Penafsiran ba' dalam basmalah: analisis naskah kitab tafsir bismillahirrahmanirrahim karya Ahmad Yasin Asmuni.

(1)

PENAFSIRAN

BA>’

DALAM BASMALAH

(ANALISIS NASKAH KITAB TAFSIR

BISMILLA>HIRRAH}MA>NIRRAH}I>M KARYA AHMAD YASIN

ASMUNI)

Skripsi:

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-I) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

FATIH NUR HIDAYATULLAH NIM: E73213120

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Fatih Nur Hidayatullah, 2017. Penafsiran Ba>’ Dalam Basmalah (Analisis

Naskah Tafsir Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m Karya Ahmad Yasin Asmuni)

Pada umunya tafsir, penafsiran mengenai Basmalah sangatlah beragam.

Ada yang menafsiri secara utuh satu ayat, ada yang menafsiri secara terpisah dan

adapula seperti Ahmad Yasin yang sangat mendetail dalam menafsiri Basmalah

hingga menafsiri Ba’ dalam Basmalah.Masalah yang diteliti dalam penelitian ini

adalah 1) Bagimana pendekatan, dan corak yang digunakan Yasin Asmuni dalam

menafsirkan Basmalah dalam kitab Tafsir Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m? 2)

Bagaimana Penafsiran Yasin Asmuni ketika menafsirkan harf ba’ basmalah

dalam kitab Tafsir Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m?.Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui Metode, corak, dan pendekatan yang digunakan Oleh Ahmad Yasin

dalam menafsirkan Kitab Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m dan juga untuk mengetahui

penafsiran Ba’ Basmalah dalam kitab Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m. Penelitian dalam

hal ini menggunakan metode Tahlili yaitu menganalisa penafsiran mufassir, ide-ide mufassir dalam menafsiri suatu ayat. Sehingga semakin lebar dan luas dalam menafsirinya. Penelitian ini dilakukan karena masih banyaknya orang yang masih

belum memahami mengenai penafsiran huruf Ba’ dalam Basmalah.Hasil

penelitian menyimpulkan, Kitab Tafsir Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m disusun dengan

menggunakan corak sufi, dengan pendekatan Ilmu Nahwu dan Bahasa.

Penyusunan Kitab Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m oleh Ahmad Yasin menggunakan

metode Tahlili. Kemudian mengenai penafsiran Ba’ dalam Basmalah, Ahmad

Yasin menjelaskan bahwa Ba’ yang terkandung dalam Basmalah, mempunyai

faedah Isti’anah dengan memindahkan Dhomir yang disimpan sebelum Ba’.

Sehingga siapapun orang yang mengucapkan Lafadh Basmalah, secara tidak langsung sudah sama seperti memohon pertolongan Allah untuk melakukan sgala sesuatunya.


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

ABSTRAK ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii

PENGESAHAN SKRIPSI ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

PEDOMAN TRANSLITASI ... xiii

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Batasan Masalah ... 6

D. Rumusan Masalah ... 6

E. Tujuan Penelitian... 7

F. Kegunaan Penelitian ... 7


(8)

H. Metodologi Penelitian ... 9

I. Sistematika Pembahasan ... 12

BAB II: TAFSIR, TA’WIL, MANTHUQ, MAFHUM DAN FAEDAH-FAEDAH HURUF BA’

A. Tafsir dan Ta’wil ... 14

1. Tafsir ... 14

2. Ta’wil ... 19

3. Perbedaan Tafsir dan Ta’wil ... 22

B. Metode dan Corak Penafsiran ... 24

1. Metode Tafsir ... 24

2. Corak Penafsiran ... 30

C. Faedah-Faedah Bacaan Huruf Ba’ ... 33

BAB III: MENGENAL AHMAD YASIN ASMUNI DAN KITAB TAFSIR BISMILLA>HIRRAH}MA>NIRRAH}I>M A. Biografi Ahmad Yasin Asmuni ... 36

1. Kelahiran dan Masa Kecil Ahmad Yasin Asmuni ... 36

2. Pendidikan Ahmad Yasin Asmuni ... 37

3. Dakwah dan Karya-Karya Ahmad Yasin Asmuni ... 42

4. Kiprah dan Prestasi Ahmad Yasin Asmuni ... 45

B. Kitab Tafsir Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m ... 50


(9)

BAB IV: ANALISIS PENAFSIRAN BA’ BASMALAH DALAM TAFSIR

BISMILLA>HIRRAH}MA>NIRRAH}I>M

A. Metode dan Corak Kitab Tafsir Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m ... 65 B. Penafsiran Ba’ dalam Basmalah ... 71

BAB V: PENUTUP

1. Simpulan... 78 2. Saran ... 79 DAFTAR PUSTAKA


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di zaman yang modern ini, perkembangan teknologi semakin pesat dan keilmuwan juga semakin meluas. Sehingga memunculkan banyak pula ragam penafsiran dalam menjawab berbagai masalah di zaman yang semakin kompleks ini. Dengan berbagai gaya bahasa Alquran ditafsirkan guna membuktikan bahwa

Alquran sebagai kalam yang s}a>lih} li kulli zama>n wa maka>n. Semakin majunya

zaman, semakin banyak problematika, semakin banyak penafsiran dan semakin

banyak pula mufassir bermunculan dengan berbagai corak penafsirannya.1

Keberagaman ini, oleh Abdullah Daraz di umpamakan seperti intan yang di setiap sudutnya memancarkan cahaya berbeda sehingga menjadi perbedaan pula orang

menyimpulkan cahayanya. 2

Dengan demikian, keberagaman tersebut juga berlaku dengan penafsiran

Kalimat Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m. Kalimat yang menjadi awal dalam setiap

Surah di Alquran selain Surah Al-Bara>`’ah atau Surah At-Taubah. Penafsiran

kalimat Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m seakan seperti tidak menjadi penting lantaran

kalimah ini di ulang-ulang dalam setiap ayat.

Dalam tulisan Alquran sejak di kodifikasikan, kalimat Basmalah (dengan

nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang) telah ditempatkan pada

1

Hasan Hanafy, Metode Tafsir dan Ke-maslahatan Ummat (Yogyakarta: Nawesea, 2007), 14-48.

2

M. Qurasih Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an. (Jakarta: Lentera Hati, 2002), xvii.


(11)

2

tiap-tiap surah dalam Alquran, kecuali dalam surah at-Taubah. Namun demikian sejak dulu telah terjadi perbedaan-perbedaan besar antara golongan Syiah dan

Sunni mengenai apakah kalimat Basmalah bagian dari surah atau bukan.

Golongan Sunni berpendapat bahwa kalimat Basmalah bukan bagian dari surah

dalam Alquran. Mereka beranggapan bahwa hal tersebut sama seperti perbuatan

yang dimulai dengan ucapan Basmalah, sehingga Basmalah bukanlah bagian dari

perbuatan itu.3 berbeda dengan Syi’ah, Sesuai dengan ajaran para Imam. Syi’ah

sangat bertentangan dengan Sunnah dalam satu hal ini. Sebagaimana ucapan para Imam, “semoga tuhan menghancurkan mereka yang menghilangkan bagian

kalimat tersebut. (basmalah-penerj.) dalam Alquran.”4

Namun menurut Hamka dalam tafsirnya, golongan terbesar dari Ulama Salaf berpendapat bahwa Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m di awal surat adalah ayat pertama dari surat itu sendiri, beginilah pendapat dari Ulama Salaf Mekkah, baik Fuqohanya, ataupun ahli Qiro’at; diantaranya ialah Ibnu Katsir dan Ulama Kufah, termasuk dua ahli Qiro’at terkemuka, Al-`Ashim dan Al-Kisaa-i. dan sebagian

sahabat-sahabat Rasulullah dan Tabi’in di Madinah. Dan Imam Syafi’i di dalam

fatwanya yang jadid (baru), demikian para pengikut-pengikut beliau.5 alasan yang

digunakan para ulama adalah karena telah ijma seluruh sahabat Rasulullah SAW

dan yang datang mereka berpendapat bahwa Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m wajib

ditulis dipangkal setiap surat kecuali di awal surah At-Taubah. Pendapat mereka

3

Murtadha Muthahhari. Tafsir Surat Surat Pilihan, Mengungkap Hikmah Alquran, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), 22.

4

Ibid, 22. 5


(12)

3

dikuatkan lagi dengan Hadis yang diriwayakan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya, yang diterima dari Anas bin Malik, Berkata Rasulullah bersabda,

ْتَلِزْنُأ

َيَلَع

اًفِنآ

ٌةَروُس

َأَرَقَ ف

:

ِمْسِب

ِها

ِنَمْحَرلا

ِميِحَرلا

اَنِإ

َكاَْ يَطْعَأ

َرَ ثْوَكْلا

.

ِلَصَف

َكِبَرِل

ْرَحْناَو

.

َنِإ

َكَئِناَش

َوُ

ُرَ تْ بَْلا

“Telah diturunkan kepadaku tadi satu surat. Lalu beliau baca, Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m, sesungguhnya telah kami berikan kepada engkau sangat banyak, maka sembahyanglah engkau kepada tuhan engkau, dan hendaklah engkau berkurban, sesungguhnya orang yang benci kepada kau yang akan putus keturunan”. 6

Di dalam hadis ini di jelaskan bahwa diantara Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m dibaca senafas dengan surah sesudahnya. Disini berlakulah satu qiyas, yakni pada surah Al-Kautsar yang paling pendek, lagi beliau membaca senafas dengan Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m sebagai pangkalnya.7

Sedangkan dalam segi penafsiran kalimat Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m

seperti yang sudah disinggung di awal, sangat beragam sekali penafsirannya.

Dalam Tafsir An-Nur, Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m ditafsiri perkata. Seumpama,

Bismi yakni dengan menyebut nama Allah dan nama-nama yang husna dan sifat-sifatnya yang agung. Yaitu lafadz yang menunjukkan kepada zat, atau kepada sesuatu pengertian. Dalam isim, rangkaian ini dimaksudkan menamai atau

menyebut asma Allah.8 di dalam Alquran terdapat beberapa ayat yang

memerintahkan kepada kita untuk menyebutnya dan mengakui kesuciannya. Sebagaimana dalam Surah Al-Baqoroh ayat 198 Allah berfirman,

6Muslim bin al-Hujja>j Abu> al-H}asan al-Qusyairi> al-Naisabu>ri>,

Musnad S}ahi>h al-Mukhtas}ar Binaqli al-‘Adli ila> Rasu>lilla>h, (Beirut, Dar Ihya al-Turath al-Arabi, t.th), 300, Juz 1.

7

Hamka, Tafsir Al Azhar…, 87, juz 1.

8

Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’an An-Nur, (Jakarta: N.V. Bulan Bintang, 1995). Juz 1, 30.


(13)

4

َسْيَل

ْمُكْيَلَع

ٌحاَُج

ْنَأ

اوُغَ تْبَ ت

ًلْضَف

ْنِم

ْمُكِبَر

ۗ

اَذِإَف

ْمُتْضَفَأ

ْنِم

ٍتاَفَرَع

اوُرُكْذاَف

ََللا

َدِْع

ِرَعْشَمْلا

ِماَرَحْلا

ۗ

ُوُرُكْذاَو

اَمَك

ْمُكاَدَ

ْنِإَو

ْمُتُْك

ْنِم

ِِلْبَ ق

َنِمَل

َنيِلاَضلا

Artinya: Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.

