IMPLEMENTASI RAHN DALAM LEMBAGA KEUANGAN (1)

IMPLEMENTASI RAHN DALAM LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
Makalah ini guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: Fiqh Muamalah
Dosen Pengampu : Imam Mustofa,S.H.I. M.SI

Disusun Oleh
Pungki Fitria Sari

1502100098

Kelas B
Kelompok 34

PROGRAM STUDI S1 PERBANKAN SYARI’AH
JURUSAN SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI (STAIN) JURAI SIWO METRO
2016

BAB I
PENDAHULUAN
Dalam hidup ini, adakalannya orang mengalami kesulitan pada suatu

ketika. Kesulitan yang di hadapi itu bermacam-macam, sehingga orang sangat
membutuhkan bantuan satu sama lain. Di antara berbagai macam kesulitan itu
masalah yang rumit di hadapi seseorang adalah ketika ia tidak memiliki uang.
Uang adalah hal pokok yang di butuhkan manusia karena untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari, apalagi sekarang kebutuhan hidup serba mahal.
Untuk menutupi atau mengatasi masalah itu orang terpaksa meminjam
uang kepada pihak lain atau kepada rumah pegadaian atau kepada perorangan.
Ketika orang itu meminjam kepada pegadaian maka pinjaman itu harus disertai
jaminan. Akan tetapi sampai saat ini masih ada kesan dalam masyarakat, kalau
seseorang pergi ke pegadaian untuk meminjam sejumlah uang dengan cara
menggadaikan barang adalah aib dan seolah kehidupan orang tersebut sudah
sangat menderita.
Sebagai investasi bisnis lembaga keuangan seperti pegadaian tentu tidak
lepas dari motif laba karena tujuan memaksimalkan laba inilah, maka banyak
lembaga keuangan yang menerapkan kebijakan bunga. Bunga itu sangat
membebankan masyarakat karena terkadang beban bunga yang harus nasabah
bayarkan lebih besar dari pada keuntungan usahanya sendiri. Karena hal itu
masyarakat ingin ada pendirian lembaga pegadaian syariah. Keinginan
masyarakat terhadap berdirinya pegadaian syariah dalam bentuk perusahaan
mungkin karena umat Islam menghendaki adanya lembaga pegadaian

perusahaan yang benar-benar menerapkan syariat Islam.
Untuk menjembatani keinginan tersebut perlu di kaji tentang pengertian
gadai syariah itu seperti apa, apa dasar hukum gadai syariah, rukun dan syarat
sahnya perjanjian gadai, pemanfaatan dan penjualan barang gadaian serta
bagaimana berakhirnya akad rahn, apa perbedaan antara rahn dan gadai, serta
implementasinya dalam gadai syariah

1

BAB II
PEMBAHASAN

A. Implementasi Rahn dalam Lembaga Keuangan Syariah
Rahn merupakan produk penunjang sebagai alternatif pegadaian
terutama untuk membantu nasabah dalam memenuhi kebutuhan
insidentilnya yang mendesak. Terkait dengan rahn dalam praktik
perbankan syariah, bank tidak menarik manfaat apapun kecuali biaya
pemeliharaan dan keamanan atas barang yang digadaikan. Akad rahn
dapat pula di aplikasikan untuk memenuhi permintaan bank akan jaminan
tambahan atas suatu pemberian fasilitas pembiayaan atas nasabah.1

Diberbagai negara islam termasuk diantaranya malaysia akad
rahn telah dipakai alternatif dari pegadaian konvensional. Bedanya
dipungut dari nasabah adalah biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan
serta penaksiran. Perbedaan utama antara biaya rahn dengan bunga
pegadaian adalah dari sifat bunga yang bisa berakumulasi dan berlipat
ganda, sedangkan biaya rahn hanya sekali dan ditetapkan dimuka.2
Alur praktik rahn dalam lembaga keuangan syariah umumnya
adalah sebagai berikut:
1.

Nasabah menyerahkan jaminan (marhun) kepada bank syariah
(murtahin). Jaminan ini berupa barang bergerak.

2.

Akad pembiayaan dilaksanakan antara rahin (nasabah) dan murtahin
(bank syariah).

