SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL DAN KURIKULUM

SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL DAN KURIKULUM
DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ANTROPOLOGI
Dr. Hipolitus K. Kewuel, M.Hum
Universitas Brawijaya Malang
hipopegan@ub.ac.id
ABSTRAK
Pendidikan di negeri ini hampir selalu menjadi perbincangan tanpa kata sepakat. Selalu
saja ada sisi yang tertinggal bahkan terlupakan pada setiap pembicaraan tentangnya.
Sistem pendidikan Nasional dan Kurikulum adalah dua bentuk upaya formal tata kelola
pemerintahan yang idealnya diharapkan mampu melahirkan generasi manusia Indonesia
yang berwawasan Pancasila dan berkharakter Bhineka Tunggal Ika. Tulisan ini tidak
dimaksudkan untuk menganalisis benang ruwet pendidikan saat ini, tetapi lebih
dimaksudkan untuk memberi sumbangan pemikiran dari kaca mata filsafat antropologi
dengan asumsi bahwa melalui sistem pendidikan nasional dan kurikulum, aktivitas
pendidikan harus dimulai dari dan diproses terus menerus dalam pemahaman yang
benar tentang siapakah makhluk manusia itu dan bagaimana seharusnya ia didekati
melalui aktivitas pendidikan. Pertama-tama, manusia harus didekati sebagai makhluk
hidup yang memiliki kharakter khas yang berbeda satu dari yang lain dengan
kompleksitas afektivitas yang beragam ditambah faktor budaya dan sejarah hidup
masing-masing pribadi yang berbeda-beda pula. Kedua, manusia harus didekati sebagai
makhluk berpikir yang mengerti, memiliki pengetahuan, dan mampu berbicara

mengungkapkan pengetahuan itu sebagai hasil olah pikir yang terus berproses dalam
hidupnya dari saat ke saat. Ketiga, manusia harus didekati sebagai makhluk yang
memiliki kebebasan dalam menjalani hidupnya sendiri sekaligus sebagai tanda bahwa
masing-masing manusia itu unik dan khas. Singkatnya, tulisan ini mau menegaskan
bahwa sistem pendidikan nasional dan kurikulum harus juga selalu mempertimbangkan
sisi filsafat antropologi sebagai dasar dan patokan dalam setiap program
pengembangannya.
Kata Kunci: Sistim Pendidikan Nasional, Kurikulum, Filsafat Antropologi
ABSTRACT
Talking about education in this country is still debatable among experts. Some aspects
of the discussion have been frequently ignored even forgettable closely related to
philosophical considerations. National education system and curriculum are a
government management in order to produce the next young generation having a good

Pancasila and Bhineka Tunggal Ika mind set. The article prefers contributing some idea
of anthropology philosophy point of view to analyzing the complicated problem of
education nowadays. It means that national education system and curriculum must be
started and processed continually in the good understanding about who people are and
how they must be approached by education activities. Firstly, the people must be
viewed as unique human being having various complicated affectivity, culture, and story

of life. Surely, it is very important to begin the real education process. Secondly, the
people must be approach as cognitive human being having understanding, knowledge,
and capability to explore what they have known and understood in their whole life.
Thirdly, people must be approached as free will human being in developing and creating
their own life. Thus, the appropriate national education system and curriculum are based
on the anthropology philosophy point of view.
Key Word: National education system, Curriculum, Philosophy of Anthropology
1. Pengantar
Pendidikan adalah aktivitas khas manusia untuk semakin memperadab hidupnya sendiri.
Dalam bahasa lain yang lebih tersohor, pendidikan adalah proses sadar manusia untuk
memanusiakan dirinya sendiri. Ini berarti kegiatan pendidikan dapat dipahami sebagai suatu
bentuk tanggungjawab yang melekat dalam kemanusiaan masing-masing pribadi manusia.
Setiap manusia bertanggungjawab atas dirinya sendiri untuk semakin sempurna dalam
kemanusiaanya. Setiap manusia harus terus berproses menuju kesempurnaan hidupnya sendiri
dan itulah sesungguhnya makna dari prinsip long life education. Singkatnya, dalam kegiatan
pendidikan, setiap manusia adalah pendidik utama bagi dirinya sendiri sebagai tugas dan
tanggungjawab kemanusiaannya yang tidak bisa terwakilkan.1
Persoalannya, demi tata hidup bersama, makna pendidikan kemudian dengan sengaja
direduksi demi kepentingan hidup bersama pula. Hal ini membawa konsekuensi bahwa
pendidikan dalam arti tertentu beralih makna dari tugas yang melekat pada masing-masing

