SKRIPSI PENGARUH PENAMBAHAN ASAM SITRAT

SKRIPSI PENGARUH PENAMBAHAN ASAM SITRAT DAN PEWARNA ALAMI KAYU SECANG (Caesalpinia sappan L) TERHADAP STABILITAS WARNA SARI BUAH BELIMBING MANIS (Averrhoa carambola L)

Oleh : RISKA PRATAMA KUSUMAWATI F24103129 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN PENGARUH PENAMBAHAN ASAM SITRAT DAN PEWARNA ALAMI KAYU SECANG (Caesalpinia sappan L) TERHADAP STABILITAS WARNA SARI BUAH BELIMBING MANIS (Averrhoa carambola L) SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh: RISKA PRATAMA KUSUMAWATI F24103129 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN PENGARUH PENAMBAHAN ASAM SITRAT DAN PEWARNA ALAMI KAYU SECANG (Caesalpinia sappan L) TERHADAP STABILITAS WARNA SARI BUAH BELIMBING MANIS (Averrhoa carambola L) SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh: RISKA PRATAMA KUSUMAWATI F24103129

Dilahirkan pada tanggal 18 Mei 1985 di Bogor, Jawa Barat Tanggal Lulus : 3 September 2008

Menyetujui,

Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, MSc Dr. Ir. Dede R Adawiyah, MSi Dosen Pembimbing II

Dosen Pembimbing I

Mengetahui,

a/n Ketua Departemen ITP

Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi Sekertaris Departemen ITP

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 18 Mei 1985. Penulis adalah anak ke-2 dari pasangan Edi Kuswara, SE dan Watty Sukmawati. Penulis memulai pendidikan formalnya pada tahun 1990-1991 di TK Pertiwi II, Bogor. Pendidikan SD ditempuh pada tahun 1991-1997 di SDN Pengadilan I Bogor. Kemudian penulis melanjutkan Pendidikan Menengah

Pertama di SLTPN 2 Lembang-Bandung pada tahun 1997-2000 dan selanjutnya ke SMUN I Lembang-Bandung pada tahun 2000- 2003. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswi IPB pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian IPB melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru).

Selama menjadi mahasiswa ITP, penulis aktif dalam berbagai kepanitiaan acara di Departemen ITP antara lain BAUR Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA, IPB (2006), dan Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan Nasional

XIII (2005). Sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana, penulis melakukan kegiatan penelitian selama enam bulan. Hasil penelitian tersebut disusun dalam bentuk skripsi dengan judul “Pengaruh Penambahan Asam Sitrat dan Pewarna Alami Kayu Secang (Caesalpinia sappan L) Terhadap Stabilitas Warna Sari Buah Belimbing Manis (Averrhoa carambola L)” di bawah bimbingan Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, MSc dan Dr. Ir. Dede R Adawiyah, MSi.

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur ke Hadirat Illahi Robbi karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh penambahan Asam Sitrat dan Pewarna Alami Kayu Secang (Caesalpinia sappan L) Terhadap Stabilitas Warna Sari Buah Belimbing Manis (Averrhoa carambola L)”. Skripsi ini ditulis untuk memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian di Institut Pertanian Bogor.

Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak memerlukan informasi, petunjuk, pengarahan maupun bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, dengan tulus penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Orang Tua tercinta Edi Kuswara,SE dan Watty Sukmawati, kakakku, serta keponakanku tersayang atas segala limpahan kasih sayang, doa, dukungan (material, spiritual), semangat, dan kehangatan keluarga yang selalu diberikan kepada penulis.

2. Bapak Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, MSc. Selaku dosen pembimbing akademik untuk semua bimbingan dan dukungan selama ini.

3. Ibu Dr. Ir. Dede R Adawiyah, MSi. Selaku pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktu dengan sabar membimbing, mengoreksi dan memberi sara-saran selama penulis melaksanakan penelitian hingga selesainya penulisan skripsi ini.

4. Ibu Dian Herawati, STP selaku dosen penguji atas kesediannya menguji penulis saat ujian akhir sarjana serta atas bimbingan, masukan, saran serta kritik yang telah diberikan demi kesempurnaan skripsi.

5. Ibu Syarifah Aminah, M.Si, Bapak Tesar Ramdhan, STP dan Mas Yosef di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Pasar Minggu, atas kerjasama dan bantuan selama pelaksanaan penelitian.

6. Para dosen, staf dan laboran di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan kuliah dan penelitian.

7. Bagja Nugraha untuk segala bantuan, doa, dorongan, perhatian, pengertian dan kasih sayangnya kepada penulis.

8. Keluarga besar di Lembang (Mamah, Bapa, Neng, Dede), makasih buat doa dan dukungannya selama ini.

9. Apa, Amih, Apih, dan semua keluarga besarku atas doa, dukungan, kasih sayang, dan kebaikan yang diberikan kepada penulis.

10. Kardhita family (Aniz, Citra, Ocha, Bohay, Epen, Abdy, Dini, I2n, Wati, Indach, Dian) atas semua bantuan, dukungan, dan rasa “persahabatan” yang selalu diberikan kepada penulis.

11. Sahabat setiaku (Isti, Vita, Sarah, Nita, Ichan, dan Rama) yang telah setia menemani dan membantu penulis pada saat penelitian hingga selesainya skripsi ini.

12. Teman seperjuangan satu bimbingan Danang, Marto, terima kasih atas semua dukungan yang diberikan kepada penulis, dan untuk Ados terima kasih atas kerjasama dan bantuan selama penelitian.

13. Teman-teman ITP 40 khususnya golongan D, Eko, Arie, Oboth, Rina, Andal, Dian, Sarwo, Usman, Arga, Andreas, Agus, Santo, Ekus, Angel, Lasty, Gading, Maya, mae, bos Mardi, Intan, Nana, Pau2, Dhea, Andrea atas segala kegembiraan disaat praktikum dan kuliah.

14. Teman-teman ITP 41 atas segala kenangan dan keceriaan selama praktikum dan kuliah.

15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan yang diberikan.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sekalian demi kesempurnaannya dimasa yang akan datang. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang ilmu pangan, amin.....

