RELEVANSI BASIS SOSIAL HUKUM MASYARAKAT

DI TENGAH KEPENTINGAN NASIONAL

Karya Tulis Ilmiah

Diajukan dalam Lomba Karya Tulis Mahasiswa RKI 2009 Universitas Sebelas Maret Tingkat Nasional

Oleh : Benny Sumardiana 3450405600 Amrina Rosada 3450407028

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2009

ABSTRAK

Benny Sumardiana, Amrina Rosada, FAKULTAS HUKUM, UNNES, 2009. ”Relevansi Basis Sosial Hukum Masyarakat Lokal Di Tengah Kepentingan Nasional ”. Pembimbing Dr. Indah Sri Utari SH, MH. Hukum merupakkan sekumpulan peraturan yang didalamnya terdapat nilai-nilai

keadilan. Pada idealnya hukum itu sendiri haruslah berada dalam posisi tengah karena memang hukum itu tidaklah memihak kecuali pada kebenaran. Hukum harus diimplementasikan secara tegas, oleh karenanya semua alat-alat penunjang hukum baik itu aparat maupun aturan-aturan atau regulasinya harus menampakkan ketegasan pula. Harus kita sadari hukum merupakkan sebuah ilmu yang selalu bergerak untuk berkembang dan tidak statis, sehingga sudah seharusnya pula hukum itu mengikuti pada perkembangan yang ada dalam masyarakat. Situasi yang saat ini terjadi dalam masyarakat banyak yang tidak mempercayai kalau hukum dapat memberikan keadilan seperti yang diharapkan oleh masyarakat. Masyarakat lokal memiliki aturan-aturan atau norma yang telah lama berkembang dalam kehidupan masyarakatnya dan masyarakat hukum lokal merasa kepentingannya telah terwakili oleh hukum lokal dan masyarakat merasa mendapatkan keadilan disana. Ini sebenarnya memperlihatkan hukum modern tidak selalu dapat memoderasi masyarakat. Hukum modern yang dicirikan rasional, otonom, tertutup yang mengkristal dalam doktrin The Rule of Law bukanlah nilai universal yang bisa berlaku secara sempurna dalam masyarakat. Permasalahan hukum yang selama ini timbul sebenarnya sebuah hal yang sederhana yaitu akibat adanya pengaturan regulasi yang kurang jelas, rancu, dan dapat menimbulkan berbagai persepsi yang dalam karya tulis ini kami sebut sebagai celah-celah hukum. Celah hukum itu sebenarnya merupakkan bahaya laten yang secara sadar atau tidak itu sudah sangat mengancam eksistensi hukum nasional itu sendiri. Kita menyadari hukum memang merupakkan sebuah produk politik yang merupakkan implikasi berbagai kepentingan yang ada pada masyarakat kemudian di rangkum dalam sebuah peraturan perundang-undangan, dan tentunya kita sadari banyak celah yang kemudian ditimbulkan dari kurang tepatnya penggabungan segala kepentingan itu. Analoginya adalah di saat peraturan perundang-undangan tidak mengakomodir secara yuridis kepentingan masyarakat atau dikala penerapan hukum mematahkan pemenuhan hak dan kewajiban masyarakat, maka hukum sebagai suatu cerminan sosiologis masyarakat akan mencari dan menemukan jalannya sendiri. Ibarat air, ketika dibendung oleh suatu tembok, ia akan mencari celah untuk menembus tembok tersebut. Dengan berbagai bentuk dampak yang dapat ditimbulkan karena adanya celah- celah dalam hukum yang itu dapat menimbulkan hal negatif dalam penegakkan hukum nasional di Indonesia, maka kami berusaha menuangkannya dalam bentuk karya tulis ini yang bertujuan untuk menggali lebih dalam bagaimana menempatkan hukum masyarakat lokal di tengah kepentingan nasional melalui kajian hukum progresif dan juga mencoba memmberikan solusi yang tepat dalam mengatasi permasalahan yang dapat ditimbulkan oleh adanya celah-celah hukum tersebut. Kata kunci : pluralisme hukum, Kepentingan nasional, hukum Progresif.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu tema pokok yang diperjuangkan dalam rangka reformasi dewasa ini adalah tegaknya hukum dan sistem hukum sebagai pilar yang utama dalam proses demokratisasi. Cita-cita demokrasi tidak mungkin berjalan tanpa diimbangi dengan tegaknya sistem hukum sebagai pegangan bersama dalam menyelesaikan semua persoalan yang dihadapi. Dalam negara hukum, hukumlah yang pertama- tama dianggap sebagai pemimpin dalam penyelenggaraan kehidupan bersama, bukan orang, ―the Rule of Law, and not of man‖. Orang bisa berganti, tetapi hukum sebagai satu kesatuan sistem diharapkan tetap tegak sebagai acuan dan sekaligus pegangan bersama .

Pada era reformasi, kemajemukan masyarakat cenderung menjadi beban daripada modal bangsa Indonesia. Hal itu terbukti dengan munculnya berbagai persoalan yang sumbernya berbau kemajemukan, terutama dalam pluralisme hukum nasional yang ―kesulitan‖ mengakomodasi hukum masyarakat lokal. Dalam