pribadi manusia (alat peradaban dari dalam diri manusia sendiri) menjadi alat bantu di tangan
penguasa atau otoritas untuk memperadab manusia dari luar diri manusia itu sendiri. Hal lain
lagi, pendidikan yang dirancang demi memperadab manusia itu tentu memiliki tujuan dan
ideologi tertentu yang harus dicapai dalam kegiatan pendidikan itu juga. Dalam konteks ini,
ada hal penting yang seharusnya terus diwaspadai bahwa meskipun tujuan pendidikan itu
berwawasan universal, ia tetap harus memiliki orientasi pertimbangan dan perhatian demi
1 Pemikiran ini mungkin saja kurang sejalan dengan pemahaman-pemahaman tentang essensi pendidikan yang kita
kenal selama ini. Ki Hadjar Dewantara misalnya merumuskan pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia
secara manusiawi. Ini berarti tersirat makna bahwa pendidikan adalah sesuatu yang dilakukan oleh orang lain dari
luar subjek didik. Hal ini tidak bisa dipungkiri, namun sekaligus mengandung makna bahwa subjek didik sendiri
memiliki tanggungjawab pribadi yang tak terperikan sehingga kemudian melahirkan konsep ‘bantuan’. Bdk.
Habermas, Jurgen, 1984. The Theory of Communicative Action. Volume One: Reason and the Rationalization of
Society (terjemahan T. McCarthy, Boston, Massaachusetts: Beacon Press. Bdk. Juga Neil, Sutherland, Alexander,
1968. Summerhill, Penguin Books: Harmondsworth, p. 111

perkembangan yang otentik dari setiap individu manusia yang terlibat di dalamnya. Tanpa
pertimbangan ini, pendidikan demi hidup bersama hanya akan melahirkan problem
kemanusiaan yang lebih ruwet lagi.2
Tulisan ini dimaksudkan untuk memberi pertimbangan-pertimbangan dari sudut pandang
filsafat antropologi agar rancangan pendidikan dalam tata hidup bernegara di Indonesia tetap

berjalan di atas rel essensi pendidikan yang sesungguhnya. Hal ini penting agar tujuan luhur
Pancasila dan UUD 1945 yang tertuang dalam konsep pendidikan nasional Indonesia tidak
berkembang dalam pemahaman yang semakin menjauh dari essensi dasar pendidikan yakni,
menjadi alat bantu bagi manusia Indonesia untuk semakin menjadi diri sendiri yang dijiwai
oleh Pancasila dan disemangati dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
2. Manusia adalah Makhluk Hidup.
Sebagai makhluk hidup, manusia memiliki beberapa ciri khas yang tidak dimiliki oleh
makhluk bukan hidup. Hal ini berarti bahwa segala model pendekatan terhadap manusia harus
mempertimbangkan hal-hal tersebut sebagai dasar perlakukan terhadap manusia secara benar
dan tepat. Pendidikan adalah salah satu proses kegiatan untuk memanusiakan manusia yang
harus dilaksanakan di atas dasar kesadaran ini. Tanpa hal ini, proses pendidikan hanya akan
memperlakukan manusia sebagai objek (benda mati), tanpa jiwa, tanpa kemampuan internal
untuk membentuk dan memanusiakan dirinya sendiri. Atas dasar itulah perlu dikenal ciri-ciri
manusia sebagaimana makhluk hidup pada umumnya3.
Ciri pertama, manusia memiliki kemampuan untuk melakukan asimilasi.4 Hal ini mau
menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk hidup yang memiliki kemampuan internal dalam
dirinya sendiri untuk melakukan kegiatan pengembangan diri (self development) dengan
mengubah atau mengolah setiap stimulus yang diterimanya dari luar untuk kemudian dicerna
sampai menemukan substansinya dalam diri manusia itu sendiri. Dalam hal pertumbuhan
fisik, hal ini mudah dimengerti. Tubuh manusia telah dilengkapi mekanisme khas untuk

mengubah setiap makanan yang dimakan dan minuman yang diminum untuk membuat
manusia berkembang secara fisik dari hari ke hari sejak lahir hingga akhir hidupnya. Makanan
dan minuman yang berguna diolah menjadi daging dan secara signifikan membawa
pertumbuhan bagi fisik manusia. Makanan dan minuman yang tidak berguna telah diatur juga

