BIAS GENDER DALAM BUKU BUKU TUNTUNAN HID

Bab 1: Pendahuluan
Perbedaan gender sebenarnya tidak menjadi masalah sejauh tidak menyebabkan
ketidakadilan bagi perempuan dan laki-laki. Akan tetapi dalam kenyataannya,
perbedaan gender telah menciptakan ketidakadilan, terutama terhadap perempuan.
Ketidakadilan gender merupakan sistem atau struktur sosial di mana kaum laki-laki atau
perempuan menjadi korban. Ketidakadilan tersebut menurut Mansur Faqih (2001)
termanifestasikan dalam bentuk marjinalisasi, proses pemiskinan ekonomi, subordinasi
atau anggapan tidak perlu berpartisipasi dalam pembuatan atau pengambilan keputusan
politik, stereotip, diskriminasi dan kekerasan. Dengan memahami persoalan perbedaan
gender ini, diharapkan muncul pandangan-pandangan yang lebih adil dan manusiawi.
Akan tetapi, memahamkan persoalan-persoalan gender berikut implikasinya ke
tengah-tengah masyarakat benar-benar menghadapi kesulitan yang luar biasa, terutama
ketika harus berhadapan dengan pemikiran-pemikiran keagamaan. Lebih-lebih apabila
pemikiran-pemikiran keagamaan itu disampaikan oleh kalangan yang dipandang
sebagai pemilik otoritas kebenaran. Kesulitan lebih jauh lagi adalah ketika pemikiranpemikiran keagamaan tersebut telah menjadi keyakinan keagamaan dan diyakini
sebagai agama itu sendiri.
Pemikiran-pemikiran keagamaan Islam tentang relasi suami istri antara lain
dipublikasikan secara luas lewat buku-buku tuntunan hidup berumah tangga yang dapat
diperoleh secara mudah di toko-toko buku. Buku-buku tersebut menjadi rujukan bagi
para juru dakwah Islam yang sering memberi ceramah di acara-acara pesta pernikahan
(walimatu al-‘arusy). Buku-buku tersebut juga menjadi pilihan untuk dibaca oleh

pasangan suami-istri muda yang baru saja mengikat tali pernikahan. Mereka
mendapatkannya dari kado pernikahan yang diberikan oleh sanak saudara dan temantemannya.
Yang menjadi persoalan, secara umum pandangan para penulis buku-buku
tersebut memperlihatkan kecenderungan yang

kuat terhadap bias gender. Sebagai

contoh, dalam buku Membimbing Istri Mendampingi Suami (Pegangan Buat Pengantin
Baru Muslim) karya Fuad Kauma (2003: 140) disebutkan bahwa seorang wanita yang
baik adalah yang memahami kebutuhan seksual suami, sementara tidak disinggung
sama sekali sikap pengertian suami terhadap kebutuhan seksual istri. Dalam bagian ini

Fuad Kauma melengkapi uraiannya bahwa seorang istri perlu menawarkan dirinya
kepada suami untuk melakukan hubungan intim sebagai upaya untuk mendapatkan
ridha sang suami karena ridha suami akan mengantarkan istri ke surga (Fuad Kauma,
2003: 143). Dalil normatif yang ia jadikan pijakan adalah hadits Nabi: “Istri manapun
yang mati, sedangkan suami ridha kepadanya, maka ia dijamin masuk surga” (Hadits
Riwayat At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Hakim).
Muhammad Shalih Al-Munajjid dalam karyanya Arba’ûna Nashîhah li Islâhi
al-Buyût yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Keluarga

Surgawi Empat Puluh Kiat Menjadikan Rumah Tangga Laksana Surga (2005: 65)
menegaskan sisi-sisi negatif seorang istri yang bekerja di luar rumah. Menurutnya, sisi
negatif tersebut antara lain berkurangnya makna hakiki dari kepemimpinan seorang
laki-laki pada diri wanita. Lebih jelas kutipan berikut menjelaskan pernyataan tersebut:
“Kita bayangkan jika seorang wanita memiliki ijazah sederajat dengan ijazah
suaminya atau lebih tinggi dan mereka bekerja dengan gaji yang lebih tinggi dari
suaminya, maka apakah wanita seperti ini akan merasa butuh secara utuh kepada
suaminya, ataukah perasaan wanita yang telah merasa cukup dengan pekerjaannya itu
akan mendatangkan banyak masalah yang akan menggoncangkan keadaan rumah
tangga ?.” (Al-Munajjid, 2005: 66)
Bias gender juga banyak ditemukan dalam “60 Pedoman Rumah Tangga
Islamy” karya M. Thalib. Bias gender tersebut antara lain: melarang istri keluar rumah
tanpa ijin suami (M.Thalib, 1993: 38), perintah sabar pada kelemahan-kelemahan istri
(1993: 24) tanpa menyinggung-nyinggung hal yang sebaliknya (sabar pada kelemahankelemahan suami), menghukum istri yang durhaka (1993: 25) dan sebagainya.
Demikianlah sekedar contoh bias gender dalam tiga buku pedoman hidup
berumah tangga yang beredar di tengah masyarakat. Buku-buku lain yang serupa seperti
Etika Seksual (Mahfudli Sahli, 1999), Melahirkan Anak yang Berkualitas (Syahras
Obos, 1995), Mencapai Pernikahan Barakah (M. Fauzil Adhim, 1999), Keluarga
Sakinah Tinjauan Psikologi dan Agama (Hasan Basri, 1999) diduga juga mengandung
bias gender di dalam uraian-uraiannya. Ciri khas buku-buku tersebut tidak melengkapi

uraiannya tentang ayat Al-Qur`an dengan asbab al-nuzul (konteks sosio-historis yang
menyebabkan ayat turun) dan sekalipun tidak pernah menyatakan kualitas hadits-hadits
yang dikutip serta asbab al-wurudnya (konteks sosio-historis yang menyebabkan hadits

2

muncul), padahal di situlah pangkal persoalan yang menyebabkan sebuah pemahaman
agama menjadi bias gender atau tidak.
Penelitian ini ingin menemukan lebih detail kecenderungan bias gender dalam
buku-buku yang disebutkan di atas. Penelitian dipandang penting untuk dilakukan
mengingat buku-buku tersebut sering dijadikan rujukan terutama para juru dakwah dan
pasangan suami istri muda. Jika demikian, dengan mudah dapat diduga bahwa bukubuku tersebut akan sangat mempengaruhi sikap dan pandangan-pandangan masyarakat
terkait dengan norma-norma yang mengatur relasi suami-istri.
Bab 2: Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan penelitihan dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1.