3.


Setelah kontrak pembiayaan ditandatangani, dan agunan diterima
oleh bank syariah maka bank syariah mencairkan pembiayaan.

1

Imam Mustofa,dikutip dari: Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal,Islamic financial
manajemen:teori,konsep,dan Aplikasi Panduan Praktis untuk Lembaga Keuangan,
Nasabah,Praktisi dan Mahasiswa, (Jakarta:rajawali Pers, 2008).
2
I a Mustofa, dikutip dari: Muha
ad Syafi’I A to i, bank syariah dari teori kepraktik,
(Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 130

2

Rahin melakukan pembayaran kembali ditambah denga fee yang
telah disepakati. Fee ini berasal dari sewa tempat dan biaya untuk
pemeliharaan agunan.3
Praktik rahn dalam lembaga keuangan syariah (LKS) dapat di
simpulkan:

1. Melalui bank, nasabah dapat menggunakan barang tertentu
yang digadaikan dengan tidak mengurangi nilai dan merusak
barang yang digadaikan. Apabila barang yang digadaikan rusak
atau cacat maka nasabah harus bertanggung jawab.
2. Apabila nasabah wanprestasi, bank dapat melakukan penjualan
barang yang digadaikan atas perintah hakim.
3. Nasabah mempunyai hak untuk menjual barang tersebut
dengan seizing

bank. Apabila hasil penjualan melebihi

kewajibannya maka kelebihannya tersebut menjadi milik
nasabah.Bila

hasil

penjualan

tersebut


lebih

kecil

dari

kewajibannya, nasabah menutupi kekurangannya.4

B. Implementasi gadai (rahn) dalam praktek
Dewan

redaksi

dari

Ensiklopedia

Hukum

Islam


(1997)

berpendapat bahwa rahn yang dikemukakan oleh ulama fiqh klasik
tersebut hanya bersifat pribadi. Artinya utang piutang hanya terjadi antara
seorang pribadi yang membutuhkan dan

seorang yang memiliki

kelebihan harta, di zaman sekarang sesuai dengan perkembangan dan
kemajuan ekonomi, rahn tidak hanya berlaku antar pribadi dan lembaga
keuangan seperti bank.
Untuk mendapatkan kredit dari lembaga keuangan pihak bank
juga menunut barang agunan yang dipegang bank sebagai jaminan atas
kredit tersebut. Barang agunan ini demikian lebih lanjut dikemukakan oleh

3

Imam Mustofa, dikutip dari: Ismail, perbankan syariah, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011),
h. 212

4
Imam Mustofa, dikutip dari: Heri Sudarsono, bank dan lembaga keuangan syariah deskripsi dan
ilustrasi,(Yogyakarta: Ekonosia,2012), h. 82.

3

dewan redaksi Ensiklopedi Hukum Islam,( 1997) dalam istilah bank
disebut collateral. Collateral ini sejalan dengan marhun yang berlaku
dalam akad rahn yang dibicarakan ulama klasik.5
Perbedaannya hanya terletak pada pembayaran hutang yang
ditentukan oleh bank. Kredit di bank biasanya harus dibayar sekaligus
dengan bunga uang yang ditentukan oleh bank. Oleh sebab itu jumlah
uang yang di bayar debitur akan lebih besar yang dipinjam dari bank.
Menurut Antonio (2001) kontrak rahn dalam perbankan digunakan
sebagai:
1. Produk perlengkapan
Artinya

rahn


digunakan

sebagai

akad

tambaan

(jaminan/collateral) terhadap produk lain seperti pembiayaan ba’I
almurabahah dimana bank dapat menahan barang nasabah sebagai
konsekuensi akad tersebut.6
2. Produk tersendiriAkad rahn telah dipakai sebagai alternatif dari
pegadian konvesional. Bedanya dengan gadai biasa, dlam rahn
nasabah tidak dikenakan bunga tetapi yang dipungut nasabah adalah
biaya penitipan, pemeliharaan,penjagaan serta biaya penaksiran yang
dipungut dan ditetapkan awal perjanjian.sedangkan dalam perjanjian
gadai biasa ,nasabah dibebankan oleh bunga pinjaman yang dapat
terakumulasi dan berlipat ganda.

