FILSAFAT HUKUM DALAM PEMBENTUKAN PERUNDA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana tertuang didalam Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia pada pasal 1 ayat 3. Dengan dinyatakannya dalam Undang-undang
Dasar Indonesia 1945 bahwa negara Indonesia negara hukum, maka dengan ini dapat kita pahami
bahwa segala tingkah laku manusia baik melakukan perbuatan hukum atau tidak melakukan
perbuatan harus menuruti peraturan yang berlaku. Secara umum terlepas dari ideologi yang
dianutnya, setiap negara menyelenggarakan beberapa fungsi minimum yang mutlak harus ada.
Fungsi tersebut adalah sebagai berikut :
 Melaksanakan penertiban (law and order) untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah
bentrokan-bentrokan dalam masyarakat, maka negara harus melaksanakan penertiban. Dalam
fungsi ini negara dapat dikatakan sebagai stabilisator.
 Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.
 Memperkuat Pertahanan dan kemananan di wilayah negara Indonesia.
Fungsi ini sangadiperlukan untuk menjamin tegaknya kedaulatan negara dan mengantisipasi
kemungkinan adanya serangan yang dapat mengancam kelangsungan hidup bangsa (negara).
Untuk itu negara dilengkapi dengan alat pertahanan.
 Menegakkan keadilan.
Fungsi ini dilaksanakan melalui lembaga peradilan. Untuk dapat melaksanakan fungsi

penertiban oleh negara tersebut dibutuhkan suatu produk hukum yang harus dapat diterima oleh
masyarakatnya, karena hukum tersebut merupakan suatu sarana bagi negara (pemerintah) untuk
dapat menciptakan ketertiban serta memberikan rasa keadilan pada masyarakat.
Negara memiliki kekuasaan untuk dapat membentuk suatu undang-undang, melaksanakannya
dan mengawasi pelaksanaannya. Hubungan hukum dengan kekuasaan dapat dirumuskan secara
singkat dalam slogan “hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum
adalah kelaliman” dalam penerapannya, hukum memerlukan suatu kekuasaan untuk
mendukungnya. Ciri utama inilah yang membedakan antara hukum disuatu pihak dengan normanorma sosial lainnya dan norma agama. Kekuasaan itu diperlukan oleh karena hukum bersifat
memaksa. Tanpa adanya kekuasaan, pelaksanaan hukum di masyarakat akan mengalami
hambatan. Semakin tertib dan teratur suatu masyarakat, maka berkurang diperlukannya dukungan
kekuasaan. Untuk dapat menciptakan suatu hukum yang baik dan dapat diterima oleh masyarakat,
dibutuhkan pengertian yang baik dan menyeluruh tentang hukum.Namun dalam prakteknya

proses pembuatan peraturan perundang – undangan membutuhkan suatu analisis yang sangat teliti
dan hati - hati dengan mempertimbangan landasan filosofis, sosiologis dan yuridis, sehingga
dapat berlaku di masyarakat secara efektif. Salah satu kasus yang sedang diperbincangkan antara
kalangan pejabat pemerintahan saat ini terkait dengan dikeluarkannya undang – undang adalah
penerbitan Undang – Undang No 22 tahun 2014

tentang Pemilihan Gurbenur, Bupati dan


Walikota, sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum. Dalam Undang – Undang No 22 tahun 2014 diatur pemilihan secara tidak
langsung terhadap gurbenur, bupati dan walikota, dan hal ini berarti masyarakat tidak dapat
memberikan suara dan pendapatnya mengenai para pejabat yang cocok sesuai dengan jabatan di
pemerintah tersebut. Keadaaan ini tentunya tidak sesuai dengan prinsip negara Indonesia sebagai
negara hukum yang menjunjung tinggi prinsip kedaulatan rakyat. Keadaan tersebut menimbulkan
banya pro kontra dimasyarakat sehingga menciptakan adanya kebingungan publik. Untuk
menyelesaikan situasi pro kontra yang terjadi dimasyarakat, maka presidenn Susilo Bambang
Yudhiyono segera cepat bertindak, dan terbukti dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang – Undang No 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gurbenur, Bupati, Walikota
untuk membatalkan beberapa pasal dalam Undang – Undang No 22 tahun 2014

tentang

Pemilihan Gurbenur,Bupati dan Walikota yang tidak sesuai dengan prinsip demokrasi kedaulatan
rakyat yang dianur oleh negara Indonesia.
Dalam pembentukan peraturan perundang – undangan guna menciptakan suatu hukum yang
baik dan dapat diterima oleh masyarakat, dibutuhkan pengertian yang baik dan menyeluruh
tentang hukum. Disinilah filsafat hukum berperan penting dalam pembentukan hukum. Filsafat

