TAWARAN DIALOG DALAM MEMBANGUN KEINDONES

EXECUTIVE SUMMARY

TAWARAN DIALOG DALAM
MEMBANGUN KEINDONESIAAN:
Mengurai Kemungkinan Pelajaran Damai Aceh untuk Papua
Oleh:
Syafuan Rozi (Koordinator)
Muridan S. Widjojo
Nina Andriana
Mochtar Pabottingi

PUSAT PENELITIAN POLITIK (P2P)
LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI)
Jakarta 2012

2012 Tim Nasionalisme Keindonesiaan

TAWARAN DIALOG DALAM MEMBANGUN KEINDONESIAAN:
Mengurai Kemungkinan Pelajaran Damai Aceh untuk Papua1
Bab I Pendahuluan
1. Pengantar

Penelitian tim Nasionalisme P2P LIPI kali ini ingin mengungkap bagaimana
pengalaman gagal dan berhasilnya dialog Aceh. Aspek aktor, isu dan proses akan disorot
secara analitis untuk memahami akar konflik dan proses dialog di Aceh dengan
menggunakan bingkai perspektif nasionalisme dan etnonasionalisme yaitu sudut pandang
bagaimana paradigma Keacehan dalam Keindonesiaan. Kekhasan dan kebaruan riset ini
adalah ingin melihat kemungkinan proses perdamaian Aceh sebagai pelajaran untuk
membangun damai di Papua dengan menggunakan perspektif dan cara “dialog
kesetaraan” dalam membangun nasion Keindonesiaan. Dengan asumsi ada beberapa
pengalaman perdamaian di Aceh yang dapat diulang untuk membangun damai di Papua.
2. Perumusan Masalah
Pada 1960-an gerakan perlawanan di Papua hanya sebatas sejumlah kecil orang
Papua yang sudah terdidik dan terlatih oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada 2011,
sekitar 50 tahun kemudian, perlawanan di Papua bertransformasi menjadi perlawanan
rakyat yang bersifat populer dan meluas. Para pengamat dan kalangan masyarakat sipil
acapkali mengatakan bahwa jika pemerintah Indonesia tetap mempertahankan
pendekatan keamanan dalam mengatasi masalah-masalah yang muncul di Papua maka
Papua dapat menjadi Timor Timur yang kedua. 2
Perumusan permasalahan riset ini adalah bagaimana melihat kemungkinan proses
perdamaian Aceh sebagai pelajaran untuk membangun damai di Papua dengan
menggunakan perspektif dan metode dialog kesetaraan untuk membangun kebangsaan,

bukan melalui cara koersif atau kekerasan. Dengan asumsi ada beberapa pengalaman
perdamaian di Aceh yang dapat diulang untuk membangun damai di Papua.
Berdasarkan permasalahan di atas, pertanyaan penelitian yang akan ditelusuri
lebih lanjut adalah:
2.1. Bagaimana proses dialog di Aceh dirintis? Pelajaran tentang isu, aktor dan
proses damai apa yang menentukan keberhasilan untuk mengakhiri konflik
separatisme di sana?
2.2. Bagaimana proses dialog di Papua dapat dimulai? Perbedaaan dan persamaan
isu, aktor dan proses damai apa yang dapat dipelajari dari keduanya?
2.3. Sejauh mana keberhasilan dialog yang mengakhiri konflik separatisme di Aceh
dapat memperkuat bangunan keindonesiaan dan integritas RI? Pelajaran apa
yang dapat ditarik dari pengalaman Aceh untuk dapat diterapkan di Papua?
3. Tujuan dan Sasaran
1
Koordinator dan Tim Peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada semua narasumber di Aceh dan
Papua dan semua pihak yang telah membantu memperkasya mutu riset ini. Terutama kepada Prof. Syamsudin Haris
dan Dr. Firman Noor, yang telah menjadi koordinator dan anggota Tim Nas untuk kajian teoritis pada tahun pertama
sejak tim ini dibangun di tahun 2007.
2
Dengan kata lain, integritas Republik Indonesia dari Sabang hingga Merauke bisa terancam eksistensinya.

Dialog sebagai ganti pendekatan keamanan dipercaya dapat merekatkan kembali keindonesiaan yang telah retak
sebelumnya di Aceh dan keindonesiaan yang masih retak di Papua.

2

2012 Tim Nasionalisme Keindonesiaan

3.1. Tujuan
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menguraikan kemungkinan dialog
untuk Papua sebagai jalan damai yang terbaik untuk menyelesaikan masalah-masalah
yang terkait dengan gerakan perlawanan separatisme dapat menggantikan jalan represi
yang popular dengan pendekatan keamanan yang terbukti telah gagal menyelesaikan
masalah-masalah separatisme. Untuk mencapai kondisi saling percaya dan mengakhiri
kekerasan di Papua dengan penguatan Dialog tentang Kepapuan dan Keindonesiaan.
3.2. Sasaran
Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut di atas, sasaran penelitian yang ingin
dicapai adalah:
3.2.1 Memahami bagaimana proses dialog Aceh dirintis dengan melihat isu, aktor dan
proses yang menentukan keberhasilannya;
3.2.2 Memahami akar konflik Papua dan proses awal dialog yang sedang dirintis dengan

melihat isu, aktor, dan proses yang dapat menentukan keberhasilannya;
3.2.3 Membandingkan Aceh dan Papua, perbedaan konteks dan akar konflik serta isu,
aktor dan proses. Dari sini dapat dianalisis pelajaran-pelajaran berharga Aceh untuk
proses damai di Papua;
4. Metodologi
4.1. Kerangka Konseptual
4.1.1. Kebangsaan
Konsep kebangsaan memiliki banyak makna dan pengertian.3 Ernest Gellner
mendefinisikan nasionalisme sebagai prinsip legitimasi politik yang meyakini bahwa
unit-unit keetnisan dan unit-unit politik dalam suatu negara hendaknya harus saling
selaras.4 Dalam batasan ini keberadaan sebuah kelompok etnis (baik dalam konteks
minoritas berkuasa atau minoritas sempalan) yang dipandang bukan bagian dari sebuah
entitas bangsa dalam sebuah wilayah politik dapat berpotensi menggangu eksistensi
nasionalisme sebuah bangsa. Dengan demikian kebangsaan juga seringkali menjadi alat
legitimasi politik yang melihat batasan-batasan etnik sebagai sebuah aturan atau prinsip
legalitas. Pelanggaran terhadap batasan ini kerap dipandang sebagai sebuah tantangan
bagi kebangsaan.
Sementara Benedict Anderson melihat kebangsaan sebagai sebuah institusi
imajinatif yang mengikat beberapa kelompok masyarakat yang kerap tidak saling
mengenal atas dasar persaudaraan, yang dari sana kemudian terciptalah bayangan tentang

sebuah kedaulatan dengan sebuah batasan teritorial tertentu.5 Sedangkan Guibernau dan
Rex yang mengikuti tradisi Ernest Rennan berpandangan bahwa dengan dilandasi oleh
semangat untuk mengedepankan hak-hak masyarakat pada sebuah teritori tertentu,
kebangsaan sejatinya merupakan sebuah kemauan untuk bersatu tanpa paksaan dalam
semangat persamaan dan kewarganegaraan.6
Dalam pencariannya mengenai definisi yang moderat tentang kebangsaan, Gellner
sampai pada sebuah kesimpulan bahwa kebangsaan sesungguhnya bukanlah sesuatu yang
universal dan berlaku umum untuk seluruh manusia. Namun di sisi lain keberadaannya
bagi suatu bangsa merupakan sesuatu yang mendalam sifatnya, bahkan dapat dikatakan
3

Lihat Firman Noor, ed, Nasionalisme, Demokratisasi dan Identitas Primordialisme di Indonesia (Jakarta:
Pusat Penelitian Politik, LIPI, 2007).
4
Lihat Ernest Gellner, Nations and Nationalism (Oxford : Basil Blackwell, 1983), hal. 1.
5
Lihat Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism
(London: Verso Editions and NLB, 1983).
6
Lihat Montserrat Guibernau dan John Rex, (eds.), The Ethnicity Reader Nationalism, Multiculturalism and

Migrations (Cambridge: Polity Press, 1997), hal.8.