perspektif hukum, semua kelompok masyarakat memiliki ciri dan kepentingan yang kadang disatukan dengan tatanan hukum nasional terutama bagi hukum yang mengatur secara langsung dalam kehidupan masyarakat lokal, seperti pengaturan tanah di daerah-daerah terpencil di luar pulau jawa, atau aturan tentang pornografi dan pornoaksi yang sampai saat ini masih sulit diterima beberapa kelompok masyarakat lokal, dsb. Padahal hukum masyarakat lokal bila bisa disatukan dalam sebuah tatanan hukum yang dapat mengakomodir semua maka dapat menjadi energi positif untuk membangun nilai toleransi guna mewujudkan negara yang adil dan sejahtera. Seharusnya pada era reformasi ini, kita menjunjung tinggi demokrasi dan toleransi dalam berhukum. Negara Hukum yang demokratis. Maksudnya ialah bahwa dalam negara hukum itu, hukum haruslah dibangun dan dikembangkan secara demokratis dan mengikuti logika demokrasi dari bawah. Hukum tidak boleh hanya diciptakan sendiri oleh para penguasa, dan pelaksanaan serta penegakannya juga tidak boleh hanya didasarkan atas interpretasi sepihak oleh mereka yang berkuasa . Demokrasi tanpa toleransi akan melahirkan tatanan politik yang perspektif hukum, semua kelompok masyarakat memiliki ciri dan kepentingan yang kadang disatukan dengan tatanan hukum nasional terutama bagi hukum yang mengatur secara langsung dalam kehidupan masyarakat lokal, seperti pengaturan tanah di daerah-daerah terpencil di luar pulau jawa, atau aturan tentang pornografi dan pornoaksi yang sampai saat ini masih sulit diterima beberapa kelompok masyarakat lokal, dsb. Padahal hukum masyarakat lokal bila bisa disatukan dalam sebuah tatanan hukum yang dapat mengakomodir semua maka dapat menjadi energi positif untuk membangun nilai toleransi guna mewujudkan negara yang adil dan sejahtera. Seharusnya pada era reformasi ini, kita menjunjung tinggi demokrasi dan toleransi dalam berhukum. Negara Hukum yang demokratis. Maksudnya ialah bahwa dalam negara hukum itu, hukum haruslah dibangun dan dikembangkan secara demokratis dan mengikuti logika demokrasi dari bawah. Hukum tidak boleh hanya diciptakan sendiri oleh para penguasa, dan pelaksanaan serta penegakannya juga tidak boleh hanya didasarkan atas interpretasi sepihak oleh mereka yang berkuasa . Demokrasi tanpa toleransi akan melahirkan tatanan politik yang

Namun yang selama ini terjadi hukum yang seharusnya berpihak pada keadilan justru dapat bertolak belakang dengan nilai-nilai keadilan yang ada, sehingga apabila ditarik suatu benang merah, maka akan ditemukan suatu kesimpulan bahwa, hukum di Indonesia masih belum dapat mengakomodasi atau menampung kepentingan hukum masyarakat lokal. Apabila hal ini dihadapkan oleh suatu konsep tentang hukum progressif yang dipopulerkan oleh seorang Guru Besar Emeritus Universitas Dipenogoro, Prof. Satjipto Rahardjo, yang dimaksud hukum progresif, yaitu melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan. Beranjak dari asumsi bahwa hukum itu bukan hanya tatanan determinatif yang sengaja dibuat (rule making), tetapi dalam kehidupannya hukum mengalami benturan, kelokan dan terantuk-antuk, sehingga untuk mencapai tujuannya yang tertinggi perlu dilakukan terobosan-terobosan (rule breaking). Yang dimaksud dengan hukum progresif dan paradigma yang menopangnya, yaitu: Pertama hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Nilai ini menempatkan bahwa yang menjadi titik sentral dari hukum bukanlah hukum itu sendiri, melainkan manusia. Bila manusia berpegang pada keyakinan, bahwa manusia ada untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum. Sebaliknya, pandangan yang menyatakan bahwa hukum adalah untuk manusia senada dengan pandangan antroposentris yang humanis dan membebaskan.

Kedua , hukum progresif menolak untuk mempertahankan status quo dalam berhukum. Mempertahankan status quo berarti mempertahankan segalanya, dan hukum adalah tolak ukur untuk semuanya. Pandangan status quo itu sejalan dengan cara positivistik, normatif dan legalistik. Dalam arti, sekali undang-undang Kedua , hukum progresif menolak untuk mempertahankan status quo dalam berhukum. Mempertahankan status quo berarti mempertahankan segalanya, dan hukum adalah tolak ukur untuk semuanya. Pandangan status quo itu sejalan dengan cara positivistik, normatif dan legalistik. Dalam arti, sekali undang-undang

Ketiga , hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku manusia dalam berhukum. Perilaku di sini dipengaruhi oleh pengembangan pendidikan hukum. Selama ini pendidikan hukum lebih menekankan penguasaan terhadap perundang-undangan yang berakibat terpinggirkannya manusia dalam hukum. Sembilan puluh persen lebih kurikulum pendidikan hukum kini mengajarkan tentang teks-teks hukum formal dan tata cara meng- operasionalkannya.

Biarkan hukum mengalir secara jelas dipengaruhi oleh hipotesa Karl Ranner yang menyatakan agar hukum itu dibiarkan mencari dan menemukan jalannya

sendiri secara progresif, ―the development of the law gradually works out what is socially reasonable ‖. Di saat peraturan perundang-undangan tidak mengakomodir secara yuridis kepentingan masyarakat atau dikala penerapan hukum mematahkan pemenuhan hak dan kewajiban masyarakat, maka hukum sebagai suatu cerminan sosiologis masyarakat akan mencari dan menemukan jalannya sendiri. Ibarat air, ketika dibendung oleh suatu tembok, ia akan mencari celah untuk menembus tembok tersebut.

Sehingga untuk menempuh suatu hukum yang progresif, paling tidak kita harus benar-benar mau untuk mengkaji secara efektif ketiga aspek diatas, dan melihat hukum sebagai perangkat yang obyektif, serta tidak hanya mengandalkan peraturan perundang-undangan sebagai satu-satunya pegangan dalam memutuskan suatu perkara.

B. Perumusan Masalah

Adapun permasalahan-permasalahan yang akan dibahas berdasar pemaparan latar belakang diatas adalah:

1. Faktor-faktor apakah yang menjadi penyebab sulitnya hukum masyarakat lokal terakomodasi dalam kepentingan nasional?

2. Permasalahan apa yang akan timbul ketika kepentingan hukum masyarakat lokal tidak terakomodasi dalam sistem penegakan hukum dan kepentingan nasional Indonesia?

3. Solusi yang bagaimana yang digunakan sebagai penutup celah-celah hukum dan menerapkan keanekaragaman hukum masyarakat lokal dalam sistem penegakan hukum di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dalam penulisan karya tulis ini adalah:

1. Mendapatkan gambaran tentang realitas proses menempatkan hukum masyarakat lokal dalam sistem peradilan dan kepentingan nasional di Indonesia;

2. Memahami tentang suatu dampak yang akan timbul ketika kepentingan hukum masyarakat lokal tidak terakomodasi dalam sistem penegakan hukum dan kepentingan nasional Indonesia;

3. Mendapatkan suatu titik tengah (equilibrium point) dalam menerapkan keanekaragaman hukum masyarakat lokal dalam sistem penegakan hukum di Indonesia.