Bogor, Agustus 2008

Penulis

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Komposisi buah belimbing manis per 100 gram bahan................. 8 Tabel 2. Rata-rata nilai absorbansi dan persen retensi warna sari buah

belimbing manis ............................................................................. 27 Tabel 3. Nilai k dan r² pada ordo 0 dan ordo 1 ............................................ 31 Tabel 4. Nilai waktu paruh sari buah belimbing manis .............................. 33 Tabel 5. Konstanta degradasi pigmen secang pada sari buah belimbing

manis ............................................................................................. 34 Tabel 6. Nilai warna kuning sari buah belimbing manis ............................. 39 Tabel 7. Nilai warna merah sari buah belimbing manis............................... 43 Tabel 8. Nilai °Hue, dan Daerah Kisaran Warna Sari Buah

Belimbing Manis .......................................................................... 57 Tabel 9. Nilai ΔE Sari Buah Belimbing Manis .......................................... 58 Tabel 10. Hasil pengukuran pH selama penyimpanan.................................. 60 Tabel 11. Hasil pengukuran TPT selama penyimpanan .............................. 64

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Hasil Pengukuran Warna dengan Lovibond Tintometer

Selama Penyimpanan ............................................................. 74 Lampiran 2. Nilai Absorbansi dan Persen Retensi Sari Buah Belimbing

Manis Selama Penyimpanan Pada Suhu 5°C ......................... 76 Lampiran 3. Nilai Absorbansi dan Persen Retensi Sari Buah Belimbing

Manis Selama Penyimpanan Pada Suhu 30°C ...................... 77 Lampiran 4. Nilai Absorbansi dan Persen Retensi Sari Buah Belimbing

Manis Selama Penyimpanan Pada Suhu 55°C ....................... 78 Lampiran 5. Grafik Nilai Warna Putih dengan Lovibond Selama

Penyimpanan .......................................................................... 79 Lampiran 6. Nilai L, a, b, Chroma, ΔE, °Hue, dan Daerah Kisaran

Warna Sari Buah Belimbing Manis ………........................... 81

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Saat ini, kecenderungan makanan dan minuman kesehatan semakin berkembang seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pola hidup sehat. Hal ini mendorong konsumen untuk mengkonsumsi makanan dan minuman yang mendukung kesehatan, salah satunya dengan menerapkan prinsip back to nature. Prinsip back to nature merupakan gaya hidup yang sedapat mungkin memanfaatkan bahan segar alami untuk kebutuhan sehari-hari. Industri minuman di Indonesia sendiri telah mengalami beberapa periode perkembangan mulai dari minuman ringan hingga minuman suplemen yang saat ini mulai diproduksi dan dipasarkan.

Pertumbuhan dan perkembangan agroindutsri skala rumah tangga mempunyai potensi yang cukup besar, hal ini terbukti dengan semakin meningkatnya jumlah unit usaha skala kecil dan menengah yang menghasilkan berbagai produk olahan pangan. Cukup banyak kelompok olahan yang berskala rumah tangga yang bergerak dalam usaha pengolahan pangan. Produk olahan yang dihasilkan sangat beraneka ragam mulai dari aneka makanan ringan, minuman, dan makanan jajanan.

Produk sari buah belimbing manis merupakan alternatif pengolahan buah belimbing manis agar dapat disimpan dan termanfaatkan secara optimal sehingga dapat menjadi suatu nilai tambah bagi buah ini. Pada sari buah belimbing manis ditambahkan ekstrak kayu secang (Caesalpinia sappan Linn) sebagai pewarna alami. Dengan formulasi dan konsentrasi yang tepat, diharapkan dapat dihasilkan produk sari buah belimbing manis yang dapat diterima secara sensori dan stabil selama penyimpanan. Sari buah belimbing manis sebelum penambahan ekstrak kayu secang dan asam sitrat memiliki warna yang kurang cerah serta tidak stabil selama penyimpanan, karena hal itulah dalam penelitian ini ditambahkan pewarna alami berupa ekstrak kayu secang untuk mempertegas warna serta asam sitrat sebagai penstabil warna yang muncul sekaligus sebagai pengawet. Hal tersebut dilatarbelakangi karena tanaman secang berproduksi sepanjang tahun (tidak tergantung musim), Produk sari buah belimbing manis merupakan alternatif pengolahan buah belimbing manis agar dapat disimpan dan termanfaatkan secara optimal sehingga dapat menjadi suatu nilai tambah bagi buah ini. Pada sari buah belimbing manis ditambahkan ekstrak kayu secang (Caesalpinia sappan Linn) sebagai pewarna alami. Dengan formulasi dan konsentrasi yang tepat, diharapkan dapat dihasilkan produk sari buah belimbing manis yang dapat diterima secara sensori dan stabil selama penyimpanan. Sari buah belimbing manis sebelum penambahan ekstrak kayu secang dan asam sitrat memiliki warna yang kurang cerah serta tidak stabil selama penyimpanan, karena hal itulah dalam penelitian ini ditambahkan pewarna alami berupa ekstrak kayu secang untuk mempertegas warna serta asam sitrat sebagai penstabil warna yang muncul sekaligus sebagai pengawet. Hal tersebut dilatarbelakangi karena tanaman secang berproduksi sepanjang tahun (tidak tergantung musim),

Kayu secang memiliki potensi yang cukup baik karena kayu secang dapat dimanfaatkan sebagai pewarna alami maupun sebagai obat yang aman. Kayu secang menurut Heyne (1987) termasuk tanaman obat tradisional dan di beberapa tempat di Indonesia memanfaatkan kayu secang sebagai pewarna maupun sebagai obat. Uji toksisitas akut (LD50) kayu secang menunjukkan indikasi keamanan yang tinggi (Yulinah, 1982). Selain itu, penggunaan kayu secang sebagai pewarna alami dalam penelitian ini karena memiliki nilai yang ekonomis, dan juga mudah didapatkan atau ditemui di pasar tradisional.

Dampak yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani khususnya petani pengolah sari buah belimbing manis serta memberikan sumbangan pemikiran dan solusi bagi pemanfaatan potensi sumber daya pertanian lokal sebagai bahan tambahan pangan (BTP) yang bersifat alami bagi produk olahan dan juga untuk mengetahui efektifitas pewarna alami terhadap produk olahan. Kedua hal tersebut akan dicapai melalui peningkatan nilai jual dan daya saing pasar dari produk olahan serta memberikan peluang usaha baru bagi petani pengolah dengan memanfaatkan sumber daya pertanian lokal sebagai bahan tambahan makanan alami yang dapat digunakan pada produk olahan.

B. TUJUAN

Mengetahui pengaruh penambahan asam sitrat, pewarna alami ekstrak kayu secang dan suhu penyimpanan terhadap stabilitas warna sari buah belimbing manis selama penyimpanan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. SARI BUAH

Menurut SNI 01-3719-1995 produk minuman sari buah (fruit juice) adalah minuman ringan yang dibuat dari sari buah dan air minum dengan atau tanpa penambahan gula dan bahan tambahan makanan yang diizinkan. Sari buah merupakan hasil pengepresan atau ekstraksi buah yang sudah disaring. Buah yang digunakan sebagai sari buah harus dalam keadaan matang dan mempunyai cita rasa yang menyenangkan. Buah-buahan yang akan diproses menjadi sari buah hendaknya merupakan buah varietas tertentu dan berasal dari daerah penanaman yang sama. Sedangkan faktor yang mempengaruhi cita rasa sari buah adalah perbandingan antara gula dan asam, jenis dan jumlah komponen aroma, serta jenis vitamin (Pollard dan Timberlake, 1974).

Menurut Makfoeld (1982), tahap-tahap pengolahan sari buah secara umum adalah pemilihan dan penentuan kematangan buah, pencucian dan sortasi, ekstraksi, homogenisasi, penyaringan, deaerasi, pengawetan, dan pembotolan atau pengalengan. Untuk buah-buahan tertentu, dapat dilakukan modifikasi terhadap proses pengolahan tersebut, bergantung pada sifat buah dan sari buah yang diinginkan.

