KONSELING BEHAVIORAL DENGAN TEKHNIK ASSERTIVE TRAINING DALAM MENINGKATKAN SELF CONFIDENT SEORANG GURU DI MA MIFTAHUL ULUM BENGKAK WONGSOREJO BANYUWANGI.
KONSELING BEHAVIORAL DENGAN TEKHNIK ASSERTIVE TRAINING DALAM MENINGKATKAN SELF CONFIDENT SEORANG
GURU DI MA MIFTAHUL ULUM BENGKAK WONGSOREJO BANYUWANGI
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Sosial
(S.Sos)
Oleh: Nur Arofah
B03213019
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM JURUSAN DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 2017
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
ABSTRAK
Nur Arofah (B03213019), Konseling Behavioral dengan Tekhnik Assertive
Training dalam Meningkatkan Self Confident seorang Guru Di MA Miftahul Ulum Bengkak Wongsorejo Banyuwangi. Fokus penelitian adalah (1) Bagaimana proses konseling behavioral
dengan menggunakan tekhnik assertive training dalam meningkatkan self
confident seorang guru di MA Miftahul Ulum Bengkak Wongsorejo Banyuwangi? (2) Bagaimana hasil konseling behavioral dengan
menggunakan tekhnik assertive training dalam meningkatkan self
confident seorang guru di MA Miftahul Ulum?
Untuk menjawab permasalahan tersebut, peneliti menggunakan metode kualitatif dengan studi kasus. Dalam menganalisa proses konseling
behavioral dengan tekhnik assertive training dalam meningkatkan self
confident seorang guru yang digunakan berupa hasil observasi dan wawancara yang disajikan dalam bab penyajian data dan analisis data.
Tekhnik yang digunakan assertive training dengan prosedur role playing
(bermain peran) pada proses konseling, konseli diminta untuk memainkan peran sebagai seorang guru yang tegas dan menarik juga berperan sebagai siswa yang nakal. Dalam hal ini konseli diharapkan bisa melihat dan
merasakan tingkah laku yang menyebabkan self confidentnya rendah dan
juga bisa menilai antara tingkah laku yang akan dipertahankan dan tidaknya.
Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa konseling behavioral dengan
tekhnik assertive training dalam meningkatkan self confident seorang guru
melalui permainan peran (role playing) mulai dari konseli berperan sebagai guru dan berperan sebagai siswa. Pada penelitian ini, proses
konseling menggunakan konseling behavioral dengan tekhnik assertive
training, dengan pendekatan ini konseli dapat meningkatkan self confidentnya dan hasil dari proses konseling ini cukup berhasil dengan perubahan pada perilaku konseli, yang mana hasil tersebut menunjukkan
bahwa self confident konseli telah meningkat.
(7)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
PENGESAHAN ... iii
MOTTO ... iv
PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN OTENTISITAS SKRIPSI ... vii
ABSTRAK ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xiii
BAGIAN INTI BAB I : PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1
B.Rumusan Masalah ... 6
C.Tujuan Penenelitian ... 7
D.Manfaat Penelitian ... 7
E. Definisi Konsep ... 8
F. Metode Penilitian ... 10
1. Pendekatan Dan Jenis Penelitian ... 10
2. Subyek Penelitian dan tempat penelitian ... 11
3. Tahap-tahap Penelitian ... 12
4. Jenis dan Sumber Data ... 13
5. Teknik Pengumpulan Data ... 15
6. Teknik Analisis Data ... 16
G.Sistematika Pembahasan ... 19
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA A.Konsep Dasar Tentang Konseling Behavioral ... 21
1. Penegrtian Konseling Behavioral ... 21
2. Pandangan Tentang Sifat Manusia ... 22
3. Ciri ciri dan Tujuan Terapi Behavior ... 24
4. Tekhnik-tekhnik dalam Konseling Behavior ... 26
a. Tekhnik Tingkah Laku Umum ... 26
b. Tekhnik-tekhnik Spesifik ... 27
(8)
B. Tehknik Latihan Assertive dalam Konseling Behavioral ... 34
1. Pengertian Latihan assertive ... 34
2. Kelebihan dan kekurangan Latihan Assertf ... 39
a. Kelebihan pelatihan asertif ... 39
b. Kelemahan pelatihan asertif ... 39
C.Self Confident (percaya diri) ... 40
1. Pengertian Percaya Diri ... 40
2. Aspek-aspek Percaya Diri ... 41
3. Faktor yang mempengaruhi perkembangan Percaya Diri . 42 4. Karakteristik individu percaya diri ... 45
5. Indicator percaya diri ... 47
D.Penelitian Terdahulu yang Relevan ... 49
BAB III: PENYAJIAN DATA A.Deskripsi umum objek penelitian ... 52
1. Deskripsi lokasi Penelitian ... 52
a. Sejarah Berdirinya Lembaga MA ... 52
b. Visi dan Misi MA ... 53
c. Profil MA ... 54
d. Formasi Guru MA ... 55
e. Keadaan Siswa MA ... 56
f. Tata Tertib dan Sanksi ... 56
g. Sarana dan Prasarana... 57
2. Deskripsi Konselor ... 58
a. Identitas Pribadi ... 59
b. Riwayat Pribadi ... 59
c. Pengalaman ... 60
3. Deskripsi Konseli ... 60
a. Identitas konseli ... 60
b. Latar Belakang pendidikan ... 61
c. Latar Belakang Keluarga... 61
d. Kondisi Lingkungan Sekolah ... 62
e. Kondisi Lingkungan Rumah ... 63
4. Deskripsi Masalah ... 63
B. Deskripsi Hasil Penelitian ... 64
1. Deskripsi Proses Pelaksanaan Konseling ... 64
a. Identifikasi Masalah ... 68
b. Diagnosis ... 75
c. Prognosis ... 78
d. Terapi (treatment) ... 79
e. Evaluasi ... 90
2. Deskripsi Hasil Pelaksanaan Konseling ... 91
BAB IV : ANALISIS DATA A.Analisis Proses Pelaksanaan Konseling ... 94
B.Analisis Hasil pelaksanaan konseling ... 98
(9)
BAB V : PENUTUP
A.Kesimpulan ... 104 B.Saran ... 105 DAFTAR PUSTAKA ... 107 LAMPIRAN
(10)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak pernah lepas berinteraksi dengan makhluk lainnya, terutama dengan sesama manusianya. Sebagai makhluk sosial mereka saling membutuhkan satu sama lainnya untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidup mereka, dari timbulnya hubungan ini antara makhluk sosial satu dengan yang lainnya nantinya akan menimbulkan suatu permasalahan yang dapat berdampak baik itu pada kehidupan pribadi dan kehidupannya dengan makhluk yang lain.
Dari permasalahan-permasalahan yang dihadapi itu masayarakat memerlukan suatu jawaban atas berbagai permasalahan yang melingkupinya. Berbagai persoalan hidup yang melanda, khususnya yang berkaitan dengan krisis yang menyusup dalam berbagai bidang kehidupan, baik sosial, politik, ekonomi, maupun budaya masyarakat memerlukan perhatian yang besar terhadap kesejahteraan hidupnya, serta adanya kesadaran masyarakat akan pentingnya dilakukan pembinaan kesejahteraan hidup bersama. Dari situ agar masyarakat mampu menyesuaikan diri, sanggup menghadapi masalah dan kegoncangan-kegoncangan yang bias, adanya keserasian fungsi jiwa, dan measa bahwa dirinya berharga, berguna, dan berbahagia, serta dapat menggunakan potensi-potensi yang ada semaksimal mungkin.
Hubungan antara individu mereupakan fenomena Yang menjadi perwujudan dari pemenuhan kebutuhan individu terhadap orang lain yang
(11)
2
bertujuan untuk mempertahankan dan mengembangkan hidup, berkat hubungan dan pergaulan individu dengan orang lain sejak kecil, individu bisa berhasil menjadi manusia yang mampu hidup dalam bermasyarakat. Kebutuhan individu untuk bergaul, berteman, bersahabat dan bekerja sama akan terpenuhi dengan adanya orang lain. Begitu pula dengan kebutuhan, akan penerimaan, pengakuan dan keberhargaan yang diperoleh individu.
Maka dari itu manusia di tuntut harus memilki self confident yang bagus, agar bisa mengembangkan hidup secara cerdas dan efesien sehingga akan menjadi orang yang sukses dalam menghadapi hidup. Pada dasarnya self confident merupakan sebuah kesadaran akan seberapa besar kesanggupan seseorang untuk berdiri sendiri. Artinya adalah sebuah sikap bagaimana kita bisa memberikan sesuatu kepada diri sendiri agar bisa memuaskan batin sehingga tampak lebih percaya diri dan bisa menguasai keadaan disekitar kita.
Self confident merupakan salah satu aspek kepribadian yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Orang percaya diri yakin atas kemampuan mereka sendiri serta memiliki pengharapan yang realistis, bahkan ketika harapan mereka tidak terwujud, mereka tetap berpikiran positif dan dapat menerimanya.1
Pembentukan self confident terjadi sejak masa kanak-kanak dan terbuka untuk senantiasa mengalami perubahan, pembentukan self confident
mencakup dua proses psikologi, yaitu evaluasi diri (self evaluation) dan keberhargaan diri (self worth), evaluasi diri mengacu pada pembuatan
1Ihsana Sabriani Barualago, Hubungan antara persepsi tentang figur Attahmen
dengan self esteem remaja, panti asuhan muhammadiyah, (Anima Indonesia, psychological jurnal, 2004), hal. 32.