Apa saja materi yang dibahas dalam buku-buku tuntunan hidup berumah
tangga?


2.

Bagaimana kualitas hadits-hadits yang termuat dalam buku-buku
tersebut?

3.

Apa saja bentuk-bentuk bias gender yang terdapat dalam buku-buku
tersebut ?

Bab 3: Tinjauan Pustaka
A. Kerangka Teoritik
1. Gender: Dikotomi Sifat, Peran dan Posisi
Gender secara leksikon merupakan identitas atau penggolongan
gramatikal yang berfungsi mengklasifikasikan suatu benda pada kelompokkelompoknya (Concise Oxford Dictionary of Curent English, Edisi 8, 1990:
204). Penggolongan ini secara garis besar berhubungan dengan dua jenis
kelamin, masing-masing sering dirumuskan dengan kategori feminine dan
maskulin.
Secara terminologis, gender digunakan untuk menandai perbedaan segala

sesuatu yang terdapat dalam masyarakat dengan perbedaan seksual. Perbedaan
yang dimaksud termasuk di dalamnya adalah bahasa, tingkah laku, pikiran,
makanan, ruang, waktu, harta milik, tabu, teknologi, media massa, mode,

3

pendidikan, profesi, alat-alat produksi, dan alat-alat rumah tangga (Dzuhayatin,
1998: 11)
Secara sederhana dan umum, gender diartikan berbeda dengan jenis
kelamin. Jenis kelamin merupakan ciri biologis manusia yang diperoleh sejak
lahir sehingga secara biologis dibagi menjadi jenis kelamin laki-laki dan
perempuan dengan cirri fisik yang berbeda. Laki-laki memiliki penis, jakun dan
mereproduksi sperma, sedang perempuan memiliki vagina, rahim, sel telur serta
air susu. Ciri biologis ini akan melekat selamanya dan tidak bisa dipertukarkan.
Sedangkan gender merupakan ciri yang melekat pada laki-laki mapupun
perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural dengan mengaitkannya
pada ciri biologis masing-masing jenis kelamin (Fakih, 1997)
Ciri biologis khusus yang dimiliki perempuan, yang pada umumnya
untuk reproduksi, secara sosial maupun kultural direpresentasikan sebagai
makhluk yang lemah lembut, emosional sekaligus keibuan. Sementara laki-laki

dengan ciri fisik yang dimiliki , dipandang kuat, rasional, jantan dan
perkasa.Sifat yang dikonstruksi secara sosial dan kultural ini dapat
dipertukarkan. Maksudnya, laki-laki dapat mempunyai sifat lembut, keibuan dan
emosional. Sebaliknya, perempuan bisa bersifat kuat, rasional dan perkasa.
Pertukaran sifat atau ciri

tersebut tergantung jaman, latar budaya maupun

stratifikasi sosial yang mengitarinya. Pada latar budaya dan kelas sosial tertentu
perempuan dikonstruksi untuk mengurus anak dan suami di rumah, sedang lakilaki mencari nafkah di luar rumah. Sebaliknya, dalam latar budaya dan kelas
sosial yang lain, perempuanlah yang bekerja di luar rumah, sedang laki-laki
yang mengasuh anak di rumah. Semua hal yang bisa dipertukarkan antara lakilaki dan perempuan sesuai dengan perkembangan waktu dan budaya tersebut
yang disebut dengan konsep gender. Jadi, bukan ciri biologis yang melekat
secara alamiah dan kodrati.
Melalui proses sosialisasi yang panjang, gender akhirnya dianggap
sebagai ketentuan Tuhan, seolah-olah bersifat biologis yang tidak bisa diubah
lagi. Akibatnya, perbedaan-perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai
kodrat laki-laki dan kodrat perempuan. Di sinilah terjadi kerancuan dan

4


pemutarbalikan makna tentang apa yang disebut jenis kelamin dengan gender.
Saat ini terjadi pengesahan pemahaman yang tidak pada tempatnya di
masyarakat. Apa yang sesungguhnya gender justru dianggap kodrat.
Gender, sebagaimana teori yang dikemukakan di atas, melahirkan atau
memunculkan dikotomi sifat, peran, dan posisi antara laki-laki dan perempuan.
Dikotomi tersebut meliputi sifat feminin untuk perempuan dan maskulin untuk
laki-laki serta posisi tersubordinasi yang dialami perempuan dan mendominasi
bagi laki-laki. Untuk laki-laki bekerja di sektor publik (luar rumah) sementara
perempuan di sektor domestik (dalam rumah). Sifat, peran dan posisi tersebut
saling terkait antara satu dengan lainnya dan sulit untuk dipisahkan secara tegas
(Muthali’in, 2001: 28)
2. Bias dan Ketidakadilan Gender
Dalam realitas kehidupan sehari-hari, perbedaan gender ternyata banyak
melahirkan berbagai bias dan ketidakadilan, terutama sering menimpa kaum
perempuan. Ketidakadilan gender tersebut termanifestasi dalam berbagai bentuk;
misalnya marginalisasi perempuan, subordinasi perempuan, stereotip atau
pelabelan negatif sekaligus perlakuan diskriminatif terhadap perempuan,
kekerasan terhadap perempuan dan beban kerja lebih banyak dan panjang
(Prasetyo dan Marzuki, 1997: 56). Uraian agak rinci disajikan sebagai berikut:

a. Marginalisasi Perempuan
Marginalisasi kaum perempuan terjadi akibat adanya diskriminasi
terhadap pembagian kerja menurut gender. Ada jenis pekerjaan tertentu yang
dianggap cocok untuk perempuan karena keyakinan gender. Karena
perempuan dianggap tekun, sabar dan ramah maka pekerjaan yang cocok
bagi mereka adalah sekretaris, perawat atau suster, pramugari, kasir, guru TK
atau resepsionis. Persoalannya, pekerjaan-pekerjaan yang dianggap feminin
itu selalu dinilai lebih rendah bila dibandingkan dengan pekerjaan-pekerjaan
yang dianggap maskulin. Secara otomatis, gaji yang diterima oleh profesiprofesi yang dianggap feminin tersebut lebih rendah dari profesi-profesi
yang dianggap maskulin.

5

b. Subordinasi Perempuan
Sebagai kelanjutan dari pandangan bahwa perempuan adalah
makhluk yang emosional, maka ia dipandang tidak bisa memimpin dan
karena itu ditempatkan pada posisi yang tidak penting. Hal ini melahirkan
subordinasi bagai perempuan. Bentuk subordinasi bermacam-macam,
berbeda dari satu tempat dengan tempat yang lain, dari waktu ke waktu dan
dari budaya satu dengan budaya yang lainnya. Misalnya, Budaya Jawa masa

lalu menganggap bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh
akhirnya akan ke dapur (Fanani, 1994: 73). Dalam banyak keluarga,
perempuan menjadi pilihan pertama untuk tidak disekolahkan jika suatu
keluarga mengalami kendala biaya.
c. Stereotip Jenis Kelamin
Secara umum stereotip adalah pelabelan atau penandaan terhadap
suatu kelompok tertentu yang merugikan dan menimbulkan ketidakadilan.
Salah satu jenis stereotip itu adalah bersumber dari pandangan yang bias
gender.
Contoh stereotip adalah bahwa perempuan merupakan makhluk
pesolek. Perempuan bersolek diasumsikan untuk menarik perhatian lawan
jenisnya. Karena itu jika kemudian terjadi kasus kekerasan atau pelecehan
seksual terhadap perempuan, maka akan selalu dikaitkan dengan pelabelan
tersebut. Artinya, masyarakat akan cenderung menyalahkan perempuan yang
menjadi korban karena dialah yang menjadi penyebab pertama terjadinya
pelecehan seksual.
d. Beban Kerja Lebih Berat
Adanya anggapan bahwa perempuan secara alami mempunyai sifat
rajin, teliti, lemah lembut, pemelihara dan penyayang menyebabkan mereka
dianggap paling cocok untuk bekerja mengurus rumah tangga (pekerjaan

domestik). Akibat semua pekerjaan domestik menjadi tanggungjawabnya,
maka beban pekerjaan perempuan menjadi lebih berat. Sebagai misal, pada
kalangan keluarga miskin, beban kerja perempuan menjadi berlipat ganda; di

6

samping harus membereskan urusan rumahtangga, mereka juga harus
membantu bekerja di luar rumah untuk membantu mencari nafkah tambahan
bagi keluarganya (Fakih, 1998: 34).
Ketidakadilan sangat tampak ketika realitasnya beban kerja domestik
lebih berat, paling tidak waktu yang digunakan lebih lama, tetapi sama sekali
tidak dihargai secara ekonomis, bahkan status sosialnya dalam masyarakat
dipandang lebih rendah dari pekerjaan publik.
e. Kekerasan terhadap Perempuan
Kekerasan yang menimpa perempuan pada umumnya disebabkan
karena adanya pandangan gender. Bentuk kekerasannya bisa kekerasan fisik
maupun non fisik yang terjadi di tingkat rumah tangga, negara bahkan dalam
tafsir agama.
Salah


satu

bentuk

kekerasan

terhadap

perempuan

adalah

pemerkosaan dalam perkawinan. Dengan pemahaman bahwa perkosaan
adalah suatu hubungan seksual di mana salah satu pihak tidak
menghendakinya, maka sangat mungkin perkosaan terjadi dalam kehidupan
suami istri (Dzuhayatin, 1997: 57). Banyak kaum ibu yang menyatakan
sering merasa enggan berhubungan seksual dengan suaminya karena capai
akan tetapi toh mereka tetap melayaninya. Ketidakrelaan ini tidak mereka
ekspresikan kepada suami karena berbagai faktor yang pada umumnya
dipengaruhi oleh budaya gender. Budaya gender yang disapport oleh
pemahaman agama mengajarkan bahwa istri harus selalu menyenangkan
suami, melayani dan mematuhinya betapapun sesungguhnya sang istri tidak
sedang ingin melakukannya.
2. Faktor Pendukung Tetap Eksisnya Ketidakadilan Gender
Ada beberapa faktor yang dominan, khususnya untuk kasus Indonesia,
yang menyebabkan tetap langgengnya ketidakadilan gender. Faktor-faktor
tersebut adalah:
a. Tafsir Agama
Tiga agama besar dunia (Yahudi, Kristen dan Islam) mempunyai
ajaran yang hampir sama tentang turunnya manusia pertama kali di dunia.

