UPAYA KONSERVASI DALAM MENGHADAPI PERDAG
UPAYA KONSERVASI DALAM MENGHADAPI PERDAGANGAN
ILEGAL SATWA LIAR DILINDUNGI DI INDONESIA
PENDAHULUAN
Satwa liar merupakan salah satu bagian dari sumber daya alam di Indonesia yang juga
menjadikan Indonesia menjadi negara kedua pemilik keanekaragaman hayati terbanyak di
dunia. Indonesia memiliki sekiar 17% dari jumlah spesies di dunia, diantaranya 12% mamalia
dunia ada di Indonesia (Gunawan & Bismark, 2007). Menjadi negara yang kaya akan sumber
daya hayati membawa beban dan tanggung jawab yang besar bagi Indonesia untuk
melakukan berbagai upaya dalam menjaga, melindungi, dan melestarikan sumber daya yang
ada. Upaya konservasi harus terus dilakukan dan diperhatikan agar ekosistem di Indonesia
tetap berjalan sebagaimana seharusnya.
Namun, di sisi lain laju penggundulan hutan di Indonesia berkisar antara 0,5-1 % per
tahun dan terus meningkat tiap tahunnya. Hal ini diperkirakan menyebabkan punahnya 2-7%
jenis kehidupan liar pada seperempat abad mendatang (Reid dalam Gunawan & Bismark,
2007). Ditaksir juga bahwa ratusan jenis akan punah setiap hari dalam 20-30 tahun yang
akan datang. Tak hanya didorong oleh kerusakan habitat, penurunan jumlah populasi spesies
tertentu di Indonesia disebabkan oleh adanya perdagangan satwa liar secara ilegal, khususnya
satwa dilindungi.
Perdagangan ilegal dan yang tidak berkelanjutan terus meningkat dan menjadi
ancaman besar bagi upaya konservasi (Shepherd, 2010). Perdagangan ilegal ini biasanya
tersebar luas dan seringkali dilakukan secara terbuka. Hal ini menunjukkan bagaimana
rendahnya tingkat penanganan dan lemahnya penegakan hukum yang berjalan di
pemerintahan. Beberapa spesies yang dilindungi secara ilegal telah dibunuh untuk mengambil
bagian berharga dari tubuh spesies dan dijual pada para kolektor (Miller & Spoolman, 2012)..
Secara global, praktek ini bernilai sebesar $600.000 setiap jamnya. Sindikat kejahatan
dan kriminal ini juga telah melakukan penyelundupan satwa liar karena keuntungan besar
yang diperoleh. Bagi para pemburu dan pedagang, gorila gunung bernilai sebesar $150.000
dan panda sebesar $100.000, bahkan komodo dari Indonesia juga dihargai sebesar $30.000.
Gajah dan badak juga menjadi korban dengan kehilangan gading dan cula mereka. Setiap
tahun, sekitar 25.000 ekor gajah dibunuh untuk diambil gadingnya secara ilegal meski
peraturan internasional telah mengeluarkan larangan untuk penjualan gading sejak 1989
(Miller & Spoolman, 2012).
Tak hanya gading gajah dan cula badak yang terkenal dalam sindikat perdagangan
ilegal, primata juga terus menjadi incaran dalam perburuan dan perdagangan. Biasanya
satwa-satwa liar ini dibeli untuk dipelihara, dikonsumsi, digunakan dalam pengobatan
tradisional, menjadi obyek penelitian atau percobaan dan koleksi di kebun binatang
(Shepherd, 2010). Salah satu sumber utama dalam perdagangan ini adalah Asia Tenggara dan
Indonesia sebagai sumber perdagangan satwa liar secara ilegal baik di dalam maupun luar
negeri.
Salah satu contoh kasus di Indonesia yaitu pada tanggal 18 September 2013 di Pasar
Burung Muntilan, Magelang, Mabes Polri melakukan penangkapan terhadap pelaku kasus
penjualan satwa dilindungi. Pelaku menjual berbagai macam satwa langka yang dilindungi
seperti Elang Brontok, Burung Bubu, Kucing Hutan, Landak Raya, Trenggiling, Mudang
Pandan, serta anak elang dan buaya muara (Iqbal dkk., 2014). Selain itu masih banyak kasus
yang terjadi baru-baru ini seperti penyelundupan ratusan kukang dan burung kakaktua jambul
kuning yang sempat menjadi perhatian masyarakat Indonesia.
Perdagangan satwa liar secara ilegal ini telah menjadi sebuah industri dan sindikat
kriminal terbesar setelah narkotika. Hal ini dikarenakan prosesnya yang dianggap tidak
terlalu beresiko dan lebih menguntungkan daripada upaya perdagangan ilegal lainnya (Santos
et al., 2001). Maka dari itu diperlukan tindak lanjut secara khusus dari pemerintah khususnya
Indonesia sebagai salah satu negara pemasok satwa dilindungi yang sangat berpotensi dalam
industri ini. Upaya-upaya konservasi harus lebih tegas dan terarah sehingga perdagangan
satwa dilindungi bisa segera dihentikan dan kekayaan sumber daya hayati di Indonesia dapat
dipertahankan.
