PERENCANAAN TATA RUANG LANSKAP DI PEDESA

A R T I K E L

Cut Augusta et al, Perencanaan Tata Ruang Lanskap Di Pedesaan

81

PERENCANAAN TATA RUANG
LANSKAP DI PEDESAAN
Perencanaan Tata Kelola Lahan Berskala Kecil
dalam sebuah Kerangka Hukum*
Oleh Cut Augusta Mindry Anandi & Chris PA Bennett1

Pendekatan lanskap penggunaan lahan yang berkelanjutan semakin banyak diterapkan. Tata
guna lahan semacam ini dipandang sebagai pendekatan yang mendukung pertumbuhan ekonomi.
Namun dalam penerapannya sering menghadapi tantangan. Ada banyak contoh kasus yang gagal
karena area yang sangat luas dan tidak terkendali, konflik lintas batas, biaya tinggi dan koordinasi
antar lembaga yang tidak memadai. Saat ini fokusnya pada pendekatan sub-lanskap yang memiliki
tiga tingkatan yurisdiksi zonasi tata ruang. Pertama, rencana tata ruang di tingkat kabupaten;
Kedua, berlandasan di dalam distrik, yurisdiksi pengelolaan penggunaan lahan; Ketiga, kelompok
desa yang berada pada lingkungan biofisik serupa dalam wilayah kabupaten dan semua tanah
negara dan swasta. Penerapan dari pendekatan ini seperti proyek USAID-LESTARI di Aceh dianggap

strategis untuk pembangunan konservasi dan ekologi dalam lanskap yang lebih luas.
Kata kunci: Indonesia, tata ruang bentang alam, pemetaan partisifatif, perencanaan wilayah
desa, titik balik, pembagian wilayah, alokasi pemanfaatan lahan

I

ndonesia merupakan satu dari
beberapa negara di dunia yang kaya
akan keanekaragaman hayati, dengan
simpanan karbon dan lahan gambut. Dari
perspektif lanskap, kawasan hutan dan
*

1

Berdasarkan makalah “Upstream to Downstream:
Jurisdictional Sub-Landscape Approach Towards
Sustainable Land Use Planning” disajikan pada
Konfrensi Tahunan Bank Dunia berjudul Tanah
dan Kemiskinan Dengan tema”Responsible

Land Governance: Towards an Evidence-based
Approach”, Washington DC 20-34 March 2017
Cut Augusta MA, Sustainable Land Use Planning
Coordinator, LESTARI-USAID; Chris Bennett, Forestry & Land Use Governance, USAID-LESTARI
Indonesia, chris.bennett@lestari-indonesia. org.

A R T I K E L

lahan gambut berada paling banyak di
Pulau Sumatra, Kalimantan, dan Papua.
Jika ketiga pulau tersebut digabung akan
menjadi kawasan dengan simpanan
karbon terbesar di wilayah iklim tropis
(Betha et al. 2013; Page et al. 2010) dan
hutan hujan tropis ketiga terbesar tersisa
di dunia (Broich et al. 2011). Hingga kini,
ancaman deforestasi dan degradasi terus
terjadi di kawasan-kawasan strategis ini
dari berbagai aktifitas dari sektor swasta
yang mencakup aktifitas pertambangan,

ekspansi agroindustry, dan penebangan
kayu dan juga dari pihak masyarakat
setempat dengan kegiatan cocok tanam.

82

Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

(Chomitz dan Griffiths 1996; Hansen et
al. 2010; Sunderlin et al. 2005).
Berbagai LSM, instansi pemerintah
dan pihak swasta, berupaya untuk
mencapai titik temu dalam pendekatan
atau kebijakan yang paling mungkus
untuk menyeimbangkan kepentingan
pelestarian alam dan pembangunan..
Lambin dkk. (2014) berpendapat bahwa
intervensi efektif harus dapat mengimplementasikan rencana yang menghasilkan perubahan positif di tingkat dasar.
Pendekatan berbasis lanskap dianggap
dapat memberikan solusi yang saling

menguntungkan seumua pemangku
kepentingam dalam bidang pengelolaan
penggunaan lahan. Pendekatan ini terus
digunakan pemerintah, LSM, dan sektor
swasta sebagai sarana untuk mencapai
pembangunan yang berbasis penggunaan
lahan secara berkelanjutan (Proforest
2016). Proyek pengembangan konservasi
terintegrasi atau Integrated Conservation Development Project (ICDP) dan
proyek Restorasi Bentang Alam (Forest
Landscape Restoration - FLR) adalah
contoh proyek yang memprioritaskan
setiap pemangku kepentingan di dalam
dan di sekitar wilayah lanskap yang
terkena dampak sebagai bagian dari
upaya penyadaran, meskipun dengan
tingkat kesuksesan yang berbeda (Sayer
2005; Dudley dkk. 2005).
Instansi pemerintah Indonesia sesungguhnya telah berpengalaman menerapkan pendekatan lanskap, meskipun
dengan target sectoral yang konvensional. Sebagai contoh, Kementerian

Lingkungan dan Kehutanan (KLHK)
mengidentifikasi daerah aliran sungai
(DAS) untuk delineasi wilayah adminis-

trative bagi pengelolaan lahan hutan.
Demikian pula Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) yang
mempertimbangkan konektivitas lintas
batas kabupaten dan provinsi dalam
upaya pembangunan infrastruktur dan
pembangunan secara umum. Dan contoh
terakhir, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa) membuat gugusan
desa berdasar potensi komoditas pertanian, wisata, dan arah pembangunan.
Namun demikian, pendekatan
lanskap tidak terbebas dari kontroversi.
Secara positif, pendekatan ini lebih
berpeluang memberikan pertumbuhan
ekonomi dan pembangunan bersamaan
tugas menjaga kelestarian hutan dan
pengelolaan sumber daya alam untuk

pemenuhan kepentingan semua pihak;
masyarakat setempat, pihak swasta, dan
pemerintah (Reed et al. 2016). Pendekatan ini mengakui setiap pemangku
kepentingan untuk semua jenis penggunaan lahan (Perhutanan, hutan tanam,
pertanian) di dalam dan di luar lingkup
wilayah, bagaimana para pihak dapat
saling berhubungan dan memanfaatkan
satu sama lain (Sayer et al 2013; Frost et
al 2006). Pendekatan ini diakui memiliki
keunggulan dalam mengidentifikasi dan
mengatasi masalah-masalah kolektif yang
kerap terjadi di area tertentu.
Sebaliknya, ada tantangan dalam
implementasi pendekatan ini. Salah
satunya adalah pengelolaan kawasan
lintas batas yang luas. Pengumpulan data
di wilayah yang luas dan berbeda karakteristik dan variasi adalah sulit (Groot
dkk., 2010). Dengan sistem desentralisasi
di Indonesia, masih terdapat egosektoral,
A R T I K E L