3

2012 Tim Nasionalisme Keindonesiaan

sebagai suratan takdir dan bukan hanya sebuah kecelakaan semata. Lebih lanjut Gellner
mengatakan bahwa kebangsaan yang sepatutnya dikembangkan adalah sebuah
kebangsaan yang menghargai prinsip-prinsip kemanusiaan, dalam sebuah makna yang
komprehensif.7
Dalam konteks tersebut sebuah kebangsaan, prosesnya aktif mengajak, tidak
bertindak diskriminatif, dan bekerja produktif bagi nilai-nilai kemanusiaan dan
kesejahteraan. Di sinilah definisi “nasion” mendapatkan relevansinya. Atas dasar
“kepentingan humanistik” inilah secara hipotetik kebangsaan dan keindonesiaan yang
ditawarkan oleh penelitian ini akan dibangun dan menjadi acuan konseptual.
Dalam pada itu dari batasan di atas kebangsaan sejatinya selalu terkait dengan
sebuah keinginan untuk bersatu dalam sebuah unit politik berupa institusi dengan wilayah
perbatasannya yang berarti adalah sebuah negara dengan beragam identitas budaya di
dalamnya. Oleh karena itu kajian kebangsaan sejatinya memang terkait erat dengan dua
konsep, yakni negara (state) dan bangsa (nation).8

Dari beragam batasan di atas secara generik maka pengertian kebangsaan dalam
penelitian ini akan mengacu pada kemauan untuk rela bersatu atas dasar dialektika
sejarah dan kesamaan visi serta kepentingan masa depan di mana semangat kemanusiaan
menjadi landasannya. Secara lebih spesifik dalam makna keindonesiaan hal itu dikaitkan
dengan nilai-nilai persamaan, keadilan, dan demokrasi yang didampingkan dengan nilainilai ketuhanan, kebersamaan, kesetaraan dan persatuan.9
Dengan batasan ini terlihat sebuah peluang kajian dalam melihat keberadaan
kebangsaan atau khususnya keindonesiaan terutama dikaitkan dengan sebuah situasi di
mana faktor kerelaan dan kesadaran untuk bersatu dalam sebuah nasion merupakan
sesuatu yang dikonstruksikan oleh sebuah komitmen di sebuah zaman. Di sinilah peran
signifikan negara dengan segenap hak yang dimilikinya termasuk hak koersif dalam
menentukan langkah, kebijakan dan maksimalisasi penggunaan sarana yang dibutuhkan
dalam melaksanakan upaya-upaya penguatan kebangsaan.
4.1.2. Keindonesiaan
Keindonesiaan adalah sebuah nasion.10 Prinsip-prinsip dasar dan ideal yang
menjadi pijakan berdirinya entitas Indonesia sebagai negara-bangsa. Keindonesiaan
merupakan watak yang diharapkan menentukan bentuk dan mengarahkan perjalanan
Indonesia. Konstruksi filosofis normatif keindonesiaan telah dirumuskan dan
dikembangkan oleh para pendiri negara-bangsa Indonesia dan secara dinamis
berkembang seiring dengan sejarah hubungan kekuasaan Indonesia itu sendiri. Pancasila
dan UUD 1945 adalah dasar keindonesiaan yang formal kita miliki selama ini.11

Indonesia dalam keseharian hadir diwakili oleh berbagai institusi, pemerintah,
lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga peradilannya. Wajahnya dibentuk tidak hanya
oleh perilaku para pemimpin yang mewakili berbagai institusi negara di tingkat nasional,
tetapi juga para aparat negara di tingkat yang paling rendah seperti desa. Di berbagai
wilayahnya Indonesia lebih dipahami dan hadir dalam keseharian yang konkrit. Wajah

7

Lihat Ernest Gellner, Nationalism, London: Phoenix, 1998, hal.11.
Gellner, op.cit, hal. 3.
9
Ibid,- Firman Noor et.al.
10
Kata nasion mengacu pada batasan yang disampaikan oleh Mochtar Pabottingi yang menandai sebuah
kolektifitas politik egaliter-otosentris yang memiliki batasan wilayah atas dasar dialektik sejarah dan proyeksi
kepentingan bersama di kemudian hari, lihat Mochtar Pabottingi, Lima Palang Demokrasi Satu Solusi: Rasionalitas
dan Otosentrisitas dari sisi Historis-Politik di Indonesia, Orasi Ilmiah Pengukuhan Sebagai Ahli Peneliti Utama
Puslitbang Politik dan Kewilayahan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, (Jakarta: PPW LIPI, 2000).
11
Ibid,- Firman Noor et.al

8

4

2012 Tim Nasionalisme Keindonesiaan

Indonesia hadir secara nyata melalui perilaku dan kinerja pejabat lokalnya, terutama
aparat pendidikannya, kualitas pelayanan kesehatannya dan aparat keamanannya.
Keindonesiaan, selain dirumuskan dan dikembangkan secara filosofis oleh para
pendiri negara dan pemikirnya, di tingkat akar rumput Indonesia dipahami berdasarkan
kualitas dan wajah kehadirannya sehari-hari. Dengan kata lain, kehadiran Indonesia yang
buruk tidak serta merta membuat suatu kelompok masyarakat ingin memisahkan diri dari
Indonesia. Menjadi bagian Indonesia pada tahap sekarang ini seperti telah dianggap
terberi. Tidak lagi dipertanyakan.
4.1.3. Dialog
Apa pentingnya dialog dibanding cara perang atau kekerasan? Dialog adalah
suatu proses penyelesaian masalah yang digunakan untuk menyelesaikan isu-isu sosial
politik dan ekonomi yang tidak dapat diselesaikan sendiri oleh satu atau dua institusi
pemerintah yang bersangkutan. Menurut Mark Gerzon yang paling spesifik dari
pengertian dialog adalah para pihak di dalam dialog datang bersama di suatu tempat yang

aman untuk saling memahami sudut pandang para pihak satu sama lain dengan maksud
untuk mengembangkan pilihan-pilihan penyelesaian masalah yang sudah diidentifikasi
secara bersama-sama.12 Lewat dialog akan dikurangi korban manusia dan harta benda.
Lewat dialog yang konstruktif, anggaran perang dan kekerasan dapat dialokasikan
menjadi program kesejahteraan dan peningkatan peradaban.
Pada khasanah teori dialog pada umumnya, dia dibedakan dengan konsep mediasi
atau negosiasi. Perbedaan utama terletak pada hasil kegiatannya dan pihak yang terlibat.
Dialog menghasilkan suatu perubahan pola hubungan, membangun kapasitas politik
untuk menyelesaikan masalah-masalah. Dengan dialog dasar untuk membangun
kepercayaan, saling menghormati dan kerjasama dapat dibangun. Dialog ditujukan bagi
pihak-pihak berkonflik yang belum siap untuk maju ke tahap negosiasi atau mediasi.
Sebaliknya, mediasi atau negosiasi biasanya menghasilkan suatu persetujuan
yang konkrit, memenuhi kepentingan material para pihak, berurusan dengan hak-hak dan
benda-benda yang dapat dibagi dan dirumuskan dalam cara yang terukur. Dialog dan
mediasi tidak dilihat saling menggantikan, tetapi saling melengkapi.13
4.2. Metode Penelitian
a.Jenis Penelitian:
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode yang digunakan adalah
deskriptif-eksplanatif. Fokusnya adalah kajian politik identitas dalam mencarikan jalan
keluar gerakan disintegrasi di Indonesia dengan perspektif dialog dan membangun

