen supresor tumor yang menghambat pertumbuhan.
Aktivasi proto-onkogen secara berlebihan dapat terjadi melalui perubahan struktur
gen, translokasi kromosom, peningkatan ekspresi gen atau mutasi pada elemenelemen yang mengontrol ekspresi gen bersangkutan. Mutasi demikian sering
tampak pada sel-sel yang berproliferasi secara aktif. Proliferasi berlebihan dapat
dicegah oleh gen supresor yang menghambat pertumbuhan, namun inaktivasi
dan/atau

mutasi

gen

supresor

menyebabkan

hilangnya


fungsi

supresi

pertumbuhan. Amplifikasi onkogen dan/atau inaktivasi gen supresor yang terlibat
dalam regulasi pertumbuhan sel mengakibatkan hilangnya kontrol pertumbuhan
dengan risiko terjadinya transformasi ganas. Perubahan genetik ini menghasilkan
populasi sel dengan sifat-sifat pertumbuhan tidak terkendali, yang merupakan ciriciri sel kanker dan memiliki kemampuan menginvasi jaringan normal di
sekitarnya serta kemampuan bermetastasis dan tumbuh di tempat yang letaknya
jauh dari jaringan asal. ( Hornychova, 2008).
Di samping mengekspresikan molekul-molekul yang menentukan sifat
ganas, sel-sel kanker juga menunjukkan disregulasi gen yang produknya tidak
secara langsung berhubungan dengan sifat pertumbuhan dan sifat invasif sel.
Disregulasi genetik itu di antaranya menyebabkan perubahan ekspresi berbagai
molekul permukaan, gangguan transkripsi dan translasi berbagai molekul protein
6
Universitas Sumatera Utara

intraseluler maupun berbagai substansi yang disekresikan, sehingga sel atau
jaringan tumor yang pada dasarnya berasal dari jaringan sendiri, menjadi asing

atau imunogenik. Karena itu, sebenarnya sistem imun yang normal harus mampu
mengenali sel-sel abnormal tersebut dan memusnahkannya. Fungsi sistem imun
adalah fungsi protektif dengan mengenal dan menghancurkan sel-sel abnormal itu
sebelum berkembang menjadi tumor atau membunuhnya jika tumor itu sudah
tumbuh. Peran sistem imun ini disebut immune surveillance. Beberapa bukti yang
mendukung bahwa ada peran sistem imun dalam melawan tumor ganas diperoleh
dari beberapa penelitian, di antaranya yang mendukung teori itu adalah: (1)
banyak tumor mengandung infiltrasi sel-sel mononuklear yang terdiri dari sel T,
sel NK, dan makrofag; (2) tumor dapat mengalami regresi secara spontan; (3)
tumor lebih sering berkembang pada individu dengan imunodefisiensi atau bila
fungsi sistem imun tidak efektif, bahkan imunosupresi seringkali mendahului
pertumbuhan tumor; (4) di lain pihak, tumor seringkali menyebabkan
imunosupresi pada penderita. Bukti lain yang juga mendukung bahwa tumor dapat
merangsang sistem imun adalah ditemukannya limfosit berproliferasi dalam
kelenjar getah bening yang merupakan draining sites dari pertumbuhan tumor
disertai peningkatan ekspresi MHC (major histocompatibility complex) dan
ICAM (intercellular adhesion molecule) yang mengindikasikan sistem imun yang
aktif. Walaupun diyakini bahwa sistem imun dapat memberikan respon terhadap
pertumbuhan tumor ganas, pada kenyataannya banyak tumor ganas yang tetap
bisa tumbuh karena immune surveillance terhadap tumor ganas ini relatif tidak

efektif. Pengetahuan tentang peran sistem imun spesifik maupun non spesifik
dalam mencegah pertumbuhan tumor spontan dan bagaimana memodulasinya
7

Universitas Sumatera Utara

diduga akan memegang peran penting di kemudian hari dalam meningkatkan
surveillance terhadap tumor, menginduksi resistensi terhadap sisa sel ganas dan
kekambuhan tumor, menghambat perkembangan tumor selanjutnya, dan dalam
menentukan jenis pengobatan. (Nyoman B, 2010).
Sistem