Dalam pembuatan sari buah biasanya ditambahkan gula, garam, dan asam. Penambahan gula dimaksudkan untuk menambah rasa manis dan daya awet. Garam selain dapat menambah efektivitas bahan pengawet juga dapat memperbaiki flavor (Tressler dan Joslyn, 1971).

Pembuatan sari buah secara umum dapat dilihat pada Gambar 1. Tahap pertama dilakukan sortasi pada buah yang dilakukan untuk memilih buah yang utuh, tidak terdapat kontaminasi mikroba (tidak busuk) dan matang penuh. Selanjutnya dilakukan proses blansir dengan merendam bahan baku dalam air panas (82-93°C) selama 3-5 menit. Hal ini bertujuan untuk mengurangi jumlah mikroba awal, inaktivasi enzim (katalase dan peroksidase), dan melunakkan jaringan buah sehingga lebih mudah dihancurkan, mengeluarkan udara yang terperangkap pada jaringan buah yang akan mengurangi kerusakan oksidasi (Hariyadi, 2000). Buah kemudian dimasukkan ke dalam juice Pembuatan sari buah secara umum dapat dilihat pada Gambar 1. Tahap pertama dilakukan sortasi pada buah yang dilakukan untuk memilih buah yang utuh, tidak terdapat kontaminasi mikroba (tidak busuk) dan matang penuh. Selanjutnya dilakukan proses blansir dengan merendam bahan baku dalam air panas (82-93°C) selama 3-5 menit. Hal ini bertujuan untuk mengurangi jumlah mikroba awal, inaktivasi enzim (katalase dan peroksidase), dan melunakkan jaringan buah sehingga lebih mudah dihancurkan, mengeluarkan udara yang terperangkap pada jaringan buah yang akan mengurangi kerusakan oksidasi (Hariyadi, 2000). Buah kemudian dimasukkan ke dalam juice

Buah

Pemilihan (sortasi) buah

Hot filling

Pengemasan

Pasteurisasi

Sari buah

Gambar 1. Diagram alir pembuatan sari buah secara umum (Ashurst, 1995)

Setelah ekstraksi, dilakukan proses klarifikasi. Menurut Potter (1973), klarifikasi bertujuan menghilangkan sisa padatan dari sari buah dengan cara Setelah ekstraksi, dilakukan proses klarifikasi. Menurut Potter (1973), klarifikasi bertujuan menghilangkan sisa padatan dari sari buah dengan cara

Setelah diperoleh sari buah, dilakukan hot filling yang merupakan metode pengisian sari buah dengan kondisi suhu 75°C ke dalam kemasan Pengisian dilakukan pada kemasan plastik yang terbuat dari bahan polypropylene. Pengemasan dalam cup plastik dapat menampilkan sari buah sehingga terlihat lebih menarik. Setelah pengisian dan penutupan cup dilakukan proses pasteurisasi. Pasteurisasi terdiri dari beberapa metode, seperti flash pasteurisation yang menggunakan plate heat exchanger, batch pasteurisation , dan in pack pasteurisation (hot filling) (Ashurst, 1995).

Sari buah dalam kemasan selanjutnya disimpan dingin. Penyimpanan dingin (chilling storage) merupakan cara penyimpanan bahan atau produk pangan di bawah suhu 15°C dan di atas titik beku bahan/produk. Penyimpanan dingin merupakan salah satu cara menghambat turunnya mutu sari buah, disamping penambahan zat-zat pengawet kimia dan konsentrasi gula yang tinggi. Pendinginan akan menurunkan laju pertumbuhan mikroba pada bahan/produk yang disimpan. Penurunan ini disebabkan terjadinya denaturasi enzim dan penghambatan sintesa enzim yang dibutuhkan mikroba. Menurut Pollard dan Timberlake (1974), suhu penyimpanan yang ideal bagi sari buah adalah 35-40°F (1.67-4.44°C).

B. BELIMBING MANIS (Averrhoa carambola L)

Belimbing (Averrhoa carambola L) adalah salah satu tanaman hortikultura, yang sangat banyak pembudidayaannya di Indonesia. Buah tropis yang oleh sebagian masyarakat terkadang dipandang sebelah mata ini ternyata memiliki banyak kelebihan, antara lain penampilan menarik, tahan disimpan dalam keadaan segar, produktivitas tinggi sekitar 150 kg buah/pohon/musim dan dapat berbunga serta berbuah sepanjang tahun (Rukmana, 1996). Buah belimbing juga mempunyai beberapa manfaat dan berkhasiat untuk obat, antara lain mengobati tekanan darah tinggi, menurunkan kolesterol, mengobati diabetes mellitus, melancarkan pencernaan, meredakan gangguan batuk, Belimbing (Averrhoa carambola L) adalah salah satu tanaman hortikultura, yang sangat banyak pembudidayaannya di Indonesia. Buah tropis yang oleh sebagian masyarakat terkadang dipandang sebelah mata ini ternyata memiliki banyak kelebihan, antara lain penampilan menarik, tahan disimpan dalam keadaan segar, produktivitas tinggi sekitar 150 kg buah/pohon/musim dan dapat berbunga serta berbuah sepanjang tahun (Rukmana, 1996). Buah belimbing juga mempunyai beberapa manfaat dan berkhasiat untuk obat, antara lain mengobati tekanan darah tinggi, menurunkan kolesterol, mengobati diabetes mellitus, melancarkan pencernaan, meredakan gangguan batuk,

Tanaman belimbing bisa tumbuh dengan baik pada hampir semua jenis tanah yang subur, ringan, kaya dengan bahan organik. Nilai pH optimal untuk pertumbuhan belimbing adalah 5.0 sampai 7.0. Iklim tanaman belimbing cocok ditanam di daerah tropika dengan curah hujan pada kisaran 1500 sampai 3000 mm setahun dan suhu 25-27°C. Belimbing (Averrhoa carambola L) banyak terdapat di daerah tropis dan sangat popular di masyarakat. Tanaman buah belimbing manis mampu tumbuh di kebun dan di halaman depan atau samping rumah, mudah tumbuh dan mampu berbuah lebat jika dirawat dengan sungguh-sungguh sesuai dengan aturan budidaya (good farming practice ).

Sumber genetik dari keanekaragaman belimbing diduga terdapat di Malaysia. Sampai sekarang, dikenal dua macam belimbing, yaitu belimbing yang buahnya manis disebut belimbing manis (Averrhoa carambola L) dan belimbing yang rasanya asam disebut belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi). Jenis belimbing yang banyak dibudidayakan di berbagai negara beriklim tropis adalah belimbing manis (Rukmana, 1996). Nilai ekonomis buah belimbing manis lebih tinggi dibandingkan belimbing wuluh. Jenis belimbing wuluh biasanya hanya digunakan sebagai bahan campuran dalam membuat sayur.