Dalam mekanisme perjanjian gadai syariah. Akad perjanjian yang dapat

dilakukan antara lain :
1. Akad Al-qardhul hasan
Akad ini dilakukan untuk nasabah yang menggadikan barangnya
untuk keperluan konsumtif.Dengan demikian , nasabah (rahin) akan

5

Ali, Zainuddin, Hukum Gadai Syariah,( Jakarta: Sinar Grafika 2008 ), h. 76.

6

Pasaribu, Chairuman dan K. Lubis, Suhrawardi.Hukum Perjanjian Dalam Islam,(Jakarta:
Sinar Grafika,1996)h.78

4

memberikan biaya upah atau fee kepada pegadaian (murtahin) yang
telah menjaga atau merawat barang gadaian (mahru)
2. Akad al-mudharabah
Akad


ini

dilakukan

untuk

nasabah

yang

menggadaikan

jaminannya untuk menambah modal usaha ( pembiayaan investasi
dan modal kerja ). Dengan demikian, rahin akan memberikan bagi
hasil ( berdasarkan keuntungan ) kepada murtahin sesuai dengan
kesepakatan, sampai modal yang dipinjam terlunasi.7
3. Akad ba-I al muqayyadah
Akad

ini

dilakukan

untuk

jaminannya untuk menambah

nasabah

yang

menggadaikan

berupa pembelian barang modal.

Dengan demikian murtahin akan membelikan barang yang di maksud
oleh rahin.

Dengan memahami konsep lembaga gadai syariah maka
sebenarnya lembaga gadai syariah untuk hubungan antar pribadi sudah
operasional. Setiap orang bisa melalukan perjanjian hutang piutang
dengan gadai secara syariah. Pada dasarnya konsep hutang piutang
secara syariah dilakukan dalam bentuk al- qardhul hassan, dimana pada
bentuk ini tujuan utamanya adalah memenuhi kewajiban moral sebagai
jaminan sosial.8
Gadai yang melengkapi perjanjian hutang piutang itu adalah
sekedar memenuhi anjuran sebagaimana disebut dalam Al- quran surat
Al- baqarah ayat 283. Tidak ada tambahan biaya apapun diatas pokok
tunjangan bagi si peminjam kecuali yang dipakainya sendiri untuk sahnya
suatu perjanjian hutang.
Dalam hal ini biaya-biaya seperti materi dan akte notaris menjadi
beban peminjam. Bunga uang yang kita kenal walaupun dengan nama
apapun tidak sesuai dengan prinsip syariah, oleh karena itu kita boleh
dikenakan dalam perjajian hutang piutang secara syariah. Perjanjian

7

Sudarsono, Heri.Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi.
(Yogyakarta : Ekonisia,2005)h.92
8
Anshori,Ghofur Abdul,Gadai syariah di Indonesia konsep, Implementasi dan
institusionalisasi,(Yogyakarta:Gajah Mada Universiti Press,2005), h. 22

5

hutang piutang dalam bentuk alqardhul Hassan sangat di anjurkan dalam
islam lebih utama dari pada memberikan infak.9
Hal ini, menurut Khan (1996: 182-183), karena infaq menimbulkan
masalah kehormatan diri pada peminjam dan mengurangi dorongan
dirinya untuk berjuang dan berusaha. Infaq katanya diperlakukan dalam
kasus-kasus diamana pengembalian hutang tidak mungkin dilakukan.
Dengan demikian al-qardhul Hassan adalah lembaga bersaudara dengan
infaq. Tanggung jawab ini beralih kepada satuan keluarga, RT/RW,
kelurahan, bahkan sampai kepada Negara.
Perjanjian hutang piutang juga diperlukan bagi keperluan komersiil.
Dalam hal perjanjian hutang piutang ini untuk keperluan komersiil, maka
biasanya perlengkapan gadai yang cukup menjadi persyaratan yang tidak
dapat ditinggalkan.
Ini membuktikan bahwa sebenarnya pihak peminjam bukanlah
orang yangn miskin tetapi orang yang memiliki sejumlah harta yang dapat
digadaikan. Pilihan yang terbuka untuk kepentingan ini adalah melakukan
perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-qardha Hassan
atau melakukan perjanjian bhutang piutang dengan gadai dalam bentuk
mudharabah.10
Implementasi operasi Pegadaian Syariah hampir bermiripan
dengan

Pegadaian

konvensional.