imun

adalah

semua

mekanisme


yang

digunakan

untuk

mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang
dapat ditimbulkan oleh berbagai bahan dalam lingkungan kita. Pertahanan
tersebut terdiri atas sistem imun spesifik (adaptive/acquired) dan non-spesifik
(natural/innate). Respon imun spesifik tergantung pada adanya pemaparan benda
asing, pengenalan, kemudian reaksi terhadapnya. Sebaliknya, respon imun nonspesifik terjadi sesudah pemaparan insial dan pemaparan lanjutan terhadap benda
asing. Kemudian terjadi diferensiasi selektif self dan non-self di mana respon nonspesifik ini tidak tergantung pada pengenalan spesifik. Respon imunologik
menjalankan tiga fungsi yaitu pertahanan, homeostasis, dan pengawasan.
(Herbermen, 1993).
Fungsi pertama sistem imun adalah pertahanan melawan invasi mikroorganisme
yang telah mengisi renungan ahli imunologi lebih dari 100 tahun yang lalu. Jika
elemen pertahanan seluler berhasil menyebar, maka hospes akan muncul sebagai
pemenang dalam perjuangan melawan mikroorganisme. Akan tetapi, apabila
elemen-elemen ini hiperaktif, tanda-tanda tertentu yang tidak diinginkan seperti
alergi dan hipersensitifitas akan muncul. Sebaliknya, apabila elemen-elemen ini

hipoaktif, kerentanan terhadap infeksi ulang akan bertambah seperti terlihat pada
penyakit defisiensi imun. (Nyoman, 2001).

8

Universitas Sumatera Utara

Fungsi kedua sistem imun adalah homeostasis. Homeostasis ini
mempertahankan fungsi degenerasi dan katabolik normal dari isi tubuh dengan
pembersihan elemen-elemen sel yang rusak seperti eritrosit dan lekosit dalam
sirkulasi. Elemen-elemen sel ini mungkin rusak selama perjalanan hidup normal
atau sebagai akibat yang merugikan. Contoh penyimpangan homeostasis adalah
penyakit autoimun di mana mekanisme homeostasis pada penyakit ini terlalu
ditingkatkan.
Fungsi ketiga dari sistem imun adalah fungsi pengawasan diri
(surveillance). Fungsi pengawasan ini memonitor pengenalan jenis-jenis sel
abnormal yang secara tetap selalu timbul dalam tubuh. Sel-sel mutant ini dapat
terjadi secara spontan atau disebabkan oleh pengaruh virus-virus tertentu atau zatzat kimia. Sistem imun diberi tugas pengenalan dan pembuangan benda-benda
baru yang didapat, yang sebagian besar dari tugas ini terjadi di permukaan sel.
Kegagalan mekanisme ini ditetapkan sebagai penyebab utama perkembangan

penyakit-penyakit neoplasma. (Nyoman. 2001).

2.3.Immune Survelence
Konsep immune surveillance dikembangkan pertama kali oleh Paul Ehrlich pada
awal abad ke-20 dan dikembangkan lebih lanjut oleh Burnet dan Thomas pada
tahun 1950 dan 1960-an. Konsep itu menyatakan bahwa sistem imun mempunyai
peran mencegah dan membatasi pertumbuhan tumor. Bila konsep immune
surveillance itu benar, maka sel-sel efektor seperti limfosit B, T-helper, Tsitotoksik, dan sel NK harus mampu mengenal antigen tumor dan memperantarai
kematian sel-sel tumor. Walaupun hanya ada sedikit bukti langsung bahwa
9

Universitas Sumatera Utara

immune surveillance dapat melindungi seseorang terhadap pertumbuhan tumor,
beberapa hasil penelitian mendukung teori tersebut. Seperti telah diuraikan di atas,
individu dengan immunodefisiensi lebih peka terhadap pertumbuhan tumor,
adanya infiltrasi limfosit dalam jaringan tumor dan tumor dapat membangkitkan
respon

imun


seluler.

Selanjutnya,

telah

terbukti

bahwa

tumor

dapat

membangkitkan respon imun seluler spesifik, dan bahwa antigen tumor yang
dapat dikenal oleh sel T-sitotoksik melalui MHC kelas I diidentifikasi sebagai
protein seluler yang diekspresikan secara abnormal atau protein mutant.
Penemuan ini mendukung dugaan bahwa fungsi sel T-sitotoksik adalah
surveillance dan menghancurkan sel yang mengandung gen mutant yang dapat

menyebabkan atau diasosiasikan dengan tumor ganas. (Formentti, 2010).
Dari berbagai indikasi di atas, disusun hipotesis yang menyatakan bahwa:
(1) sel-sel tumor mempunyai struktur permukaan yang dapat dikenal oleh satu
atau lebih efektor sistem imun; (2) sel-sel tumor peka terhadap lisis atau hambatan
pertumbuhan oleh satu atau lebih mekanisme efektor; (3) satu atau lebih efektor
yang relevan harus mampu masuk ke daerah di mana tumor itu tumbuh; (4)
peningkatan kemampuan mekanisme efektor yang relevan akan menurunkan
insiden tumor atau metastasis; (5) penekanan mekanisme efektor yang relevan
baik oleh karsinogen atau tindakan imunosupresif akan meningkatkan insiden
tumor atau metastasis; (6) perbaikan aktivitas efektor yang tertekan akan
mengurangi insiden tumor dan metastasis. Walaupun demikian, immune
surveillance ternyata tidak selalu efektif. Hal itu dibuktikan dengan seringnya
dijumpai tumor lethal pada individu-individu yang imunokompeten. Karena itu,

10

Universitas Sumatera Utara

timbul dugaan bahwa respon imun terhadap tumor lemah atau mungkin juga
imunogenitas tumor yang lemah. (Formentti, 2010).

