KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINT

UNIVERSITAS INDONESIA

KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH
DALAM SEKTOR KEHUTANAN

Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah
Hukum Antar Wewenang

Oleh :
Ferin Chairysa

(1206209356)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
APRIL 2015

URUSAN PEMERINTAHAN
Pelaksanaan otonomi daerah dimulai sejak berakhirnya masa pemerintahan
orde baru. Dengan dilaksanakannya otonomi daerah, daerah diberikan hak,

wewenang, dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingannya. Hal
ini juga dijelaskan dalam Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemerintahan Daerah) yang menjelaskan
bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Presiden merupakan pucuk yang memegang kekuasaan pemerintahan
sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Pasal 4 ayat (1). Dalam
menjalankan pemerintahan sejak terdapat pengaturan mengenai otonomi daerah,
urusan pemerintahan terbagi atas urusan pusat dan daerah, yang mana dijalankan
berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.
Urusan pemerintahan itu sendiri, terbagi atas:1
1. Urusan pemerintahan absolut, adalah kewenangan yang sepenuhnya berada di
pusat, yang terdiri atas:2
a. politik luar negeri
b. pertahanan
c. keamanan
d. yustisi
e. moneter dan fiscal
f. agama

2. Urusan pemerintahan konkuren, adalah urusan pemerintah yang dibagi antara
pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Urusan yang diserahkan kepada daerah
ini menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah. Urusan pemerintahan
konkuren terdiri atas:3
a. urusan pemerintahan wajib, yang terdiri atas:4

1 Indonesia (a), Undang-Undang Pemerintahan Daerah, UU No. 23 Tahun 2014, LN No.
244 Tahun 2014, TLN No. 5587, Ps.9 ayat (1).
2 Ibid., Ps. 10 ayat (1).
3 Ibid., Ps. 11 ayat (1).
4 Ibid., Ps. 11 ayat (2).

1



urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar,




meliputi:5
o pendidikan
o kesehatan
o pekerjaan umum dan penataan ruang
o perumahan rakyat dan kawasan pemukiman
o ketentraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat
o sosial
urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan

dasar, meliputi:6
o tenaga kerja
o pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak
o pangan
o pertanahan
o lingkngan hidup
o administrasi kependudukan dan pencatatan sipil
o pemberdayaan masyarakat dan desa
o pengendaliam penduduk dan keluarga berencana
o perhubungan
o komunikasi dan informatika

o koperasi, usaha kecil, dan menengah
o penanaman modal
o kepemudaan dan olah raga
o statistic
o persandian
o kebudayaan
o perpustakaan
o kearsipan
b. urusan pemerintahan pilihan, meliputi:7
 kelautan dan perikanan
 pariwisata
 pertanian
 kehutanan
 energi dan sumber daya mineral
 perdagangan
 perindustrian
 transmigrasi
3. Urusan Pemerintahan Umum, yang meliputi:8
a. Pembinaan wawasan kebangsana dan ketahanan nasional dalam rangka
memantaokan pengalaman Pancasila, pelaksanaan Undang-Undang Dasar

5 Ibid., Ps. 12 ayat (1).
6 Ibid., Ps. 12 ayat (2).
7 Ibid., Ps. 12 ayat (3).
8 Ibid., Ps. 25.

2

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pelestarian Bhinneka Tunggal Ika
serta pemertahanan dan pemeliharaan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia
b. Pembinaan persatuan dan kesatuan oangan
c. Pembinaan kerukunan antarsuku dan intrasuku, mat brgama, ras, dan
golongan lainnya guna mewujudkan stabilitas keamanan lokal, regional
dan nasional
d. Penanganan konflik sosial sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
e. Koordinasi pelaksanaan tugas antarinstansi pemerintahan yang ada di
wilayah