keindonesiaan yang ramah bagi Kepapuaan.
b.Teknik Pengumpulan Data:
Pengumpulan data dilakukan dua teknik, yaitu studi kepustakaan dan studi
lapangan. Untuk studi lapangan akan dilakukan melalui dua model, yaitu wawancara
mendalam dan FGD (Focus Group Discusssion). Wawancara mendalam, dilakukan
terhadap beberapa narasumber, seperti (1) mantan anggota GAM/OPM (2) mantan juru
runding pemerintah/GAM, 3) LSM/Ormas, (4) akademisi, (5) tokoh-tokoh gereja dan
ulama, 6) pejabat pemerintah yang tugas dan perannya terkait secara langsung dengan
konflik di Papua dan Aceh. Penentuan narasumber dilakukan dengan memperhatikan
pengetahuan, pengalaman dan posisi narasumber terkait dengan topik penelitian.
12

Lihat Bettye Pruitt and Philip Thomas, Democratic Dialogue - A Handbook for Practitioners (Canada:
IDEA-UNDP-OAS, 2007), hal. 19.
13
Op.cite. Democratic Dialogue, hal. 22.

5

2012 Tim Nasionalisme Keindonesiaan

Selanjutnya untuk mendapatkan sebuah hasil penelitian yang komprehensif dan
berimbang maka narasumber penelitian ini terdiri dari (1) pihak yang selama ini
dipandang sebagai pendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia, (2) mereka yang
diidentifikasi sebagai kalangan pemimpin atau pendukung gerakan politik Papua
Merdeka dan Gerakan Aceh Merdeka, dan (3) kalangan yang dipandang netral, misalnya
kalangan Gereja, LSM dan organisasi masyarakat sipil lainnya.
Asumsi dan hipotesa kerja yang dibangun antara lain: 1) Percaya bahwa proses
perdamaian Aceh (antara GAM dan NKRI/Jakarta) dalam tingkat tertentu dapat diulang
dan dipersiapkan, bahkan dengan cara-cara yang lebih baik. 2) Dialog adalah cara yang
lebih beradab daripada cara kekerasan bersenjata dan intimidasi. 3). Level analisis riset
ini adalah isu, aktor dan proses damai.
c.Teknik Analisis Data:
Data yang terkumpul lewat wawancara dan FGD melalui proses check-rechek
atau triangulasi dengan pihak terkait yang berbeda posisi.Asumsi dan hipotesa kerja yang
dibangun lewat riset ini adalah tim peneliti percaya bahwa kebaikan dialog lewat cara
persuasif dan setara akan membuahkan hasil perdamaian positif yang baik juga, dan tidak
sebaliknya. Peneliti melihat proses perdamaian Aceh dan Papua dengan menggunakan
paradigma perdamaian dan perspektif dialogis guna membangun bersama nasionalisme
Keindonesiaan-Kepapuan baru untuk masa depan bersama.
Aktor, metode dialog, agenda bersama sekarang dan masa depan dibangun lewat
proses kesetaraan, bukan melalui cara sepihak, tertutup, koersif atau pengutamaan
kekerasan. Adapun dimensi yang akan menjadi fokus riset ini adalah pola-pola pelajaran
penyelesaian dari Aceh dan tahapan membangun Dialog dan Keindonesiaan.
4.3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di dua lokasi: Banda Aceh dan Jayapura. Banda
Aceh dipilih karena kota ini merupakan ibukota provinsi Aceh di mana narasumber yang
kompeten dapat ditemukan. Jayapura juga merupakan ibukota provinsi Papua dan di kota
ini peneliti dapat mewawancara berbagai narasumber yang memiliki kompetensi yang
memadai untuk memberikan informasi. Mengingat keterbatasan dana yang ada,
Manokwari yang menjadi ibukota Papua Barat tidak akan dikunjungi.
6. Sistematika Penulisan
Bab I PENDAHULUAN: membahas riset disain, pertama, konsep dialog, keamanan, represi,
kebangsaan, serta konteks sejarah dan politiknya. Kedua, pokok permasalahan dan kerangka pemikiran
berisi konsep-konsep dan narasi tentang konflik Aceh dan Papua dalam perspektif komparatif. Ketiga,
metode penelitian. Keempat, sistematika laporan.
Bab II DIALOG ACEH DALAM PERSPEKTIF KEBANGSAAN: AKTOR, ISSUE DAN
PROSES DIALOG BERTINGKAT. Bab ini membahas bagaimana Aceh bersama pengalaman konflik dan
dialognya. Segi aktor, isu dan proses akan disorot secara analitis untuk memahami akar konflik dan proses
dialog di Aceh dengan melihat isu, aktor dan proses yang menentukan kegagalan dan keberhasilannya
dengan menggunakan bingkai perspektif nasionalisme dan etnonasionalisme. Keacehan dalam
Keindonesiaan.
Bab III DIALOG PAPUA, membahas Papua bersama pengalaman konflik dan upayanya untuk
membuka jalan dialogis. Diharapkan akar konflik Papua dapat dipahami dan proses awal dialog yang
sedang dirintis dengan melihat isu, aktor, dan proses yang dapat menentukan keberhasilannya atau juga
kegagalannya;
Bab IV. TAWARAN PELAJARAN DIALOG ACEH UNTUK PAPUA, membahas akar konflik,
konteks dan komponen-komponen isu, aktor, proses yang menunjukkan persamaan dan perbedaan antara
Aceh dan Papua. Dari sini dapat dianalisis pelajaran-pelajaran berharga Aceh untuk proses damai di Papua;

6

2012 Tim Nasionalisme Keindonesiaan

Bab V CATATAN PENUTUP, berupa kesimpulan dan rekomendasi terkait signifikansi
pengalaman dialog Aceh dan Papua dalam konteks kebangsaan, memperkuat integritas RI dan memperkuat
keindonesiaan.