Kemudian di dalam Surah Al-Baqoroh ayat 200,

اَذِإَف

ْمُتْيَضَق

ْمُكَكِساََم

اوُرُكْذاَف

ََللا

ْمُكِرْكِذَك

ْمُكَءاَبآ

ْوَأ

َدَشَأ

اًرْكِذ

ۗ

َنِمَف

ِساَلا

ْنَم

ُلوُقَ ي

اََ بَر

َِتآ

ا

يِف

اَيْ ن دلا

اَمَو

َُل

يِف

ِةَرِخ ْآا

ْنِم

ٍق َلَخ

Artinya: Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada

orang yang bendoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia”, dan tiadalah

baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat.

Dengan memperhatikan ayat-ayat itu, nyatalah bahwa kita diperintahkan untuk mengingat atau menyebut Allah, dengan jalan mengenangkan kebesarannya dan

kebesaran nikmatnya dengan tuturan lidah.9

Jika dalam Tafsir An-Nur disebutkan penafsiran

Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m sebagai perintah untuk selalu menyebut dan mengingat nama Allah, maka di perkuat di Tafsir Al-Azhar dengan penafsiran yang hampir

sama dengan Tafsir An-Nur. Disini dijelaskan bahwa kalimat

Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m merupakan kalimat yang digunakan untuk memulai suatu pekerjaan dengan menyebut nama allah. Ibarat dalam sebuah kerajaan, jika seorang utusan diperintah raja kemudian menyebutkan, “diatas nama penguasa tertinggi” sehingga jadi kuatlah perkataan dan pekerjaan itu. Sebagaimana suatu

9


(14)

5

pekerjaan jika dilandasi dengan ucapan Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m maka akan

mempunyai kekuatan tersendiri dalam setiap pekerjaannya.10 hal ini di karenakan

atas izin Allahlah segala sesuatu akan terjadi.

Ketika hampir kebanyakan Ulama menafsirkan Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m dalam bentuk satu kalimat utuh. Namun hal itu berbeda dengan Ahmad Yasin Asmuni, pengarang Kitab Tafsir Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m.

Dia menafsirkan kalimat basmalah sedetail mungkin. Seakan menunjukkan

betapa pentingnya Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m untuk ditafsirkan. ia menafsirkan

Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m dengan menggunakan bahasa yang mudah untuk di pahami dan dilengkapi dengan makna pegon ala Pesantren.

ketika menafsirkan Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m, ia memetakan lafaz

Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m ini menjadi beberapa bagian. Mulai dariharf ba’, lafaz

isim, lafaz jalalah dan lafaz Ar-rohman dan Ar-rohim. Kemudian menyebutkan

beberapa masalah dalam setiap kata per-kata dalam kalimat

Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m. Sebut saja ketika menafsiri harf ba’, ia mengemukakan beberapa masalah didalamnya. Disertakan pula qoul ulama dan

ijtihadnya dalam menafsiri.11 beragamnya penafsiran ulama dan model penafsiran

Yasin Asmuni inilah yang menjadikan hal menarik untuk dikaji lebih dalam mengenai kalimat Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m.

10

Hamka. Tafsir Al Azhar…, 89, juz 1.

11

Ahmad Yasin Asmuni. Tafsir Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m. (Kediri: Hidayatut Thullab. 1416 H) 3.


(15)

6

B. Identifikasi Masalah

Dari pemaparan latar belakang diatas, maka masalah yang bisa di identifikasikan adalah:

1. Beragamnya pendapat Ulama mengenai letak dan posisi kalimat

Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m sebagai Fa>tihatus Su>rah.

2. Pentingnya penafsiran kalimah Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m pada setiap awal

Surah.

3. Beragamnya corak dan metode penafsiran para Mufasir mengenai kalimat

Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m.

4. Perbedaan para Mufassir dalam menafsirkan kalimat

Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m. C. Batasan Masalah

Agar tidak melebar dan masuk kesegala sisi, dalam penelitian ini cukup

dibatasi dengan penelitian huruf ba’ dalam kitab Tafsir Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m

serta mengkaji metode, corak dan pendekatan yang digunakan oleh Yasin Asmuni

ketika menafsirkan Basmalah dalam kitab Tafsir Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan fenomena yang tertulis diatas, perlu adanya rumusan masalah agar lebih terarah dan tidak melebar pembahasannya. Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut:

1. Bagimana Metode, pendekatan, dan corak yang digunakan Yasin Asmuni


(16)

7

2. Bagaimana Penafsiran Yasin Asmuni ketika menafsirkan harf ba’ basmalah

dalam kitab Tafsir Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m ? E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah,

1. Untuk mengetahui pendekatan, metode dan corak yang digunakan Yasin

Asmuni dalam kitab Tafsir Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m.

2. Untuk mengetahui Penafsiran harf ba’ Basmalah dalam kitab Tafsir

Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m. F. Kegunaan Penelitian

kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut,

a. Secara teoritis

Menambah wawasan dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam penelitian tafsir yang terkait dengan penelitian mufassir serta menambah pemahaman tentang metode yang diterapkan oleh Yasin Asmuni sehingga bisa menginterpretasikan penafsiran sesuai pemaknaan yang

semestinya terkait dengan penafsiran harf’ ba’ dalam Kitab Tafsir

Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m

b. Secara Praktis

Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai ilmu pengetahuan yang memberikan informasi yang valid sehingga kualitas mufassir tidak diragukan dan bisa dipakai sebagai rujukan karya tulis ilmiah dan sebagainya. Serta

memberikan informasi tentang pemaknaan harf’ ba’ dalam kitab Tafsir


(17)

8

G. Tinjauan Pustaka

Pembahasan mengenai “Penafsiran Harf Ba’ dalam Kitab Tafsir Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m Karya Yasin Asmuni” belum pernah ada. Sejauh yang di ketahui selintas jurusan Ilmu Alquran dan Tafsir hanya ada satu penelitian yang membahas mengenai Tafsir Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m,

Fatihatu Surah Dan Tafsir Basmalah Dalam Tafsir Al-Jailani Karya

Syaikh ‘Abd Al-Qadir Al-Jailani. Skripsi di UIN Sunan Kalijaga Jogja yang ditulis oleh Anang Taufiqurrahman, tahun 2016, Fakultas Ushuludin dan Pemikiran Islam Jurusan Tafsir Hadis. Penelitian ini mencoba membahas tentang

bagaimana bentuk fatihatu surah (pembuka surat) dalam Tafsir al-Jailani, serta

bagaimana penafsiran basmalah pada awal surah Makkiyyah dan Madaniyyah dalam Tafsir al-Jailani.

Dari telaah pustaka yang telah dilakukan secara seksama, penelitian ini memliki kesamaan dan perbedaan dengan penelitian diatas yang tidak mengurangi keaslian penelitian yang hendak diangkat. Adapun kesamaannya adalah

sama-sama dalam temanya yakni Tafsir Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m. Sedangkan hal yang

membedakan adalah sebagai berikut,

a. Penelitian ini menggunakan studi analisis naskah kitab sedangkan penelitian

yang dilakukan oleh Anang Taufiqurrohman adalah studi analisis tokoh mengenai pemikiran Tafsirnya.

b. Penelitian ini lebih fokus kepada kajian naskah yang mana lebih spesifik pada

metode, corak dan pendekatan penafsiran. Sedangkan Anang Taufiqurrahman lebih condong kepada pemikiran dan penafsiran tokohnya.


(18)

9

H. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat kualitatif dengan menggunakan metode analisis deskriptif-analisis, yakni suatu upaya untuk

mendeskripsikan Kitab Tafsir Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m. Kemudian di analisis

untuk di ketahui corak dan metode yang di gunakan Yasin Asmuni dalam

menyusun dan menafsiri Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m. Tujuan dari analisis ini guna

untuk memperkenalkan kepada dunia keilmuwan islam dan khususnya muslim indonesia, bahwa negeri ini juga mempunyai mufassir dan pemikir yang tak kalah handal dengan Ulama timur tengah. Metode penelitian mencakup jenis penelitian, teknik pengumpulan data dan analisis data.

Dalam penelitian ini juga mengikut sertakan metode Tahlili Tajzi’i yang

mana sebagai metode penafsiran paling tua dan paling sering digunakan. Tahlili

Tajzi’i adalah metode yang mufassirnya berusaha menjelaskan ayat-ayat Alquran dari berbagai seginya, dengan memperhatikan runtutan ayat Al-Quran

sebagaimana tercantum dalam AlquranTafsir ini dilakukan secara berurutan ayat

demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan

susunan Al-Qur’an. serta menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang

dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz,

balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fiqih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak


(19)

10

dan lain sebagainya.12 Dalam hal ini, metode ini turut pula digunakan untuk

metode dalam menganalisa KitabTafsir Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research)

karena penelitian ini akan terfokus pada data-data yang bersumber pada naskah-naskah yang relevan dengan pokok pembahasan.

Penelitian ini terfokus pada sumber primer yaitu Tafsir

Bismillahirrahmanirrahim. Selanjutnya, dideskripsikan dan dianalisis sehigga memudahkan menjawab persoalan yang telah dirumuskan dalam pokok masalah. Sedangkan data sekundernya mencakup semua buku dan artikel

tentang ulum al-quran, Teori Penafsiran dan Wawancara kepada Penulis.

2. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research).

Data diambil dari kepustakaan baik berupa buku, dokumen, maupun artikel13,

sehingga teknik pengumpulan datanya dilakukan melalui pengumpulan sumber-sumber primer maupun sekunder. Seperti halnya Metode dokumentasi yang mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger,

agenda dan sebagainya.14

12

Muhammad Baqir Shadr, al-Madrasah al-Qur’a>niyah: al-Tafsi>ral-Maudhu>‘i wa al -Tafsi>r al-Tajzi>‘iy fi al-Qur’a>n al-Kari>m (Beirut: Dar al-Ta’aruf li al-Mathbu’ah t.th), 7-10.

13

Hadari Nawawi, Metodologi penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada Universy press, 2001), 95.

14

Suharsimi Arikunto, Prosedur penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), 47.


(20)

11

Kemudian dibutuhkan langkah-langkah yang sistematis sebagai panduan dalam pembahasan. Adapun langkah yang akan peneliti lakukan dalampembahasan meliputi berikut ini:

a. Menulis Penjelasan mengenai latar belakang Muallif dalam menyusun

Kitab Tafsir Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m.

b.Melakukan wawancara kepada muallif guna mendapatkan data lebih

lengkap mengenai penyusunan kitab tafsir Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m.

c. Menganalisa secara analisis dan dikaitkan dengan Ulum al-Quran dan

metode penafsiran Alquran.