D. Manfaat Penulisan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu sumbangan pemikiran dalam hal penciptaan iklim penegakan hukum yang sesuai dengan jiwa dari hukum progresif. Selain itu, penulisan ini diharapkan dapat memberikan suatu sumbangsih bagi realitas penegakan hukum di Indonesia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengaturan dan Pelaksanaan Hukum di Indonesia

Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan hidup yang bersifat memaksa berisikan suatu perintah, larangan atau ijin untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu serta dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat. (Wignyodipuro, SH.). Indonesia merupakan Negara hukum segala seluk-beluk kehidupan masyarakatnya telah diatur dalam bermacam-macam aturan yang telah dibuat pemerintah.

Indonesia memiliki perangkat aparat yang memiliki tugas mengatur secara langsung hukum yang berlaku dalam masyarakat, yang bertujuan untuk mencapai apa yang dicita-citakan melalui hukum, yaitu keadilan, kepastian, dan ketertiban. Perangkat itu adalah jaksa, hakim, polisi, dan lembaga-lembaga yang memegang fungsi yuridis lainnya.

Dalam masyarakat selalu ada permasalahan sebagai akibat perbedaan antara yang ideal dan yang actual, antara yang standar dan yang praktis. Standar dan nilai- nilai dalam masyarakat mempunyai variasi sebagai faktor yang menentukan tingkah laku individu. Apabila membicarakan efektivitas hukum dalam masyarakat Indonesia berarti membicarakan daya kerja hukum dalam mengatur atau memaksa warga masyarakat untuk taat terhadap hukum. Efektivitas hukum berarti mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi syarat, yaitu berlaku secara yuridis, sosiologis, dan filososfis.

Memandang hukum yang berlaku di Indonesia ketika dihubungkan dengan masyarakat yang diaturnya memang cukup sulit apalagi berbenturan dengan norma- norma yang tercipta dalam masyarakat. Rakyat Indonesia yang selalu mengikuti perkembangan zaman seperti era globalisasi sekarang, kadang tidak diimbangi dengan aturan hukum yang stagnan atau diam di tempat dan justru ini membuat masyarakat Indonesia sulit untuk berkembang. Sebagai contoh saat ini kita memiliki Kitab Undang-Undang baik itu Perdata maupun Pidana yang merupakkan peninggalan zaman nenek moyang, padahal di Negara asalnya Belanda Kitab itu bahkan telah diubah berkali-kali. Ini artinya di Indonesia antara hukum dengan Memandang hukum yang berlaku di Indonesia ketika dihubungkan dengan masyarakat yang diaturnya memang cukup sulit apalagi berbenturan dengan norma- norma yang tercipta dalam masyarakat. Rakyat Indonesia yang selalu mengikuti perkembangan zaman seperti era globalisasi sekarang, kadang tidak diimbangi dengan aturan hukum yang stagnan atau diam di tempat dan justru ini membuat masyarakat Indonesia sulit untuk berkembang. Sebagai contoh saat ini kita memiliki Kitab Undang-Undang baik itu Perdata maupun Pidana yang merupakkan peninggalan zaman nenek moyang, padahal di Negara asalnya Belanda Kitab itu bahkan telah diubah berkali-kali. Ini artinya di Indonesia antara hukum dengan

A. Masyarakat Plural dan Kearifan Lokal

Secara horizontal masyarakat Indonesia ditandai dengan kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, perbedaan agama, adat, perbedaan kedaerahan, dan sebagainya. Sedangkan secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai dengan adanya perbedaan antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Selanjutnya Nort menyatakan bahwa masyarakat majemuk dapat dibedakan dalam tiga jenis, yaitu : pertama, kemajemukan masyarakat yang disebabkan adanya ketimpangan distribusi barang-barang yang dibutuhkan, karena persiapan terbatas. Hanya masyarakat yang memiliki pendapatan yang lebih tinggi, maka akan mendapatkan barang-barang yang diinginkan. Kemajemukan ini sering dikatakan sebagai kemajemukan didasarkan pada ukuran ekonomi. Kedua, menurut diferensiasi fungsional, yaitu berdasarkan pembagian kerja dalam suatu organisasi yang muncul karena melaksanakan pekerjaan yang berlainan, baik berdasarkan keahlian, keterampilan, pendidikan maupun yang lainnya. Ketiga, adalah kemajemukan menurut adat, yaitu aturan- aturan untuk berperilaku yang dianggap tepat bagi suatu masyarakat sesuai dengan waktu dan tempat yang digunakan. Dengan demikian setiap masyarakat memiliki aturan bagi warganya, dan aturan yang berlaku pada masyarakat tertentu belum tentu sama dapat diterapkan pada masyarakat yang lain. Aturan inilah yang sering disebut dengan tata cara, kebiasaan, atau adat istiadat. Geertz secara rinci menggambarkan kemajemukan masyarakat Indonesia dari berbagai sisi : Pertama, hubungan kekerabatan. Hubungan kekerabatan ini menunjuk kepada ikatan dasar hubungan darah (keturunan) yang dapat ditelusuri yang berdasarkan garis keturunan ayah, ibu, atau keduanya. Kedua, ras dapat dibedakan dari ciri-ciri fisik orang lain ( rambut, kulit, bentuk muka, dan lain-lain). Ketiga, daerah asal, merupakan tempat asal orang lahir yang akan memberikan ciri tertentu apabila yang bersangkutan berada ditempat lain, seperti dialek yang digunakan, anggota organisasi yang bersifat kedaerahan, perilaku, dan lain-lain. Keempat bahasa, menggunakan bahasa daerah sukunya masing-masing. Kelima, agama yang dianut oleh masyarakat

Indonesia berbeda-beda. Kemudian Magnis Suseno menyatakan jika seseorang atau sekelompok orang dalam suatu masyarakat menghayati kebudayaan lokalnya secara sempit dan seluruh identitasnya berdasarkan kelompok kecilnya sendiri, maka hal ini dapat menjadi suatu ancaman bagi integrasi nasional.

Demikianlah keadaan masyarakat Indonesia yang plural, mempunyai perbedaan dalam suku, adat istiadat dan agama. Walaupun sekarang ini telah ada Hukum Nasional yang telah dibuat dan diatur oleh pemerintah Indonesia disegala bidang dan diperuntukkan oleh semua masyarakat Indonesia, namun kedudukan hukum adat dalam kehidupan masyarakat Indonesia pun mempunyai kedudukan yang sama besar. Adat istiadat yang telah mengakar kuat dijiwa masyarakat Indoesia tidak jarang mengesampingkan hukum nasional. Bahkan masih ada dalam daerah-daerah terpencil yang belum terpengaruh oleh kebudayaan luar dan intervensi dari pemerintah, lebih menjunjung tinggi hukum adat diatas hukum nasional yang ada.