BAB II
DIALOG ACEH DALAM PERSPEKTIF KEBANGSAAN:
Pembelajaran Seputar Aktor, Issue dan Proses Dialog Bertingkat?
A. Merangkul Aktor Dialog Aceh: Menyisir Penentu Keamanan?
Bagian ini akan menjelaskan bagaimana proses dialog di Aceh dirintis. Pelajaran
tentang siapa aktor yang efektif dilibatkan dalam membangun proses damai, yang
kemudian menentukan kegagalan dan keberhasilan untuk mengakhiri konflik separatisme
di Aceh menjadi fokus bagian tulisan ini. Ada pelajaran penting berupa kegagalan dialog
Aceh untuk Papua soal siapa aktor yang dilibatkan untuk membangun dialog perdamaian
Aceh dan NKRI lewat Jeda Kemanusiaan COHA-HDC,14 di masa Keperesidenan
Abdurahman Wahid-Megawati Soekarnoputri, dengan hasil dialog damai belum berhasil
dibangun.
Penyebabnya adalah pendekatan single-track negotiation, artinya aktor yang
dilibatkan hanya aktor formal tertentu seperti akitifis LSM, Ormas, Rohaniwan dan
bukan dukungan internasional dan aktor penentu keamanan atau securitizing –actors di
lapangan15 Berikut ini pemetaan beberapa aktor di Aceh yang telah dihubungi dalam
upaya membangun dialog damai antara lain:
1. Non-Securitizing Actor:
Ada informasi dari narasumber bahwa di masa Keperesidenan Abdurahman
Wahid-Megawati Soekarnoputri, pihak Jakarta mengirimkan tokoh atau juru runding ke
Aceh untuk menemukan solusi hubungan Jakarta-Aceh. Pihak yang ditemui adalah
kalangan LSM dan Ormas, tokoh adat, tokoh kampus dan tokoh ulama di beberapa
pelosok Aceh. Namun apa yang terjadi, dialog antar parapihak elemen masayarakat sipil
terjadi dan bahkan ada Konggres Perempuan Aceh yang melibatkan semua wakil
perempuan di Aceh dan di perantauan. Namun, peristiwa damai tidak menemukan jalan
terangnya. Peristiwa kekerasan berulang. Suasana damai negatif (situasi tanpa kekerasan)
saja sulit tercapai, apalagi damai positif (situasi membangun).
2. Securitizing Actor:
Adalah aktor kunci penentu keamanan di lapangan. Securitizing Actor dalam
konteks konflik Aceh adalah aktor yang berperan dalam menentukan keamanan di
lapangan. Mereka ini antara lain para jenderal lapangan pemimpin yang dapat
mengendalikan aparat tentara dan kepolisian, intelijen dan juga pemimpin politik yang
disegani dan didengar oleh para combatant dan militia AGAM (Angkatan Gerakan Aceh
Merdeka).
Peranan dan kepiawaian Farid Husain dan Juha C. dalam membangun
kepercayaan pihak GAM untuk melobi mereka masuk dalam perundingan damai dengan
juru runding Indonesia merupakan cerita unik tersendiri. Walaupun lebih banyak tampil
di bawah permukaan, Farid diam-diam memainkan peranan penting, utamanya ketika dia
14

Penjelasan istilah: COHA adalah Cessation of hostilities agreement. HDC adalah Henry Dunant Center.
Wawancara dengan D. Ronnie, mantan juru runding Aceh-Jakarta, kandidat Doktor Ph.D Student on
Peace and Conflict, Copenhagen University, Sweden, mantan staf Institute Perdamaian Indonesia, Banda Aceh, staf
GTZ di Aceh. Pernah berperan sebagai juru runding GAM, bekerja sebagai mediator untuk konflik Moro-Manila,
Kachin-Karen di Birma, punya akses jaringa dengan tokoh OPM di dalam dan luar negeri..
15

7

2012 Tim Nasionalisme Keindonesiaan

mampu “meluluhkan hati” pimpinan dan elit GAM (yang semula menolak berdialog),
sehingga bersedia duduk di meja perundingan. GAM percaya dengan Farid, karena
setelah bertemu tokoh GAM dihutan, tidak ada sweeping oleh TNI. Ini artinya Farid
mampu mengendalikan militer garis keras (hawkies) di pusat Jakarta dan di lapangan
Aceh.
3. Spoiler Actor:
Ada anggapan dari juru runding GAM yang menilai beberapa intelektual CSIS,
LIPI, UGM di Jakarta dan Yogyakarta, lebih mendorong dilakukannya cara-cara perang
ketimbang negoisasi dan dialog. Hal ini sangat mengganggu upaya dialog antara pihak
GAM dan NKRI. Sehingga komentar dan analisis politik mereka dianggap mendua,
disatu sisi ingin membangun damai di Aceh, namun dampaknya membuat pihak GAM
makin marah dan membuat keputusan setengah hati. Ada ungkapan buat apa berdamai
dengan pihak Indonesia yang tak tahu membalas budi dengan orang Aceh. “Kemerdekaan
Aceh, hanya seperti tinggal sebatang rokok saja”.
B. Isue-Isue Konflik Aceh: Politik Identitas, Keadilan Ekonomi dan Perang
Melawan Lupa?
1. Kisah Nasionalisme dan Etnonasionalisme Aceh: Janji Soekarno dan Kecewa
Tengku Daud Berueh.
Jauh sebelum NKRI berdiri, Aceh Darussalam telah berdaulat sebagai sebuah
kerajaan merdeka dan bahkan menjadi bagian dari kekhalifahan Turki Utsmaniyah. Hal
ini sungguh-sungguh disadari Soekarno sehingga dia mengajak dan membujuk Muslim
Aceh untuk mau bergabung dengan rakyat Indonesia guna melawan penjajah Belanda.
Saat berkunjung ke Aceh tahun 1948, Bung Karno dengan sengaja menemui tokoh Aceh,
Daud Beureueh. Bung Karno selaku Presiden RI menyapa Daud Beureueh dengan
sebutan “Kakanda (kakak)” dan terjadilah dialog yang sampai saat ini tersimpan dengan
baik dalam catatan sejarah :
Presiden Soekarno : “Saya minta bantuan Kakak agar rakyat Aceh turut
mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang sekarang sedang berkobar antara
Indonesia dan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah kita
proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.”
Daud Beureueh : “Saudara Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati
dapat memenuhi permintaan Presiden asal saja perang yang akan kami kobarkan itu
berupa perang sabil atau perang fisabilillah, perang untuk menegakkan agama Allah
sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam perang itu maka berarti mati
syahid.”
Presiden Soekarno : “Kakak! Memang yang saya maksudkan adalah perang yang
seperti telah dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti Teungku
Cik Di Tiro dan lain-lain, yaitu perang yang tidak kenal mundur, perang yang
bersemboyan merdeka atau syahid.”
Daud Beureueh : “Kalau begitu kedua pendapat kita telah bertemu Saudara
Presiden. Dengan demikian bolehlah saya mohon kepada Saudara Presiden, bahwa
apabila perang telah usai nanti, kepada rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk
menjalankan Syariat Islam di dalam daerahnya.”
Presiden Soekarno : “Mengenai hal itu Kakak tak usah khawatir. Sebab 90%
rakyat Indonesia beragama Islam.”

