KONSEP FREUD DALAM NOVEL TELEGRAM KARYA

KONSEP FREUD DALAM NOVEL TELEGRAM
KARYA PUTU WIJAYA
Oleh Ahmad Bahtiar
Pendahuluan
Telegram karya Putu Wijaya merupakan novel penting dalam sejarah kesusastraan
Indonesia modern. Novel yang diterbitkan oleh Pustaka Jaya ini mendapat tanggapan
cukup positif dari beberapa pengamat sastra. Lebih dari 40 ulasan dan tanggapan
baik yang berupa artikel lepas, resensi buku, makalah, skripsi, dan tesis telah lahir
dari novel ini.
Novel ini merupakan pemenang pertama sayembara mengarang roman yang
diselenggarakan Panitia Tahun Buku International tahun 1972. Setahun kemudian
baru diterbitkan sebagai buku. Novel ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan
Jepang.
Karya awal pengarang yang mempunyai nama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya
ini memperlihatkan kebaruan dalam penulisan novel di Indonesia tahun 70-an..
Kebaruan tersebut terletak pada perpaduan antara realitas dan kenyataan yang dialami
tokohnya sebagaimana yang tampak dalam novel ini. Banyak peristiwa tidak masuk
akal yang terdapat pada novel ini termasuk latarnya. Oleh karena itu, karya ini dapat
disebut karya t absur, artinya tidak masuk akal, tidak logis atau surealis, atau realitas
yang melampui realitas biasa. Ada pula yang menyebutnya nonrealis, artinya tidak
mengikuti tradisi realitas (Fowler dan Jacskon dalam Prihatmi, 2001 : vi).

Tulisan ini menfokuskan pada pembahasan sosok utama dalam Telegram, yaitu Daku.
Benarkah ia mengalami konflik kejiwaan luar biasa dalam menghadapi kenyataan
yang garang? Apa saja tanda-tanda yang terdapat dalam teks yang mencirikan
gangguan jiwa yang dialaminya? Bagaimana mimpi-mimpinya yang menunjukkan
1

gejala Oedipus Kompleks? Salah satu ciri mereka yang mengalami gangguan jiwa,
menurut Sigmund Freud, adalah mereka tak bisa lagi membedakan antara peristiwa
yang terjadi di alam nyata dengan imajinasi yang hanya ada dalam benaknya. Adakah
hal itu tampak pada Telegram?
Karena itu pembahasan dalam tulisan ini menggunakan konsep-konsep dalam teori
psikoanalisa, sebuah pendekatan kejiwaan dari Sigmund Freud.
Sekilas Tentang Novel Telegram
Novel ini berkisah tentang kehidupan seorang wartawan asal Bali yang tinggal di
Jakarta bernama Daku. Ia selalu dihantui oleh telegram kematian ibunya. Akibatnya
ia hidup di antara segudang konflik batin yang melelahkan karena selalu dihadapkan
pada sebuah kebimbangan dan kegamangan.

Persoalan rutin diburu deadline,


hanyalah satu dari sekian persoalan yang ada.
Selebihnya,

berkutat

tentang

kegamanan,

kegelisahan,

kebohongan

dan

ketidakberdayaan menghadapi sebuah realita hidup yang gamang. Dan itulah yang
tergambar dari sosok Daku. Ia lebih memilih untuk bermain dunia khayalnya dengan
menciptakan sosok rekaan bernama Rosa. Sementara itu pula kekasih nyatanya,
Norma, mencoba mengajaknya kawin. Padahal ia ingin memberontak untuk
membebaskan dirinya dari penjara keluarga bahkan dari penjara perkawinan.

Lembaga keluarga dianggap

sangat mengekang, mendikte, dan membuat tak

bernyali.
Apalagi dalam konteks manusia Bali kunkungan keluarga berarti kewajiban terhadap
adat dan tradisi. Pulang ke Bali, bagi Daku, berarti melupakan kariernya di Jakarta.
Ia mesti mengurus keluarga atas nama adat.

2

Kabar dari Bali yang diterima Daku membuat hidupnya dalam ketidakpastian.
Telegram, baginya tak lagi sekadar pesan. Tapi, bagaikan hantu yang menyeramkan.
Mengabarkan hal-hal yang membuatnya lebih tak berdaya. Telegram telah hadir
sebagai idiom yang mencekam.
Di akhir cerita, telegram sebenarnya benar-benar datang. Tetapi kedatangannya justru
membuat Daku malah optimis. Ia akan pulang selama sebulan. Itu berarti ia akan
kembali ke Jakarta sebagai

