Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaturan Mengenai Ganti Rugi dalam Pengadaan Tanah T1 312004029 BAB II

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Hukum Tanah dan Hak Penguasaan

Hukum tanah mengatur salah satu aspek yuridis di bidang pertanahan yang sering disebut sebagai hak – hak penguasaan atas tanah.12 Ketentuan hukum yang mengatur hak penguasaan atas tanah dan dapat disusun menjadi satu inilah yang disebut dengan HUKUM TANAH.

Tanah dapat digunakan dalam pengertian yang berbeda, oleh karena itu perlu ada batasan agar diketahui dalam istilah apa tanah tersebut digunakan. Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan definisi tanah, yaitu:13

Permukaan atau lapisan bumi yang atas sekali; keadaan bumi di suatu tempat; permukaan bumi yang diberi batas; permukaan bumi yang terbatas yang ditempati suatu bangsa yang diperintah oleh suatu negara atau menjadi daerah Negara; dan, bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (Pasir, napal, cadas dan sebagainya).

12

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang – Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, cetakan keduabelas, Djambatan, Jakarta, 2008. Hal.17

13

http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional diunduh pada tanggal 5 Desember 2011 jam 17.00


(2)

Sementara itu menurut hukum adat tanah mempunyai arti lebih spesifik karena sifatnya yang religius serta hubungan masyarakat atau kelompok manusia dengan tanah yang tidak dapat dipisahkan atau disebut juga dengan istilah komunalitik religious.14 Istilah ini memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung kebersamaan.15 Sifat komunalistik religious ini ditunjukkan oleh Pasal 1 ayat (2), yang menyatakan bahwa

Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.”

Dalam hukum tanah, sebutan tanah diberi batas pengertian oleh Undang – Undang Pokok Agraria yaitu, permukaan bumi.16

Pada awalnya agraria berasal dari bahasa latin yaitu “ager”, dimana artinya ladang atau tanah. Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agraria adalah urusan pertanian atau tanah pertanian atau urusan kepemilikan

14

Ibid Hal. 18

15

Ibid

16


(3)

tanah.17 Akan tetapi dalam UUPA pengertian agraria dimaknai dengan arti yang sangat luas yaitu bumi, air dan kekayaan yang terkandung dalamnya. Oleh karena itu maka muncul banyak hal yang berkaitan tentang tanah. Peraturan yang mengatur tentang tanah, antara lain:

a. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 33 ayat (3).

b. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1956 tentang Peraturan-Peraturan dan Tindakan-Tindakan Mengenai Tanah-Tanah Perkebunan.

c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

d. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang perkebunan.

e. Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 11 Tahun 1962 tentang Ketentuan-Ketentuan dan Syarat-Syarat Dalam Pemberian Hak Guna Usaha Kepada Pengusaha Swasta Nasional.

f. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 167/Kpts/KB.110/3/90 tentang Pembinaan dan Penertiban Perkebunan Besar Swasta Khususnya Kelas IV dan Kelas V.

g. PP Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.

17

http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional


(4)

h. PP Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.

Makna dari penguasaan dan menguasai dapat dipakai dalam arti fisik juga yuridis. Dalam arti fisik secara nyata mengatakan pemegang hak menguasai tanah (tanah dalam penguasaan). Penguasaan dalam arti yuridis dilandasi ileh hak yang dilindungi hukum dan umumnya member kewenangan pada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang menjadi haknya. Tetapi juga ada penguasaan yuridis yang biarpun member kewenangan untuk menguasai tanah yang menjadi haknya secara fisik, tetapi pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain. Dalam hukum tanah kita dikenal juga penguasaan yuridis yang tidak member kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik.

Dalam setiap hukum tanah terdapat pengaturan mengenai berbagai hak penguasaan atas tanah. Demikian juga UUPA menetapkan tata jenjang/hierarki hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah material:18

a. Hak Bangsa Indonesia, sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi, beraspek hukum keperdataan dan hukum publik

18


(5)

b. Hak Menguasai dari Negara yang bersumber pada Hak Bangsa, dan beraspek hukum publik semata. Pelaksanaan sebagai kewenangannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain dalam bentuk hak pengelolaan. c. Hak–hak penguasaan individual, yaitu hak atas tanah sebagai individual

yang semuanya secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa, yang terdiri atas :

- Hak – Hak atas tanah (Pasal 4)

• Primer : Hak Milik; HGU; HGB; yang diberikan oleh Negara dan Hak Pakai yang diberikan oleh Negara (Pasal 16)