8

2012 Tim Nasionalisme Keindonesiaan

Daud Beureueh : “Maafkan saya Saudara Presiden, kalau saya terpaksa
mengatakan bahwa hal itu tidak menjadi jaminan bagi kami. Kami menginginkan suatu
kata ketentuan dari Saudara Presiden.”
Presiden Soekarno : “Kalau demikian baiklah, saya setujui permintaan Kakak
itu.”
Daud Beureueh : “Alhamdulillah. Atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan
terima kasih banyak atas kebaikan hati Saudara Presiden. Kami mohon (sambil
menyodorkan secarik kertas kepada presiden) sudi kiranya Saudara Presiden menulis
sedikit di atas kertas ini.” (Mendengar ucapan Daud Beureueh itu Bung Karno langsung
menangis terisak-isak. Airmata yang mengalir telah membasahi bajunya. Dalam keadaan
sesenggukan).
Soekarno berkata, : “Kakak! Kalau begitu tidak ada gunanya aku menjadi
presiden. Apa gunanya menjadi presiden kalau tidak dipercaya.” Dengan tetap tenang,
Daud Beureueh menjawab, “Bukan kami tidak percaya, Saudara Presiden. Akan tetapi
sekadar menjadi tanda yang akan kami perlihatkan kepada rakyat Aceh yang akan kami
ajak untuk berperang.” (Sambil menyeka airmatanya, Bung Karno mengucap janji dan
bersumpah).
Bung Karno bersumpah : “Waallah Billah (Demi Allah), kepada daerah Aceh
nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan Syariat
Islam. Dan Waallah, saya akan pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar
dapat melaksanakan Syariat Islam di dalam daerahnya. Nah, apakah Kakak masih raguragu juga?”
Daud Beureueh menjawab, : “Saya tidak ragu Saudara Presiden. Sekali lagi, atas
nama rakyat Aceh saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan hati Saudara
Presiden.” Dalam suatu wawancara yang dilakukan M. Nur El Ibrahimy dengan Daud
Beureueh, Daud Beureueh menyatakan bahwa melihat Bung Karno menangis terisakisak, dirinya tidak sampai hati lagi untuk bersikeras meminta jaminan hitam di atas putih
atas janji-janji presiden itu.
Soekarno mengucapkan janji tersebut pada tahun 1948. Setahun kemudian Aceh
bersedia dijadikan satu provinsi sebagai bagian dari NKRI. Namun pada tahun 1951,
belum kering bibir mengucap, Provinsi Aceh dibubarkan pemerintah pusat dan disatukan
dengan Provinsi Sumatera Utara.
Hal itui telah menimbulkan sakit hati rakyat Aceh. Aceh yang porak-poranda
setelah berperang cukup lama melawan Belanda dan kemudian Jepang, lalu menguras
dan menghibahkan seluruh kekayaannya demi mempertahankan keberadaan Republik
Indonesia tanpa pamrih, oleh pemerintah pusat bukannya dibangun dan ditata kembali
malah dibiarkan terbengkalai.
Bukan itu saja, hak untuk mengurus diri sendiri pun akhirnya dicabut. Rumahrumah rakyat, dayah-dayah, meunasah-meunasah, dan sebagainya yang hancur karena
peperangan melawan penjajah dibiarkan porak-poranda. Bung Karno telah menjilat
ludahnya sendiri dan mengkhianati janji yang telah diucapkannyaatas nama Allah.
Kenyataan ini oleh rakyat Aceh dianggap sebagai kesalahan yang tidak pernah
termaafkan.16
2. Hasan Tiro dan Siapa Mengelola Minyak Gas Aceh: Pusat, Daerah atau Asing?
Nukilan buku harian Hasan Tiro yang berjudul "The Price of Freedom: The
Unfinished Diary", menjadi penjelasan penting untuk mengungkap soal apa dan
bagaimana akar konflik vertikal Aceh-Jakarta, yang intinya adalah keadilan bagi Putra
16

Lihat Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad Jilid Ke Dua (Medan: Waspada & Parkarsa Abadi Press,

1995)

9

2012 Tim Nasionalisme Keindonesiaan

Aceh, untuk dapat memiliki konsesi minyak. Jangan hanya pihak asing yang diberi
kesempatan. Pembelajaran penting, yang dapat menjadi cermin dalam membagun upaya
Dialog Papua-Jakarta. Berikut ini petikannya:
“…Dalam sidang kabinet, pada 16 Oktober 1977, diputuskan untuk memulai usahausaha penyelamatan sumber daya alam di Aceh yang mulai dieksploitasi, khususnya
minyak dan gas di Arun, Aceh Utara, tanpa menghasilkan konstribusi yang cukup
kepada masyarakat sekitarnya. Japan Economic Journal, edisi 21Oktober 1975
menuliskan, "Ladang Gas Arun di Aceh merupakan salah satu ladang terkaya di Asia
Timur yang terletak di Sumatera bagian Utara. Arun juga satu sumber gas alam
terkaya di dunia." Jurnal itu juga melaporkan, Mobil Oil Corporation sudah
menawarkan 37 persen konsesi Ladang Gas Arun seharga 450 juta dolar AS kepada
pemerintah Jepang…”.

Konsesi demikian, menurut Hasan Tiro, satu tindakan yang ilegal sebab tidak
melibatkan orang Aceh yang memiliki kekayaan alam itu. "Rakyat Aceh menjadi terasing
di negaranya dan tanah leluhur mereka diperjual-belikan kepada perusahaan-perusahaan
asing. Kami diburu bagai binatang karena memprotes ketidakadilan itu. Dapatkah hal
semacam itu terus berlangsung di dunia ini," tulis Hasan Tiro dalam catatan hariannya.
Untuk menyelamatkan sumber daya alam, pasukan Front Pembebasan Nasional
(National Liberation Front Acheh Sumatera = NLFAS) di "Propinsi Pase", tempat
Ladang Gas Arun terletak, melakukan "tindakan lembut" dengan show of force di dekat
Kota Lhokseumawe. Mereka diperintahkan tidak menembak. Dalam aksinya, pasukan
NLF meminta semua pekerja asing meninggalkan ladang gas Arun demi keselamatan
mereka. "Kepada semua pekerja Amerika, Australia, dan Jepang dari Mobil dan Bechtel
agar segera meninggalkan negeri ini. Kalian dapat kembali lagi nanti kalau suatu saat
Aceh sudah merdeka," demikian bunyi seruan yang disebarluaskan.
Aksi 19 Oktober 1977 itu sukses. Pasukan NLF berhasil menghancurkan
pembangkit tenaga listrik dekat Lhokseumawe dan Arun. Mereka juga memblokir jalan
raya yang menghubungkan Medan-Banda Aceh. Meskipun terjadi tembak-menembak
dan sejumlah kendaraan tentara rusak dalam aksi tersebut, tapi tak ada korban jiwa dari
kedua belah pihak.
Pada 21 Oktober 1977, Hasan Tiro bangun pagi cepat karena adanya
"pertengkaran" antara komandan peleton --yang ditugasi menjaga para penyuplai
makanan dari daerah-daerah yang dekat dengan markas NLFAS—dengan seseorang.
Hasan Tiro mendengar suara seseorang yang cukup keras. "Saya tidak akan pergi
sebelum melihat Tengku! Saya akan mati tanpa melihat Tengku!". Masalahnya adalah
pengawal segan untuk membangunkan Hasan Tiro terlalu dini. Komandan peleton
menyarankan agar orang itu pulang saja ke desanya. "Tidak! Saya tidak akan pergi
sebelum melihat Tengku! Saya akan mati tanpa melihat Tengku! Kalau saya mati, paling
tidak saya sudah melihatnya!" teriak orang itu lagi.
Hasan Tiro terperanjat mendengar kenekatan orang tadi. Dia melompat ke tanah
dari tempat tidurnya dengan kelelahan yang sangat, sehabis bekerja sepanjang hari yang
cukup berat kemarin. "Saya selalu tidur di kamp dengan pakaian hijau dan pistol
tergantung di pinggang," kata Hasan Tiro. Lalu, ia meminta pengawal untuk membawa
orang tadi menghadapnya. Pria itu masuk tergesa-gesa dan langsung mencium tangan
Hasan Tiro yang dibalas dengan pelukan erat. Pria berusia sekitar 30 tahun itu namanya
Taleb Abu Mae (Ismail). Air matanya tak terbendung. Dia datang ke Kamp Alue Djok
sehari sebelumnya dan tidak mau pulang sebelum bertemu Hasan Tiro.
Pria itu datang dari desa yang sangat militan, Pasi Lhok. Itu merupakan
pertemuan yang sangat bermakna. Beberapa hari kemudian, Taleb Abu Mae tewas
10