dan teori hukum lazimnya mengajukan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan abstrak mengenai
hukum. Filsafat hukum kaitannya dengan pembentukan hukum di Indonesia, setidaknya kita sadar
bahwa hukum dibentuk karena pertimbangan keadilan (gerechtigkeit) disamping sebagai
kepastian hukum (rechtssicherheit) dan kemanfaatan (zweckmassigkeit). Secara sederhana, dapat
dikatakan bahwa filsafat hukum merupakan cabang filsafat, yakni filsafat tingkah laku atau etika,
yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain filsafat hukum adalah ilmu yang
mempelajari hukum secara filosofis, jadi objek filsafat hukum adalah hukum, dan objek tersebut
dikaji secara mendalam sampai pada inti atau dasarnya, yang disebut dengan hakikat. Oleh karena
itu menjadi penting untuk dapat mengetahui tentang penerapan aliran filsafat hukum dalam
rangka pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis berkeinginan untuk melakukan pembahasan
tentang hubungan antara Filsafat hukum dengan penerapan demokrasi di Indonesia.
1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana penerapan aliran filsafat hukum dikaitkan dengan pembentukan undang-undang
di Indonesia?
2. Apa saja teori demokrasi yang berhubungan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut
oleh negara Indonesia?
3. Apa saja dampak negatif dari penerapan pemilihan umum secara tidak langsung?
1.3. Tujuan Rumusan Masalah.

1. Mengetahui penerapan aliran filsafat hukum dikaitkan dengan pembentukan undang-undang
di Indonesia.
2. Mengetahui Apa saja teori demokrasi yang berhubungan dengan prinsip kedaulatan rakyat
yang dianut oleh negara Indonesia
3. Mengetahui dampak negatif dari penerapan pemilihan umum secara tidak langsung.

BAB II
PEMBAHASAN
Pemahaman tentang filsafat hukum memegang peranan penting dalam rangka memahami
tentang hukum tersebut. Pemahaman terhadap filsafat hukum dapat memberikan kontribusi dalam
rangka pembuatan produk hukum. Hal tersebut dikarenakan bahwa inti dari filsafat hukum adalah
keadilan, dengan pengetahuan tentang filsafat hukum tersebut diharapkan produk hukum yang
akan dibuat memuat rasa keadilan bagi masyarakat. Seperti halnya dikemukakan oleh Lili Rasjidi
bahwa filsafat hukum mempermasalahkan hakikat hukum, alasan terdalam dari eksistensinya

(tujuan, subyek, pembuat), sifat-sifatnya. Beberapa aliran filsafat hukum dan penerapannya
terhadap pembentukan peraturan perundang - undangan di Indonesia dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1. Aliran Positivisme Hukum
Didalam aliran ini dikenal adanya dua sub aliran yang terkenal, yaitu : 1) aliran hukum positif

yang analitis, pendasarnya adalah John Austin, dan 2) aliran hukum positif murni, dipelopori oleh
Hans Kelsen. Aliran Positifisme yang berlaku di Indonesia adalah Aliran hukum positif yang
analitis mengartikan hukum sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembuat undangundang atau penguasa, yaitu suatu perintah dari mereka yang memegang kedaulatan. Terdapat
empat unsur penting menurut Austin untuk dinamakan sebagai hukum, yaitu : perintah, sanksi,
kewajiban dan kedaulatan. Ketentuan-ketentuan yang tidak mengandung keempat unsur tersebut
bukanlah merupakan hukum positif. Ajaran Austin pada umumnya kurang atau tidak memberikan
tempat bagi hukum yang hidup didalam masyarakat. Aliran hukum positif murni dari Hans Kelsen
yaitu Stufenbau des Recht. Teori Stufenbau adalah teori mengenai sistem hukum yang
menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang
dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih
tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegangan pada norma
hukum yang paling mendasar (grundnorm). Menurut Kelsen norma hukum yang paling dasar
(grundnorm) bentuknya tidak kongkrit (abstrak). Aliran positivisme hukum memandang bahwa
hukum dan keadilan hanya diperoleh dari konsistensi mempertahankan ajaran Stufenbau tersebut.
Pemikiran Hans Kelsen dikatakan murni adalah dikarenakan hukum harus dibersihkan dari
pengaruh-pengaruh non yuridis semisal etis, sosiologis, politis dan sejarah. Di Indonesia
kekuasaan untuk membuat undang-undang berada pada badan legislatif yaitu Dewan Perwakilan
Rakyat. Indonesia adalah negara penganut sistem pemerintahan presidensil mempunyai lembaga
legislatif berupa Dewan Perwakilan Rakyat yang terdiri atas orang-orang yang dipilih atas suara
yang diperoleh oleh partai politik yang mereka wakili, ditambah dengan utusan daerah setiap

provinsi yang bukan anggota partai seperti yang ditetapkan oleh undang-undang dasar. Lembaga
inilah yang kemudian menetapkan undang-undang yang digunakan sebagai pedoman dalam
kehidupan bermasyarakat di Indonesia.
Berdasarkan pemikiran positivis, pembuatan undang-undang di Indonesia memang telah
menggunakan sumber hukum yang paling mendasar (grundnorm) dalam membentuk peraturan
perundang-undangan. Norma dasar tersebut adalah Pancasila. Dengan sengaja Pancasila ditempatkan
dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan kefilsafatan yang mendasari dan
menjiwai penyusunan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam undang-undang. Sejalan dengan ha1
tersebut, ketentuan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan Pasal 2 menyatakan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber

hukum negara sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan
dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
.
2. Aliran Sejarah
Tokoh mazhab ini ialah Von Savigny dan Sir Henry Maine. Menurut Savigny hukum merupakan
salah satu faktor dalam kehidupan bersama suatu bangsa, seperti bahasa, adat, moral, dan tata negara.
Savigny menegaskan inti ajarannya bahwa das recht wird nicht gemacht, est ist und wird dem Volke –
yang berarti hukum itu tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Pengertian
hukum disini tidak harus sama dengan undang-undang, dan kepastian hukum serta rasa keadilan hanya

dapat diperoleh jika hukum sesuai dengan kesadaran hukum masyarakatnya.
Penerapan Mazhab sangat erat kaitannya pembuatan peraturan yang mempertimbangkan unsur adat
istiadat dan ajaran agama yang dianut oleh suku-suku di Indonesia yang sangat dijunjung tinggi oleh
masyarakatnya.
3. Sociological Yurisprudence
Tokoh dari aliran ini adalah Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound. Menurut Ehrlich pusat gaya tarik
perkembangan hukum tidak terletak pada perundang-undangan, tidak pada ilmu hukum, tetapi di
dalam masyarakat sendiri. Hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup
dalam masyarakat. Ajaran pokok dari Eugen Ehrlich tersebut bertolak dari anggapan bahwa terdapat
perbedaan antara hukum positif disuatu pihak dengan hukum yang hidup dimasyarakat (living law)
dilain pihak. Sedangkan menurut Roscoe Pound, hukum harus dipandang sebagai suatu lembaga
kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial, dan adalah tugas ilmu
hukum untuk mengembangkan suatu kerangka dengan mana kebutuhan-kebutuhan sosial dapat
terpenuhi secara maksimal. Pound juga menganjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses
(law in action), yang dibedakan dengan hukum yang tertulis (law in the books). Pembedaan ini dapat
diterapkan pada seluruh bidang hukum, baik hukum substantif, maupun hukum ajektif. Ajaran tersebut
menonjolkan masalah apakah hukum yang ditetapkan sesuai dengan pola-pola perikelakuan. Aliran ini
menyatakan bahwa hukum harus mendekati tujuan sosialnya. Hukum positif yang baik adalah hukum
yang sesuai dengan hukum yang hidup sebagai inne order dari masyarakat yang mencerminkan nilainilai yang hidup didalamnya.
Pelaksanaan mazhab ini dalam pembuatan aturan perundang-.undangan terlihat dalam ketentuan

Pasal 6 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 dijelaskan bahwa materi muatan peraturan perundangundangan mengandung beberapa asas, diantaranya adalah asas kebangsaan, asas kenusantaraan dan
asas bhineka tunggal ika. Ketika sebuah peraturan perundangan telah dibentuk berdasarkan nilai-nilai
yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, maka dalam hal pelaksanaannya tidak akan mengalami
kesulitan. Hukum positif yang baik dan menjadi efektif karenanya adalah hukum yang sesuai dengan
hukum yang hidup sebagai inner order dari masyarakat.
4. Pragmatic Legal Realism

Pragmatic Legal Realism dipelopori John Chipman Gray, Oliver Wendell Holmes, Karl Llewellyn,
Jerome Frank, William James, Roscoe Pound dan lain-lain. Sebagaimana yang disampaikan oleh
Roscoe Pound, terdapat dua hal penting dari fungsi hukum yang dapat diterapkan didalam masyarakat
yang sedang membangun, yaitu hukum berfungsi sebagai :
Alat untuk pembaharuan masyarakat (social engineering)
Alat untuk menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat (social control).
Roscoe Pound mengemukakan konsep “a tool of social engineering” yang memberikan dasar bagi
kemungkinan digunakannya hukum secara sadar untuk mengadakan perubahan masyarakat.
Konsepsi “law as a toll of social engineering” yang merupakan inti pemikiran dari aliran Pragmatic
Legal Realism itu, oleh Mochtar Kusumaatmadja kemudian dikembangkan di Indonesia melalui
Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Menurut pendapat Mochtar Kusumaatmadja, konsepsi hukum
adalah sebagai “sarana” pembaharuan masyarakat Indonesia lebih Was jangkauan dan ruang lingkupnya
dari pada di Amerika Serikat tempat kelahirannya.