7

Adam dan Hawa sebagai manusia pertama harus keluar dari sorga dan turun
di dunia sebagai hukuman dari pelanggaran yang mereka lakukan. Menurut
keyakinan pemeluk ketiga agama tersebut, Hawalah yang menjadi penyebab
dari pelanggaran yang dilakukan oleh Adam, yaitu memakan buah khuldi.
Hawa yang sudah kerasukan setan terus menerus merayu Adam agar
memetik dan makan buah khuldi yang menjadi larangan Allah. Semula
Adam tetap bertahan, namun karena bujuk rayu istrinya itu akhirnya Adam
melanggar larangan di atas (Baidhawi, 1997:ix). Kisah ini dalam perspektif
kaum feminis dipandang sebagai sumber utama munculnya stereotip
patriarkhi. Maksudnya, perempuan dipandang sebagai sumber dosa dan
penggoda pria sehingga pria terjerembab ke lembah dosa.
Al-Qur`an sebagai kitab suci umat Islam sebenarnya menjelaskan
status yang setara antara laki-laki dan perempuan dalam pengertian normatif,
namun juga mengakui superioritas laki-laki dalam konteks sosial tertentu.
Akan tetapi, para teolog yang menafsirkan ajaran Al-Qur`an tersebut telah
mengabaikan konteks sosial yang dimaksud sehingga menjadikan laki-laki
sebagai makhluk superior dalam pengertian yang absolut (Engineer, 1994).
Pemahaman seperti itu mewarnai berbagai penafsiran terhadap ajaran yang
terkait dengan hubungan laki-laki dan perempuan dalam kitab suci tersebut.
b. Budaya Etnis
Budaya etnis banyak mengajarkan bias gender.

Di kalangan

masyarakat Jawa misalnya, dikenal ungkapan-ungkapan yang menyiratkan
bias gender sekaligus menempatkan perempuan sebagai makhluk yang
imperior. Ungkapan kanca wingking, swarga nunut neraka katut, wanita
panggonane dhapur, sumur lan kasur, menegaskan bahwa perempuan dalam
budaya Jawa menempati struktur kelas bawah (Fanani, 1994:116)
Bahkan, Darban (1998:184-185) dengan mengutip data sejarah yang
lebih kuno, menyatakan bahwa perempuan dalam budaya Jawa tidak lebih
hanya memiliki kedudukan dan peranan sebagai pemuas nafsu seksual dan
reproduksi. Ken Dedes yang dilukiskan dalam kitab Pararaton menunjukkan

8

hal itu. Ken Dedes digambarkan sebagai perempuan yang sangat sempurna
kecantikannya, ditambah dengan alat vitalnya yang bercahaya.
Menurut Kartodirdjo (1993), perempuan Jawa, khususnya kalangan
priyayi masih menempati posisi yang tersubordinasi dan termarginalisasi.
Perempuan tidak memiliki kebebasan sebagaimana laki-laki. Pada masa
remaja mulai dilarang banyak keluar rumah dan dibekali keterampilan untuk
menjadi ibu rumah tangga seperti memasak, merawat kecantikan dan
sejenisnya. Perempuan diarahkan ke sektor domestik, sementara di sektor
publik dibatasi, misalnya sekolah tidak perlu tinggi-tinggi. Jika tetap
memaksa untuk berkiprah di sektor publik harus memilih jenis pekerjaan
yang dikategorikan bersifat feminin. Dengan demikian, sampai saat ini,
meski dalam kualitas berbeda di masyarakat Jawa masih tetap berkembang
anggapan bahwa perempuan merupakan sosok kelas dua di bawah laki-laki.
Penempatan peran dan posisi seperti itu sudah menjadi sistem nilai
masyarakat

Jawa.

Karenanya

akan

tetap

disosialisasikan

meski

kekentalannya mulai memudar.
c. Kebijakan Pemerintah
Agama dan budaya banyak mempengaruhi pembentukan budaya
nasional. Karena budaya Islam dan Jawa mengandung muatan bias gender
yang cukup kental, sebagaimana disinggung di depan,

oleh karenanya

budaya nasional juga tidak steril dari muatan bias gender.
Jika dicermati, tidak sedikit kebijakan pemerintah yang terkait
dengan perempuan menampakkan nuansa bias gender. Sebagai contoh,
dalam organisasi-organisasi perempuan, seperti IWAPI, PKK, Dharma
Pertiwi dan Dharma Wanita yang didukung oleh kebijakan pemerintah
terdapat banyak bias gender. Organisasi-organisasi ini mengharapkan para
anggotanya ikut berperan dalam pembangunan. Peran tersebut dirumuskan
dalam Panca Dharma Wanita, yang meliputi: (1) pendamping suami, (2)
melahirkan, merawat dan membesarkan anak, (3) pengatur ekonomi rumah
tangga, (4) pencari nafkah tambahan, dan (5) sebagai anggota masyarakat ,
terutama sebagai anggota organisasi wanita, badan-badan sosial dan yang

9

sejenisnya (Rahayu, 1996: 33). Peran-peran tersebut dengan tegas
menunjukkan posisi ibu (perempuan) yang sangat kental dengan bias gender.
Dari peran-peran di atas tampak bahwa ibu (perempuan) diutamakan di
sektor domestik dan tersubordinasi di bawah bayang-bayang kekuasaan
suami.
Diakui atau tidak, kebijakan pemerintah yang bias gender akan
menghambat tereduksinya bias gender yang sedang diperjuangkan untuk
mencapai kesetaraan posisi dan peran antara laki-laki dan perempuan.
Dengan demikian, kebijakan pemerintah turut berperan dalam proses
pelanggengan budaya gender di negara ini.
B. Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang bias gender dalam buku atau kitab telah dilakukan oleh
beberapa orang. Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid dkk (2001) pernah meneliti
relasi suami istri dalam kitab Syarh ‘Uqud al-Lujjayn fi Bayan Huqûq al-Zawjayn
karya Muhammad Ibn Umar al-Banteny al-Jawy (1230/1813-1316/1898). Kitab ini
sarat nuansa ketidakadilan gender, terutama dalam pola relasi suami istri. Padahal,
kitab ini diajarkan dan ditransmisikan secara kontinyu di mayoritas pesantren selama
puluhan bahkan ratusan tahun, sehingga semakin melanggengkan pola ketidakadilan
gender dalam hubungan suami-istri.
Dalam penelitian tersebut Sinta Nuriyah dkk,