Adanya kenyataan yang demikian itu, kita tahu bahwa dalam masing-masing daerah yang mempunyai perbedaan dalam adat istidat, kesukuan dan agama yang berbeda itu melahirkan kearifan-kearifan lokal di masing-masing daerah. Dari adanya kearifan lokal tersebut dapat menggambarkan bagaimana sebenarnya keinginan masyarakat disegala bidang, baik dalam kehidupan sosial antar masyarakatnya maupun dalam bidang aturan hukumnya.

Hukum Nasional yang ada sekarang di Indonesia dinilai belum bisa mengakomodir keinginan mayarakat Indonesia yang plural, yang sarat akan banyak perbedaan. Wajah hukum di Indonesia belum bisa dinilai sebagai wajah aspirasi masyarakat Indonesia, melainkan masih berupa wajah keinginan para penguasa. Terbukti dengan adanya beberapa aturan-aturan hukum yang menimbulkan kontroversi dalam masyarakat, adanya aturan-aturan hukum yang mandul, dan berbagai upaya perubahan ataupun amandemen terhadap Undang-Undang yang dilakukan oleh pemerintah.

Sebentuk keadaan nyata melahirkan sebuah pemikiran tentang bagaimanakah pemerintah pusat memposisikan kepentingan-kepentingan lokal tersebut diantara kepentingan-kepentingan nasional yang ada.

B. Masalah Egalitarianisme

Dari sudut integrasi sosial, penghormatan terhadap identitas, harga diri, dan perasaan masing-masing dalam semangat kederajatan, merupakan prasyarat terjadinya penyelarasan orientasi bersama. Mengapa? Oleh karena orientasi bersama itu, dimungkinkan hanya apabila para individu maupun kelompok memperlakukan pihak lain sebagai pihak yang tidak boleh dianggap remeh dengan alasan apapun. Jalinan rasa senasib menjadi krusial bagi integrasi, justru karena integrasi mengasumsikan adanya pluralitas dan heterogenitas. Dan justru pluralitas dan heterogenitas dapat menjadi kekuatan integratif di kala yang satu mengakui yang lain sebagai bagian yang sederajat.

Adalah M. Mead (1960) yang ―bertanya‖: How slow must we go? How fast can we go? merupakan pertanyaan cerdas Mead itu sungguh relevan bagi pemerintah dalam menghampiri masyarakat Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika itu. Mengapa? Oleh karena di satu pihak, yang menyeluruh (dibaca: kesatuan) tidak dapat dengan tuntas mempresentasikan pluralitas dan heterogenitas bagian- bagiannya. Sementara di pihak lain, pluralitas dan heterogenitas bagian-bagiannya tidak dapat dijumlahkan begitu saja untuk mencakup yang menyeluruh. Baik yang menyeluruh maupun bagian-bagiannya mempunyai struktur, sistem, dan dinamikanya sendiri-sendiri.

Masyarakat-masyarakat lokal bukan lan ―bejana‖ yang kosong. Mereka memiliki klasifikasi budaya mengenai apa yang ―baik‖, ―benar‖, dan ―tepat‖.

Sistem itu menjadi inner logic yang menentukan makna kehidupan mereka. Sesuatu yang baru yang datang dari luar, tidak selalu compatible dengan sistem lokal. Oleh karena itu, terkait dengan kendali pusat, masyarakat lokal selalu dihadapkan pada dua tuntutan yang bertelingkah. Yang satu adalah upaya mempertahankan identitas —agar identitas tersebut diakui umum sebagai sesuatu yang penting —suatu penegasan sosial mengenai diri sendiri sebagai sesuatu yang tidak boleh dipandang remeh oleh siapapun. Sedangkan yang lain adalah, keharusan untuk tunduk pada, apalagi, kalau bukan —keharusan-keharusan nasional yang serba uniform.

Bagi masyarakat lokal, itu berarti, masalah bagaimana mempertahankan identitas tanpa membangkang terhadap pusat, dan bagaimana setia mematuhi pusat Bagi masyarakat lokal, itu berarti, masalah bagaimana mempertahankan identitas tanpa membangkang terhadap pusat, dan bagaimana setia mematuhi pusat

Oleh karena itu, yang mesti dianjurkan adalah ekualitarianisme — kesederajatan demi persekutuan sejati yang bersifat saling mengisi. Mungkin inilah yang dilupakan pemerintah selama ini, sehingga dalam tiap kebijakannya, masyarakat acapkali tercecer sepanjang jalan kenangan. Bahkan sering menjadi pihak yang disalahkan karena ukuran-ukuran pusat t entang apa yang ―baik‖, ―benar‖, dan ―tepat‖, menjadi standar penilaian tentang ―keberesan‖ atau pun ―ketakberesan‖ mereka. Masihkah kita tega mencap mereka sebagai pembangkang, bila mereka harus ―pamit‖ karena tidak betah menjadi pelakon kambing hitam yang ―hina‖ dan ―lapar‖?

Nilai Hukum & Dilema Tugas

Oliver Wendell Holmes, hakim agung Amerika yang amat tersohor pernah berkata: ―The Supreme Court is not court of justice, it is a court of law‖. Sungguh

berbeda dengan itu, Mahkamah Agung di Indonesia bukanlah pengadilan untuk hukum tetapi merupakan ―benteng terakhir keadilan‖. Sebuah semboyan yang

menegaskan apa yang menjadi hakikat asasi (the really real) sebuah peradilan di Indonesia, yaitu: ―Peradilan dilakukan demi keadilan...‖ (pasal 4 (1) UU. No. 4 Th

2004 ). Ia juga mengungkapkan primium et summum bonum keadilan yang menjadi misi suci (mission sacree) dalam penegakkan hukum.

Sekalian amanat itu, memang cukup relevan dengan kondisi perundang- undangan di Indonesia dewasa ini yang mempresentasikan jarak yang begitu jauh antara hukum dan keadilan. Produk peraturan yang diabdikan pada penguasa yang dewasa ini jumlahnya ratusan misalnya, sudah tentu tidak mungkin menyumbangkan keadilan apapun meski harus ditegakkan secara konsekuen tanpa kepemihakan. Namun, menugaskan hakim untuk menjadikan peraturan yang korup Sekalian amanat itu, memang cukup relevan dengan kondisi perundang- undangan di Indonesia dewasa ini yang mempresentasikan jarak yang begitu jauh antara hukum dan keadilan. Produk peraturan yang diabdikan pada penguasa yang dewasa ini jumlahnya ratusan misalnya, sudah tentu tidak mungkin menyumbangkan keadilan apapun meski harus ditegakkan secara konsekuen tanpa kepemihakan. Namun, menugaskan hakim untuk menjadikan peraturan yang korup

pembuat hukum yang tidak becus, tetapi juga, kalau bukan yang terutama, adalah untuk menggali nilai-nilai (hukum) yang hidup dalam masyarakat lebih sebagai beban yang terbilang tidak normal dalam ―logika‖ pekerjaan seorang hakim.