Gambar 2. Buah belimbing manis

Daya tarik utama buah belimbing manis ini adalah memiliki bentuk yang unik seperti bintang, memiliki rasa manis yang menyegarkan dengan aroma khas dan memiliki kandungan air yang tinggi. Kelebihan lainnya adalah Daya tarik utama buah belimbing manis ini adalah memiliki bentuk yang unik seperti bintang, memiliki rasa manis yang menyegarkan dengan aroma khas dan memiliki kandungan air yang tinggi. Kelebihan lainnya adalah

Varietas belimbing unggul adalah varietas belimbing yang memiliki produktivitas tinggi, resisten terhadap hama dan penyakit, berkualitas tinggi, ukuran buah besar dengan warna yang menarik, mengandung banyak air, berserat halus, rasa buahnya manis, serta dapat ditanam di berbagai kondisi lingkungan baru (adaptasi luas).

Belimbing manis berasal dari pohon yang berkayu keras, tinggi mencapai 12 meter dengan batang yang tidak terlalu besar dan mempunyai garis tengah hanya 30 cm. Tanaman ini mempunyai daun yang rimbun dan mengeluarkan tunas air yang banyak.

Dalam taksonomi tumbuhan, tanaman belimbing diklasifikasikan dalam: Divisi

: Avorrhoa dan Oxalis

Species : Averrhoa carambola L. (Belimbing manis) Buah muda dari belimbing manis berwarna hijau dan setelah tua (matang) akan berubah menjadi hijau keputih-putihan, hijau kekuningan, atau hijau kemerahan. Buah yang masak sempurna berwarna kuning kemerahan dengan cita rasa manis sampai sedikit asam menyegarkan. Cita rasa buah ini ditentukan oleh tingkat kemasakannya.

Manfaat dari belimbing manis selain dikonsumsi sebagai buah juga dapat digunakan sebagai obat untuk menyembuhkan batuk pada anak-anak, sakit perut, diare, mual, kembung, ambeien, datang haid tidak teratur, asma, bau mulut, demam, dan mencegah kejang pada anak. Disamping itu, belimbing manis juga dapat dibuat makanan olahan lain seperti selai, sari buah, dan rujak. Lebih dari itu, kandungan air dan vitamin yang dikandung buah ini cukup tinggi, salah satunya adalah vitamin C. Vitamin C yang tinggi dari belimbing digunakan sebagai antioksidan yang berfungsi mencegah Manfaat dari belimbing manis selain dikonsumsi sebagai buah juga dapat digunakan sebagai obat untuk menyembuhkan batuk pada anak-anak, sakit perut, diare, mual, kembung, ambeien, datang haid tidak teratur, asma, bau mulut, demam, dan mencegah kejang pada anak. Disamping itu, belimbing manis juga dapat dibuat makanan olahan lain seperti selai, sari buah, dan rujak. Lebih dari itu, kandungan air dan vitamin yang dikandung buah ini cukup tinggi, salah satunya adalah vitamin C. Vitamin C yang tinggi dari belimbing digunakan sebagai antioksidan yang berfungsi mencegah

Tabel 1. Komposisi buah belimbing manis per 100 gram bahan

Satuan Energi

Komponen

Jumlah

36 Kkal Karbohidrat

Gram Lemak

Gram Protein

Gram Vitamin A

SI Vitamin B1

mg Vitamin B2

mg Vitamin C

35 mg Kalsium

4 mg Fosfor

12 mg Besi

mg Bagian yang dapat dimakan

86 Persen Kadar air

90 Persen Sumber : Departemen Pertanian, 2004

C. KAYU SECANG (Caesalpinia sappan Linn)

Kayu secang (Caesalpinia sappan L) merupakan tumbuhan perdu yang memanjat dan merupakan pohon kecil berduri banyak, tingginya 5 sampai 10 meter (Heyne, 1987). Tumbuhan ini umumnya tumbuh pada pegunungan yang berbatu tetapi beriklim tidak terlalu dingin. Tanaman secang tidak toleran terhadap kondisi tanah yang basah, lebih menyukai daerah dengan curah hujan tahunan 700-4300 mm dan dengan suhu 24-27.5°C, serta pH tanah 5-7.5. Tanaman ini juga mampu tumbuh di daerah yang sangat kering, oleh karena itu disarankan untuk dikembangkan di kawasan Indonesia bagian Timur, seperti Nusa Tenggara Timur (Zerrudo, 1991). Akar tanaman secang berserabut dan berwarna gelap. Bagian batangnya dapat mencapai diameter 14 cm berwarna coklat keabuan, daunnya bertumpu, dan bersirip ganda. Bunganya berwarna kuning, dan berbuah polong yang merekah setelah matang, berbentuk lonjong sampai bulat telur sungsang, pipih mendatar, permukaannya licin serta ujungnya berparuh, berukuran (7-9) cm x (3-4) cm, masih muda berwarna hijau kekuningan, semakin tua berubah menjadi Kayu secang (Caesalpinia sappan L) merupakan tumbuhan perdu yang memanjat dan merupakan pohon kecil berduri banyak, tingginya 5 sampai 10 meter (Heyne, 1987). Tumbuhan ini umumnya tumbuh pada pegunungan yang berbatu tetapi beriklim tidak terlalu dingin. Tanaman secang tidak toleran terhadap kondisi tanah yang basah, lebih menyukai daerah dengan curah hujan tahunan 700-4300 mm dan dengan suhu 24-27.5°C, serta pH tanah 5-7.5. Tanaman ini juga mampu tumbuh di daerah yang sangat kering, oleh karena itu disarankan untuk dikembangkan di kawasan Indonesia bagian Timur, seperti Nusa Tenggara Timur (Zerrudo, 1991). Akar tanaman secang berserabut dan berwarna gelap. Bagian batangnya dapat mencapai diameter 14 cm berwarna coklat keabuan, daunnya bertumpu, dan bersirip ganda. Bunganya berwarna kuning, dan berbuah polong yang merekah setelah matang, berbentuk lonjong sampai bulat telur sungsang, pipih mendatar, permukaannya licin serta ujungnya berparuh, berukuran (7-9) cm x (3-4) cm, masih muda berwarna hijau kekuningan, semakin tua berubah menjadi

Gambar 3. Pohon secang dan irisan kayu secang

Kayu secang memiliki rasa sedikit manis dan hampir tidak berbau dan sering juga digunakan sebagai obat untuk berbagai macam penyakit seperti luka, batuk berdarah (muntah darah), berak darah, darah kotor, penawar racun, sipilis, penghenti pendarahan, pengobatan pasca bersalin, demam berdarah, dan katarak mata. Kayu secang mengandung komponen yang memiliki aktivitas antioksidan dan antimikroba (Sundari et al., 1998).