3. Sumber Data

Dalam penelitian ini sebenarnya akan melibatkan beberapa literatur. Literatur yang dimaksud berdasarkan dengan kebutuhan penelitian. Dalam enelitian ini, setidaknya terdiri dari dua kategori, sumber data primer dan sumber data sekunder.

a. Data Primer

Sumber data primer merupakan rujukan utama yang akan

digunakan penelitian, yaitu Tafsir Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m. karya

Ahmad bin Yasin Asymuni al-Jawi. Hal ini dikarenakan objek utama dalam penelitian ini adalah naskah kitab tafsir Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m. dan kandungan isi tafsir tersebut.

b. Data Skunder

Selain data primer, ada pula sumber data skunder yang digunakan sebagai pembantu dari data primer. Data-data tersebut antara lain,


(21)

12

1. Tafsi>r Mafa>tih al-Ghaib karya Abu‘Abdullah Muhammad bin ‘Umar bin al-Hasan bin al-Husain at-Taimi Fakhruddin al-Razi

2. Metodologi penelitian Alquran karya Nashiruddin Baidan 3. Wawasan Baru Ilmu Tafsir karya Nashiruddin Baidan 4. Maba>hith fi ‘Ulu>m al-Qura>nkarya Manna’ khalil al-Qhattan

5. Wawancara dan Interview kepada Muallif Ahmad Yasin Asymuni 6. Dan tafsir-tafsir yang menjadi rujukan penulisan naskah kitab Tafsir

Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m, serta kitab-kitab Ulumul Quran yang berkaitan dengan objek penelitian.

4. Teknik Analisis Data

Untuk menganalisis data, penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analisis yang berarti analisis dilakukan dengan cara menyajikan

deskripsi sebagaimana adanya, tanpa campur tangan pihak peneliti.15Usaha

pemberian deskripsi atas fakta tidak sekedar diuraikan, tetapi lebih dari itu, yakni fakta dipilih-pilih menurut klasifikasinya, diberi intepretasi, dan

refleksi.16 Dengan menggunakan metode deskriptif-analisis, kajian ini

meneliti naskah kitab tafsir Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m. dengan menganalisis data tentang proses penulisan, metode, corak dan bentuk penafsirannya. I. Sistematika Pembahasan

Adapun sistematika penulisan penelitian ini sebagai berikut:

15

Siswantoro, Metode Penelitian Sastra: Analisis Psikologis, (Surakarta: Sebelas Maret University Press, 2004), 49.

16


(22)

13

Sebagaimana lazimnya penelitian, pada bab satu merupakam pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab dua memaparkan data yang mengenai Tafsir, Ta’wil, Manthuq,

Mafhum dan Faedah-faedah dalam huruf ba’

Bab tiga membahas tentang biografi Yasin Asmuni dan proses Ahmad

Yasin Asmuni dalam Menyusun Kitab Tafsir Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m.

Bab empat adalah Analisis mengenai penafsiran, metode, corak tafsir dan kaidah Ulumul Quran yang digunakan oleh Yasin Asmuni dalam menyusun Tafsir Bismillahirrahmanirrahim.


(23)

14

BAB II

METODE DAN CORAK,

TAFSIR, TA’WIL,

DAN

FAEDAH-FAEDAH HURUF

BA’

A. Tafsir dan Ta’wil

1. Tafsir

Tafsir secara bahasa mengikuti wazan Taf’il, berasal dari kata

al-Fasr (f,s,r) yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau

menerangkan makna yang abstrak. Kata kerjanya mengikuti wazan

daraba-yadribu dan nasara-yansuru. Dikatakan fasara (asy-Syai’a) yasiru dan yafsuru, fasran dan fassarahu, artinya abana>hu (menjelaskannya). Kata at-Tafsir dan al-Fasr mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang

tertutup. Dalam lisanul arab, dinyatakan kata al-Fasr berarti menyingkap

sesuatu yang tertutup, sedang kata at-Tafsir berarti menyingkap maksud

sesuatu lafadh yang musykil dan pelik. Dalam Alquran dinyatakan

َكَنوُتْأَي َََو

اًرِسْفَ ت َنَسْحَأَو ّقَْْاِب َكاَنْ ئِج اَِإ ٍلَثَِِ

(Tidakkah mereka datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu sesuau yang benar dan paling baik tafsirnya) QS al-Furqon: 33. Maksudnya, paling baik


(24)

15

penjelasan dan perinciannya. Di antara kedua bentuk kata itu, al-Fasr dan

at-Tafsir, kata at-Tafsir (tafsir)-lah yang paling banyak dipergunakan.1

Tafsir menurut istilah, sebagaimana yang didefinisikan oleh abu hayyan ialah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadh-lafadh Alquran, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan

baginya ketika tersususerta hal-hal yang lain melengkapinya.2

Menurut Az-Zarkasyi, tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Muhammad, menjelaskan

makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya.3

Dalam kamus Bahasa Indonesia, kata Tafsir diartikan dengan

keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat Alquran atau kitab sucilain

sehingga lebih jelas maksudnya.4terjemahan dari ayat-ayat Alquran masuk

kedalam kelompok ini. Jadi, tafsir Alquran adalah penjelasan atau keterangan terhadap maksud yang sukar memahaminya dari ayat-ayat Alquran. Dengan demikian, menafsirkan Alquran ialah menjelaskan atau menerangkan

makna-makna yang sulit pemahamannya dari ayat-ayat Alquran tersebut.5

Sesungguhnya kemunculan ilmu tafsir serta kaidah-kaidahnya

berpangkal dari apa yang menjadi rujukan tafsir bi al-ma’tsur yang berpegan

1Manna>‘ Khali>lAl-Qatht}a>n

, Mabah}ith} fi> `Ulu>mal-Qur‘a>n, (Bogor, Pustaka Litera Antar Nusa, 2011), 456.

2

Al-Qathtan. Mabah}ith} fi> `..., 456 3

Ibid, 457 4

Nashiruddin Baidan. Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2011), 67; Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. Ke-1. Jakarta, Balai Pustaka. 882.

5


(25)

16

kepada Alquran dan hadis. Di dalam hadis terkandung penjelasan nabi tentang tata cara yang benar dalam menafsirkan Alquran dan menta’wilkan makna-maknanya. Sementara itu, apa yang dilakukan sahabatadalah

mengikuti cara yang pernah dilakukan oleh nabi. Begitu pula dengan tabi’in

dan tabi’it tabi’in.6

Sementara itu, tafsir yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in tidak mungkin sampai kepada kita tanpa adanya riwayat yang dibukukan oleh para pendahulu. Akan tetapi sejarah membuktikan bahwa tafsir-tafsir tersebutyang sampai kepada kita hanya beberapa. Sementara itu, pada masa kematangan tafsir, sanad dibuang sehingga sulit dibedakan antara yang shahih dan yang dhaif. Tidak hanya itu, riwayat tafsirpun banyak yang dipalsukan. Oleh sebab itu, ulama memberikan

persyaratan dalam tafsir bil ma’tsur agar kebenarannya dapat dipertanggung

jawabkan. Berikut syarat-syarat tersebut7,

a. Memiliki pengetahuan tentang hadis, baik riwayah maupun dirayah.

b. Mengerti isi hadis, pendapat sahabat, pendapat tabi’in dan pendapat mujtahid.

c. Mampu mengkomparasikan dan meruntutkan riwayat-riwayat yang

berbeda.

d. Mampu menemukan hakikat yang terdapat dalam riwayat.

e. Menjaga pendapat yang akan disebutkan, yaitu selalu memperhatikan

hal-hal yang seharusnya dilakukan dalam mengutip pendapat mufassir.

6

Samsurrohman. Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta, Amzah, 2014), 171 7


(26)

17

f. Meneliti Asbabun Nuzul dan Nasikh wal Mansukh.

g. Menafsirkan Alquran dengan Alquran8 dan mengambil riwayat-riwayat

yang shahih

h. Jika menggunakan metode bil-ma’tsur, tidak mengutip

pendapat-pendapat yang gharib dan musykil.

i. Tidak berpegang pada riwayat-riwayat Israiliyat. Akan tetapi,

menggunakan riwayat-riwayat tersebut hanya sebagai alat pembanding, itu diperbolehkan.

Selain itu, ada hal-hal yang harus dihindari agar tidak menyebabkan

tafsir bil-ma’tsur menjadi lemah. Diantara adalah9,

a. Tidak melakukan pemalsuan serta tidak memasukkan riwayat-riwayat

palsu.

b. Tidak memasukkan riwayat Israiliyat.

c. Sanad seyogyanya tidak dibuang sehingga dapat dibedakan antara yang

shahih dan dhaif.

d. Tidak menafsirkan Alquran tanpa didukung oleh riwayah.

Sementara itu, mufassir yang akan menafsirkan Alquran dengan

metode bir-Ra’yi karena tidak terdapat riwayat yang shahih, disyaratkan

memiliki berbagai ilmu sebagai alat bantu yang dapat melindunginya dari

berbagai kesalahan. Sedangkan ilmu-ilmu yang dibutuhkan adalah10,

8

Jika tidak ditemukan ayat Alquran yang menjelaskan, ditafsirkan dengan hadis nabi. Jika tidak ditemukan dengan Hadis, ditafsirkan dengan tafsir sahabat. Jika tidak ditemukan

tafsir sahabat maka ditafsirkan dengan tafsir tabi’in.

9

Samsurrohman. Pengantar Ilmu..., 173 10


(27)

18

a. Ilmu Bahasa Arab, seorang mufasir yang hendak menafsirkan Alquran

wajib hukumnya ahli di bidang bahasa Arab, dikarenakan alquran berbahasa arab. Dengan memahami bahasa arab, mufasir dapat menjelaskan makna kosakata Alquran sesuai dengan yang di maksud oleh Allah SWT.

b. Memahami Nahwu Shorof dan Balaghoh

c. Memahami ilmu Isytiqaq, ilmu ini membahas mengenai dasar

pembentukan kata. Satu kata terkadang terbentuk dari dua kata yang hampir sama sehingga makna yang muncul menjadi berbeda.

d. Memahami Ilmu Qira’ah, ilmu yang mana mengenai cara baca Alquran. Ilmu ini dapat membantu mufassir untuk menarjih makna-makna yang mungkin. Sehubungan dengan itu, sering terjadi perbedaan dalam menafsirkan. Namun bukanlah perbedaan tafsir namun perbedaan dalam seni baca saja.

e. Ushuludin, ilmu yang membahas unsur-unsur pokok dalam akidah yang

harus dijadikan pegangan bagi orang yang berkeyakinan.

f. Ushul fiqh, seorang mufassir diwajibkan untuk menguasai ilmu Ushul

fiqh. Dikarenakan, Alquran merupakan kitab hukum yang berlaku bagi manusia. Maka dengan pahamnya seorang mufassir pada ushul fiqh mufassir dapat mengetahui jenis-jenis ayat, baik yang umum, khusus, muthlaq, muqayyad.

g. Memahami ilmu Asbabun Nuzul.