2012 Tim Nasionalisme Keindonesiaan

diterjang peluru tentara ketika sedang melakukan satu misi. Dia meninggalkan seorang
istri yang masih sangat muda dan dua anak.Taleb diminta ayahnya pergi ke hutan untuk
membantu Tengku apapun risiko yang terjadi. Ikut tewas bersama Taleb adalah Sulaiman
Abdullah (33), Kepala Distrik Glumpang Lhee, Pidie, yang merupakan seorang
pemimpin NLF cukup brilian.
Mereka diserang tentara ketika sedang berjalan di pinggiran gunung untuk satu
misi penting. Mereka, menurut Hasan Tiro, tidak bersenjatasaat diserang. Sulaiman
meninggalkan seorang istri yang masih muda dan tiga anak. Pelantikan kabinet
Meskipun kabinet negara Aceh telah diumumkan saat proklamasi kemerdekaan, 4
Desember 1976 dan setiap menteri sudah melaksanakan tugasnya di seluruh penjuru
Aceh, tapi mereka belum pernah berkumpul semuanya di satu tempat.
Hal itulah yang menyebabkan pelantikan kabinet tertunda selama hampir setahun.
Akhirnya 22 Oktober 1977, Hasan Tiro memutuskan untuk melantik para menteri yang
terputus sejak tahun 1911. Waktunya dipilih 30 Oktober, yang bertepatan dengan hari
pendaratan kembali Hasan Tiro di Aceh setelah selama 25 tahun "mengembara" di AS.
Hanya dua orang yang tidak berada di tempat, yaitu Menteri Perdagangan Amir Rashid
Mahmud dan Menteri Luar Negeri Malik Mahmud. Mereka sedang melakukan lawatan
ke luar negeri. Diputuskan juga tempat pelantikan dilakukan di Kamp Lhok Nilam, sebab
lokasi itu dekat dengan sejumlah desa sehingga makanan dan keperluan lainnya dapat
diperoleh secara mudah.
Kamp itu juga cukup untuk menampung lebih dari 300 orang dan sangat cocok
bagi sebuah acara pelantikan. Segera segala sesuatu dipersiapkan. Kamp dihias dengan
berbagai warna-warni dan ornamen layaknya sebuah acara besar kenegaraan. Daging,
beras, tepung, gula, kopi, susu, madu, telur dan bahan makanan lain dipasok secara besarberasan ke markas tersebut. Kaum wanita dari desa pinggiran sibuk membuat kue-kue.
Tak ada rahasia tentang acara pengambilan sumpah para menteri. Hari yang bersejarah
itu pun tiba. Setelah dua jam berjalan kaki dari KampAlue Djok, rombongan Hasan Tiro
tiba di Kamp Lhok Nilam.
Segalapersiapan sangat sempurna. Di "pintu utama" terpampang kalimat "Selamat
Datang Wali Neugara ke Lhok Nilam." Hasan Tiro mengucapkan terima kasih kepada
setiap orang yang telah bersusah payah menyukseskan acara tersebut. Podium utama
terletak di tengah-tengah lapangan. Di bagian depannya ada tiang bendera. Di utara,
terlihat jelas air sungai Krueng Tiro mengalir tenang yang berlatar belakang Gunung
Tjokkan, tempat kemerdekaan diproklamirkan. Di sisi kanan (sebelah timur) terdapat
batu menjulang tinggi berbentuk cakaran elang, tempat Tengku Thjik di Tjot Plieng tewas
ketika ia bertempur melawan tentara Belanda tahun 1904.
Ketika rombongan tiba di tempat itu, waktunya sudah siang dan makanan siap
disantap. Makanannya sangat banyak. Orang-orang dari desa terdekatlah yang membawa
semua makanan itu. Hasan Tiro tertegun sejenak. "Saya belum pernah menikmati
makanan seenak ini sepanjang hidup saya di manapun di dunia ini. Tidak juga ketika saya
berada di Maxim Paris atau di Mirabelle London, atau Le Mistral New York," ujarnya.
Lalu, pengambilan sumpah para menteri dilaksanakan secara khidmat. Acara
dipimpin Menteri Kehakiman, Tengku Ilyas Leube. Ia adalah salah seorang menteri yang
sangat senior. Penyumpahan dilakukan satu demi satu. "Demi Allah yang Maha Pengasih
dan Maha Penyayang, saya bersumpah: untuk mematuhi semua perintah Allah SWT dan
Rasulnya Muhammad SAW, melanjutkan perjuangan Sultan Iskandar Muda dan Tengku
Tjhik di Tiro, mematuhi perintah Wali Neugara Aceh Sumatera, melindungi dan menjaga
konstitusi Aceh Sumatera."
Sumpah pertama dilakukan terhadap Menteri Dalam Negeri dan Deputi Menteri
Luar Negeri Dr Muchtar Hasbi. Lalu dilanjutkan berturut-turut terhadap Menteri

11

2012 Tim Nasionalisme Keindonesiaan

Pendidikan dan Informasi Dr Husaini M Hasan, Menteri Kesehatan Dr Zaini Abdullah,
Menteri Sosial yang merangkap Gubernur Provinsi Peureulak Dr Zubir Mahmud, Menteri
Keuangan Tengku Muhammad Usman Lampoih Awe, Menteri Pekerjaan Umum dan
Industri Dr Teuku Asnawi Ali, Menteri Komunikasi Mr Amir Ishak dan Panglima
Angkatan Bersenjata Muhammad Daud Husin alias Daud Paneuek.
Untuk memberkati acara pelantikan itu ditutup dengan doa yang dipimpin
Menkeh Tengku Ilyas Leube. Lalu, bendera merah berlambang bulan bintang bergaris
hitam di dua sisinya dikibarkan yang diiringi kumandang suara azan oleh seorang
muazzin. Seluruh menteri, gubernur, dan anggota Komite Pusat NLF berdiri di belakang
podium. Di depan mereka, berdiri pasukan dengan seragam lengkap. "Saya tidak pernah
melihat orang-orang saya lengkap seperti ini sebelumnya. Saya sangat bangga kepada
mereka," tulis Hasan Tiro. Setelah pengibaran bendera, sejumlah tokoh menyampaikan
pidato. Tampil pertama Tengku Ilyas Leube.
Ia menyerukan agar rakyat Aceh bangkit sambil tak lupa meminta berkah dari
para pendahulu yang telah mempertahankan tanah leluhur ini. Air mata setiap orang pun
tak sanggup dibendung lagi. Semuanya menangis. Hasan Tiro tampil sebagai pembicara
terakhir. Ia tak kuasa melihat kesungguhan pengikutnya. Air matanya tumpah. Ia tahu
semua orang menangis ketika itu. Semuanya larut dalam tangis mengingat perjuangan
yang masih sangat panjang. Dari lubuk hati Hasan Tiro yang paling dalam terbetik satu
tanya, "Kapankah saya dapat memberikan senjata kepada orang-orang saya!". Demikian
ilustrasi catatan harian Hasan Tiro, tuntutan issue dan perjuangannya sebagai kaum
pemberontak, di tahun 1977, yang berujung damai di Mou Helsinki di tahun 2005.17
3. DOM Aceh: Perang dan Pulang Melawan Lupa?
Seniman dan penyair Aceh Zubaidah Djohar, menggambarkan issu di Aceh
sekarang lewat bukunya: Pulang Melawan Lupa.18 Karya Zubaidah Djohar ini seperti
sebuah kilas balik akan sebuah sejarah kelam di Nanggroe Aceh Darussalam. Kilas balik
yang bukan saja untuk menabur ulang dendam yang terpendam, atau membakar kembali
kesumat yang padam. Buku ini justru laksana sebuah jalan yang mungkin sesekali dapat
kita lalui untuk mengingatkan akan sebuah sejarah dari sebuah negeri, agar generasi yang
akan datang memahami tentang betapa rakusnya sebuah kekuasaan, betapa berkuasanya
sebuah kekerasan. Buku ini juga seperti sebuah”reminder” buat kita, agar dalam
perjalanan waktu ke masa depan, kita diingatkan, ada masalah yang belum tuntas, ada
ketidakadilan yang belum benar-benar tegak, ada sejarah yang dikubur tanpa suara.
Bagi masyarakat Aceh, DOM Operasi Jaring Merah, telah menjadi momok yang
sangat menakutkan dan traumatik, sebab menurut kesaksian korban dan keluarga yang
masih hidup ada oknum aparat ABRI yang telah bertindak semena-mena terhadap rakyat
yang dicurigai mempunyai hubungan dengan GPK atau GAM. Telah terjadi proses
kriminalisasi dan pengkambinghitaman berupa rekayasa kejadian bahwa rakyat Aceh
17

