PERANAN UNHCR DALAM MELINDUNGI PENGUNGSI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam hal perlindungan internasional terhadap pengungsi, tujuan untuk mendapatkan
suaka politik adalah perbuatan yang legal dan merupakan bagian dari hak asasi
manusia.Deklarasi Universal HAM 1948 pasal 14 ayat 1 menyebutkan tentang setiap orang
berhak mencari dan mendapatkan suaka di negara lain untuk melindungi diri dari pengejaran.
Hak atas kebebasan ini dipertegas lagi dalam Declaration of Territorial Asylum 1967
yang menyatakan bahwa :
1) Setiap orang memiliki hak untuk mencari dan menikmati suaka di negara lain karena
kekhawatiran mengalami penyiksaan.
2) Hak ini tak dapat dimohonkan dalam kasus-kasus yang sifatnya non politis ataupun
karena tindakan-tindakan yang bertentangan dengan maksud dan prinsip-prinsip yang
terkandung dalam piagam PBB.
Kedua deklarasi ini mempertegas bahwa pengungsi yang berhak mendapatkan suaka
adalah mereka yang mengalami ketakutan dan kekhawatiran akan menjadi korban dari suatu
penyiksaan/penganiayaan di negaranya, sehingga memilih untuk mencari perlindungan (suaka)
ke negara lain. Namun, permohonan suaka ini dibatasi hanya untuk ketakutan yang timbul dari
suatu kejahatan politik dan tidak untuk selainnya. Apalagi apabila permohonan tersebut
berlawanan dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip PBB.
Ada banyak definisi tentang pengungsi, dari yang paling sempit sampai yang paling luas.
Apabila dilihat dari definisi secara harfiah atau bahasa, istilah pengungsi internasional adalah
mereka yang lari dari suatu daerah, yang karena ruang lingkupnya internasional, maka mereka
melarikan diri dari suatu negara untuk kemudian memasuki wilayah Negara lainnya untuk
mencari pengungsian. Adapun syaratnya mereka dikatakan sebagai pengungsi internasional
secara harfiah adalah mereka haruslah melewati batas wilayah suatu negara ke Negara lainnya.
Karena apabila mereka tidak melewati batas wilayah negaranya maka bisa dikatakan sebagai
pengungsi lokal. Secara harfiah, istilah ini tidak dibedakan alasan mereka pergi dari negaranya,
apakah karena alasan perang, bencana alam, ataupun karena alasan ekonomi. Istilah ini menjadi
berbeda apabila didefinisikan secara legal atau hukum.
Setelah Perang Dunia II, negara-negara anggota PBB mendorong lahirnya apa yang
sekarang dikenal sebagai Konvensi PBB Tahun 1951 tentang Status Pengungsi. Pada mulanya,
konvensi ini diterapkan untuk mereka yang mengungsi di Eropa sebelum tahun 1951. Pada tahun
1967, sebuah protokol untuk Konvensi ini telah menghapuskan pembatasan waktu dan tempat
yang dirumuskan sebelumnya. Konvensi ini merumuskan pengungsi sebagai orang yang
memiliki rasa takut yang beralasan akan adanya penganiayaan yang berdasarkan atas ras, agama,
kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau pandangan politik, yang berada di
luar negara asalnya, dan tidak dapat atau karena rasa takutnya, tidak bersedia menerima
perlindungan dari negaranya.
1
Karena definisi di atas hanya berlaku bagi orang-orang yang takut terhadap
penganiayaan, organisasi-organisasi regional baik di Afrika (Persatuan Afrika 1969) maupun di
Amerika Latin (Organisasi Negara-negara Amerika 1984) telah memperluas definisi tersebut
yang mencakup pula pengungsian masal yang terjadi sebagai akibat dari kehancuran sosial
maupun ekonomi dalam konteks konflik.
Dalam hukum, mereka yang mencari pengungsian di negara lain justru dikatakan sebagai
pencari suaka (asylum seeker), bukan pengungsi internasional. Status Pengungsi Internasional
justru diberikan setelah dia dinyatakan layak menyandang status sebagai pengungsi internasional
oleh mereka yang kompeten memberikan status tersebut. Dalam hal pemberian status tersebut
kita mengenal dua pihak, yaitu United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) bagi
negara yang belum meratifikasi konvensi mengenai pengungsi internasional ataupun suatu
negara itu sendiri apabila dia sudah meratifikasi konvensi tersebut. Dalam hal ini Indonesia
merupakan salah satu Negara yang belum meratifikasi Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi
dan Protokol 1967, dengan demikian pemerintah Indonesia memberikan wewenang bagi
UNHCR untuk menjalankan aktivitas mandatnya di Indonesia.
UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) atau Komisioner Tinggi PBB
untuk Pengungsi adalah suatu badan yang bemarkas di Kota Jenewa, Swiss. Badan ini didirikan
pada tanggal 14 Desember 1950, bertujuan untuk melindungi dan memberikan bantuan kepada
pengungsi berdasarkan permintaan sebuah pemerintahan atau PBB kemudian untuk
mendampingi para pengungsi tersebut dalam proses pemindahan tempat menetap mereka ke
tempat yang baru. Di tahun berikutnya, pada 28 Juli, Konvensi PBB tentang Status Pengungsi,
sebuah dasar hukum dalam membantu pengungsi dan statuta dasar yang mengarahkan kerja
UNHCR, dicetuskan. Badan ini menggantikan Organisasi Pengungsi Internasional dan Badan
PBB untuk Administrasi Bantuan dan Rehabilitasi.
Badan itu diberi mandat untuk memimpin dan mengkoordinasikan langkah-langkah
internasional untuk melindungi pengungsi dan menyelesaikan permasalahan pengungsi di
seluruh dunia. Tujuan utamanya adalah untuk melindungi hak-hak para pengungsi. Badan ini
memastikan setiap pengungsi mendapatkan hak untuk memperoleh perlindungan.
Pada tahun 1956, UNHCR mengalami keadaan darurat terbesarnya yang pertama, dimana
jumlah pengungsi mengalami peledakan dikarenakan Soviet yang menghancurkan Revolusi
Hongaria. Segala teori yang menyebutkan bahwa UNHCR tidak dibutuhkan, tidak lagi
mengemuka. Pada tahun 1960-an, dekolonisasi Afrika menyebabkan krisis pengungsi dalam
jumlah terbesar dalam benua tersebut hingga membutuhkan intervensi UNHCR. Selama dua
dekade berikutnya UNHCR membantu mengatasi pergerakan manusia di Asia dan Latin
Amerika. Pada akhir abad, terdapat permasalahan pengungsi baru di Afrika, menjadikan adanya
siklus yang berulang dan membawa gelombang pengungsi baru di Eropa menyusul serangkaian
perang di daerah Balkan.
Pada awal abad 21, UNHCR telah membantu berbagai krisis pengungsi terbesar di Afrika
seperti di Republik Demokrat Kongo dan Somalia, serta di Asia, terutama dalam permasalahan
pengungsi di Afghanistan yang berlangsung selama 30 tahun. Pada saat yang sama, UNHCR
diminta untuk menggunakan keahliannya untuk mengatasi permasalahan pengungsi internal yang
disebabkan oleh konflik. Disamping itu, peran UNHCR juga meluas hingga menangani bantuan
bagi orang – orang tanpa kewarganegaraan, sebuah kelompok orang yang berjumlah jutaan
2
namun tidak kasat mata, sementara mereka menghadapi bahaya kehilangan hak – hak dasarnya
karena tidak memiliki kewarganegaraan. Di beberapa bagian dunia seperti Afrika dan Amerika
Latin, mandat awal UNHCR yang ditetapkan pada tahun 1951 telah diperkuat dengan adanya
perjanjian tentang instrumen hukum regional.