(28)

19

i. Memahami Ilmu Nasikh wan Mansukh.

j. Memahami Ilmu Hadis.

k. Memahami al-Mauhibbah, ilmu yang menjelaskan tentang pengetahuan

yang telah ada. 2. Ta’wil

Ta’wil Secara bahasa berasal dari kata aul, yang berarti kembali ke

asal. Dikatakan

ًَّامو ًَوا هيلا لّا

artinya, kembali kepadanya. اايوأت ما لا ّوا artinya, memikirkan, memperkirakan dan menafsirkannya. Maka atas dasar inilah Ta’wil kalam mempunyai dua makna11

,

a. Ta’wil kalam dengan pengertian sesuatu makna yang kepadanya mutakallim (pembicara, orang pertama) mengembalikan perkataannya, atau sesuatu makna yang kepadanya suatu kalam dikembalikan dan kalam itu kembali dan merujuk kepada makna haqiqinya yang merupakan esensi sebenarnya yang dimaksud. Kalam ada dua macam, insya’ dan ikhbar. Salah satu yang termasuk insya’ adalah amr (kalimat perintah).

b. Ta’wil kalam dalam arti menafsirkan dan menjelaskan maknanya. Pengertian inilah yang dimaksudkan Ibnu Jarir ath-Thobari dalam

tafsirnya dengan kata-kata, pendapat tentang ta’wil firman Allah ini

begini dan begitu, dan kata-kata Ahli Ta’wil berbeda pendapat tentang

ayat ini. Jadi yang dimaksud dengan kata ta’wil disini adalah tafsir.

11


(29)

20

Sedangkan definisi Ta’wil menurut Ulama Muta’akhirin adalah,

memanglingkan makna lafadh yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah

(marjuh) karena adanya dalil yang menyertainya. Namun definisi ini tidak

sesuai dengan apa yang dimaksud dengan lafadh ta’wil dalam Alquran

menurut versi salaf.12

Seperti halnya tafsir, maka ta’wil juga mempunyai syarat-syarat

yang harus dipenuhi ketika memaknai ayat melalui ijtihad. Menurut Raudhah

an-Nadzir wa Jannah al-Mundzir, takwil yang benar harus memenuhi syarat-syarat berikut13,

a. Makna yang digunakan sebagai ta’wil merupakan makna yang dimiliki oleh teks tersebut serta didukung dengan adanya dalil-dalil yang memadai,

baik dari segi Manthuq (makna yang dibicarakan oleh teks) maupun

Mafhum (makna yang dipahami dari teks yang dikaji).

b. Ta’wil yang di pilih memiliki dalil yang shahih dan menunjukkan adanya pengalihan kata dari bentuk zhahir menuju bentuk lain.

Kalam Allah yang dikomunikasikan kepada manusia adalah dalam bentuk zhahir sehingga ada dalil-dalil yang mendukung untuk melakukan

ta’wil makna di balik teks. Oleh sebab itu, teks yang mutlak harus dilakukan

apa adanya sehingga ada dalil kuat yang membatasi dan harus dilakukan

secara Muqayyad (makna yang dibatasi dan digunakan untuk sesuatu secara

12

Al-Qathtan. Mabah}ith} fi> `..., 459 13


(30)

21

khusus), kecuali ada dalil yang menunjukkan bahwa makna ituharus di-taqyid.14

Zhahir perintah adalah wajib. Oleh sebab, wajib melakukan zhahir perintah sehingga tidak boleh mengubahnyamenjadi sunnah tanpa adanya

dalil yang kuat. Begitu pula dengan larangan.15

Sementara itu, Imam al-Juwaini mengklasifikasikan

tahapan-tahapan takwil sebagai berikut,16

a. At-Ta’wi>l al-Maqbu>l, yaitu ta’wil yang didukung oleh dalil-dalil yang kuat.

b. at-Ta’wi>l ghair as-Sa>igh, yaitu ta’wil yang tidak diperbolehkan. Apabila

ta’wil tidak didukung oleh dalil-dalil yang kuat, tidak diperbolehkan

memilih makna yang Dzonni.

c. At-Ta‘a>rudh, yaitu apabila terjadi Tarik-menarik antara zhahir dan makna yang di takwil. Keduanya memiliki indicator yang kuat dan harus ditarjih

Menurut Az-Zarkasyi dalam al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, antara makna denotasi (makna asli teks) dan makna konotasi (makna teks setelah

dita’wil) harus diperhitungkan. Apabila makna denotasi lebih kuat daripada

makna konotasi, ta’wil ditolak. Sementara itu, apabila makna konotasi lebih kuat karena adanya indikator , ta’wil bias diterima. Akan tetapi apabila antara

14

Samsurrohman. Pengantar Ilmu..., 37. 15

Ibid, 37. 16


(31)

22

makna denotasi dan makna konotasi sama-sama, harus dibandingkan. Jika

ternyata makna denotasi lebih kuat, teks tidak boleh dita’wilkan.17

Dalam menta’wilkan, dalil yang digunakan harus berupa dalil yang

rajih (kuat) yang melebih zhahir kata untuk menunjukkan makna. Oleh sebab itu makna terkadang memiliki ta’wil dekat dan terkadang memiliki ta’wil jauh. 3. Perbedaan Tafsir dan Ta’wil

Term tafsir dan ta’wil merupakan dua istilah yang popular sejak

permulaan islam sampai sekarang. Namun istilah ta’wil pernah menimbulkan polemic yang tajam dikalangan ulama, khususnya generasi Muta’akhirin

(ulama yang lahir setelah periode salaf , mulai sekitar permulaan abad ke-4 Hijriyah). Salah satu penyebabnya ialah berbeda pemahaman persepsi antara

generasi salaf (sahabat, tabi’in, dan tabi’tabi’in) dan generasi yang dating kemudian (Muta’akhirin) tentang konotasi istilah tersebut.para ulama salaf

cenderung memahami istilah itu sama dengan tafsir. Dengan demikian, ta’wil

menurut mereka adalah sinonim (muradif) bagi tafsir. Artinya, tafsir adalah

ta’wil dan ta’wil adalah tafsir. Perngertian itu merek apahami dari doa Nabi

SAW bagi Ibnu Abbas,

ليوأّتلا

مّلعو ِنيّدلا ىف هّق

ف ّمهللا

(ya Allah anugerahilah

ia (Ibn Abbas) pemahaman yang benar tentang ajaran agama dan ajarilah ia

ta’wil). Pengertian serupa itu lazim digunakan di kitab tafsir abad klasik (salaf)

seperti di jumpai dalam tafsir al-Thabari,

ةيْا ى

عم ىف ليوأتلا ل ا فلتخا

(para

17


(32)

23

ahli ta’wil [tafsir] berbeda pendapat tentang makna ayat itu) dan

ىف لوقلا

ذك لوق ليوأت

ا

(pendapat dalam penta’wilan [penafsiran] firman Allah SWT begini…) pengertian seperti yang digambarkan itulah, menurut Ibnu Taymiyah

yang dimaksud Mujahid,18 bahwa ulama dapat mengetahui ta’wil Alquran.

Pendapat Mujahi inilah oleh ulama Muta’akhirin dijadikan rujukan untuk

membolehkan ta’wil Alquran sesuai dengan keinginan mereka seperti yang dilakukan oleh kaum Rafidhah. Seperti menta’wilkan

بهل يبا ادي

Abu Bakar

dan Umar,

رقب

dengan Aisyah dan sebagainya. Disinilah timbul persoalan

ta’wil yang dimaksud Mujahid di salah gunakan oleh Ulama yang datang

kemudian, lalu mereka mengklaim bahwa Mujahid membolehkan ta’wil

Alquran sesuai dengan penegasan Allah dalam Surah Ali Imran ayat 719,

ْأَت ُمَلْعَ ي اَمَو

َُللا َِْإ َُليِو

ۗ

ِمْلِعْلا يِف َنوُخِساَرلاَو

Artinya: tiada yang dapat mengetahui ta’wil (Alquran) kecuali Allah dan orang-orang yang berpengetahuan luas (Ulama)

Dari keterangan di atas terlihat jelas perbedaan yang nyata antara

tafsir dan ta’wil. Pada masa salaf kedua istilah itu mempunyai arti yang satu

konotasi, penjelasan atau keterangan bagi ayat-ayat Alquran. Namun kemudian

18 Mujahid bin Jarir al-Makiy Abul Hajjad al-Makhzumy al-Muqry, salah satu Tabi’in

Ahli Tafsir yang lahir tahun 21 H. kehalian Mujahid dalam tafsir tidak diargukan lagi, setidaknya menurut pandangan Sufyan ats-Tsauri: sudah cukup bila kamu telah memperoleh tafsir dari Mujahid; Ibnu Taimiyah, al-Ikli>l fi al-Mutasha>bih wa at-Ta’wi>l, (Iskandariyah: Dar Al-Iman, tt), 20

19


(33)

24

konotasi istilah ta’wil mereka pakaikan pada, memalingkan pengertian suatu lafadh dari makna yang rajih kepada makna yang marjuh karena ada dalil.

Dalam definisi itu tampak dengan jelas bahwa para ulama Muta’akhirin lebih

banyak memberikan peranan bagi akal dibanding dengan para ulama salaf

sebab kata memalingkan (sharf) yang digunakan dalam definisi itu tidak ada

lain kecuali menggunakan akal pikiran. Dari sinilah berkembangnya Tafsi>r bi

al-Ra’yi (penafsiran melalui pemikiran). Berangkat dari pemikiran serupa

itulah, ulama membedakan kedua istilah tersebut dengan mengatakan, Tafsir

melalui Riwayat dan Ta’wil melalui Dirayah (pemikiran).20dikatakan pula , tafsir lebih banyak dipergunakan dalam menerangkan lafadh dan mufrodat

(kosakata), sedangkan ta’wil lebih banyak dipakai dalam menjelaskan makna

dan susunan kalimat.21

B. Metode dan Corak Penafsiran

1. Metode Tafsir

Seperti yang telah dikemukakan, tafsir adalah penjelasan tentang maksud-maksud Allah dalam firmannya sesuai dengan kemampuan manusia.

Tersirat dari kata penjelasan adanya sesuatu yang dihidangkan sebagai

penjelasan. Serta cara menghidangkan penjelasan itu. Sedang kalimat sesuai kemampuan manusia tersirat keanekaragaman penjelasan dan caranya, disamping itu mengandung isyarat tentang kedalaman/keluasan atau kedangkalan dan keterbatasannya.

20

Nashiruddin Baidan. Wawasan Baru ..., 69 21Manna’ Al


(34)

25

Harus diakui bahwa metode-metode tafsir yang ada atau dikembangkan selama ini memiliki keistimewaan dan kelemahan-kelemahannya. Masing-masing dapat digunakan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.22

Metode adalah suatu cara atau jalan, dalam kaitan ini cara ilmiah untuk dapat memahami objek yang yang menjadi sasaran ilmu yang

bersangkutan. Metode yang dalam istilah Arab lazim disebut sebagai al

-Thariqah jelas memiliki peranan penting dalam menggali ilmu pengetahuan

termasuk Ilmu Tafsir. Ungkapan al-T}ari>qah Ahammu min al-Ma>ddah

(metode terkadang lebih penting daripada materi) yang dikedepankan oleh

al-Ghazali mengisyaratkan hal itu.23

Ada beberapa metode tafsir yang umum digunakan oleh para Ulama Muafassir. Penafsiran yang lazim digunakan mereka ada yang bersifat meluas/melebar dan secara global, tetapi ada juga yang penafsirannya dengan cara melakukan studi perbandingan (komparasi) dan masih banyak metode-metode yang lainnya. Berdasarkan berbagai metode-metode tersebut, sebagian ahli tafsir diantaranya Abu Hayy al-Farmawi, menyebutkan empat macam metode (manhaj minhaj) penafsiran Alquran, yaitu Tafsir al-Tahlili, Tafsir al-Ijmali, Tafsir al-Muqoron dan Tafsir al-Maudhu’i.24

a. Tafsir al-Tahlili (Diskriptif Analisis)

22

M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang, Lentera Hati, 2013), 377.

