URGENSI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI MADR

URGENSI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI
MADRASAH
A.

Pendahuluan
Indonesia merupakan bangsa yang majemuk dan
heterogen. Dari survei terakhir yang dilakukan oleh
Badan Pusat Statistik (BPS) diketahui bahwa Indonesia
terdiri dari 1.128 suku bangsa.1 Begitu juga dengan
agama yang dianut oleh bangsa Indonesia yang terdiri
dari enam agama yang diakui. Komposisi agama yang
dianut berdasarkan laporan terakhir berturut-turut
adalah Islam (87,18 %), Kristen (6,96 %), Katolik
(2,91%), Hindu (1,69%), Buddha (0,72%), Khonghucu
(0,05%) dan agama lainnya (0,50%).2 Keragaman etnis
dan agama ini menjadi salah satu keunikan bangsa
Indonesia dibanding bangsa lainnya di dunia.
Indonesia sebagai sebuah masyarakat majemuk
(plural society) berpotensi memunculkan masalah
rapuhnya integrasi bangsa, sehingga perlu diubah
secara bertahap menjadi masyarakat multikultural.

Secara historis, dengan adanya Sumpah Pemuda pada
tahun 1928, proses pemersatuan bangsa Indonesia
sebagai masyarakat majemuk pada awalnya tidak
dilakukan dengan menggunakana cara paksa. Namun,
seiring dengan perkembangan sejarah cara paksa pun
dilakukan karena adanya beberapa upaya
pemberontakan yang dilakukan kelompok separatis.3
Karena kemajemukan adalah sunnatullah, maka
kemajemukan (bhinneka) adalah blessing in disguise
1Lihat “Indonesia Miliki 1.128 Suku Bangsa,” JPNN.com, 3
Februari 2010, diakses 19 Juni 2014,
http://www.jpnn.com/index.php?id=57455&mib=berita.detail.
2Tim Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Laporan Tahunan
Kehidupan Keagamaan di Indonesia Tahun 2012 (Jakarta: Puslitbang
Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama RI, 2013), 13.
3Parsudi Suparlan, “Masyarakat Majemuk Indonesia dan
Multikulturalisme”(makalah dalam seminar sehari
“Mengembangkan Akselerasi Perwujudan Masyarakat Multikultural
dan Multikulturalisme dalam Rangka Mewujudkan Kesejahteraan

Rakyat Jangka Menengah Indonesia”, UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta, 24 Juli 2004)
Urgensi Pendidikan Multikultural di Madrasah – 1

bagi bangsa Indonesia dan merayakan kemajemukan
berarti merawat Indonesia.4 Namun, setelah kejatuhan
Soeharto, kebudayaan Indonesia cenderung mengalami
disintegrasi yang pada gilirannya memunculkan budaya
hybrid. Budaya ini berpotensi melenyapkan identitas
kultural nasional dan lokal yang mutlak diperlukan bagi
terwujudnya integrasi sosial, kultural dan politik bangsa
Indonesia.5 Pemahaman kultural dibutuhkan ketika
masyarakat multikultural bertransformasi dari dimensi
sosiologis menuju kontestasi politik.6
Peristiwa 11 September 2001 di New York dengan
berbagai ekses negatif yang mengiringinya telah
mendapat sorotan tajam dari masyarakat internasional.
Perhatian tersebut terfokus pada isu relasi antara
agama, bangsa dan identitas budaya, karakter
masyarakat multikultural dan ketidaktahuan publik

terhadap agama seperti Islam.7 Hal ini berimbas juga
pada munculnya aksi kekerasan yang
mengatasnamakan agama, mulai dari radikalisme,
fundamentalisme, hingga terorisme, tak terkecuali di
negeri ini. Persatuan dan kesatuan bangsa terus
menerus diuji eksistensinya. Selain itu, konflik yang
sering terjadi dan membawa implikasi yang besar
terhadap kehidupan masyarakat adalah konflik dengan
latar belakang agama.
Konflik berlatar belakang agama kadang-kadang
masih terjadi, termasuk di era reformasi, seperti konflik
Ambon, Poso, Cikeusik dan lain-lain. Konflik-konflik ini,
sebenarnya tidak diawali oleh faktor agama, tetapi
persoalan ekonomi, sosial, dan hukum secara umum.
Hanya saja, kemudian para pelakunya melibatkan
agama untuk mendapatkan dukungan emosional dari
kelompok agama. Dalam hal ini, agama dimanfaatkan
sebagai faktor pemersatu bagi komunitas agama
4Azyumardi Azra, Merawat Kemajemukan, Merawat
Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 5.