(12)
3
penilaian, mengenai pentingnya diri, sedangkan self worth merupakan perasaan bahwa diri itu berharga.2
Percaya diri atau self confident merupakan salah satu kepribadian yang mempunyai peranan yang sangat penting untuk terbentuknya pribadi yang seimbang. Kebutuhan akan percaya diri merupakan sesuatu yang muthlak harus terpenuhi apabila ingin mewujudkan pribadi yang berkualitas prima, karena terpenuhi kebutuhan percaya diri (memiliki percaya diri tinggi) mewujudkan sifat-sifat positif antara lain, merasa berharga dan berguna, merasa memiliki kekuatan dan kemampuan.3
Mempunyai kompetensi, dan sanggup mengatasi masalah kehidupannya, begitu sebaliknya kebutuhan self confident tidak terpenuhi maka akan menghasilkan sikap rendah diri, rasa tak pantas, rasa lemah, rasa tak mampu, dan rasa tak berguna, yang menyebabkan individu tersebut mengalami kehampaan, keraguan, dan keputusasaan dalam menghadapi tuntutan-tuntutan hidupnya, serta memiliki penilaian yang rendah antara dirinya sendiri dalam kaitannya dengan orang lain.4 Oleh karena itu, percaya diri (self confident) merupakan kunci keberhasilan ataupun kegagalan, juga merupakan kunci dalam memahami diri sendiri dan orang lain.5
Seperti halnya sebuah masalah yang terjadi pada salah satu guru di
2Ihsana Sabriani Barualago, Hubungan antara persepsi tentang figur Attahmen
dengan self esteem remaja, panti asuhan muhammadiyah, (Anima Indonesia, psychological jurnal, 2004), hal. 33
3Farida Ainur Rohman, Pengaruh pelatihan harga diri terhadap penyesuaian diri
pada remaja, (Humanitas Indonesia psychological jurnal, vol. (No. IX, 2004), hal. 61 4E. Kosworo, Teori Kepribadian, (Bandung: PT. Erisco, 1991), hal.125 5Nathaniel Branden, Kiat jitu meningkatkan harga diri, Terj. (Jakarta:Pustaka Delapratasa. 1987), hal. 4
(13)
4
sekolah MA Miftahul Ulum Bengkak Wongsorejo Banyuwangi yang tidak pernah dihargai, dihormati dan selalu dianggap remeh oleh siswanya.
Klien ini adalah salah satu guru di MA Miftahul Ulum, beliau mengajar sejarah dan geografi. Setiap klien mengajar di dalam kelas, kelas tidak pernah bisa dikondisikan. Contohnya siswa yang keluar masuk kelas tanpa ijin, tidur dalam kelas, dan sering membantah ketika ditegur.
Klien memang sudah terkenal sebagai guru yang sering dijaili disekolah. Meskipun sering begitu klien tidak pernah menampakkan kemarahannya dan memberikan tindakan atau hukuman ketika menghadapi siswa-siswanya yang nakal.
Menurut peneliti menghargai dan menghormati seorang guru itu adalah sebuah kewajiban yang mutlak harus dipenuhi oleh seorang siswa. Karna ketika nilai-nilai dan norma-norma tersebut itu sudah dianggap remeh maka yang terjadi lama-kelamaan nilai dan norma tersebut akan luntur dan hilang, dan yang terjadi sekolah yang awalnya tujuannya adalah untuk mendidik dan membimbing siswa agar menjadi manusia yang lebih baik dan berguna akan menjadi tempat pemberontakan dan kerusakan moral siswa.
Oleh karena itu dibutuhkan sebuah model konseling yang dapat membantu seseorang untuk meningkatkan self confidentnya. Disini bimbingan dan konseling merupakan wadah yang memilki peran yang sangat penting untuk dapat membantu terciptanya tujuan hidup seseorang yang sebenarnya, yaitu latihan asertif (assertive training) merupakan latihan keterampilan sosial dengan cara bermain peran.
(14)
5
Pada dasarnya konseling behavioral atau terapi tingkah laku diarahkan pada tujuan-tujuan untuk memperoleh tingkah laku baru, menghapus tingkah laku meladaptif, serta memperkuat dan mempertahankan tingkah laku yang diinginkan.6
Latihan asertif adalah latihan yang bisa diterapkan terutama pada situasi interpersonal dimana individu mengalami kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa menyatakan atau menegaskan diri adalah tindakan yang layak atau benar.7
Latihan asertif (assertive training) atau latihan keterampilan sosial adalah perilaku antar perorangan yang melibatkan aspek kejujuran dan keterbukaan pikiran dan perasaan yang ditandai oleh kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan.8
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku asertif adalah perilaku seseorang dalam hubungan antar pribadi yang menyangkut emosi, perasaan, pikiran, serta keinginan dan kebutuhan secara terbuka, tegas dan jujur tanpa perasaan cemas atau tegang terhadap orang lain, tanpa merugikan diri sendiri dan orang lain.
Latihan asertif adalah salah satu teknik dalam konseling behavioral. Dimana hakikat konseling menurut behavioral adalah proses pemberian bantuan dalam situasi kelompok belsajar untuk menyelesaikan masalah -masalah interpersonal, emosional, dan mengambil keputusan dalam
6Gerald Corey, Teori & Praktek Konseling dan Psikoterapi, (PT. Refika Aditama, 2005), hal. 197
7E. Kosworo, Teori Kepribadian, (Bandung: PT. Erisco, 1991), hal. 213.
(15)
6
mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mempelajari tingkah laku baru yang sesuai.
Tujuan dari latihan asertif ini adalah agar seseorang belajar bagaimana mengganti respons yang tidak sesuai dengan respons baru yang sesuai.
Oleh karena itu berdasarkan pemaparan diatas peneliti tertarik untuk meneliti dan menganalisis tingkat self confident guru dengan menggunakan konseling behavioral dengan tekhnik assertive training guna untuk meningkatkan self confident pada salah satu guru di sekolah MA Miftahul Ulum Bengkak Wongsorejo Banyuwangi.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis melakukan penelitian dengan judul “Konseling Behavioral dengan Tekhnik Assertive Training
dalam Meningkatkan Self confident Seorang Guru di MA Miftahul Ulum Bengkak Wongsorejo Banyuwangi”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penerapan konseling behavioral dengan teknik assertive training dalam meningkatkan self confident seorang guru di MA Miftahul Ulum Bengkak Wongsorejo Banyuwangi?
2. Bagaimana hasil penerapan konseling behavioral dengan tekhnik assertive training dalam meningkatkan self confident seorang guru di MA Miftahul Ulum Bengkak Wongsorejo Banyuwangi?
(16)
7
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas penulisan penelitian ini bertujuan menjawab masalah – masalah yang di identifikasi oleh peneliti. Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk menjelaskan proses penerapan konseling behavioral dengan tekhnik assertive training dalam meningkatkan self confident seorang guru di MA Miftahul Ulum Bengkak Wongsorejo Banyuwangi.
2. Untuk menjelaskan hasil penerapan konseling behavioral dengan tekhnik assertive training dalam meningkatkan self confident seorang guru di MA Miftahul Ulum Bengkak Wongsorejo Banyuwangi.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian dalam proposal ini ada dua yaitu secara teoritis dan secara praktis:
1. Secara teoritis
a. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan khasanah mengenai dunia Bimbingan dan Konseling, sumbangan pemikiran serta sebagai bahan masukan untuk mendukung dasar teori penelitian yang sejenis dan relevan.
b. Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai referensi atau perbandingan untuk penelitian-penelitian yang selanjutnya.
2. Secara praktis a. Bagi peneliti
(17)
8
peneliti karena menerapkan ilmu yang sudah didapat selama di bangku kuliah sehingga dapat diaplikasikan dalam penelitian dan menambah pengalaman serta pengetahuan tentang dunia Bimbingan Dan Konseling.
b. Bagi para pengguna informasi (Guru, Pelajar, dan Masyarakat luas) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wacana alternatif bagi para informan dalam memahami dan mempelajari cara dalam Bimbingan Konseling untuk meningkatkan self esteem pada setiap diri seseorang.
E. Definisi Konsep
1. Konseling Behavioral dengan Tekhnik Assertive Training
Berkembang pada tahun 1977, teori Bandura yang terkenal adalah kognitif social. Dalam teori ini Bandura menyatakan bahwa manusia cukup fleksibel dan sanggup mempelajari beragam kecakapan bersikap dan berprilaku, dan bahwa titik pembelajaran terbaik dari semua ini adalah dari pengalaman yang tak terduga (vicarious experiences). Bandura mengatakan bahwa manusia tidak perlu mengalami atau melakukan sesuatu terlebih dahulu sebelum ia mempelajari sesuatu. Manusia dapat belajar hanya dari mengamati atau meniru prilaku orang lain.9 Oleh karena itu, perilaku tersebut dapat diubah dengan mengubah lingkungan lebih positif sehingga perilaku menjadi positif pula. Perubahan tingkah laku inilah yang memberikan kemungkinan dilakukannya evaluasi atas
(18)
9
kemajuan klien secara lebih jelas.10
Dalam konseling behavior memiliki beberapa tekhnik, salah satunya adalah pelatihan assertif untuk membantu klien yang mengalami kesulitan dalam menegaskan diri.
Latihan asertif dilakukan untuk melatih individu yang kesulitan untuk menyatakan diri bahwa tindakannya layak, atau wajar, atau benar. Latihan ini akan bermanfaat untuk membantu individu yang tidak mampu mengungkapkan perasaan tersinggung, kesulitan menyatakan tidak, mengungkapkan afeksi dan respon positif lainnya, menunjukakan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya, dan merasa tidak punyak hak untuk ,memiliki perasaan -perasaan dan pikiran-pikiran sendiri. Pelatihan asertif ini mengajarkan klien untuk membedakan tingkah laku agresif, pasif, dan asertif. 11
Latihan asertif menggunakan prosedur-prosedur permainan peran. Melalui tekhnik permainan peran, konselor akan memperlihatkan bagaimana kelemahan klien dalam situasi nyata. Kemudian klien akan diajarkan dan diberi penguatan untuk berani menegaskan diri dihadapan orang lain.12
10Namora Lumongga Lubis, Memahami dasar-dasar konseling dalam teori dan
praktek, (Jakarta: KENCANA, 2011), hal. 171 11Namora Lumongga Lubis, Memahami dasar
-dasar konseling dalam teori dan
praktek, (Jakarta: KENCANA, 2011), hal. 213
12Shahudi Siradj, Pengantar Bimbingan & Konseling, (Surabaya: PT. Revka petra media, 2012), hal.174
(19)
10
2. Self Confident (percaya diri)
Percaya diri (self confident) adalah menyakinkan pada kemampuan dan penilaian diri sendiri dalam melakukan tugas dan memilih pendekatan yang efektif.
Menurut Thantaway istilah percaya diri adalah kondisi mental atau psikologis diri seseorang yang memberi keyakinan kuat pada dirinya untuk berbuat atau melakukan sesuatu tindakan.13
Orang yang tidak percaya diri memiliki konsep diri negatif, kurang percaya pada kemampuannya, karena itu sering menutup diri.