2 Tentang hal ini, Driyarkara mengupasnya dengan sangat mendasar dalam tulisan-tulisannya mengenai
‘Problematika Pendidikan’, khususnya sub pembahasan tentang ‘Pendidikan dan Eksistensia Manusia’. Bdk.
Sudiardja, SJ, A., Dkk. (Penyunting), 2006. Karya Lengkap Driyarkara: Esai-esai Filsafat Pemikir yang Terlibat
Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, Gramedia: Jakarta. Hal. 272.
3 Tema ini secara menarik diuraikan dalam; Leahy, Louis, 1989. Manusia: Sebuah Misteri, Gramedia: Jakarta, hal.
44-52. Ciri khas makhluk hidup ditegaskan dalam perbandingannya dengan cara kerja mesin yang dewasa ini
diciptakan seolah-olah untuk menduplikasi pola kerja makhluk hidup. Namun, menurut Leahy, upaya duplikasi ini
tetap tidak bisa menghilangkan secara total ciri khas makhluk hidup.
4 Ibid. hal. 45

oleh mekanisme tubuh manusia untuk dikeluarkan kembali dari dalam tubuh dan dibuang ke
tempat sampah yang dibuat khas dan eksklusif.
Dalam konteks pendidikan, perlu ada kesadaran bahwa ilmu atau informasi apa pun yang
diberikan kepada manusia, betapa pun bodohnya dia, masih terdapat kemampuan asimilasi
miliknya yang tidak bisa dicampuri atau ditembusi oleh siapa pun. Sebagaimana makanan dan

minuman yang disortir secara alamiah tanpa seorang pun tahu secara persis cara kerjanya,
demikian pula, ilmu atau informasi yang masuk dalam diri seorang manusia, pasti ada proses
asimilasi yang mengikutinya untuk membuatnya menjadi semakin manusiawi. Ini berarti
dalam proses pendidikan ada suatu mekanisme internal milik pribadi setiap manusia yang
tidak bisa dicampuri oleh siapa pun.
Salah satu aspek penting dalam pendidikan yang nampaknya menjadi penanda utama
adalah kegiatan belajar mengajar yang cenderung diatur secara formal dan bersifat mengikat.
Tanpa ada pemahaman yang benar tentang kemampuan asimilasi yang ada pada setiap
manusia, pengajaran sebagai bagian yang tidak terlepas dari pendidikan akan cenderung
membawa dampak yang kurang mengungtungkan karena ia berubah fungsi menjadi ‘alat
pemaksaan’ yang tidak mempedulikan proses alamiah asimilasi. Skinner, seorang psikolog
yang juga tekun mengembangkan teori-teori tentang teknologi pembelajaran bahkan pernah
berpendapat bahwa mengajar adalah proses mempercepat kegiatan belajar siswa. Namun
menurutnya, siswa sesungguhnya dapat belajar tanpa pengajaran. Mengajar adalah kegiatan di
mana guru menciptakan kondisi agar siswa dapat belajar lebih efektif dan lebih cepat. 5
Dengan ini, secara tidak langsung, Skinner hendak mengatakan bahwa kegiatan mengajar
adalah suatu aktivitas percepatan pemerolehan pengetahuan yang secara essensial bertolak
belakang dengan proses asimilasi yang ada dalam diri manusia.
Ciri kedua, manusia memiliki kemampuan untuk memperbaiki dan memulihkan berbagai
hal yang tidak beres dalam dirinya sendiri.6 Manusia sebagaimana makhluk hidup pada

umumnya memiliki kemampuan luar biasa ini dari dalam (substansi) dirinya sendiri yang
melekat dan dibawanya sejak lahir. Kemampuan itu lahir dari proses organismenya sendiri
tanpa dibutuhkan campur tangan dari luar, kecuali Tuhan dari sudut pandang Agama.
Maka, campur tangan pihak luar, kecuali Tuhan, betapa pun hebatnya hanya menjalani
fungsi supporting yang tidak mungkin menggantikan kemampuan dasar ini. Hal ini sangat
nampak ketika tubuh manusia mengalami luka fisik. Secara otomatis, ada mekanisme dalam
tubuh manusia yang spontan bereaksi untuk memulihkan luka itu. Temuan dunia kedokteran
untuk mengobati luka adalah hal yang sangat penting dan berguna. Namun, temuan-temuan
itu tidak secara sempurna bisa menggantikan obat utama (inner power) yang berasal dari
dalam diri manusia sendiri. Untuk memaksimalkan temuan-temuan itu tetap diperlukan
adanya aturan main dan mekanisme pengobatan yang memerlukan waktu studi dan
pendalaman yang seksama. Misalnya komposisi racikan, pengaturan dosis dan lain-lain.
5 Skinner, Burrhus Frederic, 1968. The Technology of Teaching, Appleton-Century-Crofts: New York. Hal. 101
6 Leahy, Louis, Op.Cit.