individu yang merdeka. Pencarian dirinya berhasil,


meskipun barangkali masih akan terus dironrong pada sebuah dilemma oleh
kerancuan kesadarannya.
Kerangka Teori
Sigmund Freud adalah seorang dokter dan selalu mengemukakan pikiran dalam
bentuk ilmiah,tetapi dunia sastra tidak asing baginya. Semasa hidupnya, di akhir ke19 perbedaan studi eksakta dan ilmu sastra tidak sebesar sekarang. Ilmuwan umumya
mendapat pendidikan sastra yang betul-betul serius semasa mudanya. Hal itu terjadi
pula pada Freud. Sumbangan Freud terhadap perkembagnan teori-teori sastra modern
melahirkan pendekatan Psikoanalisis. Beberapa konsep pasiko analisis dicoba untuk
menjelaskan konflik penjiwaan tokoh dalam novel Telegram.
Konsep Freud yang dipergunakan untuk tokoh Daku tokoh utama dalam Telegram
adalah Delir, Mimpi, Kecemasan, dan Kompleks Oedipus. Delir adalah gangguan
kejiwaan yang menyebabkan penderitaan member kepercayaan yang sama besar pada
ciptaan imajinasi, khayalan maupun persepsi nyata sehingga si penderita
membiarkan kelakuannya dibelokkan atau diarahkan oleh apa aja yang timbul dalam
khayalan.

3

Gejala delir bias berupa khayalan yang dipercaya oleh penderita sebagai kenyataan

atau bias berupa tindakan-tindakan yang diakibatkan oleh kepercayaan pada
khayalan.
Mimpi dapat mempercepat evolusi delir bila bekerja searah delir dengan
mempercepat terbentuknya jalan tengah berupa gejala tersebut dibantu dengan
kendurnya sensor sadar. Sedangkan kecemasan menurut Freud adalah pengalaman
perasaan yang menyakitkan yang ditimbulkan oleh ketegangan dalam alat-alat intern
dari tubuh, akibat dorognan dari dalam/luar dan dikuasi oleh susunan syarat yang
otonom.
Freud

membagi

kecemasan

dalam

tiga

jenis


:

kecemasan

tentang

kenyataan/kecemasan objektif yang sumber bahasanya terletak di dunia luar dirinya.
Kecemasan neurotis yang bersumber dalam pemilihan objek secara naluriah dari id,
serta kecemasan moral yang sumber ancamannya adalah hati nurani dan system super
ego.
Pembahasan
Tokoh utama dalam Telegram adalah Daku. Suatu saat ia menerima secarik telegram
yang dikirim dari Denpasar, “ Ibu meninggal Cepat Pulang

titik.” Bagi Daku

telegram tersebut memiliki arti khuss, yaitu kabar tentang kesulitas keluarga dan
kecewanya atas pengembangan pulau Bali yang menjadi dasar budadayanya.
Banyak surat yang kuterima isinya malapetaka. Salahku juga. Aku
menganngangp surat-menyurat barang sepele. Jadi, dari pihak pengirimpengirim sudah ada kebiasasan: hanya hal-hal luar biasa saja yang pantas

diabadikan dalam sebuah surat. Teristimewa telegram. Dan hal itu yang lebih
istimewa dari semua rupanyanya yang bernama malapetaka (Wijaya, 1973 :
14).

4

Daku yang ingin memberontak terhadap pengekangan kebebasan individu
menjadikan kedatangan telegram tersebut sebagai sebuah malapetaka. Karena dengan
kematian ibunya mengharuskan ia menjadi kepala rumah tangga

besar dengan

berbagai macam kewajibannya.
Telegram kemudian menjadi delir dan kecemasan buat Daku. Gangguan bagi pikiran
dan perasaan membuat Daku berrusaha lari dari kenyataan. Dalam pelariannya Daku
terperangkap dalam kehidupan khayalnya di mana Rosa perempuan muda yang cantik
tampil sebagai kekasih yang amat mencintainya.
Aku ada janji dengan Rosa. Sebagaimana biasa aku menganggap setiap
perjumpaan dengannya adalah peristiwa resmi. Agar ia menjadi momen sejarah
yang manis kelak, aku pun menyiapkan diriku dalam keadaan yang paling sip.

Aku menghilangkan diriku dari segala macam profesi, untuk menjadi seorang
kekasih, seorang lelaki dengan daging dan nyali jantan (Wijaya, 1973 : 1).
Keintiman Daku dengan Rosa, sampai berhubungan tiga ribu kali, membuat ia jauh
dari realitas, padahal dalam kehidupan nyata ia pun mengumbar hasrat seksualnya
dengan Nurma, seorang penjaja seks.
Tidak hanya delir dan kecemasan yang mengangu kejiwaan Daku. Konflik kejiwaan
Daku diperparah oleh mimpi-mimpinyanya, terutama mimpi-mimpi bersenggama
dengan ibunya.
Aku bermimpi bersenggama dengan Ibu. Ini untuk kesekian kalinya. Tetapi
karena kini ibu sesudah meninggal, aku berusaha menolak mimpi itu. Ia
berkelanjutan juga dengan semena-mena. Untung saja aku segara tersadar.
Ternyata malam masih bersisa (Wijaya, 1973 : 40).
Selain menderita batin karena delir dan kecemasan, Daku mengalami Kompleks
Oedipus. Hal ini disebabkan kekecewaan pada Bapaknya yang menyebabkan ia
menjadi pengecut dan selalu lari dari tanggung jawab. Ia menganggap bapaknya
5