Dikemas dalam satu ucapan, maka pekerjaan yang dilakukan oleh hakim pada dasarnya adalah mengadili berdasarkan hukum. Hakim adalah seorang ahli hukum yang memang dipersiapkan untuk menerapkan hukum. Umumnya, sejak pendidikan universiter (S-1), ia menerima pendidikan mengenai sistem hukum — yaitu hukum sebagai sesuatu yang telah ditetapkan . ―Tradisi‖ ini kian mengental lewat pendidikan khusus sebagai hakim, di mana mereka dididik ―keterampilan‖ memakai hukum untuk menyelesaikan masalah (problem solving). Dalam menghadapi peristiwa hukum, peraturan-peraturan yang sudah jadi itu dipakai untuk merekonstruksi sekalian kasus yang dihadapi menurut ―logika‖ norma-norma tersebut.

Bagi hakim, demikian Erik Wolf, hukum adalah sesuatu dengan mana ia bekerja sehari-hari. Sebagai perlengkapan pekerjaannya, ia dituntut untuk percaya pada alat yang ia pakai, yaitu undang-undang dan jurisprudensi. Kesetiaan itu tentu saja sebagai akibat belaka dari ancaman bahaya ketidakpastian bila ia harus memperdulikan hal-hal lain di luar hukum. Temuan penulis ketika melakukan penelitian lapangan pada Mahkamah Agung RI tahun 1990, menunjukan bahwa dalam menjalankan pekerjaan yang telah dilimpahkan kepadanya, seorang hakim sulit sekali untuk tidak mendasarkan diri pada aturan yang dipegangnya —meski dengan itu ia sadar bahwa hakikat keadilan tidak tersentuh. Pertimbangan rasa aman dalam tugas, terutama ketika menjalankan tugas rutin mengadili, telah menjadi pendorong utama untuk ―setia‖ pada aturan-aturan yang sudah pasti.

Selain itu, karena putusan mereka mesti berisi evaluasi tentang ketepatan penerapan hukum dari pengadilan di bawahnya, sehingga dirasakan adalah lebih baik jika mereka menghindari ketidakpastian dan keraguan yang dapat ditimbulkan —ketika harus mempertimbangkan unsur-unsur di luar hukum. Itulah sebabnya, seorang lebih suka untuk tetap melakukan pekerjaannya seperti lazim dilakukan, ketimbang dikritik karena melakukan ―penyimpangan‖. Bagi mereka, Selain itu, karena putusan mereka mesti berisi evaluasi tentang ketepatan penerapan hukum dari pengadilan di bawahnya, sehingga dirasakan adalah lebih baik jika mereka menghindari ketidakpastian dan keraguan yang dapat ditimbulkan —ketika harus mempertimbangkan unsur-unsur di luar hukum. Itulah sebabnya, seorang lebih suka untuk tetap melakukan pekerjaannya seperti lazim dilakukan, ketimbang dikritik karena melakukan ―penyimpangan‖. Bagi mereka,

Di tengah rimba peraturan yang tidak adil, kewajiban menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat demi mencapai keadilan memang amat logis dan mulia. Namun bagaimana sesuatu yang logis dan mulia itu harus dihadapmukakan dengan ―kesiapan‖ atau ―kesanggupan‖ riil para hakim, adalah

sesuatu yang jauh dari sederhana. Meski menjadi semacam mission sacree yang terpuji, tugas seperti itu tidak serta-merta dijamin efektif dan tidak distortif. Mengapa? Oleh karena tanpa keterampilan metodologis yang cukup, tidak mustahil nilai yang digali, diikuti dan dipahami sang hakim, bukanlah nilai yang benar-benar hidup. Kalaupun ia menemukan nilai yang masih hidup, masih saja dapat dipertanyakan signifikansinya, yaitu: nilai tentang apa?, nilai menurut siapa? Lalu bagaimana inner logic-nya?

Secara teoretis dapat dikatakan bahwa, kebenaran temuan dan signifikansi nilai yang digali, diikuti, dan dipahami, sangat ditentukan oleh ketetapan metode dan kemampuan menggunakannya. Kompleksitas dan keacakan nilai yang tersebar dalam masyarakat, terlampau rumit untuk ditangkap begitu saja tanpa keterampilan metodis dan waktu yang memadai. Ia juga terlampau kompleks untuk disimpulkan lewat informasi segelintir informan —apalagi dalam forum peradilan yang jauh dari kenormalan lingkungan informan.

Dalam lingkungan antropologiwan hukum, berkembang paling sedikit tiga pendekatan dalam menemukan dan memahami nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Ada yang berusaha menemukannya lewat perekaman yang teliti terhadap nilai-nilai/norma yang masih diingat para informan kunci. Tapi kelemahan mendasar dari pendekatan ideologis ini, adalah kesulitan mengidentifikasi manakah nilai yang masih hidup dan mana yang tinggal sekedar nostalgia. Berbeda dengan pendekatan ideologis, pendekatan deskriptif berkosentrasi pada tindakan-tindakan nyata yang teramati untuk menemukan tertib sosial yang ada. Karena realitas tidak selalu menunjukan inner logic yang menopang keteraturan tersebut, maka nilai-nilai yang hendak ditemukanpun tidak mungkin diketahui.

Oleh karena itu, upaya yang paling memadai untuk menemukan nilai-nilai yang masih hidup dan masih fungsional, adalah melalui keterlibatan penuh dalam

―sejarah‖ kasus-kasus sengketa. Mulai dari pelacakan asal-muasal konflik, pihak- pihak yang terlibat dalam proses konflik menjadi sengketa, perdebatan dan negosiasi yang terjadi, sampai pada bagaimana penyelesaian akhir, dan nilai- nilai/norma apa yang mendasari keputusan itu, harus diikuti secara cermat untuk mengetahui dan memahami nilai/norma yang benar-benar hidup dalam masyarakat. Namun masalahnya adalah, apakah yang ditemukan dalam suatu kasus sengketa representatif untuk semua sengketa sejenis.