Cut Augusta et al, Perencanaan Tata Ruang Lanskap Di Pedesaan

dimana pemerintah di tiap wilayah administratif bekerja secara egosentris
dengan kepentingan dan kewenangan
yang berbeda-beda. Tantangan lainnya
terkait dengan komitmen dan waktu yang
tidak sebentar (Dudley et al. 2005).
Masyarakat yang tinggal di pinggir
hutan, misalnya, masih melakukan
praktek berladang dengan cara “tebasbakar”, karena itu penyuluhan intensif
untuk meningkatkan kesadaran harus
diprioritaskan untuk mengubah sikap
dan kebiasaan agar lahan dapat dimanfaatkan dengan lebih baik. Selanjutnya,
membangun kerjasama antara pemangku
kepentingan turut membutuhkan kerja
keras agar tidak semata-mata dan selama
usia proyek yang biasanya terbatas lima
sampai sepuluh tahun. Di banyak kasus,
ketika masa proyek berakhir, masih ada

kesenjangan pemahaman tentang proyek
di antara instansi pemerintah dan masyarakat sehingga initiative tidak berlanjut.
Makalah ini mencoba membahas
pendekatan pendekatan berdasarkan
lanskap berskala kecil, pada tahap sublanskap yang dilakukan sebagai bagian
dari proyek USAID LESTARI (20152019). Dimana saat ini USAID LESTARI
melakukan intervensi di tiga provinsi di
Indonesia, yaitu Lanskap Leuser di
Provinsi Aceh, Lanskap KatinganKahayan di Kalimantan Tengah, dan
dataran rendah Papua, terutama dataran
rendah Lorenz dan Mappi-Boven Digoel,
masing-masing dengan variasi tanah kaya
mineral, lahan gambut, dan area gambut.
Tiap lanskap dicirikan dengan mata
pencaharian utama dan masalah biofisik,
seperti, kebakaran hutan dan lahan
gambut di Kalimantan Tengah, sumber
A R T I K E L

83


daya air di Aceh, dan masyarakat tradisional di Papua.
Pembahasan tulisan ini di fokuskan
pada lanskap Leuser Aceh, 70% dari
total arealnya yang masih berupa hutan,
meskipun kawasan hutan terus menghadapi ancaman di sekitar pinggirannya.
Sejak awal tahun 1970-an, hutan nasional sudah dibagi fungsinya, untuk hutan
produksi, hutan lindung, dan Taman
Nasiomal Gunung Leuser (TNGL)
ditetapkan pada tahun 1980-an. Dari
sudut pandang lanskap, wilayah resapan
air memainkan peranan penting dalam
menentukan batas administrative untuk
Kesatuan Pengelola Hutan (KPH III, V,
dan VI), dan merupakan sumber kehidupan masyarakat (perikan air tawar,
kegiatan pertanian) dan air minum.
Namun, Karena pengelolaan tata guna
lahan yang buruk di daerah resapan air,
termasuk hutan, mau tidak mau, banjir
dan longsor menjadi bencana tiap tahunnya. Di Aceh, semua desa terletak di

hilir sungai dan di sekitar wilayah hutan.
Banjir dan longsor menjadi perhatian
pemangku kepentingan lokal, sementara
kekhawatiran pemerintah mencakup
penebangan liar dan meningkatnya
jumlah pengusaha kecil yang tertarik
untuk mengubah lahan kelolanya menjadi kebun kelapa sawit.
Dengan pembahasan ini diharapkan
dapat memberikan gambaran tentang
tahapan proses intervensi di lokasi pilot
sehingga dapat direplikasi khususnya
pada wilayah dengan kondisi biofisik dan
social yang mirip. Terutama suatu
kegiatan yang bertujuan untuk pembangunan beremisi rendah dan perlindungan keanekaragaman hayati.

84

Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

PETA ACEH


A R T I K E L

Cut Augusta et al, Perencanaan Tata Ruang Lanskap Di Pedesaan

Implementasi kegiatan di lakukan di
tingkat desa yang berbatasan dennen
kawasan hutan. Desa-desa dipilih berdasarkan kedekatan lokasi dan isu atau
potensi serupa seperti perlindungan
daerah aliran sungai. Di kebanyakan, sisi
pembangunan desa di perbatasan hutan
cukup lamban. Budaya subsisten masyarakat ini terfokus pada kebutuhan jangka
pendek dan tidak memiliki rencana masa
depan. Pada saat yang sama, mereka
mengalami kesulitan mendapatkan
pendampingan untuk praktik pertanian
yang baik, dan panduan untuk memperbaiki desa, karena komunitas ini kebanyakan berada di daerah terpencil.

PRINSIP PENDEKATAN
BERBASIS LANSKAP
Dalam memahami berbagai tantangan
dan potensi pendekatan lanskap dalam
usaha menyeimbangkan kebutuhan mata
pencaharian, konservasi, dan pembangunan, maka mengidentifikasi elemenelemen dasar yang akan mendukung
perbaikan jangka panjang pada pengelolaan penggunaan lahan di lapangan
sangatlah penting. Dimulai dari “rencana
di atas kertas” kemudian direalisasikan
kedalam penerapan secara pragmatis dan
bertahan lama. Pendekatan tersebut
dilakukan dalam kerangka kerja berdasarkan tiga tingkatan dasar yurisdiksi
zonasi tata ruang - yang Pertama, rencana tata ruang di tingkat kabupaten;
Kedua, yurisdiksi pengelolaan lahan,
termasuk kawasan produksi maupun
konservasi dan tanah negara maupun
pribadi, dan; Ketiga, gugusan desa
dengan karakteristik biofisik yang
A R T I K E L

85

serupa. Dalam implementasinya, setidaknya ada lima prinsip kerja yang perlu
ditaati (Bennett & Suhardi 2017)
Konektifitas antar Sektor
Pentingnya melakukan kerja sama
dengan berbagai pihak yang memiliki
kepentingan yang berbeda (instansi
pemerintah lintas sector, masyarakat dan
pelaku bisnis) dalam pembangunan
adalah suatu keniscayaan. Pembentukan
Forum Multipihak atau MultiStakeholder Forum (MSF) dilakukan
sebagai langkah awal. MSF baik di skala
kecil tingkat desa maupun lebih besar
dengan fungsi memupuk pemahaman,
rasa hormat dan kepercayaan di antara
anggota. Forum ini merupakan wadah
yang terbuka dimana pemangku kepentingan dapat mengungkapkan pendapat,
bertukar informasi, mengajukan solusi
untuk mencapai titik temu dalam pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam.
Peran penting MSF cukup signifikan pada
salah satu kasus proyek Bank Dunia,
PLANAFLORO di Rondonia, Amerika
latin pada tahun 80-an (Mahar and
Ducrot, 1998). Proyek itu menerapkan
pendekatan zonasi untuk memperbaiki
pengelolaan tata guna lahan pada daerah
pinggiran hutan. Pada prosesnya, proyek
ini memberikan pesan bahwa kerjasama
antara pemangku kepentingan (pemerintah, masyarakat yang terdampak,
pemegang izin, dan pemangku kepentingan di luar jangkauan proyek) sangatlah penting. Meningkatkan komunikasi,
pertukaran informasi, dan kerjasama
antara pemangku kepentingan dapat
mengurangi kesalahpahaman dan pengaruh negatif dari pihak luar.

86

Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

Contoh lainnya adalah forum MSF
untuk pengelolaan DAS. Dimana anggota perlu sepaham bahwa DAS adalah
suatu ekosistem tersendiri dan berjasa
pada kehidupan. Forum tersebut dapat
menjadi sarana untuk menyatukan
pemahaman bahwa baik dan buruknya
kualitas DAS akan mempengaruhi
kehidupan masyarakan di hilir. Karena
itu, MSF menjadi wadah yang dapat
mendorong semua pihak untuk menyadari bahwa kegiatan produksi yang
bersifat ekstraktif di hulu kelak berkontribusi pada bencana di hilir, seperti
banjir, tanah longsor dan kekeringan.

terkait dan para ahli.
Inisiatif yang ditetapkan harus sedapat mungkin menghindari penyusunan
program dan rencana baru yang mungkin
tidak sesuai dengan instrumen yang ada,
yang belum tentu segera diterima oleh
pemerintah daerah. Terutama di negaranegara dengan sistem desentralisasi, unit
otonom yang menjalankan pemerintahan
dan pembangunan di tingkat lokal memiliki kewenangan dalam mengatur
peraturan dan mungkin berbeda dengan
pemerintah pusat. Prinsip kedua ini
menuntun kita ke tahap selanjutnya dari
pendekatan sub-lanskap.

