PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA (2)

xix

PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA
KATA PENGANTAR

Pertama tama kami panjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
pertolongan-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Pemilu di Indonesia.
Tanpa pertolongan dari-Nya mungkin tim penulis tidak dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata ajar MPKT (Mata Kuliah Pendidikan Dasar
Perguruan Tinggi) dan supaya pembaca dapat memperluas wawasan mengenai permasalahan
– permasalahan seputar pemilu yang ada di Indonesia. Makalah ini penulis sajikan
berdasarkan data dan pengamatan dari berbagai sumber.
Harapan penulis semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas lagi
kepada pembaca. Makalah ini juga tidak terlepas dari kesalahan. Tim penulis memohon kritik
dan sarannya demi perbaikan di masa mendatang.

Depok, 10 November 2009

Penulis

DAFTAR ISI


Judul ………………………………………………………..……………………… i
Kata Pengantar …………………………………………..………………………... ii
Daftar Isi ……………………………………………………..…………………….. iii
Abstrak ………………………………………………………..……………………. iv
Bab I
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang ……………………………………………………………. 01
1.2. Perumusan Masalah ………………………………………………………. 01
3. Tujuan Penulisan ………………………………………………………….. 01
Bab II
Isi
1. Sejarah Demokrasi Indonesia…….………………………………… .............
02
2. Masalah Undang – undang Pemilu ..................................................................
05
3. Tugas dan Kinerja KPU dalam Pemilu ............................................................
06
4. Lembaga Quick Count dan Transparansi Pemilu ..............................................
07

5. Politik Uang dalam Pemilu ................................................................................
09
Bab III
Penutup
1. Kesimpulan ………………………………………………………………….....
13

2. Saran ………………………………………………………………………........
13
3. Ucapan Terima Kasih ………………………………………………………......
13
4. Daftar Pustaka ……………………………………………………………….....
14

ABSTRAK

Makalah ini mengkaji sebuah pemicu, yaitu pemilu di Indonesia.Dalam hal ini,
yang dapat dijadikan contoh pelaksanaan pemilu legislatif pada 9 April 2009
yang lalu. Hal ini dikaitkan dengan beberapa sub tema, yaitu dengan sistem
demokrasi Indonesia, kebijakan pemerintah, permasalahan dan pelanggaran

yang timbul, dan dampak yang terjadi akibat pemilu. Sub tema yang dikaitkan
dengan pemicu, akan diberikan contoh mengenai konsep-konsep yang
dimaksudkan, agar dapat mempermudah pemahaman.

Kata kunci: anggaran; calon; dana; demokrasi; DPT; kebijakan; KPU;
legislatif; lembaga; liberal;
pancasila; pemerintah; pemilu; quick count; sistem; sosial; survey;
terpimpin; uang;
undang-undang;

BAB I
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Pemilu adalah pesta demokrasi yang dinanti - nantikan oleh setiap
warga negara Indonesia. Melalui pemilu, warga dapat memilih pemimpin
yang diharapkan mampu membawa masyarakat Indonesia menuju kehidupan
yang lebih baik. Dengan begitu, warga negara dapat menentukan nasibnya
dengan memberikan kursi kekuasaan pada orang - orang yang telah mereka
percayai akan dapat mengemban amanat tersebut dengan baik. Tetapi dalam

pelaksanaanya tidaklah selalu berjalan dengan baik sebagaimana mestinya.
Banyak permasalahan yang timbul, sehingga diperlukan suatu pemahaman
yang lebih dalam tentang pemilu di Indonesia. Hal tersebut juga bertujuan
agar masalah – masalah yang terjadi pada pemilu dapat diantisipasi dan
dihindari dalam pemilu selanjutnya. Kaitan antara pemicu dan sub tema akan
dibahas lebih lanjut pada bagian isi dari makalah ini.
2. PERUMUSAN MASALAH
Perumusan masalah yang dibuat antara lain adalah:
1. Bagaimana kaitan sejarah demokrasi Indonesia dengan pemilu?
2. Bagaimana hubungan kebijakan pemerintah dengan pemilu?
3. Bagaimana kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU)?
4. Apa saja dampak dan permasalahan yang terjadi setelah pemilu?
3. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk melakukan
pengkajian mengenai pemicu yang ada, yaitu pemilu di Indonesia yang

dikaitkan dengan sistem demokrasi Indonesia, kebijakan pemerintah,
permasalahan dan pelanggaran yang timbul, dan dampak yang terjadi akibat
pemilu. Setelah dilakukan pengkajian terhadap permasalahan yang ada, maka
penyelesaian terhadap masalah tersebut pun dapat dibuat dan diusahakan.