PEMBAHASAN
Berbagai penelitian telah menghasilkan beberapa pemikiran terkait dengan berbagai
faktor dalam upaya konservasi satwa liar dilindungi. Beberapa hal yang akan dibahas dalam
tulisan ini adalah faktor-faktor yang mendorong perdagangan satwa liar dilindungi serta
upaya-upaya konservasi yang dapat dilakukan untuk menguranginya.
Faktor Pendorong Perdagangan Satwa Liar Dilindungi
Menurut Semiadi (2007) terdapat nilai ekonomi yang terkandung dalam pemanfaatan
satwa liar. Timbulnya pasar perdagangan tidak lepas dari dinamika antara penjual, pembeli,
dan ketersediaan barang atau dalam hal ini adalah satwa liar. Berdasar pembahasan dari
1
beberapa penelitian ditemukan beberapa faktor yang mendorong maraknya pasar gelap satwa
liar.
a. Budaya
Faktor budaya ini seringkali dikesampingkan. Namun banyak pihak justru
menuding bahwa sifat-sifat pemanfaatan budaya suatu bangsa terhadap kehidupan
liar yang justru membuat pasar gelap satwa liar semakin berkembang. Hal ini
menyebabkan penanganan dan pencegahan penurunan populasi terlambat dilakukan.
Kebutuhan masyarakat akan gizi yang cukup dengan mengkonsumsi daging juga
meningkatkan perburuan rusa di beberapa daerah di Indonesia, meski kemudian
penurunan populasi berusaha diatasi dengan program recovery.
Pada saat surplus, populasi Rusa Bawean yang berasal dari Kebun Binatang
Surabaya disebar ke beberapa anggota masyarakat di wilayah Jawa Timur dan Pulau
Madura untuk dikembangbiakkan. Namun, sayangnya usaha ini mengalami
kegagalan karena kurangnya pengetahuan tentang biologi rusa, teknik pemeliharaan,
monitoring serta dukungan dari masyarakat dan aparat pemerintah setempat.
Memang rusa telah dimanfaatkan masyarakat sebagai salah satu sumber gizi.
Hampir di setiap habitat yang kaya akan potensi satwa rusa, daging rusa akan dengan
mudah diperoleh. Namun saat ini mungkin wilayah yang tersisa dengan potensi rusa
yang tinggi hanya terdapat di wilayah Kalimantan dan Papua. Biasanya demi tujuan
komersil dan konsumsi, para pemburu memburu rusa tanpa memerhatikan jenis
kelamin dan hanya melihat dari besar tubuh dan kemudahan dalam membunuh. Hasil
pantauan Pemda Merauke menyatakan bahwa konsumsi daging rusa setiap hari
tercatat mencapai 1080 kg daging rusa (Semiadi, 2007).
b. Satwa Peliharaan
Berbagai jenis spesies satwa liar diekspor dari Indonesia. Salah satu yang
menjadi favorit adalah primata. Terlepas dari tujuan percobaan atau eksperimen,
primata diperdagangkan secara luas sebagai hewan peliharaan di Indonesia. Macaca
fascicularis yang sering menjadi incaran pembeli sebenarnya tidak diperbolehkan
untuk diperjualbelikan sebagai satwa apalagi diekspor ke negara lain.
Hasil survey dan observasi menunjukkan bahwa monyet ekor panjang dan
kukang atau Nycticebus coucang adalah satwa atau primata yang palingsering
dijumpai dalam perjualbelian satwa liar. Sedangkan kukang termasuk dalam salah
satu satwa dilindungi dalam kebijakan nasional. Kebanyakan primata ini dijual secara
2
terbuka dan enam dari sepuluh spesies yang terlihat diperjualbelikan adalah satwa
yang dilindungi oleh kebijakan di Indonesia (Shepherd, 2010).
c. Lemahnya Regulasi atau Kebijakan
Beberapa kebijakan dan peraturan yang ada sebenarnya sudah memberikan
larangan akan perdagangan satwa dilindungi. Namun hal ini kemudian dianggap
justru membuat perdagangan satwa dilindungi semakin dicari dan dihargai tinggi.
Hal ini yang terjadi pada perdagangan gading gajah dan cula badak yang secara jelas
telah dilarang namun terus saja dicari dan diminati oleh para kolektor.
Terdapat beberapa hal yang menunjukkan ketidakefektifan dari larangan
mengenai satwa liar dilindungi. Contohnya seperti yang terjadi di Afrika Selatan
sebagai habitat dari badak putih dan hitam yang tergolong jarang. Pada tahun 2010
sebanyak 260 badak dibunuh secara ilegal. CITES telah membuat larangan akan
perdagangan cula badak dan kelima jenis badak telah dimasukkan dalam daftar
terancam punah. Namun meski begitu, perdagangan cula badak secara ilegal semakin
meningkat dengan adanya larangan (Santos et al. 2014).