Kehadiran UNHCR di Indonesia ditandai dengan , terjadinya perang saudara di
Semenanjung Indo-china, seperti Vietnam, Kamboja, dan Myanmar pada tahun 1974. Perang
yang cukup lama ini memakan ribuan korban jiwa, dan mereka yang tidak ingin menjadi korban
berikutnya pun akhirnya memilih lari dari negara mereka berasal. Indonesia sebagai salah satu
negara ASEAN dan yang cukup dekat jaraknya dengan negara mereka akhirnya menjadi salah
satu destinasi atau tujuan dari pengungsian tersebut. Direncanakan atau tidak, hanya dilewati
ataukah terkena angin atau bagaimana, tibalah mereka di beberapa pulau di Indonesia, kondisi
mana yang akhirnya nanti disepakati untuk dibangun suatu processing centre di salah satu pulau
untuk khusus menangani permasalahan pengungsian ini. Meskipun Konvensi mengenai
pengungsi Internasional sudah ada sejak tahun 1951, karena satu dan lain hal, hingga akhir tahun
1970-an tersebut, Indonesia belum juga ikut sebagai pihak konvensi. Hal ini mengakibatkan
Indonesia tidak memiliki suatu know-how skill bagaimana cara menangani dan melakukan
pendaftaran serta pemberian status kepada para pengungsi ini.
Pada tahun 1981, dengan berbagai inisiatif, diundanglah UNHCR untuk membuka kantor
cabang di Indonesia, dan Indonesia melalui berbagai pertemuan dengan negara-negara ASEAN
sepakat bahwa pulau Galang dijadikan sebagai Processing Centre sementara, dengan berbagai
persyaratan. Processing Centre ini pun akhirnya selesai digunakan dan ditutup pada medio 1990an. Hingga sekarang situs bersejarah tersebut masih dikenal sebagai tempat wisata dengan nama
kamp pengungsi Vietnam.
Pada akhir tahun 2010, tercatat kurang lebih 3.000-an pencari suaka datang ke Indonesia
untuk mendapatkan status sebagai pengungsi internasional yang mana untuk kemudian
dilanjutkan dengan ditempatkan di Negara ketiga seperti Amerika Serikat dan Australia.
Sesuai dengan perkembangan zaman, UNHCR juga menghadapi banyak masalah –
masalah terbaru terkait dengan permasalahan pengungsi di Indonesia. Kedatangan yang dulunya
didominasi oleh para pencari suaka dari daratan Indo-China, saat ini sudah mulai didominasi
oleh negara-negara Timur Tengah seperti Afghanistan, Iran, dan Irak dengan tidak menutupi
fakta adanya kedatangan pencari suaka dari dataran Afrika seperti Kongo dan Asia seperti Sri
Lanka dan Myanmar. Kesemua ini mencari peruntungan dengan mengikuti proses pencarian
suaka melalui UNHCR, dan karena Indonesia belum meratifikasi konvensi maka kehadiran
UNHCR merupakan salah satu faktor pembantu dalam menyelasaikan permasalahan pengungsi
internasional.
3
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, rumusan masalah yang ingin
penulis kemukakan pada tulisan ini adalah :
1. Sejauhmana peran UNHCR dalam menangani masalah pengungsi yang ada di Indonesia?
2. Bagaimana bentuk kerjasama antar pemerintah Indonesia dengan UNHCR dalam
menangani masalah pengungsian yang ada di Indonesia?
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengungsi di Indonesia
Masuknya para pengungsi ke wilayah Indonesia yang jumlahnya cenderung meningkat
dapat menimbulkan gangguan kehidupan sosial, politik, keamanan dan ketertiban masyarakat.
Apalagi jika keberadaan mereka disusupi oleh kegaitan teroris internasional, traffiking in person
atau kegiatan kriminal lainnya. Pergerakan dan perpindahan manusia sebagai individu atau
kelompok akan mempunyai dampak, baik yang bersifat positif maupun negatif pada individu
atau kelompok penerima.
Arus pengungsian ke wilayah Indonesia terus terjadi dari tahun ke tahun. Hal ini terjadi
dikarenakan adanya faktor – faktor pendorong dan penarik para pengungsi tersebut ke wilayah
Indonesia. Adapun faktor – faktor tersebut antara lain :
Ad. 1 Faktor Pendorong
a. Konflik yang berkepanjangan di negara asal terkait dengan aspek politik, keamanan,
sukuisme, dll.
b. Keadaan ekonomi dan kampung halaman yang buruk sebagai akibat dari konflik tersebut
(keinginan untuk memperoleh kehidupan yg lebih baik).
c. Bujukan dari agen penyelundupan manusia.
Ad. 2 Faktor Penarik
a. Letak geografis Indonesia sangat strategis untuk melintas ke Australia (didukung dengan
kelemahan bidang keamanan dan pengawasan perbatasan RI)
b. Tersebarnya info bahwa UNHCR di Indonesia melakukan RSD lebih cepat dari UNHCR
di Malaysia (jumlah imigran ilegal berstatus pencari suaka & pengungsi maupun yg telah
ditolak & belum terdaftar di Malaysia lebih dari 40 ribu orang, di Indonesia “hanya” ± 2
ribu orang).
c. Kultur Masyarakat Indonesia yang terkesan “dapat menerima” pendatang baru (mayoritas
muslim).
B. Peran UNHCR di Indonesia
UNHCR merupakan organisasi internasional dengan keanggotaan yang universal dan
mandate yang khusus. Hal ini bermakna bahwa UNHCR terdiri dari dua atau lebih Negara
sebagai anggotanya yang memiliki satu visi yang sama dan memfokuskan tugasnya untuk
menangani permasalahan pengungsi dunia. Para anggota merupakan representative dari
negaranya yang tidak terikat dengan kondisi politik negaranya, sehingga UNHCR dan aktivitas
5
yang dijalankannya dapat bersifat non politis, dan sepenuhnya berkonsentrasi pada tugas – tugas
kemanusiaan.
UNHCR telah berdiri di Indonesia sejak tahun 1979, saat ini berkantor pusat di Jakarta
dan memiliki perwakilan di Medan, Tanjung Pinang, Makassar, Kupang dan Pontianak. Pada
masa awal berdirinya, aktivitas UNHCR berfokus pada penanganan kedatangan pengungsi
Vietnam dengan kapal dalam jumlah besar, seperti yang termaktub dalam Comprehensive Plan
of Action (CPA), sebuah rencana aksi yang dicetuskan pada 14 Juni 1989 oleh negara-negara
anggota yang mengikuti Konferensi Internasional tentang Pengungsi Indo-Cina. Adapun
tanggungjawab khusus UNHCR dalam menangani pengungsi Indo-Cina dirumuskan dalam CPA
tersebut. Pada tahun 1979, pemerintah Indonesia memberikan otorisasi untuk pendirian kamp
pengungsian di Pulau Galang, yang mengakomodir lebih dari 170,000 pengungsi hingga pada
saat kamp tersebut ditutup pada tahun 1996.
Indonesia belum menjadi Negara Pihak dari Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi dan
Protokol 1967, dan belum memiliki sebuah sistem penentuan status pengungsi. Dengan
demikian, pemerintah memberikan kewenangan kepada UNHCR untuk menjalankan mandat
perlindungan pengungsi dan untuk menangani permasalahan pengungsi di Indonesia.
Berada diantara negara – negara penerima pencari suaka dan pengungsi dalam jumlah
besar seperti Malaysia, Thailand dan Australia, secara berkelanjutan Indonesia terkena dampak
dari pergerakan populasi tercampur (mixed population movements). Meskipun jumlah
kedatangan baru pencari suaka yang tinggi telah menjadikan masalah suaka/ migrasi sebagai
salah satu faktor penting dalam bidang keamanan Negara (385 di tahun 2008; 3,230 pada
tahun 2009; 3,905 pada tahun 2010 dan 4,052 di tahun 2011, dengan sebagian besar pendatang
berasal dari Afghanistan, Iran, Iraq, Myanmar, Pakistan, Somalia dan Sri Lanka) pencari suaka
dan pengungsi tetap memperoleh perlindungan atas pemulangan paksa dan tetap diberikan akses
ke UNHCR.
