MENCERMATI AKAR KULTURAL KEKERASAN DALAM (1)

MENCERMATI AKAR KULTURAL KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA
Oleh Agus Afifuddin *)

Abstraksi
Tulisan ini bermaksud untuk memahami dan mencermati akar kultural kekerasan dalam
rumah tangga. Selain itu juga untuk mengindetifikasi dan melacak faktor-faktor apa saja
yang kerap menjadi pemicu munculnya kekerasan rumah tangga tersebut. Disamping itu juga
untuk menemukan bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga serta dampak-dampaknya,
serta antisipasi dan alternatif pemikiran untuk memperkuat posisi istri dalam rumah tangga
sebagai pikiran banding memecahkan masalah kekerasan dalam rumah tangga.
Beberapa faktor yang teridentifikasi dalam artikel ini bahwa sebagian besar kekerasan
rumah tangga berakar dari kultur dan cara pandang budaya yang dominan di masyarakat.
Tampak dalam artikel ini budaya patriarkhi turut berkontribusi dalam melanggengkan
tradisi kekerasan keluarga. Selain itu artikel ini juga menunjukkan bahwa kekerasan yang
terjadi dalam rumah tangga bisa dipicu oleh rendahnya kepercayaan, adanya PIL, WIL,
ekonomi suami sulit, gaya hidup berbeda, dan suami atau istri berselingkuh. Bentuk-bentuk
kekerasan yang dialami oleh istri adalah kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan
seksual, dan kekerasan emosional (*)

Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Adalah tidak terbantahkan, setiap individu atau masyarakat menginginkan kehidupan yang
bahagia, sejahtera lahir batin dan memiliki keturunan. Tidak seorang pun di dunia ini yang
menghendaki kehidupan yang kering dan kesepian. Terlepas dari kelas sosial dan strata
ekonomi dan ideologi apapaun mereka, semua menghendaki kehidupan yang harmonis.
Kehidupan yang demikian, salah satunya dapat diwujudkan dengan membangun perkawinan
dan keluarga. Salah satu tujuan utama ikatan keluarga, adalah untuk mewujudkan kehidupan
yang bahagia dan sejahtera tersebut. Untuk itulah masyarakat mengenal institusi perkawinan
dan pernikahan atas landasan kasih sayang dan cinta kasih. Dalam Islam, pernikahan dan
ikatan keluarga adalah salah satu sunnah Rasul, yang dianjurkan bagi mereka yang sudah
mampu. Pernikahan, dalam Islam, berdimensi ibadah. Sedangkan dalam kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa, pernikahan, sebagaimana diatur dalam Undang-undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974, merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
harmonis. Ringkasnya, kehidupan perkawinan dalam rumah tangga, seharusnya membuat
suami dan istri nyaman, harmonis, bebas dari kekerasan. Namun dalam realitasnya, kerapkali
yang terjadi adalah sebaliknya. Kehidupan rumah tangga dan perkawinan justru terjebak
dalam rangkaian kekerasan. Antara suami, istri dan anggota keluarga yang lain tidak
terbangun harmonisitas. Inilah yang kemudian populer dengan istilah kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT). Kekerasan yang demikian tentu saja sangat bertolak belakang dengan tujuan
awal dibentuknya ikatan perkawinan itu sendiri.


Menurut Undang-undang Pencegahan KDRT No. 23 Tahun 2004, KDRT adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan penelantaraan rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Adapun bentuk-bentuk KDRT seperti disebut
di atas, dapat dilakukan suami terhadap anggota keluarganya dalam bentuk: (1) Kekerasan
fisik, yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat, (2) Kekerasan psikis, yang
mengakibatkan rasa ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak, rasa tidak berdaya, dll, (3). Kekerasan seksual, yang berupa pemaksaan seksual
dengan cara tidak wajar, baik untuk suami maupun untuk orang lain untuk tujuan komersial,
atau tujuan tertentu, dan (4). Penelantaran rumah tangga yang terjadi dalam lingkup rumah
tangganya, yang mana menurut hukum diwajibkan atasnya. Selain itu penelantaran juga
berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara
membatasi dan atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga
korban berada di bawah kendali orang tersebut
Berbagai bentuk kekerasan rumah tangga demikian itu pada urutannya kerap menimbulkan
berbagai dampak negatif bagi korban dan keluarga. Kekerasan fisik umumnya berakibat
langsung dan dapat dilihat mata seperti cidera, luka, cacat pada tubuh dan atau kematian.
Kekerasan emosional atau psikologis umumnya sulit terlihat dan jarang diperhatikan tetapi