Semua ini dimaksudkan supaya bisa mencapai hasil maksimal, yakni luka menjadi sembuh
lebih cepat dan manusia tidak lagi terganggu dalam menjalani aktivitasnya.
Dalam konteks pendidikan, dengan ini perlu disadari bahwa sebagai makhluk hidup,
manusia sesungguhnya memiliki kemampuan untuk melakukan seleksi atas setiap informasi
yang menghampiri dirinya termasuk informasi dalam konteks pendidikan. Dengan demikian,

informasi pendidikan haruslah tetap dipandang sebagai hamparan informasi, alternatif
tawaran yang hadir dan dihadirkan begitu saja di depan peserta didik. Di hadapan peserta
didik yang adalah manusia, informasi pendidikan tidaklah lebih tinggi tingkatannya dibanding
dengan informasi-informasi lain pada umumnya. Semua informasi itu di hadapan manusia
mempunyai potensi yang sama untuk ditanggapi atau tidak ditanggapi, diakui atau ditolak.7
Tanggapan dan pengakuan terhadap informasi-informasi yang datang silih berganti itu,
sekaligus bisa menjadi proses perbaikan dan pemulihan atas informasi-informasi sebelumnya.
Perbaikan dan pemulihan itu pasti juga melewati proses seleksi dan pertimbangan yang
berjalan alami dalam diri manusia sebagai makhluk hidup. Maka, format pendidikan yang
cenderung memaksakan kehendak demi penyeragaman manusia yang bervariasi adalah model
pendidikan yang asing dan jauh dari prinsip kemanusiaan. Format pendidikan yang dirancang
melalui sistem pendidikan nasional dan kurikulum harus memberi ruang yang seluas-luasnya
bagi tanggapan peserta didik untuk mengakui atau menolak informasi-informasi itu.
Ciri ketiga, manusia sebagaimana makhluk hidup pada umumnya memiliki kemampuan
untuk mereproduksi atau melipatgandakan dirinya.8 Jalan pelipatgandaan diri manusia pun
unik, tidak sekedar melipatganda, tetapi selalu karena didorong oleh perasaan cinta, rasa
saling menyatu satu sama lain sebagai awal pelipatgandaan diri. Tanpa cinta dan ketertarikan,
mustahil proses reproduksi di antara manusia berjalan baik dan normal. Ciri pelipatgandaan
diri beserta seluruh prosesnya ini penting demi pelestarian hidup manusia dan keturunannya.
Kualitas proses pelipatgandaan yang kurang baik dan sempurna akan membawa pengaruh

pada kualitas hidup manusia-manusia yang terlibat di dalamnya, termasuk kualitas manusia
baru hasil direproduksi dan demikian selanjutnya proses reproduksi akan mengalirkan kualitas
reproduksi baru yang semakin jauh dari apa yang diharapkan.
Dalam konteks pendidikan, kemampuan reproduksi manusia ini dapat dimengerti
sebagai bagian penting dari proses memanusiakan manusia. Dengan demikian, pendidikan
adalah salah satu proses reproduksi untuk menghasilkan manusia unggul yang dalam konteks
Indonesia berarti menghasilkan manusia yang berjiwa Pancasila dan berkharakter Bhineka
Tunggal Ika. Persoalannya, proses reproduksi manusia yang khas ini, dalam konteks
pendidikan perlu didukung oleh adanya “relasi cinta” antara pendidik dan peserta didik.
Relasi cinta yang dimaksudkan di sini adalah relasi di mana pendidik dan peserta didik samasama merasa nyaman dan terutama merasa saling membutuhkan satu sama lain dalam proses
pendidikan itu. Kedua belah pihak harus saling memperhatikan untuk memberi yang terbaik
bagi partnernya. Tentu saja, sesuatu yang baik itu tidak hanya dalam pandangan sepihak,
7 Hal ini akan lebih didalami pada point pembahasan 4 di naskah ini juga tentang manusia sebagai makhluk bebas.
8 Louis Leahy, Op.Cit.

tetapi terlebih adalah yang terbaik untuk partnernya. Bahkan, kadang-kadang demi yang
terbaik untuk partnernya, dirinya sendiri menjadi tidak nyaman dan boleh jadi terganggu.
Relasi cinta yang demikian inilah yang akan memberi kulitas pada apa yang akan dihasilkan
dalam proses pendidikan. Tanpa kualitas relasi semacam ini, proses pendidikan akan
berlangsung hambar, tanpa rasa, membosankan, dan tidak menghasilkan buah bernas. Yang