BAB II
ISI

1. SEJARAH DEMOKRASI INDONESIA
Indonesia memiliki sejarah demokrasi yang sangat panjang. Dari
zaman Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono banyak kejadiankejadian yang mewarnai kehidupan demokrasi di Indonesia. Berikut ini ialah
perjalanan demokrasi di Indonesia.
Akhir milenium kedua ditandai dengan perubahan besar di Indonesia.
Rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun yang dipimpin oleh
Soeharto akhirnya tumbang.Demokrasi Pancasila versi Orde Baru mulai
digantikan dengan demokrasi dalam arti sesungguhnya. Hanya saja tidak
mudah mewujudkan hal ini, karena setelah Soeharto tumbang tidak ada
kekuatan yang mampu mengarahkan perubahan secara damai, bertahap dan
progresif. Yang ada justru muncul berbagai konflik serta terjadi perubahan
genetika sosial masyarakat Indonesia. Hal ini tak lepas dari pengaruh krisis
moneter yang menjalar kepada krisis keuangan sehingga pengaruh depresiasi
rupiah berpengaruh signifikan terhadap kehidupan ekonomi rakyat Indonesia.
Inflasi yang dipicu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sangat
berpengaruh kepada kualitas kehidupan masyarakat. Rakyat Indonesia
sebagian besar masuk ke dalam sebuah era demokrasi sesungguhnya dimana

pada saat yang sama tingkat kehidupan ekonomi mereka justru tidak lebih
baik dibandingkan ketika masa Orde Baru.

Indonesia setidaknya telah melalui empat masa demokrasi dengan
berbagai versi. Pertama adalah demokrasi liberal dimasa kemerdekaan.
Kedua adalah demokrasi terpimpin, ketika Presiden Soekarno membubarkan
konstituante dan mendeklarasikan demokrasi terpimpin. Ketiga adalah
demokrasi Pancasila yang dimulai sejak pemerintahan Presiden Soeharto.
Keempat adalah demokrasi yang saat ini masih dalam masa transisi.
Kelebihan dan kekurangan pada masing-masing masa demokrasi
tersebut pada dasarnya bisa memberikan pelajaran berharga bagi kita.
Demokrasi liberal ternyata pada saat itu belum bisa memberikan perubahan
yang berarti bagi Indonesia. Namun demikian, berbagai kabinet yang jatuhbangun pada masa itu telah memperlihatkan berbagai ragam pribadi beserta
pemikiran mereka yang cemerlang dalam memimpin namun mudah
dijatuhkan oleh parlemen dengan mosi tidak percaya. Sementara demokrasi
terpimpin yang dideklarasikan oleh Soekarno (setelah melihat terlalu lamanya
konstituante mengeluarkan undang-undang dasar baru) telah memperkuat
posisi Soekarno secara absolut. Di satu sisi, hal ini berdampak pada
kewibawaan Indonesia di forum Internasional yang diperlihatkan oleh
berbagai manuver yang dilakukan Soekarno serta munculnya Indonesia

sebagai salah satu kekuatan militer yang patut diperhitungkan diAsia. Namun
pada sisi lain segi ekonomi rakyat kurang terperhatikan akibat berbagai
kebijakan politik pada masa itu.
Lain pula dengan masa demokrasi Pancasila pada kepemimpinan
Soeharto. Stabilitas keamanan sangat dijaga sehingga terjadi pemasungan
kebebasan berbicara. Namun tingkat kehidupan ekonomi rakyat relatif baik.
Hal ini juga tidak terlepas dari sistem nilai tukar dan alokasi subsidi BBM
sehingga harga-harga barang dan jasa berada pada titik keterjangkauan
masyarakat secara umum. Namun demikian penyakit korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN) semakin parah menjangkiti pemerintahan. Lembaga
pemerintahan yang ada di legislatif, eksekutif dan yudikatif terkena virus