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan terkait dengan permasalahan yang terjadi pada seorang guru di MA Miftahul Ulum yang sering kali tidak hormati dan dianggap remah oleh siswanya.
Maka judul penelitiannya adalah “ Konseling Behavioral dengan Tekhnik Assertive Training dalam Meningkatkan Self Confident Seorang Guru di MA Miftahul Ulum Bengkak Wongsorejo Banyuwangi”.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan & Jenis Penelitian
Metode penelitian adalah seperangkat pengetahuan tentang langkah -langkah yang berkenaan dengan masalah tertentu yang diolah, dianalisis dan diambil kesimpulan.14
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini
13 Pongky Setiawan, Buku Sakti Atasi Minder dan Grogi, (Yogyakarta: Mantra Books, 2014), hal 13
(20)
11
dipilih untuk mendapatkan data kualitatif yang objektif dan mendalam yang nantinya data hasil penelitian tersebut dapat disajikan secara deskriptif sehingga temuan hasil penelitian tersaji secara urut, detail dan mendalam. Dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui secara mendalam mengenai Tekhnik Assertive Training dalam Meningkatkan Self confident seorang Guru di MA Miftahul Ulum Bengkak Wongsorejo Banyuwangi.
Sedangkan jenis penelitiannya, peneliti menggunakan deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan memperoleh informasi-informasi mengenai keadaaan yang ada pada saat ini tidak menguji hipotesa atau tidak menggunakan hipotesa melainkan hanya mendeskripsikan informasi apa adanya sesuai dengan variabel-variabel yang diteliti.15
Sedangkan penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Tailor seperti yang dikutip Lexy J. Moleong yaitu sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.16
Dalam penelitian ini peneliti akan mendeskripsikan secara mendalam hasil data yang diperoleh melalui observasi dan wawancara.
2. Subyek Penelitian dan Tempat penelitian a. Subyek
Subyek dalam penelitian ini seorang guru di MA Miftahul Ulum
15Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hal. 2
16Lexy J. Moleong,Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), hal. 3.
(21)
12
Bengkak Wongsorejo Banyuwangi. b. Obyek
Obyek dalam penelitian ini adalah perilaku sosial seorang guru di MA Miftahul Ulum Bengkak Wongsorejo Banyuwangi.
c. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian di sekolah MA Miftahul Ulum Bengkak Wongsorejo Banyuwangi.
3. Tahap-tahap penelitian a. Tahapan pra-lapangan
Pada tahap pra-lapangan ini ada beberapa kegiatan yang harus dilakukan oleh peneliti kualitatif, kegiatan dan pertimbangan tersebut diantaranya yaitu menyusun rancangan penelitian, memilih lokasi penelitian, mengurus perizinan penelitian, menilai lokasi penelitian, memanfaatkan informan, menyiapkan perlengkapan penelitian, dan etika penelitian.
b. Tahap lapangan
Pada tahap lapangan ini pertama, peneliti perlu memahami latar belakang dan persiapan diri. Setalah itu yang kedua, peneliti mulai memasuki lapangan dimana peneliti pada tahapan ini menjalin keakraban hubungan, mempelajari bahasa, dan peranan peneliti. Dan
ketiga, berperan serta sambil mengumpulkan data dimana dalam tahapan ini peneliti menerapkan tekhnik observasi, dan wawancara dengan alat bantu yang digunakan dalam tekhnik ini seperti alat tulis,
(22)
13
kamera, dan tape recorder. c. Tahap Analisis Data
Tahap analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola , kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Pekerjaan dalam analisis data dalam hal ini adalah mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberikan kode, dan mengkategorikannya.
4. Jenis dan Sumber Data a. Jenis data
Jenis data adalah jenis data yang digunakan oleh peneliti untuk mendukung penelitian ini, adalah data empiris merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber asli dilapangan yang dilakukan berdasarkan investigasi langsung peneliti kepada informan.
Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Data primer
Data primer yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah perilaku sosial seorang guru yang menyebabkan self confident
rendah, adapun indikatornya antara lain: a. Tanggung jawab
b. Keterandalan/keunggulan
(23)
14
2. Data sekunder
Data sekunder yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah peneliti meneliti perilaku sosialnya, di rumah, dan juga di lingkungan sekitar rumahnya.
b. Sumber data
Sumber data dalam penelitian kualitatif ada dua yaitu data primer dan data sekunder:
1. Sumber data primer adalah merupakan data yang diperoleh peneliti dari sumber asli (langsung dari informan) yang memiliki informasi atau data tersebut. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah salah satu seorang guru di MA Miftahul Ulum Bengkak Wongsorejo Banyuwangi. Beliau bernama MM (35), guru sejarah dan geografi, alamat Sidodadi Wongsorejo Banyuwangi.
2. Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua yang memiliki informasi atau data tersebut atau bisa lewat dokumen. Sumber data sekunder dalam penelitian ini peneliti menggali data atau informasi melalui salah satu siswa (MS18 thn), guru (NN 29 thn) disekolah MA Miftahul Ulum Bengkak Wongsorejo Banyuwangi. Dan juga peneliti menggali data dengan cara meneliti perilaku sosial guru tersebut ketika berinteraksi dengan anggota keluarga adiknya (NW 20 thn) dan tetangga sekitarnya (SN 47 thn).
(24)
15
5. Tekhnik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data peneliti menggunakan tekhnik observasi, wawancara, dan dokumentasi sebagai berikut:
a. Observasi
Nasution menyatakan bahwa, observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan.17 Observasi yaitu suatu cara untuk mengumpulkan data yang diinginkan dengan mengadakan pengamatan secara langsung. Dan dalam penelitian ini peneliti menggunakan observasi partisipan yaitu peneliti terlibat langsung dengan aktivitas orang-orang yang sedang diamati.
Dalam hal ini peneliti akan melakukan observasi (pengamatan) dengan melibatkan diri secara langsung dengan kegiatan sehari-hari informan selama dia di sekolah dengan cara terlibat dalam kegiatan belajar mengajar dan juga kegiatan diluar kelas seperti saat berkumpul di kantor dengan guru-guru lainnya, ataupun ketika dia berada di rumah berkumpul dengan keluarga dan lingkungan sekitarnya.
b. Wawancara
Wawancara adalah pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide untuk tanya jawab. Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara tidak terstruktur digunakan sebagai tekhnik pengumpulan data telah mengetahui dengan pasti tentang informasi apa yang akan diperoleh.
17Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2014), hal 226
(25)
16
Tujuan wawancara yang digunakan adalah informational interview
adalah wawancara yang ditujukan untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan.18
Dalam melakukan wawancara peneliti sudah menyiapkan pertanyaan-pertanyaan yang sudah disiapkan untuk ditanyakan dan dijawab oleh informan yang akan diteliti. Dan juga peneliti dalam melakukan wawancara peneliti juga sudah menyiapkan alat bantu untuk dibawa saat wawancara seperti alat perekam suara, camera, kertas dan pulpen yang dapat membantu pelaksanaan wawancara agar menjadi lancar.
Adapun rincian pertanyaan-pertanyaan saat melakukan wawancara peneliti lampirkan dihalaman terakhir.
c. Dokumentasi
Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Arikunto menyebutkan metode dokumentasi adalah metode yang digunakan untuk memperoleh data dengan melakukan penyelidikan benda tertulis seperti buku, jurnal, majalah, dokumen , catatan harian, dan lain sebagainya.
6. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data
18Anas Salahudin, Bimbingan dan Konseling, (Bandung: PUSTAKA SETIA, 2010), hal 79.
(26)
17
dalam periode tertentu. Miles and Huberman, mengemukakan bahwa aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data, yaitu data Reduction, data display,
dan conclusion drawing. Aktivitas tersebut terjadi secara bersamaan, yaitu: a. Reduksi Data(Data Reduction)
Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu maka perlu dicatat secara teliti dan rinci. Seperti telah dikemukakan, semakin lama peneliti ke lapangan, maka jumlah data semakin banyak, kompleks dan rumit. Untuk itu perlu segera dilakukan analisis data yaitu melalui reduksi data.
Reduksi data merupakan proses berpikir sensitive yang memerlukan kecerdasan, keluasan dan kedalaman wawasan yang tinggi. Bagi peneliti yang masih baru, dalam melakukan reduksi data dapat mendiskusikan pada teman atau orang lain yang dipandang ahli melalui diskusi itu, maka wawasan peneliti akan berkembang, sehingga dapat mereduksi data-data yang memiliki temuan dan pengembangan teori yang signifikan.
b. Penyajian Data(Data Display)
Setelah reduksi data, maka langkah selanjutnya adalah menyajikan data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori.
(27)
18
memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut. Selanjutnya disarankan, dalam melakukan display data, selain dengan teks yang naratif juga dapat berupa grafik, matriks.
c. Kesimpulan(Conclution Drawing)
Langkah ketiga dalam penelitian data kualitatif menurut Miles and Huberman19 adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara dan akan berubah jika tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya.
Dengan demikian, kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin dapat menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi mungkin juga tidak, karena seperti telah dikemukakan bahwa masalah dan rumusan masalah dalam penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah penelitian berada di lapangan. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu obyek yang sebelumnya remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi jelas, dapat berupa kasual atau interkatif, hipotesis suatu teori.
Aplikasi dalam penelitian ini adalah menilai tingkat self confident
seorang guru di MA Miftahul Ulum, serta menganalisa hasil penerapan
19Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif R&D, (Bandung: Alfabeta, 2008), hal. 252.
(28)
19
konseling behavioral dengan menggunakan tehnik assertive training
dengan data yang telah dikumpulkan peneliti melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi, kemudian ditarik kesimpulan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti “Konseling Behavioral dengan Tehnik Assertive Training dalam Meningkatkan Self confident Seorang Guru di MA Miftahul Ulum”.
G. Sistematika Pembahasan
Dalam pembahasan suatu penelitian diperlukan sistematika pembahasan yang bertujuan untuk memudahkan penelitian, langkah-langkah pembahasan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini terdiri dari sepuluh sub-bab antara lain: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Definisi Konsep, Metode Penelitian, Sistematika Pembahasan. Jadwal Penelitian dan pedoman wawancara.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini terdiri dari dua sub-bab, yakni Kajian Teoritik (menjelaskan tentang teori yang digunakan untuk menganalisis masalah penelitian), dan Penelitian Terdahulu yang Relevan (menyajikan hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian yang hendak dilakukan).