Perlindungan yang diberikan UNHCR, dimulai dengan memastikan bahwa pengungsi dan
pencari suaka terlindung dari refoulement (yakni perlindungan dari pemulangan kembali secara
paksa ke tempat asal mereka dimana hidup atau kebebasan mereka terancam bahaya atau
penganiayaan). Perlindungan pengungsi lebih jauh mencakup proses verifikasi identitas pencari
suaka dan pengungsi agar mereka dapat terdaftar dan dokumentasi individual dapat dikeluarkan.
Sampai dengan akhir Februari 2013, sebanyak 1.938 pengungsi terdaftar secara kumulatif
di UNHCR Jakarta. Mereka berasal dari Afghanistan (48%), Myanmar (12%), dan Sri Lanka
(11%). UNHCR bersama dengan para mitranya mempromosikan aktivitas perlindungan dan
program bantuan untuk memastikan kebutuhan dasar para pengungsi dan pencari suaka terpenuhi
selama mereka menantikan solusi jangka panjang yang paling tepat
1. Penentuan Status Pengungsi atau Refugee Status Determination (RSD)
Pencari suaka yang telah terdaftar kemudian dapat mengajukan permohonan status
pengungsi melalui prosedur penilaian yang mendalam oleh UNHCR, yang disebut sebagai
Penentuan Status Pengungsi atau Refugee Status Determination (RSD). Prosedur ini antara lain
meliputi :
6
1) registrasi atau pendaftaran terhadap para pencari suaka.
2) wawancara (interview) secara individual dalam bahasa ibu para pencari suaka oleh
seorang staff RSD dan dibantu oleh seorang penerjemah ahli berkompeten, yang akan
menilai keabsahan permintaan perlindungan yang diajukan.
3) selanjutnya pencari suaka akan diberikan keputusan, apakah status pengungsi diberikan
atau tidak kepadanya, beserta dengan alasannya.
Mereka yang teridentifikasi sebagai pengungsi akan menerima perlindungan selama UNHCR
mencarikan solusi jangka panjang, yang biasanya berupa penempatan di negara lain. Untuk
tujuan ini, UNHCR berhubungan erat dengan negara – negara yang memiliki potensi untuk
menerima pengungsi. Apabila permintaan untuk perlindungan ditolak, prosedur dalam RSD
memberlakukan satu kesempatan untuk pengajuan ulang (banding).
2. Solusi Permanen Terhadap Pengungsi yang Ditawarkan UNHCR
Sebagaimana yang tertera dalam pasal 1 Statuta UNHCR, salah satu fungsi UNHCR
adalah mencari solusi permanen bagi mereka yang mendapatkan status pengungsi. UNHCR akan
mencarikan satu dari tiga solusi jangka panjang yang memungkinkan, yaitu:
1) Pemulangan sukarela (Repatriation)
Syarat yang diperlukan untuk pemulangan pengungsi secara seukarela ke Negara asalnya
aalah keamanan dan pulihnya perlindungan nasional. Jika keduanya belum ada, seringkali
pemulangan pengungsi hanya bersifat sementara.
2) Penempatan di negara ketiga (Resettlement)
Pemindahan pengungsi ke Negara ketiga ini merupakan alat perlindungan terhadap
pengungsi yang hidup, kebebasan, keamanan, kesehatan dan hak fundamental lainnya
menghadapi resiko di Negara suaka. Resettlement merupakan bentuk berbagi beban dan
tanggung jawab antara para peserta Konvensi 1951
3) Integrasi lokal
Dalam integrasi lokal, Negara suaka menawarkan agar pengungsi dapat tinggal secara
permanen di wilayahnya. Sehingga ada kemungkinan naturalisasi kewarganegaraan
pengungsi. Integrasi lokal terjadi melalui beberapa tahapan :
a) Pengungsi mendapat hak yang semakin luas, sehingga sama dengan yang
dinikmati oleh warga Negara dari Negara suaka, kemudian pengungsi diijinkan
tinggal secara permanen dan kemungkinan naturalisasi
b) Pengungsi semakin tidak bergantung dengan bantuan dari Negara suaka maupun
bantuan kemanusiaan lainnya karena telah dapat memenuhi kebutuhannya sendiri
c) Pengungsi berpartisipasi dalam kehidupan sosial di Negara barunya
7
Namun, solusi yang terakhir tidak berlaku di Indonesia karena pemerintah tidak
memberikan izin tinggal secara Permanen di Indonesia bagi pengungsi. Penempatan di negara
ketiga sejauh ini masih menjadi satu-satunya solusi bagi mayoritas pengungsi di Indonesia.
Dalam menjalankan solusi - solusi yang disebut di atas, UNHCR bekerjasama dengan
pemerintah – pemerintah, organisasi, dan instansi swasta untuk memudahkan repatriasi secara
sukarela para pengungsi dan reintegrasi ke Negara asal mereka, integrasi para pengungsi di
Negara pemberi suaka atau di Negara pengungsi dimukimkan kembali (resettlement). Bila perlu
UNHCR akan memberikan bantuan material untuk jangka waktu pendek.
C. Kerjasama UNHCR dan Pemerintah Indonesia
Indonesia belum menjadi Negara Pihak Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi atau
Protokol 1967, dan Indonesia tidak memiliki kerangka hokum dan sistem penentuan status
pengungsi. Sehubungan dengan keadaan tersebut, UNHCR menjadi badan yang memproses
permintaan status pengungsi di Indonesia.
Penanganan pengungsi yang masuk ke Indonesia selama ini mengandalkan masalah
penanganan pengungsi pada UNHCR. Hal ini disebabkan oleh karena Indonesia hingga saat ini
belum meratifikasi konvensi mengenai status pengungsi tahun 1951 dan protokol tahun 1967,
sehingga pemerintah sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk menentukan apakah
seseorang atau kelompok orang yang meminta status pengungsi, diakui sebagai pengungsi.
Kewenangan tersebut dilakukan oleh UNHCR, tanpa campur tangan pemerintah.
Setiap pendatang yang masuk ke wilayah Indonesia, tentu akan terdeteksi oleh imigrasi.
Maka secara umum mereka dikategorikan sebagai irregular migrant, sampai dengan petugas
imigrasi menemukan beberapa pendatang yang mengaku sebagai refugee. Namun demikian,
pemerintah melalui petugas imigrasi, tidak dapat menentukan status mereka sebagai refugee atau
bukan. Karenanya mereka akan segera menghubungi UNHCR untuk dapat mewawancarai dan
memeriksa latar belakang masuknya pengungsi tersebut ke wilayah Indonesia. Apabila ternyata
orang tersebut memenuhi kategori sebagai pengungsi, maka kemudian UNHCR akan
membantunya agar dapat diterima oleh negara ketiga. Selama menunggu kabar baik dari negara
ketiga, setiap pengungsi memperoleh berbagai kebutuhan dasar dari UNHCR, termasuk tempat
tinggal sementara.
Secara legal seolah-olah tidak ada kewajiban bagi Indonesia untuk memenuhi kebutuhan
yang ada dalam Konvensi 1951 tentang Pengungsi. Tetapi pada bulan Desember tahun 1950
dengan sesuai resolusi statuta UNHCR 1950 telah diterima oleh Majelis PBB.