KKN ini. Selain itu, pemasungan kebebasan berbicara ternyata menjadi bola
salju yang semakin membesar yang siap meledak. Bom waktu ini telah
terakumulasi sekian lama dan ledakannya terjadi pada bulan Mei 1998.
Selepas kejatuhan Soeharto, selain terjadinya kenaikan harga barang
dan jasa beberapa kali dalam kurun waktu 8 tahun terakhir, instabilitas
keamanan dan politik serta KKN bersamaan terjadi sehingga yang paling
terkena dampaknya adalah rakyat kecil yang jumlahnya mayoritas dan
menyebabkan posisi tawar Indonesia sangat lemah di mata internasional

akibat tidak adanya kepemimpinan yang kuat.
Namun demikian, demokratisasi yang sedang berjalan di Indonesia
memperlihatkan beberapa kemajuan dibandingkan masa-masa sebelumnya.
Pemilihan umum dengan diikuti banyak partai adalah sebuah kemajuan yang
harus dicatat. Disamping itu pemilihan presiden secara langsung yang juga
diikuti oleh pemilihan kepala daerah secara langsung adalah kemajuan lain
dalam tahapan demokratisasi di Indonesia. Diluar hal tersebut, kebebasan
mengeluarkan pendapat dan menyampaikan aspirasi di masyarakat juga
semakin meningkat. Para kaum tertindas mampu menyuarakan keluhan
mereka di depan publik sehingga masalah-masalah yang selama ini
terpendam dapat diketahui oleh publik. Pemerintah pun sangat mudah dikritik
bila terlihat melakukan penyimpangan dan bisa diajukan ke pengadilan bila
terbukti melakukan kesalahan dalam mengambil suatu kebijakan publik.
Jika diasumsikan bahwa pemilihan langsung akan menghasilkan
pemimpin yang mampu membawa masyarakat kepada kehidupan yang lebih
baik, maka seharusnya dalam beberapa tahun ke depan Indonesia akan
mengalami peningkatan taraf kesejahteraan masyarakat. Namun sayangnya
hal ini belum terjadi secara signifikan. Hal ini sebagai akibat masih terlalu
kuatnya kelompok yang pro-KKN maupun anti perbaikan.
Demokrasi di Indonesia masih berada pada masa transisi dimana

berbagai prestasi sudah muncul dan diiringi ”prestasi” yang lain. Sebagai

contoh, munculnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dirasakan mampu
menimbulkan efek jera para koruptor dengan dipenjarakannya beberapa
koruptor. Namun di sisi lain, para pengemplang dana bantuan likuiditas bank
Indonesia (BLBI) mendapat pengampunan yang tidak sepadan dengan ”dosadosa” mereka terhadap perekonomian. Namun demikian, masih ada sisi
positif yang bisa dilihat seperti lahirnya undang-undang sistem pendidikan
nasional yang mengamanatkan anggaran pendidikan sebesar 20 persen.
Demikian pula rancangan undang-undang anti pornografi dan pornoaksi yang
masih dibahas di parlemen. Rancangan undang-undang ini telah mendapat
masukan dan dukungan dari ratusan organisasi Islam yang ada di tanah air.
Hal ini juga memperlihatkan adanya partisipasi umat Islam yang meningkat
dalam perkembangan demokrasi di Indonesia. Sementara undang-undang
sistem pendidikan nasional yang telah disahkan parlemen juga pada masa
pembahasannya mendapat dukungan yang kuat dari berbagai organisasi
Islam. Sementara itu, ekonomi di era demokrasi ternyata mendapat pengaruh
besar dari kapitalisme internasional. Hal ini menyebabkan dilema. Bahkan di
tingkat pemerintah, ada kesan mereka tunduk dibawah tekanan kapitalis
internasional yang tidak diperlihatkan secara kasat mata kepada publik namun
bisa dirasakan.