2.4 Imunogenitas Tumor
Beberapa karakteristik antigen tumor dan respon imun terhadap tumor yang
penting diketahui untuk dapat mengerti tentang imunologi tumor dan mengatur
strategi terapi imun untuk kanker, yaitu: (Heberman, 1993).
1. Tumor mengekspresikan antigen yang dikenal sebagai benda asing oleh sistem
imun pejamu. Sebagai contoh, secara histologik tumor dikelilingi oleh sel-sel
mononuklear yang terdiri atas limfosit T, sel NK, dan makrofag, serta limfosit
dan makrofag yang teraktivasi dalam sistem kelenjar getah bening. Adanya
infiltrasi limfosit di sekitar sel tumor pada melanoma maligna dan kanker
serviks merupakan faktor prediktif untuk prognosis yang lebih baik.
2.

Respon imun sering gagal dalam mencegah pertumbuhan tumor. Beberapa
sebab mengapa imunitas anti tumor tidak dapat mengeradikasi sel-sel yang
mengalami transformasi adalah:
a. Sel-sel tumor berasal dari pejamu, maka dalam beberapa hal menyerupai
sel-sel normal, sehingga hanya sebagian kecil antigen tumor yang dikenal
sistem imun sebagai non-self, sehingga bersifat imunogenik lemah. Secara
umum tumor yang menimbulkan respon imun kuat adalah tumor yang
mengekspresikan antigen asing atau protein yang mengalami mutasi, atau
tumor akibat induksi oleh karsinogen poten pada binatang percobaan
sehingga menyebabkan mutasi gen normal.
b.

Pertumbuhan cepat dan penyebaran tumor melebihi kapasitas sistem imun
untuk mengeradikasi tumor.
11

Universitas Sumatera Utara

c. Berbagai tumor mempunyai mekanisme khusus untuk menghindar dari
respon imun.
d. Sistem imun dapat distimulasi untuk membunuh sel-sel tumor secara
efektif sehingga dapat mengeradikasi tumor. Kemampuan ini yang
digunakan pada terapi imun terhadap tumor.
Walaupun tumor berasal dari jaringan sendiri, tumor pada umumnya
mengekspresikan antigen yang dikenal oleh sistem imun sebagai antigen asing.
Ekspresi antigen tumor pada umumnya menggambarkan perubahan material
genetik akibat transformasi sel, tetapi mekanisme molekuler yang menghasilkan
antigen tumor itu bermacam-macam. Seperti telah disinggung dalam uraian di
atas, keasingan antigen tumor disebabkan adanya mutasi dan disregulasi gen yang
menyebabkan diproduksinya protein baru (neoantigen) yang tidak pernah
diekspresikan dalam keadaan normal, atau pada tumor yang disebabkan virus
onkogenik, biasanya diekspresikan protein virus. Produk gen yang mutasi atau
yang mengalami disregulasi, maupun produk gen virus dikenal oleh sel T dan sel
B sebagai benda asing, karena produk-produk itu tidak pernah dijumpai oleh selsel limfosit tersebut pada jaringan sendiri sebelum tumor tumbuh. Mungkin juga
produk gen mutant itu diekspresikan dengan kadar yang sangat rendah sehingga
tidak dapat menginduksi self-tolerance. Molekul-molekul protein itu dapat
merangsang respon imun spesifik atau berfungsi sebagai sasaran bagi sel-sel
efektor respon imun non-spesifik, misalnya sel NK. (Abbas AK, 1994).
Namun demikian, imunogenitas tumor sangat tergantung pada bagaimana
tumor itu terbentuk. Berbagai percobaan pada hewan menunjukkan bahwa tumor
yang terbentuk akibat karsinogen pada umumnya imunogenik. Spesifisitas dan