Dalam resolusi tersebut terdapat suatu seruan agar semua negara anggota PBB
memberikan kerjasamanya kepada UNHCR dalam pelaksanaan kedua mandatnya, yaitu
memberikan perlindungan internasional kepada pengungsi dan mencari solusi permanen bagi
masalah pengungsi.
Implementasi dari seruan ini adalah bila ada yang mengaku pengungsi atau pencari suaka
masuk ke Indonesia, maka kita melaksanakan resolusi tersebut dengan kerjasama, yaitu dengan
cara memberitahukannya kepada UNHCR, sehingga tidak dapat semata-mata dilihat dari sudut
8
pandang keimigrasian. Resolusi yang telah berumur 54 tahun ini dalam prakteknya di lapangan
dianut oleh berbagai bangsa. Resolusi ini sudah menjadi hukum kebiasaan internasional sehingga
semua negara baik pihak maupun bukan pihak mematuhinya.
Terkait dengan penanganan pengungsi internal atau Internally Displaced People (IDPs),
yang telah berkembang secara luas di berbagai belahan dunia sebagai akibat dari bencana alam
dan bencana yang disebabkan oleh manusia. Di Indonesia, sama seperti di Negara lain, UNHCR
hanya memberikan perlindungan dan bantuan bagi IDPs apabila diminta oleh pemerintah.
Seperti contoh, ketika terjadi bencana tsunami di Aceh dan Nias pada tahun 2004 yang
menewaskan lebih dari 200.000 ribu orang, UNHCR diminta oleh Pemerintah Indonesia untuk
membantu ratusan ribu orang Indonesia yang harus mengungsi ke daerah lain yang lebih aman
(namun tetap dalam wilayah Indonesia).
UNHCR menjalankan mandatnya dalam hal keadaan tanpa kewarganegaraan di
Indonesia dengan cara melakukan berbagai aktivitas untuk mengidentifikasi populasi orang yang
tidak memiliki kewarganegaraan yang mungkin ada dan untuk melihat celah – celah yang ada
dalam peraturan yang berlaku yang mungkin mengarah kepada keadaan tanpa kewarganegaraan.
UNHCR juga mempromosikan dan mendorong dikeluarkannya dokumen dan perolehan
kewarganegaraan. Dalam menjalankan kegiatan tersebut, kantor UNHCR di Indonesia
melakukan upaya bahu membahu dengan instansi pemerintah yang relevan, LSM, badan PBB
lainnya (UNFPA, UNICEF) dan organisasi sosial sipil yang melalui berbagai diskusi dan
pertemuan membahas permasalahan untuk mengidentifikasi celah yang ada dalam peraturan dan
praktek kesehariannya, untuk memperkuat komitmen diantara para partisipan dalam mengatasi
tantangan yang saat ini ada dalam hal memperoleh kewarganegaraan Indonesia, dan untuk
menimbang nilai lebih yang dapat diperoleh apabila instrumen hukum terkait statelessness
diaksesi. Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI), Kementrian Hukum dan HAM dan
Kementrian Dalam Negeri adalah mitra kerja utama UNHCR dalam menangani statelessness.
Meskipun Indonesia saat ini belum menjadi Negara Pihak dari Konvensi 1954 tentang
Status Orang Tanpa Kewarganegaraan atau Konvensi 1961 tentang Pengurangan Keadaan tanpa
Kewarganegaraan, Indonesia telah mencapai kemajuan yang signifikan dalam reformasi
ketentuan dan Undang – undang kewarganegaraannya. Pemerintah Indonesia telah mengadopsi
berbagai langkah proaktif untuk mengurangi dan mencegah keadaan tanpa kewarganegaraan,
terutama dengan Undang – undang Kewarganegaraan 2006 yang menghapus ketentuan
diskriminasi yang ada sebelumnya dan dengan adanya pembaharuan dalam ketentuan
kewarganegaraan di Indonesia.
9
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
UNHCR suatu lembaga PBB yang mendapat mandat untuk memimpin dan
mengkoordinasikan langkah-langkah internasional untuk melindungi pengungsi dan
menyelesaikan permasalahan pengungsi di seluruh dunia. Tujuan utamanya adalah untuk
melindungi hak-hak para pengungsi. Badan ini memastikan setiap pengungsi mendapatkan hak
untuk memperoleh perlindungan.
Tugas UNHCR antara lain adalah melakukan penentuan status pengungsi atau refugee
status determination (RSD) dan juga memberikan solusi permanen untuk para pencari suaka
yang telah mendapat status pengungsi yang terdiri dari :
1) Pemulangan sukarela (Repatriation)
2) Penempatan di negara ketiga (Resettlement)
3) Integrasi lokal
Selain hal tersebut UNHCR juga turut menangani masalah pengungsi internal (IDPs), seperti
ketika terjadi bencana gempa dan tsunami di Aceh dan Nias pada tahun 2004, dan juga orang
yang tidak memiliki kewarganegaraan (non stateless person).
Dalam melakukan tugas – tugasnya di Indonesia, UNHCR juga melakukan banyak
kerjasama dengan Pemerintah Indonesia. Hal ini dapat kita lihat dalam hal penentuan status
pengungsi, yang mana jika pihak Indonesia yang mendapati adanya pencari suaka yang masuk ke
wilayah Indonesia, maka pihak Indonesia akan segera memberitahukan kepada pihak UNHCR
untuk kemudian ditangani secepatnya. Kemudian dalam hal terjadi bencana alam yang
mengakibatkan terjadinya pengungsian, yang dalam istilah disebut pengungsi internal, UNHCR
atas permintaan Pemerintah Indonesia akan turun untuk membantu para korban tersebut.
B. SARAN
Sebagai bangsa yang menjujung tinggi penghormatan dan penegakan hak asasi manusia,
hendaknya perlu ada suatu pengaturan secara legal terhadap pengungsi dan pencari suaka di
negara ini, baik mekanisme hukum dan kelembagaannya. Sehingga ratifikasi Konvensi Wina
1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol 1967 merupakan suatu hal yang mendesak untuk
dilakukan mengingat makin bertambahnya laju masuk pengungsi Internasional ke Indonesia. Hal
ini juga dapat mengurangi ketergantungan kita terhadap UNHCR dalam menangani
permasalahan pengungsi di Indonesia.
Dengan demikian proses penanganan pengungsi tersebut dapat lebih efisien, mengingat
keterbatasan yang dimiliki oleh UNHCR dalam hal sumber daya manusia dan biaya. Misalnya,
jika telah melakukan ratifikasi maka pemerintah Indonesia dapat membuat suatu peraturan yang
10
menempatkan proses penentuan status pengungsi di kantor – kantor Imigrasi yang tersebar di
seluruh wilayah Indonesia sehingga dapat tercapai suatu efisiensi yang tentunya menguntungkan
bagi pengungsi yang sering terlunta – lunta apalagi dengan dilakukannya penempatan di
Rudenim (Rumah Detensi Imigrasi).
Selain itu juga Indonesia perlu meratifikasi Konvensi – Konvensi tambahan yang terkait
dengan masalah seputar pengungsi Konvensi 1954 tentang Status Orang Tanpa
Kewarganegaraan atau Konvensi 1961 tentang Pengurangan Keadaan tanpa Kewarganegaraan
DAFTAR PUSTAKA
www.unhcr.or.id, situs resmi UNHCR Indonesia
www.unhcr.org
Statuta UNHCR tahun 1950
Konvensi 1950 tentang Status Pengungsi
11
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………………………… 4
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengungsi di Indonesia…………………………………………………………………. 5
B. Peran UNHCR di Indonesia………………………………………………………...…. 5
1. Penentuan Status Pengungsi atau Refugee Status Determination (RSD).................... 6
2. Solusi Permanen Terhadap Pengungsi yang Ditawarkan UNHCR............................. 7
C. Kerjasama UNHCR dan Pemerintah Indonesia............................................................ 8
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................................................... 10
B. Saran.................................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................. 12
12
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam hal perlindungan internasional terhadap pengungsi, tujuan untuk mendapatkan
suaka politik adalah perbuatan yang legal dan merupakan bagian dari hak asasi
manusia.Deklarasi Universal HAM 1948 pasal 14 ayat 1 menyebutkan tentang setiap orang
berhak mencari dan mendapatkan suaka di negara lain untuk melindungi diri dari pengejaran.