membawa dampak yang jauh lebih serius dibanding bentuk kekerasan yang lain. Akibat
psikis ringan yang dialami antara lain ketakutan, perasaan malu, terhina dan terasing.
Sedangkan akibat psikis yang lain yang dialami antara lain perasaan rendah diri dan
kehilangan rasa percaya terhadap nilai-nilai keluarga (family values). Muaranya adalah kerap
terganggunya perkembangan mental para korban dan anak-anak dalam keluarga yang akan
menghambat potensi-potensi diri selanjutnya. Karena itu, kekerasan dalam rumah tangga
merupakan masalah bersama, yang harus segera ditangani dan dicari solusinya. Jika masalah
KDRT berlarut-larut, lambat dipecahkan dan ditangani serius, maka akan menimbulkan
dampak berkepanjangan. Disamping itu, kekerasan rumah tangga yang dibiarkan berlarut,
akan semakin rumit sehingga membutuhkan penanganan yang lebih kompleks.
Akar Kultural
Kekerasan dalam rumah tangga sudah menjadi fenomena sosial yang sering terjadi di semua
lapisan masyarakat, baik kelas ekonomi menengah atas maupun kelas bawah. Secara umum
kekerasan dalam rumah tangga bisa dialami oleh siapa saja baik itu perempuan maupun lakilaki. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa korban terbesar kekerasan dalam rumah tangga
lebih kerap menimpa pada pihak perempuan.
Akar penyebabnya juga beragam. Namun kalau dicermati, kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) banyak berakar pada masalah kultural. Dalam sebagian kultur masyarakat,
pertengkaran atau kekerasan oleh anggota keluarga adalah aib keluarga yang harus disimpan.
Bagi mereka tabu membicarakan internal keluarga kepada orang lain. Pandangan demikian,
tanpa disadarai kerap turut melanggengkan terjadinya kekerasan rumah tangga. Konstruksi

sosial sebagian kalangan juga menempatkan perempuan dan anak pada kelompok rentan.
Faktor-faktor kultural masyarakat (gender) yang demikian, tak pelak lagi, kerap turut
menyulitkan solusi atas masalah kekerasan dalam keluarga. Bukannya membantu, sebaliknya
malah meruncingkan kekerasan perkawinan. Apalagi ketika kultur yang berkembang bersifat
diskriminatif, adanya cara pandang atau ideologi yang menempatkan laki-laki lebih utama
ketimbang perempuan (patriarkhi). Pada urutannya diskriminasi demikian ini akan bermuara
pada timpangnya relasi keluarga, dimana istri hanya berperan dalam dunia domestik (rumah

tangga), sedangkan suami adalah pemimpin. Dapat juga karena faktor individual, dimana
dalam masyarakat, pihak laki-laki cendurang indentik dengan kekuasaan, laki-laki
ditakdirkan untuk berkuasa atas diri dan orang sekelilingnya.
Kekerasan dalam rumah tangga dapat dipicu akibat multifaktor. Kalau dicermati, ada
beberapa hal yang dapat menyebabkannya. Antara lain bisa karena masalah ekonomi,
kurangnya komunikasi, adanya WIL atau PIL, tidak ada kecococokan dengan mertua, rasa
ego yang tinggi terhadap istri yang bekerja, kurang harmonis hubungan seksual, umur
perkawinan yang masih muda, suami istri yang relatif masih muda, dan lainnya.
Komunikasi yang terganggu antara suami istri, pada urutannya juga dapat menjadi benih
yang akan menggerus kepercayaan antar mereka. Demikian pula masalah kedudukan dari
suami dan istri yang timpang, tidak jarang merupakan salah satu faktor memicu ketidak
sepahaman antar pasangan. Lalu timbulah benih-benih konflik keluarga.

Begitu juga masalah ekonomi, kerap dapat menjadi akar penyebab. Ketika sebuah keluarga
terhimpit masalah keuangan, sangat mungkin akan berujuang pada tindakan-tindakan
kekerasan. Demikin juga ketika sedang berkelebihan, tidak menutup kemungkinan akan
memicu sikap ego sektoral dalam rumah tangga.
Demikian juga dengan masalah seksual, kerap pula menjadi benih awal konflik keluarga.
Apalagi di sebagian masayarakat masih hidup pandangan sepihak dan sempit yang
menempatkan pihak istri adalah pihak yang subordinat, terbatas dalam hal urusan kasur dan
dapur. Perempuan, dalam konteks seksual, akibatnya kerap diminimalisir perannya secara
sempit.
Namun demikian, pandangan umum yang mendalilkan bahwa pelaku kekerasan rumah
tangga selalu adalah pihak suami, agaknya juga perlu diluruskan. Karena realitasnya tidaklah
demikian. Pada satu sisi memang tidak dapat dipungkiri bahwa kerapkali pihak perempuan
yang menjadi korban. Namun pada sisi yang lain tidak mustahil juga perempuan justru
menjadi pelaku kekerasan, meskipun kuantitasnya lebih rendah.
Gunung Es
Sejak diberlakukannya UU PKDRT No. 23 Tahun 2004, kekerasan rumah tangga bukan lagi
dipandang sebagai masalah domestik rumah tangga, melainkan telah memasuki ranah hukum.
Konsekwensinya, kini pelaku kekerasan keluarga dapat dijerat hukum dan dipidanakan. Dari
liputan media kita juga kerap membaca, sejumlah kasus kekerasan rumah tangga berakhir
dibalik jeruji penjara. Dengan penegakan hukum demikian, pemberlakuan UU KDRT tentu