Menurut Heyne (1987), taksonomi tanaman secang adalah sebagai berikut: Divisio

: Spermatophyta

Sub divisio

Sub class

Spesies : Caesalpinia sappan Linn Kayu secang mengandung pigmen, tanin, brazilin, asam tanat, resin, resorsin, brazielin, sappanin, dan asam galat (Lemmens dan Soetjipto, 1992). Dari komponen tersebut yang paling menarik adalah zat warnanya. Kayu secang jika dilarutkan dalam air akan memberikan warna merah jambu yang Spesies : Caesalpinia sappan Linn Kayu secang mengandung pigmen, tanin, brazilin, asam tanat, resin, resorsin, brazielin, sappanin, dan asam galat (Lemmens dan Soetjipto, 1992). Dari komponen tersebut yang paling menarik adalah zat warnanya. Kayu secang jika dilarutkan dalam air akan memberikan warna merah jambu yang

Secara tradisional, pemanfaatan tanaman secang oleh masyarakat sudah cukup luas. Bagian tanaman secang yang sering digunakan adalah kayu dalam potongan-potongan atau serutan kayu. Tetapi selain itu, bagian lain dari tanaman secang yang dimanfaatkan adalah kayu, daun, buah, dan biji. Sampai abad ke-19, di Kalimantan kayu secang digunakan sebagai pewarna merah coklat untuk makanan. Kayu pewarna tersebut dapat dipanen setelah berumur 6-8 tahun (Lemmens, 1992). Daun secang dimanfaatkan dalam pemeraman buah pisang dan mangga, untuk proses pematangan (Lemmens, 1992). Daun secang juga digunakan sebagai obat “Sapraemia”, infus dingin dari daun dapat mengobati kejang (Watt, 1962).

D. ZAT WARNA

Warna adalah sifat sensori pertama yang diamati pada saat konsumen menemui produk pangan. Konsumen biasanya tertarik akan makanan yang memiliki warna tertentu dan menolak jika terdapat penyimpangan pada warna makanan tersebut. Pewarna makanan memegang peranan penting untuk meningkatkan nilai estetika makanan. Pewarna merupakan ingredien yang penting pada beberapa jenis makanan tertentu seperti produk-produk confectionary, snack , dan minuman. Oleh karena itu, penambahan pewarna makanan sangat diperlukan pada jenis makanan ini. Penambahan zat warna terhadap makanan untuk menjadikannya lebih menarik bukanlah suatu penemuan yang baru. Menurut Bauernfeind (1981), pewarna yang biasa digunakan dapat dibedakan dalam tiga kategori, yaitu pewarna alami, pewarna identik alami, dan pewarna sintesik. Pewarna sintesis pertama kali ditemukan oleh Sir William Henry Perkins pada tahun 1856. Penemuan ini mendorong penemuan terhadap pewarna sintesis lainnya. Zat warna sintesis untuk jenis- jenis tertentu dalam penggunaannya sering kali menimbulkan masalah kesehatan sehingga masing-masing negara mengatur penggunaannya antara zat warna yang diizinkan dan dilarang. Zat warna alami adalah zat warna yang diperoleh dari tumbuh-tumbuhan, hewan, atau sumber mineral. Zat warna Warna adalah sifat sensori pertama yang diamati pada saat konsumen menemui produk pangan. Konsumen biasanya tertarik akan makanan yang memiliki warna tertentu dan menolak jika terdapat penyimpangan pada warna makanan tersebut. Pewarna makanan memegang peranan penting untuk meningkatkan nilai estetika makanan. Pewarna merupakan ingredien yang penting pada beberapa jenis makanan tertentu seperti produk-produk confectionary, snack , dan minuman. Oleh karena itu, penambahan pewarna makanan sangat diperlukan pada jenis makanan ini. Penambahan zat warna terhadap makanan untuk menjadikannya lebih menarik bukanlah suatu penemuan yang baru. Menurut Bauernfeind (1981), pewarna yang biasa digunakan dapat dibedakan dalam tiga kategori, yaitu pewarna alami, pewarna identik alami, dan pewarna sintesik. Pewarna sintesis pertama kali ditemukan oleh Sir William Henry Perkins pada tahun 1856. Penemuan ini mendorong penemuan terhadap pewarna sintesis lainnya. Zat warna sintesis untuk jenis- jenis tertentu dalam penggunaannya sering kali menimbulkan masalah kesehatan sehingga masing-masing negara mengatur penggunaannya antara zat warna yang diizinkan dan dilarang. Zat warna alami adalah zat warna yang diperoleh dari tumbuh-tumbuhan, hewan, atau sumber mineral. Zat warna

Zat warna makanan adalah zat warna alami atau buatan yang boleh ditambahkan ke dalam makanan dan minuman untuk memperoleh warna makanan dan minuman yang diinginkan. Zat warna makanan secara umum dibagi dalam tiga golongan, yaitu zat warna alami, zat warna identik alami, dan zat warna sintesis (Bauernfeind, 1981). Pewarna alami adalah zat warna (pigmen) yang diperoleh dari bahan nabati, hewani, atau mineral. Zat warna yang dihasilkan dari tumbuhan dan hewan dipengaruhi oleh sifat-sifat tanah, iklim, umur, waktu panen, dan hal-hal lain, sehingga dapat mempengaruhi keseragaman zat warna yang dihasilkan (Sutrisno, 1987). Menurut Bauernfeind (1981) zat warna alami dan identik alami adalah zat warna (pigmen) yang secara alami sudah ada dalam makanan dan atau diperoleh dengan cara ekstraksi dari sumber-sumber alami atau diproduksi kembali dengan cara sintesis kimia. Zat warna identik alami masih satu golongan dengan zat warna alami, hanya zat warna ini dihasilkan dengan cara sintesis kimia, bukan dengan cara ekstraksi/isolasi. Pewarna pada bahan pangan umumnya dilakukan dengan maksud : (1) memperbaiki penampakkan makanan yang memudar akibat pengolahan, (2) memperoleh warna yang seragam pada komoditi yang warna alamiahnya tidak seragam, (3) memperoleh warna yang lebih tua dari aslinya, (4) melindungi zat flavor dan vitamin yang peka terhadap cahaya selama penyimpanan, (5) memperoleh penampakkan yang lebih menarik dari bahan aslinya, (6) untuk identitas produk, dan (7) sebagai indikator visual dari kualitas (Tjahjadi, 1987). Pewarna yang ditambahkan ke dalam minuman sebaiknya memiliki stabilitas yang baik terhadap pengaruh komponen seperti gula, asam, flavor, dan sebagainya. Pigmen alami mempunyai kestabilan yang berbeda terhadap berbagai kondisi pengolahan (Winarno, 1995). Warna merupakan karakteristik cahaya yang dapat diukur intensitas dan panjang gelombangnya. Warna yang Zat warna makanan adalah zat warna alami atau buatan yang boleh ditambahkan ke dalam makanan dan minuman untuk memperoleh warna makanan dan minuman yang diinginkan. Zat warna makanan secara umum dibagi dalam tiga golongan, yaitu zat warna alami, zat warna identik alami, dan zat warna sintesis (Bauernfeind, 1981). Pewarna alami adalah zat warna (pigmen) yang diperoleh dari bahan nabati, hewani, atau mineral. Zat warna yang dihasilkan dari tumbuhan dan hewan dipengaruhi oleh sifat-sifat tanah, iklim, umur, waktu panen, dan hal-hal lain, sehingga dapat mempengaruhi keseragaman zat warna yang dihasilkan (Sutrisno, 1987). Menurut Bauernfeind (1981) zat warna alami dan identik alami adalah zat warna (pigmen) yang secara alami sudah ada dalam makanan dan atau diperoleh dengan cara ekstraksi dari sumber-sumber alami atau diproduksi kembali dengan cara sintesis kimia. Zat warna identik alami masih satu golongan dengan zat warna alami, hanya zat warna ini dihasilkan dengan cara sintesis kimia, bukan dengan cara ekstraksi/isolasi. Pewarna pada bahan pangan umumnya dilakukan dengan maksud : (1) memperbaiki penampakkan makanan yang memudar akibat pengolahan, (2) memperoleh warna yang seragam pada komoditi yang warna alamiahnya tidak seragam, (3) memperoleh warna yang lebih tua dari aslinya, (4) melindungi zat flavor dan vitamin yang peka terhadap cahaya selama penyimpanan, (5) memperoleh penampakkan yang lebih menarik dari bahan aslinya, (6) untuk identitas produk, dan (7) sebagai indikator visual dari kualitas (Tjahjadi, 1987). Pewarna yang ditambahkan ke dalam minuman sebaiknya memiliki stabilitas yang baik terhadap pengaruh komponen seperti gula, asam, flavor, dan sebagainya. Pigmen alami mempunyai kestabilan yang berbeda terhadap berbagai kondisi pengolahan (Winarno, 1995). Warna merupakan karakteristik cahaya yang dapat diukur intensitas dan panjang gelombangnya. Warna yang