akan ada hanyalah protes, keluhan, dan sejenisnya yang akhir-akhir ini banyak kita temukan
dalam proses pendidikan di tanah air kita.9
Ciri keempat, manusia sebagaimana makhluk hidup pada umumnya memiliki kepekaan
dan kemampuan untuk bereaksi terhadap pengaruh-pengaruh yang diterimanya, terhadap
keadaan-keadaan yang mengkondisikan eksistensinya.10 Tumbuhan bereaksi terhadap cahaya,
cuaca dingin, dan hawa panas. Binatang bersikap hati-hati terhadap semua hal yang
mengancamnya.
Dalam konteks pendidikan, manusia sangat dihadapkan pada situasi pengkondisian. Dia
diikat oleh sejumlah aturan, diidentifikasi secara fisik dengan adanya seragam yang hampir
selalu melekat di tubuhnya, setiap pertemuannya dengan guru selalu dibingkai atas nama dan
demi tercapainya tujuan kurikulum, dan lain-lain. Terhadap atmosfir pendidikan semacam ini,
wajarlah kalau dunia pendidikan selalu menuai protes, komentar, dan tanggapan. Semua itu
adalah model reaksi manusia terhadap segala bentuk pengkondisian.
3. Manusia adalah Makhluk Berpikir
Sebagai makhluk berpikir, manusia memiliki beberapa kemampuan turunan yang jelas
tidak dimiliki oleh makhluk lain yang tidak bisa berpikir. Kemampuan-kemampuan itu
mencirikan manusia sebagai makhluk mahakaya sekaligus misterius. Mahakaya karena ia
berada di tengah hamparan realitas fisik maupun non fisik yang siap diberi makna, siap
diinterpretasi setiap saat. Misterius karena interpretasinya terhadap berbagai fenomena yang
ditemui tidak pernah tuntas, selalu ada interpretasi di atas interpretasi yang susul menyusul

terus menerus. Berpikir adalah kemampuan manusia untuk mengolah pengetahuan yang telah
diterimanya untuk diproses menjadi suatu kebenaran. Dengan demikian, berpikir menunjuk
pada suatu kegiatan akal yang khas dan terarah. Menurut Plato dan Aristoteles, berpikir berarti
berbicara dengan diri sendiri dalam hati. Berpikir adalah kegiatan akal manusia untuk
mempertimbangkan, merenungkan, menganalisa, membuktikan sesuatu, menunjukkan alasanalasan, menarik kesimpulan, meneliti suatu jalan pikiran, mencari hubungan berbagai hal,
mencari tahu mengapa sesuatu terjadi, membahasakan suatu realitas, dan lain-lain.11
9 Oleh karena itu, untuk menanggapi berbagai persoalan pendidikan di negeri ini, tidak cukup hanya berkutat pada
hal-hal teknis metodis, tetapi harus juga mulai dipikirkan penyelesaian masalah pendidikan dari akarnya, dari
kedalaman persoalannya yang essensial. Bdk. Bruner, Jerome S., 1996. The Culture of Education, Harvard
University Press: Cambridge, Massachusetts, p. 43
10 Louis Leahy, Op.Cit. 46
11 Bdk. Cushman, K., “Less is More: The Secret of Being Essential’, Horace, 11, 1, 1994. Bdk juga Sizer,
Theodore, R.,1996. Horace’s Hope: What Works for the American High School, Boston: Houghton Mifflin, p. 87

Secara umum dikenal adanya kemampuan-kemampuan turunan dari manusia sebagai
makhluk berpikir yang mencakup kemampuan untuk mengerti, kemampuan untuk memiliki
pengetahuan dari apa yang dimengerti, dan kemampuan untuk mengungkap isi
pengetahuannya melalui aktivitas berbicara. Pertama, sebagai makhluk berpikir, manusia
memiliki kemampuan untuk mengerti.12 Aktivitas mengerti merupakan salah satu hal
mendasar bagi manusia dalam melakukan kegiatan-kegiatannya. Maka, setiap manusia,
berapa pun tingkat IQ-nya, ia tetap memiliki potensi untuk mengerti setiap fenomena yang
hadir di hadapannya. Tingkat kedalaman pengertian setiap orang menjadi hal yang unik juga
oleh sebab di sanalah dapat lebih dimengerti realitas manusia sebagai misteri itu.13
Dengan demikian, rancangan sistem pendidikan nasional, kurikulum, dan pola
pendekatan pengajaran sebagai ujung tombak seharusnya mempertimbangkan bahwa peserta
didik sebagai manusia tidak boleh ditempatkan sebagai objek didik yang tanpa modal atau
tabularasa sebagaimana yang diungkapkan dalam teori John Lock. Dengan konsep dasar
bahwa sebagai makhluk hidup, manusia memiliki kemampuan untuk mengerti, itu berarti
bahwa setiap peserta didik dalam proyek pendidikan tidak hadir tanpa apa-apa. Peserta didik
selalu hadir di hadapan para pendidik dengan modal pengertiannya sehingga ia bisa saja
melakukan perbandingan, pengujian, dan pengambilan kesimpulan untuk dirinya sendiri atas
berbagai informasi yang diterimanya termasuk informasi yang diterimanya dalam proses
belajar mengajar di kelas.
Ini berarti pentinglah bagi para pendidik untuk menyiapkan tempat dalam setiap
pelajarannya bagi eksplorasi pengertian peserta didik. Peserta didik tidak bisa diperlakukan
sebagai manusia tanpa pengertian karena memang ia dari kodratnya memiliki pengertian itu
dan itu adalah hak miliknya yang tidak boleh dibungkam oleh siapa pun. Sistem pendidikan
dan pengajaran yang membungkam hak milik ‘pengertian’ ini hanya akan menimbun rasa
tidak puas yang dapat meledak sewaktu-waktu, entah di sekolah, di rumah, atau di
masyarakat.
Kedua, sebagai makhluk berpikir, manusia memiliki pengetahuan.14 Pengetahuan manusia
tidak semata-mata diperoleh lewat jalur pendidikan formal. Sejak lahir, manusia telah
mempunyai cara sendiri yang khas untuk memperoleh pengetahuan bagi hidupnya. Melalui
kemampuan indrawi lahir, manusia mencapai pengetahuan-pengetahuan langsung lewat
hamparan kenyataan yang mengelilinginya. Melalui kemampuan indrawi batin, manusia
mencapai pengetahuan berkat ingatan dan khayalannya akan apa yang pernah ada, belum ada,
bahkan apa yang terdapat jauh di luar jangkauannya.
Manusia juga secara kodrati memiliki kemampuan (pengetahuan) perseptif yang telah
memungkinkannya untuk menyesuaikan diri secara spontan dan langsung dengan situasi yang
disajikan kepadanya. Melalui kemampuan refleksif terhadap berbagai objek yang ditemuinya,
12 Ibid. hal. 114-142
13 Bdk. Darling-Hammond, “Reframing the School Reform Agenda: Developing the Capacity for School
Transformation” Phi Delta Kappan, June, 1993, p. 754
14 Ibid. hal. 71-81