Kenali Instrumen Perencanaan
yang Ada
Langkah strategis ini untuk mengenali berbagai peraturan dan instrumen
perencanaan yang ada. Di Indonesia,
instrument-instrumen perencanaan
tersebut wajib ada tingkat Nasional,
Provinsi, Kabupaten hingga desa dan
sudah ditentukan fungsinya dimana
memiliki prioritas pembangunan yang
berbeda2. Misalnya, menurut sudut
pandang sectoral, terdapat rencana yang
terfokus pada tata kota dan pengelolaan
hutan disusun sebagai acuan pembangunan jangka menengah dan panjang.
Proses membuat instrument ini telah
melalui Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang dilakukan secara
partisipatori oleh instansi pemerintah

Sesuaikan dengan Yurisdiksi
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya instrumen-instrumen perencanaan adalah pedoman resmi pemerintah
dalam pembangunan. Rencana tata ruang
provinsi dan kabupaten adalah yang
utama di Indonesia karena memberikan
arahan rencana pembangunan dan
alokasi wilayahnya (kawasan industry,
kawasan pertanian, kawasan permukiman, kawasan hutan, perlindungan
DAS, dan sebagainya). Pada tingkat
mikro di wilayah dengan alokasi kawasan hutan secara khusus pengelolanya
memiliki kewenangan tersendiri. Pengelolanya adalah KPH yang mengatur
kawasan lindung dan produksi; dan
BKSDAE yang mengatur taman nasional.
Masing-masing pengelola memiliki
rencana tata ruang tersendiri dan tipe
pengelolaan yang berbeda. Terlepas dari
perbedaan pengelolaan dan kewenangan, maka secara umum pengelolaannya dikoordinasikan dengan pembuat
keputusan tingkat nasional yang terkait.

2

Instrumen perencanaan diantaranya Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP),
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota
(RTRWK), Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Desa (RPJMDES)

A R T I K E L

Cut Augusta et al, Perencanaan Tata Ruang Lanskap Di Pedesaan

Harmonisasi proyek intervensi
dengan rencana pembangunan pemerintah yang jelas akan memberikan kekuatan hukum agar dampaknya dapat
bertahan paska proyek. Berpatokan pada
hirarki wilayah Kabupaten, yurisdiksi
pengelolaan penggunaan lahan, baik yang
berada di lahan negara untuk konservasi
atau produksi yang berada di tanah
negara maupun lahan pihak swasta. Di
daerah-daerah perbatasan hutan, pembangunan yang sesuai dengan instrumen
yang ada akan membantu upaya perbaikan tata guna lahan dan hutan. Pada
tahun 1970-an, kawasan hutan di zonasikan di atas kertas berdasarkan tutupan
vegetasi dan keadaan biofisik. Dalam
prosesnya, alokasi yang dibuat tidak
disertai dengan pengakuan formal bagi
masyarakat yang sudah tinggal di kawasan tersebut. Hal ini menyebabkan
berbagai masalah muncul terkait ketidakpastian tenurial, terutama pada
penggunaan lahan masyarakat untuk
pertanian dan penggembalaan di dalam
zona-zona hutan. Partisipasi masyarakat
dan harmonisasi dengan instrument yang
ada dapat memperbaiki pembagian batas
desa, penggunaan lahan, dan pembangunan desa yang sesuai.
Mengembangkan Kumpulan subLanskap dalam Lanskap.
Cakupan wilayah kerja dapat menentukan keberhasilan suatu proyek intervensi. Suatu lanskap dapat merupakan
satu kesatuan yang terkoneksi dari
ekosistem, hutan, koridor spesies, DAS,
dan komoditas agrikultur. Tanpa
delineasi yang tegas, wilayah cakupan
akan menjadi terlalu besar dan tidak
A R T I K E L

87

terkontrol. Fokus pada sub-lanskap,
dapat memberikan prioritas yang spesifik
bertujuan untuk mengatasi masalah yang
paling mendesak di wilayah target yang
memiliki unsur konektivitas yang kuat
dengan elemen-elemennya. Ukuran sublanskap harus cukup kecil agar dapat
dikelola secara efisien dan menemukan
sinergi antar aktifitas namun wilayahnya
harus cukup besar sehingga dapat direplikasi. Misalnya, pembentukan kawasan
perdesaan yang terdiri dari lima sampai
sepuluh desa yang saling tergantung
terhadap manfaat lingkungan dari DAS di
dalam kabupaten yang sama yang mendukung mata pencaharian yang
berkelanjutan.
Verifikasi dan Akuntabilitas
Dampak Lanskap
Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan data penggunaan lahan yang akan
digunakan untuk menjustifikasi, memantau dan verifikasi yang lebih baik untuk
pengambilan keputusan di tingkat tapak
dan tingkat atas, yang terkait dengan
penggunaan lahan. Salah satu isu utama
yang tersisa di daerah tropis adalah
konflik pada penggunaan lahan karena
alokasi hutan di perbatasan hutan
(Barbier and Burgess 1997), dan
ketidakpastian tenurial (Larson dkk
2013), dan tata pemerintahan yang
lemah (Lambin dkk 2014), yang juga
terjadi di Indonesia (Departemen
Kehutanan 2008).
Sinergi antara rencana pembangunan
pemerintah dan intervensi menjadikan
proses verifikasi dan akuntabilitas tata
guna lahan yang transparan. Berbagai
data dan indikator dapat diakses oleh

88

Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

publik untuk menunjukkan proses,
kemajuan,dampak berbasis hasil. Hal
tersebut penting bagi berbagai pihak
khususnya pemegang ijin dan pemberi
ijin pemanfaatan lahan agar mengetahui
informasi terkait kondisi lanskap. Sebagai contoh, adanya data titik api, bekas
kebakaran, pembangunan jalan yang
tidak seharusnya, dimana data-data yang
tersedia dapat membuat perbandingan
antar yang non-faktual (spasial) dengan
data dasar (Temporal). Tantangannya
adalah jika data dan indikator berbeda
metodenya, maka tidak diakui oleh
pembuat kebijakan sebagai capaian yang
ditargetkan.
Pada skala yang lebih kecil, proses ini
bisa dimulai di desa yang berada sekitar
hutan. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan, masyarakat harus mendorong proses perencanaan tata ruang
desa. Melibatkan perwakilan pihak
swasta, masyarakat dan pemerintah
untuk meluruskan pengelolaan pemanfaatan lahan yang bertubrukan, merupakan pendekatan untuk perbaikan data
geospasial tata guna lahan yang lebih
baik dimana dapat menyelesaikan sengketa lahan