Pada awal tahun 1900an pewarna merah dari kayu secang yang disebut brazilin sudah digunakan untuk mewarnai inti sel pada persiapan jaringan dan juga sebagai indikator pada titrasi asam basa. Brazilin akan membentuk warna kekuningan pada larutan asam dan berwarna merah tua pada larutan basa (Kellar, 1999). Brazilin akan cepat membentuk warna merah jika terkena sinar matahari, dan terjadi perubahan secara lambat oleh pengaruh cahaya, oleh karena itu brazilin harus disimpan pada tempat yang gelap. Brazilin yang terdapat dalam kayu secang dapat digunakan sebagai sumber zat warna alami yang memberi warna merah dan bersifat mudah larut dalam air panas (Sanusi, 1993).

F. ASAM SITRAT

Asam sitrat (C 6 H 8 O 7 ) adalah asam organik lemah yang banyak ditemukan pada buah citrus, hal ini ditunjukkan oleh konstanta disosiasi

4 pertamanya, yaitu 8.2 x 10 5 ⎯ pada suhu 18°C, 1.77 x 10 ⎯ merupakan konstanta disosiasi kedua, dan yang ketiga 3.9 x 10 7 ⎯ . Asam sitrat merupakan

asam hidroksi trikarboksilat (2-hidroksi-1,2,3-propana trikarboksilat) yang merupakan asam organik pertama kali diisolasi dan dikristalkan oleh Scheel pada tahun 1784 dari sari buah jeruk. Asam sitrat kemudian dibuat secara komersial pada tahun 1860 di Inggris (Wertheim dan Jeskey, 1956). Asam sitrat merupakan jenis pencita asam yang paling banyak digunakan pada berbagai jenis pangan seperti industri minuman ringan, confectionary, keju, produk roti, sayuran dalam kaleng, dan saos. Hal ini dikarenakan asam sitrat memiliki rasa fruity yang ringan, mudah larut dalam air, murah, dan mudah diperoleh (Stratford, 1999). Selain itu asam sitrat merupakan pemberi derajat keasaman yang cukup baik karena kelarutannya dalam air yang cukup tinggi, memberikan rasa asam yang enak, dan tidak bersifat racun. Disamping itu, asam hidroksi trikarboksilat (2-hidroksi-1,2,3-propana trikarboksilat) yang merupakan asam organik pertama kali diisolasi dan dikristalkan oleh Scheel pada tahun 1784 dari sari buah jeruk. Asam sitrat kemudian dibuat secara komersial pada tahun 1860 di Inggris (Wertheim dan Jeskey, 1956). Asam sitrat merupakan jenis pencita asam yang paling banyak digunakan pada berbagai jenis pangan seperti industri minuman ringan, confectionary, keju, produk roti, sayuran dalam kaleng, dan saos. Hal ini dikarenakan asam sitrat memiliki rasa fruity yang ringan, mudah larut dalam air, murah, dan mudah diperoleh (Stratford, 1999). Selain itu asam sitrat merupakan pemberi derajat keasaman yang cukup baik karena kelarutannya dalam air yang cukup tinggi, memberikan rasa asam yang enak, dan tidak bersifat racun. Disamping itu,

Keasaman dalam minuman ringan/sari buah selain akan meningkatkan citarasa juga bertindak sebagai pengawet karena penambahan asam akan menurunkan pH sehingga pertumbuhan mikroba pembusuk dapat terhambat. Menurut Adi et al. (1979), asam sitrat adalah asam yang dikenal sebagai rasa asam alamiah yang terdapat dalam buah-buahan bersama-sama dengan vitamin C. Dahulu asam sitrat ini diisolasi dari buah-buahan seperti jeruk, nenas, dan pir. Sekarang pembuatannya selain dengan cara ekstraksi juga dapat dengan cara sintesa kimia atau proses fermentasi dengan menggunakan mikroba tertentu.

Menurut Furia (1981), asam sitrat serta garam natrium dan kalsium sitrat diklasifikasikan oleh FDA (Food and Drug Administration) sebagai GRAS (Generally Recognised As Safe). Asam sitrat dan garam-garamnya ini diizinkan penggunannya di dalam bermacam-macam minuman sari buah dan minuman non alkohol yang dikarbonasi (non alcoholic carbonated beverages ). Konsentrasi asam sitrat yang biasa digunakan dalam minuman ringan adalah 1,28 gram/liter (Brygmesteren, 1963 dalam Woodroof dan Phillips, 1981).

III. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini diawali dengan persiapan bahan yang dilakukan sebelum tahap pembuatan formulasi. Persiapan bahan tersebut meliputi pembuatan sari buah belimbing manis. Setelah tahap persiapan selesai, formulasi dibuat untuk kemudian diujikan dan dilihat pengaruh penambahan asam sitrat dan ekstrak kayu secang terhadap stabilitas warna sari buah belimbing manis selama penyimpanan.

A. BAHAN DAN ALAT

1. BAHAN

Bahan-bahan yang digunakan meliputi bahan untuk membuat produk dan bahan untuk analisis. Bahan yang digunakan untuk membuat produk terdiri dari buah belimbing manis dan kayu secang yang diperoleh dari pasar minggu, gula pasir putih, asam sitrat, dan air PAM. Bahan- bahan yang digunakan untuk analisis antara lain buffer pH 4, alkohol 90%, dan aquades.

2. ALAT

Alat-alat yang digunakan terdiri dari alat untuk membuat produk dan alat untuk analisis. Alat yang digunakan untuk membuat produk terdiri atas juice extractor, saringan, pisau, panci, kompor, timbangan analitik, wadah gelas, wadah plastik, sealer plastik, kain saring 80 mesh, baskom.