Dan bagi hakim, apakah realistis menjalani pekerjaan ―yang asing‖ (tanpa preskriptif lagi rumit) seperti itu, di tengah-tengah kesibukan tugas rutinya yang begitu padat? Cukup normalkah bagi seorang yang pekerjaan sehari-harinya dipolakan oleh keharusan-keharusan preskriptif, harus meladeni pekerjaan seorang ilmuwan berpengalaman yang mengutamakan kebenaran objektif-non preskriptif? Mengapa persoalan mengawinkan hukum dan keadilan tidak diwajibkan sebagai imperatif kategoris terhadap lembaga pembuat UU yang memang mempunyai tugas menyerap aspirasi masyarakat? Maka menurut hemat saya, sangat tidak imbang bila ketakberesan suatu produk hukum diserahi sepenuhnya untuk diluruskan oleh hakim. Penegakkan hukum yang adil akan benar-benar tercipta jika peraturan yang adil berpadu dengan penegak hukum yang tidak korup alias tidak memihak

Hukum Progresif

Dalam mengatasi ―kelumpuhan‖ hukum di negeri ini Profesor Satjipto Rahardjo) menawarkan perspektif dan spirit baru yang diberi nama ―Hukum Progresif‖,. Kelumpuhan berpangkal pada dominasi semangat legalisme yang

berlebihan dalam penyelenggaraan hukum selama ini. Aturan dan prosedur seolah menjadi tujuan bagi dirinya sendiri. Akibatnya, kepekaan, empati, serta dedikasi menghadirkan keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat, menjadi kian redup dalam diri (kebanyakan) aparat penegak hukum.

Hukum progresif menawarkan jalan lain. Paradigma dibalik, dari peraturan ke manusia. Manusia (kesejahteraan dan kebahagiaannya) dipatok sebagai titik orientasi dan tujuan akhir hukum. Para penegak hukum menjadi ujung tombak perubahan. Empati, kepedulian, dan dedikasi menjadi roh penyelenggaraan hukum.

Dalam logika itulah revitalisasi hukum dilakukan. Perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasi Dalam logika itulah revitalisasi hukum dilakukan. Perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasi

Butuh Eksemplar Baru Tapi aksi baru yang kreatif seperti ditawarkan hukum progresif itu, tentu butuh sokongan kerangka keyakinan (belief-framework) baru yang compatible pula. Bukan hanya karena hukum progresif berusaha menolak keadaan status quo — manakala keadaan tersebut menimbulkan dekadensi, suasana korup, dan semangat merugikan kepentingan rakyat, tetapi lebih karena, coute que coute, semangat ―perlawanan‖ dan ―pemberontakan‖ yang melekat pada dirinya untuk mengakhiri kelumpuhan hukum melalui aksi kreatif dan inovatif para aktor hukum.

Di sinilah pentingnya kehadiran semacam exemplar atau contoh/model untuk memandu gerakan (movement) tersebut menyangkut tiga hal penting. (1). Masalah yang dianggap relevan dan penting untuk diperjuangkan dan dikerjakan, (2). Metode dan prosedur yang tepat dan efektif untuk menyelesaian masalah dimaksud, serta (3). Landasan teoretis dan filosofis yang mendasari gerakan yang diperjuangkan.

Memadukan peraturan dan kenyataan dalam hubungan yang seimbang, bukanlah pekerjaan mudah, karena kenyataan yang tersodor di hadapan acapkali bukanlah pilihan hitam-putih. Dalam kehidupan nyata, tidak jarang harus menghadapi kenyataan dan keadaan di mana pertimbangan-pertimbangan universal berdasarkan hukum dan konvensi tidak selalu menolong. Kenyataan atau keadaan di mana keputusan harus diambil dengan amat memperhitungkan konteks yang ada. Begitu kompleksnya kenyataan sehingga hampir mustahil untuk mempunyai patokan semesta bagi setiap kemungkinan.

Di sinilah dibutuhkan orang arif dan kreatif untuk melakukan penafsiran progresif terhadap hukum. Seorang pelaku hukum progresif, mencari dan menemukan keadilan dalam batas dan di tengah keterbatasan kaidah-kaidah hukum Di sinilah dibutuhkan orang arif dan kreatif untuk melakukan penafsiran progresif terhadap hukum. Seorang pelaku hukum progresif, mencari dan menemukan keadilan dalam batas dan di tengah keterbatasan kaidah-kaidah hukum

Dari merekalah diharapkan lahir keputusan yang berkualitas ―yurisprudensial‖ untuk memandu perubahan hukum secara progresif. Tanpa

panduan itu, hukum progresif akan sulit terwujud. Di tengah kebanyakan orang (termasuk aparat penegak hukum) dikuasai sikap pragmatis-instrumentalistis, bisa saja peluang yang diberikan hukum progresif itu disalahgunakan untuk menabrak hukum itu sendiri untuk membenarkan kejahatan.

Berbeda dengan pola yang selama ini ditempuh (dalam semangat legalisme), hukum progresif menawarkan penegakan hukum melalui jalan kepeloporan. Di bawah semboyan: “Hukum untuk manusia” dan “Keadilan di atas peraturan”, maka dedikasi aparat mendapat tempat utama dalam proses penegakan hukum. Aparat penegak hukum dituntut mengedepankan kejujuran, keberanian, dan kreativitas untuk setiap kali menjadikan suatu aturan lebih bermakna dan fungsional bagi keadilan dan kemaslahatan manusia.

BAB III METODE PENULISAN

Untuk memperoleh data dan informasi yang akurat tentang permasalahan yang dibahas sehingga hasilnya memuaskan dan dapat dipertanggungjawabkan kepada semua pihak perlu diadakan kajian-kajian dan penelitian serta pengamatan terhadap objek penelitian. Oleh karena itu diperlukan metode-metode yang tepat dan sesuai dengan apa yang dilakukan dalam memperoleh data-data baik secara kualitas maupun kuantitas.