Hal ini menunjukkan bahwa daftar Appendix 1 yang dikeluarkan oleh CITES
tidak menjamin keberlangsungan hidup dari spesies-spesies tertentu tanpa adanya
perlindungan dan aksi dari lapangan. Penurunan populasi badak berkorelasi dengan
meningkatnya harga cula badak di pasar gelap. Berbagai hal seperti ketidakstabilan
politik, korupsi, dan kurangnya kebijakan serta sumber daya yang dapat mengontrol
membuat perdagangan gelap satwa liar semakin berkembang.
Upaya untuk Mengurangi Perdagangan Satwa Liar
Maka berdasar beberapa faktor penyebab tersebut perlu dilakukan upaya-upaya lebih
lanjut khususnya oleh pemerintah untuk mendorong konservasi dan pelestarian dari satwasatwa liar khususnya yang dilindungi di Indonesia. Salah satunya adalah dengan menyusun
berbagai kebijakan di lapangan yang dapat melengkapi ketentuan yang telah dibuat oleh
CITES. Namun, sebelumnya perlu diketahui juga mengenai definisi dan tipe dari larangan
mengenai satwa liar.
Larangan mengenai satwa liar (wildlife ban) adalah ketetapan resmi yang melarang
perdagangan satwa liar secara komersial, baik secara individu, bagian tubuh atau produk jadi
dari satwa liar. Tujuan utama dari larangan ini adalah untuk mengurangi penggunaan spesies
tertentu secara komersial untuk menjaga populasi spesies tersebut. Terdapat dua tipe
larangan, yaitu
3
a. Larangan satwa liar secara internasional oleh CITES
Convention on international trade in endangered species of wild fauna and
flora (CITES) muncul pada tahun 1973. CITES merupakan hasil dari kesepakatan
secara internasional yang dibuat berdasar data dan informasi yang didapatkan secara
ilmiah. Pada CITES ini dirumuskan tiga appendix yaitu, appendix 1 adalah larangan
akan perdagangan spesies yang terancam punah. Appendix II melindungi spesies
yang memiliki resiko terancam punah bila perdagangan tidak dikontrol dan
membolehkan perdagangan dengan adanya ijin. Appendix III melindungi spesies yang
diajukan oleh pihak tertentu dan memberikan ijin dengan kontrol yang tidak terlalu
dibatasi seperti pada appendix II.
b. Larangan non CITES
Pemerintah memiliki peranan penting dalam memerangi perdagangan gelap
satwa liar secara internasional. Larangan secara resmi yang dikeluarkan oleh
pemerintah dapat membantu upaya konservasi satwa dilindungi di negara tersebut.
Contohnya larangan impor unggas oleh European Union (EU) adalah salah satu
larangan non CITES yang dikeluarkan untuk mengurangi penyebaran virus flu burung
dan juga memperbaiki status konservasi burung di daerah tersebut. Hal ini membatasi
potensi perdagangan spesies burung-burung yang dianggap eksotik untuk memastikan
juga populasi mereka tidak terancam oleh perdagangan satwa liar secara internasional.
Upaya Pemerintah
Oleh karena itu beberapa upaya juga dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk
mengurangi tindakan perjualbelian satwa liar dilindungi. Hal ini dikemukakan oleh Iqbal,
Kurnia, dan Susanti (2014) dalam penelitian mereka dimana pemerintah Indonesia berusaha
melakukan upaya preventif dan represif dalam menekan perdagangan gelap satwa liar
dilindungi.
a. Upaya Preventif
Berdasarkan pasal 27 ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999
tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa menyebutkan tindakan preventif yang
meliputi penyuluhan, pelatihan penegakan hukum bagi aparat-aparat penegak hukum
dan penerbitan buku manual untuk mengidentifikasi jenis tumbuhan dan satwa yang
dilindungi dan tidak dilindungi.
4
Upaya preventif atau pencegahan disini juga adalah upaya yang dilakukan
oleh para aparat penegak hukum di Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA)
dalam penegakan atas penyimpangan yang terjadi pada satwa yang dilindungi oleh
pemerintah. Beberapa penyimpangan ini adalah kepemilikan satwa yang dilindungi
tanpa izin, perburuan satwa dilindungi dan penjualan satwa dilindungi secara ilegal.
Salah satu upaya pencegahan lainnya adalah dengan menetapkan jenis-jenis
satwa yang dilindungi berdasar undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dalam undang-undang ini
juga dijelaskan pengertian satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, di
air, dan di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas
maupun yang dipelihara oleh manusia. Sedangkan pengertian satwa langka adalah
semua jenis sumber daya alam hewani baik yang hidup di darat, di air, dan di udara
yang mana sudah jarang ditemui di habitat aslinya dan terancam punah. Pada undangundang ini juga diatur mengenai pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa
beserta ekosistemnya.
b. Upaya Represif
Tindakan represif yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun
1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa adalah tindakan penegakan
hukum terhadap dugaan adanya tindakan hukum terhadap usaha pengawetan jenis
tumbuhan dan satwa. Pada pasal 21 ayat 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan ekosistemnnya juga dikatakan bahwa
setiap orang dilarang untuk mengambil, menebang, memiliki, mengangkut, dan
memperniagakan hewan atau tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam
keadaan hidup ataupun mati. Pihak yang melakukan pelanggaran dapat dijatuhi
hukuman penjara dan denda bila terbukti bersalah.