IMPLEMENTASI TINGKAT
SUB-LANSKAP KAWASAN
DESA SEBAGAI MODEL
YANG DAPAT DIREPLIKASI
Lima prinsip di atas melandasi tiga
jenjang yang saling terkait pada proses
implementasi yang dilakukan secara
paralel pada tingkat sub-lanskap. Dengan
demikian, kerangka kerja ini menerapkan tiga tingkatan yurisdiksi zonasi

perencanaan tata ruang dasar di lokasi
pilot. Kegiatan dilakukan pada sublanskap kawasan desa karena
keterikatan masyarakat.
Dinamika komunitas desa pinggir
hutan dengan budaya, kepercayaan dan
lokasi tempat tinggal dapat
mempengaruhi bagaimana masyarakat
desa memperlakukan lingkungannya,
sebagai pelindung atau sebaliknya(Colfer
dkk.1996). Bagi masyarakat yang tinggal
di hutan, terdapat persepsi mereka
untuk melindungi hutan sebagai bagian
dari hubungan spiritual, dan number
mata pencaharian seperti hasil hutan
bukan kayu (HHBK). Juga terdapat
masyarakat yang reaktif, mengaggap
hutan berfungsi untuk pemenuhan
kebutuhan dan peningkatan pendapatan,
Membuka hutan untuk produksi pertanian masih banyak dilakukan, seperti
praktik pertanian tradisional berladang,
yang melakukan tebang dan bakar
karena terbatasnya pengetahuan tentang
teknologi pertanian (Padoch dkk., 1998).
Selain itu, pembukaan hutan juga merupakan bagian dari cara untuk melakukan
klaim atas lahan di daerah hutan (Fox
dkk., 2009; Angelsen, 1995). Persepsi
yang saling bertentangan ini dapat terjadi
di satu sub-lansekap yang sama sehingga
mengarah pada konflik lahan antar
berbagai pihak yang terus menerus.
Jenjang satu - Perencanaan tata
ruang kawasan perdesaan
Desa merupakan yurisdiksi paling
rendah dalam hierarki pemerintahan di
Indonesia. Terdapat sekitar 75.000 desa
yang turut menjadi unit paling penting
dalam pembangunan sosial dan ekonomi
A R T I K E L

Cut Augusta et al, Perencanaan Tata Ruang Lanskap Di Pedesaan

di Indonesia. Pada wilayah yurisdiksi
desa terdapat tanah negara yang dua per
tiganya berstatus kawasan hutan negara
dan tanah swasta/pribadi. Pada tahun
2013, dikeluarkan keputusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 35 turut mengakomodasi pengakuan penunjukan tanah
adat. Karena itu tata ruang memberikan
wadah untuk pembagunan desa yang
terarah. Dalam konteks peraturan,
perencanaan tata ruang dalam desa
tertuang dalam undang-undang3 dan
peraturan menteri4.
Idealnya, rencana pembangunan di
desa harus terkait dengan rencana
pembangunan di kabupaten/kota induk.
Ini terkait sebagai perangkat yang digunakan untuk mendukung proses pembangunan yang terfokus dan tepat sasaran.
Ironisnya, rencana pembangunan kerap
kali tidak terhubung satu sama lain,
sehingga memperlambat proses pembangunan. Salah satu contoh penting dari
perangkat pembangunan di tingkat desa
di Indonesia adalah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa
(RPJMDes). RPJMDes wajib disusun dan
dirumuskan sebagai acuan daam menentukan alokasi dana desa. Pemerintah
kabupaten menggunakan RPJMDES
untuk pertimbangan program dan dana
yang dibutuhkan desa. Terkait pemanfaatan dana, desa cenderung fokus pada
kebutuhan saat ini seperti perbaikan
3
4

Undang-undang No.6/2014 Tentang Desa
Terdapat dua peraturan kementrian: a.
Kementerian Dalam Negeri 114/2014 Tentang
Pedoman Pembangunan Desa, b. Kementerian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi 21/2015 Penetapan Prioritas
Dana Desa Tahun 2016

A R T I K E L

89

prasarana dan prasarana umum seperti
akses transportasi, atau balai pertemuan
masyarakat. Terkadang aktifitas ini
semakin mendorong pembukaan lahan
hutan.
Dalam implementasi proyek,
RPJMDES menjadi pintu masuk kegiatan
di desa. Hal ini merupakan langkah
strategis, karena pemerintah Indonesia
mewajibkan setiap desa memiliki rencana pembangunan enam tahun ke depan
yang diakomodir dalam dokumen
RPJMDES. Dalam penyusunannya proyek
intervensi membantu desa dalam pendampingan masyarakat, dan menyadartahukan adanya keterkaitan pembangunan desa dengan perlindungan dan
pengelolaan hutan dan laan seperti
kegiatan pemantauan hutan, meningkatkan komoditas pertanian yang akan
mendukung konservasi hutan, kegiatan
perlindungan DAS atau kegiatan siaga
bencana.
Sebagai masukan untuk perencanaan
tata ruang desa dalam RPJMDES, Proyek
Lestari juga melakukan pemetaan partisipatif untuk zonasi desa. Zonasi tersebut
merupakan upaya untuk mengendalikan
pemanfaatan lahan di sekitar daerah
aliran sungai dan kawasan hutan. Menurut FAO, zonasi bertujuan “memisahkan
area dengan potensi dan kendala pembangunan yang serupa.” Proses ini bertujuan untuk meningkatkan pengelolaan
penggunaan lahan sebagai fokus utama,
ada peningkatan kebutuhan untuk
pengendalian penggunaan lahan lebih
lanjut di tingkat masyarakat pedesaan,
untuk mendefinisikan ulang dan meninjau kembali zona hutan yang ada yang
ditetapkan oleh negara untuk tata kelola

90

Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

hutan oleh KPH dan BKSDAE. Pemanfaatan lahan dan kesepakatan zonasi
yang disetujui akan memperlambat
dampak negatif pada kualitas daerah
aliran sungai dan mendukung keseimbangan lingkungan alam sekitar (Lee
2009).
Proses partisipasi sangatlah penting
dalam kegiatan zonasi. Perencanaan tata
ruang dan rencana pembangunan partisipatif akan menampung informasi dalam
konteks lokal dan untuk mendapatkan
dukungan langsung dari masyarakat
(Valencia -Sandoval 2010). Negoisasi
zonasi di masyarakat merupakan pendekatan yang digunakan dalam perencanaan penggunaan lahan sebagai bagian
dari REDD+ untuk mendorong pengelolaan sumber daya berkelanjutan di
Laos ( Bourgoin dkk 2012). Di daerah
tangkapan air Konto Atas di Indonesia,
kebijakan zonasi di desa dilakukan untuk
mendukung petani dalam intensifikasi
lahan berdasarkan teori land sparing dan
land sharing, (penyisihan dan pembagian
lahan). Partisipasi masyarakat dalam
zonasi membantu menangkap perbedaan
ide dan penetapan zona lahan berdasarkan skenario yang dibuat oleh masyarakat yang mencerminkan hasil biofisik,
tenaga kerja dan nilai ekonomi (Lusiana
et al 2012). Hal ini sesuai dengan arahan
pemerintah melalui Peraturan Menteri
Dalam Negeri 114/2014 tentang pembangunan desa, yang menekankan partisipasi masyarakat, dalam pengumpulan
informasi, rencana pengembangan
program, dan perencanaan tata ruang
desa yang memprioritaskan optimalisasi
penggunaan lahan, mempertimbangkan
nilai-nilai ekonomi, timbal balik terha-

Tabel 1 Daerah Aliran Sungai di Aceh
Barat Daya beserta luasannya
Daerah Aliran Sungai
(DAS)