Pengertian “a tool of social engineering” atau “social engineering by law” dikemukakan oleh Soerjono
Soekanto bahwa hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat, dalam arti bahwa hukum mungkin
digunakan sebagai alat oleh agent of change, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapatkan
kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. Caracara untuk mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu
dinamakan “social engineering” atau “planning”.
Produk-produk hukum yang lahir dari pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat pada masa reformasi
ini merupakan jawaban terhadap perkembangan yang ada dimasyarakat, seperti ketika awal periode
reformasi dimana kebebasan pers yang selama masa orde baru dikekang diberikan ruang yang bebas
untuk dapat mengungkap fakta-fakta yang selama ini tabu. Sekarang ini media dapat melakukan kritik
terhadap jalannya pemerintahan dan hal tersebut merupakan bentuk kontrol masyarakat terhadap
pemerintah. Kebebasan pers tersebut telah dituangkan dalam sebuah peraturan perundangan. Hal tersebut
menunjukan bahwa pembentukan hukum di Indonesia sudah merespon perkembangan yang terjadi di
dalam masyarakat. Namun demikian hukum masih tertinggal oleh perkembangan kehidupan masyarakat.
Hukum hanya mengakomodir segala perubahan yang terjadi. Hukum dibentuk ketika suatu peristiwa telah
terjadi, sehingga hukum belum dapat dijadikan sarana untuk pembaharuan masyarakat.
5. Model Hukum Pembangunan
Aliran hukum pembangunan merupakan buah pemikiran Mochtar Kusumaatmadja, yang inti dari
ajaran-ajaran ini antara lain: (1) Menegaskan keterkaitan antara hukum dengan politik sebagaimana
tercermin dalam ungkapan Mochtar Kusumaatmadja yang terkenal “Hukum tanpa kekuasaan adalah


angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”; (2) Hukum sebagai alat untuk merekayasa
masyarakat. Pandangan ini diadopsi dari ungkapan pelopor Sociological Jurisprudence di Amerika,
Rescoe Pound: law is tools of social engineering. Bedanya, Sociological Jurisprudence memiliki karakter
yudisial yang mendayagunakan keputusan hakim sebagai hukum untuk mengafirmasi ras kulit hitam yang
posisinya marjinal di Amerika. Sedangkan dalam pemikiran Mochtar yang menonjol adalah karakter
legislasi dan administrasi yang dilakukan melalui instrumen peraturan perundang-undangan dan
keputusan-keputusan lembaga negara. Sisi rekayasa dan transformasi sosial dimotori oleh aparatur negara
dan menempatkan hanya negara sebagai satu-satunya sumber hukum; (3) Pembinaan Hukum. Hukum
perlu dibina. Pembinaan secara terminologi mengandaikan bahwa masyarakat selaku pihak yang perlu
dibina memiliki keterbatasan akan hukum. Pembinaan dilakukan supaya masyarakat sadar akan adanya
hukum, terutama hukum negara. Salah satu tujuan pembinaan hukum adalah untuk mewujudkan
kesadaran hukum masyarakat. Pembinaan hukum oleh negara terhadap masyarakat mencerminkan
hubungan patron-clien yang memposisikan negara selalu benar.
Model hukum pembangunan menyatakan bahwa hukum berhubungan erat dengan kekuasaan. Bahwa
hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman. Kekuasaan
merupakan suatu fungsi dari masyarakat yang teratur. Kekuasaan haruslah tunduk pada hukum. Hukum
juga harus menciptakan ketertiban karena ketertiban merupakan syarat pokok suatu masyarakat yang
teratur. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Model hukum pembangunan juga merumuskan bahwa hukum berperan serta dalam rangka pembangunan
masyarakat. Pembangunan hukum adalah perubahan cara berpikir dan cara hidup. Menurut teori hukum

pembangunan yang disampaikan Prof. Mochtar Kusumaatmadja, bahwa hukum harus dapat difungsikan
dalam pembangunan nasional, sehingga hukum tidak boleh dilatakan dibelakang tetapi pada garis depan
dalam mengawal pembangunan. Namun pada prakteknya hukum baru mampu merespon kebutuhan
masyarakat setelah perubahan dalam masyarakat terjadi. Hukum dalam prakteknya selalu terbentuk
mengikuti kebutuhan masyarakat. Indonesia yang saat ini telah mengalami perubahan demokrasi begitu
cepat belum dapat merespon perubahan-perubahan yang ada di masyarakat. Kebutuhan akan hukum yang
dapat dijadikan sarana untuk melakukan pembaharuan masyarakat belum dapat dipenuhi. Hal ini
berkaitan dengan berbagai kepentingan masyarakat dari berbagai golongan yang sedang mencari pola
demokrasi yang baik bagi Indonesia. Perkembangan masyarakat yang begitu pesat menjadikan kebutuhan
akan hukum menjadi suatu keharusan.Pada kenyataannya, produk hukum masih belum dapat
mencerminkan rasa keadilan terutama pada masyarakat. Hukum yang dibentuk terkadang masih memihak
kepada para pemilik modal. Begitu juga penegakan hukum yang dilakukan masih dipengaruhi oleh
kepentingan para penguasa dan pengusaha. Pada gilirannya kondisi hukum yang demikian dapat
menghambat pembangunan nasional yang sedang dilaksanakan.