Namun dikatakan bahwa hukuman yang diberikan hingga saat ini belum
mampu memberikan efek jera karena skalanya yang terbilang ringan sehingga
membuat pelaku mengulangi perbuatannya. Selain itu juga dikarenakan besarnya
keuntungan yang didapat dari memperjualbelikan satwa liar dilindungi secara ilegal.
Memang upaya preventif dan represif ini bisa membantu dalam mengurangi
perdagangan satwa liar dilindungi, namun berbagai kekurangan dalam peraturan perundangundangan masih memberi celah bagi para pelaku untuk mengulangi perbuatannya. Oleh
5
karena itu Santos dkk. (2010) memaparkan juga beberapa faktor yang dapat memengaruhi
kesuksesan sebuah larangan perdagangan satwa liar dilindungi.
Beberapa faktor ini diantaranya yaitu menciptakan strategi pemasaran yang membuat
satwa liar atau produk dari satwa menjadi kurang atraktif atau menarik bagi para konsumen
sehingga jumlah permintaan pun menurun. Kampanye-kampanye mengenai resiko yang dapat
timbul dari interaksi dengan satwa liar hingga mempublikasikan ancaman terhadap kehidupan
satwa liar dan kondisi tak manusiawi dalam perdagangan satwa. Hal ini dapat mengurangi
ketertarikan dan meningkatkan empati para konsumen sehingga mereka juga akan berusaha
untuk mengurangi pembelian terhadap satwa liar diindungi atau produk tertentu yang telah
dilarang.
Permintaan juga akan berkurang bila tersedia pengganti. Pada kasus burung kakaktua,
individu kakaktua yang dilahirkan dan dirawat di penangkaran lebih jinak dan sehat
dibanding dengan burung yang ditangkap di alam liar. Dengan kata lain, ini dapat menjadi
pilihan yang lebih baik bagi para pembeli karena mereka akan memilih hewan peliharaan
dengan kualitas yang lebih baik. Secara keseluruhan, contoh ini menunjukkan bahwa
larangan sebenarnya juga dapat justru mengurangi efek dari upaya konservasi bila tidak
dilakukan dengan strategi yang tepat.
KESIMPULAN
Berbagai hal dapat menjadi pendorong dari terus meningkatnya perdagangan ilegal
satwa liar dilindungi. Salah satu upaya konservasi yang dapat dilakukan dapat dimulai
dengan mengurangi tingkat permintaan dari konsumen. Ketetapan yang telah diatur dalam
CITES juga harus dibarengi dan didukung dengan kebijakan pemerintah dari tiap negara yang
menginginkan sumber daya hayatinya tetap terjaga dan lestari. Maka larangan-larangan akan
perdagangan satwa liar dan kepemilikan harus diterapkan di Indonesia.
Berbagai upaya preventif dan represif juga dapat menjadi salah satu cara untuk
mencegah munculnya perdagangan dan perjualbelian ilegal yang disebabkan karena
kurangnya pengetahuan akan satwa yang dilindungi. Tindak pidana yang tegas juga harus
diberikan bagi setiap pelaku yang terbukti melanggar dan menyebabkan berkurangnya
populasi satwa liar dilindungi. Selain itu perundang-undangan (Nomor 5 tahun 1990 dan
Nomor 7 tahun 1999) yang ada juga dapat menjadi kontrol dalam industri perdagangan satwa
liar di masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari kerjasama pemerintah internasional, nasional,
BKSDA, serta masyarakat dalam memberantas perdagangan satwa liar secara ilegal di
6
Indonesia. Tanpa adanya kesatuan dan kerjasama dari berbagai pihak ini upaya konservasi
satwa liar ini akan sulit untuk dilakukan.
Terakhir, edukasi haruslah menjadi strategi kunci jangka panjang dari program
konservasi. Hal ini diperlukan agar generasi-generasi mendatang dapat lebih memahami
pentingnya pelestarian dan konservasi tak hanya satwa liar tetapi juga setiap sumber daya
alam hayati dan non hayati yang ada di bumi ini.
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, H., & M. Bismark. 2007. Status populasi dan konservasi satwaliar mamalia di
Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hutan dan
Konservasi Alam. Vol. IV No. 2:117-128.
Iqbal, M., M. P. Kurnia, E. Susanti. 2014. Tinjauan yuridis terhadap kepemilikan dan
penjualan satwa langka tanpa izin di Indonesia. Jurnal Beraja NITI, Vol. 3, No. 3.
Miller, G. & S. E. Spoolman. 2012. Living in the Environment 17th Edition. Brooks/Cole,
Cengage Learning: Canada.
Santos, A., Satchabut, T., & Vigo Trauco, G. 2001. Do wildlife trade bans enhance or
undermine conservation efforts?. Applied Biodiversity Perspective Series, 1(3), 1‐15.
Semiadi, G. 2007. Pemanfaatan satwa liar dalam rangka konservasi dan pemenuhan gizi
masyarakat. Zoo Indonesia, 16 (2): 63-74.
Shepherd,C. R. 2010. Illegal primate trade in Indonesia exemplified by surveys carried out
over a decade in North Sumatra. Endangered Species Research, Vol. 11:201-205.