mempersoalkan kembali

secara kritis-argumentatif teks-teks keagamaan melalui metode ta’liq wa takrij alhadis terhadap hadis-hadis yang penuh misoginis (kebencian) terhadap perempuan
yang terdapat dalam kitab ‘Uqud al-Lujjayn tersebut. Dengan metode takhrij alhadits, ditemukan 26 hadits lemah (dla’if) dan 35 hadits palsu (maudlu’) dari sekitar
120-an hadits dalam kitab ‘Uqud al-Lujjayn. Dalam ilmu hadits, hadits-hadits yang
tidak jelas sumbernya, dianggap sama dengan hadits palsu (maudlu’) dan tidak
boleh dijadikan argumen agama, apalagi dijadikan dalil untuk melegitimasi
kekerasan terhadap perempuan.
Menyikapi hadits-hadits lemah, palsu dan tidak ada sumbernya di atas yang
menjadi argumen teologis untuk subordinasi dan diskriminasi terhadap perempuan,
para peneliti kemudian melakukan ta’liq; yaitu suatu metode berpikir dan

10

berkomentar secara kritis-argumentatif terhadap pemikiran Syaikh Nawawi,
pengarang kitab ‘Uqud al-Lujjayn yang dinilai kurang memiliki sensitifitas gender.
Ta’liq juga, terutama dilakukan terhadap hadits-hadits yang sanadnya dinilai sahih,
tetapi matannya dianggap bisa memunculkan pemikiran yang diskriminatif terhadap
perempuan, dengan cara mengungkapkan hadits-hadits shahih lain yang isinya lebih
adil gender, termasuk ayat-ayat al-Qur’an, analisis kebahasaan, dan fakta-fakta
sejarah yang menunjukkan kesalah pahaman terhadap perempuan. Hasil penelitian
di atas kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku oleh LKiS bekerja sama dengan
Forum Kajian Kitab Kuning dan Ford Foundation dengan judul Wajah Baru Relasi
Suami-Istri: Telaah Kitab ‘Uqud al-Lujjayn (2001).
Jika penelitian di atas mengambil Syarh ‘Uqud al-Lujjayn fi Bayan Huqûq
al-Zawjayn sebagai obyek kajian, maka dalam penelitian lain (2005) Sinta Nuriyah
langsung menjadikan kitab ‘Uqud al-Lujjayn fi Bayan Huqûq al-Zawjayn karya
Syekh Nawawi Banten pada abad ke-19 sebagai obyeknya. Kitab ini hingga
sekarang termasuk dalam kitab kuning yang masih dipelajari di pesantren sebagai
patokan relasi sosial suami-istri. Penelitian ini melibatkan beberapa pakar, yaitu:
Husein Muhammad, Nazaruddin Umar, Attashendartini Habsjah, A Luthfi Fathullah,
Badriyah Fayumi, Nur Ro’fiah, Arifah Khoiri Fauzi, Faqihuddin Abdul Kodir, dan
Zuhairi Misrawi.
Berbeda dengan penelitian terdahulu yang berpendekatan khas pesantren,
penelitian yang hasilnya dibukukan dengan judul

“Kembang Setaman

Perkawinan” (2005) ini menggunakan pendekatan akademis. Dalam pendekatan ini,
dieksplorasi lebih luas dan lengkap latar belakang sosio-kultural pemikiran,
paradigma pemikiran, filsafat keilmuan, konsep dan teori yang mendasari pemikiran
seputar persoalan relasi suami-istri yang termuat dalam kitab ‘Uqud al-Lujjayn.
Dengan pendekatan akademis seperti itu, pembaca akan lebih tahu secara mendalam
alasan-alasan rasional dan argumentasi-argumentasi ilmiah mengapa pemikiranpemikiran bias gender yang termuat dalam kitab ‘Uqud al-Lujjayn karya Syeikh
Nawawi perlu direinterpertasi agar lebih berorientasi keadilan gender.
Kitab ‘Uqud Al-Lujjayn menginterpretasi Ayat 228 Surat Al Baqarah, dengan
menyebut hak dan kewajiban suami-istri yang seimbang kecuali dalam hubungan

11

seksual, dan bahwa suami memiliki hak lebih atas istri serta istri wajib mematuhi
karena suami bertanggung jawab memberi mas kawin dan nafkah untuk keluarga.
Sinta Nuriyah dan kawan-kawan melakukan reinterpretasi terhadap pandangan di
atas dengan mengutip pendapat Imam Al-Ghazali yang membuang penekanan pada
aspek hubungan seksual sebagai manfaat perkawinan. Selain itu diingatkan
mengenai hubungan sehari-hari suami-istri menurut Imam Baidhawi, yaitu
pembagian kerja rumah tangga yang adil dan penuh tenggang rasa, komunikatif di
antara suami istri, dan anak-anak menggunakan bahasa yang lemah lembut, sopan,
mesra, berdasarkan akhlak karimah.Mengenai hak suami yang lebih besar dari istri
karena suami memberi nafkah keluarga, para peneliti menyebutkan, saat ini ada
kenyataan cukup banyak perempuan memiliki penghasilan sendiri dan bahkan
menjadi kepala keluarga. Dengan demikian, bila laki-laki tidak dapat memenuhi
kewajibannya dan yang menjadi tulang punggung keluarga adalah perempuan, maka
kelebihan itu menjadi milik perempuan. Dengan demikian,