BAB III PENYAJIAN DATA
Pada bab ini terdiri dari dua sub bab, yakni Deskripsi umum objek Penelitian, dan Deskripsi hasil Penelitian.
(29)
20
BAB IV ANALISIS DATA
Pada bab ini terdiri dari dua sub bab, yakni Temuan Penelitian, bagaimana data yang ada itu digali dan ditemukan beberapa hal yang mendukung penelitian, dan Konfirmasi Temuan dengan Teori, dimana temuan penelitian tadi dikaji dengan teori yang ada.
BAB V PENUTUP
Pada bab ini terdiri dari Simpulan dan Rekomendasi, yang menjelaskan hasil simpulan dari data yang dipaparkan dan rekomendasi hasil penelitian itu dapat dipraktikkan terhadap situasi tertentu.
(30)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Tentang Konseling Behavioral
1. Pengertian Konseling Behavioral
Behaviorisme adalah aliran dalam psikologi yang didirikan oleh John
B. Wathson pada tahun 1913 dan digerakkan oleh Burrhus Frederic
Skinner. Behaviorisme lahir sebagai reaksi atas psikoanalisis yang
berbicara tentang alam bawah yang tidak tampak. Behaviorisme ingin
menganalisis bahwa perilaku yang tampak saja yang dapat diukur,
dilukiskan, dan diramalkan. Terapi perilaku ini lebih mengkonsentrasikan
pada modifikasi tindakan, dan berfokus pada perilaku saat ini daripada
masa lampau. Belakangan kaum behavioris lebih dikenal dengan teori
belajar, karena menurut mereka, seluruh perilaku manusia adalah hasil
belajar. Belajar artinya perubahan perilaku organisme sebagai pengaruh
lingkungan.
Dilihat dari sejarahnya, konseling behavior tidap dapat dipisahkan
dengan riset-riset perilaku pada binatang, sebgaimana yang dilakukan Ivan
Pavlov dengan teorinya classical conditiononing. Kemudian Skinner juga
mengembangkan teori belajar operan, kepedulian utama dari Skinner
adalah mengenai perubahan tingkah laku. Jadi hakikat teori Skinner adalah
teori belajar, bagaimana individu memiliki tingkah laku baru, menjadi
lebih terampil, menjadi lebih tahu.1
1
(31)
22
Konseling behavioral menaruh perhatian pada upaya perubahan
tingkah laku.2 Konseling behavioral merupakan suatu proses membantu
orang untuk belajar memecahkan masalah interpersonal, emosional, dan
keputusan tertentu.3 Terapi tingkah laku adalah penerapan aneka ragam
tekhnik dan prosedur yang berakar pada berbagai teori tentang belajar.4
Secara umum terapi tingkah laku adalah pendekatan penerapan aneka
ragam teknik dan prosedur yang berlandaskan pada berbagai teori tentang
belajar dalam usaha melakukan pengubahan tingkah laku. Dalam
penyelesaian masalah, kondisi masalah harus dispesifikkan. Saat ini,
bentuk pendekatan ini banyak digunakan karena penekanannya pada
perubahan tingkah laku, dimana tingkah laku tersebut bias didefinisikan
secra operasional, diamati dan diukur.
2. Pandangan Tentang Sifat Manusia
Behaviorisme adalah suatu pandangan ilmiah tentang tingkah laku
manusia. Dalil dasarnya adalah bahwa tingkah laku itu tertib dan bahwa
eksperimen yang dikendalikan dengan cermat akan menyingkapkan
hukum-hukum yang mengendalikan tingkah laku. Behaviorisme ditandai
oleh sikap membatasi metode-metode dan prosedur-prosedur pada data
yang dapat diamati.
Pendekatan behavioristik tidak menguraikan asumsi-asumsi
filosofis tertentu tentang manusia secara langsung. Setiap orang dipandang
2
Latipun, Psikologi Konseling (Malang : UMM Press, 2008), hal. 128. 3
Mohammad Surya, Teori Teori Konseling (Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2003), hal. 23.
4
Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, (Bandung : Refika Aditama, 2009), hal. 193.
(32)
23
memiliki kecenderungan-kecenderungan positif dan negatif yang sama.
Manusia pada dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan sosial
budayanya. Segenap tingkah laku manusia itu dipelajari. Meskipun
berkeyakinan bahwa segenap tingkah laku pada dasarnya merupakan hasil
dari kekuatan-kekuatan lingkungan dan faktor-faktor genetilk, para
behavioris memasukkan pembuatan putusan sebagai salah satu bentuk
tingkah laku.5
Pandangan behavioristik radikal memandang manusia pasif,
mekanistik, dan deterministic. Manusia merupakan “objek” yang dapat
diubah menurut keinginan orang yang ingin mengubahnya. Pandangan
inilah yang mendapat kritikan dari beberapa ahli. John Watson, pendiri
behaviorisme adalah seorang behavioris radikal yang pernah menyatakan
bahwa ia bisa mengambil sejumlah bayi yang sehat dan menjadikan
bayi-bayi itu apa saja yang diinginkannya, dokter, ahli hokum, seniman,
perampok, pencopet melalui bentuk lingkungan.Sedangakan menurut
Bandura menolak keras pandangan yang menyatakan bahwa manusia
bersifat mekanistik dan deterministic, karena menurutnya manusia adalah
pribadi yang memiliki kebebasan dalam menghadapi stimulus dari
lingkungan dan bukanlah subjek yang pasif.
Dustin & George mengemukakan pandangan mereka tentang
konsep manusia sebagai berikut:
5
Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, (Bandung : Refika Aditama, 2009) hal. 195
(33)
24
a. Manusia bukanlah individu yang baik atau jahat sehingga memiliki
kemampuan untuk berprilaku baik atau jahat.
b. Manusia dapat mengonseptualisasikan dan mengontrol perilakunya
sendiri.
c. Manusia dapat memperoleh perilaku yang baru.
d. Perilaku manusia dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh perilaku
orang lain.6
3. Ciri-ciri dan Tujuan Terapi Behavior
Terapi tingkah laku berbeda dengan sebagian besar pendekatan
terapi lainnya, ditandai oleh:
a. Pemusatan perhatian kepada tingkah laku yang tampak dan spesifik.
b. Kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatment.
c. Perumusan prosedur treatment yang spesifik yang sesusai dengan
masalah dan,
d. Penaksiran objektif atas hasil-hasil terapi.
Terapi tingkah laku tidak berlandaskan sekumpulan konsep yang
sistematik, juga tidak berakar pada suatu teori yang dikembangkan dengan
baik. Sekalipun memiliki banyak teknik, terapi tingkah laku hanya
memiliki sedikit konsep. Terapi ini merupakan suatu pendekatan induktif
yang berlandaskan eksperimen-eksperimen dan menerapkan metode
eksperimental dan proses terapeutik.7
6
Namora Lumongga Lubis, Memahami Dasar-dasar Konseling, (Jakarta: KENCANA, 2011), hal :168-169
7
Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, (Bandung : Refika Aditama, 2009) , hal. 196
(34)
25
George dan Cristiani mengatakan bahwa konselor harus cermat dan
jelas dalam menentukan tujuan konseling. Kecermatan dalam penentuan
tujuan akan membantu konselor menentukan teknik dan prosedur
perlakuan yang tepat sekaligus mempermudah pada saat mengevaluasi
tingkat keberhasilan konseling.hal yang patut diperhatikan adalah
perumusan tujuan harus dilakukan secra spesifik. Untuk merumuskan
tujuan konseling, Krumboltz dan Thorensen menetapkan tiga kriteria
utama yang dapat digunakan, yaitu:
a. Tujuan konseling harus disesuaikan dengan keinginan klien.
b. Konselor harus bersedia membantu klien mencapai tujuannya.
c. Konselor mampu memperkirakan sejauh mana klien dapat mencapai
tujuannya.8
Secara umum, tujuan dari terapi behavioristik adalah menciptakan
suatu kondisi baru yang lebih baik melalui proses belajar sehingga
perilaku simtomatik dapat dihilangkan. Sementara itu tujuan terapi
behavioristic secara khusus adalah mengubah tingkah laku adaptif dengan
cara memperkuat tingkah laku yang diharapkan dan meniadakan perilaku
yang tidak diharapkan serta berusaha menemukan cara-cara bertingkah
laku yang tepat.9
8
Latipun, Psikologi Konseling (Malang : UMM Press, 2008), hal. 130
9
Namora Lumongga Lubis, Memahami Dasar-dasar Konseling, (Jakarta: KENCANA, 2011), hal: 171.
(35)
26
4. Teknik-teknik dalam Konseling Behavior
Salah satu sumbangan terapi tingkah laku adalah pengembangan
prosedur-prosedur terapeutik yang spesifik yang memiliki kemungkinan
untuk diperbaiki melalui metode ilmiah. Teknik-teknik tingkah laku harus
menunjukkan keefektifannya melalui alat-alat yang objektif dan ada usaha
ynag konstan untuk memperbaikinya. Krumboltz dan Thorensen
menyatakan bahwa “konseling tingkah laku adalah suatu sistem yang
mengoreksi dirinya sendiri”. Dia juga menyatakan mengutip dari Huber &
Millman, mendorong eksperimen tentang prosedur terpeutik: “tidak ada
pembatasan-pembatasan atas teknik-teknik yang bias dicoba oleh para
konselor kecuali, tentunya pembatas etis. Eksperimentasi adalah bagian yang esensial dari tugas konselor”.10
Dalam terapi tingkah laku, teknik-teknik spesifik yang beragam
bias digunakan secara sistematis dan hasilnya bisa dievaluasi.
Teknik-teknik ini bisa digunakan jika saatnya tepat untuk menggunakannya, dan
banyak diantaranya yang bias dimasukkan kedalam praktek psikoterapi
yang berlandaskan model-model lain. Lesmana membagi teknik terapi
behavioristic dalam dua bagian, yaitu teknik-teknik tingkah laku umum
dan teknik-teknik spesifik. Urainnya adalah sebagai berikut:
a. Teknik tingkah laku umum
1) Skedul penguatan adalah suatu teknik pemberian penguatan pada
klien ketika tingkah baru selesai dipelajari dimunculkan oleh klien.