• Sekunder : Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang diberikan oleh pemilik tanah, Hak Gadai, Hak Usaha bagi hasil; Hak Menumpang; Hak Sewa dll (Pasal 37, 41 dan 53)

- Wakaf (Pasal 49), hak individu berasal dari hak milik yang sudah diwakafkan dan punya sifat serta kedudukan khusus dalam Hukum Tanah Nasional. Dalam perkembangannya wakaf tidak hanya berupa barang dan benda tetap (tanah) tetapi juga bisa benda lain yang punya nilai ekonomis. UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf mengatur mengenai harta benda wakaf yang terdiri atas benda bergerak dan tidak bergerak.


(6)

- Hak jaminan atas tanah yang disebut hak tanggungan : • Hak tanggungan (Pasal 23, Pasal 33, Pasal 39, Pasal 51) • Fidusia (Undang – Undang Nomor 16 Tahun 1985)

Mengenai hak – hak atas tanah dalam Undang–Undang Pokok Agraria diatur pada:

a. Pasal 4 ayat (1)

Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai dimaksud dalam Pasal

2 ditentukan adanya macam – macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang – orang,baik sendiri maupun bersama – sama dengan orang – orang lain serta badan – badan hukum”

b. Pasal 4 ayat (2)

Hak – hak atas tanah yang dimaksud dengan ayat (1) Pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas – batas menurut undang – undang ini dan peraturan – peraturan hukum lain yang lebih tinggi.”


(7)

B.

Asas – Asas Dalam Pelaksanaan Pengadaan Tanah

Pengadaan tanah adalah salah satu upaya yang dilakukan untuk membebaskan lahan yang akan dipergunakan oleh pemerintah. Akan tetapi tanah bukan saja diperlukan dalam proses pembangunan tetapi juga untuk manusia mencari nafkah serta membuat tempat untuk tinggal. Selain itu tanah juga mengandung berbagai jenis kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia.19

Dalam berbagai sektor kehidupan manusia, tanah memiliki beberapa aspek yaitu aspek ekonomi, politik dah hukum serta sosial.20 Tanah mempunyai peran dan fungsi sosial, dikarenakan tanah tidak hanya dipergunakan untuk kepentingan individu saja tetapi juga untuk kepentingan masyarakat. Dalam penggunaan tanah untuk kepentingan masyarakat diperlukan aturan yang jelas sehingga tidak ada yang dirugikan.

Di dalam pengadaan hak atas tanah dikenal pula adanya asas-asas yang menjadi dasar pelaksanaannya. Asas–asas hukum adalah prinsip yang dianggap dasar atau fundamen hukum. Asas–asas tersebut dapat juga disebut pengertian dan

19

Sutedi, A. Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Sinargrafika, Jakarta, Hal 45

20


(8)

nilai yang menjadi titik tolak juga bagi pembentukan undang–undang dan interpretasi undang–undang tersebut.21 Asas–asas tersebut terbagi atas:

a. Asas Hukum obyektif: prinsip yang menjadi dasar bagi pembentukan peraturan hukum.

b. Asas Hukum subyektif: prinsip yang menyatakan kedudukan subyek berhubungan dengan hukum.

Asas–asas hukum tersebut diklasifikasikan menjadi 3, sebagai berikut:22 pertama, asas hukum obyektif yang bersifat moral. Kedua, asas hukum obyektif yang bersifat rasional (prinsip yang termasuk pengertian hukum dan aturan hidup bersama yang rasional). Dan ketiga, asas hukum subyektif yang bersifat moral atau irasional (hak yang ada pada manusia yang menjadi titik tolak pembentukan hukum).

Pengadaan tanah termasuk dalam asas obyektif rasional serta subyektif, karena berkaitan langsung dengan masyarakat sebagai subyek pengguna tanah. Tujuan dari asas ini adalah untuk melindungi hal setiap orang atas tanahnya agar tidak dilanggar atau dirugikan pada saat harus melepaskan tanahnya untuk pengadaan pembangunan.

21

Theo Huijbers. Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta Hal 81

22


(9)

Untuk pengadaan tanah harus berkaitan dengan asas hukum yang berlaku yaitu:23

1.1 Asas Kesepakatan

Semua kegiatan pengadaan tanah khususnya masalah ganti rugi. Harus didasarkan pada kesepakatan antara pihak yang mempunyai tanah dan pihak yang memerlukan tanah. pelaksanaannya harus didasarkan tanpa ada paksaan dan dilakukan dengan itikad baik.