Seperti

halnya

Pegadaian

konvensional. Pegadaian Syariah juga menyalurkan uang pinjaman
dengan jaminan barang bergerak. Prosedur untuk memperoleh kredit
gadai syariah sangat sederhana.
Di samping beberapa kemiripan dari beberapa segi, jika ditinjau
dari aspek landasan konsep; teknik transaksi; dan pendanaan, Pegadaian
Syariah memilki ciri tersendiri yang implementasinya sangat berbeda
dengan Pegadaian konvensional.

9

Firdaus, Muhammad, mengatasi masalah dengan pegadaian syariah, (Jakarta :
renaisan 2005) h. 88
10
Rais, Sasli, Pegadaian Syariah: Konsep dan Sistem Operasional (suatu kajian
kontemporer), Jakarta:UI Press. 2006, h. 55

6

Dari landasan Syariah tersebut maka mekanisme operasional
Pegadaian Syariah dapat digambarkan sebagai berikut : Melalui akad
rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian Pegadaian
menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh
Pegadaian. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah
timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan,
biaya perawatan dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini
dibenarkan bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah
sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Pegadaian Syariah akan memperoleh keutungan hanya dari bea
sewa tempat yang dipungut bukan tambahan berupa bunga atau sewa
modal yang diperhitungkan dari uang pinjaman.. Sehingga di sini dapat
dikatakan proses pinjam meminjam uang hanya sebagai ‘lipstick’ yang
akan menarik minat konsumen untuk menyimpan barangnya di
Pegadaian.
Untuk dapat memperoleh layanan dari Pegadaian Syariah,
masyarakat hanya cukup menyerahkan harta geraknya ( emas, berlian,
kendaraan, dan lain-lain) untuk dititipkan disertai dengan copy tanda
pengenal. Kemudian staf Penaksir akan menentukan nilai taksiran barang
bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai patokan perhitungan
pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan plafon uang pinjaman yang
dapat diberikan.
Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai intrinsik dan harga
pasar yang telah ditetapkan oleh Perum Pegadaian. Maksimum uang
pinjaman yang dapat diberikan adalah sebesar 90% dari nilai taksiran
barang.11

11

Hasan, M Ali. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam.( Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2003)

7

Setelah melalui tahapan ini, Pegadaian Syariah dan nasabah
melakukan akad dengan kesepakatan :
1. Jangka waktu penyimpanan barang dan pinjaman ditetapkan selama
maksimum empat bulan .
2. Nasabah bersedia membayar jasa simpan sebesar Rp 90,- ( sembilan
puluh rupiah ) dari kelipatan taksiran Rp 10.000,- per 10 hari yang
dibayar bersamaan pada saat melunasi pinjaman.
3. Membayar

biaya

administrasi

yang

besarnya

ditetapkan

oleh

Pegadaian pada saat pencairan uang pinjaman.

Nasabah dalam hal ini diberikan kelonggaran untuk
1. melakukan penebusan barang/pelunasan pinjaman kapan pun
sebelum jangka waktu empat bulan,
2. mengangsur uang pinjaman dengan membayar terlebih dahulu jasa
simpan yang sudah berjalan ditambah bea administrasi, atau hanya
membayar jasa simpannya saja terlebih dahulu jika pada saat jatuh
tempo nasabah belum mampu melunasi pinjaman uangnya.12

Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya
membayar jasa simpan, maka Pegadaian Syarian melakukan eksekusi
barang jaminan dengan cara dijual, selisih antara nilai penjualan dengan
pokok pinjaman, jasa simpan dan pajak merupakan uang kelebihan yang
menjadi hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan selama satu tahun
untuk mengambil Uang kelebihan, dan jika dalam satu tahun ternyata
nasabah tidak mengambil uang tersebut, Pegadaian Syariah akan
menyerahkan uang kelebihan kepada Badan Amil Zakat sebagai ZIS.
Aspek syariah tidak hanya menyentuh bagian operasionalnya
saja, pembiayaan kegiatan dan pendanaan bagi nasabah, harus
diperoleh dari sumber yang benar-benar terbebas dari unsur riba. Dalam
hal ini, seluruh kegiatan Pegadaian syariah termasuk dana yang

12

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Riba, Utang-Piutang Gadai, (Bandung: AlMaarif, 1983), hlm. 50.