kelebihan tersebut

sebetulnya tidak ada hubungannya dengan jenis kelamin.
Contoh lain adalah soal kekerasan domestik. Kitab ‘Uqud Al-Lujjayn
menyebutkan, suami boleh memukul istri bila menolak berhias, menolak ajakan
tidur, keluar rumah tan izin, memukul anak yang masih kecil yang menangis,
memaki orang lain, menyobek pakaian suami, menarik jenggot suami sebagai
penghinaan, mengucapkan kata-kata tidak pantas meskipun suami memaki lebih
dulu, menampakkan wajah kepada laki-laki lain yang bukan muhrim, memberi
sesuatu dari harta suami di luar adat kebiasaan, dan menolak menjalin hubungan
kekeluargaan dengan saudara suami. Mengenai pandangan ini, tim peneliti
mengingatkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak pernah memukul istrinya, tidak
pernah menyuruh memukul istri, bahkan melarang memukul istri. Menurut para
peneliti, 11 catatan tentang hak suami memukul istri adalah pendapat pribadi penulis
‘Uqud Al-Lujjayn yang bila dihadapkan dengan hadis Nabi SAW sangat bertolak
belakang.
Terkait dengan bolehnya fenomena poligami yang diulas juga dalam kitab,
tim peneliti mengingatkan, walaupun Al-Quran membolehkan laki-laki menikahi
sampai empat istri, tetapi Surat An-Nisa Ayat 3 memberi pagar, yaitu bila takut tidak

12

dapat berbuat adil, maka menikahlah hanya dengan satu orang saja. Begitu pula
surat An-Nisa` Ayat 129 memberi penekanan bahwa aspek keadilan itu tidak dapat
dipenuhi setiap manusia.
Penelitian lain tentang bias gender dalam buku agama Islam dilakukan oleh
Achmad Muthali’in (2001). Hanya saja penelitian terhadap buku teks pendidikan
Agama Islam di Sekolah Dasar ini

merupakan bagian kecil dari keseluruhan

penelitian yang berusaha mengungkap bias-bias gender dalam proses pembelajaran.
Terkait bias gender dalam buku-buku teks Pendidikan Agama Islam yang dijadikan
buku pegangan guru dan siswa, penelitian lapangan yang mengambil lokasi di SD
Negeri Kleco I Surakarta, SD Taman Siswa Yogyakarta dan SD Muhammadiyah I
Surakarta ini menyimpulkan bahwa dalam buku-buku teks tersebut terdapat banyak
konsep yang bias gender.
Setelah dikelompokkan, bias gender dimaksud mensosialisasikan bias yang
bersifat feminin, peran domestik, serta subordinasi atau marginalisasi bagi kaum
perempuan dan sebaliknya mensosialisasikan sifat maskulin, peran publik dan
mendominasi bagi kaum laki-laki. Bias yang dimaksud termanifestasi dalam
berbagai rumusan dan gambar suasana, kegiatan, aktivitas, penggambaran, profesi,
peran, permainan, kepemilikan, tugas dan tanggungjawab yang dimiliki atau
dibebankan pada masing-masing jenis kelamin (Achmad Muthali’in, 2001: 103).
Sayangnya penelitian ini tidak sampai menganalisa bias gender dalam nilai-nilai
atau norma-norma yang diajarkan buku-buku Pendidikan Agama Islam tersebut
yang justru –menurut pendapat penulis- sangat mempengaruhi corak pandang guru
dan siswa terhadap norma-norma yang mengatur relasi laki-laki dan perempuan.
Bab 4: Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui materi yang dibahas dalam buku-buku tuntunan hidup berumah
tangga.
2. Mengetahui kualitas hadits-hadits yang termuat dalam buku-buku tuntunan
hidup berumah tangga.
3. Mengetahui bentuk-bentuk bias gender yang terdapat dalam buku-buku tersebut

13

Bab 5: Kontribusi Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi sebagai berikut:
1.

Bagi kalangan penulis dan penerbit buku, hasil penelitian diharapkan
memberikan sumbangan pemikiran tentang perlunya melakukan revisi dan
rekonstruksi materi buku-buku tuntunan hidup rumah tangga yang terbukti
secara ilmiah banyak mengandung bias gender ke arah materi yang mempunyai
sensivitas dan berwawasan gender.

2.

Bagi masyarakat umum, terutama umat Islam, hasil penelitian diharapkan
menjadi bahan rujukan dalam rangka menumbuhkan dan mempertajam
sensitivitas gender dalam berbagai aspek kehidupan baik di ranah domestik
maupun publik.

Bab 6: Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research). Obyek
utama penelitian adalah teks-teks yang termuat dalam buku-buku tuntunan hidup
berumahtangga. Buku-buku tersebut adalah: Mencapai Pernikahan Barakah
(Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004) dan Memasuki Pernikahan Agung (Yogyakarta:
Mitra Pustaka, 1999), keduanya karya M. Fauzil Adhim, Keluarga Sakinah Tinjauan
Psikologi dan Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) karya Hasan Basri, Keluarga
Surgawi Empat Puluh Kiat Menjadikan Rumah Tangga Laksana Surga (Bandung:
Mujahid Press, 2005), karya Muhammad Shalih Al-Munajjid, 60 Pedoman Rumah
Tangga Islamy (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), gubahan M. Thalib, Membimbing
Istri Mendampingi Suami Pegangan Buat Pengantin Baru Muslim (Yogyakarta: Mitra
Pustaka, 2003) yang disusun oleh Fuad Kauma dan Nipan, Melahirkan Anak
Berkualitas (Solo: Ramadhani, 1992) karya Syahras Obos dan Syahidin serta buku
karya Mahfudli Sahli berjudul Etika Sexual (Pekalongan: Bahagia, 1999)
Norma-norma yang mengatur relasi gender antara laki-laki dan perempuan
dalam buku-buku tersebut akan dikaji dan dianalisis dengan metode content analysis
(analisis isi). Lebih kongkritnya tema-tema yang mengandung ketidakadilan gender
dalam buku-buku tuntunan hidup berumahtangga di atas dianalisis secara mendalam.
Ayat al-Qur’an yang disajikan dicari asbabun nuzulnya (sebab turunnya). Demikian