Lihat Harian Meunasah, tgl. 24/3/1999, terbitan lokal Banda Aceh bertajuk: “Hasan Tiro: Catatan Harian
Yang Tak Selesai”.
18
Lihat Zubaidah Djohar, Pulang Melawan Lupa (Banda Aceh: Lapena – Banda Aceh 2012). Sebuah karya
yang berjenis : Kumpulan Puisi. Pertama Sekali membaca judul ini, seketika rasa kita akan seperti terpenjara. Betapa
kata-kata dalam judul ini telah menyimpan rangkaian makna, menyediakan tubuhnya untuk menyuarakan betapa
banyak suara yang harus diteriakkan, betapa banyak pekerjaan yang belum selesai, dan buku ini seperti muara dari
gelombang arus pecahan-pecahan jiwa manusia yang ditelantarkan, seakan sejarah ketidakadilan secara sistematis lesap
dan dilepaskan secara perlahan, lembar demi lembar, baris demi baris, kalimat demi kalimat, sampai kata demi kata,
tinggal huruf-huruf yang berserakan karena maknanya diinjak untuk dikubur dalam liang bernama lupa. Sejarah telah
dijauhkan dari ingatan. Issue Aceh sekarang adalah perang dan pulang melawan lupa.

12

2012 Tim Nasionalisme Keindonesiaan

yang tidak terlibat pembrontakan-spratisme, juga tidak melakukan tindak kriminalitas
apalagi melanggar hukum lainnya, pun dianggap sebagai anggota gerakan GPK tersebut.
Akibatnya, tindak kekerasan, penyiksaan atau penangkapan orang tanpa prosedur
atau penculikan atau pelecehan seks dan pemerkosaan, atau penghilangan nyawa manusia
maupun praktek-praktek pelanggaran hukum dan HAM lainnya berlangsung hampir
setiap saat antara kurun waktu 1989-1999.
Dalam perspektif korban yang peneliti temui, operasi DOM antara kurun waktu
1989-1999 dianggap sebagai mimpi buruk bagi korban konflik vertikal antara GAM dan
NKRI, rakyat sipil terjepit di tengah-tengah. Geuchik-kepala desa, bpk. Usman, asal
Pidie, turut menjadi korban “pemerasan” uang keamanan kepada oknum TNI/Polri dan
uang pajak nanggroe yang dipungut combatan GAM. Jika tidak diberi, kekerasan fisik
dan psikis mereka alami. Intinya mereka akan terus melakukan gerakan damai untuk
melawan lupa terhadap kejadian pelanggaran HAM masa lalu.
Pilihannya adalah tangkap pelaku untuk dihadirkan dalam pengadilan HAM atau
selesaikan dengan cara bermartabat lewat pengakuan, pencataan ke dalam dokumen
Negara dan pemaafan. Soal ganti rugi, kompensasi dan rehabilitasi lewat KKR (Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi) di Aceh, terganjal oleh dibatalkan UU KKR oleh
Mahkamah Konstitusi akibat tuntuan LSM soal impunity, yang membatalkan keseluruhan
pasal-pasal dalam UU KKR. Hal ini mendorong pula, diragukannya kanun KKR Aceh
akan efektif menghadirkan pelaku yang di luar Aceh.
Narasumber kak Rukhiyah dari Komunitas Korban DOM Aceh dan pak Usman
yang pernah menjadi geuchik atau kepala gampong atau desa di Pidie menceritakan
pengalaman hidupnya yang begitu pahit dan kini seolah dilupakan begitu saja oleh para
pelaku dan Negara. Ada yang tidak adil bagi mereka, korban tsunami mendapatkan
begitu banyak bantuan dari berbagai pihak, namun mereka yang menjadi korban konflik
banyak yang cuma gigit jari dan berlinang air mata. Tidak ada program atau paket
bantuan untuk korban konflik DOM yang dicanangkan oleh Pemda atau Negara ini.
Bersadarkan kesedihan yang mereka ceritakan tampaklah terjadi keadaan
kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Nanggro Aceh dalam kurun waktu 1998-1999
sebagai hal yang luar biasa. Kejahatan ini juga terencana, terorganisir, dan sistematis. Di
antara data yang diserahkan pegiat LSM kepada Komnas HAM antara lain, ada korban
yang diculik, dianiaya, disetrum, dan kemudian ditembak di depan umum. Ada pula yang
diperkosa di depan anak atau di depan suaminya. Beberapa bagian bentuk kejahatan itu,
ada kemiripan dengan modus operandi penculikan aktivis pro-demokrasi yang
melibatkan oknum Kopassus di Jakarta.
Peristiwa pembantaian, penyiksaan, perkosaan yang dirasakan rakyat Aceh atas
perbuatan militer selama DOM, sangat pedih dirasakan. Karena hal itu dilakukan oleh
bangsa sendiri dan bukan bangsa lain yang pernah menjajah Indonesia seperti Belanda
dan Jepang. Sebagian peristiwa penyiksaan tragis dilakukan aparat militer, misalnya ada
wanita yang diperkosa secara bergiliran kemudian dicambuk dengan kabel, ada pula yang
diperkosa di depan anaknya, telinga disayat dan ditetesi jeruk nipis, kepala dipukul
dengan balok lalu dikuliti di depan anaknya, kepala digantung dan dipukuli dengan kayu,
leher digorok dan kepalanya ditenteng sepanjang jalan dan suami dipaksa keluar dari
rumah sementara istrinya ditelanjangi lalu diperkosa sambil berdiri.
Jika kita mendengar bagaimana cerita dari para korban dan keluarga korban DOM
(Daerah Operasi Militer) di Aceh dapat digambarkan seperti gajah bertarung sama gajah,
pelanduk mati terjepit di tengah-tengah. Para keluarga dan korban DOM yang masih
hidup ada dalam penantian panjang seolah di jalanan sepi dan tak ada yang serius peduli
kecuali para seniman Aceh yang terus berpuisi dan berkata-kata dalam syair sastra:
“Gerakan Pulang Melawan lupa?”. Hal tersebut relatif dapat mewakili bagaimana