10
Syamsu Yusuf & A. Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling, (Bandung:PT. Remaja Rosdakarya, 2012), hal.12
(36)
27
Penguatan harus dilakukan secara terus-menerus sampai tingkah
laku tersebut terbentuk dalam diri klien.
2) Shaping adalah teknik terapi yang dilakukan dengan mempelajari
tingkah laku baru secara bertahap. Konselor dapat membagi-bagi
tingkah laku yang ingin dicapai dalam beberapa unit, kemudian
mempelajarinya dalam unit-unit kecil.
3) Ekstingsi adalah teknik terapi berupa penghapusan penguatan agar
tingkah laku meladaptif tidak berulang. Ini didasarkan pada
pandangan bahwa individu tidak akan bersedia melakukan sesuatu
apabila tidak mendapatkan keuntungan.11
b. Teknik-teknik spesifik
1) Desensitisasi sistematik
Desensitisasi sistematik adalah teknik yang paling sering
digunakan. Teknik ini diarahkan kepada klien untuk
menampilkan respon yang tidak konsisten dengan kecemasan.
Desensitisasi sistematik melibatkan teknik relaksasi dimana klien
diminta untuk menggambarkan situasi yang paling menimbulkan
kecemasan sampai titik dimana klien tidak merasa cemas.
Desentisisasi sistematik adalah salah satu teknik yang paling
luas digunakan dalam terapi tingkah laku. Wolpe pengembang
teknik desensitisasi, mengajukan argument bahwa segenap
tingkah laku neurotik adalah ungkapan dari kecemasan dan
11
(37)
28
bahwa respon kecemasan bisa dihapus oleh penemuan
respon-respon yang secara inheren berlawanan dengan respon-respon
tersebut.12
Dalam teknik ini, Wolpe telah mengembangkan suatu respon,
yakni relaksasi, yang secara fisiologis bertentangan dengan
kecemasan yang secara sistematis diasosiasikan dengan
aspek-aspek dari situasi yang mengancam. Dan juga Wolpe
menyimpulkan ada tiga penyebab teknik desensitisasi sistematik
mengalami kegagalan, yaitu:
a) Klien mengalami kesulitan dalam relaksasi yang disebabkan
karena komunikasi konselor dank klien yang tidak efektif
atau karena hambatan ekstrem yang dialami klien.
b) Tingkatan yang menyesatkan atau tidak relevan, hal ini
kemungkinan disebabkan karena penanganan tingkatan yang
keliru.
c) Klien tidak mampu membanyangkan.
Desensitiasi sistematik adalah teknik yang cocok untuk
menangani fobia-fobia, tetapi keliru apabila menganggap teknik
ini hanya bisa diterapkan pada penanganan ketakutan-ketakutan.
12
Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, (Bandung : Refika Aditama, 2009), hal. 198.
(38)
29
2) Latihan Asertif
Pendekatan behavioral yang dengan cepat mencapai
popularitas adalah latihan asertif yang bisa diterapkan terutama
pada situasi-situasi interpersonal dimana individu mengalami
kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa menyatakan atau
menegaskan diri adalah tindakan yang layak atau benar. Latihan
asertif akan membantu bagi orang-orang yang:
a) Tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan
tersinggung.
b) Menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu
mendorong orang lain untuk mendahuluinya.
c) Memiliki kesulitan untuk mengatakan “tidak”.
d) Mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan
respon-respon positif lainnya.
e) Merasa tidak punyak hak untuk memiliki perasaan-perasaan
dan pikiran-pikiran sendiri.13
3) Terapi Aversi
Teknik-teknik pengondisian aversi, yang telah digunakan
secara luas untuk meredakan gangguan-gangguan behavioral
yang spesifik, melibatkan pengasosiasisan tingkah laku
simtomatik dengan suatu stimulus yang menyakitkan sampai
tingkah laku yang tidak diinginkan terhambat kemunculannya.
13
(39)
30
Stimulus-stimulus aversi biasanya berupa hukuman dengan
kejutan listrik atau pemberian ramuan yang membuat mual.
Kendali aversi bisa melibatkan penarikan pemerkuat positif atau
penggunaan berbagai bentuk hukuman.
Teknik aversi adalah metode-metode yang paling
kontroversial yang dimiliki oleh para behavioris meskipun
digunakan secara luas sebagai metode-metode untuk membawa
orang-orang kepada tingkah laku yang diinginkan.14
4) Pengondisian operan
Tingkah laku operan adalah tingkah laku yang memancar
yang menjadi ciri organisme aktif. Ia adalah tingkah laku
beroperasi dilingkungan untuk menghasilkan akibat-akibat.
Tingkah laku operan merupakan tingkah laku yang paling berarti
dalam kehidupan sehari-hari, yang mencakup membaca,
berbicara, berpakaian, makan dengan alat-alat makan, bermain,
dan sebagainya.
5) Penguatan Positif
Pembentukan suatu pola tingkah laku dengan memberikan
ganjaran atau perkuatan segera setelah tingkah laku yang
diharapkan muncul adalah suatu cara yang ampuh untuk
mengubah tingkah laku. Penguatan positif adalah teknik yang
digunakan melalui pemberian ganjaran segera setelah tingkah
14
Mohammad Surya, Teori Teori Konseling (Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2003), hal. 27.
(40)
31
laku yang diharapkan muncul. Contoh penguatan positif adalah
senyuman, persetujuan, pujian, bintang emas, mendali , uang,
dan hadiah lainnya. Pemberian penguatan positif dilakukan agar
klien dapat mempertahankan tingkah laku baru yang telah
terbentuk.15
6) Pencontohan
Dalam pencontohan, individu mengamati seorang model
dan kemudian diperkuat untuk mencontoh tingkah laku sang
model. Bandura menyatakan bahwa belajar yang bisa diperoleh
melalui pengalaman langsung bisa pula diperoleh secara tidak
langsung dengan mengamati tingkah laku orang lain berikut
konsekuensi-konsekuensinya. Dalam teknik ini, klien dapat
mengamati seseorang yang dijadikan modelnya untuk berprilaku
kemudian diperkuat dengan mencontoh tingkah laku sang model.
Dalam hal ini konselor, dapat bertindak sebagai model yang akan
ditiru oleh klien.
7) Token Economy
Metode token economy dapat digunakan untuk membentuk
tingkah laku apabila persetujuan dan pemerkuat-pemerkuat yang
tidak bisa diraba lainnya tidak memberikan pengaruh. Metode ini
menekankan penguatan yang dapat dilihat dan disentuh oleh
klien yang dapat ditukar oleh klien dengan objek atau hak
15
(41)
32
istimewa yang diinginkannya. Token economy dapat dijadikan
pemikat oleh klien untuk mencapai sesuatu.
Penggunaan tanda-tanda sebagai pemerkuat-pemerkuat bagi
tingkah laku yang lanyak memilki beberapa keuntungan, yakni:
a) Tanda-tanda tidak kehilangan nilai insentifnya.
b) Tanda-tanda bisa mengurangi penundaan yang ada diantara
tingkah laku yang lanyak dengan ganjarannya.
c) Tanda-tanda bisa digunakan sebagai pengukur yang kongkret
bagi motivasi individu untuk mengubah tingkah laku tetentu.
d) Tanda-tanda adalah bentuk perkuatan yang positif.
e) Individu memiliki kesempatan untuk memutuskan bagaimana
menggunakan tanda-tanda yang diperolehnya, dan.
f) Tanda-tanda cenderung menjembatani kesenjangan yang
sering muncul diantara lembaga dan kehidupan sehari-hari.16
5. Fungsi dan peran terapis
Terapis tingkah laku harus memainkan peran aktif dan direktif
dalam pemberian treatment, yakni terapis menerapkan pengetahuan ilmiah
pada pencarian pemecahan masalah-masalah manusia, para kliennya.
Terapis tingkah laku secara khas berfungsi sebagai guru, pengarah dan ahli
dalam mendiagnosis tingkah laku yang meladaptif dan dalam menentukan
prosedur-prosedur penyembuhan yang diharapkan, mengarah pada tingkah
laku yang baru dan adjustive.
16
Fenti hikmawati, Bimbingan dan Konseling, (Jakarta: pt raja grafindo persada, 2010), hal. 54
(42)
33
Krasner mengatakan bahwa konselor berperan sebagai “mesin perkuatan” bagi kliennya. Konselor dalam prakteknya selalu memberikan penguatan positif atau negative untuk membentuk tingkah laku baru klien.
Goodstein juga menyebut peran terapis sebagai pemberi perkuatan.
Menurut Goodstein, peran konselor adalah menunjang perkembangan
tingkah laku yang secra social layak dengan secara sisitematis memperkuat
jenis tingkah laku klien semacam itu.
Satu fungsi penting lainnya adalah peran terapis sebagai model
bagi klien. Bandura menunjukkan bahwa sebagian besar proses belajar
yang muncul melalui pengalaman langsung juga bisa diperoleh melalui
pengamatan terhadap tingkah laku orang lain. Ia mengungkapkan bahwa
salah satu proses fundamental yang memungkinkan klien bisa mempelajari
tingkah laku baru adalah imitasi atau pencontohan social yang disajikan
oleh terapis.17
B. Teknik latihan assertive dalam konseling behavioral
1. Pengertian latihan assertif dalam konseling behavioral
Latihan assertif atau latihan keterampilan sosial adalah salah satu dari
sekian banyak topik yang tergolong popular dalam terapai perilaku. Untuk
menjelaskan arti perkataan asertif dapat dilakukan melalui uraian
pengertian perilaku asertif. Perilaku asertif adalah perilaku antar seseorang
yang melibatkan kejujuran, keterbukaan pikiran dan perasaan yang
17
Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, (Bandung : Refika Aditama, 2009), hal. 219-222
(43)
34
ditandai dengan kesesuaian sosial dan kemampuan untuk menyesuaikan
diri tanpa merugikan diri sendiri atau orang lain.18
Latihan asertf adalah suatu kemampuan untuk mengkomunikasikan
apa yang diinginkan, dirasakan dan dipikirkan pada orang lain namun tetap
menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan orang lain. Latihan asertif
ini diberikan pada individu yang mengalami kecemasan, tidak mampu
mempertahankan hak-haknya, terlalu lemah, membiarkan orang lain
melecehkan dirinya, tidak mampu mengekspresikan amarahnya dengan
benar dan cepat tersinggung.