Alat-alat yang digunakan untuk analisis antara lain gelas piala, pH meter, refraktometer, termometer, neraca analitik, inkubator, refrigerator, dan lain sebagainya.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan melihat pengaruh penambahan asam sitrat dan ekstrak kayu secang terhadap stabilitas warna sari buah belimbing manis selama penyimpanan. Pembuatan sari buah belimbing manis pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4.

Buah Belimbing Manis

Pencucian buah utuh dan blansir

dengan perendaman pada air panas

suhu 80 o

C selama 3 menit

Pemotongan dan penghalusan partikel

dengan juice extractor

Kayu secang Penyaringan dengan kain saring

Diserut

Sari buah belimbing manis

Diekstrak dengan air Gula 10%

Penambahan air PAM matang mendidih selama 20 menit (air : puree belimbing = 2 : 1)

kayu secang:air = 1:25 (b/v)

Penyaringan dengan kain saring Disaring

Dibagi menjadi 6 bagian Asam sitrat (2 konsentrasi kayu secang

Ekstrak kayu secang dan 3 konsentrasi asam sitrat)

Pemanasan awal 5 menit sampai suhu 75ºC

Pengisian hot filling ke dalam cup

Penutupan cup dengan sealer

Pasteurisasi pada air dengan suhu 80ºC,

selama 20 menit

Pendinginan dengan air mengalir selama 10 menit atau hingga suhu produk mencapai suhu kamar

Sari buah belimbing manis dalam cup

Gambar 4. Diagram alir pembuatan sari buah belimbing manis

Penambahan ekstrak kayu secang dan asam sitrat dalam sari buah belimbing manis dilakukan pada tahap sebelum pemanasan awal sari buah dan sebelum dilakukan pengisian secara hot filling ke dalam cup. Dalam proses ekstraksi secang digunakan air sebagai pengekstrak. Cara pembuatan ekstrak kayu secang dapat dilihat pada Gambar 4. Pengukuran nilai absorbansi dilakukan pada panjang gelombang warna kuning berkisar 489 nm berdasarkan hasil panjang gelombang maksimum nilai warna kuning.

Pengaruh Penambahan Asam Sitrat dan Ekstrak Kayu Secang Terhadap Stabilitas Warna Sari Buah Belimbing Manis Selama Penyimpanan

Dalam pembuatan minuman, formula dasar sari buah belimbing manis ditambahkan ekstrak kayu secang dan asam sitrat yang akan dilihat stabilitasnya selama penyimpanan. Penyimpanan sari buah belimbing manis dilakukan pada tiga tingkatan suhu, yaitu suhu 5°C, 30°C, dan suhu 55 °C pada cup plastik selama 27 hari penyimpanan dengan selang waktu pengamatan 3-4 hari. Pengamatan meliputi : pengukuran atribut warna menggunakan spektrofotometer dan lovibond tintometer, pengukuran pH, dan TPT (Total Padat Terlarut). Faktor lain yang dilakukan untuk menjaga mutu sari buah belimbing manis selama penyimpanan adalah meminimumkan kondisi kontak cahaya dan kontak oksigen. Bagan penambahan asam sitrat pada sari buah belimbing dapat dilihat pada Gambar 5.

ekstrak kayu secang Sari buah belimbing, (9% dan 10%) dan 10 % sukrosa

Ditambahkan Ditambahkan Ditambahkan asam sitrat

asam sitrat 0.1%

asam sitrat

Pemanasan awal 75°C, 5 menit

Dilakukan hot filling ke dalam cup

Dilakukan sealing dengan sealer

Dilakukan pasteurisasi pada suhu 80ºC, 20 menit

Dilakukan pendinginan dengan air

mengalir selama ±10 menit

Sari buah belimbing manis

Penyimpanan minuman sari buah belimbing manis selama 27 hari pada tiga taraf suhu penyimpanan

Pengamatan meliputi : Intensitas warna Nilai pH dan Nilai TPT

Gambar 5. Diagram alir penambahan asam sitrat pada sari buah belimbing

C. METODE ANALISIS

1. Warna

a. Intensitas warna (Nur, 1989)

Pengukuran absorbansi sampel diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang berkisar 489 nm berdasarkan hasil panjang gelombang maksimum. Nilai absorbansi menunjukkan besarnya intensitas warna kuning.

Persen retensi warna = Absorbansi x 100%

Absorbansi awal

b. Warna (Metode Lovibond Tintometer)

Skala warna Lovibond didesain untuk pengukuran warna secara manual. Metode ini menggunakan 84 filter gelas berwarna dengan kepekatan warna yang berbeda-beda pada warna merah, kuning, biru yang masing-masing memiliki tingkatan keburaman. Skala warna ini juga dilengkapi dengan filter netral yang dikombinasikan dengan filter warna untuk menghasilkan warna yang sesuai dengan sampel yang diukur. Dengan melakukan pencocokan warna sampel dengan kombinasi filter gelas, dapat diketahui secara pasti warna dari suatu sampel.

Tintometer Model F memiliki sebuah lemari yang berisi 2 buah lampu. Cahaya yang dihasilkan akan melalui gelas pembias menuju ruang pengamatan. Sistem optik pada alat ini memungkinkan warna sampel dapat ditentukan dengan menggeser filter warna standar hingga warna yang cocok diperoleh.

c. Pengukuran dengan Chromameter

Pengukuran atribut warna dilakukan dengan menggunakan chromameter CR-310. Pengukuran meliputi atribut warna CIELAB (L,

a, b, C, °H, ΔE). L menunjukkan kecerahan dengan nilai 0 (gelap/hitam) hingga 100 (terang/putih), sedangkan a dan b adalah koordinat-koordinat chroma, dimana a untuk warna hijau (a negatif) sampai merah (a positif) dab b untuk warna biru (b negatif) sampai kuning (b positif). Total perubahan warna ( ΔE) selama penyimpanan diperoleh dengan menggunakan rumus :

ΔE = [(ΔL)² + (Δa)² + (Δb)²]½

(Hutchings, 1999)

Sebelum pengukuran dilakukan kalibrasi terlebih dahulu terhadap alat dengan menggunakan plat berwarna putih atau calibration plate. Setelah proses kalibrasi, dilanjutkan dengan pengukuran atribut warna pada sampel. Sampel sari buah belimbing manis disiapkan sebanyak ±20 ml ke dalam cawan petri dengan ukuran diameter yang sama, kemudian diukur atribut warna dengan chromameter.

2. Nilai pH (AOAC, 1995)

Pengukuran derajat keasaman menggunakan alat pH meter. Sebelum digunakan, alat distandardisasi dahulu dengan menggunakan larutan buffer pH 4,0 dan pH 7,0. Formula minuman (sampel) diambil ± 100 ml dalam gelas piala. Elektroda pH meter dicelupkan ke dalam sampel setelah dicapai nilai yang konstan.