DISUSUN OLEH:
LIANY D. SUWITO
2015
7
ILEGAL SATWA LIAR DILINDUNGI DI INDONESIA
PENDAHULUAN
Satwa liar merupakan salah satu bagian dari sumber daya alam di Indonesia yang juga
menjadikan Indonesia menjadi negara kedua pemilik keanekaragaman hayati terbanyak di
dunia. Indonesia memiliki sekiar 17% dari jumlah spesies di dunia, diantaranya 12% mamalia
dunia ada di Indonesia (Gunawan & Bismark, 2007). Menjadi negara yang kaya akan sumber
daya hayati membawa beban dan tanggung jawab yang besar bagi Indonesia untuk
melakukan berbagai upaya dalam menjaga, melindungi, dan melestarikan sumber daya yang
ada. Upaya konservasi harus terus dilakukan dan diperhatikan agar ekosistem di Indonesia
tetap berjalan sebagaimana seharusnya.
Namun, di sisi lain laju penggundulan hutan di Indonesia berkisar antara 0,5-1 % per
tahun dan terus meningkat tiap tahunnya. Hal ini diperkirakan menyebabkan punahnya 2-7%
jenis kehidupan liar pada seperempat abad mendatang (Reid dalam Gunawan & Bismark,
2007). Ditaksir juga bahwa ratusan jenis akan punah setiap hari dalam 20-30 tahun yang
akan datang. Tak hanya didorong oleh kerusakan habitat, penurunan jumlah populasi spesies
tertentu di Indonesia disebabkan oleh adanya perdagangan satwa liar secara ilegal, khususnya
satwa dilindungi.
Perdagangan ilegal dan yang tidak berkelanjutan terus meningkat dan menjadi
ancaman besar bagi upaya konservasi (Shepherd, 2010). Perdagangan ilegal ini biasanya
tersebar luas dan seringkali dilakukan secara terbuka. Hal ini menunjukkan bagaimana
rendahnya tingkat penanganan dan lemahnya penegakan hukum yang berjalan di
pemerintahan. Beberapa spesies yang dilindungi secara ilegal telah dibunuh untuk mengambil
bagian berharga dari tubuh spesies dan dijual pada para kolektor (Miller & Spoolman, 2012)..
Secara global, praktek ini bernilai sebesar $600.000 setiap jamnya. Sindikat kejahatan
dan kriminal ini juga telah melakukan penyelundupan satwa liar karena keuntungan besar
yang diperoleh. Bagi para pemburu dan pedagang, gorila gunung bernilai sebesar $150.000
dan panda sebesar $100.000, bahkan komodo dari Indonesia juga dihargai sebesar $30.000.
Gajah dan badak juga menjadi korban dengan kehilangan gading dan cula mereka. Setiap
tahun, sekitar 25.000 ekor gajah dibunuh untuk diambil gadingnya secara ilegal meski
peraturan internasional telah mengeluarkan larangan untuk penjualan gading sejak 1989
(Miller & Spoolman, 2012).
Tak hanya gading gajah dan cula badak yang terkenal dalam sindikat perdagangan
ilegal, primata juga terus menjadi incaran dalam perburuan dan perdagangan. Biasanya
satwa-satwa liar ini dibeli untuk dipelihara, dikonsumsi, digunakan dalam pengobatan
tradisional, menjadi obyek penelitian atau percobaan dan koleksi di kebun binatang
(Shepherd, 2010). Salah satu sumber utama dalam perdagangan ini adalah Asia Tenggara dan
Indonesia sebagai sumber perdagangan satwa liar secara ilegal baik di dalam maupun luar
negeri.
Salah satu contoh kasus di Indonesia yaitu pada tanggal 18 September 2013 di Pasar
Burung Muntilan, Magelang, Mabes Polri melakukan penangkapan terhadap pelaku kasus
penjualan satwa dilindungi. Pelaku menjual berbagai macam satwa langka yang dilindungi
seperti Elang Brontok, Burung Bubu, Kucing Hutan, Landak Raya, Trenggiling, Mudang
Pandan, serta anak elang dan buaya muara (Iqbal dkk., 2014). Selain itu masih banyak kasus
yang terjadi baru-baru ini seperti penyelundupan ratusan kukang dan burung kakaktua jambul
kuning yang sempat menjadi perhatian masyarakat Indonesia.
Perdagangan satwa liar secara ilegal ini telah menjadi sebuah industri dan sindikat
kriminal terbesar setelah narkotika. Hal ini dikarenakan prosesnya yang dianggap tidak
terlalu beresiko dan lebih menguntungkan daripada upaya perdagangan ilegal lainnya (Santos
et al., 2001). Maka dari itu diperlukan tindak lanjut secara khusus dari pemerintah khususnya
Indonesia sebagai salah satu negara pemasok satwa dilindungi yang sangat berpotensi dalam
industri ini. Upaya-upaya konservasi harus lebih tegas dan terarah sehingga perdagangan
satwa dilindungi bisa segera dihentikan dan kekayaan sumber daya hayati di Indonesia dapat
dipertahankan.