Luas
(Ha)

a. DAS Seumayam

35.438,51

b. DAS Manggeng

38.083,08

c. DAS Susoh

24.789,51

d. DAS Batee

89.893,93

dap dampak lingkungan, dan mengidentifikasi tantangannya.
Sebagai lokasi pilot, dua desa terpilih
yaitu Babah Lhung dan Alue Selasih di
Kabupaten Abdya5. Kedua desa memiliki
cakupan hutan terluas di Abdya (Aceh
Barat Daya). Fokus kegiatan adalah
zonasi pengelolaan lahan dan hutan yang
berbasis DAS. Kedua desa mencakupi
lahan swasta dan kawasan hutan negara
untuk produksi, perlindungan dan
konservasi. Sedangkan kondisi DAS di
wilayahnya, yaitu DAS sangat penting
untuk kemaslahatan di hulu desa hingga
hilir, yang merupakan ibukota kabupaten
Aceh Barat Daya (ABDYA)
Di tingkat kabupaten, terdapat empat
DAS di Abdya (lihat Table 2). Intervensi
dilakukan di DAS Susoh, salah satu DAS
utama yang menghubungkan Taman
Nasioal Gunung Leuser, KPH V dan
kawasan perkotaan Blangpidie di Kabupaten Abdya. DAS Susoh juga merupakan bagian dari kawasan irigasi kewe5

Gampong Babah Lueng memiliki total luasan
sekitar 44.604ha, dan Gampong Alue Selasih
37.787ha (perhitungan berdasar software
pemetaan ArcGIS).
A R T I K E L

Cut Augusta et al, Perencanaan Tata Ruang Lanskap Di Pedesaan

nangan nasional. Pengelolaan di sekitar
DAS Susoh dapat menjadi model yang
ideal yang terkait dengan biofisik Leuser
yang lebih luas dalam kabupaten Abdya
dan berpotensi memperoleh dukungan
politis untuk direplikasi.
Kegiatan zonasi dilakukan dengan
pendampingan intensif tim di desa dan
konsultasi rutin dengan perwakilan
apparat pemerintah dan pemuda desa,
dinas terkait serta KPH dan TNGL.
Sejauh ini, selain koordinasi di desa,
sekitar 50 kepala desa di DAS Susoh
telah bertemu untuk memastikan masyarakat memiliki visi yang sama mengenai
pendekatan yang digunakan.
Tim di desa terdiri dari para pemangku-kepentingan yang dapat mengajak
masyarakat untuk berkolaborasi. Kehadiran masyarakat akan mendukung
kualitas zonasi yang kaya dengan pemahaman budaya setempat, yang mungkin
sudah menerapkan penataan ruang
secara adat. Tim menggali tata wilayah
adat yang diterapkan tetapi tidak disadari
masyarakat sebagai tata ruang. Sebagai
contoh, lokasi yang dikeramatkan dan
dilarang untuk melakukan kegiatan
apapun dan kawasan untuk kegiatan
berburu, dan lokasi yang tidak boleh
dibuka/ditebas. Informasi seperti ini
akan sangat bermanfaat untuk membangun pemahaman yang sama di antara
anggota tim agar memperoleh dukungan
dari masyarakat. Membawa informasi ini
pada proses zonasi dapat mengangkat
pengelolaan lahan saat ini untuk rasionalisasi tata wilayah yang valid. Sebagai
tambahan, hal ini dapat membangun rasa
kepemilikan dari masyarakat. Tim ini
adalah perumus yang melakukan analisa
A R T I K E L

91

informasi yang diberikan dari pertemuan
warga (dijelaskan berikut), melakukan
penelusuran lapangan, menganalisa dan
yang akan memantapkan zonasi hingga
finalisasi. Dalam proses zonasi ini kami
lakukan pertemuan sebanyak lima kali
dalam periode lima Bulan.
Secara paralel, juga diselenggarakan
pertemuan kelompok dimana peserta
dibagi ke dalam beberapa kelompok
yang mewakili kelompok perempuan,
lansia, pemuda, dan petani. Pertemuan
ini dimaksudkan agar para peserta
mendapat gambaran keterkaitan antara
kehidupan masyarakat, rencana pembangunan desa dan kelestarian lingkungan
(misalnya kualitas aiar sungai, hutan dan
kualitas lahan). Tiap kelompok membuat
tabel identifikasi ruang di desa, pemanfaatan lahan di desa (hutan adat, hutan
keramat, HHBK, habitat spesies tertentu, pertanian), kawasan yang secara
historis berbahaya, tempat-tempat
penting di desa, lokasi kegiatan mata
pencaharian, kapasitas kawasan dengan
menggunakan bahasa daerah setempat.
Berdasarkan peta tersebut, tiap kelompok membuat analisis kondisi dari tiap
penggunaan lahan tersebut, apakah ada
bencana yang terjadi di kawasan tersebut, apa elemen yang terpenting pada
kawasan tersebut (seperti sungai, bukit,
bakau, lahan gambut), potensi yang ada,
dan bagaimana hal-hal itu mempengaruhi
kehidupan kita. Dalam pertemuan ini
Tim menggunakan citra satelit yang
tersedia untuk membantu visualisasi.
Karena kedua desa cukup luas untuk
mencapai wilayah hutan, maka digunakan beragam citra satelit baik dengan
resolusi tinggi (30cm) dan rendah (30m)

92

Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

GAMBAR 3 Proses Pemetaan dengan Kelompok Perempuan

sehingga sebagian besar lokasi dapat
dijangkau. Hampir semua pemukiman
desa dan pertanian aktif dicakup oleh
citra dari World View (30cm) tahun
2014 dan 2016 yang diperoleh dari hibah
NASA. Sedangkan wilayah pertanian
hingga hutan yang tidak ter-cover,
menggunakan LANDSAT (30m) tahun
2017, Sentinel (10m) tahun 2017.
Selanjutnya, tim desa berperan aktif
dalam proses pembuatan zonasi. Dalam
tiap pertemuan tim desa didorong untuk
menyuarakan pendapat masyarakat baik
yang pro-dan –kontra dari zona yang
diusulkan karena mungkin dapat berdampak pada kepentingan masyarakat.
Tabel prioritas disusun untuk mencatat
hasil diskusi yang terjadi. Penelusuran
lapangan dilakukan untuk memastikan
bahwa visualisasi komunitas mewakili
kenyataan yang ada di lapangan.