manusia mampu mengungkapkan hasil refleksinya itu dalam bentuk ide, tingkah laku, sikap,
simbol, karya seni, dan lain-lain. Melalui kemampuan diskursif dan intuitif, manusia
dimampukan untuk berpikir lebih dari sekedar apa yang dia lihat untuk menelusurinya dari
keseluruhan ke bagian-bagian, dari bagian-bagian ke keseluruhan, dari akibat ke sebab, dari
sebab ke akibat, dari prinsip ke konsekuensi, dari konsekuensi ke prinsip, dan lain-lain.
Melalui kemampuan induktif, manusia dimampukan untuk menarik kesimpulan dari sesuatu
yang khusus atau individual ke sesuatu yang umum atau universal dan sebaliknya,
kemampuan deduktif untuk menarik kesimpulan dari sesuatu yang umum atau universal ke
sesuatu yang khusus atau individual. Melalui kemampuan kontemplatif, manusia memiliki
kemampuan untuk menimbang dan merenungkan apa saja yang ada dalam dirinya. Melalui
kemampuan spekulatif, manusia dimampukan untuk menimbang dan merenungkan realitas
lain di luar dirinya dalam bentuk idea atau konsep. Melalui kemampuan praktis, manusia
dimampukan untuk mempertimbangkan apa saja yang hadir di hadapan atau di sekitarnya dari
sisi kemanfaatannya.
Dengan demikian, pengetahuan yang ada dalam diri manusia tampil dalam beragam
bentuk sehingga tidak baiklah kalau pengetahuan manusia itu direduksikan hanya ke dalam
salah satu bentuk atau cara tertentu saja. Jalan ini hanya akan merugikan manusia sendiri
karena menekan potensi pengetahuan dari sisi yang lainnya. Ini berarti, jalan pendidikan
formal yang cenderung mengklaim diri sebagai jalan tunggal atau sekurang-kurangnya
sebagai jalan terbaik bagi pembentukan pengetahuan manusia harus direnungkan kembali.
Sistem pendidikan nasional dan kurikulum perlu memberi tempat yang seluas-luasnya bagi
berkembangnya jalan-jalan pengetahuan yang bermacam ragam itu. Guru dan sekolah perlu
membuka akses bagi peserta didik untuk mengeksplorasi pengetahuan-pengetahuannya yang
didapat di luar sekolah.
Ketiga, sebagai makhluk hidup, manusia memiliki kemampuan berbicara sebagai cara
khas untuk mengungkapkan apa yang dimengerti dan diketahuinya.15 Berbicara adalah cara
khas manusia untuk mengisyaratkan sesuatu. Manusia berbicara karena dia punya sesuatu
yang hendak diungkapkan dan sesuatu itu adalah pengetahuan yang dipunyainya. Maka,
dalam konteks pendidikan, kesempatan berbicara bagi peserta didik adalah sesuatu yang tidak
bisa ditawar-tawar lagi.16 Dengan berbicara, para pendidik menjadi tahu apa yang sedang
terjadi dalam diri para peserta didiknya, apa yang sudah diketahui dan apa yang belum
diketahui oleh peserta didiknya. Dengan berbicara, komunikasi antara pendidik dengan
peserta didik mulai terjalin dan menemukan keselarasannya. Pendidik, dengan demikian
dimudahkan untuk memilah materi mana yang perlu lebih diprioritaskan dan materi mana
yang tidak perlu terlalu diulang-ulang lagi. Keputusan pendidik dalam hal ini hanya mungkin
karena peserta didik diberi ruang untuk berbicara mengungkapkan apa yang sesungguhnya
sedang terjadi dalam dirinya. Tanpa hal ini, pendidik hanya akan tekun menjalankan tugas atas
15 Ibid, hal. 24-43
16 Postman, Neil, 1985. Amusing Ourselfes to Death, Public Discourse in the Age of Show Business, Penguin: New
York. p. 50