12
Universitas Sumatera Utara

sifat imunogenitasnya juga tergantung pada potensi karsinogen penyebab
transformasi sel dan interaksi karsinogen dengan sel sasarannya, dan tidak
tergantung pada sel dari mana tumor itu berasal. Di samping imunogenik, jumlah
idiotip antigen pada permukaan tumor ini banyak sekali, walaupun tumor itu
terdiri atas satu jenis sel. Di lain pihak, apabila karsinogen yang sama
menimbulkan dua jenis tumor primer yang berbeda pada hewan percobaan yang
sama, kedua jenis antigen pada permukaan tumor tidak menunjukkan spesifisitas
yang sama dan tidak bereaksi silang. Tumor yang terbentuk akibat infeksi
retrovirus juga bersifat imunogenik, karena sel yang mengalami transformasi akan
memunculkan antigen baru pada permukaannya, yang terbentuk dari antigen
virion dan antigen produk gen virus yang berintegrasi dengan gen pejamu.
Berbeda dengan tumor yang diinduksi oleh karsinogen kimia, tumor yang
diinduksi oleh virus yang sama akan menampilkan antigen permukaan yang sama
dan bereaksi silang apapun asal selnya, sedangkan imunogenitas tumor jaringan
yang sama akan berbeda apabila masing-masing diinduksi oleh virus yang
berbeda. Kanker spontan, yaitu kanker yang timbul akibat mutasi atau
transformasi genetik tanpa diketahui penyebab eksternalnya umumnya tidak
imunogenik. Kalaupun ada, sifat imunogenitasnya sangat rendah. (Abbas AK.
1994).

2.5. Antigen Tumor
Berbagai jenis antigen tumor pada manusia maupun hewan yang dapat dikenali
oleh limfosit B dan limfosit T telah banyak teridentifikasi. Pada percobaan mencit
digunakan methylcholanthrene (MCA) untuk menginduksi sarkoma dan ternyata
13

Universitas Sumatera Utara

ditemukan adanya respon imun pada mencit tersebut. Pada manusia juga telah
ditemukan antigen tumor, walaupun tidak terbukti dapat memberikan efek imun
protektif. Walaupun demikian hasil identifikasi antigen tumor penting untuk
dipakai sebagai komponen vaksin. (Nyoman Budiono, 2010).
Klasifikasi antigen tumor didasarkan pada ekspresinya, yaitu:
1. Tumor-spcific antigen (TSA) yaitu antigen yang mengalami over-ekspresi
pada sel-sel tumor, tetapi tidak pada sel-sel normal. Beberapa antigen ini
spesifik atau unik untuk jenis tumor tertentu.
2.

Tumor-associated antigen (TAA) yaitu antigen tumor yang selain
diekspresikan oleh sel-sel tumor juga diekspresikan oleh sel-sel tumor.

2.5.1. Produk Gen Yang Mengalami Mutasi
Berbagai antigen tumor diproduksi oleh onkogen mutant dari gen sel-sel normal.
Tumor mengekspresikan produk yang diperlukan untuk transformasi ganas atau
untuk memelihara fenotif ganas. Produk ini biasanya dihasilkan akibat mutasi titik
atau delesi gen, translokasi kromosom atau insersi gen virus pada proto-onkogen
atau gen supresor tumor sehingga membentuk onkogen. Produk mereka disintesis
dalam sitoplasma sel-sel tumor dan dapat mengikuti jalur kelas I antigen
processing dalam antigen presenting cells (APC) yang telah memfagositosis selsel tumor mati. Karena produk ini tidak ada dalam sel-sel normal, maka tidak
menginduksi self-tolerance, dan peptida yang terbentuk dapat menstimulasi
respon sel T pada pejamu. (Gallon C, 2013).
Penderita kanker mempunyai CD4+ dan CD8+ yang dapat merespon
produk onkogen yang mengalami mutasi seperti Ras, p53, dan Bcr-Abl.
Selanjutnya imunisasi dengan protein Ras atau p53 yang mutasi akan

14
Universitas Sumatera Utara

menginduksi CTL (cytotoxic T-lymphocyte) dan respon penolakan terhadap tumor
yang mengekspresikan mutant. Walaupun demikian, pada beberapa tumor protein
ini tidak merupakan target mayor CTL yang spesifik pada pasien. (Gallon .C,
2013).

2.6. Komposisi dan Peranan Imunitas Menginfiltrasi Kanker Payudara
sel imun infiltrasi tumor sering diamati, namun komposisi dari sel imun innate
maupun adaptive yang terlibat bervariasi anatara jenis tumor atau tempat organ.
(Dankert 2010). Data kumulatif dari penelitian Murin dan Human mengenai
subset leukosit yang predominan berkontribusi dalam aktivitas pro atau antitumor
(gambar 1). Model murine mengidentifikasi myeloid yang merupakan turunan
dari leukosit, termasuk makrofag, sel dendrite dan supressor myeloid derived
merupakan sel sel yang berperan dalam membentuk lingkungan mikro melalui
factor yang diproduksi baik menstimulasi sistem imun anti tumor maupun
lingkungan mikro yang mempromosikan penyembuhan luka anti tumor (wound
healing tumor-promoting microenvironment) pada saat tersebut T sel anti tumor
bisa menjadi aktif ataupun mensuprei. (Damaria, 2010).
Dalam perubahannya depolarisasi makrofag menjadi protumorigenic M2
atau fungsi fenotipe anti tumor M1 hal ini di atur oleh Limfosit T. Studi pada
manusia telah menunjukkan hubungan yang signifikan antara keberadaan subset
spesifik sel imun dan respon klinis pada pasien dengan berbagai tumor padat.
Berdasarkan evidence menduga bahwa adaptive imunity