Hak atas kebebasan ini dipertegas lagi dalam Declaration of Territorial Asylum 1967
yang menyatakan bahwa :
1) Setiap orang memiliki hak untuk mencari dan menikmati suaka di negara lain karena
kekhawatiran mengalami penyiksaan.
2) Hak ini tak dapat dimohonkan dalam kasus-kasus yang sifatnya non politis ataupun
karena tindakan-tindakan yang bertentangan dengan maksud dan prinsip-prinsip yang
terkandung dalam piagam PBB.
Kedua deklarasi ini mempertegas bahwa pengungsi yang berhak mendapatkan suaka
adalah mereka yang mengalami ketakutan dan kekhawatiran akan menjadi korban dari suatu
penyiksaan/penganiayaan di negaranya, sehingga memilih untuk mencari perlindungan (suaka)
ke negara lain. Namun, permohonan suaka ini dibatasi hanya untuk ketakutan yang timbul dari
suatu kejahatan politik dan tidak untuk selainnya. Apalagi apabila permohonan tersebut
berlawanan dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip PBB.
Ada banyak definisi tentang pengungsi, dari yang paling sempit sampai yang paling luas.
Apabila dilihat dari definisi secara harfiah atau bahasa, istilah pengungsi internasional adalah
mereka yang lari dari suatu daerah, yang karena ruang lingkupnya internasional, maka mereka
melarikan diri dari suatu negara untuk kemudian memasuki wilayah Negara lainnya untuk
mencari pengungsian. Adapun syaratnya mereka dikatakan sebagai pengungsi internasional
secara harfiah adalah mereka haruslah melewati batas wilayah suatu negara ke Negara lainnya.
Karena apabila mereka tidak melewati batas wilayah negaranya maka bisa dikatakan sebagai
pengungsi lokal. Secara harfiah, istilah ini tidak dibedakan alasan mereka pergi dari negaranya,
apakah karena alasan perang, bencana alam, ataupun karena alasan ekonomi. Istilah ini menjadi
berbeda apabila didefinisikan secara legal atau hukum.
Setelah Perang Dunia II, negara-negara anggota PBB mendorong lahirnya apa yang
sekarang dikenal sebagai Konvensi PBB Tahun 1951 tentang Status Pengungsi. Pada mulanya,
konvensi ini diterapkan untuk mereka yang mengungsi di Eropa sebelum tahun 1951. Pada tahun
1967, sebuah protokol untuk Konvensi ini telah menghapuskan pembatasan waktu dan tempat
yang dirumuskan sebelumnya. Konvensi ini merumuskan pengungsi sebagai orang yang
memiliki rasa takut yang beralasan akan adanya penganiayaan yang berdasarkan atas ras, agama,
kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau pandangan politik, yang berada di
luar negara asalnya, dan tidak dapat atau karena rasa takutnya, tidak bersedia menerima
perlindungan dari negaranya.
1
Karena definisi di atas hanya berlaku bagi orang-orang yang takut terhadap
penganiayaan, organisasi-organisasi regional baik di Afrika (Persatuan Afrika 1969) maupun di
Amerika Latin (Organisasi Negara-negara Amerika 1984) telah memperluas definisi tersebut
yang mencakup pula pengungsian masal yang terjadi sebagai akibat dari kehancuran sosial
maupun ekonomi dalam konteks konflik.
Dalam hukum, mereka yang mencari pengungsian di negara lain justru dikatakan sebagai
pencari suaka (asylum seeker), bukan pengungsi internasional. Status Pengungsi Internasional
justru diberikan setelah dia dinyatakan layak menyandang status sebagai pengungsi internasional
oleh mereka yang kompeten memberikan status tersebut. Dalam hal pemberian status tersebut
kita mengenal dua pihak, yaitu United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) bagi
negara yang belum meratifikasi konvensi mengenai pengungsi internasional ataupun suatu
negara itu sendiri apabila dia sudah meratifikasi konvensi tersebut. Dalam hal ini Indonesia
merupakan salah satu Negara yang belum meratifikasi Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi
dan Protokol 1967, dengan demikian pemerintah Indonesia memberikan wewenang bagi
UNHCR untuk menjalankan aktivitas mandatnya di Indonesia.
UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) atau Komisioner Tinggi PBB
untuk Pengungsi adalah suatu badan yang bemarkas di Kota Jenewa, Swiss. Badan ini didirikan
pada tanggal 14 Desember 1950, bertujuan untuk melindungi dan memberikan bantuan kepada
pengungsi berdasarkan permintaan sebuah pemerintahan atau PBB kemudian untuk
mendampingi para pengungsi tersebut dalam proses pemindahan tempat menetap mereka ke
tempat yang baru. Di tahun berikutnya, pada 28 Juli, Konvensi PBB tentang Status Pengungsi,
sebuah dasar hukum dalam membantu pengungsi dan statuta dasar yang mengarahkan kerja
UNHCR, dicetuskan. Badan ini menggantikan Organisasi Pengungsi Internasional dan Badan
PBB untuk Administrasi Bantuan dan Rehabilitasi.
Badan itu diberi mandat untuk memimpin dan mengkoordinasikan langkah-langkah
internasional untuk melindungi pengungsi dan menyelesaikan permasalahan pengungsi di
seluruh dunia. Tujuan utamanya adalah untuk melindungi hak-hak para pengungsi. Badan ini
memastikan setiap pengungsi mendapatkan hak untuk memperoleh perlindungan.
Pada tahun 1956, UNHCR mengalami keadaan darurat terbesarnya yang pertama, dimana
jumlah pengungsi mengalami peledakan dikarenakan Soviet yang menghancurkan Revolusi
Hongaria. Segala teori yang menyebutkan bahwa UNHCR tidak dibutuhkan, tidak lagi
mengemuka. Pada tahun 1960-an, dekolonisasi Afrika menyebabkan krisis pengungsi dalam
jumlah terbesar dalam benua tersebut hingga membutuhkan intervensi UNHCR. Selama dua
dekade berikutnya UNHCR membantu mengatasi pergerakan manusia di Asia dan Latin
Amerika. Pada akhir abad, terdapat permasalahan pengungsi baru di Afrika, menjadikan adanya
siklus yang berulang dan membawa gelombang pengungsi baru di Eropa menyusul serangkaian
perang di daerah Balkan.
Pada awal abad 21, UNHCR telah membantu berbagai krisis pengungsi terbesar di Afrika
seperti di Republik Demokrat Kongo dan Somalia, serta di Asia, terutama dalam permasalahan
pengungsi di Afghanistan yang berlangsung selama 30 tahun. Pada saat yang sama, UNHCR
diminta untuk menggunakan keahliannya untuk mengatasi permasalahan pengungsi internal yang
disebabkan oleh konflik. Disamping itu, peran UNHCR juga meluas hingga menangani bantuan
bagi orang – orang tanpa kewarganegaraan, sebuah kelompok orang yang berjumlah jutaan
2
namun tidak kasat mata, sementara mereka menghadapi bahaya kehilangan hak – hak dasarnya
karena tidak memiliki kewarganegaraan. Di beberapa bagian dunia seperti Afrika dan Amerika
Latin, mandat awal UNHCR yang ditetapkan pada tahun 1951 telah diperkuat dengan adanya
perjanjian tentang instrumen hukum regional.