bimbingan pemikirannya sendiri untuk mengejar target kurikulum, sementara peserta didik
semakin tersiksa dalam situasinya yang tidak diperhitungkan.
Perjalanan sejarah kurikulum di negeri ini sangat menampakan dinamika pencarian pola
komunikasi antara pendidik dengan peserta didiknya. Satu hal yang sangat menarik adalah
bahwa dalam dinamika-dinamika itu, selain persoalan materi sebagai titik fokus yang
cenderung berubah-ubah dari waktu ke waktu, soal pola relasi pendidik dengan peserta
didiknya menjadi materi dasar kurikulum yang tetap menjadi jiwa perbincangan tentang
kurikulum hingga saat ini. Teacher learning centre, student learning centre, competence
learning centre atau apapun lagi namanya adalah pilihan-pilihan pola relasi yang berkembang
dalam konteks pendidikan kita.
4. Manusia adalah Makhluk Bebas
Kebebasan manusia sangat dimungkinkan oleh adanya akal budi atau rasio yang dimiliki
sebagai makhluk istimewa.17 Dengan akal, manusia mampu melakukan pertimbangan
terhadap segala bentuk tawaran yang diberikan kepadanya baik oleh alam sekitar maupun oleh
sesamanya manusia. Dengan akal, manusia mampu merenungkan berbagai peristiwa sedih
atau bahagia yang dialami dalam perjalanan hidupnya. Dengan akal, manusia bisa
menganalisa dan melihat hubungan antara satu hal dengan hal lainnya, antara suatu peristiwa
dengan peristiwa lainnya. Dengan akal, manusia mampu membuktikan kepada sesamanya
manusia sesuatu yang diyakininya maupun hal yang ditolaknya dengan jalan membeberkan
sejumlah alasan dan argument yang menurutnya kuat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan akal, manusia mampu meneliti suatu jalan pikiran, melihat hubungan satu sama lain,
dan mengambil kesimpulan atasnya. Dengan akal, manusia mampu melacak dan mencari tahu
mengapa sesuatu terjadi baik dalam hidupnya sendiri maupun dalam hidup orang lain. Dengan
akal, manusia bisa mendeskripsikan berbagai realitas yang hadir di hadapannya.
Kesadaran ini penting untuk membantu kita dalam merumuskan berbagai hal yang
berkaitan dengan pengembangan pendidikan dan pengajaran. Di satu sisi, dengan penjelasan
di atas, nampak jelas sekali bahwa memang manusia adalah makhluk yang berdaulat dan
bebas. Dialah yang paling bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Dialah yang paling berhak
menentukan masa depannya sendiri.18 Namun di sisi lain, tidak bisa dipungkiri bahwa sangat
terbuka kemungkinan bagi manusia yang berdaulat itu untuk salah atau keliru dalam
mengimplementasikan kebebasan atau kedaulatannya.
Pendidikan atau pengajaran, entah formal maupun non formal mengambil porsi dalam
konteks ini. Pendidikan atau pengajaran adalah sekedar alat bantu untuk mengarahkan proses
setiap anak manusia menuju kesempurnaan kemanusiaannya masing-masing. Dengan
17 Menurut Henry Bergson, semua makhluk hidup memiliki evolusi kesadaran dengan tingkatan pencapaian yang
berbeda-beda. Tumbuhan berhenti pada situasi tanpa kesadaran, hewan berhenti pada naluri, manusia mencapai
puncaknya tertinggi pada akal atau rasionya. Bergson, Henry, 1977. Creative Evolution (terjemahan Arthur Mitchell
dengan kata pengantar oleh Irwin Edman), Greenwood & Press, Publishers Westport: Conecticut.
18 Freire, Paulo, 1982. Pedagogy of the Oppressed, Harmondsworth: Peguin, p.25. Bdk. Juga Roger, Carl, 1983.
Freedom to Learn for the 80’s, Charles Merril: Colombus, p. 36