yang dimediasi sel

limfosit T atau B mendukung fondasi inti dalam efektifitas dan respon anti
tumor. Pada kanker payudaara infiltrasi tumor yang luas oleh sitotoksik sel
15
Universitas Sumatera Utara

CD8+ sel T berkaitan erat dengan kelangsungan hidup pasien dan respon terapi.
Kehadiran CD4+ sel T regulator (Treg) telah dikaitkan dengan baik dan buruk
terhadap respon tumor. Diantara sel CD 4- dan sub populasi dari sel T lainnya, sel
Th 1 (sumber sel imun dari interferon –γ), memiliki hubungan yang yang
menguntungkan dalam clinical outcome. sedangkan sel Th2 telah dilaporkan
terkait dengan peredam dari respon antitumor. Sel Th17, merupakan produsen
proinflamasi interleukin 17 family sitokin, tampaknya memiliki efek variable
tergantung pada lingkungan sitokin sekitarnya, yang mungkin dihubungkan
dengan situs organ dan jenis tumor. Adanya sel follicular helper, sub bagian
terbaru dari CD4+, memberikan hubungan yang positif terhadap hasil pada
pemberian kemoterapi adjuvant maupun neoadjuvant. Peranaan sel limfosit B saat
ini tidak didefinisikan dengan baik dan masih kontroversial. Mengingat
heterogenitas fungsiona llimfosit intra tumoral itu adalah menarik bahwa tingkat
infiltrasi limfositik dinilai dengan evaluasi sederhana melalui preparat tumor
dengan pewarnanaan hematoxylin dan eosin (H & E), merupakan faktor prediksi
dan prognosis pada tripel negatif dan HER2 positif, penjelasan yang
memungkinkan mengenai regulasi imun negatif adalah adanya bagian dari normal
umpan balik untuk respon aktifasi anti tumor dan berkelanjutan, oleh karena itu
berpotensi mendefenisikan tumor yang lebih imunogenik. Pertimbangan ini
memiliki beberapa implikasi penting, pertama bahwa subset masing masing
individu yang memiliki keterbatasan,misalnya imunitas terlalu rendah atau tidak
adanya infiltrasi treg mencerminkan tumor yang diabaikan oleh sistem kekebalan
tubuh sementara t-reg tinggi pada tumor mengakibatkan sinyal aktif, berhasil pada
upaya penolakan tumor. Kedua, kaya til

dan

miskin til masing-masing

16

Universitas Sumatera Utara

mencerminkan sifat biologi sel tumor yang sangat berbeda terhadap kerentanan
imunoterapi, pada akhirnya, pada tils yang moderat hingga yang eksentif
kehadiran peritumoral atau tumor limfosit stroma dapat dilihat pada beberapa
pasien. (Mahmoud .BM 2010).
Meskipun ketidakmampuan sistem kekebalan tubuh untuk menolak tumor
yang terdeteksi secara klinis, respon imun yang terorganisir pada tempat tumor
menyebabkan kemungkinan adanya sinyal generasi memori imunologi dengan
potensi untuk secara efektif mengendalikan penyakit sisa. (Almendro.V 2014).
Variabilitas

juga telah terdeteksi dalam

individu tumor diduga bahwa sifat

interaksi tumor-imun mungkin heterogenitas tumor paralel. Pemberian terapi
sitotoxic seperti kemoterapi dan radioterapi bisa sebagai sistem pendongkrak
awal. Anti respon immune anti tumor yang lebih kuat langsung mengarah ke
jangkauan yang lebih luas dari antigen kanker payudara yang berpotensi tinggi
dalam mengontrol heterogenitas populasi sel ganas yang ada pada tumor primer
yang luas dan terdapat metastasis. Hipotesis ini didukung oleh penelitian yang
menunjukkan bahwa tingkat limfosit infiltrasi adalah prediksi dari respon lokal
yang lebih baik terhadap pengobatan neoadjuvant dan prognostik jangka panjang
dalam pengendalian penyakit. (Damaria 2001).