saja diharapkan dapat menekan kemungkinan merebaknya kasus kekerasan rumah tangga.
Pertanyaannya, semenjak pemberlakuan UU KDRT ini, apakah berdampak terhadap
kecenderungan (trend) meningkatnya kasus kekerasan atau justru sebaliknya. Untuk
menjawab pertanyaan ini tentu perlu dilakukan penelitian yang lebih detail dan obyektif
sehingga didapatkan data yang aktual menyangkut angka statistik kekerasan rumah tangga.
Namun hal yang agaknya patut digarisbawahi adalah, fenomena kekerasan rumah tangga
agaknya tidak jauh dari fenomena “gunung es”. Artinya, kasus-kasus kekerasan yang
terdeteksi dan berujung di meja hukum hanya sebagian kecil saja dari fenomena besar di
masyarakat yang tidak terangkat ke permukaan. Kasus kekerasn saat ini mungkin saja justru
meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Hanya saja mungkin kasusnya tidak
dilaporkan oleh korban, dengan berbagai pertimbangan dan kekawatiran. Misalnya masih

munculnya ketakutan korban terhadap pelaku (suami) terutama faktor ekonomi karena jika
suami ditangkap maka akan mengancam kehidupan perekonomian keluarga. Selain itu juga
masih hidupnya pola pikir masyarakat yang menganggap hal tersebut sebagai urusan internal
keluarga yang mesti dipendam dan tabu untuk dibawa ke ranah publik.
Pada titik demikian, setidaknya terdapat dua perspektif besar untuk mengantisipasi dan
menekan kecenderungan merebaknya kasus kekerasan rumah tangga. Pertama, perspekti law
enforcement, yakni penegakan hukum terhadap pelaku dan perlindungan terhadap korban.
Pada poin ini pemberlakuan UU KDRT agaknya mesti diimbangi dengan sosialisasi intensif

ke masyarakat. Selama ini sebagian kalangan masih belum tersentuh oleh informasi ihwal
UU KDRT. Mereka masih mengangap sebagai urusan domestik keluarga. Padahal dengan
pengetahuan bahwa kekerasan rumah tangga merupakan ranah publik dan hukum, posisi
tawar korban akan lebih kuat; dan kedua, perspektif pemberdayaan ekonomi rumah tangga
perempuan. Dengan langkah ini maka posisi istri menjadi relatif lebih memiliki resitensi
terhadap kemungkinan tindak kekerasan karena posisinya yang kuat dalam institusi
perkawinan, baik secara ekonomi, sosial maupun emosional. Apalagi sebagian kasus yang
muncul akarnya adalah karena ketergantungan ekonomi perempuan terhadap suami.
Dengan dua langkah ini, setidaknya selain ancaman efek jera dan hukum, pencegahan
kekerasan juga dapat diantisipasi dengan aspek pencerahan terhadap paradigma yang keliru
di masyakarat tentang kepemimpinan dalam keluarga. Tentu tidaklah mudah merubah aspek
paradigma berfikir masyarakat semudah membalik telapak tangan. Apalagi ketika paradigma
tentang kekuasaan laki-laki yang dominan dalam rumah tangga tersebut sudah lama hidup
dalam masyarakat. Setidaknya, pada pihak suami, aspek pencerahan demikian menjadi
penting, bahwa posisinya sebagai kepala rumah tangga dalam sebuah keluarga haruslah bisa
bertindak adil dan bijaksana. Kekuasaan suami haruslah ditempatkan secara proporsional
tanpa harus bersifat sewenang-wenang dengan istri, apalagi melakukan kekerasan terhadap
istri. Karena hubungan suami dan istri pada dasarnya adalah dibentuk untuk mewujudkan
keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah, tanpa ada kekerasan***
wallahu a’lam bisshowab.

*) penulis adalah Ketua Umum PMD KAHMI Kutai Barat, Ka Kwarcab Pramuka Kab.
Kutai Barat, selain itu bersama kelompoknya aktif dalam pengembangan green economic and
culture society.