Daerah


Provinsi

dan

Daerah

Kabupaten/Kota

untuk

menyelesaikan permasalahan yang timbul dengan manusia, pemerataan,
keadilan, keistimewaan dan kekhususan, potensi serta keanekaragaman
daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
f. Pengembangan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila
g. Pelaksanaan semua urusan pemerintahan yang bukan kewenangan daerah
dan tidak dilaksanakan oleh instansi vertikal
Di dalam UU Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa Pemerintah Pusat
berwenang untuk menetapkan kebijakan sebagai dasar dalam menyelenggarakan
urusan pemerintahan.9 Selain itu, Pemerintah Pusat juga harus melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh

daerah.10 Dasar yang harus ditetapkan oleh Pemerintahan Pusat berupa norma,
standar,

prosedur,

dan

kriteria

dalam

rangka

penyelenggaraan

urusan

pemerintahan.11 Sedangkan Pemerintahan Daerah dapat menetapkan kebijakan
daerah sendiri untuk urusan yang menjadi kewenangannya. Namun, hal ini
dibatasi dengan kewajiban daerah untuk berpedoman pada norma, standar,

prosedur, dan kriteria yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.12
PEMBAGIAN KEWENANGAN PUSAT DAN DAERAH SECARA UMUM
DALAM UU PEMERINTAHAN DAERAH
Berdasarkan pembagian urusan pemerintahan yang telah dijelaskan
sebelumnya, dapat dilihat bahwa mengenai pembagian kewenangan pusat dan
9 Ibid., Ps. 6.
10 Ibid., Ps. 7.
11 Ibid., Ps. 16 ayat (1).
12 Ibid., Ps. 17 ayat (2).

3

daerah hanya terjadi di dalam urusan pemerintahan konkuren yang menjadi dasar
pelaksanaan dari otonomi daerah. Pembagian urusan pemerintahan konkuren
antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi serta Daerah kabupaten/kota
dilaksanakan dengan prinsip akuntabilitas, efesiensi, dan eksternalitas, serta
kepentingan strategis nasional13, dan hal ini dilaksanakan dengan berdasarkan
pada

luas,


besaran,

dan

jangkauan

dampak

yang

ditimbulkan

oleh

penyelenggaraan suatu Urusan Pemerintahan.
UU Pemerintahan Daerah membagi kewenangan Pemerintah Pusat dan
Daerah provinsi serta Daerah kabupaten/kota sebagai berikut:14
Pemerintah
Pusat

1. Lokasinya

Pemerintah Daerah
Provinsi
lintas 1. Lokasinya

daerah provinsi atau

Kabupaten/Kota
lintas 1. Lokasinya
dalam

daerah

lintas negara
kabupaten/kota.
2. Penggunaannya lintas 2. Penggunaannya lintas
daerah provinsi atau

daerah


lintas negara
kabupaten/kota.
3. Manfaat atau dampak 3. Manfaat atau dampak
negatifnya

lintas

daerah provinsi atau
lintas negara
4. Penggunaanya

Pemerintah Daerah

negatifnya

lintas

daerah
kabupaten/kota.
4. Penggunaannya

daerah kabupaten/kota
2. Penggunaannya dalam
daerah kabupaten/kota
3. Manfaat atau dampak
negatifnya

hanya

dalam

daerah

kabupaten/kota
4. Yang
penggunaan
sumber dayanya lebih
efesien

apabila

sumber dayanya lebih

sumber dayanya lebih

dilakukan oleh daerah

efisien

efesien

kabupaten/kota

dilakukan

apabila
oleh

pemerintah pusat
5. Yang
peranannya
strategis

apabila

dilakukan oleh daerah
provinsi

bagi

kepentingan nasional

13 Ibid., Ps. 13 ayat (1).
14 Ibid., Ps. 13 ayat (2), (3), dan (4).

4

PEMBAGIAN KEWENANGAN PUSAT DAN DAERAH DALAM SEKTOR
KEHUTANAN BERDASARKAN UU PEMERINTAHAN DAERAH
Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan bidang kehutananan dibagi antara
Pemerintahan Pusat dan Daerah Provinsi. Namun untuk yang berkaitaan dengan
pengelolaan taman hutam raya kabupaten/kota menjadi kewenangan Daerah
kabupaten/kota.15 Di dalam lampiran UU Pemerintahan Daerah, dapat dilihat
bahwa pembagian kewenangan pusat dan daerah adalah sebagai berikut:

15 Ibid., Ps. 14 ayat (1) dan (2)

5

6

7

8

PEMBAGIAN KEWENANGAN PUSAT DAN DAERAH DALAM SEKTOR
KEHUTANAN BERDASARKAN UU KEHUTANAN
Mengenai perencanaan hutan, diatur dalam Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) dan lebih lanjut di dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan.
Perencanaan kehutanan meliputi kegiatan:16
1. Inventarisasi hutan
2. Pengukuhan kawasan hutan
3. Pentagunaan kawasan hutan
4. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan
5. Penyusunan rencana kehutanan
Untuk inventarisasi hutan, diatur dalam PP tersebut bahwa menteri
menyelenggarakan

inventarisasi

hutan

tingkat

nasional.17

Sedangkan

Inventarisasi Hutan tingkat wilayah, gubernur menyelenggarakannya pada
tingkat provinsi dengan memperhatikan pedoman dan acuan yang ditetapkan
menteri.18 Begitu juga di kabupaten/kota, bupati/walikota melkukan inventarisasi
hutan dengan mengacu pada pedoman dari menteri dan gubernur.19
Mengenai pengukuhan kawasan hutan, dilakukan oleh Menteri.20
Sedangkan dalam hal penataan batas kawasan hutan, PP ini menyebutkan bahwa
Bupati/Walikota bertanggung jawab atas penyelenggaraan penataan batas
kawasan hutan di wilayahnya.21 Begitu juga dalam hal pembentukan wlayah
pengelolaan hutan, hal ini diserahkan pada tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan
unit pengelolaan.22 Hal yang sama juga dengan penyusunan rencana kehutanan.23

16 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan
Kehutanan, LN No. 146 Tahun 2004, Ps. 3 ayat (1).
17 Ibid., Psl. 7 ayat (1)
18 Ibid., Psl. 9
19 Ibid., Psl. 10
20 Ibid., Psl. 16
21 Ibid., Psl. 19 ayat (5)
22 Ibid., Psl. 26
23 Ibid., Psl. 36 ayat (1)

9

Mengenai pembagian kewenangan antara pusat dan daerah mengenai hal
pengeelolaan hutan diatur dalam UU Kehutanan dan terdapat pada Bab VIII
tentang Penyerahan Kewenangan Pasal 66, yang mana diatur bahwa:24
(1) Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan pemerintah menyerahkan
sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah
(2) Pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana dmaksud
pada ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan efektifitas pengurusan
htan dalam rangka pengembangan otonomi daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
UU Kehutanan ini pada dasarnya sudah diubah dengan dengan UU Nomor 14
Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 Tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang. Namun, isi perubahannya
hanya terdapat pada pasal dalam bab penutup, sehingga tidak merubah secara
materi UU Kehutanan ini.
Di dalam Pasal 66 UU Kehutanan tersebut, disebutkan secara tegas bahwa
dalam penyelenggaraan kehutanan, pemerintah pusat menyerahkan sebagian
kewenangan kepada pemerintah daerah. Dan bentuk penyerahannya seperti apa
dilanjutkan penjelasannya oleh Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan
Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan.
Di dalam PP tersebut, dijabarkan mengenai pembagian kewenangan,
kewenangan yang menjadi pusat perhatian adalah kewenangan dalam pemberian
izin, apakah di pusat, porivinsi, atau kabupaten, yang dapat terlihat dari
penjabaran pasal-pasal dibawah ini.
A. Pemberian Izin
1. Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan (IUPK)25
24 Indonesia (b), Undang-Undang Kehutanan, UU No. 41 Tahun 1999, LN No. 167 Tahun
1999, TLN. No. 3888, Psl. 66.

10

a. Bupati/walikota, pada kawasan hutan yang ada dalam wilayah
kewenangannya, dengan tembusan kepada Menteri, gubernur dan kepala
KPH;
b. Gubernur, pada kawasan hutan lintas kabupaten/kota yang ada dalam
wilayah

kewenangannya,

dengan

tembusan

kepada

Menteri,

bupati/walikota, dan kepala KPH;
c. Menteri, pada kawasan hutan lintas provinsi, dengan tembusan kepada
gubernur, bupati/walikota, dan kepala KPH;
d. Menteri, pada areal yang telah dibebani IUPHHK restorasi ekosistem
dalam hutan alam pada hutan produksi yang belum mencapai
keseimbangan

ekosistem,

dengan

tembusan

kepada

gubernur,

bupati/walikota dan kepala KPH.
2. Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan (IUPJL)26
a.