Kehadiran UNHCR di Indonesia ditandai dengan , terjadinya perang saudara di
Semenanjung Indo-china, seperti Vietnam, Kamboja, dan Myanmar pada tahun 1974. Perang
yang cukup lama ini memakan ribuan korban jiwa, dan mereka yang tidak ingin menjadi korban
berikutnya pun akhirnya memilih lari dari negara mereka berasal. Indonesia sebagai salah satu
negara ASEAN dan yang cukup dekat jaraknya dengan negara mereka akhirnya menjadi salah
satu destinasi atau tujuan dari pengungsian tersebut. Direncanakan atau tidak, hanya dilewati
ataukah terkena angin atau bagaimana, tibalah mereka di beberapa pulau di Indonesia, kondisi
mana yang akhirnya nanti disepakati untuk dibangun suatu processing centre di salah satu pulau
untuk khusus menangani permasalahan pengungsian ini. Meskipun Konvensi mengenai
pengungsi Internasional sudah ada sejak tahun 1951, karena satu dan lain hal, hingga akhir tahun
1970-an tersebut, Indonesia belum juga ikut sebagai pihak konvensi. Hal ini mengakibatkan
Indonesia tidak memiliki suatu know-how skill bagaimana cara menangani dan melakukan
pendaftaran serta pemberian status kepada para pengungsi ini.
Pada tahun 1981, dengan berbagai inisiatif, diundanglah UNHCR untuk membuka kantor
cabang di Indonesia, dan Indonesia melalui berbagai pertemuan dengan negara-negara ASEAN
sepakat bahwa pulau Galang dijadikan sebagai Processing Centre sementara, dengan berbagai
persyaratan. Processing Centre ini pun akhirnya selesai digunakan dan ditutup pada medio 1990an. Hingga sekarang situs bersejarah tersebut masih dikenal sebagai tempat wisata dengan nama
kamp pengungsi Vietnam.
Pada akhir tahun 2010, tercatat kurang lebih 3.000-an pencari suaka datang ke Indonesia
untuk mendapatkan status sebagai pengungsi internasional yang mana untuk kemudian
dilanjutkan dengan ditempatkan di Negara ketiga seperti Amerika Serikat dan Australia.
Sesuai dengan perkembangan zaman, UNHCR juga menghadapi banyak masalah –
masalah terbaru terkait dengan permasalahan pengungsi di Indonesia. Kedatangan yang dulunya
didominasi oleh para pencari suaka dari daratan Indo-China, saat ini sudah mulai didominasi
oleh negara-negara Timur Tengah seperti Afghanistan, Iran, dan Irak dengan tidak menutupi
fakta adanya kedatangan pencari suaka dari dataran Afrika seperti Kongo dan Asia seperti Sri
Lanka dan Myanmar. Kesemua ini mencari peruntungan dengan mengikuti proses pencarian
suaka melalui UNHCR, dan karena Indonesia belum meratifikasi konvensi maka kehadiran
UNHCR merupakan salah satu faktor pembantu dalam menyelasaikan permasalahan pengungsi
internasional.
3
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, rumusan masalah yang ingin
penulis kemukakan pada tulisan ini adalah :
1. Sejauhmana peran UNHCR dalam menangani masalah pengungsi yang ada di Indonesia?
2. Bagaimana bentuk kerjasama antar pemerintah Indonesia dengan UNHCR dalam
menangani masalah pengungsian yang ada di Indonesia?
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengungsi di Indonesia
Masuknya para pengungsi ke wilayah Indonesia yang jumlahnya cenderung meningkat
dapat menimbulkan gangguan kehidupan sosial, politik, keamanan dan ketertiban masyarakat.
Apalagi jika keberadaan mereka disusupi oleh kegaitan teroris internasional, traffiking in person
atau kegiatan kriminal lainnya. Pergerakan dan perpindahan manusia sebagai individu atau
kelompok akan mempunyai dampak, baik yang bersifat positif maupun negatif pada individu
atau kelompok penerima.
Arus pengungsian ke wilayah Indonesia terus terjadi dari tahun ke tahun. Hal ini terjadi
dikarenakan adanya faktor – faktor pendorong dan penarik para pengungsi tersebut ke wilayah
Indonesia. Adapun faktor – faktor tersebut antara lain :
Ad. 1 Faktor Pendorong
a. Konflik yang berkepanjangan di negara asal terkait dengan aspek politik, keamanan,
sukuisme, dll.
b. Keadaan ekonomi dan kampung halaman yang buruk sebagai akibat dari konflik tersebut
(keinginan untuk memperoleh kehidupan yg lebih baik).
c. Bujukan dari agen penyelundupan manusia.
Ad. 2 Faktor Penarik
a. Letak geografis Indonesia sangat strategis untuk melintas ke Australia (didukung dengan
kelemahan bidang keamanan dan pengawasan perbatasan RI)
b. Tersebarnya info bahwa UNHCR di Indonesia melakukan RSD lebih cepat dari UNHCR
di Malaysia (jumlah imigran ilegal berstatus pencari suaka & pengungsi maupun yg telah
ditolak & belum terdaftar di Malaysia lebih dari 40 ribu orang, di Indonesia “hanya” ± 2
ribu orang).
c. Kultur Masyarakat Indonesia yang terkesan “dapat menerima” pendatang baru (mayoritas
muslim).
B. Peran UNHCR di Indonesia
UNHCR merupakan organisasi internasional dengan keanggotaan yang universal dan
mandate yang khusus. Hal ini bermakna bahwa UNHCR terdiri dari dua atau lebih Negara
sebagai anggotanya yang memiliki satu visi yang sama dan memfokuskan tugasnya untuk
menangani permasalahan pengungsi dunia. Para anggota merupakan representative dari
negaranya yang tidak terikat dengan kondisi politik negaranya, sehingga UNHCR dan aktivitas
5
yang dijalankannya dapat bersifat non politis, dan sepenuhnya berkonsentrasi pada tugas – tugas
kemanusiaan.
UNHCR telah berdiri di Indonesia sejak tahun 1979, saat ini berkantor pusat di Jakarta
dan memiliki perwakilan di Medan, Tanjung Pinang, Makassar, Kupang dan Pontianak. Pada
masa awal berdirinya, aktivitas UNHCR berfokus pada penanganan kedatangan pengungsi
Vietnam dengan kapal dalam jumlah besar, seperti yang termaktub dalam Comprehensive Plan
of Action (CPA), sebuah rencana aksi yang dicetuskan pada 14 Juni 1989 oleh negara-negara
anggota yang mengikuti Konferensi Internasional tentang Pengungsi Indo-Cina. Adapun
tanggungjawab khusus UNHCR dalam menangani pengungsi Indo-Cina dirumuskan dalam CPA
tersebut. Pada tahun 1979, pemerintah Indonesia memberikan otorisasi untuk pendirian kamp
pengungsian di Pulau Galang, yang mengakomodir lebih dari 170,000 pengungsi hingga pada
saat kamp tersebut ditutup pada tahun 1996.
Indonesia belum menjadi Negara Pihak dari Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi dan
Protokol 1967, dan belum memiliki sebuah sistem penentuan status pengungsi. Dengan
demikian, pemerintah memberikan kewenangan kepada UNHCR untuk menjalankan mandat
perlindungan pengungsi dan untuk menangani permasalahan pengungsi di Indonesia.
Berada diantara negara – negara penerima pencari suaka dan pengungsi dalam jumlah
besar seperti Malaysia, Thailand dan Australia, secara berkelanjutan Indonesia terkena dampak
dari pergerakan populasi tercampur (mixed population movements). Meskipun jumlah
kedatangan baru pencari suaka yang tinggi telah menjadikan masalah suaka/ migrasi sebagai
salah satu faktor penting dalam bidang keamanan Negara (385 di tahun 2008; 3,230 pada
tahun 2009; 3,905 pada tahun 2010 dan 4,052 di tahun 2011, dengan sebagian besar pendatang
berasal dari Afghanistan, Iran, Iraq, Myanmar, Pakistan, Somalia dan Sri Lanka) pencari suaka
dan pengungsi tetap memperoleh perlindungan atas pemulangan paksa dan tetap diberikan akses
ke UNHCR.