1.2 Asas Keadilan

Dalam pengadaan tanah, asas keadilan sebagai dasar penentuan besarnya ganti rugi yang harus diberikan kepada pemilik tanah yang berkaitan dengan tanah yang dicabut atau dilepaskan haknya. Asas keadilan diterapkan dalam pemberian ganti rugi agar dapat memberikan sesuatu yang layak kepada mereka yang melepaskan haknya dan tidak jauh lebih susah daripada sebelumnya. Prinsip ini juga harus mencakup pihak yang membutuhkan tanah agar dapat tanah sesuai dengan kebutuhan dan sesuai dengan perencanaan.

23

Rubaie, H. A., Hukum Pengadaan tanah Untuk Kepentingan Umum,Banyu Media Publishing, SurabayaHal 30 - 35


(10)

1.3 Asas Kemanfaatan

Pada saat tanah dilepaskan haknya, maka prinsipnya memberikan manfaat bagi pihak yang membutuhkan tanah dan tanah yang dilepaskan haknya. Sehingga pengadaan tanah untuk kepentingan umum dapat dilaksanakan sesuai dengan dengan rencana.

1.4 Asas Kepastian Hukum

Pengadaan tanah harus dilakukan sesuai dengan yang diatur oleh perundang – undangan dimana tiap pihak mengerti mengenai kewajiban dan haknya. Disamping itu kepastian hukum juga harus jelas membahas mengenai pemberian ganti rugi terhadap tanah yang dilepaskan dari haknya. Dan pihak yang membutuhkan tanah juga harus memperoleh kepastian mengenai kapan dapat mengusahakan tanah tersebut tanpa ada gangguan dari pihak manapun.

1.5 Asas Musyawarah

Asas ini dilakukan agar dalam pelaksanaan pengadaan tanah. agar dapat mengetahui apa dan bagaimana penyelesaian yang akan dilakukan. Musyawarah untuk mufakat, musyawarah menunjuk pada pembentukan kehendak bersama dalam urusan mengenai kehidupan bersama dalam masyarakat yang bersangkutan sebagai keseluruhan,


(11)

sedangkan mufakat menunjuk pada pembentukan kehendak bersama antara dua orang atau lebih, dimana masing–masing berpangkal dari perhitungan untuk melindungi kepentingan masing-masing sejauh mungkin.24. Dalam musyawarah ada unsur yang paling mendasar, yaitu satunya pendapat antara pihak yang saling membutuhkan. Sementara hasil dari musyawarah adalah kesepakatan yang disetujui oleh pihak yang bersangkutan. Pada pengadaan tanah musyawarah dilakukan untuk menentukan berapa besar ganti rugi yang akan diberikan oleh pihak yang membutuhkan tanah dan pemilik hak atas tanah. Dalam hal ini tidak boleh ada unsur penipuan dan pemaksaan atau menyesatkan. Musyawarah dilakukan berdasarkan perundingan. Perundingan tersebut dilakukan atas titik yang berbeda antara dua belah pihak. Dalam hal ini pihak yang bersangkutan harus berada pada posisi tawar yang sama, karena kalau tidak akan terjadi ketidak seimbangan yang dapat menimbulkan konflik. Untuk itu perlu adanya kepatutan, dimana kepatutan dalam hal ini mengatakan bahwa masing–masing pihak tidak merasa rugi atau dirugikan.

24

Kusnoe,M, Catatan – catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga Univ.Press,Surabaya. Hal 45


(12)

1.6 Asas Keterbukaan

Rencana pengadaan tanah harus dikomunikasikan kepada masyarakat. Sehingga pada saat pengadaan tanah masyarakat dapat mengetahui apa yang akan dilakukan atas tanah yang akan mereka lepaskan kepemilikannya. Besar kecil ganti rugi juga harus dikomunikasikan agar tidak terjadi selisih paham yang dapat menimbulkan permasalahan. Informasi yang disampaikan bisa juga dilakukan dengan cara penyuluhan hukum serta media yang dapat dijangkau masyarakat.

1.7 Asas Kesetaraan

Dalam asas ini posisi keduabelah pihak adalah sama. Karena bila kedudukan itu setara maka diharapkan pengadaan tanah bisa dilaksanakan dengan baik. Karena masing–masing pihak bisa menyampaikan pendapatnya.