3. Total padatan terlarut (Metode Refraktometer)

Pengukuran total padatan terlarut sampel dilakukan dengan menggunakan hand refraktometer (Brix 0-32%). Sebanyak dua tetes sampel diteteskan di atas prisma refraktometer yang sudah distabilkan lalu dilakukan pembacaan. Sebelum dan sesudah digunakan, prisma refraktometer dibersihkan dengan alkohol. Total padatan terlarut dinyatakan dalam °Brix sukrosa (Muchtadi dan Sugiyono, 1990).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pembuatan sari buah belimbing manis

Buah yang digunakan dalam pembuatan sari buah adalah buah belimbing manis dengan tingkat kematangan yang cukup dengan warna kuning cerah, tidak terlalu muda (hijau) dan tidak terlalu tua (kuning tua dan oranye). Kandungan total padatan terlarut (TPT) dan total asam dalam buah akan semakin meningkat seiring dengan semakin meningkatnya derajat kematangan buah, sedangkan kandungan total gulanya akan menurun (Sinclair, 1984 seperti dikutip oleh: Nagy dan Shaw, 1990). Gambar buah belimbing manis yang digunakan pada penelitian dapat dilihat pada gambar 6.

Gambar 6. Buah belimbing manis

Pada pembuatan sari buah belimbing manis diawali dengan proses pencucian. Buah belimbing yang sudah dicuci kemudian dipotong kecil dan dimasukkan ke dalam juice extractor tanpa menggunakan air. Air tidak digunakan karena kandungan air belimbing manis sudah cukup tinggi. Pengupasan juga tidak dilakukan karena kulit buah belimbing manis sangat tipis. Selanjutnya buah belimbing dihancurkan dengan juice extractor untuk diambil sarinya. Pada pembuatan sari buah belimbing manis dilakukan penyaringan sebanyak dua kali yang bertujuan memisahkan sari buah dengan ampas yang terbawa pada saat penghancuran. Setelah dilakukan penyaringan sari buah belimbing manis tersebut ditambah air dengan perbandingan sari buah:air yaitu 1:2. Sari buah yang telah melalui proses penyaringan dan ditambah air juga ditambahkan gula sukrosa sebanyak 10%, lalu dilakukan penyaringan kembali untuk memisahkan kotoran yang terdapat pada gula dan dipanaskan di atas kompor pada suhu 75°C selama ±5 menit. Proses ini

bertujuan untuk membunuh mikroba yang ada dalam sari buah belimbing manis. Setelah itu dilakukan pengisian sari buah belimbing manis secara hot filling ke dalam cup. Hot filling merupakan metode pengisian sari buah dengan kondisi suhu 75°C ke dalam kemasan dengan tujuan untuk tetap menjaga inaktivasi mikroorganisme yang terdapat pada sari buah belimbing manis. Hot filling penting dilakukan untuk memberikan kondisi vakum pada kemasan setelah penutupan, sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya kebocoran karena tekanan dalam kemasan yang terlalu tinggi (saat pemanasan) sebagai akibat pengembangan produk dan mengurangi kemungkinan terjadinya reaksi oksidasi yang akan menurunkan mutu produk. Cara lain bila tidak dilakukan hot filling tetapi dengan tujuan yang sama adalah dengan memanaskan kemasan beserta isinya sampai pada suhu 80- 95°C sebelum ditutup, atau secara mekanik dilakukan penyedotan udara dengan sistem vakum (Hariyadi, 2000). Setelah itu, dilakukan penutupan cup dengan sealer, kemudian sari buah belimbing manis dipasteurisasi pada suhu 80°C selama 20 menit, dan yang terakhir dilakukan pendinginan dengan air mengalir selama 10 menit atau hingga suhu sari buah belimbing manis mencapai suhu kamar untuk mempertahankan daya awet sari buah belimbing manis.

Untuk memperpanjang umur simpan sari buah belimbing manis diberi perlakuan proses thermal. Proses thermal dilakukan pada bahan pangan untuk memusnahkan mikroba pembusuk dan patogen sehingga adanya proses ini mampu memperpanjang umur simpan suatu bahan pangan. Jenis proses thermal yang dipilih dalam penelitian ini adalah pasteurisasi. Proses pasteurisasi dipilih sebagai metode pengawetan minuman mengingat proses pemanasan ini dilakukan pada suhu 60-80°C sehingga senyawa aktif yang terkandung dalam minuman tidak banyak hilang akibat pemanasan. Akan tetapi proses pasteurisasi hanya efektif membunuh mikroba patogen atau pembusuk, maka produk pangan yang sudah dipasteurisasi umumnya masih mengandung mikroba lain seperti bakteri tidak berspora dari genera Streptoccocus dan Lactobacillus, serta kapang dan khamir. Spora bakteri termofilik yang dikhawatirkan dapat tumbuh pada proses pemanasan di bawah

100°C ternyata memiliki resistensi panas yang rendah bila spora tersebut berada dalam suasana pH yang rendah. Sedangkan menurut Buckle et al. (1987) perlakuan panas untuk bahan pangan berasam rendah dirancang untuk menginaktifkan sejumlah besar spora organisme C. Botulinum. Pasteurisasi mengakibatkan kerusakan zat gizi dan perubahan karakteristik sensori yang kecil, selain itu tidak menginaktivasi bakteri spora (Hui, 1992). Proses pateurisasi hanya efektif untuk produk pangan berasam tinggi dengan nilai pH <4.5. Oleh karena itu, diperlukan adanya penambahan asidulan atau bahan pengasam ke dalam minuman yang dapat menurunkan nilai pH. Jenis asidulan yang digunakan dalam pembuatan sari buah belimbing manis ini adalah asam sitrat.

Tinggi rendahnya pH mempengaruhi hasil pasteurisasi suatu produk. Dengan pH yang rendah akan menghasilkan daya awet yang lebih lama dibandingkan dengan pH tinggi. Kondisi pH sari buah belimbing manis yang cukup rendah dalam penelitian ini dapat berfungsi untuk mempertahankan kestabilan warna. Selain itu, kondisi pH yang cukup rendah juga berfungsi mengurangi kandungan mikroorganisme, karena kebanyakan mikroorganisme tumbuh pada pH sekitar 7.0 (6.6-7.5), dan hanya beberapa yang dapat tumbuh di bawah pH 4.0. Menurut Hariyadi (2000), pada pH <4.5 pasteurisasi mengakibatkan inaktivasi enzim (pektinesterase dan poli galakturonase) dan membunuh mikroorganisme pembusuk (kapang dan khamir).

Kendala yang ditemui dalam pembuatan sari buah belimbing manis ini adalah tidak seragamnya kematangan buah belimbing manis yang akan digunakan dan mengakibatkan berbedanya kualitas sari buah belimbing manis yang dihasilkan pada setiap produksi, dan warna sari buah belimbing manis yang dihasilkan berwarna kuning agak pucat, maka dari itu ditambahkan ekstrak kayu secang dan asam sitrat untuk memberikan warna yang lebih seragam dan mempertahankan kestabilan warna sari buah belimbing tersebut.