Bupati/walikota, pada kawasan hutan yang ada dalam wilayah
kewenangannya, dengan tembusan kepada Menteri, gubernur, dan kepala
KPH;

b. Gubernur, pada kawasan hutan lintas kabupaten/kota yang ada dalam
wilayah

kewenangannya,

dengan

tembusan

kepada

Menteri,

bupati/walikota dan kepala KPH;
c. Menteri, pada kawasan hutan lintas provinsi, dengan tembusan kepada
gubernur, bupati/walikota dan kepala KPH; atau
d. Menteri, pada areal yang telah dibebani IUPHHK restorasi ekosistem
dalam hutan alam pada hutan produksi yang belum mencapai
keseimbangan

ekosistem,

dengan

tembusan

kepada

gubernur,

bupati/walikota dan kepala KPH.
3. Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK)27
Diberikan oleh Menteri berdasarkan pertimbangan gubernur

yang

mendapatkan pertimbangan dari bupati/walikota, sesuai dalam areal hutan.
4. Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK)28
25 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta
Pemanfaatan Hutan, LN No. 16 Tahun 2008, TLN No. 4814, Ps. 6.
26 Ibid., Ps. 61
27 Ibid., Ps. 62
28 Ibid., Ps. 63

11

a. Bupati/walikota, pada areal dalam hutan alam atau hutan tanaman yang
ada diwilayah kewenangannya, dengan tembusan kepada Menteri,
gubernur, dan kepala KPH; atau
b. Gubernur, pada areal dalam hutan alam atau hutan tanaman lintas
provinsi yang ada dalam wilayah kewenangannya, dengan tembusan
kepada Menteri, bupati/walikota dan kepala KPH.
B. Perpanjangan Izin29
1. Perpanjangan IUPK, IUPJL, IUPHHBK, dan IPHHBK, diberikan oleh:
a.

Bupati/walikota, pada kawasan hutan yang ada dalam wilayah
kewenangannya, dengan tembusan kepada Menteri, gubernur, dan kepala
KPH;

b. Gubernur, pada kawasan hutan lintas kabupaten/kota yang ada dalam
wilayah kewenangannya, dengan tembusan kepada Menteri, bupati/
walikota dan kepala KPH; dan
c. Menteri, pada kawasan hutan lintas provinsi, dengan tembusan kepada
gubernur, bupati/walikota, dan kepala KPH.
2. Untuk perpanjangan IUPHHK dalam hutan alam atau IUPHHK pada HTHR
dalam hutan tanaman diberikan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk,
berdasarkan rekomendasi dari gubernur setelah mendapat pertimbangan dari
bupati/walikota.
Sedangkan mengenai pembinaan dan pengendalian hutan, diatur di dalam
PP yang sama. Pengaturannya adalah sebagai berikut: 30
1. Menteri, berwenang membina dan mengendalikan kebijakan bidang kehutanan
yang dilaksanakan gubernur, bupati/walikota, dan/atau kepala KPH;
2. Gubernur, berwenang membina dan mengendalikan kebijakan bidang
kehutanan yang dilaksanakan bupati/walikota, dan/atau kepala KPH.
Dalam hal pengawasan kehutanan, diatur dalam Bab VII tentang
Pengawasan dalam UU Kehutanan. Dalam Pasal 60, disebutkan bahwa
29 Ibid., Ps. 81 ayat (4)
30 Ibid., Ps. 123