17

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1. Tumor Infiltrasi limfosit pada kanker
Tampak seluler cross-talk subbagian yang berbeda dari leukosit dan kontribusi
sel dominan terhadap aktivitas baik

pro atau antitumor,

termasuk myeloid

lineage leukocytes, makrofag tumor terkait dengan baik protumorigenic (M2)
atau antitumorigenic (M1), subset sel T helper, sitotoksik sel T, sel T regulator,
sel B, sel dendritik dan sel supressor myeloid yang diturunkan. Sel-sel ini
memainkan peran sentral dalam membentuk lingkungan mikro melalui faktor
yang mereka hasilkan yang mengontrol baik sebagai mediator imun anti atau
protumor. (Damaria 2010).

2.7. Sitotoksisitas Sel imun Terhadap Tumor
a) Sitotoksitas melalui sel T

Subpopulasi limfosit T, limfosit T-helper dan T-sitotoksik sama-sama berperan
dalam mengeliminasi antigen tumor. Sel yang mengandung antigen tumor akan
18

Universitas Sumatera Utara

19
mengekspresikan antigennya bersama molekul MHC kelas I yang kemudian
membentuk komplek melalui T-Cell Receptor (TCR) dari sel T- sitotoksik
(CD8+), mengaktifasi sel T-sitotoksik untuk menghancurkan sel tumor tersebut.
Sebagian kecil sel tumor juga mengekspresikan antigen tumor bersama molekul
MHC kelas II, sehingga dapat dikenali dan membentuk komplek dengan limfosit
T-helper (Sel T CD4+) dan mengaktivasi sel T-helper terutama subset Th1 untuk
menseTNF sel tumor untuk lebih banyak lagi mengekspresikan molekul MHC
kelas I, sehingga akan lebih mengoptimalkan sitotoksisitas dari sel T-sitotoksik
(CD8+). Konsep ini diaplikasikan dalam pengobatan tumor menggunakan Tumor
Infiltrating Lymphocytes (TIL), yaitu sel-sel mononuklear yang berinfiltrasi
menuju ke sekitar jaringan tumor padat karena adannya reaksi inflamasi, sel
tersebut diperbanyak secara kultur in vitro dengan penambahan IL-2.( Kresno
2011).

Gambar 2.2. Induksi respon sel T terhadap Tumor

19
Universitas Sumatera Utara

b) Sel Natural Killer

Sel NK berukuran sedikit lebih besar dari pada sel limfosit kecil, berjumlah 1015% limfosit darah perifer. Secara morfologi sel NK termasuk dalam populasi
Large Granular Lympocyte (LGL). Granular Ini terdiri atas granula sitotoksik dari
sitoplasma yang dikeluarkan saat aktivitas sitotoksik. Sel NK dapat berperan
dalam respon imun spesifik maupun non spesifik. Sel NK merupakan sel efektor
terhadap sitotoksisitas spontan berbagai jenis sasaran, tidak memiliki sifat klasik
dari makrofag, granulosit maupun CTL dan sitotoksisitasnya tidak tergantung
pada MHC. Mekanisme lisis yang digunakan sama dengan yang dilakukan oleh
CTL yaitu dengan mengeluarkan perforin dan granzym yang menyebabkan sel
kanker lisis, mengeluarkan IFN sehingga meningkatkan kerja fagositosis
makrofag, melakukan recognition dengan sel kanker dengan perantara FAS Ligan
terhadap sel kanker yang telah diopsonisasi sehingga sel kanker diprogram
apoptosis. (Fin Oj. 2008, Kresno 2011)

Sel NK tidak mengeluarkan TCR dan merupakan CD3 negatif. Sebagai
gantinya sel NK mengeluarkan 2 tipe reseptor yang memperkuat kemampuannya
membunuh sel kanker dan sel yang terinfeksi virus, yaitu reseptor pengaktivasi
yang masih mengenali molekul yang dilingkupi oleh penyakit pada sel target dan
Killer Inhibitor Receptor (KIR) yang menghambat sitolisis NK melalui
pengenalan terhadap molekul MHC I-nya sendiri. Sel NK tidak melisiskan sel
berinti yang sehat karena semuanya mengeluarkan MHC I. Jika infeksi virus dan
atau perubahan neoplastik mengurangi pengeluaran MHC I normal, sinyal KIR
akan terganggu dan terjadilah lisis. Disisi lain sel NK juga mengekspresikan
20