14

juga hadits-hadits yang menjadi rujukan diupayakan ditakhrij (diketahui kualitasnya;
apakah sahih, hasan, dha’if atau maudhu’) dan diketahui konteks sosio-kultural saat
hadits lahir (asbab al-wurud) sehingga dapat diketahui layak tidaknya menjadi hujjah
(legitimasi hukum) atas tema atau persoalan yang sedang disajikan. Dalam proses
analisis isi dilakukan pula komparasi dengan pandangan-pandangan para mufassir
(ulama penulis kitab tafsir) seperti Az-Zamakhsyari (467-538), Muhammad Abduh, Said
Hawwa, Quraisy Syihab dan sebagainya. Demikian juga akan dikomparasikan dengan
pandangan para feminis muslim seperti Amina Wadud Muhsin, Asghar Ali Engineer,
Riffat Hasan, Qasim Amin serta para feminis muslim tanah air seperti Nasaruddin
Umar, Yunahar Ilyas, Ruhaini Dzuhayatin dan sebagainya.
Bab 7: Jadwal Pelaksanaan
NO
1

URAIAN KEGIATAN

4

Telaah terhadap pemahaman ayat-ayat
Al-Qur’an tentang relasi suami istri
yang terdapat dalam buku-buku
tuntunan hidup berumah tangga
Telaah terhadap pemahaman haditshadits tentang relasi suami istri yang
terdapat dalam buku-buku tersebut
Mengkomparasikan hasil telaah pada
no. 1 dan 2 dengan penafsiran para
mufassir dan kaum feminis muslim
Analisa data

5
6
7
8
9

Penyusunan laporan penelitian
Seminar hasil penelitian
Perbaikan hasil penelitian
Penggandaan hasil penelitian
Penyerahan hasil penelitian

2
3

1

2

Bulan ke
3 4 5 6

7

8

DAFTAR PUSTAKA

15

Adhim, M.Fauzil, 2004, Mencapai Pernikahan Barakah, Yogyakarta: Mitra Pustaka.
______, Memasuki Pernikahan Agung, 1999, Yogyakarta: Mitra Pustaka.
Al-Munajjid, Muhammad Shalih, 2005, Arba’ûna Nashîhah li Ishlâhil Buyût, terj.
Keluarga Surgawi Empat Puluh Kiat Menjadikan Rumah Tangga Laksana
Surga, Bandung: Mujahid Press.
Baidan, Nashruddin, 1999, Tafsir bi al-Ra’yi: Upaya Penggalian Konsep Wanita
dalam Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Baidhawy, Zakiyudin, 1997, Wacana Teologi Feminis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Basri, Hasan, 1999, Keluarga Sakinah Tinjauan Psikologi dan Agama, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar.
Al-Bantaniy, Muhammad Nawawi, t.t., ‘Uqud al-Lujjain.
Darban, Ahmad Adaby, 1998, Peranan Perempuan dalam Kebudayaan Jawa:
Perspektif Historis, Dalam Bainar (Ed.), Wacana Perempuan dalam
Keindonesiaan dan Kemodernan, Jakarta: CIDES-UII.
Departemen Agama RI, 2000, Membina Keluarga Bahagia Sejahtera, Yogyakarta:
BP4 DIY.
Dhafir, Zamakhsyari, 1982, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai,
Jakarta: LP3ES.
Dzuhayatin, Siti R., 1997, Agama dan Budaya Perempuan: Mempertanyakan Posisi
Perempuan dalam Islam, dalam Sangkan Paran Gender, Irwan Abdullah (ed),
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
______dkk, 1998, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam
Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Endang, Anastasia dan Setyawati, 1992, Penelitian yang berwawasan Wanita, Jakarta:
Proyek Studi Gender dalam Pembangunan, FISIP UI.
Engineer, Asghar A., 1994, Hak-hak Perempuan dalam Islam, (terj.) oleh Farid Wajdi
dan Cici Farkha Assegaf, Yogyakarta: Bentang Budaya.
Fanani, Zainuddin, 1994, Pandangan Dunia KGPAA Mangkunegoro I dalam Babad
Tutur, Sebuah Rekonstruksi Budaya, Surakarta: Muhammadiyah University
Press.
Hawwa, Said, 1989, Al-Asas fi at-Tafsir, Kairo: Dar as-Salam.
16

Ilyas, Yunahar, 1996, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an (Klasik dan
Kontemporer), Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jurnal Analisis Sosial, 1996, Analisis Gender dalam Memahami Persoalan
Perempuan, Bandung: Akatiga, Edisi IV.
Kauma, Fuad, Nipan, 2003, Pegangan Pengantin Muslim Membimbing Istri
Mendampingi Suami, Yogyakarta: Mitra Pustaka.
Kartodirdjo, Sartono, 1993, Perkembangan Peradaban Priyayi, Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
Khilmiyah, Akif, 2000, Ketidakadilan Gender dalam Rumah Tangga Keluarga
Muslim, Jurnal Profetika, Vol.2.
Mansur Faqih, 1997, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Mastuhu, 1994, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS
Mernissi, Fatima, 1991, Wanita di dalam Islam, terj. Oleh Yaziar Radianti, Bandung:
Pustaka.
Muhammad, Husein, 2002, Fiqh Perempuan: Refleksi Kyai atas Wacana Agama dan
Gender, Yogyakarta: LkiS.
Muhsin, Amina Wadud, 1994, Wanita di dalam Al-Qur’an, terj. Yaziar Radianti,
Bandung: Pustaka.
Nuriyah, Sinta, dkk, 2005, Kembang Setaman Perkawinan Analisis Kritis Kitab ‘Uqud
Al-Lujjayn, Jakarta: Kompas.
______, 2001, Wajah Baru Relasi Suami-Istri: Telaah Kitab ‘Uqud al-Lujjayn,
Yogyakarta: LKiS bekerja sama dengan FK3 & Ford Foundation.
Obos, Syahrah, Syahidin, 1995, Melahirkan Anak Berkualitas, Solo: Ramadhani.
Prasetyo, Eko, Marzuki, 1997, Perempuan dalam Wacana Perkosaan, Yogyakarta:
PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia)
Rahayu, Ruth Indah, 1996, Politik Gender Orde Baru, Tinjauan Organisasi
Perempuan Sejak Tahun 1980-an, dalam Majalah Prisma, No. 5 tahun 1996,
Jakarta: LP3ES.
Sahli, Mahfudli, 1999, Etika Seksual, Pekalongan: Bahagia.