demikian, sistem pendidikan dan kurikulum tidak dimaksudkan untuk mengungkung atau
membatasi kedaulatan peserta didik. Dalam proses belajar mengajar, para peserta didik adalah
subjek mandiri yang harus diikuti dan dikawal oleh guru ke arah mana ia akan pergi. Peran
guru, dengan demikian adalah di depan memberi teladan (ing ngarsa sung tuladha), di tengah
memberi motivasi (ing madya mangun karsa), dari belakang memberi dorongan (tut wuri
handayani) sebagaimana telah dicita-citakan Hi Hadjar Dewantara.19 Prinsip inilah yang
sesungguhnya menjadi cita-cita pendidikan kita. Ki Hadjar Dewantara sadar betul akan hak
mendasar manusia untuk menentukan nasib dirinya sendiri. Hidupnya adalah milik pribadinya
yang tidak boleh direnggut atau dimanipulasi oleh siapa pun.
5. Penutup
Bagian penutup ini berisi kesimpulan dan saran. Beberapa kesimpulan utama dapat
diungkapkan sebagai berikut; Pertama, pendidikan dalam arti upaya memanusiakan manusia
pertama-tama haruslah dimengerti sebagai tanggungjawab masing-masing orang karena
merekalah yang harus bertanggungjawab menentukan masa depannya sendiri. Pada tempat
kedua barulah pendidikan menjadi tanggungjawab orang-orang lain di sekitarnya sebagai
konsekuensi penyamaan visi dan misi untuk hidup bersama dalam masyarakat. Ketiga,
keruwetan aktivitas pendidikan selama ini terjadi karena dominannya peran luar (negara dan
masyarakat) yang terlalu menempatkan peserta didik sebagai pihak yang harus dibentuk tanpa
mempedulikan kemampuan bawaan sebagai makhluk hidup yang dimiliki peserta didik untuk
mendidik dirinya sendiri. Kealpaan dalam hal ini harus ditangkap sebagai persoalan utama
dalam dunia pendidikan.
Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan di atas, dua saran utama dapat disampaikan sebagai
berikut; Pertama. aktivitas pendidikan yang dikendalikan melalui lembaga-lembaga
pendidikan formal baik negeri maupun swasta haruslah dijalankan di atas dasar pemikiran
sebagai kegiatan supporting dan bukannya kegiatan utama ‘memanusiakan manusia’ karena
penanggungjawab utama ada di dalam tangan masing-masing orang sebagai manusia. Kedua,
oleh karena itu, adalah wajib bagi lembaga-lembaga pendidikan formal untuk membangun
panduan pendidikannya (sistem pendidikan dan kurikulum) di atas pemahaman yang benar
tentang manusia sebagai makhluk hidup, manusia sebagai makhluk berpikir, dan manusia
sebagai makhluk bebas.
Daftar Pustaka
Bergson, Henry, 1977. Creative Evolution (terjemahan Arthur Mitchell dengan kata pengantar
oleh Irwin Edman), Greenwood & Press, Publishers Westport: Conecticut
Bruner, Jerome S., 1996. The Culture of Education, Harvard University Press: Cambridge,
Massachusetts
Cushman, K., “Less is More: The Secret of Being Essential’, Horace, 11, 1, 1994
19 Saksono, Ign, Gatut, 2008. Pendidikan yang Memerdekakan Siswa, Rumah Belajar Yabinkas: Yogyakarta, hal.
48

Darling-Hammond, “Reframing the School Reform Agenda: Developing the Capacity for
School Transformation” Phi Delta Kappan, June, 1993, p. 754
Freire, Paulo, 1982. Pedagogy of the Oppressed, Harmondsworth: Peguin
Habermas, Jurgen, 1984. The Theory of Communicative Action.Volume One: Reason and the
Rationalization of Society (terjemahan T. McCarthy, Boston: Beacon Press.
Leahy, Louis, 1989. Manusia, Sebuah Misteri, Gramedia: Jakarta
Neil, Sutherland, Alexander, 1968. Summerhill, Penguin Books: Harmondsworth
Postman, Neil, 1985. Amusing Ourselfes to Death, Public Discourse in the Age of Show
Business, Penguin: New York
Roger, Carl, 1983. Freedom to Learn for the 80’s, Charles Merril: Colombus
Saksono, Ign, Gatut, 2008. Pendidikan yang Memerdekakan Siswa, Rumah Belajar Yabinkas:
Yogyakarta
Sizer, Theodore, R., 1996. Horace’s Hope: What Works for the American High School,
Boston, Massachusetts: Houghton Mifflin
Skinner, Burrhus Frederic, 1968. The Technology of Teaching, Appleton-Century-Crofts: New
York
Sudiardja, SJ, A., Dkk. (Penyunting), 2006. Karya Lengkap Driyarkara: Esai-esai Filsafat
Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, Gramedia: Jakarta.

\\