2. MASALAH UNDANG – UNDANG PEMILU
Indonesia adalah negara besar dengan banyak penduduk. Sebagai salah
satu negara yang menganut paham demokratis di dunia, setiap 5 tahun sekali
pastilah bangsa ini mengadakan pesta demokrasi atau pemilihan umum.
Sebagai sebuah acara akbar tentu saja Pemilihan Umum memiliki banyak
Undang-undang yang mengawalnya agar dapat berjalan dengan baik bagi
semua pihak. Lalu mengapa sekarang ini masih sering terdengar masih ada
ketidakpastian dari pesta rakyat terbesar ini? Pan Muhammad Faiz,

mahasiswa hukum lulusan S-2 University of Delhi mencoba mengkajinya
dari sisi Undang-Undang Pemilu.
Beliau melihat ketidakjelasan Undang-undang pemilu diakibatkan
kesalahan substansi, seperti yang ditulis berikut ini. Di dalam kalimat
pertama paragraf kesatu Penjelasan Umum UU tersebut tertulis, “Pasal 2 ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menyatakan bahwa “kedaulatan rakyat berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-UndangDasar”. Sedangkan di awal paragraf
kedua tertulis, “Sesuai ketentuan Pasal 22E ayat (6) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemilihan umum untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah diselenggarakan berlandaskan azas langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.” Secara
sepintas memang tidak ada kesalahan susunan kalimat pada kedua paragraf di
atas, namun apabila dicermati lebih mendalam, maka pencantuman kedua
Pasal di atas merupakan kesalahan yang cukup nyata.
Beliau melihat bahwa Konsep “kedaulatan rakyat” yang sebenarnya
diatur di dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, dan bukan di Pasal 2 ayat (1)
yang justru hanya mengatur mengenai komposisi Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR). Sedangkan, ketentuan mengenai asas pelaksanaan Pemilu,
waktu pelaksanaan, dan tujuan pemilihan diatur di dalam Pasal 22E ayat (1)
dan ayat (2) UUD 1945, dan bukan di dalam Pasal 22E ayat (6) yang
mengatur tentang ketentuan pemberian delegasi pengaturan tentang
pemilihan umum dengan undang-undang.
Beliau mengatakan bahwa kesalahan ini mengakibatkan kesalahan
penafsiran yang pada ujungnya mengakibatkan ketidakpastian hukum yang
mengawal pemilu di Indonesia. Bagaimana pemilu yang kita harapkan dapat
berjalan dengan demokratis malah dikotori oleh tangan-tangan yang kotor
akibat kesalahan penafsiran undang-undang. Oleh karena itu marilah kita

berbenah mulai dari peraturan yang paling mendasar sehingga bangsa kita
pada akhirnya dapat maju sebagaimana bangsa-bangsa lainnya.
3. TUGAS DAN KINERJA KPU DALAM PEMILU
Tugas KPU ( Komisi Pemilihan Umum ) dalam proses pelaksanaan
pemilu sangatlah penting dan bahkan strategis. Hal itu karena KPU
mengemban tugas melaksanakan pemilihan umum secara langsung. Hasil
pemilihan umum itu, akan meletakkan dasar - dasar bernegara kita, tidak saja
untuk lima tahun mendatang, tetapi juga untuk masa yang lebih panjang dari
itu. Jika berhasil, akan besar manfaatnya bagi masa depan Indonesia.
Meskipun demikian, kitapun menyadari adanya hambatan yang bagi
KPU dalam melaksanakan tugas - tugasnya. Dari aspek teknis, KPU harus
melakukan pengadaan terhadap barang - barang yang diperlukan untuk
penyelenggaraan pemilu. Dari kotak suara dan kertas mencetak suara, sampai
pada pengadaan kendaraan roda empat untuk operasi, serta barang - barang
inventaris yang lain. Dengan pemilu yang akan diadakan lima tahun sekali,
selayaknya KPU dapat merencanakan, agar barang - barang yang dibeli
sekarang, masih dapat digunakan lima tahun mendatang, ketika kita
menyelenggarakan pemilu yang selanjutnya.
Selain itu, terdapat juga hambatan politis. KPU masih harus melakukan
verifikasi faktual terhadap peserta pemilu. Demikian juga daerah pemilihan,
yang terkadang terdapat permasalahan, terkait dengan pemekaran daerah.
Semua itu, merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi pemerintah
dan juga DPR yang menyusun UU. Sebenarnya, mungkin saja kinerja KPU
akan lebih baik, seandainya tidak dibebani hal-hal yang terkait teknis,
sehingga KPU dapat memfokuskan diri pada aspek lain yang sifatnya politis.
Misalnya, bagaimana KPU dapat menjamin pemilu yang dapat memenuhi
kriteria free and fair election (pemilihan yang bebas dan adil). Tetapi karena