PEMBAHASAN
Berbagai penelitian telah menghasilkan beberapa pemikiran terkait dengan berbagai
faktor dalam upaya konservasi satwa liar dilindungi. Beberapa hal yang akan dibahas dalam
tulisan ini adalah faktor-faktor yang mendorong perdagangan satwa liar dilindungi serta
upaya-upaya konservasi yang dapat dilakukan untuk menguranginya.
Faktor Pendorong Perdagangan Satwa Liar Dilindungi
Menurut Semiadi (2007) terdapat nilai ekonomi yang terkandung dalam pemanfaatan
satwa liar. Timbulnya pasar perdagangan tidak lepas dari dinamika antara penjual, pembeli,
dan ketersediaan barang atau dalam hal ini adalah satwa liar. Berdasar pembahasan dari
1
beberapa penelitian ditemukan beberapa faktor yang mendorong maraknya pasar gelap satwa
liar.
a. Budaya
Faktor budaya ini seringkali dikesampingkan. Namun banyak pihak justru
menuding bahwa sifat-sifat pemanfaatan budaya suatu bangsa terhadap kehidupan
liar yang justru membuat pasar gelap satwa liar semakin berkembang. Hal ini
menyebabkan penanganan dan pencegahan penurunan populasi terlambat dilakukan.
Kebutuhan masyarakat akan gizi yang cukup dengan mengkonsumsi daging juga
meningkatkan perburuan rusa di beberapa daerah di Indonesia, meski kemudian
penurunan populasi berusaha diatasi dengan program recovery.
Pada saat surplus, populasi Rusa Bawean yang berasal dari Kebun Binatang
Surabaya disebar ke beberapa anggota masyarakat di wilayah Jawa Timur dan Pulau
Madura untuk dikembangbiakkan. Namun, sayangnya usaha ini mengalami
kegagalan karena kurangnya pengetahuan tentang biologi rusa, teknik pemeliharaan,
monitoring serta dukungan dari masyarakat dan aparat pemerintah setempat.
Memang rusa telah dimanfaatkan masyarakat sebagai salah satu sumber gizi.
Hampir di setiap habitat yang kaya akan potensi satwa rusa, daging rusa akan dengan
mudah diperoleh. Namun saat ini mungkin wilayah yang tersisa dengan potensi rusa
yang tinggi hanya terdapat di wilayah Kalimantan dan Papua. Biasanya demi tujuan
komersil dan konsumsi, para pemburu memburu rusa tanpa memerhatikan jenis
kelamin dan hanya melihat dari besar tubuh dan kemudahan dalam membunuh. Hasil
pantauan Pemda Merauke menyatakan bahwa konsumsi daging rusa setiap hari
tercatat mencapai 1080 kg daging rusa (Semiadi, 2007).
b. Satwa Peliharaan
Berbagai jenis spesies satwa liar diekspor dari Indonesia. Salah satu yang
menjadi favorit adalah primata. Terlepas dari tujuan percobaan atau eksperimen,
primata diperdagangkan secara luas sebagai hewan peliharaan di Indonesia. Macaca
fascicularis yang sering menjadi incaran pembeli sebenarnya tidak diperbolehkan
untuk diperjualbelikan sebagai satwa apalagi diekspor ke negara lain.
Hasil survey dan observasi menunjukkan bahwa monyet ekor panjang dan
kukang atau Nycticebus coucang adalah satwa atau primata yang palingsering
dijumpai dalam perjualbelian satwa liar. Sedangkan kukang termasuk dalam salah
satu satwa dilindungi dalam kebijakan nasional. Kebanyakan primata ini dijual secara
2
terbuka dan enam dari sepuluh spesies yang terlihat diperjualbelikan adalah satwa
yang dilindungi oleh kebijakan di Indonesia (Shepherd, 2010).
c. Lemahnya Regulasi atau Kebijakan
Beberapa kebijakan dan peraturan yang ada sebenarnya sudah memberikan
larangan akan perdagangan satwa dilindungi. Namun hal ini kemudian dianggap
justru membuat perdagangan satwa dilindungi semakin dicari dan dihargai tinggi.
Hal ini yang terjadi pada perdagangan gading gajah dan cula badak yang secara jelas
telah dilarang namun terus saja dicari dan diminati oleh para kolektor.
Terdapat beberapa hal yang menunjukkan ketidakefektifan dari larangan
mengenai satwa liar dilindungi. Contohnya seperti yang terjadi di Afrika Selatan
sebagai habitat dari badak putih dan hitam yang tergolong jarang. Pada tahun 2010
sebanyak 260 badak dibunuh secara ilegal. CITES telah membuat larangan akan
perdagangan cula badak dan kelima jenis badak telah dimasukkan dalam daftar
terancam punah. Namun meski begitu, perdagangan cula badak secara ilegal semakin
meningkat dengan adanya larangan (Santos et al. 2014).
Hal ini menunjukkan bahwa daftar Appendix 1 yang dikeluarkan oleh CITES
tidak menjamin keberlangsungan hidup dari spesies-spesies tertentu tanpa adanya
perlindungan dan aksi dari lapangan. Penurunan populasi badak berkorelasi dengan
meningkatnya harga cula badak di pasar gelap. Berbagai hal seperti ketidakstabilan
politik, korupsi, dan kurangnya kebijakan serta sumber daya yang dapat mengontrol
membuat perdagangan gelap satwa liar semakin berkembang.