1.8 Asas Minimalisasi Dampak dan Kelangsungan Kesejahteraan

Ekonomi

Manfaat dari asas ini adalah meminimalisasikan efek negatif atau dampak yang timbul dari pengadaan tanah tersebut. Selain itu juga untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yang hak atas tanahnya


(13)

dilepaskan. Jangan sampai menjadi lebih menurun sebelum pengadaan tanah.

C.

Ganti Rugi

Ganti rugi berkaitan erat dengan pengadaan tanah. Karena ganti rugi berhubungan dengan rasa adil bagi masyarakat yang hak atas tanahnya terkena dampak dari pengadaan tanah. Meskipun demikian, ganti rugi tidak hanya dipergunakan pada saat pengadaan tanah saja. Tetapi ada dalam Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Administrasi, Hukum Campuran25

Dalam hukum perdata berkaitan dengan perjanjian. Dalam BW Pasal 1243 – 1246 mengatur masalah ganti rugi. Tetapi harus kasualitas antara ganti rugi dan ingkar janji (Pasal 1248 BW).26 Ganti rugi dalam perdata berhubungan dengan wanprestasi dari suatu perjanjian yang mengakibatkan kerugian pada salah satu pihak. Syarat yang harus dipenuhi kalau perbuatan itu termasuk melawan hukum : adanya perbuatan (baik berbuat maupun tidak berbuat), adanya kerugian, adanya kesalahan (schuld).27

25

Gunanegara, Rakyat dan Negara Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan. Penerbit : PT.Tatanusa Jakarta , 2008 Hal: 172

26

Mariam Darus Badrulzaman,Aneka Hukum Bisnis, Edisi Pertama, Alumni. Bandung 1994. Hal : 12.

27

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata, Hukum Perutangan, Universitas Gadjah Mad, Yogyakarta. 1975. Hal : 60 - 61


(14)

Dalam KUHPerdata, tinjauan mengenai ganti rugi meliputi persoalan yang menyangkut apa yang dimaksud dengan ganti rugi, bilamana ganti rugi itu timbul dan apa ukuran ganti rugi serta bagaimana pengaturannya. Pasal 1243 KUHPerdata dirumuskan bahwa:

“Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tidak terpenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberitakan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui tenggang waktu yang telah ditentukan.”

Dari ketentuan tersebut dapat terlihat bahwa ganti rugi adalah karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila debitur telah lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya atau sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya. Artinya, ganti rugi adalah kerugian yang timbul karena debitur melakukan wanprestasi, kerugian wajib diganti oleh debitur terhitung sejak ia dinyatakan lalai.

Ganti rugi menurut KUHPerdata terdiri dari 3 unsur yaitu: biaya, rugi, dan bunga, kecuali wanprestasi dapat dibuktikan karena adanya overmatch dan tidak


(15)

ada itikad buruk dari debitur. Ganti rugi yang dapat dituntut penggantiannya adalah atas rugi yang dideritanya dan keuntungannya yang sedianya harus dinikmati.

Ganti rugi dalam hukum Pidana terjadi apabila seseorang yang dituduh dengan tindakan yang tidak dilakukannya hingga menyebabkan kerugian pada dirinya berhak menuntut ganti kerugian (Pasal 95 ayat (1) KUHAP.28

UU Nomor15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan mengunakan istilah yang saling bergantian antara imbalan ganti rugi dan pengganti kerugian. Kemudian UU Nomor15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan dicabut dan digantikan dengan UU Nomor20 Tahun 2002 dan tidak lagi menggenakan istilah ganti rugi. Tetapi mengganti dengan istilah ganti kerugian dan kompensasi.29

Ganti kerugian hak atas tanah adalah penggantian atas nilai tanah berikut bangunan, tanaman, dan/atau benda – benda lain yang terkait dengan tanah sebagai akibat pelepasan atau penyerahan hak atas tanah sebagai akibat pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, sedangkan yang dimaksud dengan kompensasi adalah pemberian sejumlah uang kepada pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda lain yang terkait dengan tanah tanpa dilakukan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda – benda lain

28

Gunanegara, OpCit hal : 175

29


(16)

yang terkait dengan tanah.30 UU No 3 Tahun 1989 yang digantikan dengan UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi juga menggunakan istilah ganti rugi. Tetapi UU ketenagalistrikan, UU Telekomunikasi dan UU Kesehatan menggunakan ganti rugi tetapi tidak memiliki / memberikan pengertian ganti rugi. Penggunaan ganti rugi lebih tegas digunakan dalam Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 1991 Tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya Pada Peradilan Tata Usaha Negara. UU Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak – Hak Atas Tanah dan Benda – Benda Yang Ada Diatasnya yang termasuk dalam lingkungan hukum administrasi menggunakan istilah ganti kerugian. Tetapi juga tidak konsisten dalam penggunaannya.