KPU juga dibebani aspek – aspek yang bersifat teknis, tugas-tugas itu dapat
menjadi beban yang tidak ringan.
Pemeliharaan asset – asset/barang – barang pendukung
penyelenggaraan pemilu setidaknya dilakukan oleh KPU, sehingga tidak
harus menyediakan yang baru setiap kali menyelenggarakan pemilu, dan
penghematan dana pun dapat dilakukan.
Agar pemilu yang tertib dan tidak menuai konflik dan kecurigaan dari
berbagai pihak, maka KPU pun harus transparan dalam melaksanakan tugas –
tugasnya. Contoh konkritnya adalah transparansi dalam pengadaan logistik,
dan lain sebagainya.
4. LEMBAGA QUICK COUNT DAN TRANSPARANSI PEMILU
Quick count adalah cara untuk mengetahui hasil pemilu dengan cara
sampling. Pada quick count, hal yang diambil secara acak atau disampling
adalah TPS (Tempat Pemungutan Suara) pada pemilu. Hal ini dilakukan
setelah pemilu berlangsung dengan menanyakan langsung pada pemilih,
berbeda dengan survey yang dilakukan sebelum pemilu sehingga
mendapatkan hasil berupa opini, hasil yang didapat dari quick count adalah
hasil yang berupa fakta. Sample yang diambil harus banyak dan tersebar di
seluruh Indonesia, karena semakin banyak sample akan mengurangi tingkat
kesalahan pada quick count dan dapat menggambarkan kondisi sebenarnya
dari masyarakat. Sehingga kebanyakan lembaga survey mengambil sample
dengan jumlah 1250 dari seluruh Indonesia. Jumlah tersebut dianggap telah
cukup representativ terhadap jumlah warga negara Indonesia. Sehingga jika
memang dilakukan dengan tepat, maka hasil yang didapat tidak akan jauh
berbeda dengan hasil rekapitulasi mannual dari KPU. Dengan demikian hal
ini juga bisa menjadi suatu kontrol terhadap kecurangan yang terjadi saat
pemilu.

Lembaga yang berhak melakukan quick count adalah lembaga yang
telah diregistrasi oleh KPU yang menandakan bahwa lembaga itu adalah
lembaga yang kompeten dan dapat menghasilkan data yang dapat dipercaya
berdasarkan penjelasan dari Ketua Komisi Pemilihan, Abdul Hafiz Anshary,
di kantor KPU, Jakarta Pusat, Selasa, 17 Maret 2009.
Peraturan-peraturan tentang quick count pun sangat rumit baik tentang
kondisi fisik data (UU No.19 Tahun 1997 tentang statistik) tentang
obyektifitas (UU Pemilu pasal 245 ayat 2) tentang penjelasan yang
dilampirkan (SK KPU No. 701 tahun 2003 pasal 14 ayat 1) tentang waktu
penyiaran hasil quick count (Keputusan KPU No. 48 tahun 2004) dan
peraturan mengikat lainya. Hal ini cukup membuktikan bahwa quick count
telah benar-benar dikontrol oleh pemerintah agar dapat dilakukan dengan
sebagaimana mestinya.
Transparansi berarti keterbukaan dalam melakukan segala kegiatan
organisasi dapat berupa keterbukaan informasi, komunikasi, bahkan dalam
hal budgeting. Dalam pemilu, quick count dapat menjadi suatu alat
tranparansi untuk masyarakat. Dengan mengetahui hasil quick count,
masyarakat dapat memperoleh informasi dri sumber lain selain pemerintah,
sehingga dengan kata lain hal ini dapat menjadi suatu pembanding terhadap
kinerja KPU dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga ynag berwenang
mennghitung suara aspirasi rakyat. Masyarakat dapat mengontrol jalanya
pemilu dan dapat dengan cepat mengetahui pelanggaran-pelanggaran yang
terjadi dalam pemilu.
Tapi bagaimana jika quick count tersebut malah ditunggangi kekuatan
politik? Seperti yang dikemukakan oleh Prabowo di Amigos Café, Mega
Kuningan Jakarta, Selasa 31 Maret malam, bahwa keputusan yang diambil
oleh Mahkamah Konstitusi bahwa quick count boleh dilakukan adalah
keputusan yang tidak mendidik, karena banyaknya lembaga survey yang
telah dipesan oleh beberapa partai politik untuk menjadikan hasil quick count