17

Shihab, M.Quraisy, 1996, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan.
Subhan, Zaitunah, 1999, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir al-Qur’an,
Yogyakarta, LkiS.
Thalib, M, 1993, 60 Pedoman Rumah Tangga Islamiy, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Umar, Nasarudin, 1999, Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif Al-Qur’an, Jakarta:
Paramadina.
Az-Zamakhsyari, Abu al-Qasim Mahmud ibn ‘Umar, 1977, Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq atTanzil wa ‘Uyun al-Aqawil, Beirut: Dar al-Fikr.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENELITI

18

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Nama
NIK
Tempat dan tanggal lahir
Pangkat/Golongan
Jabatan Akademik
Jurusan/Fakultas

:
:
:
:
:
:

7.

Alamat Kantor

:

8.

Alamat Rumah

:

Dra. Siti Bahiroh, M.Si.
113.009
Bantul, 9 September 1964
Penata/IIIc
Lektor
Komunikasi dan Penyiaran Islam/Fakultas Agama
Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Kampus UMY Jl. Ring Road Barat, Tamantirto,
Bantul, Yogyakarta, Telp. 0274-387656
Piringan Pendowoharjo Sewon Bantul Yogyakarta,
telp. 0274-367566

9.

Latar Belakang Pendidikan :
a. SD Negeri Cepit III Bantul (lulus tahun 1976)
b. MTsN Bantul Kota Bantul (lulus tahun 1980)
c. SMA Muhammadiyah Bantul (lulus tahun 1983)
d. Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta (lulus tahun 1991)
e. Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada (Lulus tahun 2002)
10. Riwayat Pekerjaan:
a. Dosen Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam FAI UMY (1991-sekarang)
b. Pembantu Dekan II FAI UMY (1993-1996)
c. Pembantu Dekan I FAI UMY (1996-1998)
d. Koordinator Bidang II Program Pascasarjana MSI UMY (2002-sekarang)
11. Pengalaman Mengelola Jurnal:
a. Redaksi Jurnal Orientasi (1998-2003)
12. Pengalaman Penelitian:
a. Pemanfaatan Informasi Media Massa oleh Muballigh Kabupaten Bantul (2001)
b. Dinamika Kelompok-kelompok Strategis di Persyarikatan Muhammadiyah
Daerah Istimewa Yogyakarta (2002)
c. Pola Pembinaan Keluarga Musli (Studi Kasus Keluarga Muhammadiyah di
Sewon Bantul) (2003)
d. Budaya Nyadran di Desa Pendowoharjo Sewon Bantul (2004)
e. Konflik Islam Modernis dengan Islam Tradisionalis (Studi Kasus Dusun Sakulan)
(2005)
Yogyakarta, 23 Maret 2006
Peneliti,

Dra. Siti Bahiroh, M.Si.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENELITI

19

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Nama
NIK
Tempat dan tanggal lahir
Pangkat/Golongan
Jabatan Akademik
Jurusan/Fakultas

:
:
:
:
:
:

7.

Alamat Kantor

:

8.

Alamat Rumah

:

Drs. Marsudi, M.Ag.
113.019
Bantul, 7 Januari 1967
Penata/IIIc
Lektor
Pendidikan Agama Islam/Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Kampus UMY Jl. Ring Road Barat, Tamantirto,
Bantul, Yogyakarta, Telp. 0274-387656
Kembangkerep, Srihardono, Pundong, Bantul,
Yogyakarta, Telp. 0274-7472556

9.

Latar Belakang Pendidikan :
a. SD Negeri Pundong II Bantul (Lulus tahun 1980)
b. SMP Negeri Panjangrejo Pundong Bantul (Lulus tahun 1983)
c. SMA Negeri I Bantul (Lulus tahun 1986)
d. Jurusan Sastra Arab Universitas Gajah Mada Yogyakarta (Lulus tahun 1992)
e. Program Pascasarjana UIN Sunankalijaga (Lulus tahun 2004)
10. Riwayat Pekerjaan:
a. Dosen Jurusan Pendidikan Agama Islam FAI UMY (1993-sekarang)
b. Kepala Laboratorium FAI UMY (1996-1998)
c. Pembantu Dekan II FAI UMY (1998-2002)
11. Pengalaman Mengelola Jurnal:
a. Redaksi Jurnal Orientasi (1998-2003)
b. Redaksi Afkaruna (2003-sekarang)
12. Pengalaman Penelitian:
a. Insya’ Thalabi Fi Qishati Qatili Hamzah Li Najib Al-Kailani (1999)
b. Cerita Israiliyyat dalam Literatur Pesantren (1999)
c. Profil Sekolah Muhammadiyah di Kota Madya Yogyakarta (2000)
d. Kualitas Hadits dalam Kitab As-Salikin Ila ‘Ibadat Rabb al-‘Alamin (2000)
e. Metode Terjemah Teks Arab di Pesantren (2001)
f. Konversi Agama dari Islam ke Kristen (Studi Kasus Sumardi dan Murniyati)
(2003)
g. Sensitivitas Gender Para Da’i di Daerah Istimewa Yogyakarta (2004)
h. Bias Gender dalam Khotbah Nikah (Studi Kasus di Daerah Istimewa Yogyakarta)
(2005)
Yogyakarta, 23 Maret 2006
Peneliti,

Drs. Marsudi, M.Ag.

20

21