Metode disini diartikan sebagai suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam proses penelitian. Sedangkan penelitian itu sendiri diartikan sebagai sebagai upaya dalam bidang Ilmu Pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati dan sistematis untuk mewujudkan kebenaran (Mardalis, 2004 : 24)

Maka dalam penulisan ini metode yang digunakan adalah sebagai berikut:

A. Metode Pendekatan

Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi kedalam variabel atau hipotesis, tetapi memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan. (Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 1990 : 3)

Metode penelitian kualitatif ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan langsung antara peneliti dengan respondendan lebih peka serta lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola – pola nilai yang dihadapi. Analisis yang digunakan metode ini adalah analisis data secara induktif yang dapat membuat hubungan peneliti responden menjadi eksplisit, dapat dikenal, dan akontable. Selain itu analisis ini dapat memperhitungkan nilai – nilai secara eksplisit sebagai bagian dari struktur analitik.

Penelitian kualitatif memberi batasan dalam penelitiannya atas dasar fokus yang timbul sebagai masalah dalam penelitian. Penetapan fokus sebagai masalah penelitian penting artinya dalam usaha menemukan batas penelitian, sehingga peneliti dapat menemukan lokasi penelitian.

Selain itu penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasnnya sendiri dan berhubungan dengan orang – orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.

B. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan suatu proses dimana peneliti mencari data yang dibutuhkan guna menunjang penelitian yang tengah dikerjakan. Kegiatan pengumpulan data ini penting sekali karena kegiatan ini mencari data dari berbagai sumber yang dianggap berkompeten untuk menunjang hasil penelitian yang dikehendaki dan menghasilkan data yang valid dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.

Untuk itu maka diperlukan penyusunan instrumen pengumpulan data dan penanganan yang serius agar diperoleh hasil yang sesuai dengan kegunaannya yaitu pengumpulan variabel yang tepat.

Berdasar pendekatan yang dipergunakan dalam memperoleh data, maka teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah :

a. Studi Dokumentasi Studi dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang tidak langsung

ditujukan kepada subjek penelitian. Dokumentasi dibedakan menjadi dua (Irawan Soehartono, 2000:70), yaitu:

1. Dokumentasi primer, jika dokumentasi ini ditulis oleh orang yang langsung mengalami suatu peristiwa

2. Dokumentasi skunder, jika peristiwa dilaporkan kepada orang lain yang selanjutnya ditulis oleh orang lain.

Dokumentasi bisa berupa buku harian, surat kabar,transkip, tesis, desertasi, majalah, laporan, catatan kasus (case records), dan dokumen lainnya

b. Observasi memberikan data khususnya data kualitatif. Pengamatan tersebut

disesuaikan dengan tema yang Dalam penelitian ini, penulis berusaha mengamati objek-objek yang dapat dimbil sehingga data yang diperoleh merupakan data yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

C. Metode Penyajian Data

Data-data yang telah terkumpul, baik data kualitatif maupun kuantitatif diklasifikasikan sesuai dengan jenis-jenis datanya. Setelah itu hasil penelitian disusun secara sistematis dan runtut dengan menggunakan metode induktif, yaitu dengan berdasarkan pada kajian-kajian pesoalan yang bersifat khusus untuk mengambil dasar-dasar pengetahuan yang bersifat umum. Kesimpulan akan ditarik sebagai jawaban atas permasalahan yang ada.

BAB IV PEMBAHASAN

A. Faktor-faktor penyebab sulitnya hukum masyarakat lokal terakomodasi dalam kepentingan nasional

Elaborasi tentang ambigiutas kebijakan kodifikasi hukum di tengah pluralitas Indoensia —yang melahirkan kesenjangan hukum, menjadi pusat perhatian dalam bagian ini. Poilitik kodifikasi hukum telah menjadi ambigiu, ketika dihadap-mukakan dengan realitas objektif masyarakat plural Indonesia. Di satu pihak sistem hukum tertulis telah dinobatkan sebagai pengatur tunggal, sementara di pihak lain ada keharusan untuk menggali dan menemukan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

Dalam kenyataan, pertemuan aneka norma hukum itu melahirkan berbagai bentuk, baik dalam wujud keterbauran yang padu/tidak padu, ataupun perbenturan karena kesenjangan antara sekalian itu. Kesenjangan hukum bisa terjadi, terutama karena adanya perbedaan pemaknaan hukum antara yang dikonsepsikan oleh pembuatnya dengan pelaksana dan warga masyarakat yang menggunakan hukum itu.

Menurut Wignjosoebroto, kesenjangan hukum itu akan mempengaruhi pola kepatuhan warga masyarakat terhadap hukum, yang berarti pula akan

mempengaruhi keefektivan bekerjanya hukum dalam masyarakat. 1 Khusus dalam konteks Indonesia, Rahardjo seperti dikutip Sahetapy 2 mengkonstatasi bahwa,

sistem hukum yang berlaku sekarang sebagai hukum modern, belum ditunjang oleh suatu pertumbuhan masyarakat yang sesuai dengan tuntutan hukum modern itu. Akibatnya, penafsiran-penafisran serta praktek-praktek yang keliru dari rakyat terhadap keberlakuan hukum itu berikut lembaga-lembaganya yang berlaku buat mereka menjadi sesuatu yang niscaya.

Apa yang dikemukakan Rahardjo itu sebenarnya merupakan akibat belaka dari haluan kebijakan yang mengkooptasi/menggiring masyarakat adat yang lokal ke dalam keuniversalan masyarakat nasional. Menurut Paul Bohannan seperti dikutip Rahardjo, suatu gejala umum dalam masa transisi dari suatu masyarakat tradisional yang digiring ke arah masyarakat nasional-modern, adalah terjadinya persaingan antara hukum dan kebiasaan.

―Kebiasaan-kebiasaan (lembaga informal) harus tumbuh untuk akhirnya dapat sesuai dengan hukum, atau ia harus secara aktif menolaknya; hukum harus tumbuh untuk

1 Lih. Soetandyo Wignyosoebroto, “Sedikit Penjelasan Tentang Hukum dari Perspektif Ilmu Sosial”, Warta Hukum dan Masyarakat No. 1 Tahun ke- 1 November 1993,

h. 5. 2 J.E. Sahetapy, Kausa Kejahatan Dan Beberapa Analisa Kriminologik, Bandung:

Alumni, 1981, h. 85-86.

akhirnya sesuai dengan kebiasaan, atau ia harus mengingkari atau menekannya‖. 3

Kemungkinan hukum dan lembaga informal saling menekan seperti tesis Bohannan itu, disebabkan oleh karena seperti dikatakan Stanley Diamond acapkali hukum membawa serta perangkat dan tujuan yang berbeda bahkan tidak dapat

dipakai oleh masyarakat yang diaturnya. 4 Analog dengan itu adalah pemikiran yang muncul dalam Kongres PBB ke-VI mengenai The Prevention of Crime and

The Treatment of Offenders. Yaitu, ketiadaan konsistensi antara UU dan kenyataan merupakan kondisi yang dapat melahirkan kejahatan (kriminogen). Semakin jauh UU bergeser dari perasaan dan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat, maka

semakin besar ketidakpercayaan akan keefektivannya. 5 Dengan demikian, sekalian benturan yang muncul di sekitar pertemuan

hukum nasional dan hukum lokal, selain melahirkan kemacetan keberlakuan hukum nasional di tingkat lokal, juga menjadi bahan studi yang penting untuk mengetahui anatomi kemacetan tersebut. Acap kali terhadap gejala yang demikian itu, tidak sedikit orang memahaminya sebagai fenomena ketaksadaran hukum masyarakat, bahkan dimengerti sebagai ketidakpatuhan hukum.