Pengaturan pengadaan tanah untuk pembangunan termasik dalam hukum campuran.31 Karena mengandung unsur hukum privat dan hukum publik. Dalam hal ini ganti rugi pun tidak konsisten karena adanya perbedaan dalam pengunaan istilah dalam peraturan – peraturannya. Dalam peraturannya menggunakan 2 istilah yaitu ganti rugi dan ganti kerugian.

30

UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, Pasal 1 ayat 33 dan 34

31


(17)

D. Ganti Rugi Dalam Pengadaan Tanah

Dalam setiap pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan hampis selalu muncul rasa tidak puas, di samping tidak berdaya, pada masyarakat yang hak atas tanahnya terkena proyek. Masalah ganti rugi merupakan isu sentral yang paling rumit penanganannya dalam upaya pengadaan tanah oleh pemerintah dengan memanfaatkan tanah-tanah hak.

Namun berkaitan dengan fungsi sosial hak atas tanah yang bermakna yaitu bahwa hak atas tanah harus digunakan sesuai dengan sifat dan tujuan hak-nya, sehingga bermanfaat bagi si pemegang hak dan bagi masyarakat, juga berarti bahwa harus ada keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum, dan bahwa kepentingan perseorangan itu diakui dan dihormati dalam rangka pelaksanaan kepentingan masyarakat secara keseluruhan.

Ganti rugi adalah upaya untuk mewujudkan penghormatan kepada hak – hak dan kepentingan perseorangan yang telah dikorbankan untuk kepentingan umum.


(1)

1.6 Asas Keterbukaan

Rencana pengadaan tanah harus dikomunikasikan kepada masyarakat. Sehingga pada saat pengadaan tanah masyarakat dapat mengetahui apa yang akan dilakukan atas tanah yang akan mereka lepaskan kepemilikannya. Besar kecil ganti rugi juga harus dikomunikasikan agar tidak terjadi selisih paham yang dapat menimbulkan permasalahan. Informasi yang disampaikan bisa juga dilakukan dengan cara penyuluhan hukum serta media yang dapat dijangkau masyarakat.

1.7 Asas Kesetaraan

Dalam asas ini posisi keduabelah pihak adalah sama. Karena bila kedudukan itu setara maka diharapkan pengadaan tanah bisa dilaksanakan dengan baik. Karena masing–masing pihak bisa menyampaikan pendapatnya.

1.8 Asas Minimalisasi Dampak dan Kelangsungan Kesejahteraan Ekonomi

Manfaat dari asas ini adalah meminimalisasikan efek negatif atau dampak yang timbul dari pengadaan tanah tersebut. Selain itu juga untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yang hak atas tanahnya


(2)

dilepaskan. Jangan sampai menjadi lebih menurun sebelum pengadaan tanah.

C.

Ganti Rugi

Ganti rugi berkaitan erat dengan pengadaan tanah. Karena ganti rugi berhubungan dengan rasa adil bagi masyarakat yang hak atas tanahnya terkena dampak dari pengadaan tanah. Meskipun demikian, ganti rugi tidak hanya dipergunakan pada saat pengadaan tanah saja. Tetapi ada dalam Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Administrasi, Hukum Campuran25

Dalam hukum perdata berkaitan dengan perjanjian. Dalam BW Pasal 1243 – 1246 mengatur masalah ganti rugi. Tetapi harus kasualitas antara ganti rugi dan ingkar janji (Pasal 1248 BW).26 Ganti rugi dalam perdata berhubungan dengan wanprestasi dari suatu perjanjian yang mengakibatkan kerugian pada salah satu pihak. Syarat yang harus dipenuhi kalau perbuatan itu termasuk melawan hukum : adanya perbuatan (baik berbuat maupun tidak berbuat), adanya kerugian, adanya kesalahan (schuld).27

25

Gunanegara, Rakyat dan Negara Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan. Penerbit : PT.Tatanusa Jakarta , 2008 Hal: 172

26

Mariam Darus Badrulzaman,Aneka Hukum Bisnis, Edisi Pertama, Alumni. Bandung 1994. Hal : 12.