23

Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran, (Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2013), 378.

24


(35)

26

secara harfiah, al-Tahlili berarti menjadi lepas atau terurai.

Yang dimaksud dengan Tafsir al-Tahlili iala metode penafsiran ayat-ayat

Alquran yang dilakukan dengan cara mediskripsikan uraian-uraian makna yang terkandung dalam ayat-ayat Alquran dengan mengikuti tertib susunan/urutan-urutan surah-surah dan ayat-ayat Alquran itu

sendiri dengan sedikit banyak melakukan analisis di dalamnya.25

Tafsir al-Tahlili juga bisa disebut dengan metode Tajzi’i

tampak merupakan metode tafsir yang paling tua usianya.

Metode Tahlili, tegas M. Quraish Shihab, lahir jauh sebelum

Maudhu’i. Ia dikenal, katakanlah sejak tafsir al-Farra (w.206/821 M), atau Ibnu Majah (w.237 H/851 M), atau paling lambat al-Thabari (w.310 H/922 M). Kitab-kitab tafsir yang ditulis Mufassir di masa awal pembukuan tafsir hampir atau bahkan semuanya menggunakan metode Tahlili. Apakah itu dari kalangan Tafsir bi al-Ma’tsur seperti Jami’ al -Bayyan an Takwil Ayi Alquran karang Ibn Jarir al-Thabari, maupun dari

aliran Tafsir bi al-Ra’yi semisal karya Muhammmad Fakhr Din

al-Razi, Tafsir al-Kabir atau Mafatih al-Ghaib. Bahkan dari aliran Tafsir Bi

al-Isyari juga menampilkan tafsir dengan metode Tahlili, seperti Tafsir Gharaib al-Quran wa Ragha’ib al-Fuqon yang di persembahkan oleh

al-Naysaburi (w. 728 H/1328 M).26

Metode ini berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Alquran dari berbagai seginya, sesuai dengan pandangan, kecenderungan

25

Muhammad Amin Suma, Ulumul..., 379.

26


(36)

27

dan keinginnan mufassirnya yang di hidangkan secara runtut sesuai dengan perurutan ayat-ayat dalam mushaf. Biasanya yang di hidangkan

itu mencakup pengertian umum kosakata ayat, Munasabah/hubungan

ayat sebelumnya, Sabab an-Nuzul (kalau ada), makna global ayat, hukum

yang dapat ditarik, yang tidak jarang menghidangkan aneka pendapat para ulama Madzhab, ada juga yang menambahkan uraian tentang aneka

Qira’at, I’rab ayat-ayat yang ditafsirkan, serta keistimewaan susunan

kata-katanya.27

Metode ini memiliki beragam jenis hidangan yang ditekankan penafsirannya, ada yang bersifat kebahasaan, hukum, sosial budaya,

filsafat/sains, dan ilmu pengetahuan, tasawuf/isyari dan lain-lain. 28

b. Tafsir Ijmali (Global)

Sesuai dengan namanya, ijmaly/global metode ini hanya

menguraikan makna makna umum yang di kandung oleh ayat yang di tafsirkan, namun sang penafsir diharapkan dapat menghidangkan makna

makna dalam bingkai suasana Qur’ani. Ia tidak perlu menyinggung

Asbab an-Nuzul atau Munasabah, apalagi makna-makna kosakata dan segi-segi keindahan bahasa Alquran. Tetapi langsung menjelaskan kandungan ayat secara umum atau hukum dan hikmah yang dapat ditarik sang mufasir bagaikan menyondorkan buah segar yang telah dikupas, dibuang bijinya, dan telah diris-iris pula, sehingga siap untuk segera disantap. Contoh metode ini antara lain, Tafsir karya Abdurrahman

27

M. Quraish Shihab, Kaidah..., 378.

28


(37)

28

Sa’dy (1307 1376 H) Tafsir Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan. Uraian singkat yang dihidangkan oleh Ahmad Musthafa al-Maraghy (w. 1952M) dalam bagian akhir dari setiap kelompok ayat yang

ditafsirkanya dapat juga dianggap contoh Tafsir ijmaly, walaupun itu

terhidang dalam kitab Tafsir Tahlily yang disusunya. Tafsir al-Lubab

karya penulis agaknya dapat juga digolongkan dalam metode ini.29

c. Tafsir Muqarin (Perbandingan)

Tafsir Muqorin adalah tafsir yang dilakukan dengan cara membanding-bandingkan ayat Alquran yang memiliki redaksi berbeda padahal isi kandungannya sama, atau antara ayat-ayat yang memiliki redaksi yang mirip padahal isi kandungannya berlainan. Juga termasuk

dalam metode komparasi (al-Manhaj al-Muqoron) ialah menafsirkan

ayat-ayat Alquran yang selintas tinjau tampak berlawanan dengan

al-Hadith, padahal dalam hakikatnya sama sekali tidak bertentangan.30

Tafsir Muqoron bisa dilakukan dengan cara membanding-bandingkan aliran-aliran tafsir dan antara mufasir yang satu dengan mufasir yang lainnya, maupun perbandingan itu didasarkan pada perbedaan metode dan lain sebagainya. Dengan demikian, maka bentuk-bentuk metode penafsiran yang dilakukan dengan cara perbandingan

memiliki objek yang luas dan banyak.31

d. Tafsir Maudhu’i

29

M. Quraish Shihab, Kaidah..., 381.

30

Muhammad Amin Suma, Ulumul..., 383.

31


(38)

29

Tafsir Maudhu’i merupakan tafsir yangmengarahkan pandangan

kepada satu tema tertentu, lalu mencari pandangan Alquran tentang tema tersebut dengan jalan menghimpun semua ayat yang membicarakannya, menganalisis dan memahaminya ayat demi ayat, lalu menghimpunnya dalam benak ayat yang bersifat umum dikaitkan yang khusus, yang Muthlaq digandengkan dengan yang Muqayyad dan lain-lain sambil memperkaya uraian dengan hadith-hadith yang berkaitan untuk kemudian disimpulkan salam satu tulisan pandang menyeluruh dan tuntas

menyangkut tema yang dibahas itu.32

Menurut Musthafa Muslim, dalam bukunya tafsir Maudhu’i

adalah,

َ تلا

ْف

ِس

ُري

ْلا

َم ْو

ُض

ْو ِع

ي

ِع :

ْل ٌم

ُ ي ْب

َح

ُث

ِف

َ ي

َق

َض

َيا

ْلا ا

ُق ْر

ُنا

ْلا

َك

ِر ْي ُم

ْلا

ُم َت

ِح

َد ِة

َم ْع

ً

َا ى

ْو َغ

ٍةيا

َع

ْن

ِط

ِر ْي

ِق

َج

ْم ُع

َيا ِا

َت

ْلا اه

ُم َ ت

َف ِر

َق

َو ,ة

َلا

ْظ

ُر

ِف ْ ي

َه

َع ا

َ ىل

ْي َئ ٍة

َم

ْخ

ُص

ْو

َص

ٍة

ِل َ ب

َي

ِنا

َم ْع

َ

َا

ا

ْساو

ِت

ْخ

َر

ُجا

َع

َ

ِصا

ِر َ

ا

َو َر ِب

ُط

َه

ِب ا

ِر َب

ِطا

َج

ِما

ِع.

Tafsir al-Maudhu’i ialah, tafsir yang membahas tentang masalah-masalah Alquran al-Karim yang (memiliki) kesatuan makna atau tujuan dengan cara menghimpun ayat-ayatnya yang bias disebut juga dengan metode Tauhidi (kesatuan) untuk kemudian melakukan penalaran (analisis) terhadap isi kandungannya menurut cara-cara tertentu dan berdasarkan syarat-syarat tertentu untuk menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan unsur-unsurnyaserta menghubung-hubungkannya antara yang satu dengan yang lain dengan korelasi bersifat komprehensif.33

32

M. Quraish Shihab, Kaidah..., 385.

33

Musthofa Muslim, Maba>hith fi> al-Tafsi>r al-Maudhu‘I, (Damsyiq-Siria, Dar-al-Qalam, 1410), 16.


(39)

30

Dalam praktik, tafsir al-Maudhu’i sesungguhnya telah cukup

lama bahkan disinyalir sejak di masa-masa awal Islam, tetapi istilah Tafsir al-Maudhu’i itu sendiri diperkirakan baru lahir pada sekitar abad ke-14 Hijriyah/ 19 Masehi, tepatnya ketika ditetapkan sebagai mata kuliah pada

jurusan Tafsir fakultas Ushuludin di Jami’ah al-Azhar (Universitas al-Azhar) yang diprakarsai oleh Abdul Hayy al-Farmawi, ketua jurusan Tafsir Hadis fakultas Ushuludin. Sedangkan di Indonesia sendiri

diprakarsai oleh M. Quraish Shihab. Menurut Shihab, metode Maudhu’i

walaupun benihnya telah dikenal sejak masa Rasulullah SAW., namun ia

baru berkembang jauh setelah masa beliau.34

2. Corak Penafsiran

Dilihat dari segi isi ayat-ayat Alquran dan kecenderungan penafsirannya, terdapat sejumlah corak penafsiran ayat-ayat Alquran atau dilihat dari segi pengelompokan ayat-ayat Alquran berdasarkan isinya,

ditemukan sejumlah corak penafsiran ayat-ayat Alquran seperti Tafsir Falsafi

(Tafsir Filasafat), Tafsir Ilmi (Tafsir Ilmiah Akademik), Tafsir Tarbawi

(Tafsir Pendidikan), Tafsir Akhlaqi (Tafsir Moral), Tafsir Fiqhi (Tafsir

Hukum) dan masih banyak corak-corak yang lainnya.35

Dalam bahasa Indonesia kosakata “Corak” menunjukkan kepada

berbagai konotasi antara lain, bunga atau gambar-gambar pada kain,

anyaman dan sebagainya. Misalnya dikatakan, “corak kain sarung itu kurang bagus”, “besar-besar corak kain batik itu” dan dapat pula berkonotasi kata

34

Muhammad Amin Suma, Ulumul..., 383.