8

kemudian disalurkan kepada nasabah, murni berasal dari modal sendiri
ditambah

dana

pihak

ketiga

dari

sumber

yang

dapat

dipertanggungjawabkan. Pegadaian telah melakukan kerja sama dengan
Bank Muamalat sebagai fundernya, ke depan Pegadaian juga akan
melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan syariah lain untuk
memback up modal kerja. Dari uraian ini dapat dicermat perbedaan yang
cukup mendasar dari teknik transaksi Pegadaian Syariah dibandingkan
dengan Pegadaian konvensional, 13 yaitu:
1. Di Pegadaian konvensional, tambahan yang harus dibayar oleh
nasabah yang disebut sebagai sewa modal, dihitung dari nilai
pinjaman.
2. Pegadaian konvensional hanya melakukan satu akad perjanjian :
hutang piutang dengan jaminan barang bergerak yang jika ditinjau dari
aspek hukum konvensional, keberadaan barang jaminan dalam gadai
bersifat acessoir, sehingga Pegadaian konvensional bisa tidak
melakukan penahanan barang jaminan atau dengan kata lain
melakukan praktik fidusia. Berbeda dengan Pegadaian syariah yang
mensyaratkan secara mutlak keberadaan barang jaminan untuk
membenarkan penarikan bea jasa simpan.14

13

Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam. (Jakarta : PT Ichtiar Baru van
Hoeve,2011)h. 65.
14
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001), hlm. 128

9

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari apa yang telah dipaparkan diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa gadai syariah atau rahn memiliki tugas pokok yaitu memberikan
pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan. Lembaga Keuangan
Gadai Syariah mempunyai fungsi sosial yang sangat besar. Karena pada
umumnya, orang-orang yang datang ketempat ini adalah mereka yang
secara ekonomi sangat kekurangan. Adapun pengertian dari rahn adalah
suatu barang yang dijadikan penguat kepercayaan dalam hutang piutang
atau yang lebih popular dengan sebutan gadai. Dengan catatan barang
yang digadaikan harus barangnya sendiri bukan barang ghasab atau
pinjaman. Rahn berlandaskan pada Al-quran, Hadis, dan fatwa dewan
Syariah Nasional.
Di Indonesia ada beberapa praktik gadai diantaranya adalah yang
terjadi didaerah pedesaan, dimana sebagian dari mereka menggadaikan
sawah lading atau pohon kelapa dan hasil dari barang gadaian tersebut
menjadi hak penuh bagi murtahin.

10

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Riba, Utang-Piutang Gadai,
(Bandung: Al-Maarif, 1983).
Ali, Zainuddin, Hukum Gadai Syariah,( Jakarta: Sinar Grafika 2008).
Anshori,Ghofur Abdul,Gadai syariah di Indonesia konsep, Implementasi
dan institusionalisasi,(Yogyakarta:Gajah Mada Universiti Press,2005).
Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam. (Jakarta : PT Ichtiar Baru
van Hoeve,2011).
Firdaus, Muhammad, mengatasi masalah dengan pegadaian syariah,
(Jakarta : renaisan 2005).
Hasan, M Ali. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam.( Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2003).
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers,
2016).
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2001).
Pasaribu, Chairuman dan K. Lubis, Suhrawardi.Hukum Perjanjian Dalam
Islam,(Jakarta: Sinar Grafika,1996).
Rais, Sasli, Pegadaian Syariah: Konsep dan Sistem Operasional (suatu
kajian kontemporer),(Jakarta:UI Press. 2006).
Sudarsono, Heri.Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan
Ilustrasi. (Yogyakarta : Ekonisia,2005).