Upaya untuk Mengurangi Perdagangan Satwa Liar
Maka berdasar beberapa faktor penyebab tersebut perlu dilakukan upaya-upaya lebih
lanjut khususnya oleh pemerintah untuk mendorong konservasi dan pelestarian dari satwasatwa liar khususnya yang dilindungi di Indonesia. Salah satunya adalah dengan menyusun
berbagai kebijakan di lapangan yang dapat melengkapi ketentuan yang telah dibuat oleh
CITES. Namun, sebelumnya perlu diketahui juga mengenai definisi dan tipe dari larangan
mengenai satwa liar.
Larangan mengenai satwa liar (wildlife ban) adalah ketetapan resmi yang melarang
perdagangan satwa liar secara komersial, baik secara individu, bagian tubuh atau produk jadi
dari satwa liar. Tujuan utama dari larangan ini adalah untuk mengurangi penggunaan spesies
tertentu secara komersial untuk menjaga populasi spesies tersebut. Terdapat dua tipe
larangan, yaitu
3
a. Larangan satwa liar secara internasional oleh CITES
Convention on international trade in endangered species of wild fauna and
flora (CITES) muncul pada tahun 1973. CITES merupakan hasil dari kesepakatan
secara internasional yang dibuat berdasar data dan informasi yang didapatkan secara
ilmiah. Pada CITES ini dirumuskan tiga appendix yaitu, appendix 1 adalah larangan
akan perdagangan spesies yang terancam punah. Appendix II melindungi spesies
yang memiliki resiko terancam punah bila perdagangan tidak dikontrol dan
membolehkan perdagangan dengan adanya ijin. Appendix III melindungi spesies yang
diajukan oleh pihak tertentu dan memberikan ijin dengan kontrol yang tidak terlalu
dibatasi seperti pada appendix II.
b. Larangan non CITES
Pemerintah memiliki peranan penting dalam memerangi perdagangan gelap
satwa liar secara internasional. Larangan secara resmi yang dikeluarkan oleh
pemerintah dapat membantu upaya konservasi satwa dilindungi di negara tersebut.
Contohnya larangan impor unggas oleh European Union (EU) adalah salah satu
larangan non CITES yang dikeluarkan untuk mengurangi penyebaran virus flu burung
dan juga memperbaiki status konservasi burung di daerah tersebut. Hal ini membatasi
potensi perdagangan spesies burung-burung yang dianggap eksotik untuk memastikan
juga populasi mereka tidak terancam oleh perdagangan satwa liar secara internasional.
Upaya Pemerintah
Oleh karena itu beberapa upaya juga dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk
mengurangi tindakan perjualbelian satwa liar dilindungi. Hal ini dikemukakan oleh Iqbal,
Kurnia, dan Susanti (2014) dalam penelitian mereka dimana pemerintah Indonesia berusaha
melakukan upaya preventif dan represif dalam menekan perdagangan gelap satwa liar
dilindungi.
a. Upaya Preventif
Berdasarkan pasal 27 ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999
tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa menyebutkan tindakan preventif yang
meliputi penyuluhan, pelatihan penegakan hukum bagi aparat-aparat penegak hukum
dan penerbitan buku manual untuk mengidentifikasi jenis tumbuhan dan satwa yang
dilindungi dan tidak dilindungi.
4
Upaya preventif atau pencegahan disini juga adalah upaya yang dilakukan
oleh para aparat penegak hukum di Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA)
dalam penegakan atas penyimpangan yang terjadi pada satwa yang dilindungi oleh
pemerintah. Beberapa penyimpangan ini adalah kepemilikan satwa yang dilindungi
tanpa izin, perburuan satwa dilindungi dan penjualan satwa dilindungi secara ilegal.
Salah satu upaya pencegahan lainnya adalah dengan menetapkan jenis-jenis
satwa yang dilindungi berdasar undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dalam undang-undang ini
juga dijelaskan pengertian satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, di
air, dan di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas
maupun yang dipelihara oleh manusia. Sedangkan pengertian satwa langka adalah
semua jenis sumber daya alam hewani baik yang hidup di darat, di air, dan di udara
yang mana sudah jarang ditemui di habitat aslinya dan terancam punah. Pada undangundang ini juga diatur mengenai pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa
beserta ekosistemnya.
b. Upaya Represif
Tindakan represif yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun
1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa adalah tindakan penegakan
hukum terhadap dugaan adanya tindakan hukum terhadap usaha pengawetan jenis
tumbuhan dan satwa. Pada pasal 21 ayat 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan ekosistemnnya juga dikatakan bahwa
setiap orang dilarang untuk mengambil, menebang, memiliki, mengangkut, dan
memperniagakan hewan atau tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam
keadaan hidup ataupun mati. Pihak yang melakukan pelanggaran dapat dijatuhi
hukuman penjara dan denda bila terbukti bersalah.