35


(40)

31

sifat yang berarti paham, macam, atau bentuk tertentu. Misalnya,

“perkumpulan itu tidak tentu coraknya”, “corak politiknya tidak tegas”.36 Dalam kamus Indonesia-Arab oleh Rusyadi dkk, kosakata Corak

diartikan dengan

نول

(warna) dan

لكش

(bentuk).37 Sampai sekarang belum

ditemukan ulama tafsir yang menggunakan kosakata

لكش

dalam tafsir untuk

menunjuk makna “corak” sehingga tidak ada yang mengatakan,

ريسفتلا

لكش

.

tapi istilah

نول

jamaknya

ناولا

dapat dijumpai dalam kitab al-Dzahabi (

ريسفتلا

نورسفملاو

) seperti ditulisnya

ةوطخ لك ىف ريسفتلا ناولا

(corak-corak penafsiran

pada setiap fasenya). Dan

ثيدحلا رصعلا ىف ريسفتلا ناولا

(corak penafsiran di

abad modern). Sampai sekarang pemakaian term corak bagi suatu penafsiran belum begitu popular bila dibandingkan dengan term metode, sama halnya

dengan term bentuk tafsir.38

Disamping istilah “corak” (lawn) dalam ilmu tafsir juga ditemukan

term yang bersinonim dengannya, yaitu Ittijah, Nahiyat, dan Madrasat.

36

Nashiruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2011), 387.; Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, Cet. ke-1, 1988), 173.

37

Rusyadi; et. al., Kamus Indonesia-Arab, (Jakarta, Renika Cipta, 1995), 181.

38


(41)

32

Misalnya dikatakan,

ريسفلا ىف ةيب ذملا كا اجتْا

(kecenderungan-kecenderungan aliran dalam tafsir)39

Kosakata Ittijah mengandung arti Wijhat (arah) karena kata Ittijah

secara etimologis memang berasal dari kata Wijhat. Dalam kamus Lisan

al-Arab, kata Wijhat diartikan dengan “kiblat dan yang semakna dengannya”.

Adapun pemakaian istilah Nahiyat, misalnya al-Dzahabi menulis

مامت ا

ةيحا لاب يرشخمزلا

نارقلل ةيغلبلا

(perhatian al-Zamakhsyari terhadap aspek

sastra Alquran). Sedangkan pemakaian istilah Madrasat al-Tafsir dapat

dijumpai dalam kitab Manahij al-Quran oleh al-Jawni seperti ditulisnya,

ريسفتلا ةيلتعلا ةسردملا ريسفتلا ىف ةيوغللا ةسردملا

(aliran kebahasaan dalam

tafsir, aliran rasional dalam tafsir).40

Dari sekian banyak istilah yang digunakan para ulama tafsir untuk

menjelaskan sosok sebuah penafsiran, tampak istilah “corak” lebih netral dan

lebih familiar dengan budaya indonesia. Karenanya dalam tulisan ini mkta

lebih condong dan cenderung untuk memakai term “corak” ketimbang yang

lainnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan corak penafsiran ialah suatu warna, arah, atau kecenderungan pemikiran atau ide tertentu yang mendominasi sebuah karya tafsir.

39

Ibid., 387.

40


(42)

33

Seorang teolog misalnya, penafsirannya sangat mungkin di dominasi

oleh pemikiran dan konsep-konsep teologis. Begitu pula seorang Faqih

penafsirannya didominasi oleh konsep-konsep fikih. Sehingga, bila sebuah kitab tafsir mengandung banyak corak (minimal tiga corak) dan kesemuanya tidak ada yang dominan karena porsinya sama, maka inilah yang disebut dengan corak umum. Tapi bila ada satu yang dominan, makadisebut corak khusus. Bila yang dominan itu ada dua corak secara bersamaan yakni kedua-duanya mendapat porsi yan sama, maka inilah yang disebut dengan corak

kombinasi.41

Hal yang perlu dicatat adalah, pemilihan corak suatu tafsir, bentuk suatu tafsir dan metode suatu tafsir, sepenuhnya tergantung pada kemauan mufassirnya. Artinya, hal itu tidak mesti sejalan dengan keahliannya.

C. Faedah-Faedah Bacaan Huruf Ba’

Huruf ba’ merupakan huruf kedua dari urutan huruf hija’iyah. Dalam

tatanan I’rab huruf ba’ merupakan bagian dari huruf Jar. huruf ba’ ini mempunyai

beberapa faedah-faedah bacaan yang sesuai dengan konteks pembicaraannya. Di

antara faedah-faedah huruf ba’ adalah sebagai berikut,

a. ba’ berfaedah Ilshaq

Ilshaq adalah ba’ yang mana maknanya tidak bisa dipisah dari makna aslinya.

ba’ sendiri ketika berfaedah Ilshoq di bagi dua, Ilshoq Haqiqi dan Ilshoq

Majazi. Contoh Ilshaq Haqiqi,

َا ْم

َس

ْك

ُت

ِب َز

ْي ٍد

ِا

َذ

َ ق ا

َب

ْض

ُت

ِب

َش

ْي ٍء

ِم

ْن

ِج

ْس

ِم ِ

َا

ْو

َع

َم ىل

َي ا

ْح ِب

ُس ُ

ِم

ْن

َي ٍد

َا

ْو

َ ث ْو

ٍب

41


(43)

34

(aku menahan zaid ketika aku salah satu dari anggota tubuhnya menggenggam sesuatu atau meneahan tangan ataupun bajunya). Contoh Ilshoq Majazi,

ْي ٍد

ِب َز

ُت

ر

َم َر ْ

(aku lewat bertemu dengan zaid) yang dimaksud lafadh tersebut disini adalah

ٍد

َز ْي

ْن

ِم

ُب

َر

َ ي ْق

ٍنا

َم َك

ِب ي

ِر

ر ْو

ُم ُ

ُت

ْق

ِصلا

(aku berjalan dekat dengan zaid).42

b. ba’berfaedah Isti’anah.

Isti’anah, yang dimaksud disini adalah ba’ menjadi sebabnya fi’il (isim yang

menjadi alat tercapainya suatu pekerjaan). Contoh,

ُمل

ْلا َق

ِب

ُت

ْب

َك َت

(aku menulis dengan bolpoin) dan

ِع

و

ُج ْ

ِب ْلا

ٌد

َز ْي

َتا

َم

(Zaid mati dengan sebab kelaparan).43

c. ba’ berfaedah Ziyadah

Ziyadah, yang dimaksud disini adalah ba’ yang menjadi tambahan. Contoh,

ِب

َح

َس ِب

َك

ِد

ْر َ

ٍم

َو َل

ْي

َس

ُها

ِب

َك

ٍفا

َع

ْب َد

ُ

(dengan dirham engkau dicukupi, dan

melainkan Allah adalah dzat yang maha mencukupi hambanya).44

d. Ba’ berfaedah Ta’diyah.

42

Yusuf bin Abdul Qodir al-Barnawi.Taqri>ra>t Nadham Qowa>‘id al-I‘ra>b. (Kediri, Ceria al-Falah. t.th.), 35.

43

Ibid , 35. 44


(44)

35

Ta’diyah, ba´ yang seperti hamzah dalam hal dapat menjadikan fa’il menjadi maf’ul. Ba’ ini terkadang pula disebut ba’naql. Contoh

ٍد

ِب َز ْي

ُتْبََذ

(aku pergi dengan zaid).45

e. Ba’ berfaedah Badal.

Yang dimaksud disini yakni, ba yang menempati tempatnya lafadh badal. Ba’

yang menunjukan kepada pemilihan terhadap salah satu dari dua hal atas hal yang lain dengan tanpa ada penukaran dan imbalan Contohnya seperti sabda Rasulullah SAW,

َع ِم

لا

ْم ُر

َح ا

َه

ِب ي

ر ِن

ُس

َي ا

َم

(hewan ternak yang merah-merah [bagus-bagus] tidak membuatku bahagia jika digunakan untuk menggantikan sholat). Huruf ba’ disini menjadi pengganti dari lafadh

ةلصلا

.

46

f. Ba’ berfaedah Ta’widh

Ba’ disini mempunyai faedah penukaran, dan terkadang pula disebut dengan

ba’ Muqobalah. Contoh,

ٍف

َا ْل

ِب ا

َذ

ُت

ِب ْع

(aku membeli ini dengan harga seribu) dan

ٍم

ْر َ

ِد

ِف

ْل

ِب َا

َس

َف َر

ْلا

ُت

َ ت َر ْي

ْشا

(aku membeli kuda dengan seribu dirham).47

g. Ba’ berfaedah Mushohabah.

45

Ibid, 35. 46

Yusuf bin Abdul Qodir al-Barnawi.Taqri>ra>t …, 35. 47

Abi Abdillah Muhammad bin Abdillah bin Malik al-Andalusi. Taqri>ra>t alfi>yah Ibnu Ma>lik fi> an-Nah}wi wa as}-S}orfi. (Kediri, al-Falah. t.th.), 160.


(45)

36

Mushohabah, disini yang dimaksud adalah ba’ yang menggunakan maknanya ma’a. contoh,

َك

َر ِب

ْم ِد

َح

ِب

ْح

َس ِب

َف

(maka sucikanlah disertai dengan memuji tuhanmu).48

48

Jamaludin Muhammad bin Abdillah bin Malik. Syarah} ibn ‘Aqi>l ‘Ala al-Alfi>yah. (Dar al-Kutub al-Islamiyah, t.th.), 99.


(46)

BAB III

MENGENAL AHMAD YASIN ASMUNI DAN KITAB TAFSIR

BISMILLA>HIRRAH}MA>NIRRAH}I>M

A. BIOGRAFI AHMAD YASIN ASMUNI

1. Kelahiran dan Masa Kecil Ahmad Yasin Asmuni.

Ahmad Yasin mempunyai nama lengkap Ahmad Yasin bin KH Asmuni bin KH Fahri bin KH Ihsan bin KH Hakam. Silsilahnya, jika dilanjutkan maka akan sampai kepada Sunan Bayat yang merupakan salah satu murid dari Sunan Kalijaga. Dia lahir di kota Kediri tepatnya di Dusun Petuk desa Poh Rubuh kecamatan Semen kabupaten Kediri. Sebuah desa yang terletak sekitar tujuh kilometer dari pusat kota Kediri. Dia dilahirkan pada tanggal 8 Agustus 1963 dari pasangan KH Asmuni dan Nyai Hj. Muthmainnah. Dalam urutan keluarga, Ahmad Yasin merupakan putra ke-enam dari 11 bersaudara. Ayahandanya merupakan tokoh agama yang alim dan mumpuni dalam berbagai fan ilmu agama terutama di bidang ilmu Fikih,

Falak, Tasawuf, bahkan KH Asmuni sendiri menghafal Kitab Al-Hikam.