12

Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pengawasan kehutanan.
Dan pengawsan yang dilakukan oleh pemerintah daerah, juga diawasi lagi oleh
pemerintah pusat.31
ANALISIS SENGKETA KEWENANGAN ANTARA UU PEMERINTAHAN
DAERAH DAN UU KEHUTANAN
Di dalam lampiran UU Pemerintahan Daerah, mengenai perencanaan
hutan adalah sepenuhnya kewenangan dari pemerintah pusat. Namun, berbeda
dengan yang diatur dalam peraturan pelaksana dari UU Kehutanan, mengenai
inventarisasi bahwa kewenangan tersebut terbagi antara kewenangan pemerintah
pusat dan daerah, baik provinsi maupun kabupaten. Hal yang sama pun terjadi
pada kewenangan untuk penyelenggaraan penataan batas kawasan hutan di
wilayahnya, pembentukan wilayah pengelolaan hutan dan penyusunan rencana
kehutanan. Yang sepenuhnya dipegang oleh menteri hanyalah mengenai
pengukuhan kawasan hutan. Perbedaan pengaturan semacam ini tentunya akan
menimbulkan kebingunan dalam pengimplementasiannya. Sehingga, hal ini pun
akan mengakibatkan sengketa kewenangan antara pusat dan daerah.
Selain itu, terdapat beberapa hal yang akan mengakibatkan sengketa
kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, baik provinsi
maupun kabupaten/kota yang disebabkan oleh tidak sejalannya pengaturan di
dalam kedua undang-undang ini dalam hal pengelolaan khususnya mengenai izin
serta pembinaan. Namun, ketidaksinkronan ini justru ditimbulkan karena adanya
lampiran dari UU Pemerintahan Daerah.
Pada dasarnya, pengaturan mengenai pembagian kewenangan pusat dan
daerah secara umum dalam UU Pemerintahan Daerah, telah dianut oleh UU
Kehutanan. Dimana, kewenangan ini dipengaruhi oleh lokasi, penggunaan,
manfaat, dan urusan strategis.
UU Kehutanan beserta peraturan pelaksananya telah memberikan lahan
yang jelas bagi masing-masing kewenangan. Kewenangan tersebut disesuaikan
31 Indonesia (b), Op.cit., Psl. 60

13

dengan kawasan dan arealnya. Jadi, kewenangan terhadap suatu daerah diberikan
kepada bupati/walikota setempat, apabila lintas kabupaten/kota diberikan kepada
Gubernur, dan apabila lintas provinsi diberikan kepada Menteri, dengan
pengecualian pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Hasil Kayu
(IUPHHHK) yang diberikan khusus oleh Menteri dengan pertimbangan Gubernur
yang didapat dari pertimbangan bupati/walikota. Hal ini tentu saja sudah sesuai
dengan prinsip-prinsip umum yang dianut dalam pembagian kewenangan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Namun, yang menjadi masalah adalah Pasal 14 dari UU Pemerintahan
Daerah yang menyatakan bahwa:
(1) Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan bidang kehutanan, kelautan,
serta energy dan sumber daya mineral dibagi antara Pemerintah Pusat
dan Daerah Provinsi.
(2) Urusan Pemerintahan bidang kehutanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang berkaitan dengan pengelolaan taman hutan raya
kabupaten/kota menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota.
Dan Pasal 15 UU Pemerintahan Daerah, yaitu:
(1) Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat
dan Daerah provinsi serta Daerah kabupaten/kota tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Undang-Undang ini.
Dari pasal-pasal diatas dan juga lampiran dari UU Pemerintahan Daerah,
dapat dilihat bahwa daerah kabupaten/kota tidak memiliki kewenangan sama
sekali kecuali mengenai pengelolaan taman hutan raya kabupaten/kota. Berbeda
halnya dengan yang diatur oleh UU Kehutanan, bahwa Bupati/Walikota memiliki
kewenangan dalam wilayahnya. Di dalam UU Kehutanan, prinsip otonomi daerah
pada tingkat kabupaten/kota terimplimentasi dengan baik. Berbeda halnya dengan
peraturan pengecualian dalam Pasal 14, Pasal 15, dan Lampiran UU Pemerintahan
Daerah, yang mengkerdilkan kewenangan Bupati/Walikota.

14

Di dalam lampiran UU Pemerintahan Daerah juga dapat terlihat bahwa
mengenai pengawasan kehutanan, dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Padahal, di
dalam UU Kehutanan juga disebutkan bahwa Pemerintah Daerah juga wajib
melaksanakan pengawasan.
Dari beberapa penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa sebenarnya UU
Pemerintahan Daerah dan UU Kehutana ini sudah berjalan dengan prinsip umum
yang sama yaitu otonomi daerah. Namun, penjabarannya di dalam lampiran UU
Pemerintahan Daerah mengakibatkan ketidakjelasan dan ketidaksinkronan
pengaturan mengenai kehutanan antara pusat dan daerah. Sehingga, lampiran UU
ini malah membuat kebingungan pengaturan dalam sektor kehutanan.

15