Latihan asertif merupakan penerapan tingkah laku untuk membentu
individu atau kelompok dalam mengembangkan hubungan langsung dalam
situasi-situasi interpersonal.19
Latihan asertif merupakan teknik yang sering kali digunakan oleh
pengikut aliran behavioristic. Teknik ini sangat efektif jika dipakai untuk
mengatasi masalah-masalah yang berhubungan dengan rasa percaya diri,
pengungkapan diri, atau ketegasan diri.
Corey menyatakan bahwa latihan asertif akan sangat berguna bagi
mereka yang mempunyai masalah tentang.
a. Tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau rasa tersinggung.
b. Menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang
lain untuk mendahuluinya.
c. Memiliki kesulitan untuk mengatakan “tidak”
18
Singgih gunarsa, konseling dan psikoterapi, (Jakarta : gunung mulia, 2007), hal. 215
19
Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, (Bandung : Refika Aditama, 2009), hal. 215-217
(44)
35
d. Kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respon-respon positif
lainnya.
e. Merasa tidak punyak hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan
pikirannya sendiri.
Latihan asertif menggunakan prosedur-prosedur bermain peran. Terapi
ini bisa diterapkan pada kelompok atau individu. Terapi kelompok latihan
assertif pada dasarnya merupakan penerapan latihan tingkah laku pada
kelompok dengan sasaran membantu individu-individu dalam
mengembangkan cara-cara berhubungan yang lebih langsung dalam
situasi-situasi interpersonal.20
Hjelle & Ziegler menyatakan langkah-langkah untuk melaksanakan
teknik bermain peran. Langkah-langkah dalam melaksanakan permainan
peran ini sebagai berikut:
a. Beri instruksi kepada konseli dengan jelas (eksplisit) tentang peran
konseli yang ingin dilatihkan.
b. Demonstrasikan perilaku apa yang diinginkan oleh konseli dan minta
konseli untuk mengikuti. Hal ini dilakukan untuk mengetahui tingkat
perhatian konseli terhadap perilaku yang akan dilatihkan.
c. Minta konseli untuk menetapkan permainan peran yang akan
diamatinya. Permainan peran ini akan dilaksanakan secara overtly
(dilakukan/dipraktekkan) atau covertly (hanya dalam benak konseli).
20
Gerald Corey, Konseling & Psikoterapi, (Bandung: PT Rafika Aditama 2009), hal. 213-215.
(45)
36
d. Berikan feedback terhadap setiap perilaku yang dimunculkan oleh
konseli, dan berikan instruksi baru atau demonstrasikan
keterampilan-keterampilan baru yang dibutuhkan konseli.
e. Berikan petunjuk dan lakukan penetapan permainan peran sebagai
upaya untuk mendorong konseli agar dapat bermain peran
berikutnya.21
Latihan asertif merupakan teknik dalam konseling behavior yang
menitik beratkan pada kasus seseorang yang mengalami kesulitan untuk
menyatakan perasaannya.
Latihan asertif merupakan salah satu tekhnik dalam konseling
behavior. Konseling adalah upaya pemberian bantuan kepada individu
sehingga dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya.22
Robinson mengartikan adalah semua bentuk hubungan antara dua
orang, dimana yang seorang, yaitu klien dibantu untuk lebih mampu
menyesuaikan diri secara efektif terhadap dirinya sendiri dan
lingkungannya. Suasana hubungan konseling ini meliputi penggunaan
wawancara untuk memperoleh dan memberikan berbagai informasi,
melatih atau mengajar, meningkatkan kematangan, memberikan bantuan
melalui pengambilan keputusan dan usaha-usaha penyembuhan (terapi).23
21
Hartono & Boy soedarmadji, Psikologi Konseling, (Jakarta:KENCANA, 2012), hal. 129-130
22
Andi mappiare AT, pengantar konseling & psikoterapi, (Jakarta: pt. raja grafindo persada, 2006), hal. 10
23
Syamsu Yusuf & A. Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling, (Bandung:PT. Remaja Rosdakarya, 2012), hal. 7
(46)
37
Konseling merupakan salah satu teknik dalam bimbingan, tetapi
merupakan teknik inti atau teknik kunci. Hal ini dikarenakan konseling
dapat memberikan perubahan yang mendasar, yaitu mengubah sikap.
Sikap mendasari perbuatan, pemikiran, pandangan dan perasaan, dan
lain-lain.
Menurut Leona E. Tylor, ada lima karekteristik yang merupakan
prinsip-prinsip konseling, kelima karekteristik tersebut adalah:
a. Konseling tidak sama dengan pemberian nasehat, sebab didalam
pemberian nasehat proses berpikir ada dan diberikan oleh penasehat,
sedang dalam konseling proses berpikir dan pemecahan ditemukan dan
dilakukan oleh klien sendiri.
b. Konseling mengusahakan perubahan-perubahan yang bersifat
fundamental yang berkenaan dengan pola-pola hidup
c. Konseling lebih menyangkut sikap daripada perbuatan atau tindakan
d. Konseling ebih berkenaan dengan penghayatan emosional dari pda
pemecahan intelektual
e. Konseling juga menyangkut hubungan klien dengan orang lain.24
Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa pengertian konseling
adalah pemberian bantuan yang dilakukan oleh seorang konselor kepada
kliennya dengan cara bertatap muka (face to face), wawancara, guna untuk
menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi oleh klien.
24
Fenti hikmawati, Bimbingan dan Konseling, (Jakarta: pt raja grafindo persada, 2010), hal. 2
(47)
38
Sedangkan terapi behavioral berasal dari dua arah konsep yakni
Pavlovian dan Skinnerian. Mula-mula terapi ini dikembangkan oleh
Wolpe untuk melakukan treatment neurosis. Kontribusi terbesar dari
konseling behavioral (perilaku) adalah diperkenalkannya metode ilmiah
dibidang psikoterapi, yaitu bagaimana memodifikasi perilaku melalui
rekayasa lingkungan sehingga terjadi proses belajar untuk perubahan
perilaku.25
Dalam pandangan behavioral, kepribadian manusia hakekatnya dalah
perilaku. Dan perilaku itu dibentuk oleh pengalamannya dalam
berinteraksi dengan lingkungannya. Tidak ada dua individu yang sama
persis, karena kenyataannya manusia memiliki pengalaman yang
berbeda-beda. Dengan demikian kepribadian seseorang merupakan cermin dari
pengalamannya. Dalam hal ini, Skinner berpendapat bahwa perilaku
individu terbentuk (dipertahankan) oleh konsekuensi yang menyertainya.26
Dari uaraian diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa konseling
behavioral adalah hubungan antara konselor dan konseli untuk membantu
individu mengentaskan masalah yang berkaitan dengan tingkah laku yang
tidak sesuai dengan lingkunagan.
2. Kelebihan dan Kekurangan Latihan Asertif
a. Kelebihan pelatihan asertif ini akan tampak pada:
1) Pelaksanaannya yang cukup sederhana
25
Sulistyarini &Mohammad Jauhar, Dasa-dasar Konseling, (Jakarta: Pustakaraya, 2014), hal. 242
26
Shahudi Siradj, Pengantar Bimbingan & Konseling, (Surabaya: PT. Revka Petra Media, 2012), hal.165
(48)
39
2) Penerapannya dikombinasikan dengan beberapa pelatihan seperti
relaksasi, ketika individu telah lelah dan jenuh dalam berlatih, kita
dapat melakukan relaksasi supaya menyegarkan individu itu
kembali. Pelatihannya juga bisa menerapkan teknik modeling dan
kursi kosong.
3) Pelatihan ini dapat mengubah perilaku individu secara langsung
melalui perasaan dan sikapnya.
4) Disamping dapat dilaksanakan secara perorangan juga dapat
dilaksanakan dalam kelompok.
b. Kelemahan pelatihan asertif ini akan tampak pada:
1) Meskipun sederhana namun membutuhkan waktu yang tidak
sedikit, ini juga tergantung dari kemampuan individu itu sendiri.
2) Bagi konselor yang kurang dapat menkombinasikannya dengan
teknik lainnya, pelatihan asertif ini kurang dapat berjalan dengan
baik atau bahkan akan membuat jenuh dan bosan konseli, atau juga
membutuhkan waktu yang cukup lama.27
Sedangkan latihan assertif adalah latihan keterampilan sosial atau
latihan berkomunikasi dan mengungkapkan perasaan kepada orang lain
agar dapat menyesuaikan diri dan lingkungan sekitarnya. Didalam
assertive training konselor berusaha memberikan keberanian kepada
klien dalam mengatasi kesulitan terhadap orang lain, agar tercipta
suatu interaksi sosial yang baik.
27
http:/irvanhavefun.blogspot.com/2012/03/teknik-asertif-training.html diunduh pada tgl 23 desember 2016.
(49)
40
C. Self Confident (percaya diri)
1. Pengertian Percaya Diri.
Agus suyanto menjelaskan bahwa, rasa percaya diri adalah sikap
yang dapat ditumbuhkan dari sikap sanggup berdiri sendiri, adalah
kesanggupan untuk menguasai diri, bebas dari pengendalian orang lain.28
Percaya diri menurut Anthony adalah sikap pada diri seseorang
yang dapat menerima kenyataan, dapat mengembangkan kesadaran diri,
berfikir positif, memiliki kemandirian dan mempunyai kemampuan untuk
memiliki segala sesuatu yang diinginkan.29
Percaya diri didefinisikan juga sebagai sikap positif seorang
individu yang memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian
positif, baik terhadap diri sendiri, maupun terhadap lingkungan/ situasi
yang dihadapinya. Rasa percaya diri juga disebut sebagai harga diri atau
gambaran diri merupakan dimensi evaluative yang menyeluruh dari diri.
Dari definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa self confident
atau kepercayaan diri adalah sikap positif seorang individu yang
memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif terhadap
diri sendiri dan terhadap lingkungan atau situasi yang dihadapinya.
Kepercayaan diri adalah sebuah kondisi dimana individu merasa optimis
dalam memandang dan menghadapi sesuatu dalam hidupnya.
Atau dengan istilah lain rasa percaya diri adalah pandangan
keyakinan dan sikap yang dapat tumbuh dari sikap sanggup berdiri sendiri,
28
Agus suyanto, pendidikan yang efektif ynag dapat dilakukan oleh keluarga, (surabaya: media pendidikan dan ilmu pengetahuan, 1987), hal. 41
29
(50)
41
yaitu kesanggupan dan kemauan didalam menguasai diri, mengontrol
tindakan sendiri serta menerapkan nilai-nilai yang dianut, bebas dari
pengendalian dan kontrol orang lain.