5Azra, Merawat Kemajemukan, Merawat Indonesia, 9.
6Donny Gahral Adian, “Reasoning in a multicultural society”,
Wacana Vol. 13 No.2 (Oktober 2011): 362.
7Robert Jackson, Rethinking Religious Education and Plurality
(New York: RoutledgeFalmer, 2004), 4.
2 – Education, Politic, Religion & Multiculturalism 2014

tertentu, tetapi menjadi faktor pemecah belah
antarkelompok agama yang berbeda.8
Kenyataan tersebut seolah menunjukkan bahwa
pendidikan agama baik di sekolah umum maupun
sekolah agama lebih bercorak eksklusif, yaitu agama
diajarkan dengan cara menafikan hak hidup agama lain,
seakan-akan hanya agamanya sendiri yang benar dan
mempunyai hak hidup, sementara agama yang lain
salah, tersesat dan terancam hak hidupnya, baik di
kalangan mayoritas maupun minoritas. Sudah
seharusnya pendidikan agama dijadikan sebagai wahana
untuk mengembangkan moralitas universal yang ada
dalam agama-agama sekaligus mengembangkan teologi

yang inklusif dan toleran.9
B. Multikulturalisme dalam Lintasan Sejarah
Konsep multikulturalisme berkembang seiring
perjalanan waktu. Di Amerika misalnya, konsep
multikulturalisme dimulai dengan adanya wacana
melting pot, salad bowl, cultural pluralism sampai pada
gerakan multikultural yang menuntut keadilan dan hak
yang sama bagi warga, dan wacana serupa muncul juga
di negara-negara lainnya seperti Kanada, Inggris dan
Australia. Meski demikian, gerakan multikulturalisme
sangat rentan terjebak dalam politik identitas, seperti
terjadi di Indonesia ketika dimulai era otonomi daerah
yang justru menghadirkan kembali esensialisme
perspektif monokultural.10
Seperti halnya konsep demokrasi,
multikulturalisme dapat mengandung makna yang
beragam. Fleras sebagaimana dikutip Koppelman
mengemukakan tipologi multikulturalisme yang
memberikan ruang pada kita untuk mengidentifikasi
8Slamet Effendy Yusuf, “Review 5 Tahun Kehidupan Umat

Beragama di Indonesia: Perspektif MUI,” (makalah disampaikan
dalam “Kongres FKUB” di Jakarta, 21-22 November 2011).
9Erlan Muliadi, “Urgensi Pembelajaran Pendidikan Agama
Islam Berbasis Multikultural di Sekolah,” Jurnal Pendidikan Islam
Volume I, Nomor 1, (2012): 55-68.
10Melani Budianta, “Multikulturalisme dan Pendidikan
Multikultural: Sebuah Gambaran Umum”, Tsaqafah, Vol 1, No.2
(2003): 8-16.
Urgensi Pendidikan Multikultural di Madrasah – 3

level perbedaan makna yang terkait dengan wacana
tersebut. Ia mengidentifikasi lima level pemaknaan
terhadap multikulturalisme sebagai berikut:
1) Multikulturalisme sebagai fakta empiris yang
menggambarkan keberagaman dunia tempat
tinggal kita.
2) Multikulturalisme sebagai sebuah ideologi atau
filosofi yang meyakini kewajiban untuk
menghormati perbedaan budaya dan
menawarkan kesetaraan sosial.

3) Multikulturalisme sebagai kebijakan dan program
resmi yang membentuk mozaik identitas dan
etnisitas.
4) Multikulturalisme sebagai praksis yang
mencerminkan konvergensi antara kebijakan dan
filosofi dalam level masyarakat.
5) Multikulturalisme sebagai penahan hegemoni
yang menantang tatanan konstitusional yang
rasialis Eurosentris.11
Sementara itu, Parekh sebagaimana dikutip Azra
membedakan lima model multikulturalisme. Pertama,
multikulturalisme isolasionis, yaitu masyarakat yang
berbagai kelompok kulturalnya menjalankan hidup
secara otonom dan terlibat dalam interaksi minimal satu
sama lain. Kedua, multikulturalisme akomodatif, yaitu
masyarakat yang memiliki kultur dominan yang
membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi
tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas. Ketiga,
multikulturalisme otonomis, yaitu masyarakat plural
yang kelompok-kelompok kultural utamanya berusaha

mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya
dominan dan meng-inginkan kehidupan otonom dalam
kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima.
11Kent Koppelman, What Are the Goals of Multiculturalism?,
ASCD Express 6-15, 2011, diakses 19 Juni 2014,
http://www.ascd.org/ascd-express/vol6/615-koppelman.aspx. Lihat
juga Augie Fleras, “Multiculturalism as Governance: Principles and
Paradoxes, Policies and Perspectives” dalam Augie Fleras (ed), The
Politics of Multiculturalism: Multicultural Governance in Comparative
Perspective (Pelgrave Macmillan, 2009), 1-22.
4 – Education, Politic, Religion & Multiculturalism 2014