6. Critical Legal Studies (Model Hukum Progresifi)
Critical Legal Studies timbul sebagai kritik terhadap keadaan krisis hukum yang gagal berperan
sebagai alat perubahan dan sebagai alat untuk mencapai keadilan yang sebenarnya. Dalam kerangka kritik
terhadap krisis hukum tersebut, Prof. Satjipto memunculkan model hukum progresif. Model hukum
progresif ini merupakan kritik terhadap konsep hukum sebagai a tool of social engineering dari Pound,
dimana. hukum dapat berubah menjadi dark engineering ketika hukum disalahgunakan menjadi alat
pemaksaan kehendak penguasa kepada rakyatnya. Da1am hukum progresif, hukum adalah untuk manusia
bukan manusia untuk hukum. Hukum harus peka terhadap sesuatu yang terjadi di masyarakat. Hukum
harus mempunyai nurani hukum dalam menciptakan keadilan masyarakat. Hukum progresif memandang
hukum sebagai kajian sosial yang berhubungan dengan politik, ekonomi, budaya dan sosiologi. Hukum
bukan sesuatu yang tertutup terhadap dunia luar (open logical system).Menurut pandangan Critical Legal
Studies, doktrin hukum yang selama ini terbentuk, sebenarnya lebih berpihak kepada mereka yang
mempunyai kekuatan, baik itu kekuatan ekonomi, politik atau pun militer: Oleh karena itulah, maka
dalam memahami masalah hukum juga harus selalu dilihat dari konteks power-relations. Menurut Daniel
S. Lev, yang paling menentukan dalam proses hukum adalah konsepsi dan struktur kekuasaan politik.
Yaitu bahwa hukum sedikit banyak selalu merupakan alat politik, dan bahwa tempat hukum dalam
negara, tergantung pada keseimbangan politik, definisi kekuasaan, evolusi idiologi politik, ekonomi,
sosial, dan seterusnya. Ajaran Critical Legal Studies ini sangat cocok dengan negara Indonesia.
Pembentukan hukum yang dilakukan oleh lembaga Dewan Perwakilan Rakyat menjadi bukti bahwa
pengaruh-pengaruh terutama politik masih mempengaruhi proses pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan. Hukum tidak dapat dilepaskan dari pengaruh politik dari para penguasa. Meskipun
Dewan Perwakilan Rakyat merupakan merupakan simbol perwakilan dari rakyat Indonesia, akan tetapi
sebagai perwakilan dari partai-partai politik pemenang pemilu, Dewan Perwakilan Rakyat lebih kepada
lembaga politik yang segala keputusan yang dikeluarkan tidak lepas dari kepentingan politik. Arah
kepentingan tersebut akan berubah sejalan dengan perubahan kekuasaan partai yang menguasai lembaga
tersebut.
Secara etimologis demokrasi terdiri dari dua kata Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat atau
penduduk suatu tempat dan cratein atau cratos yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Demos-cratein
atau demos-cratos (demokrasi) memiliki arti suatu sistem pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Ada
satu pengertian mengenai demokrasi yang di anggap paling populer diantara pengertian yang ada.
Pengertian tersebut dikemukakan pada tahun 1863 oleh Abraham Lincoln yang mengatakan demokrasi
adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (government of the people, by the people,
and for the peolple).

Pemerintahan dari rakyat berarti pemerintahan negara itu mendapat mandat dari rakyat untuk
menyelenggarakan perintahan. Pemerintahan oleh rakyat berarti pemerintahan negara itu dijalankan oleh
rakyat. Pemerintahan untuk rakyat berarti pemerintahan itu menghasilkan dan menjalankan kebijakankebijakan yang di arahkan untuk kepentingan dan kejahteraan rakyat. Ada beberapa teori-teori demokrasi
yang berhubungan dengan dengan prinsip kedaulatan rakyat yaitu :
1.

Teori Demokrasi Klasik

Demokrasi, dalam pengertian klasik, pertama kali muncul pada abad ke-5 SM tepatnya di Yunani.
Pada saat itu pelaksanaan demokrasi dilakukan secara langsung, dalam artian rakyat berkumpul pada
suatu tempat tertentu dalam rangka membahas pelbagai permasalahan kenegaraan.
Bentuk negara demokrasi klasik lahir dari pemikiran aliran yang dikenal berpandangan a tree
partite classification of state yang membedakan bentuk negara atas tiga bentuk ideal yang dikenal sebagai
bentuk negara kalsik-tradisional. Para penganut aliran ini adalah Plato, Aristoteles, Polybius dan Thomas
Aquino.
Plato dalam ajarannya menyatakan bahwa dalam bentuk demokrasi, kekuasaan berada di tangan
rakyat sehingga kepentingan umum (kepentingan rakyat) lebih diutamakan. Secara prinsipil, rakyat diberi
kebebasan dan kemerdekaan. Akan tetapi kemudian rakyat kehilangan kendali, rakyat hanya ingin
memerintah dirinya sendiri dan tidak mau lagi diatur sehingga mengakibatkan keadaan menjadi kacau,
yang disebut Anarki. Aristoteles sendiri mendefiniskan demokrasi sebagai penyimpangan kepentingan
orang-orang sebagai wakil rakyat terhadap kepentingan umum. Menurut Polybius, demokrasi dibentuk
oleh perwalian kekuasaan dari rakyat. Pada prinsipnya konsep demokrasi yang dikemukakan oleh
Polybius mirip dengan konsep ajaran Plato. Sedangkan Thomas Aquino memahami demokrasi sebagai
bentuk pemerintahan oleh seluruh rakyat dimana kepentingannya ditujukan untuk diri sendiri.
Prinsip dasar demokrasi klasik adalah penduduk harus menikmati persamaan politik agar mereka
bebas mengatur atau memimpin dan dipimpin secara bergiliran.
2.