27

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata, Hukum Perutangan, Universitas Gadjah Mad, Yogyakarta. 1975. Hal : 60 - 61


(3)

Dalam KUHPerdata, tinjauan mengenai ganti rugi meliputi persoalan yang menyangkut apa yang dimaksud dengan ganti rugi, bilamana ganti rugi itu timbul dan apa ukuran ganti rugi serta bagaimana pengaturannya. Pasal 1243 KUHPerdata dirumuskan bahwa:

“Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tidak terpenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberitakan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui tenggang waktu yang telah ditentukan.”

Dari ketentuan tersebut dapat terlihat bahwa ganti rugi adalah karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila debitur telah lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya atau sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya. Artinya, ganti rugi adalah kerugian yang timbul karena debitur melakukan wanprestasi, kerugian wajib diganti oleh debitur terhitung sejak ia dinyatakan lalai.

Ganti rugi menurut KUHPerdata terdiri dari 3 unsur yaitu: biaya, rugi, dan bunga, kecuali wanprestasi dapat dibuktikan karena adanya overmatch dan tidak


(4)

ada itikad buruk dari debitur. Ganti rugi yang dapat dituntut penggantiannya adalah atas rugi yang dideritanya dan keuntungannya yang sedianya harus dinikmati.

Ganti rugi dalam hukum Pidana terjadi apabila seseorang yang dituduh dengan tindakan yang tidak dilakukannya hingga menyebabkan kerugian pada dirinya berhak menuntut ganti kerugian (Pasal 95 ayat (1) KUHAP.28

UU Nomor15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan mengunakan istilah yang saling bergantian antara imbalan ganti rugi dan pengganti kerugian. Kemudian UU Nomor15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan dicabut dan digantikan dengan UU Nomor20 Tahun 2002 dan tidak lagi menggenakan istilah ganti rugi. Tetapi mengganti dengan istilah ganti kerugian dan kompensasi.29

Ganti kerugian hak atas tanah adalah penggantian atas nilai tanah berikut bangunan, tanaman, dan/atau benda – benda lain yang terkait dengan tanah sebagai akibat pelepasan atau penyerahan hak atas tanah sebagai akibat pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, sedangkan yang dimaksud dengan kompensasi adalah pemberian sejumlah uang kepada pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda lain yang terkait dengan tanah tanpa dilakukan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda – benda lain

28

Gunanegara, OpCit hal : 175 29


(5)

yang terkait dengan tanah.30 UU No 3 Tahun 1989 yang digantikan dengan UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi juga menggunakan istilah ganti rugi. Tetapi UU ketenagalistrikan, UU Telekomunikasi dan UU Kesehatan menggunakan ganti rugi tetapi tidak memiliki / memberikan pengertian ganti rugi. Penggunaan ganti rugi lebih tegas digunakan dalam Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 1991 Tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya Pada Peradilan Tata Usaha Negara. UU Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak – Hak Atas Tanah dan Benda – Benda Yang Ada Diatasnya yang termasuk dalam lingkungan hukum administrasi menggunakan istilah ganti kerugian. Tetapi juga tidak konsisten dalam penggunaannya.

Pengaturan pengadaan tanah untuk pembangunan termasik dalam hukum campuran.31 Karena mengandung unsur hukum privat dan hukum publik. Dalam hal ini ganti rugi pun tidak konsisten karena adanya perbedaan dalam pengunaan istilah dalam peraturan – peraturannya. Dalam peraturannya menggunakan 2 istilah yaitu ganti rugi dan ganti kerugian.

30

UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, Pasal 1 ayat 33 dan 34 31


(6)

D. Ganti Rugi Dalam Pengadaan Tanah

Dalam setiap pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan hampis selalu muncul rasa tidak puas, di samping tidak berdaya, pada masyarakat yang hak atas tanahnya terkena proyek. Masalah ganti rugi merupakan isu sentral yang paling rumit penanganannya dalam upaya pengadaan tanah oleh pemerintah dengan memanfaatkan tanah-tanah hak.

Namun berkaitan dengan fungsi sosial hak atas tanah yang bermakna yaitu bahwa hak atas tanah harus digunakan sesuai dengan sifat dan tujuan hak-nya, sehingga bermanfaat bagi si pemegang hak dan bagi masyarakat, juga berarti bahwa harus ada keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum, dan bahwa kepentingan perseorangan itu diakui dan dihormati dalam rangka pelaksanaan kepentingan masyarakat secara keseluruhan.

Ganti rugi adalah upaya untuk mewujudkan penghormatan kepada hak – hak dan kepentingan perseorangan yang telah dikorbankan untuk kepentingan umum.