Tahap selanjutnya adalah memproses
data secara teknis dengan menggunakan
perangkat pemetaan. Ahli teknis dari
Tim melanjutkan proses transfer data,
menggunakan perangkat lunak ArcGIS.
Data yang digunakan dalam pembuatan
zonasi berdasar tabel informasi dari
pertemuan warga, penelusuran lapangan,
dan analisa sederhana tim desa dalam
rencana pemanfaatan lahan dan pembangunan desa. Produk akhir untuk
zonasi dituangkan pada peta skala
1:5000 sesuai arahan pemerintah yang
disajikan kepada masyarakat dan pemangku kepentingan lain (pemerintah,
swasta). Karena kedua desa sering
mengalami kendala teknis seperti tenaga
listrik, keterbatasan waktu, maka Tim
menyiapkan peta hasil diskusi dalam A0
yang dilapisi plastik, untuk dibawa pada
tiap pertemuan.
A R T I K E L

Cut Augusta et al, Perencanaan Tata Ruang Lanskap Di Pedesaan

93

Kesempatan warga melakukan justifikasi atas pembagian pemanfaatan lahan yang sudah ada dan yang akan
datang berdasarkan blok KPH

Pembahasan lanjutan dilakukan
dengan melibatkan warga, KPH dan
wakil dari pemerintah kecamatan dan
kabupaten. Pembahasan ini menjadi
suatu kesempatan bagi warga untuk
melakukan justifikasi atas pembagian
pemanfaatan lahan yang sudah ada dan
yang akan datang berdasarkan blok KPH,
zona taman nasional, atau dengan wilayah penyangga lainnya yang digunakan
oleh pihak swasta (misalnya perusahaan
minyak kelapa sawit, karet). Dalam
membuat zonasi desa, Tim mengacu
pada zona utama KPH6 dan taman

nasional7, yang terbagi ke dalam zona
lindung, zona sakral, zona rehabilitasi,
dan zona lain seperti zona tradisiional
(wilayah yang dikramatkan), dan zona
wisata (jika ada). Pada tiap zona, komunitas warga menentukan peraturan
sendiri seperti larangan, dan syaratsyarat untuk pemanfaatan lahan atau
pembukaan lahan. Sebagai contoh pada
zona yang dilindungi, kegiatan dibatasi
hanya untuk mengumpulkan hasil HHBK
dan melarang segala kegiatan pertanian.
Pengajuan zonasi dapat bermanfaat
untuk melampirkan tata kelola desa yang

6

7

Peraturan Pemerintah Indonesia No. 6/2007
tentang Tata Kelola Hutan dan Rencana
Pengelolaan Hutan, dan Pemanfaatan Hutan

A R T I K E L

Peraturan Menteri Kehutanan P.56/Menhut-II/
2006 tentang petunjuk untuk zonasi Taman
Nasional

94

Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

lebih jelas sebagai pemenuhan syarat
sketsa desa pada RPJMDES. Tim desa
dapat memanfaatkan zona untuk penggunaan dana desa dan rencana pembangunan yang terarah, misalnya permohonan pengembangan wisata.
Jenjang kedua– Rasionalisasi dan
Harmonisasi Zonasi Hutan Negara
dan Tanah Swasta
Langkah ini bertujuan untuk mengindentifikasi dan memastikan diakuinya
blok KPH, zonasi taman nasional dan
ajuan zonasi desa. Pada wilayah studi,
KPH, –sebagai unit pengelola hutan di
tingkat sub-lanskap, baru terbentuk.
Dari segi operasi, KPH ini dalam proses
menyusun rencana kerja (RPHJP) yang
akan menentukan blok (blocking). Dari
segi intervensi, kegiatan ini dikaitkan
dengan jenjang pertama. Pengajuan
zonasi di tingkat desa memungkinkan
untuk berkontribusi memberi masukan
pada bloking KPH yang berada di wilayah yang berinteraksi langsung dengan
masyarakat.
Dalam mengoperalisasikan KPH yang
baru dibentuk, sering ditemukan berbagai kesulitan. Alokasi blocking merupakan salah satu dari tantangan tersebut.
Karena bekerja antar lintas kabupaten,
maka akan terdapat masalah yang berbeda yang perlu diatasi, terutama di
tingkat masyarakat karena perbedaan
budaya setempat, ketergantungan pada
hasil hutan dan tenurial di kawasan
hutan. Di Aceh, masalah yang sering
ditemui adalah ketidak-jelasan batas
antara wilayah hutan lindung dan kawasan pertanian. Banyak ditemukan
pertanian masyarakat terdapat di dalam

blok kawasan produksi KPH atau kawasan mencari HHBK berada di dalam
hutan lindung.
Pada tingkat sub-lansekap, Tim juga
memfasilitasi KPH agar memahami
dinamika pemanfaatan lahan dari para
pemangku-kepentingan. Menjembatani
kerjasama antara KPH, perwakilan
taman nasiional, mayarakat di wilayah
kerja dilakukan dengan beberapa cara,
seperti pelibatan dalam penyusunan
RPJMDES dan RPHJP. Sebagai balasan,
zonasi yang telah ditentukan oleh masyarakat sekitar KPH akan berkontribusi
sebagai bahan pertimbangan untk memperjelas alokasi pemanfataan lahan hutan
dan pembagian blok RPHJP. Hal ini juga
akan mendukung penyebaran informasi
mengenai tata ruang agar dapat memperbaiki pengelolaan sumber daya alam
(SDA) serta pemberian izin pemanfaatan
hutan. Potensi manfaat jangka panjang
adalah membuka kesempatan kerjasama
pengelolaan antara KPH dan masyarakat
yang terdampak seperti skema masyarakat hutan (HKm), dukungan yang lebih
kuat untuk memasarkan masyarakat
NTFP, dan kerjasama lainnya yang
berbasis ekonomi.
Jenjang ketiga– Perencanaan
Tata Ruang Kabupaten yang Rinci
Singkronisasi intervensi di tingkat
sub-lansekap berdasarkan instrumen
perencanaan pemerintah kabupaten.
Proses ini akan mendukung keberlanjutan program intervensi. Disamping
itu, kegiatan bertujuan juga untuk menselaraskan dengan kebijakan nasional
Satu Peta yang mengakui perlu adanya
kompilasi data geospasial, integrasi dan
A R T I K E L

Cut Augusta et al, Perencanaan Tata Ruang Lanskap Di Pedesaan

95

Table 2 Bandingan luas fungsi lahan yang terdampak oleh
KSK DAS Susoh dan RTRWK Abdya Qanun 17/2013

sinkronisasi8. Capaian itu dilakukan
dengan proses spasial untuk pengajuan
zonasi dengan rasionalisasi dan harmonisasi pemanfaatan lahan antara desa dan
kawasan pengelolaan hutan. Kebijakan
dan ketersediaan data diteruskan dengan
Inisiatif USAID-LESTARI yakni membangun suatu perangkat skrining perijinan
SDA (sustainability screening tool - SST)
yang memberikan kepastian zonasi di
dalam wilayah perijinan dapat turut
diharmonisasikan dengan batas zonasi
pemanfaatan lahan yang terkait dengan
izin tersebut. Misalnya mencerminkan
perkiraan jarak ke kawasan yang rentan
seperti hutan lindung tau zona riparian.
Dengan membangun sistem ini, zonasi
yang ada dapat digunakan untuk keterbukaan data yang akan mempermudah jalur
koordinasi dan pengambilan keputusan.
Untuk singkronisasi, program intervensi mempelajari kesesuaian dengan

program pemerintah. intervensi turut
memberi kontribusi pada kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) yang akan
menjadi masukan dalam rencana tata
ruang daerah jangka panjang (RTRW)
atau menengah (RPJM). Fungsi KLHS
yang sesuai dengan Program intervensi,
memberikan ruang untuk mempelajari
potensi kawasan di setiap sektor termasuk perlindungan dan konservasi lingkungan hidup. Dengan identifikasi
kawasan konservasi yang terdapat pada
sub-lanskap, Tim dapat mengkaitkan
kawasan terkait dengan program pemerintah yang memberikan kekuatan hukum.
Di lanskap Abdya, identifikasi wilayah prioritas dalam RTRW untuk tata
kelola lingkungan adalah DAS. Tim
bekerjasama secara intensif dengan
Badan Koordinasi Perencanaan Ruang
Daerah (BKPRD) Kabupaten9. Dalam hal
9

8

Perpres 9 tahun 2016 tentang percepatan
pelaksanaan kebijakan satu peta.