Teori Civic Virtue
Pericles adalah negarawan Athena yang berjasa mengembangkan demokrasi. Prinsip-prinsip
pokok demokrasi yang dikembangkannya adalah:
a.
b.
c.

3.

Kesetaraan warga Negara Indonesia
Kemerdekaan danPenghormatan terhadap hukum dan keadilan
Kebajikan bersama.

Teori Social Contract

Hobbes, Locke dan Rousseau sama-sama berangkat dari, dan membahas tentang kontrak sosial
dalam analisis-analisis politik mereka. Mereka sama-sama mendasarkan analisis-analisis mereka pada
anggapan dasar bahwa manusialah sumber kewenangan. Akan tetapi tentang bagaimana, siapa mengambil
kewenangan itu dari sumbernya, dan pengoperasian kewenangan selanjutnya, mereka berbeda satu dari
yang lain. Perbedaan-perbedaan itu mendasar satu dengan yang lain, baik di dalam konsep maupun di
dalam praksinya.
Dalam membangun teori kontrak sosial, hobbes, Locke dan Rousseau memulai dengan konsep
kodrat manusia, kemudian konsep-konsep kondisi alamiah, hak alamiah dan hukum alamiah.
Hobbes menyatakan bahwa secara kodrati manusia itu sama satu dengan lainnya. Masing-masing
mempunyai hasrat atau nafsu (appetite) dan keengganan (aversions), yang menggerakkan tindakan
mereka. Appetites manusia adalah hasrat atau nafsu akan kekuasaan, akan kekayaan, akan pengetahuan,
dan akan kehormatan. Sedangkan aversions manusia adalah keengganan untuk hidup sengsara dan mati.
Hobbes menegaskan pula bahwa hasrat manusia itu tidaklah terbatas. Untuk memenuhi hasrat atau nafsu
yang tidak terbatas itu, manusia mempunyai power. Oleh karena setiap manusia berusaha untuk
memenuhi hasrat dan keengganannya, dengan menggunakan power-nya masing-masing, maka yang
terjadi adalah benturan power antarsesama manusia, yang meningkatkan keengganan untuk mati.
Dengan demikian Hobbes menyatakan bahwa dalam kondisi alamiah, terdapat perjuangan untuk
power dari manusia atas manusia yang lain. Dalam kondisi alamiah seperti itu manusia menjadi tidak
aman dan ancaman kematian menjadi semakin mencekam. Karena kondisi alamiah tidak aman, maka
dengan akalnya manusia berusaha menghindari kondisi perang satu dengan lainnya itu dengan
menciptakan kondisi artifisial (buatan). Dengan penciptaan ini manusia tidak lagi dalam kondisi alamiah,
tetapi sudah memasuki kondisi sipil.
Locke memulai dengan menyatakan kodrat manusia adalah sama antara satu dengan lainnya. Akan
tetapi berbeda dari Hobbes, Locke menyatakan bahwa ciri-ciri manusia tidaklah ingin memenuhi hasrat
dengan power tanpa mengindahkan manusia lainnya. Menurut Locke, manusia di dalam dirinya
mempunyai akal yang mengajar prinsip bahwa karena menjadi sama dan independen manusia tidak perlu
melanggar dan merusak kehidupan manusia lainnya. Oleh karena itu, kondisi alamiah menurut Locke
sangat berbeda dari kondisi alamiah menurut Hobbes. Menurut Locke, dalam kondisi alamiah sudah
terdapat pola-pola pengaturan dan hukum alamiah yang teratur karena manusia mempunyai akal yang
dapat menentukan apa yang benar apa yang salah dalam pergaulan antara sesama. Seperti halnya Hobbes
dan Locke, Rousseau memulai analisisnya dengan kodrat manusia. Pada dasarnya manusia itu sama. Pada
kondisi alamiah antara manusia yang satu dengan manusia yang lain tidaklah terjadi perkelahian. Justru
pada kondisi alamiah ini manusia saling bersatu dan bekerjasama. Kenyataan itu disebabkan oleh situasi
manusia yang lemah dalam menghadapi alam yang buas. Masing-masing menjaga diri dan berusaha