Universitas Sumatera Utara

CD56 yaitu suatu molekul yang mampu mempromosikan adhesi intraseluler. Sel
NK mempunyai reseptor untuk bagian tetap dari IgG yang menjadikannya
sitotoksisitas tergantung antibody dependent sellular cytotoxicity (ADCC).
Antigen yang diopsonisasi oleh IgG akan dikenali oleh sel NK untuk dilisiskan.
Aktivitas ADCC ini penting untuk efek terapeutik optimal dari antibodi
monoklonal tumor spesifik. Pada penelitian-penelitian terakhir mengungkapkan
bahwa pengikatan sel NK terhadap sel sasaran dapat terjadi melalui sel reseptor
khusus yang berbeda dengan Fc yaitu reseptor NKRPI, yang mengikat molekul
semacam lektin. Kemampuan sel ditingkatkan oleh IFN , IL-2, IL-12, sehingga
peran anti tumor sel NK bergantung pada rangsangan yang terjadi secara
bersamaan pada sel T dan makrofag yang memproduksi sitokin tersebut. IFN
mengubah sel pre-NK menjadi sel NK. Aktivitas sel NK sering dihubungkan
dengan prognosis karena sel NK mempunyai peran penting dalam mencegah
metastasis dengan mengeliminasi sel tumor dalam sirkulasi. Hal ini dibuktikan
dengan adanya penelitian yang mengungkapkan bahwa 90%-99% sel tumor yang
dimasukkkan intravena akan hilang dalam 24 jam. (Fin. 2008; Kresno 2011)

c) Sitotoksisitas melalui makrofag

Makrofag dapat berperan dalam melawan sel tumor dengan berperan sebagai
Antigen Presenting Cell (APC) menghasilkan sitokin yang mengaktifkan sel
imunitas lain dan bertindak langsung sebagai efektor dengan melisiskan sel tumor
apabila sudah diaktivasi oleh Macrofage Activating Factor (MAF). (Fin. 2008;
Kresno 2011)

21

Universitas Sumatera Utara

Kemampuannya berikatan dengan sel tumor karena makrofag juga
mempunyai reseptor Fc yang mampu bekerjasama dengan IgG. Penyebab sel
tumor lisis akibat reaksi enzim lisosom, metabolit reaktif terhadap oksigen dan
NO. Makrofag juga aktif mensekresi TNF, IL-12 yang berperan memacu
proliferasi dan aktivasi Sel T CD4+, CTL serta sel NK. TNF sesuai dengan
namanya mampu melisiskan sel tumor dengan berikatan pada reseptor permukaan
sel tumor dan menyebabkan nekrosis dari sel tumor dengan cara memobilisasi
berbagai respon imun tubuh. Diakhir peristiwa imunitas dihasilkan debris-debris
sisa penghancuran sel, selanjutnya peran makrofag yang membersihkan debris
tersebut. Opsonisasi komplemen dan antibodi terhadap debris-debris tersebut
membantu proses fungsi pembersihan makrofag. Akumulasi makrofag dalam
tumor mungkin menggambarkan interaksi makrofag kompleks dari beberapa
faktor dan juga kinetik produksi monosit oleh sumsum tulang. Jadi status
fungsional makrofag dalam tumor juga berperan selain jumlahnya. (Fin, 2008).

2.8 Metode untuk penilaian TILs pada Kanker Payudara yang di
Rekomendasi
Rekomendasi penilaian TILs dalam kanker payudara berdasarkan hasil rapat
diskusi para peneliti TILs pada kanker payudara fase III, tahun 2013, untuk
menyeragamkan standar penilaian TILs pada kanker payudara untuk yang
dapat sebagai penuntun praktek klinis, penelitian ataupun clinical trial.
Pewarnaan penuh dengan Hematoksilin eosin (HES) pada slide tumor primer
dievaluasi sebagai persentase dari intratumoral (It) dan stromal (str) Tils
sesuai dengan criteria yang direkomendasikan, kriteria terbaru yang
22
Universitas Sumatera Utara

digunakan adalah TILs yang tinggi jika TIL intratumoral (It) dan Str-TIL ≥
50% dan TILs yang Tinggi bila It TIL dan Str TIL < 50% nilai tersebut telah
divalidasi sebagai cutoff (Dieci dkk 2015; Lois dkk 2013; Salgado 2014).
Standarisasi dan pedoman untuk penilaian tils (Gambar 2.3). TILs harus
dilaporkan sebagai persentase. Jika persentase tils meragukan, diskusikan
kasus dengan ahli patologi kedua. Dalam keheterogenan tumor, penilaan
dalam region yang berbeda dilaporkaan dalam rata-rata. Untuk grafis standar
ini, gambar dipilih yang dapat mewakili tingkat tils yang berbeda-beda,
berdasarkan hasil dari tiga ahli patologi serta analisis gambar.