A R T I K E L

BKPRD merupakan tim yang terdiri dari dinasdinas daerah yang bekerja untuk penyusunan
perencanaan tata ruang jangka panjang.

96

Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

rencana tata ruang, pihak pemerintah
mengakui pentingnya perlindungan pada
DAS di Abdya guna mendukung kegiatan
ekonomi seperti pertanian dan meminimalisir potensi banjir. Berdasarkan
pemahaman ini, pemerintah setempat
menguatkan satu sub-lanskap DAS Susoh
sebagai fokus tata kelola lahan dan hutan
sebagai Kawasan Strategis Kabupaten.
Kawasan Strategis asalah kawasan yang
ditetapkan sebagai bernilai untuk kepentingan nasional, provinsi atau kabupaten
secara khusus; alamnya, secara ekonomi,
dan terkait pertahanan seperti taman
nasional, daerah aliran sungai dan kawasan komoditas potensial. Kawasan
yang ditetapkan ini diperkuat dengan
tanda tangan Bupati. Untuk pengelolaan
kawasan strategis, pemerintah wajib
menyusun rencana tata ruang tersendiri,
Rancangan Tata Ruang Kawasan Strategis Kabupaten (RTRKSK) namun
terkait dengan RTRWK (Table 2).
Menggunakan kendaraan RTRKSK ini,
kami mengkaitkan proses zonasi di desa
(jenjang kesatu) yang berada di hulu
DAS. Dengan memusatkan perhatian

pada perlindungan DAS, pendekatan ini
juga secara langsung mempengaruhi
perbaikan tata kelola pemanfaatn lahan
di desa dan hutan.
Data di bagian luar bersumber dari
RTRWK Abdya (187.252ha) dan bagian
dalam wilayah cakupan KSK DAS Susoh
(25.207ha)
Terdapat sekitar 56 desa yang berdampingan dengan DAS Susoh. Setelah
melalui pembahasan selama enam bulan,
DAS Susoh sebagai KSK ditandantangani
oleh Bupati pada Desember 2016.
Dengan penandatangan resmi ini maka
secara undang-undang, pemerintah dan
masyarakat bertanggung jawab untuk
menjaga DAS dan meminimalisir dampak
dari kegiatan dari hulu hingga hilir.
Menyusul hasil kerja dari BKPRD,
Tim juga mendukung penyusunan rencana tata ruang rinci untuk kawasan perkotaan (RDTR). RDTR adalah rencana
pemerintah kabupaten jangka panjang
yang secara spesifik untuk pembangunan
kawasan perkotaan. RDTR yang disusun
mencakup kawasan perkotaan Blangpidie, yang menjadi pusat kabupaten
A R T I K E L

Cut Augusta et al, Perencanaan Tata Ruang Lanskap Di Pedesaan

Abdya. Kawasan perkotaan Blangpidie
berada di hilir DAS dimana ketergantungan masyarakat tinggi.
Dalam menyusun RDTR, bantuan
yang diberikan Tim adalah membantu
pengembangan kapasitas dalam menyusun dokumen, teknis pemetaan dan
analisis. Produk akhir dari RDTR adalah
dokumen dengan kekuatan hukum
peraturan bupati. Melalui proses RDTR
yang terfokus pada arus hilir di kawasan
perkotaan, dan KSK untuk kawasan
hulu, maka pemerintah akan memiliki
landasan untuk menghubungkan tata
kelola lahan dan hutan serta pembangunan kawasan pedesaan dan kawasan
perkotaan yang terfokus pada perlindungan DAS Susoh.
A R T I K E L

97

Dari seluruh proses jenjang mulai
kesatu, kedua dan ketiga yang dilakukan
secara paralel membutuhkan komitmen
yang tinggi. Komitmen menjadi tolak
ukur keberhasilan kegiatan, yang diberikan dari pihak implementor intervensi,
pemerintah setempat dan warga. Komitmen ini terbangun dengan adanya pemahaman yang sama atas tujuan kegiatan
dari awal. Karena itu proses advokasi
memiliki posisi krusial di tingkat eksekutif pemerintah dan terutama, anggota
BKPRD, KPH, Taman Nasional dan
masyarakat desa. Sementara, di tingkat
nasional komunikasi dilakukan dengan
kementerian terkait terutama Kementerian ATR dan KLHK. Komunikasi
dilakukan untuk menginformasikan

98

Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

bahwa pendekatan yang inovatif ini,
samasekali tidak bertenatangan dengan
peraturan yang telah ada, bahkan meningkatkan kemungkinan adanya pengakuan dan menghormati batas zonasi dan
melaporkan para pengambil keputusan
seperti peraturan Kawasan Perdesaan
yang sedang disusun oleh Kementerian
ATR.

KESIMPULAN
Berdasarkan kegiatan yang dilakukan,
Proyek Lestari sepakat bahwa pendekatan lansekap adalah pendekatan
menjanjikan. Pendekatan sub-lanskap di
kawasan yang lebih kecil terlihat lebih
efektif dalam mencapai target. Meski
demikian, perlu diakui adanya ketidakpastian akan keberlanjutan dampak
program intervensi. Tanpa menyangkal
kenyataan yang terjadi di lapangan,
bahwa berbagai masalah kepentingan
sektoral dapat muncul. Di tingkat desa,
masyarakat khawatir terhadap kepemilikan lahan terutama yang berada di
kawasan hutan. Perlu penjelasan berulang bahwa zonasi adalah salah satu cara
untuk mendapatkan alternatif solusi
bersama pengelola hutan.
Dalam pelaksanaan pendekatan sublanskap, Proyek Lestari merujuk pada
lima prinsip untuk implementasi program yang terarah dan efektif. Prinsip ini
diterapkan pada tiga jenjang yang dilakukan secara paralel. Setiap jenjang mempengaruhi satu sama lain untuk keberhasilan program. Pada jenjang pertama,
mengangkat proses zonasi dalam proses
perencanaan tata ruang desa dapat
menstimulasi proses perbaikan tata

kelola lahan, terutama dikawasan desa di
perbatasan hutan. Dalam semangat
replikasi, desa-desa yang berdampingan
akan bersedia mengikuti jejak serupa
berdasar contoh di desa pilot. Selain itu,
harmonisasi perencanaan tata ruang yang
rinci dengan skala detail hingga 1:5000
(RDTR dan peta desa partisipastif)
memberikan zona ruang yang lebih rinci.
Jenjang kedua berkaitan dengan kolaborasi antara pengguna dan pengelola
lahan. Kolaborasi ini bertujuan untuk
merasionalisasi dan mengoptimalkan
pengelolaan lahan yang dilakukan berdasar zonasi. Proses ini dapat membuka
kesempatan untuk melakukan pengelolaan manfaat lahan di hutan untuk jangka
panjang dengan cara memasukkan
proses zonasi partisipatif ini dalam
dokumen RPHJP. Jenjang ketiga adalah
proses yang kompleks , tetapi paling
strategis karena berhubungan dengan
keberlanjutan dampak program. Advokasi yang dilakukan telah mampu menjebatani perbedaan pemangku kepentingan
melalui pertemuan informal dan formal
bersama pemerintah, dan masyarakat
hingga mendapat pemahaman yang sama.
Status hukum DAS Susoh sebagai KSK
yang mengikat di hulu dan hilir, akan
meningkatkan kemungkinan diberikannya dukungan lebih kuat dari pemerintah
setempat dan pemerintah nasional,
swasta, LSM dan masyarakat setempat.
Contohnya, ketersediaan dukungan
dana, dukungan tenaga ahli untuk pengembangan kapasitas dimasa depan.
Dalam seluruh proses ini, Proyek
Lestari melihat bahwa untuk keberlanjutan dampak program perlu investasi
dalam peningkatan kapasiatas masyaA R T I K E L