menghadapi tantangan alam. Untuk itu mereka perlu saling menolong, maka terbentuklah organisasi
sosial yang memungkinkan manusia bisa mengimbangi alam.
Walaupun pada prinsipnya manusia itu sama, tetapi alam, fisik dan moral menciptakan
ketidaksamaan. Muncul hak-hak istimewa yang dimiliki oleh beberapa orang tertentu karena mereka ini
lebih kaya, lebih dihormati, lebih berkuasa, dan sebagainya. Organisasi sosial dipakai oleh yang punya
hak-hak istimewa tersebut untuk menambah power dan menekan yang lain. Pada gilirannya,
kecenderungan itu menjurus ke kekuasaan tunggal. Untuk menghindar dari kondisi yang punya hak-hak
istimewa menekan orang lain yang menyebabkan ketidaktoleranan (intolerable) dan tidak stabil, maka
masyarakat mengadakan kontrak sosial, yang dibentuk oleh kehendak bebas dari semua (the free will of
all), untuk memantapkan keadilan dan pemenuhan moralitas tertinggi. Akan tetapi kemudian Rousseau
mengedepankan konsep tentang kehendak umum (volonte generale) untuk dibedakan dari hanya
kehendak semua (omnes ut singuli). Kehendak bebas dari semua tidak harus tercipta oleh jumlah orang
yang berkehendak (the quantity of the ‘subjects’), akan tetapi harus tercipta oleh kualitas kehendaknya
(the quality of the ‘object’ sought).
4.

Teori trias politica
Trias politica atau teori mengenai pemisahan kekuasaan, di latar belakangi pemikiran bahwa
kekuasaan-kekuasaan pada sebuah pemerintahan yang berdaulat tidak dapat diserahkan kepada orang
yang sama dan harus dipisahkan menjadi dua atau lebih kesatuan kuat yang bebas untuk mencegah
penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga
negara dapat lebih terjamin.
Dalam bukunya yang berjudul L’esprit des Louis Montesquieu membagi kekuatan negara menjadi
tiga kekuasaan agar kekuasaan dalam negara tidak terpusat pada tangan seorang raja penguasa tunggal,
yaitu sebagai berikut.

a. Legislatif, yaitu kekuasaan untuk membentuk undang-undang.
b.

Eksekutif, yaitu kekuasaan untuk menjalankan undang-undang.

c. Legislatif, yaitu kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang (mengadili).
Negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat (people souvereignty). Konsep
kebebasan/persamaan dan konsep kedaulatan rakyat merupakan dasar dari demokrasi. Kedaulatan rakyat
berarti pemilik kekuasaan tertinggi dalam negara adalah rakyat atau yang dikenal adanya selogan
kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kedaulatan rakyat Indonesia disalurkan dan
diselenggarakan melalui prosedure konstitusional. Hal ini menunjukan bahwa Indonesia adalah Negara
Hukum yang Demokratis (democratische rectsstaat) dan Negara Demokrasi yang berdasar atas Hukum
(constitusional democracy) yang tidak terpisah satu sama lain, sebagaimana menurut Jimly Asshiddiqie.

Dalam sistem konstitusional Undang-Undang Dasar, pelaksanaan kedaulatan rakyat itu disalurkan dan
diselenggarakan menurut prosedur konstitusional yang ditetapkan dalam hukum dan konstitusi
(constitutional democracy).
Dalam proses pelaksanaan demokrasi modern, partai politik, pemilihan umum dan badan
perwakilan rakyat merupakan tiga institusi yang tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain. Setiap
partai politik akan selalu berusaha untuk memperoleh dukungan rakyat yang besar pada saat pemilihan
umum agar badan perwakilan rakyat didominasi oleh partai politik yang bersangkutan. Apabila Sistem
pemilihan kepala daerah dilakukan secara tidak langsung, maka sangat rentan terjadi pembajakan ataupun
penyimpangan kedaulatan rakyat oleh DPRD. Kewenangan DPRD yang begitu besar ini tidak diimbangi
dengan keterampilan mengartikulasikan dan mengagresikan aspirasi masyarakat daerah secara optimal.
Pemilihan kepala daerah secara tidak langsung oleh DPRD akan mempengaruhi hubungan antara kepala
daerah sebagai eksekutif dengan DPRD selaku legislatif dalam hal checks and balances. Konsekuensi
yang kemudian harus dihadapi ketika kepala daerah itu dipilih secara tidak langsung adalah bagaimana
menjaga keseimbangan dalam konteks kedudukan legislatif dengan kepala daerah selaku bagian dari
proses pemerintahan yang memiliki legitimasi dari pemilihnya yang notabene para angggota DPRD.
Kondisi demikian tentunya tidaklah mudah sebab menjaga keharmonisan diantara keduanya dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Permasalahan yang kemudian mempengaruhi hubungan legislatif
dengan eksekutif adalah bahwa kepala daerah yang terpilih adalah calon dari partai politik yang
menempati kursi mayoritas di DPRD karena untuk dapat dicalonkan sebagai kepala daerah ataupun
DPRD harus melalui partai politik sehingga anggota yang terpilih tidak hanya membawa kepentingan
rakyat tetapi juga kepentingan partai politik (conflict of interest) dan kepentingan pribadi, dan bahkan
yang lebih buruk lagi DPRD tidak mencerminkan kepentingan rakyat sebagaimana seharusnya. Tetapi
lebih terlihat kepentingan partai politik yang mengusungnya. Maka dalam hal ini, kewenangan kepala
daerah akan terpenjara oleh kepentingan partai politik. Sehingga apabila kepala daerah terpilih dari partai
politik mayoritas, minimnya kontrol akan mendorong terbentuknya tirani baru dalam pemerintahan dan
menyebabkan molornya penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Pemilukada oleh DPRD akan
menguatkan kekuasaan oligarkhis elite dan partai atas dinamika demokrasi. Selain itu, akan memperparah
praktek politik dagang sapi di parlemen lokal. Argumentasi filosofis dari Pemilukada tidak langsung
adalah pemilukada oleh DPRD mengingkari arus kemajuan demokratisasi lokal. Pemilukada oleh DPRD
juga tidak mencerminkan kepentingan dan aspirasi masyarakat di wilayah provinsi tempat kompetisi
jabatan gubernur/wakil gubernur berlangsung. Pemilukada secara tidak langsung ini menimbulkan bahwa
anggapan kepala daerahnya itu bukan pilihan masyarakat daerah. Legitimasi dari rakyat terhadap
pemimpinnya menjadi lebih lemah dibandingkan dengan pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat.