Perlindungan yang diberikan UNHCR, dimulai dengan memastikan bahwa pengungsi dan
pencari suaka terlindung dari refoulement (yakni perlindungan dari pemulangan kembali secara
paksa ke tempat asal mereka dimana hidup atau kebebasan mereka terancam bahaya atau
penganiayaan). Perlindungan pengungsi lebih jauh mencakup proses verifikasi identitas pencari
suaka dan pengungsi agar mereka dapat terdaftar dan dokumentasi individual dapat dikeluarkan.
Sampai dengan akhir Februari 2013, sebanyak 1.938 pengungsi terdaftar secara kumulatif
di UNHCR Jakarta. Mereka berasal dari Afghanistan (48%), Myanmar (12%), dan Sri Lanka
(11%). UNHCR bersama dengan para mitranya mempromosikan aktivitas perlindungan dan
program bantuan untuk memastikan kebutuhan dasar para pengungsi dan pencari suaka terpenuhi
selama mereka menantikan solusi jangka panjang yang paling tepat
1. Penentuan Status Pengungsi atau Refugee Status Determination (RSD)
Pencari suaka yang telah terdaftar kemudian dapat mengajukan permohonan status
pengungsi melalui prosedur penilaian yang mendalam oleh UNHCR, yang disebut sebagai
Penentuan Status Pengungsi atau Refugee Status Determination (RSD). Prosedur ini antara lain
meliputi :
6
1) registrasi atau pendaftaran terhadap para pencari suaka.
2) wawancara (interview) secara individual dalam bahasa ibu para pencari suaka oleh
seorang staff RSD dan dibantu oleh seorang penerjemah ahli berkompeten, yang akan
menilai keabsahan permintaan perlindungan yang diajukan.
3) selanjutnya pencari suaka akan diberikan keputusan, apakah status pengungsi diberikan
atau tidak kepadanya, beserta dengan alasannya.
Mereka yang teridentifikasi sebagai pengungsi akan menerima perlindungan selama UNHCR
mencarikan solusi jangka panjang, yang biasanya berupa penempatan di negara lain. Untuk
tujuan ini, UNHCR berhubungan erat dengan negara – negara yang memiliki potensi untuk
menerima pengungsi. Apabila permintaan untuk perlindungan ditolak, prosedur dalam RSD
memberlakukan satu kesempatan untuk pengajuan ulang (banding).
2. Solusi Permanen Terhadap Pengungsi yang Ditawarkan UNHCR
Sebagaimana yang tertera dalam pasal 1 Statuta UNHCR, salah satu fungsi UNHCR
adalah mencari solusi permanen bagi mereka yang mendapatkan status pengungsi. UNHCR akan
mencarikan satu dari tiga solusi jangka panjang yang memungkinkan, yaitu:
1) Pemulangan sukarela (Repatriation)
Syarat yang diperlukan untuk pemulangan pengungsi secara seukarela ke Negara asalnya
aalah keamanan dan pulihnya perlindungan nasional. Jika keduanya belum ada, seringkali
pemulangan pengungsi hanya bersifat sementara.
2) Penempatan di negara ketiga (Resettlement)
Pemindahan pengungsi ke Negara ketiga ini merupakan alat perlindungan terhadap
pengungsi yang hidup, kebebasan, keamanan, kesehatan dan hak fundamental lainnya
menghadapi resiko di Negara suaka. Resettlement merupakan bentuk berbagi beban dan
tanggung jawab antara para peserta Konvensi 1951
3) Integrasi lokal
Dalam integrasi lokal, Negara suaka menawarkan agar pengungsi dapat tinggal secara
permanen di wilayahnya. Sehingga ada kemungkinan naturalisasi kewarganegaraan
pengungsi. Integrasi lokal terjadi melalui beberapa tahapan :
a) Pengungsi mendapat hak yang semakin luas, sehingga sama dengan yang
dinikmati oleh warga Negara dari Negara suaka, kemudian pengungsi diijinkan
tinggal secara permanen dan kemungkinan naturalisasi
b) Pengungsi semakin tidak bergantung dengan bantuan dari Negara suaka maupun
bantuan kemanusiaan lainnya karena telah dapat memenuhi kebutuhannya sendiri
c) Pengungsi berpartisipasi dalam kehidupan sosial di Negara barunya
7
Namun, solusi yang terakhir tidak berlaku di Indonesia karena pemerintah tidak
memberikan izin tinggal secara Permanen di Indonesia bagi pengungsi. Penempatan di negara
ketiga sejauh ini masih menjadi satu-satunya solusi bagi mayoritas pengungsi di Indonesia.
Dalam menjalankan solusi - solusi yang disebut di atas, UNHCR bekerjasama dengan
pemerintah – pemerintah, organisasi, dan instansi swasta untuk memudahkan repatriasi secara
sukarela para pengungsi dan reintegrasi ke Negara asal mereka, integrasi para pengungsi di
Negara pemberi suaka atau di Negara pengungsi dimukimkan kembali (resettlement). Bila perlu
UNHCR akan memberikan bantuan material untuk jangka waktu pendek.
C. Kerjasama UNHCR dan Pemerintah Indonesia
Indonesia belum menjadi Negara Pihak Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi atau
Protokol 1967, dan Indonesia tidak memiliki kerangka hokum dan sistem penentuan status
pengungsi. Sehubungan dengan keadaan tersebut, UNHCR menjadi badan yang memproses
permintaan status pengungsi di Indonesia.
Penanganan pengungsi yang masuk ke Indonesia selama ini mengandalkan masalah
penanganan pengungsi pada UNHCR. Hal ini disebabkan oleh karena Indonesia hingga saat ini
belum meratifikasi konvensi mengenai status pengungsi tahun 1951 dan protokol tahun 1967,
sehingga pemerintah sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk menentukan apakah
seseorang atau kelompok orang yang meminta status pengungsi, diakui sebagai pengungsi.
Kewenangan tersebut dilakukan oleh UNHCR, tanpa campur tangan pemerintah.
Setiap pendatang yang masuk ke wilayah Indonesia, tentu akan terdeteksi oleh imigrasi.
Maka secara umum mereka dikategorikan sebagai irregular migrant, sampai dengan petugas
imigrasi menemukan beberapa pendatang yang mengaku sebagai refugee. Namun demikian,
pemerintah melalui petugas imigrasi, tidak dapat menentukan status mereka sebagai refugee atau
bukan. Karenanya mereka akan segera menghubungi UNHCR untuk dapat mewawancarai dan
memeriksa latar belakang masuknya pengungsi tersebut ke wilayah Indonesia. Apabila ternyata
orang tersebut memenuhi kategori sebagai pengungsi, maka kemudian UNHCR akan
membantunya agar dapat diterima oleh negara ketiga. Selama menunggu kabar baik dari negara
ketiga, setiap pengungsi memperoleh berbagai kebutuhan dasar dari UNHCR, termasuk tempat
tinggal sementara.
Secara legal seolah-olah tidak ada kewajiban bagi Indonesia untuk memenuhi kebutuhan
yang ada dalam Konvensi 1951 tentang Pengungsi. Tetapi pada bulan Desember tahun 1950
dengan sesuai resolusi statuta UNHCR 1950 telah diterima oleh Majelis PBB.
Dalam resolusi tersebut terdapat suatu seruan agar semua negara anggota PBB
memberikan kerjasamanya kepada UNHCR dalam pelaksanaan kedua mandatnya, yaitu
memberikan perlindungan internasional kepada pengungsi dan mencari solusi permanen bagi
masalah pengungsi.