Ketika membaca kitab kuning ala pesantren tanpa menggunakan makna Pegon (makna jawa bertulisan arab).1

1

Dikarenakan biografi Ahmad Yasin sudah tertulis lengkap di situs web Pondok Pesantren Hidayatut Thullab, maka Ahmad Yasin menganjurkan untuk mengunjungi: http://www.pphtpetuk.or.id/profil-khyasin-asymuni-ppht/ (24 Januari 2017, 14.55); Ahmad Yasin Asmuni. Wawancara, Hidayatut Thullab. 16 Maret 2017


(47)

37

Pada usia balita, Ahmad Yasin tidak jauh beda dengan layaknya anak-anak seusianya yang suka bermain. Namun ketika dia berusia 6 tahun sampai 12 tahun mulai terlihat tanda-tanda mewarisi kealiman dan kecerdasan ayahandanya. Dia terlihat lebih cerdas dan dewasa dibanding teman-teman yang seusia dengannya. Dia kerap kali dijadikan sebagai pemimpin dan

penengah bila mana terjadi perselisihan antar temannya.2

2. Pendidikan Ahmad Yasin Asmuni

Ahmad Yasin Memulai mengenyam dunia pendidikan di usia 6 tahun. Pada pagi hari dia sekolah dasar (SD), pada sore hari dia melanjutkan sekolahnya di MIN (Madrasah Ibtidaiyah Negeri) dan pada malam harinya dia belajar mengaji dan ilmu agama kepada ayahandanya Kyai Asmuni. Sehingga seiring berjalannya waktu, pada tahun 1975 Ahmad Yasin telah Lulus SD dan melanjutkan pendidikan Tsanawiyah-nya di Madrash Hidayatul

Mubtadi’ien Lirboyo kota Kediri yang jaraknya kurang lebih 5 kilometer dari tempat tinggalnya. Namun saat itu dia tidak mukim di pondok pesantren

Lirboyo.3

Pada masa akhir pendidikannya di Madrasah Tsanawiyah, dia dinobatkan sebagai siswa teladan yang mana ketika saat itu di pondok

pesantren Lirboyo belum ada santri yang nduduk4 yang menjadi siswa teladan

selain Ahmad Yasin. Sehingga di tahun pertama di Madrasah Aliyah, agar kegiatan belajarnya menjadi lebih efektif Ahmad Yasin mulai bermukim di

2

http://www.pphtpetuk.or.id/profil-khyasin-asymuni-ppht/ (24 Januari 2017, 14.55)

3

Ibid

4

Nduduk, adalah sebutan bagi santri yang tidak bermukim dan tinggal di pondok pesantren. Melainkan pulang pergi kerumah dan akan kembali ke pesantren ketika kegiatan belajar di mulai.


(48)

38

pondok pesantren Lirboyo.5 Selama di pesantren, banyak sekali para

masyayikh dan para asatidz yang telah mendidik dan banyak mengajarkan ilmu agama kepada Ahmad Yasin. Hampir semua masyayikh dan asatidz di kagumi olehnya, tak ayal dia semakin rajin dan semakin haus akan ilmu. Tanpa terasa pada tahun 1982 Ahmad Yasin telah menyelesaikan pendidikan Aliyahnya. Tercatat 18 tahun lamanya dia menempuh pendidikannya di

Pondok Pesantren Lirboyo.6

Setelah tamat menempuh jenjang pendidikannya, waktu Ahmad Yasin dihabiskan untuk menelaah dan mendalami kitab-kitab kuning terutama di bidang fikih. Dia mulai mempelajari satu-persatu sembari memberi makna pegon di kitab-kitab yang dibacanya, kemudian dia catat setiap keterangan yang bisa digunakan untuk menjawab setiap persoalan di masyarakat baik yang bersifat kasuitik (kasus), insidentil (kejadian) atau masalah lama yang perlu diketahui masyarakat jawaban hukumnya sesuai dengan perkembangan

teknologi dan pengaruh global.7

Ahmad Yasin selalu menanamkan pada dirinya prinsip, menuntut

ilmu tidak ada batasan usia dan tidak mengenal waktu. Sehingga prinsip inilah yang selalu memacu dirinya cinta dan suka menelaah kitab-kitab/buku-buku yang dikarang ulama klasik hingga kitab karangan ulama kontemporer. Bahkan di saat dia menjadi guru dan diangkat menjadi Mudir madrasah (kepala sekolah), hingga saat ini kegemarannya dan sifat haus Ilmu tidak

5

http://www.pphtpetuk.or.id/profil-khyasin-asymuni-ppht/ (24 Januari 2017, 14.55) 6

Ahmad Yasin Asmuni. Wawancara, Hidayatut Thullab. 16 Maret 2017

7


(49)

39

pernah hilang. Di tahun 1979 tepatnya saat dia menduduki bangku kelas II Tsanawiyah Ahmad Yasin telah berhasil menyelesaikan pelajaran Alfiyah

Ibnu Malik dengan Mudah.8

Ahmad Yasin sangat berbeda dengan pemuda pada umumnya saat itu, selama liburan puasa Ramadhan dia mengisi waktu liburnya dengan mengikuti pengajian kilatan di pondok-pondok pesantren yang mengadakan ngaji kilatan, seperti pondok pesantren Batokan Kediri, Sumberkepoh Nganjuk, Suruh Nganjuk. Paculgowang Jombang dan Ngunut Tulungagung. Setelah itu Ahmad Yasin mulai membaca kitab-kitab dengan sistem kilatan di

pesantren Petuk sampai saat ini.9

Pada tahun 1983, Ahmad Yasin diangkat sebagai guru bantu (Munawib) di kelas Ibtidaiyah dan pada tahun 1984 dia diangkat menjadi

guru tetap (Mustahiq) kelas 4 Ibtidaiyah di pesantren Lirboyo.10

Ibarat pribahasa Buah tak jatuh jauh dari pohonnya, Kharisma dan

kecerdasan Ahmad Yasin membuat banyak murid yang di ajarnya kini menjadi cendekiawan muslim nan sholih dan cerdas, bahkan memiliki pondok pesantren sendiri layaknya Ahmad Yasin, seperti, KH Miftah dari tuban yang sebelumnya bukan putera dari seorang kyai namun menjadi perintis berdirinya pondok pesantren di tuban, Syaikhul Hakim yang juga dari tuban, ada pula yang dari luar jawa dan masih banyak lagi santri-santri

8

http://www.pphtpetuk.or.id/profil-khyasin-asymuni-ppht/ (24 Januari 2017, 14.55)

9

Ibid

10

Aturan pada masa itu sangat sederhana, mustahiq mengikuti dan mendampingi muridnya dari kelas ke kelas sampai kelas 3 Aliyah


(50)

40

Ahmad Yasin yang sudah menjadi orang besar berpengaruh di

lingkungannya.11

Dengan semangat dan jiwa belajar yang tinggi, selain mengamalkan

amalan-amalan, kata Man Jadda Wajada merupakan kata motivator paling

ampuh bagi Ahmad Yasin. Pada tahun 1983 pula, karena kepiawaian Ahmad Yasin di dalam kajian Kitab Kuning, dia diangkat menjadi ketua pengurus Bahtsul Masail di pondok pesantren Lirboyo. Dalam sejarah Pondok Pesantren Lirboyo dia tercatat sebagai perintis Bahtsul Masail setelah sekian lama vakum. Kecerdasan inilah yang membuat Ahmad Yasin sering diutus untuk menjadi wakil delegasi Bahtsul Masail dari Pondok Pesantren Lirboyo

yang diadakan oleh pondok-pondok pesantren, RMI (Robithoh Ma’had

Islamiyah) Pusat dan LBM NU. Atas kepiawaiannya, tak jarang pula Ahmad Yasin ditunjuk sebagai Tim Perumus di setiap musyawarah Bahtsul Masail, Munas Alim Ulama, bahkan Muktamar NU yang saat itu pada tahun 1989 diadakan di Krapyak Jogjakarta. Empat tahun berikutnya, Ahmad Yasin di percaya menjadi Musahih FMPP mulai tahun 1992 sampai 2010. Dua tahun menjabat sebagai ketua LBM NU Jawa Timur kemudian diangkat menjadi pengurus Syuriyah NU Jawa Timur, (menurut ketentuan AD/ART, Syuriyah tidak boleh merangkap lembaga) dan menjadi wakil ketua LBM NU pusat

(PBNU) hingga tahun 2010.12

11

Ahmad Yasin Asmuni. Wawancara, Hidayatut Thullab. 16 Maret 2017

12


(51)

41

Pada tahun 1989 Ahmad Yasin diangkat menjadi Mudir Madrasah

(Kepala Sekolah)13 sampai pada tahun 1993 bersamaan dengan tamatnya

pendidikan Aliyahnya di Pondok Pesantren Lirboyo. Setelah tamat masa pendidikannya, di tahun yang sama Ahmad Yasin pulang kekampung halamannya dan menikah dengan Hamimah dari kota Probolinggo yang merupakan keponakan dari KH Idris Ramli dari Lirboyo. Dari buah

pernikahannya, Ahmad Yasin dikaruniai 7 putra putri, 4 putri dan 3 putra.14

Saat menempuh masa pendidikannya dulu, Ahmad Yasin lebih menekuni Ilmu Fikih karena dia menganggap bahwa Fikih merupakan Ilmu Syariat yang wajib di ketahui secara mendetail oleh orang-orang Islam, maka ditahun 1993 didirikan pondok pesantren dan diberi nama Pondok Pesantren

Spesialis Fiqh Hidayatut Thullab.15

Kultur pesantren pada umumnya khususnya di kota kediri adalah seorang pengasuh harus ahli membacakan kita kuning kepada para santrinya dengan makna (arti) bahasa jawa. Hal ini sangat sulit dicapai bilamana seseorang tidak memahami sama sekali ilmu bahasa Arab, nahwu, shorof dan balaghahnya.

Namun berbeda dengan Ahmad Yasin, pada tahun 1985 dia mulai membaca kitab kuning. Kitab yang pertama kali di baca ketika itu adalah

kitab Majmu’ Shorf, selanjutnya dia selalu membaca kitab-kitab dari berbagai

13

Pada saat itu, di Pondok Pesantren Lirboyo belum pernah sama sekali Mudir Madrasah merangkap menjadi Mustahiq

14

Ahmad Yasin Asmuni. Wawancara, Hidayatut Thullab. 16 Maret 2017

15


(52)

42

macam disiplin ilmu, seperti ilmu Nahwu, balaghah, shorof, fikih, tafsir,

hadis dan seterusnya.16

Sehingga, pada masa dia masih berada di pesantren Lirboyo dulu. Ahmad Yasin tercatat sebagai pembaca kitab terbanyak pada saat itu. Kajian kitab kuning yang di kaji olehnya kurang lebih diikuti oleh 300 sampai

dengan 500 santri yang mana pada umunya hanya 50 santri saja.17

3. Dakwah dan Karya-Karya Ahmad Yasin

Pepatah jawa mengatakan, Ngelmu iku kelakone kanthi laku lan

ngamal18. Pada tahun 1989 Ahmad Yasin Mulai berpikir untuk berdakwah

dan syi’ar melalui karya tulis. Ahmad Yasin menyimpulkan bahwa dakwah

dan Tabligh bisa dilakukan dengan 3 hal,

1. Memberikan contoh perilaku yang baik (Uswatun Hasanah) kepada

masyarakat.

2. Mengajarkan melalui lisan, yakni dengan mengajar, membaca kitab,

Mauizhoh Hasanah, halaqoh, ceramah, dialog dan lain-lain.