dapat menggambarkan hasil yang sesuai dengan keinginan mereka. Menurut
Prabowo, saat ini kondisi masyarakat Indonesia masih sangat mendukung
istilah orang yang memiliki uang adalah orang yang berkuasa, sehingga
dikhawatirkan keputusan MK ini dapat menjadi angin segar bagi partai-partai
politik yang memiliki anggaran yang besar. Prabowo juga megkhawatirkan
bahwa hasil dari quick count yang telah dipesan dapat mempengaruhi pikiran
masyarakat sehingga sengaja disalahgunakan untuk menggiring kehendak
publik seperti yang diinginkan.
Hal serupa juga dikatakan oleh Pengamat Politik dari Lingkar Madani
untuk Indonesia, Ray Rangkuti, bahwa ada indikasi beberapa lembaga survey
telah dipesan oleh beberapa parpol politik. Sehingga hasil dari quick count
yang dilakukan dapat menunjukan angka kemenangan dari partai politik
tersebut. Untuk itu, Ray mengharapkan KPU atau lembaga yang
membolehkan lembaga survey tersebut memberi kebijakan tentang
transparansi dana yang diperoleh lembaga survey untuk melakukan survey.
Karena hal itu yang akan membuktikan bahwa mereka adalah lembaga yang
independen dan bebas dari tunggangan politik. Jika ada indikasi mereka
dibiayai oleh salah satu partai politik maka mereka dapat dikenai sanksi yang
tegas berupa pencabutan izin untuk melakukan quick count.
Quick count dapat menjadi suatu indikator yang menunjukan
transparansi publik jika dilakukan dengan benar dan sesuai dengan fungsinya,
tapi malah dapat bersifat sebaliknya jika kondisi keuangan lembaga pembuat
quick count itu sendiri tidak transparan. Hal ini memungkinkan adanya
pihak-pihak yang menyalahgunakan quick count menjadi donatur dalam
penyediaan anggaran lembaga quick count.
5. POLITIK UANG DALAM PEMILU
Jatuhnya rezim birokratik-otoritarian Orde Baru pada 1998 merupakan
jalan bagi Indonesia memasuki era transisi demokrasi. Transisi ini diharapkan