Namun dikatakan bahwa hukuman yang diberikan hingga saat ini belum
mampu memberikan efek jera karena skalanya yang terbilang ringan sehingga
membuat pelaku mengulangi perbuatannya. Selain itu juga dikarenakan besarnya
keuntungan yang didapat dari memperjualbelikan satwa liar dilindungi secara ilegal.
Memang upaya preventif dan represif ini bisa membantu dalam mengurangi
perdagangan satwa liar dilindungi, namun berbagai kekurangan dalam peraturan perundangundangan masih memberi celah bagi para pelaku untuk mengulangi perbuatannya. Oleh
5
karena itu Santos dkk. (2010) memaparkan juga beberapa faktor yang dapat memengaruhi
kesuksesan sebuah larangan perdagangan satwa liar dilindungi.
Beberapa faktor ini diantaranya yaitu menciptakan strategi pemasaran yang membuat
satwa liar atau produk dari satwa menjadi kurang atraktif atau menarik bagi para konsumen
sehingga jumlah permintaan pun menurun. Kampanye-kampanye mengenai resiko yang dapat
timbul dari interaksi dengan satwa liar hingga mempublikasikan ancaman terhadap kehidupan
satwa liar dan kondisi tak manusiawi dalam perdagangan satwa. Hal ini dapat mengurangi
ketertarikan dan meningkatkan empati para konsumen sehingga mereka juga akan berusaha
untuk mengurangi pembelian terhadap satwa liar diindungi atau produk tertentu yang telah
dilarang.
Permintaan juga akan berkurang bila tersedia pengganti. Pada kasus burung kakaktua,
individu kakaktua yang dilahirkan dan dirawat di penangkaran lebih jinak dan sehat
dibanding dengan burung yang ditangkap di alam liar. Dengan kata lain, ini dapat menjadi
pilihan yang lebih baik bagi para pembeli karena mereka akan memilih hewan peliharaan
dengan kualitas yang lebih baik. Secara keseluruhan, contoh ini menunjukkan bahwa
larangan sebenarnya juga dapat justru mengurangi efek dari upaya konservasi bila tidak
dilakukan dengan strategi yang tepat.
KESIMPULAN
Berbagai hal dapat menjadi pendorong dari terus meningkatnya perdagangan ilegal
satwa liar dilindungi. Salah satu upaya konservasi yang dapat dilakukan dapat dimulai
dengan mengurangi tingkat permintaan dari konsumen. Ketetapan yang telah diatur dalam
CITES juga harus dibarengi dan didukung dengan kebijakan pemerintah dari tiap negara yang
menginginkan sumber daya hayatinya tetap terjaga dan lestari. Maka larangan-larangan akan
perdagangan satwa liar dan kepemilikan harus diterapkan di Indonesia.
Berbagai upaya preventif dan represif juga dapat menjadi salah satu cara untuk
mencegah munculnya perdagangan dan perjualbelian ilegal yang disebabkan karena
kurangnya pengetahuan akan satwa yang dilindungi. Tindak pidana yang tegas juga harus
diberikan bagi setiap pelaku yang terbukti melanggar dan menyebabkan berkurangnya
populasi satwa liar dilindungi. Selain itu perundang-undangan (Nomor 5 tahun 1990 dan
Nomor 7 tahun 1999) yang ada juga dapat menjadi kontrol dalam industri perdagangan satwa
liar di masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari kerjasama pemerintah internasional, nasional,
BKSDA, serta masyarakat dalam memberantas perdagangan satwa liar secara ilegal di
6
Indonesia. Tanpa adanya kesatuan dan kerjasama dari berbagai pihak ini upaya konservasi
satwa liar ini akan sulit untuk dilakukan.
Terakhir, edukasi haruslah menjadi strategi kunci jangka panjang dari program
konservasi. Hal ini diperlukan agar generasi-generasi mendatang dapat lebih memahami
pentingnya pelestarian dan konservasi tak hanya satwa liar tetapi juga setiap sumber daya
alam hayati dan non hayati yang ada di bumi ini.
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, H., & M. Bismark. 2007. Status populasi dan konservasi satwaliar mamalia di
Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hutan dan
Konservasi Alam. Vol. IV No. 2:117-128.
Iqbal, M., M. P. Kurnia, E. Susanti. 2014. Tinjauan yuridis terhadap kepemilikan dan
penjualan satwa langka tanpa izin di Indonesia. Jurnal Beraja NITI, Vol. 3, No. 3.
Miller, G. & S. E. Spoolman. 2012. Living in the Environment 17th Edition. Brooks/Cole,
Cengage Learning: Canada.
Santos, A., Satchabut, T., & Vigo Trauco, G. 2001. Do wildlife trade bans enhance or
undermine conservation efforts?. Applied Biodiversity Perspective Series, 1(3), 1‐15.
Semiadi, G. 2007. Pemanfaatan satwa liar dalam rangka konservasi dan pemenuhan gizi
masyarakat. Zoo Indonesia, 16 (2): 63-74.
Shepherd,C. R. 2010. Illegal primate trade in Indonesia exemplified by surveys carried out
over a decade in North Sumatra. Endangered Species Research, Vol. 11:201-205.
DISUSUN OLEH:
LIANY D. SUWITO
2015
7