terlalu lurus dan selalu mengalah. Dunia mimpinya menunjukkan ia seorang penderita
Oidipus yang yang parah. Sebab ia sama seklai tidak berhasil melepaskan diri dari
dunia persesenggamaan dengan ibunya walau dalam kesadarannya ibu-nya sudah

meninggal. Menurut Freud, Kompleks Oidipus sebenarnya pada anak-anak umur tiga
sampai lima tahun. Dalam kasus-kasus normal, hal terseubt dapat diatasi dengan
identifikasi si anak kepad ayahnya. Si anak ingin seperti ayahnya yang ternyata dapat
merebut hati ibunya. Ia menyalurkan perasaanna lewat ayahnya, ayahnya menjadi
pelaksana keinginannya.
Kehadiran Sinta, anak pungut dari pasangan hubungan yang tak direstui, sedikitsedikit dapat menyadarkan dirinya pada kenyataan sesungguhnya. Rasa sayang dan
perhatian Sinta terhadap Daku membuat keindahaan dunia khayal yang dimilikinya
sedikiti purdar walaupu Daku sempat tertarik pada keelokan tubuh anak angkat
tersebut.
Caranya menarikku membuat aku menilai kembali sikap yang sudah
kutentukan untuknya. Meskipun sudah dapat kutindas perasaan bahwa ia
bukan darah dagingku, selalu terasa ada jarak. Ia akan menjadi seorang wanita
biasa dan aku seorang lelaki tua biasa. Cinta tidak wajar lagi (Wijaya, 1973 :
129).
Namun faktor internal dari Daku sendiri yang membuat ia dapat menghilangkan delirdelir dalam dirinya. Walaupun ia sendiri merasa tak dapat keluar dari dunia
khayayalnya.
Aku masih mencoba menanyai. Tak bisa lagi. Ia sudah diluar kekuasaanku. Ia
sudah di luar bayanganku. Ia bukan tokoh khayal lagi. Seorang wanita biasa
utuh dengan rahasianya, temperamennya maupun kemauannya untuk
melakukan keiginannya sendiri. Ia telah terlepas dari tanganku. Ajaib, setelah

tiga ribu kali pacaran, ia hidup dan bebas (Wijaya, 1973 : 117)

6

Delir-delir dan kecemasan buyar justru telegram sebenarnya telah datang dengan
berita yang sudah diketahui oleh daku.
Pintu diketok. Bibi keluar menjenguk, ia masuk lagi membwa secarik kertas.
Telegram. Hatiku bereaksi. Telegram di buku. Isinya seperti yang sudah kuduga. Ibu
telah meninggal (Wijaya, 1973 : 143)

Simpulan
Berangkat dari teks Telegram kita dapat menyimpulkan bahwa dalam novel ini delir
dan mimpi bergantian menggangu Daku tokoh utama dalam novel ini. Delir dan
mimpi membuat Daku mengalami perasaaan yang menyakitkan yang ditimbulkan
oleh ketegangan-ketegangan menanggapi telegram yang datang kepadanya.
Konfrontasi antara tokoh nyata dan tidak nyata semakin menimbulkan delir sehingga
ia tidak bisa lagi membedakan antara peristiwa yang terjadi di alam nyata dengan
imajinasi

yang hanya ada dalam benaknya. Konflik kejiwaan diperpaah oleh


perasaan Oedipus Kompleks akibat kekecewaan pada bapaknya.
Akhirnya, penulis beranggapan bahwa novel Telegram menampilkan

persoalan

psikologi tokoh utamanya yang cukup problematik dengan bagus dan menarik.
Keberhasilan novel ini tentunya menjadikan pengarangnya Putu Wijaya, tidak hanya
dikenal karena drama-dramanya tetapi dikenal juga karena novel-novelnya yang
membawa kebaruan.
Kepustakaan
Mahayana, Maman. dkk. 1995. Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern.
Jakarta : Grasindo
Prihatmi, Th. Sri Rahayu. 2001. Karya-karya Putu Wijaya : Perjalanan
Pencarian Diri. Jakarta : Grasindo.
7

Milner, Max.1992. Freud dan Interpretasi Sastra. (Apsanti, Ds. Dkk.—pent.)
Jakarta : Intermasa
Wijaya, Putu. 1973. Telegram. Jakarta : Pustaka Jaya.
Biodata Penulis
Ahmad Bahtiar lahir di Pedes 18 Januari 1976. Pendidikan sarjana di tempuh di PBS.
Indonesia, FKIP Unpak Bogor lulus 1994. Pendidikan Pascasarjana Sastra Indonesia
di UI selesai 2006. Kini mengajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk mata
kuliah Bahasa dan Sastra Indonesia.

8