Cut Augusta et al, Perencanaan Tata Ruang Lanskap Di Pedesaan

rakat desa dan pemerintah setempat.
Pemahaman yang sama antar semua
pihak juga harus konsisten dan dipupuk
untuk membangun komitmen selama
proses kegiatan berlangsung•

REFERENSI
Angelsen, A., (1995), Shifting Cultivation
and “Deforestation”: A Study from
Indonesia, World development, vol.
23, no. 10, pp. 1713-1729
Barbier, E., & Burgess, J. (1997). The
Economics of Tropical Forest Land
Use Options. Land Economics, 73(2),
174-195. doi:10.2307/3147281
Bennett, C.P.A. & Suryadi, S (2017).
Function and Status in Conflict: Overcoming sectoral barriers to multistakeholder collaboration for sustainable landscapes. Jurnal LESTARI, Ed.2,
2017.
Betha, R., Pradani, M., Lestari, P., Joshi, U.
M., Reid, J. S., Balasubramanian, R.,
(2013), Chemical speciation of trace
metals emitted from Indonesian peat
fires for health risk assessment, Atmospheric Research, vol. 122, pp. 571–578
Broich, M., Hansen, M., Stolle, F., Potapov,
P., Margono, B. A., & Adusei, B. (2011).
Remotely sensed forest cover loss
shows high spatial and temporal
variation across Sumatera and Kalimantan, Indonesia 2000–2008. Environmental Research Letters, 6(1),
014010.
Chomitz, K. M., & Griffiths, C. (1996).
Deforestation, shifting cultivation, and
tree crops in Indonesia: nationwide
patterns of smallholder agriculture at
the forest frontier. Poverty, Environment, and Growth. World Bank,
Washington DC.
Colfer, C. J. P., Woelfel, J., Wadley, R. L., &
Harwell, E. (2001). Assessing people’s
A R T I K E L

99

perceptions of forests: Research in
West Kalimantan, Indonesia. People
managing forests: the links between
human well-being and sustainability, 135154.
Directorate General of Forestry Planning
Ministry of Environment and Forestry
(2012) Regulation P.5/VII-WP3H/2012
on the technical guidelines of forest
governance and forest management
plan of Protected Forest Management
Unit (KPHL) and Production Forest
management unit (KPHP)
Dudley, N., Mansourian, S., Vallauri, D.,
(2005), Forest restoration in landscapes: beyond planting trees eds.
Mansourian, S., & Vallauri, D., Springer
Science & Business Media.
Fox, J., Fujita, Y., Ngidang, D., Peluso, N.,
Potter, L., Sakuntaladewi, N., Sturgeon,
J., Thomas, D. (2009), Policies, PoliticalEconomy, and Swidden in Southeast
Asia, Human Ecology, Vol. 37, Issue 3,
pp. 305–322
Government of Indonesia (2007), Government of Indonesia regulation number 6
year 2007 on forest governance, forest
work plan and forest use
Government of Indonesia (2007), National
constitution number 26 year 2007 on
spatial planning
Government of Indonesia (2014), National
constitution number 6 year 2016 on
Village
Hansen, M. C., Stehman, S. V., & Potapov,
P. V. (2010). Quantification of global
gross forest cover loss. Proceedings of
the National Academy of Sciences,
107(19), 8650-8655.
Kompas (2016) Pemda berinovasi Tidak
Dapat Pidana. Kompas, edisi cetak,
2016 April 20, hal. 4.
Lambin, E.F., Meyfroidt , P., Rueda, X.,
Blackman, A., Borner, J., Cerutti, P.O.,
Dietsch, T., Jungmann, L., Lamarque, P.,
Lister, J., Walker, N.F., Wunder, S.

100

Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

(2014) Effectiveness and synergies of
policy instruments for land use governance in tropical regions, Global Environmental Change, Vol. 28: 129-140
Larson, A.M., Brockhaus, M., Sunderlin,
W.D., Duchelle, A., Babon, A., Dokken,
T., Pham, T.T., Resosudarmo, I.A.P.,
Selaya, G., Awono, A. and Huynh, T.B.,
(2013) Land tenure and REDD+: The
good, the bad and the ugly. Global
Environmental Change, 23(3), pp.678689.
Mahar, D. J., & Ducrot, C. E. (1998). Landuse zoning on tropical frontiers:
emerging lessons from the Brazilian
Amazon, The World Bank, Washington, D.C.
Ministry of Forestry (2006), Regulation
Nomor P. 56 /Menhut-II/2006 on the
guidelines of National Park zones
Ministry of Forestry (2008) Consolidation
report reducing emissions from deforestation and forest degradation in
indonesia, accessed online on https://
www.forestcarbonpartnership.org/
sites/forestcarbonpartnership.org/files/
IFCA_Consolidation_report_REDD_
Indonesia.pdf (28 January 2017)
Ministry of Home Affairs (2014) Ministry
of home affairs regulation number 114
year 2014 on village development
Ministry of village, development of disadvantage areas and transmigration
(2015), Regulation of Ministry of
village, development of disadvantage
areas and transmigration number 21
year 2015 on Priority-setting on the
use of the Village Fund for year 2016
Padoch, C., Harwell, E., Susanto, A., (1998),
Swidden‚ Sawah‚ and In-Between:
Agricultural Transformation in Borneo,
Human Ecology‚ Vol. 26‚ No. 1

Page, S. E., Rieley, J. O., Banks, C. J., (2010),
Global and regional importance of the
tropical peatland carbon pool, Global
Change Biology, vol. 17, issue 2
Proforest (2016) Introduction to landscape or jurisdictional initiatives in
commodity agriculture, accessed online
at http://www.proforest.net/en/publications/introduction-to-landscape-orjurisdictional-initiatives-in-commodityagriculture, 01 December 2016
R.S. de Groot, R. Alkemade, L. Braat, L.
Hein, L. Willemen (2010) Challenges in
integrating the concept of ecosystem
services and values in landscape
planning, management and decision
making, Ecological 7 260–272
Sayer, J. , Sunderland, T., Ghazoul, J., Pfund,
J., Sheil, D., Meijaard, E., Ventera, M.,
Boedhihartono, A.G., Day, M., Garcia,
C., van Oosten, C.,Buck, L.E. (2013),
Ten principles for a landscape approach to reconciling agriculture,
conservation, and other competing
land uses, PNAS, vol 110, no.21
Sunderlin, W. D., Angelsen, A., Belcher, B.,
Burgers, P., Nasi, R., Santoso, L., &
Wunder, S. (2005). Livelihoods,
forests, and conservation in developing
countries: an overview. World development, 33(9), 1383-1402.
USAID LESTARI (2016), Restoring peatland hydrology in Indonesia to reduce
fire and haze, LESTARI Brief No. 04,
27 Juli 2016
Valencia-Sandoval, C., Flanders, D. N.,
Kozaka, R.A., (2010) Participatory
landscape planning and sustainable
community development:
Methodological observations from a
case study in rural Mexico, Landscape
and Urban Planning, Vol. 94, pp. 63–70

A R T I K E L