13

2012 Tim Nasionalisme Keindonesiaan

gambaran tentang kegelisahan dan derita yang belum terobati, milik keluarga yang
ditinggalkan dan korban yang belum sembuh luka fisik dan batinnya.
Tim peneliti sempat menjumpai komunitas korban DOM Aceh yang menceritakan
apa yang mereka alami dan apa yang mereka inginkan. Juga data-data sekunder yang
telah didokumentasi oleh para cendikiawan Aceh, KOMNAS HAM Kantor Banda Aceh,
LSM KONTRAS Aceh, Pusat Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik, UNSYIAH, Aceh
Institute, dan lain-lainnya. Pada perinsipnya mereka ingin membangun damai yang positif
di Aceh pascaperjanjian MoU Helsinki.
Namun butir kesepakatan MoU dan UU Pemerintahan Aceh, yang mensyratkan
dan mengatur dibentuknya Kanun KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsliasi) dan
Pengadilan HAM, hingga hampir 7 tahun saat riset ini dilakukan belum menunjukkan
kehadirannya secara lebih jelas atau nyata. Sehingga seniman dan sastrawan Aceh, ada
yang mengadakan gerakan kultural, intelektual dan seni, agar para korban dan keluarga
peristiwa DOM Aceh janganlah dilupakan begitu saja.
C.Proses Dialog Aceh: Keberhasilan Dialog Bertingkat?
Dialog Bertingkat adalah proses membangun dialog dengan teknik multi-track
negotiation and diplomacy, yaitu negosiasi, diplomasi dan dialog yang dilakukan oleh
aktor Negara di tingkat lokal, nasional (single-track diplomacy) dan internasional
(second-track diplomacy). Ketika dialog nasional gagal, aktor Negara diam, kemudian
membiarkan aktor non-negara untuk ambil peranan dalam membangun saling trust antara
aktor kunci penentu keamanan dan juru runding Negara untuk membangun dialog di
tingkat internasional, bersama pihak mediator internasional yang “terpercaya” oleh pihakpihak yang berselisih. Sembari mengupayakan turunnya dukungan internesaional
terhadapak kaum pemberontak yang tindakannya mengarah ke terorisme, sementara
tingkat pelanggaran HAM di tingkat lokal oleh tentara dan aktor keamanan lainnya,
dikendalikan sedemikian rupa.19
C.1.Pra-Dialog Perdamaian Aceh:
Kalau kita mau melihat proses damai Aceh sebagai bagian pembelajaran untuk
dialog dan damai, yang bisa digunakan untuk wilayah lain misalnya Papua. Pertama,
diterimanya MoU Helsinki sebenarnya merupakan proses kegagalan dan keberhasilan
yang bertingkat. Tidak bisa disimpulkan bahwa keberhasilan satu tingkat merupakan
keberhasilan semua proses. Contoh mengapa tawaran dan penerapan otonomi khusus di
Aceh relatif dapat dilaksanakan. Hal itu disebabkan adanya kesepakatan damai GAM
bersama pemerintah Indonesia. Mengapa kesepakatan itu bisa ada atau dapat dicapai,
karena ada konsesi terhadap otonomi dari pemerintah Indonesia kepada GAM.
19

Wawancara FGD Syafuan Rozi dan Mochtar Pabottingi dengan Wiratmadinata SH MH (Direktur
International Center for Transitional Justice--ICTJ Kantor Banda Aceh), Saefuddin Bantasyam, MA -Direktur Pusat
Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik-Dosen Hukum dan Masyarakat, FH Unsyiah; Muslahuddin Daud (Peace and
Development, World Bank, Banda Aceh); Drs. Fuad Mardhatillah MA (The Aceh Institute-dosen senior IAIN ArRaniry); Dr. Saiful Mahdi (ICAIOS-Pusat Studi Kawasan Asia dan Samudra Hindia, Unsyiah); Delsy Ronnie (Ph.D
Student on Peace and Conflict, Copenhagen University, mantan staf Institute Perdamaian Indonesia, Banda Aceh,
pernah berperan sebagai juru runding GAM, bekerja sebagai mediator untuk konflik Moro-Manila, Kachin-Karen di
Birma, punya akses dg tokoh OPM); Dra. Naimah Hasan MA (mantan perwakilan RI untuk Jeda Kemanusiaan, Hendry
Dunant Center, Banda Aceh). FGD di Pusat Studi Perdamaian dan ResolusiKonflik, Unsyiah, Banda Aceh 3-6 Juli
2012.

14

2012 Tim Nasionalisme Keindonesiaan

Pertanyaan berikutnya mengapa GAM mau berunding dengan pemerintah
Indonesia? Pertama, GAM mau berunding dengan pemerintah Indonesia bukan karena
faktor otonomi saja, ada faktor lain seperti melemahnya dukungan internasional. Hasan
Tiro dan Malik Mahmud pernah ditahan sementara oleh polisi Swedia karena tuduhan
terlibat peledakan Bursa Efek Jakarta (BEJ).
Kedua, Faktor yang menyebabkan conflicting-party (pihak yang bertikai) mau
berunding (dialog) berbeda dengan faktor conflicting-party mau melakukan agreement.
Ketiga, faktor agreement dapat durable (bertahan lama) berbeda dengan faktor
yang menyebabkan conflicting-party bisa menghasilkan agreement. Tiga tahapan tersebut
merupakan hal-hal yang berbeda. Maka untuk Papua kita dapat belajar pada tahap
pertama. Kita dapat lihat banyak perundingan dan konsesi politik (political setellement)
diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah, walaupun bagus tapi tanpa adanya
negoisasi dengan pihak yang memberontak itu biasanya akan gagal.
Pengalaman Megawati tahun 2001 ketika memberikan status istimewa kepada
Aceh dengan UU No.11/tahun 2001, seolah-olah memaksa hal itu kepada rakyat Aceh,
namun itu tidak jalan, termasuk untuk menjalankan syariat Islam. Padahal kalau kita lihat
secara substansi, otonomi yang diberlakukan pasca MoU Helsinki dan UU PA dengan
yang diberikan oleh Megawati relatif sama isinya. Ada kurang ada lebih.
Perundingan pertama, lewat jeda kemanusaaan atau COHA, GAM menolak untuk
berdamai, tapi mengapa tawaran dialog yang kedua (MoU Helsinki, GAM mau
menerima? Toh kalau GAM mau, menerima yang pertama-COHA, tapi tidak dilakukan?
Mengapa otonomi yang sekarang berhasil dilaksanakan sementara yang dulu gagal
dilaksanakan? Otonomi tidak dapat dilaksanakan karena GAM menolak, walaupun isinya
relatif sama.
C.2. Second-track Diplomacy: Pelajaran Mengapa Dialog Aceh Berhasil?
Kita perlu melakukan perbandingan pola terkait berlangsungnya proses dialog di
beberapa masa kepersidenan Gus Dur, Megawati dan SBY-JK. Untuk menjawab
pertanyaan mengapa dialog Aceh gagal atau berhasil, yang menjadi bagian penting untuk
tawaran pelajaran dalam membangun dialog Papua, paling tidak ada beberapa persoalan
utama yang terkait dengan mau atau tidaknya pihak rebellion hadir dalam dialog yaitu
pertama, faktor internal kepercayaan (trust) dari pihak pemberontak terhadap aktor
penentu keamanan (tentara) dan kedua, faktor eksternal, berupa dukungan internasional
terhadap gerakan separatis tersebut.
Bu Naimah seorang juru runding Indonesia berpandangan
bahwa:20 Kegagalan dialog Aceh pada awalnya adalah kegagalan
membangun trust antara kedua belah pihak. Pihak GAM tidak percaya
kepada pihak NKRI, karena ada beberapa juru runding GAM yang
ditangkap setelah hadir dalam perundingan COHA.
Sementra itu Desley Ronnie, aktifs perdamaian Aceh,
berpandangan pertanyaan dan jawaban mengapa GAM menerima dialog atau
perundingan Helsinki adalah karena posisi GAM di tahun 2001-2003, berbeda dengan
posisi GAM di tahun 2003-2005. Konteks dukungan internasional terhadap pemberontak
GAM berbeda jauh. Ada formula politik bahwa posisi pihak yang memberontak itu
mempengaruhi posisi tawar atau bargaining-nya untuk hadir atau tidak di meja negoisasi.
Di tahun 2001-2003, pihak petinggi GAM masih percaya Indonesia menjadi “the next
Balkan”.
20

Narasumber Dra. Naimah Hasan MA, adalah Dosen FE UNSYIAH, manta