Implementasi dari seruan ini adalah bila ada yang mengaku pengungsi atau pencari suaka
masuk ke Indonesia, maka kita melaksanakan resolusi tersebut dengan kerjasama, yaitu dengan
cara memberitahukannya kepada UNHCR, sehingga tidak dapat semata-mata dilihat dari sudut
8
pandang keimigrasian. Resolusi yang telah berumur 54 tahun ini dalam prakteknya di lapangan
dianut oleh berbagai bangsa. Resolusi ini sudah menjadi hukum kebiasaan internasional sehingga
semua negara baik pihak maupun bukan pihak mematuhinya.
Terkait dengan penanganan pengungsi internal atau Internally Displaced People (IDPs),
yang telah berkembang secara luas di berbagai belahan dunia sebagai akibat dari bencana alam
dan bencana yang disebabkan oleh manusia. Di Indonesia, sama seperti di Negara lain, UNHCR
hanya memberikan perlindungan dan bantuan bagi IDPs apabila diminta oleh pemerintah.
Seperti contoh, ketika terjadi bencana tsunami di Aceh dan Nias pada tahun 2004 yang
menewaskan lebih dari 200.000 ribu orang, UNHCR diminta oleh Pemerintah Indonesia untuk
membantu ratusan ribu orang Indonesia yang harus mengungsi ke daerah lain yang lebih aman
(namun tetap dalam wilayah Indonesia).
UNHCR menjalankan mandatnya dalam hal keadaan tanpa kewarganegaraan di
Indonesia dengan cara melakukan berbagai aktivitas untuk mengidentifikasi populasi orang yang
tidak memiliki kewarganegaraan yang mungkin ada dan untuk melihat celah – celah yang ada
dalam peraturan yang berlaku yang mungkin mengarah kepada keadaan tanpa kewarganegaraan.
UNHCR juga mempromosikan dan mendorong dikeluarkannya dokumen dan perolehan
kewarganegaraan. Dalam menjalankan kegiatan tersebut, kantor UNHCR di Indonesia
melakukan upaya bahu membahu dengan instansi pemerintah yang relevan, LSM, badan PBB
lainnya (UNFPA, UNICEF) dan organisasi sosial sipil yang melalui berbagai diskusi dan
pertemuan membahas permasalahan untuk mengidentifikasi celah yang ada dalam peraturan dan
praktek kesehariannya, untuk memperkuat komitmen diantara para partisipan dalam mengatasi
tantangan yang saat ini ada dalam hal memperoleh kewarganegaraan Indonesia, dan untuk
menimbang nilai lebih yang dapat diperoleh apabila instrumen hukum terkait statelessness
diaksesi. Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI), Kementrian Hukum dan HAM dan
Kementrian Dalam Negeri adalah mitra kerja utama UNHCR dalam menangani statelessness.
Meskipun Indonesia saat ini belum menjadi Negara Pihak dari Konvensi 1954 tentang
Status Orang Tanpa Kewarganegaraan atau Konvensi 1961 tentang Pengurangan Keadaan tanpa
Kewarganegaraan, Indonesia telah mencapai kemajuan yang signifikan dalam reformasi
ketentuan dan Undang – undang kewarganegaraannya. Pemerintah Indonesia telah mengadopsi
berbagai langkah proaktif untuk mengurangi dan mencegah keadaan tanpa kewarganegaraan,
terutama dengan Undang – undang Kewarganegaraan 2006 yang menghapus ketentuan
diskriminasi yang ada sebelumnya dan dengan adanya pembaharuan dalam ketentuan
kewarganegaraan di Indonesia.
9
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
UNHCR suatu lembaga PBB yang mendapat mandat untuk memimpin dan
mengkoordinasikan langkah-langkah internasional untuk melindungi pengungsi dan
menyelesaikan permasalahan pengungsi di seluruh dunia. Tujuan utamanya adalah untuk
melindungi hak-hak para pengungsi. Badan ini memastikan setiap pengungsi mendapatkan hak
untuk memperoleh perlindungan.
Tugas UNHCR antara lain adalah melakukan penentuan status pengungsi atau refugee
status determination (RSD) dan juga memberikan solusi permanen untuk para pencari suaka
yang telah mendapat status pengungsi yang terdiri dari :
1) Pemulangan sukarela (Repatriation)
2) Penempatan di negara ketiga (Resettlement)
3) Integrasi lokal
Selain hal tersebut UNHCR juga turut menangani masalah pengungsi internal (IDPs), seperti
ketika terjadi bencana gempa dan tsunami di Aceh dan Nias pada tahun 2004, dan juga orang
yang tidak memiliki kewarganegaraan (non stateless person).
Dalam melakukan tugas – tugasnya di Indonesia, UNHCR juga melakukan banyak
kerjasama dengan Pemerintah Indonesia. Hal ini dapat kita lihat dalam hal penentuan status
pengungsi, yang mana jika pihak Indonesia yang mendapati adanya pencari suaka yang masuk ke
wilayah Indonesia, maka pihak Indonesia akan segera memberitahukan kepada pihak UNHCR
untuk kemudian ditangani secepatnya. Kemudian dalam hal terjadi bencana alam yang
mengakibatkan terjadinya pengungsian, yang dalam istilah disebut pengungsi internal, UNHCR
atas permintaan Pemerintah Indonesia akan turun untuk membantu para korban tersebut.
B. SARAN
Sebagai bangsa yang menjujung tinggi penghormatan dan penegakan hak asasi manusia,
hendaknya perlu ada suatu pengaturan secara legal terhadap pengungsi dan pencari suaka di
negara ini, baik mekanisme hukum dan kelembagaannya. Sehingga ratifikasi Konvensi Wina
1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol 1967 merupakan suatu hal yang mendesak untuk
dilakukan mengingat makin bertambahnya laju masuk pengungsi Internasional ke Indonesia. Hal
ini juga dapat mengurangi ketergantungan kita terhadap UNHCR dalam menangani
permasalahan pengungsi di Indonesia.
Dengan demikian proses penanganan pengungsi tersebut dapat lebih efisien, mengingat
keterbatasan yang dimiliki oleh UNHCR dalam hal sumber daya manusia dan biaya. Misalnya,
jika telah melakukan ratifikasi maka pemerintah Indonesia dapat membuat suatu peraturan yang
10
menempatkan proses penentuan status pengungsi di kantor – kantor Imigrasi yang tersebar di
seluruh wilayah Indonesia sehingga dapat tercapai suatu efisiensi yang tentunya menguntungkan
bagi pengungsi yang sering terlunta – lunta apalagi dengan dilakukannya penempatan di
Rudenim (Rumah Detensi Imigrasi).
Selain itu juga Indonesia perlu meratifikasi Konvensi – Konvensi tambahan yang terkait
dengan masalah seputar pengungsi Konvensi 1954 tentang Status Orang Tanpa
Kewarganegaraan atau Konvensi 1961 tentang Pengurangan Keadaan tanpa Kewarganegaraan
DAFTAR PUSTAKA
www.unhcr.or.id, situs resmi UNHCR Indonesia
www.unhcr.org
Statuta UNHCR tahun 1950
Konvensi 1950 tentang Status Pengungsi
11
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………………………… 4
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengungsi di Indonesia…………………………………………………………………. 5
B. Peran UNHCR di Indonesia………………………………………………………...…. 5
1. Penentuan Status Pengungsi atau Refugee Status Determination (RSD).................... 6
2. Solusi Permanen Terhadap Pengungsi yang Ditawarkan UNHCR............................. 7
C. Kerjasama UNHCR dan Pemerintah Indonesia............................................................ 8
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................................................... 10
B. Saran.................................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................. 12
12