2. Aspek-aspek Percaya Diri
Berikut ini merupakan aspek-aspek percaya diri menurut Drajat antara
lain:
a. Rasa Aman. Terbebas dari perasaan takut, rasa cemas dan tidak ada
kompetisi terhadap situasi atau orang disekitarnya.
b. Ambisi Normal. Ambisi disesuaikan dengan kemampuan tidak ada
kompetensi dari ambisi yang berlebihan, dapat menyelesaikan tugas
dengan baik dan bertanggung jawab.
c. Konsep Diri. Memberikan penilaian positif terhadap potensi fisik,
psikis, sosial maupun moral.
d. Mandiri. Tidak tergantung pada orang lain dalam melakukan sesuatu
dan tidak membutuhkan dukungan dari orang lain secara berlebihan.
e. Tidak mementingkan diri sendiri atau toleransi. Mengerti kekurangan
yang ada pada dirinya, menerima pendapat orang lain dan memberi
kesempatan pada orang lain.30
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kepercayaan diri
Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan kepercayaan
diri. Kepercayaan diri sangat tergantung kepada konsep diri. Konsep diri
berasal dan berkembang sejalan pertumbuhannya, terutama akibat dari
30
(51)
42
hubungan individu dengan orang lain. Yang dimaksud dengan orang lain
menurut Calhoun dan Acocella adalah orang tua, kawan sebaya, dan
masyarakat.
a. Orang tua
Orang tua adalah kontak sosial yang paling awal yang dialami oleh
seseorang dan yang paling kuat. Informasi yang diberikan orang tua
kepada anaknya lebih dipercaya dari pada informasi yang diberikan
oleh orang lain dan berlangsung hingga dewasa. Anak-anak tidak
memiliki orang tua, disia-siakan oleh orang tua akan memperoleh
kesukaran dalam mendapatkan informasi tentang dirinya sehingga hal
ini akan menjadi penyebab utama anak bekonsep diri negatif.
Orang tua yang menciptakan kehidupan beragama, suasana yang
hangat, saling menghargai, saling pengertian, saling terbuka, saling
menjaga dan diwarnai kasih saying dan rasa saling percaya akan
memungkinkan anak untuk tumbuh dan berkembang secara seimbang
dan membentuk konsep diri anak yang positif. Orang tua yang selalu
mengekang, over protektif dan kaku akan memberikan dampak yang
negatif terhadap perkembangan konsep diri remaja.
b. Kawan sebaya
Kawan sebaya menempati posisi kedua setelah orang tua dalam
mempengaruhi konsep diri. Peran yang diukur dalam kelompok sebaya
sangat berpengaruh terhadap pandangan individu mengenai dirinya
(52)
43
dengan kelompok agar mereka dapat diterima oleh kelompoknya.
Meskipun standar yang ditetapkan oleh kelompok kadang-kadang
tidak sesuai dengan pribadi remaja itu sendiri. Jika anggota kelompok
menunjukkan perilaku positif maka dapat diasumsikan perilaku
tersebut akan mempengaruhi anggota lain.
c. Masyarakat
Masyarakat sangat mementingkan fakta-fakta yang ada pada
seorang anak, siapa bapaknya, ras dan lain-lain sehingga hal ini sangat
berpengaruh terhadap konsep diri yang dimiliki oleh seorang individu.
Sikap lingkungan yang membuat seseorang takut untuk mencoba, takut
untuk berbuat salah, semua harus seperti yang sudah ditentukan.
Karena ada rasa takut dimarahi, seseorang jadi malas untuk melakukan
hal-hal yang berbeda dari orang kebanyakan, tetapi jika lingkungan
memberikan kesempatan dan mendukung hal positif remaja sesuai
tugas perkembangannya maka remaja akan mempunyai pandangan
yang positif terhadap kemampuannya.31
Perkembangan rasa percaya diri menurut Rini dipengaruhi oleh faktor
internal dan eksternal yaitu:
a. Faktor internal adalah pola pikir individu.
Setiap individu mengalami berbagai masalah kejadian, seperti bertemu
orang baru dan lain sebagainya. Reaksi individu terhadap seseorang
atau sebuah peristiwa amat berpengaruh cara berfikirnya. Individu
31
Pongky Setiawan, Buku Sakti Atasi Minder dan Grogi, (Yogyakarta: Mantra Books, 2014), hal. 16-17
(53)
44
yang rasa percaya dirinya lemah cenderung memandang segala sesuatu
dari sisi negative, tetapi individu yang selalu dibekali dengan
pandangan yang positif baik terhadap orang lain maupun dirinya akan
mempunyai harga diri dan kepercayaan diri yang tinggi.
b. Faktor eksternal adalah pola asuh dan interaksi diusia dini
Pola asuh dan interaksi diusia dini merupakan factor yang amat
mendasar bagi pembentukan rasa percaya diri. Sikap orang tua akan
diterima oleh anak sesuai dengan persepsinya pada saat itu. Orang tua
yang menunjukkan perhatian, penerimaan, cinta dan kasih saying serta
kedekatan emosional yang tulus dengan anak akan membengkitkan
rasa percaya diri pada anak tersebut. Anak akan merasa bahwa dirinya
berharga dan bernilai dimata orang tuanya meskipun melakukan
kesalahan. Berdasarkan sikap orang tua, anak tersebut melihat bahwa
dirinya tetaplah dihargai dan dikasihi. Anak tersebut dikemudian hari
akan tumbuh menjadi individu yang mampu menilai positif dirinya dan
mempunyai harapan yang realistik terhadap diri seperti orang tuanya
meletakkan harapan realistis terhadap dirinya.
Dari paparan tentang berbagai hal yang mempengaruhi pengembangan
kepercayaan diri diatas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya
kepercayaan diri merupakan salah satu ciri sifat kepribadian buka sifat
bawaan atau genetic. Tetapi merupakan sesuatu yang terbentuk dari
interaksi dirinya dengan orang lain terutama keluarga sebagai orang
(54)
45
tinggal. Selain itu usia, jenis kelamin, penampilan fisik serta frekuensi
meraih prestasi merupakan faktor yang mempengaruhi percaya diri.32
4. Karekteristik individu yang Percaya Diri
Ciri orang yang percaya diri menurut waterman yaitu orang yang
memiliki kemampuan bekerja yang efektif, bertanggung jawab serta
terencana matang dalam mengerjakan tugas dan tujuan masa depan. Tidak
terlalu jauh berbeda dari gambaran diatas.
Beberapa ciri atau karekteristk individu yang mempunyai rasa percaya
diri yang proposional menurut Rini diantaranya adalah:
a. Percaya akan kompetensi/kemampuan diri hingga tidak membutuhkan
pujian, pengakuan, penerimaan, ataupun penghormatan orang lain.
b. Tidak terdorong untuk menunjukkan sikap konformis (mengorbankan
hal-hal yang prinsip) demi diterima oleh orang lain atau kelompok.
c. Berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain (tidak jatuh
mental), berani menjadi diri sendiri.
d. Punyak pengendalian diri yang baik dan emosinya stabil.
e. Memandang keberhasilan atau kegagalan dari usaha sendiri, tidak
mudah menyerah pada nasib atau keadaan serta tidak tergantung atau
mengharapkan bantuan orang lain.
f. Mempunyai cara pandang yang positif terhadap diri sendiri, orang lain
dan situasi diluar dirinya.
32
Agus suyanto, pendidikan yang efektif ynag dapat dilakukan oleh keluarga, (surabaya: media pendidikan dan ilmu pengetahuan, 1987), hal.48.
(55)
46
g. Memiliki harapan yang realistis terhadap diri sendiri sehingga ketika
harapan itu tidak terwujud, seseorang tetap mampu melihat sisi positif
dirinya dan situasi yang terjadi.33
Sebaliknya disebutkan ciri atau karekteristik individu yang kurang
percaya diri, diantaranya adalah:
a. Berusaha menunjukkan sikap konformis, semata-mata demi
mendapatkan pengakuan dan penerimaan kelompok.
b. Menyimpan rasa takut/kekhawatiran terhadap penolakan.
c. Sulit menerima realita diri (terlebih menerima kekurangan diri) dan
memandang rendah kemampuan diri sendiri, namun dilain pihak
memasang harapan yang tidak realistic terhadap diri sendiri.
d. Pesimis, mudah menilai segala sesuatu dari sisi negative.
e. Takut gagal, sehingga menghindari segala resiko dan tidak berani
memasang target untuk berhasil.
f. Cenderung menolak pujian yang ditujukan secara tulus.
g. Selalu menempatkan/memposisikan diri sebagai yang terakhir, karena
menilai dirinya tidak mampu.
h. Mempunyai eksternal locus of control (mudah menyerah pada nasib,
sangat tergantung pada keadaan dan pengakuan/penerimaan serta
bantuan orang lain).