berjalan linear ke arah demokrasi. Jika Pemilihan Umum (pemilu) digunakan
sebagai indikator, Pemilu 1999 merupakan awal yang cukup bagus. Apalagi
Pemilu 2004. Bahkan, Pemilu 2004 diakui oleh dunia sebagai pemilu yang
paling rumit berhasil diselenggarakan dengan sukses, tanpa setetes darah pun
yang terjatuh. Keberhasilan Pemilu 2004 tidak bisa dilepaskan dari para
penyelenggaranya (Komisi Pemilihan Umum) yang memiliki kapasitas dan
kapabilitas memadai.Keberhasilan inilah yang membuat Indonesia
memperoleh gelar sebagai negara terdemokratis ketiga setelah Amerika dan
India.
Seharusnya, keberhasilan penyelenggaraan Pemilu 2004 menjadi
cermin untuk penyelenggaraan pemilu yang lebih baik pada periode politik
selanjutnya. Namun, Pemilu 2009 justru mengalami penurunan kualitas, baik
dalam konteks prosedural maupun substansi. Secara prosedural, jelas sekali
bahwa Pemilu 2009 diselenggarakan dengan persiapan yang sangat kurang
memadai. Hal ini terlihat dari berbagai indikasi, seperti amburadulnya Daftar
Pemilih Tetap (DPT) yang menyebabkan puluhan juta rakyat Indonesia
kehilangan hak pilih dan surat suara tertukar. Sedangkan dalam konteks
substansi, Pemilu 2009 diperkirakan mengalami penurunan kualitas wakil
rakyat. Sebab, dalam Pemilu 2009 terjadi praktik-praktik terlarang yang
menyebabkan masyarakat tidak ambil peduli dengan kualitas caleg. Pilihan
sebagian besar pemilih dipengaruhi oleh uang.
Sudah menjadi rahasia umum, Pemilu 2009 diwarnai oleh praktik
bagi-bagi uang secara langsung maupun praktik politik uang dalam bentukbentuk yang lain. Hal ini menyebabkan demokrasi prosedural yang
seharusnya menjadi sarana untuk menyeleksi calon-calon wakil rakyat yang
benar-benar memiliki kapasitas, kapabilitas, dan komitmen untuk
memperjuangkan kepentingan rakyat menjadi tidak fungsional. Dalam
konteks substansi, pemilu diharapkan tidak hanya bisa menyeleksi dan
mengganti elite politik, tetapi juga melahirkan wakil-wakil dan pemimpin

yang lebih baik. Namun, tampaknya, harapan itu akan jauh panggang dari api.
Di era reformasi, para pegiat demokrasi terus berusaha melakukan
konsolidasi demokrasi. Namun, upaya itu tidak semudah membalikkan
tangan. Sebab, di mana pun tempatnya, transisi demokrasi selalu diwarnai
dengan proses negosiasi antara kekuatan prodemokrasi dengan kekuatan lama
yang antidemokratisasi. Konsolidasi demokrasi akan berjalan dengan baik
jika terdapat budaya demokrasi. Proses negosiasi tersebut menyebabkan
budaya demokrasi tidak mudah dibentuk dan ditumbuhkembangkan. Roland
Inglehart (Trust , well-being and democracy, 1999) mengatakan bahwa
demokrasi hanya akan tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat
yang memiliki budaya demokrasi.
Salah satu budaya demokrasi yang sangat vital adalah prinsip
kesukarelaan. Kesukarelaan ini akan muncul jika ada kepercayaan. Menurut
Inglehart, budaya demokrasi erat kaitannya dengan sikap saling percaya
(interpersonal trust) antarwarga negara. Hal senada juga diungkapkan oleh
Francis Fukuyama dalam Trust: The Social Virtues and the Creation of
Prosperity . Di antara warga negara akan terjadi saling kerja sama dan bahkan
juga sinergi jika ada rasa saling percaya. Namun, jika kepercayaan itu hilang,
kekuatan untuk dapat menggerakkan orang akan digantikan oleh sesuatu yang
lain. Dalam masyarakat yang terkena virus materialisme, uang menjadi faktor
penggerak yang cukup efektif sehingga praktik politik uang dalam Pemilu
2009 lalu menjadi sedemikian marak. Prinsip kesukarelaan tampaknya
tercerabut dari praktik berdemokrasi pada Pemilu 2009. Menurut berbagai
survei, kira-kira 65 persen pemilih pada Pemilu 2009 menganggap uang
dalam pemilihan umum adalah sesuatu yang lazim, bahkan keharusan.
Sedangkan, selebihnya menganggap bahwa praktik politik uang adalah
sesuatu yang tidak boleh alias haram. Cara berpikir mayoritas pemilih ini
kemudian menyebabkan para caleg tidak ubahnya sebagai lembaga sosial
yang muncul dengan tiba-tiba, yang dimanfaatkan untuk meminta bantuan-