Table 2. Recommend

23

Universitas Sumatera Utara

ing tumor-infiltrating lymph

฀Gambar

2.3. Standar penilaian TILS pada kanker Payudara

24

Universitas Sumatera Utara

2.9 TILs sebagai Faktor Prediksi dan Prognosis terhadap Respon Terapi
Kemoterapi Neoadjuvant Pada kanker Payudara
Pemberian neoadjuvant kemoterapi secara sistemik memberikan kesempatan
untuk penilaian yang relatif cepat dalam keberhasilan terapi dari rejimen yang
diberikan. Pengaturan ini tidak hanya untuk mengevaluasi peran prediksi
biomarker, termasuk tils, tetapi juga memungkinkan penilaian dari dinamika
perubahan biomarker sebelum dan sesudah terapi. Pemberian kemoterapi sistemik
pasien kanker payudara terkait dengan perubahan parameter laboratorium
menunjukkan kekebalan sistemik. Parameter laboratorium menunjukkan aktivasi
kekebalan

sistemik,

termasuk

peningkatan

konsentrasi

neopterin,

atau

peningkatan jumlah T-limfosit. (Hornychova, 2008).
Dalam sebuah studi kohort pasien ukuran terbatas, jumlah intra-epitel CD3
+ tils yang signifikan tinggi pada pasien dengan terapi neoadjuvant memiliki
respon lengkap patologis. Pasien yang memiliki respon lengkap patologis juga
memiliki sel dendritik secara signifikan lebih tinggi (CD83 +) pada sampel pre
treatment. Peran potensial tils sebagai biomarker memprediksi respons lengkap
patologis itu selanjutnya dikonfirmasi pada kohort yang jauh lebih besar
sampelnya. (Melichar , Loi.S 2013; Loi.S 2014).
Hampir 1000 pasien pada penelitian persentase dari

sarang

tumor

epitelial terdiri dari intratumoral limfosit yang merupakan faktor prediksi
independen

dalam pengaruhnya terhadap respon komplit patologis pada

penelitian analisis multivariat pada respon patologis komplit dijumpai 40% pada
pasien dengan tumor ditandai oleh infiltrasi limfositik yang tinggi, namun hanya
7,2% pasien tanpa infiltrat limfositik. Baru-baru ini, laporan lain

telah

25
Universitas Sumatera Utara

mengkonfirmasi peran prediksi tils pada pasien dengan kanker payudara yang
menjalani kemoterapi neodjuvan. Dalam sebuah penelitian pada 68 pasien yang
diobati dengan regimen anthracycline dan taxanebased. (Dankert, 2010).
Yamaguchi dkk 2012, menemukan jumlah tils menjadi faktor prediktor
yang signifikan terhadap respon lengkap patologis baik analisis secara univariat
dan multivariat. Seperti disebutkan di atas, kehadiran tils berbeda menurut subtipe
kanker payudara. meningkatnya kehadiran dari tils telah dilaporkan berhubungan
dengan histologi duktal , high grade, tidak adanya ekspresi reseptor hormon dan
ekspresi tinggi dari antigen proliferasi Ki67. Infiltrasi

limfositik

memiliki

korelasi yang signifikan pada pasien dengan triple-negative dimana tingginya
TILs semakin tingi rata-rata respon komplit patologinya. (Yamaguci, 2012).

Gambar 2.4 nilai prediktif TILs pada kanker payudara; , (A)
meningkatnya jumlah TILs dengan kemoterapi neoadjuvant memprediksi
26

Universitas Sumatera Utara

tingginya angka respon komplit patologi. (B) Sangat kontras pada tumor
dengan TILs rendah menunjukan respon patologi komplit yang rendah.
( Yasmin, 2014).

Penggunaan TILs dan respon terhadap kemoterapi neoadjuvant juga
menjadi garis depan pedoman

dalam mengambil keputusan

mengenai

penanganan kanker payudara. Adanya infiltrasi limfosit tumor dan respon
kemoterapi neoadjuvant juga dapat digunakan pedoman dalam pemilihan
terapi lini ke dua, pasien dengan TILs yang tinggi dan respon patologi
komplit terhadap pemberian kemoterapi neoadjuvan memiliki prognosis yang
baik. Dan tidak memerlukan intervensi lanjut selain dari pada penangan
standar. Pasien dengan TILs yang tinggi namun respon patologisnya tidak
komplit atau pasien dengan TILs yang rendah namun TILS yang meningkat
setelah kemoterapi neoadjuvant mungkin menguntungkan dalam pemberian
imunoterapi. Namun

pasien dengan sedikit TILs sebelum dan sesudah

kemoterapi neoadjuvan mendapatkan terapi tambahan atau stategi perbedaan
strategi untuk menginduksi terhadap respon imun, seperti terapi seluler
adoptive atau strategi vaksinasi. Inhibitor target harus dipertimbangkan untuk
semua pasien yang sesuai. Namun dampak inhibitor target pada respon imun
harus pertimbangan terapeutik. (Gunter 2012; Loi.S 2013).

27
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.5 TIL dan respon terhadap terapi sebagai pedoman. penatalaksanaan
kanker payudara.

28

Universitas Sumatera Utara