Sedangkan menurut Anthony mengemukakan karekteristik orang
yang kurang percaya diri yaitu:
33
(56)
47
a. Cenderung merasa tidak aman.
b. Tidak bebas.
c. Ragu-ragu.
d. Membuang waktu dalam mengambil keputusan.
e. Perasaan rendah diri.
f. Kurang cerdas.
g. Cenderung menyalahkan lingkungan sebagai penyebab bila
menghadapi sesuatu masalah.34
5. Indikator Percaya Diri
Indikator-indikator yang terdapat dalam rasa percaya diri menurut
pendapat Agus Suyanto dalam tulisannya pada media pendidikan dan
ilmu pengetahuan sebagai berikut:
a. Dapat mengatur diri sendiri
b. Dapat memahami dan mengatasi kesulitan-kesulitan sendiri
c. Dapat melakukan hal-hal oleh dan untuk dirinya sendiri.35
Dan juga beberapa indikator berikut dapat menumbuhkan rasa percaya
diri seseorang sebagai berikur:
a. Evaluasi diri secara objektif
Belajar menilai diri secara objektif dan jujur. Pelajari kendala yang
selama ini menghalangi perkembangan diri sendiri, seperti pola
berfikir keliru, niat dan motivasi yang lemah, kurangnya disiplin diri,
34
Hakim Thursan, Mengatasi Rasa Tidak Percaya Diri, (Jakarta: Puspa Swara, 2002), hal170-172
35
Agus suyanto, pendidikan yang efektif ynag dapat dilakukan oleh keluarga, (surabaya: media pendidikan dan ilmu pengetahuan, 1987), hal. 45
(57)
48
kurangnya kesabaran dan ketekunan, selalu bergantung pada orang
lain, atau sebab-sebab eksternal lain.
b. Penghargaan yang jujur terhadap diri sendiri
Sadari dan hargailah sekecil apapun keberhasilan dan potensi yang
dimiliki. Mengabaikan/meremehkan satu saja prestasi yang pernah
diraih berarti mengabaikan atau menghilangkan satu jejak yang
membantu diri sendiri dalam menemukan jalan yang tepat menuju
masa depan.
c. Positif Thinking
Cobalah memerangi setiap asumsi prasangka atau persepsi negative
yang muncul dalam benak diri sendiri. Semakin besar dan menyebar
pola piker negatif maka semakin sulit dikendalikan dan dihentikan.
d. Gunakan Self Affermation
Self affirmation penegasan dalam diri sendiri untuk memerangi pikiran
negative. Gunakan self affirmation yaitu berupa kata-kata yang
membengkitkan rasa percaya diri.
e. Berani mengambil resiko
Rasa kepercayaan diri yang berlebihan pada umumnya tidak
bersumber dari potensi diri yang ada, namun lebih didasari oleh
tekanan-tekanan yang memungkinkan datang dari orang tua dan
masyarakat hingga tanpa sadar melandasi motivasi individu untyk
harus menjadi orang sukses.36
36
(58)
49
D. Penelitian Terdahulu yang Relevan
1. Bimbingan dan Konseling Islam dengan Terapi Behavior untuk
meningkatkan Motivasi Belajar Anak (Study Kasus terhadap salah
seorang binaan yayasan Ummi Fadillah Surabaya). Oleh Muhammad
Hamam Maghfur (B03207007) BKI IAIN Sunan Ampel Surabaya
2012.
Persamaan:
Sama-sama menggunakan konseling behavior dalam menangani kasus.
Perbedaan:
Judul skripsi ini membahas studi kasus tentang permasalahan dimana
pada penelitian ini untuk mengatasi anak yang kurang belajar.
Sedangkan peneliti membahas tentang bagaimana konseling behavior
dengan menggunakan tekhnik assertive training menangani kasus
seorang guru untuk meningkatkan self confident di MA Miftahul Ulum
Banyuwangi.
2. Pelaksanaan konseling behavior dalam mengatasi phobia kucing
seorang klien di Rasamala 2 Menteng dalam tebet Jakarta Selatan.
Oleh Yuni Rosita (101052022672) BPI UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta 2008. Judul skripsi ini membahas tentang konseling behavior
dalam mengatasi phobia kucing pada anak-anak yang berusia dua belas
(59)
50
Persamaan:
Sama-sama menggunakan konseling behavior dalam menangani kasus.
Perbedaan:
Skripsi ini terletak pada permasalahan dimana pada penelitian ini
mengatasi kasus phobia. Sedangkan peneliti membahas tentang
bagaimana konseling behavior dengan menggunakan tekhnik assertive
training dalam menangani kasus seorang guru untuk meningkatkan self confidentnya di MA Miftahul Ulum Banyuwangi.
3. Penerapan konseling behavioral dengan tekhnik latihan assertif dalam
menangani kesulitan siswa berinteraksi social di sekolah menengah
pertama kemala bhayangkara 1 surabaya. Oleh Alfi Khoiriyatul
Fuadah (D93210075) KI UIN Sunan Ampel Surabaya 2014.
Persamaan :
Sama-sama menggunakan konseling behavior dengan tekhnik assertif
training dalam menangani kasus.
Perbedaan:
Judul skripsi ini membahas studi kasus tentang dalam menangani
kesulitan siswa dalam berinteraksi disekolah. Sedangkan peneliti
membhasa tentang bagaimana konseling behavior dengan tekhnik
assertif training dalam menangani kasus seorang guru untuk
meningkatkan self confidentnya di sekolah MA Miftahul Ulum
(1)
103
4. Jadwal kegiatan di MA Miftahul Ulum sehingga konselor memiliki keterbatasan waktu saat penelitian.
5. Waktu yang diberikan konseli saat proses konseling. Sehingga saat pemberian treatment dipersingkat.
(2)
104 BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Proses penerapan “Konseling Behavioral dengan Tekhnik Assertive Training dalam Meningkatkan Self Confident Seorang Guru Di MA Miftahul Ulum Bengkak Wongsorejo Banyuwangi. proses konseling yang dilakukan konselor dengan langkah-langkah konseling tersebut melalui identifikasi masalah, diagnosa, prognosa, treatment dan evaluasi (follow up). Pemberian treatment disini menggunakan tekhnik assertive training dimana disini menggunakan prosedur-prosedur bermain peran, konseli diminta memerankan dua karakter yaitu sebagai guru dan siswa. Dimana bentuk role playing pertama kali meminta konseli untuk bermain peran sebagai guru dan konselor sebagai siswa dan juga sebaliknya. Konseli diminta berperan sebagai seorang guru, yang tegas dan berani mendisiplinkan siswanya, agar konseli menyadari peran, wewenang, dan tanggung jawab seorang guru. Selanjutnya tetap berperan sebagai seorang guru yang menarik dan menyenangkan, agar konseli menyadari bahwa keterandalan dan keunggulan perlu dimiliki seorang supaya siswanya menyukainya. Setelah itu role playingnya konseli menjadi seorang siswa yang tidak hormat kepada guru, dan konselor menjadi gurunya. Peran
(3)
105
selanjutnya menjadi seorang siswa yang mengikuti pelajarn membosankan.
2. Hasil penerapan “Konseling Behavioral dengan Tekhnik Assertive Training dalam Meningkatkan Self confident Seorang Guru Di MA Miftahul Ulum Bengkak Wongsorejo Banyuwangi. Proses konseling dengan tehnik assertive training yang menggunakan prosedur role playing ini yang diberikan konselor sudah melihat adanya perubahan dalam diri konseli. Konseli yang pada awalnya tidak mampu menghadapi siswanya yang nakal dengan tegas dan berani mendisiplinkan kini konseli sudah merasa dan menyadari peran, wewenang, dan tanggung jawabnya untuk mendisiplinkan siswanya sebagai seorang guru. Dan menurut pemaparan konseli sendiri, sekarang konseli sudah merasakan perbedaan sikap sebelum dan sesudahnya melakukan proses konseling. Seperti halnya bisa membuat metode-metode baru dalam mengajar didalam kelas dan juga ketika secara tegas menegur siswa yang tidak mau mengikuti pelajarnnya dengan memberikan nilai jelek.
B. Saran
Dalam penelitian ini, peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu peneliti mengharapkan kepada peneliti selanjutnya untuk lebih menyempurnakan hasil dari penelitian ini.
(4)
106
1. Kepada konseli semoga menjadikan suatu pembelajaran baru untuk kedepannya.
2. Kepada sekolah semoga menjadikan suatu pengalaman dan ilmu baru kedepannya.
3. Kepada pembaca semoga menjadi bahan perbandingan dengan penelitian-penelitian terdahulu yang relevan.
4. Dan terakhir kepada peneliti menjadikan sebuah pengalaman, ilmu, serta refrensi untuk bekal selanjutnya.
(5)
DAFTAR PUSTAKA
Alwisol, Psikologi Kepribadian (Malang : UMM Press, 2009).
AT Mappiare Andi, pengantar konseling & psikoterapi, (Jakarta: pt. raja grafindo persada, 2006).
Burns R. B, Konsep diri, Teori pengukuran, Perkembangan & Prilaku, (Jakarta: Penerbit arcan, 1993)
Bachtiar Wardi, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, (Jakarta: Logos, 1999) Corey Gerald, Teori & Praktek Konseling dan Psikoterapi, (PT. Refika
Aditama, 2005).
DH Guld, Mengenal Diri pribadi, (Jakarta: Singgih Bersaudara, 1970). Gunarsa Singgih, Konseling & Psikoterapi, (Jakarta: Gunung Mulia, 2007). Gunawan, Genius Learning Strategi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2003).
Hikmawati Fenti , Bimbingan dan Konseling, (Jakarta: pt raja grafindo persada, 2010).
Hartono & Soedarmadji Boy, Psikologi Konseling, (Jakarta:KENCANA, 2012).
J. Moleong Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007)
Kosworo. E, Teori Kepribadian, (Bandung: PT. Erisco, 1991)
Lumongga Lubis Namora, Memahami dasar-dasar konseling dalam teori dan
praktek, (Jakarta: KENCANA, 2011)
Latipun, Psikologi Konseling (Malang : UMM Press, 2008).
Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995)
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2014)
Salahudin Anas, Bimbingan dan Konseling, (Bandung: PUSTAKA SETIA, 2010).
Siradj Shahudi Pengantar Bimbingan & Konseling, (Surabaya: PT. Revka Petra Media, 2012).
(6)
108
108
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif R&D, (Bandung: Alfabeta, 2008)
Siradj Shahudi, Pengantar Bimbingan & Konseling, (Surabaya: PT. Revka petra media, 2012)
Surya Mohammad, Teori Teori Konseling (Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2003).
Sulistyarini &Jauhar Mohammad Dasa-dasar Konseling, (Jakarta: Pustakaraya, 2014).
Supriyono, Pendekatan Behavior, (makalah).
Setiawan Pongky, Buku Sakti Atasi Minder dan Grogi, (Yogyakarta: Mantra Books, 2014).
Suyanto Agus, pendidikan yang efektif ynag dapat dilakukan oleh keluarga, (surabaya: media pendidikan dan ilmu pengetahuan, 1987).
Sarastika Pradipta, Tampil Percaya diri, (Yogyakarta: Araska, 2014).
Thursan Hakim, Mengatasi Rasa Tidak Percaya Diri, (Jakarta: Puspa Swara, 2002).
Yusuf Syamsu & Nurihsan Juntika A., Landasan Bimbingan dan Konseling, (Bandung:PT. Remaja Rosdakarya, 2012).
http:/irvanhavefun.blogspot.com/2012/03/teknik-asertif-training.html diunduh pada tgl 23 desember 2016