bantuan material tertentu, baik yang bersifat individual maupun institusional
dalam skala kecil.
Melihat kasus maraknya politik uang pada pemilu lalu, sesungguhnya
yang terjadi bukanlah kepercayaan rakyat kepada mereka yang diberi mandat,
tetapi hanya semata-mata karena mereka memperoleh imbalan. Hal ini akan
melahirkan kepemimpinan dan pemerintahan yang tidak efektif. Sebab,
demokrasi prosedural tidak menghasilkan orang-orang yang sebelumnya telah
menunjukkan prestasi dalam mengendalikan struktur yang diperlukan untuk
mewujudkan kebaikan bersama. Pemilu 2009 bisa dipastikan akan
melahirkan lebih banyak penguasa dari kalangan pemilik modal besar. Jadi,
dalam konteks ini, demokrasi tidak berseiring dengan meritokrasi, melainkan
dengan kepemilikan uang. Dengan demikian, yang sedang berlaku
sesungguhnya bukanlah demokrasi, melainkan plutokrasi. Sebab, kekuasaan
telah digenggam oleh mereka yang memiliki kapital besar walaupun mereka
sesungguhnya tidak memiliki kompetensi untuk mengurus kekuasaan (baca:
negara).
Untuk mewujudkan demokrasi, konsolidasi demokrasi harus
dilakukan secara lebih masif. Kelompok-kelompok prodemokrasi tidak bisa
hanya berteriak di luar sistem, tetapi harus masuk ke dalamnya dengan cara
terlebih dahulu merebut kepemimpinan di partai politik. Dengan cara itulah,
kekuasaan nanti akan dikuasai oleh orang-orang yang memang memiliki
kapasitas, kapabilitas, kompetensi, dan komitmen untuk menciptakan
kebaikan bersama dan menata negara. Kelompok prodemokrasi harus
memahami betul bahwa demokrasi hakikatnya adalah ruang kompetisi untuk
mengupayakan transformasi nilai-nilai, baik itu nilai-nilai kebaikan maupun
keburukan. Jika yang memegang kekuasaan adalah mereka yang baik,
transformasi nilai-nilai kebaikan dalam produk-produk kebijakan politik akan
bisa dilakukan. Sebaliknya, jika politisi busuk yang berkuasa, produk-produk
kebijakan politiknya akan sangat membahayakan keberlangsungan

penyelenggaraan negara. Kebijakan-kebijakan politik akan diorientasikan
untuk kepentingan-kepentingan sendiri dan berjangka pendek. Tentu saja, hal
ini pada akhirnya akan menyengsarakan rakyat.

BAB III
PENUTUP

1. KESIMPULAN
Terdapat banyak hal yang perlu dikaji dari kegiatan pemilu pada tahun
2009 di Indonesia, baik itu dari aspek persiapan, pelaksanaan, hingga dampak
dari pelaksanaan pemilu tersebut. Permasalahan dalam pemilu pun kerap
terjadi, baik yang disebabkan oleh kurangnya kinerja Komisi Pemilihan
Umum (KPU), kurangnya kontrol pemerintah, cara bersaing yang tidak sehat
di antara partai politik, hingga tindakan masyarakat umum yang tidak
sepatutnya dilakukan, seperti menciptakan konflik.
Makalah ini mengkaji hal – hal tersebut, sehingga masalah dapat
dilihat dari beberapa subpokok yang berbeda. Dengan jelasnya penjabaran
mengenai permasalahan yang ada, maka penyelesaian pun dapat diusahakan.
2. SARAN
Disarankan agar makalah ini dijadikan referensi untuk pencarian
informasi seputar pemilu dan berbagai macam aspek di dalamnya, terlebih
menyangkut permasalahan yang ada. Dengan demikian, upaya pencarian
penyelesaian dan pengantisipasian masalah pun dapat diusahakan.
3. UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih penulis ajukan kepada:
1. Bapak Priyanto S.S, M.Hum yang telah memberikan bimbingannya, dan
2. Seluruh anggota Home Group 5 yang telah berpartisipasi dalam
menyelesaikan makalah ini.