Sebenarnya, kehadiran hukum negara dalam masyarakat lokal menjadi problematis, tidak saja karena ia merupakan sesuatu yang baru, tetapi juga karena masyarakat yang bersangkutan merupakan ―bejana‖ yang sudah ―berisi‖, yaitu sistem dunia kehidupan. 6 Ia memiliki semacam ordering belief framework yang

mengikat anggota-anggotanya dalam tertib aturan main bersama. Dalam konteks realitas seperti itu, Sahetapy 7 pernah berkata bahwa, untuk memasukan sesuatu

yang dari luar ke dalam suatu masyarakat, selain harus rasional-logis, juga harus dapat dipertanggung-jawabkan dalam kerangka Sobural. Yaitu, nilai-nilai sosial, aspek budaya, dan faktor struktural masyarakat itu.

Keanekaragaman sosial-budaya Indonesia dengan sekalian klaim kebenarannya, 8 telah menjadi problematik ketika harus ―dijembatani‖ oleh satu

3 Lih. Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Masyarakat, Bandung: Alumni, 1980, h. 34. 4 Dalam kata- kata Diamond sendiri dikatakan: “... the laws... are unprecedented...

they arise in opposition to the customary order of the antecedent kin or kin-equivalent groups; they represent a new set of social goals pursued by a new unaticipated power in society (lihat dalam Bernard L. Tanya, “Kasus Sabu: Sebuah Tinjauan Antropologi di Bidang Hukum”, Hukum dan Pembanguan No. 2 Tahun XXIII April 1993, h. 149 bagian catatan kaki).

5 Bernard L. Tanya, Ibid. 6 Menurut Habermas, "dunia kehidupan" adalah hasil keterlibatan intersubjektif,

sebuah horizon sosial yang mencakup: kebudayaan, masyarakat, dan kepribadian. Ketiga komponen dunia kehidupan itu selalu mengalami proses-proses reproduksi sehingga menghasilkan solidaritas di tingkat kultural; sosialisasi di tingkat masyarakat; tanggung jawab di tingkat individu. Inilah syarat-syarat yang menjaga kelangsungan hidup dan identitas suatu masyarakat (lihat Jurgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Jilid II, Boston: Beacon Press, 1987, hal. 140 dan 142).

7 J. E. Sa hetapy, “Beberapa Asas Dalam Rencana KUHP Baru”, makalah pada Penataran Nasional Hukum Pidana Angkatan III-Kerjasama Indonesia dan Belanda,

Kupang: FH-UNDANA, 1989, h. 7. 8 Sesungguhnya, norma-norma kehidupan dari suatu masyarakat adat memiliki ciri

yang khas, serta berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dalam konteks ini, kita dapat lebih memahami ketika van Vollenhoven maupun Soepomo berkata bahwa, pemahaman yang khas, serta berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dalam konteks ini, kita dapat lebih memahami ketika van Vollenhoven maupun Soepomo berkata bahwa, pemahaman

tidak malah mustahil samasekali, untuk memutuskan mana yang paling ―benar‖, ―baik‖, dan ―tepat‖ untuk semua. 9 Lebih dari itu, dalam banyak hal, suatu realitas

tidak pernah menawarkan pilihan ―hitam‖ atau ―putih‖, tetapi justru menyodorkan kerumitan aneka warna yang berbaur, meski kadang-kadang tidak padu. Itulah

sebabnya, pilihan yang sungguh- sungguh representatif tentang yang ―baik‖, ―benar‖, dan ―tepat‖ yang berlaku semesta menjadi amat sulit.

Dilihat dari sudut ini, maka kebenaran-kebenaran yang dimiliki rakyat, betapapun sederhananya, terlalu berharga untuk dinafikan begitu saja. Sebab, sekalian itupun mengandung kebenaran. Itulah sebabnya, pilihan yang relatif lebih

bijaksana adalah, ―tidak melakukan pilihan‖. Ada kala, dimana orang berupaya merangkul semua unsur kebenaran yang ada, dan mencoba membuat sintesis. Namun pilihan inipun tidak memadai. Sebab, tidak semua unsur dengan mudah dikombinasikan dan dipadukan. Sangat mungkin sekalian itu justru bertentangan. Lebih dari itu, kita tidak selalu tahu bagaimana memadukan, baik ini maupun itu — — dua hal yang tak terpisahkan, namun tak mungkin pula berpadu.

Oleh karena itu, sistem hukum kodifikasi sungguh tidak realistik dalam mengembanwujudkan amanat Undang-undang Nomor 14/1970, apalagi bila amanat itu harus dibaca sebagai akses bagi keadilan rakyat yang heterogen. Di sini persoalannya tidak terbatas pada ketidakjumbuhan norma dan nilai dari dua sistem yang berbeda itu. Juga tidak hanya terbatas pada kemampuan dan kesiapan para hakim untuk menggali dan menemukan nilai-nilai yang memang belum siap untuk dipakai (nilai yang mana dan menurut siapa?). Kemampuan rakyat untuk memasuki sistem yang demikian pun menjadi persoalan yang tidak kalah penting.

Dalam penelitian-penelitian antropologi hukum, penemuan norma-norma dan nilai-nilai dalam suatu masyarakat bukanlah pekerjaan yang mudah. Ia sangat terikat pada pendekatan yang dipakai si peneliti. Penelitian yang menggunakan pendekatan yang ideologis hanya mampu merekam nilai-nilai yang diingat dan dikatakan si informan. Ia tidak dapat mengungkapkan secara signifikan, nilai-nilai dan norma-norma mana yang sungguh-sungguh masih berlaku yang hidup dalam