Tertutupnya pencalonan independen dalam pemilihan kepala daerah secara tidak langsung
menjadi problematika yang khas. Kekurangan yang tampak dalam penyelenggaraan pemilhan kepala
daerah rezim ini tampak dalam pencalonan melalui partai politik atau gabungan partai politik (sistem satu
pintu) dianggap tidak fair. Bagi calon gubernur, bupati dan walikota dari calon nonpartai atau independen
menjadi tertutup. Mereka hanya dapat mencalonkan diri melalui partai atau gabungan partai politik.
Dengan persyaratan 15% perolehan suara sah untuk dapat mencalonkan dalam pemilukada, maka hanya
partai-partai besar yang mendominasi hampir semua calon gubernur, bupati dan walikota di seluruh
daerah di Indonesia. Praktik pertanggungjawaban kepala daerah juga merupakan persoalan yang menarik
perhatian. Berbagai permasalahan yang muncul dalam kaitannya dengan laporan pertanggungjawaban
kepala daerah. Pada kenyataannya proses pertanggungjawaban telah diarahkan dan menjadi kesempatan
“menyandera” kepala daerah. DPRD menjadi institusi yang Powerfull karena segala sesuatunya DPRD
yang menentukan dan pada akhirnya bermuara kepada kompromi laporan pertanggungjawaban dapat
diterima atau disetujui dengan tambahan beberapa catatan.

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan .
Adanya filsafat hukum antara lain Positivisme, Sejarah, Sociological Yurisprudence, Aliran
Paragmatic Legal Realism, Model Hukum Pembangunan, Critical Legal Studies (Model Hukum
Progresifi), semuanya itu terlihat terhadap proses pembentukan peraturan perundang – undangan. Hal
ini terwujud dengan penggunaan Pancasila sebagai (grundnorm), adanya pembaharuan hukum yang
disesuaikan dengan nilai – nilai yang hidup dimasyarakat dan masih adanya pengaruh kepentingan
politik dari partai politik. Adapun teori – teori demokrasi yang ada, saat ini memang seharusnya

menekankan pada peran besar masyarakat terhadap pembentukan peraturan perundangan, karena
hukum dibuat dari, oleh dan untuk masyarakat guna menjamin kepastian hukun, ketertiban dan
kedamaian kehidupan bermasyarakat.
Dampak dari Sistem pemilihan kepala daerah dilakukan secara tidak langsung, akan rentan terjadi
konflik interets antara pemangku kepentingan yang ada di pemerintahan. Para pejabat yang duduk
dibangku pemerintah tidak selamanya satu visi dan misi sehingga apabila salah satu partai politik
mempunyai perbedaan kepentingan, maka hal ini akan mempengaruhi keputusan yang akan diambil.
Dengan tidak adanya peran dari masyarakat dalam menyuarakan pendapatnya dalam bentuk memilih
pemimpin yang dianggap dapat memimpin jalannya pemerintahan, maka masyarakat akan selalu
bersikap pesimis dan apatis dalam kemajuan pembangunan dan kesejahteraan sosial di negara
Indonesia.

DAFTAR BACAAN

Lili Rasyidi & Ira Rasyidi, 2001. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Cet. ke VIII, Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Widodo Dwi Putro, 2011, Kritik Terhadap Paradigma Positivisme Hukum, Genta Publising, Yogyakarta,
Roscoe Pound, 2000, Jurisprudence, Volume I,The Lawbook Excange,New Jersey.

Susilo, I Basis. 1988. Teori Kontrak Sosial dari Hobbes, Locke, dan Rosseau dalam Jurnal Masyarakat,
Kebudayaan, dan Politik. Surabaya: FISIP Unair
Rousseau, Jean-Jacques. 1762. Du contrat social ou Principes du droit politique. Paris. Marc. Michel
Rev, hal 193-194
http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Stufenbau, diakses pada 21 Desember 2014.
http://ilhamendrawordpress.com/2010/11/09/teori-kedaulatan/, diakses pada 24 Desember 2014.
http://ferdiferdiyansah.wordpress.com/2014/09/09/problematika-pemila-umum-di daerah-langsung-dantidak-langsung/, diakses pada 24 Desember 2014.