3. Melalui tulisan

Tiga hal inilah yang menyebabkan Ahmad Yasin terpacu untuk berdakwah

melalui tulisan. Hingga terbitlah karya perdananya yang berjudul Tashi>l

al-Mud}ah}i (dengan menggunakan bahasa jawa) kemudian dilanjutkan dengan

16

http://www.pphtpetuk.or.id/profil-khyasin-asymuni-ppht/ (24 Januari 2017, 14.55)

17

Ibid

18


(1)

77

َصلا

ِفا َي

ِة

َم َع

َدلا

َِْ ِئ

َو ل

ْلا َ ب

ِ ي َ

ِتا

َو ،

َم َع

ْلا

َع ةبوج

ِن

شلا

ْ ب َه

ِتا

َو ،

َذ

ْلا ا

َم

ْج

ُم ْو

ُر ع

َب َم

َز ا

َدا

َع

ىل

َع

ْش

َر ِة

َم فْآ

ْس َأ

َل

Berbeda dengan Ba’ yang berfaedah Ilshoq seperti yang digunakan

oleh ar-Razi. Ba’ Ilshoq disini mempunyai makna sebagai Ba’ yang

menjelaskan makna Ba’ itu sendiri. Ba’ disini hanya diartikan sebagai arti

“dengan” tanpa memberikan tujuan apapun. Sehingga Ba’Ilshoq ini terkesan

mempunyai makna yang kebetulan. Seperti contoh lain,

ديزب تررم

. Dalam

kalimat tersebut kata “dengan” hanya di maknai “dengan” saja tanpa ada

tujuan lain didalamnya. Saya bertemu dengan zaid, dalam kalimat ini dapat

diartikan bahwa saya bertemu dengan zaid hanya sekedar bertemu tanpa ada

tujuan tertentu.


(2)

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Dari paparan di atas dapat diambil simpulan sebagaimana berikut:

1. Ahmad Yasin Dalam Menafsirkan Kitab Tafsir Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m

menggunakan Metode Tahlili, Pendekatan Ilmu Nahwu dan bercorak sufi.

Yang menjadikan dasar Ahmad Yasin menggunakan corak sufi adalah dia

menggunakan pendapat Ulama sufi dalam dasar penafsirannya. Kemudian

terdapat faktor lingkungan dan keluarga yang melatarbelakangi konsep

penulisan dan corak yang dijadikan penfasirannya. Mengingat dari pihak

kelurga ayahandanya penghafal kitab Al-Hikam dan dari faktor lingkungan

diadakannya kajian rutin kitab al-Hikam dan Istighasah Kubra.

2. Disini, kitab tafsir Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m bukan termasuk dalam kategori

tafsir, melainkan masuk dalam kategori ta’wil. Di karenakan ketika dia

menjelaskan dia tidak menggunakan riwayat-riwayat yang disandarkan

kepada nabi. Di dalamnya terdapat pula analisis dari sang penulis. Dalam

menafsirkan Harf Ba’ Basmalah disini adalah bahwa Ba’ menyimpan dhomir

yang di pindahkan sehingga Ba’ disini berfaedah menjadi Ba’ Isit’anah

sehingga Ba’nya berfungsi untuk memohon pertolongan. Namun di sisi lain,


(3)

79

B. Saran

Setelah mengemukakan simpulan dari penelitian ini, saran yang diusulkan penulis

yaitu sebagai berikut:

1. Bermacam-macam metode penafsiran al-Qur`an yang di sajikan para mufassir

pada dasarnya merupakan upaya mereka masing-masing untuk dapat

memahami kandungan al-Qur`an dengan benar. Oleh sebab itu, hendaknya

para generasi Islam selanjutnya lebih bersikap fleksibel dan terbuka dalam

menerima hal-hal yang baru, jauh dari Islam salafi begitu juga terhindar dari

liberalisme pemikiran. Penelitian yang jauh dari unsur kefanatikan dangat

diperlukan untuk menyempurnakan hasil penelitian ini sehingga nilai-nilai

obyektifitas terpenuhi.

2. Keterbatasan pada analisis mengenai masalah tersebut kiranya kurang begitu

terwakili. Maka dari itu, diharapkan ada orang lain yang bersedia untuk

melanjutkan penelitian ini sehingga bisa dijadikan teori oleh banyak orang.

3. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan agar bisa mengembangkan

pemikiran dan mengaplikasikannya di masa sekarang. Sehingga

bentuk-bentuk dalam nafkah tidak hanya dalam hal suami istri. Begitu juga berjihad

tidak hanya berbentuk peperangan saja melainkan masih banyak yang


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abu> al-H}asan al-Qusyairi> al-Naisabu>ri, Muslim bin al-Hujja>j >, Musnad al-S}ahi>h al-Mukhtas}ar Binaqli al-‘Adli ila> Rasu>lilla>h, (Beirut, Dar Ihya al-Turath al-Arabi, t.th), Juz 1.

Ash-Shiddieqy, Hasbi. Tafsir Al-Qur’an An-Nur, (Jakarta: N.V. Bulan Bintang,

1995). Juz 1.

Ahmad Yasin Asmuni. Tafsir Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m. (Kediri: Hidayatut

Thullab. 1416 H).

Arikunto, Suharsimi. Prosedur penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta:

PT. Rineka Cipta, 1993).

Al-Qatht}a>n, Manna>‘ Khali>l.Mabah}ith} fi> `Ulu>m al-Qur‘a>n, (Bogor, Pustaka Litera Antar Nusa, 2011).

al-Barnawi, Yusuf bin Abdul Qodir.Taqri>ra>t Nadham Qowa>‘id al-I‘ra>b. (Kediri,

Ceria al-Falah. t.th.).

al-Andalusi, Abi Abdillah Muhammad bin Abdillah bin Malik. Taqri>ra>t alfi>yah

Ibnu Ma>lik fi> an-Nah}wi wa as}-S}orfi. (Kediri, al-Falah. t.th.). Ahmad Yasin Asmuni. Wawancara, Hidayatut Thullab. 16 Maret 2017

al-Bantani al-Jawi, Muhammad Nawawi bin Umar. Mara>qi> al-‘Ubu>di>yah Syarah

‘ala Bida>yah al-Hida>yah, (Mesir, al-Azhariyah al-Mashriyah, 1890).

ar-Razi, Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin Hasan bin Husain at-Taimi.


(5)

al-Yu>sufi, ‘Abdurrah}man bin ‘Abdul Kha>liq. al-Fikr al-Shu>fi> fi> Dhou’ al-Kita>b wa as-Sunnah, (Kuwait, Maktabah Ibnu Taimiyah, 1986), Juz 1.

Ash-Shaibani, Abu> ‘Abdulla>h Ah}mad bin Muh}ammad bin H}anbal bin Hila<<>l bin

Asad >. Musnad al-Ima<>m Ah}mad bin >hanbal, (Kairo, Darul Hadith, 1995), Juz 8.

Baidan, Nashiruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2011).

Hanafy, Hasan. Metode Tafsir dan Ke-maslahatan Ummat (Yogyakarta: Nawesea,

2007).

Hamka. Tafsir Al Azhar Juz I, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1982).

http://www.pphtpetuk.or.id/profil-khyasin-asymuni-ppht/ (24 Januari 2017, 14.55)

Jamaludin Muhammad bin Abdillah bin Malik. Syarah} ibn ‘Aqi>l ‘Ala al-Alfi>yah.

(Dar al-Kutub al-Islamiyah, t.th.).

Muthahhari, Murtadha. Tafsir Surat Surat Pilihan, Mengungkap Hikmah Alquran,

(Bandung: Pustaka Hidayah, 2000).

Muslim, Musthofa. Maba>hith fi> al-Tafsi>r al-Maudhu‘I, (Damsyiq-Siria,

Dar-al-Qalam, 1410).

Muhammad Zainal Abidin. Wawancara, Hidayatut Thullab, 7 Maret 2017.

Nawawi, Hadari. Metodologi penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada

Universy press, 2001).

Rusyadi; et. al., Kamus Indonesia-Arab, (Jakarta, Renika Cipta, 1995).


(6)

Shadr, Muhammad Baqir. al-Madrasah al-Qur’a>niyah: al-Tafsi>ral-Maudhu>‘i wa

al-Tafsi>r al-Tajzi>‘iy fi al-Qur’a>n al-Kari>m (Beirut: Dar al-Ta’aruf li al

-Mathbu’ah t.th)

Siswantoro. Metode Penelitian Sastra: Analisis Psikologis, (Surakarta: Sebelas

Maret University Press, 2004).

Samsurrohman. Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta, Amzah, 2014).

Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir, (Tangerang, Lentera Hati, 2013).

Suma, Muhammad Amin. Ulumul Quran, (Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2013).

Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. Ke-1. Jakarta, Balai Pustaka.

Taimiyah, Ibnu. al-Ikli>l fi al-Mutasha>bih wa at-Ta’wi>l, (Iskandariyah: Dar

Al-Iman, tt).

Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, Cet.

ke-1, 1988).

Tim Penyusun Fakultas Ushuluddin, Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas


Dokumen yang terkait

Kajian tafsir indonesia : analisis terhadap tafsir tansyiyyat al-muslimin fi tafsir kalam rabb al-alamin karya K.H.Ahmad sanusi

3 33 103

Penafsiran dengan pendekatan lsyari (Kajian tcrhadap kitab Haqai'iqu At-Tafsir karya Abu 'Abdirrahman as-Sulami [325-412 H])

0 5 2

Tela’ah tafsir al-tahrîr wa al- tanwîr karya ibnu ‘asyûr

0 17 11

Penafsiran Khalifah Menurut M.Quraish Shihab Dalam Kitab Tafsir Al-Mishbah - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

0 0 6

TUMBUH KEMBANG MANUSIA DALAM AL-QUR’AN : STUDI PENAFSIRAN TANTAWI JAUHARI DALAM KITAB TAFSIR AL-JAWAHIR FI TAFSIR AL-QUR’AN AL-KARIM.

0 2 78

Mrk 03 Laporan Seminar Kitab Suci 2011 .

0 1 2

Mrk 10 Laporan Seminar Kitab Suci 2011 .

0 0 2

BAB II KAJIAN PUSTAKA NILAI – NILAI PENDIDIKAN MORAL DALAM KITAB - AKTUALISASI NILAI - NILAI MORAL DALAM KITAB MAKARIMUL AKHLAK KARYA AHMAD YASIN BIN ASMUNI RELEVANSINYA DENGAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM KONTEMPORER - STAIN Kudus Repository

0 0 21

BAB II - KONSEP BIRRUL WĀLIDAIN DALAM AL-QUR’AN (STUDI KOMPARATIF ANTARA PENAFSIRAN SAYYID QUTB DALAM KITAB TAFSIR FĪ ẒILAL AL-QUR’AN DENGAN PENAFSIRAN MUHAMMAD ‘ALĪ AL-ṢĀBŪNĪ DALAM KITAB TAFSIR ṢAFWAH AT-TAFĀSĪR) - STAIN Kudus Repository

0 1 39

KONSEP BIRRUL WĀLIDAIN DALAM AL-QUR’AN (STUDI KOMPARATIF ANTARA PENAFSIRAN SAYYID QUTB DALAM KITAB TAFSIR FĪ ẒILAL AL-QUR’AN DENGAN PENAFSIRAN MUHAMMAD ‘ALĪ AL-ṢĀBŪNĪ DALAM KITAB TAFSIR ṢAFWAH AT-TAFĀSĪR) - STAIN Kudus Repository

0 0 40