Keempat, multikulturalisme kritikal/interaktif, yakni
masyarakat plural yang kelompok-kelompok kulturalnya
tidak terlalu terfokus (concerned) dengan kehidupan
kultural otonom, tetapi lebih membentuk penciptaan
kolektif yang mencerminkan dan menegaskan
perspektif-perspektif khas mereka. Kelima,
multikulturalisme kosmopolitan, yaitu masyarakat plural
yang berusaha menghapus batas-batas kultural sama

sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat tempat
setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu,
sebaliknya secara bebas terlibat dalam percobaanpercobaan interkultural dan sekaligus mengembangkan
kehidupan kultural masing-masing.12
C. Tantangan Multikulturalisme di Indonesia
Dalam laporan tahun 2013, SETARA Institute
mencatat 222 peristiwa pelanggaran kebebasan
beragama/berkeyakinan dengan 292 bentuk tindakan
yang tersebar di 20 provinsi. Seperti hasil pemantauan
pada tahun-tahun sebelumnya, angka pelanggaran
tertinggi terjadi di Jawa Barat. Jawa Barat menjadi
tempat tumbuh suburnya pelanggaran, yaitu dengan 80
peristiwa pada tahun 2013. Disusul kemudian oleh 5
provinsi lainnya dengan tingkat pelanggaran paling
tinggi yaitu; Jawa Timur (29), Jakarta (20), dan Jawa
Tengah (19) peristiwa, serta Sumatera Utara dan
Sulawesi Selatan (masing-masing 15 dan 12 peristiwa).
Dengan demikian, meskipun terjadi penurunan dari
angka tahun lalu, angka pelanggaran masih sangat
tinggi, yaitu rata-rata 18,5 peristiwa dan 24,33 tindakan

setiap bulan.13
Terkait dengan tingginya angka pelanggaran di
Jawa Barat, paling tidak ada empat faktor yang
menyebabkan suburnya peristiwa pelanggaran di
provinsi tersebut. Pertama adalah menjamurnya
kelompok-kelompok intoleran. Di Jawa Barat terdapat
12Azra, Merawat Kemajemukan, Merawat Indonesia, 13-16.
13Halili dan Bonar Tigor Naipospos, Stagnasi Kebebasan
Beragama Laporan Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di
Indonesia Tahun 2013 (Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2014),
26-27.
Urgensi Pendidikan Multikultural di Madrasah – 5

kelompok-kelompok yang kerap melakukan tindakantindakan pelanggaran dan intoleransi, terutama di
daerah-daerah kabupaten/kota seperti Bekasi, Bandung,
Tasikmalaya, Cianjur, dan lainnya.
Kedua, perkembangan sosiologis agama dan
budaya Islam di Jawa Barat yang secara faktual, juga
secara historis, berbeda dengan Islam yang berkembang
secara sosial di Jawa Tengah atau Jawa Timur. Islam yang

berkembang di Jawa Barat cenderung lebih puritan dan
kental merasuki budaya lokal. Akibatnya corak ormasormas Islam di Jawa Barat juga lebih ketat, cenderung
kaku. Dibandingkan dengan Jawa Timur misalnya, ormasormas Islam di Jawa Barat memiliki corak dan pola
pergerakan yang berbeda.
Ketiga, rendahnya kesadaran keberagaman
(pluralitas dan multikulturalitas) politisi-politisi Partai
Islam di sana. Isu-isu agama, seperti yang juga
digunakan oleh Gubernur Aher dalam kontestasi politik
Pilkada, dimanfaatkan untuk mendulang suara-suara
mayoritas dalam pemilihan umum dan pemilihan kepala
daerah. Hal ini dengan sendirinya berpotensi
mendiskreditkan kelompok-kelompok minoritas, tidak
saja secara sosial, namun juga secara politis pada
akhirnya sebagai implikasi dari janji-janji mereka pada
kelompok mayoritas Islam.
Keempat, adalah lemahnya pengelolaan dinamika
masyarakat dengan jumlah yang sangat besar.
Sebagaimana diketahui, Jawa Barat secara demografis
merupakan daerah dengan populasi penduduk yang
paling
besar
di
Indonesia.
Dengan
demikian,
keberagaman di Jawa Barat lebih kompleks dibandingkan
dengan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. Meski
begitu faktor yang mempengaruhi tingginya intoleransi
sesungguhnya bukan jumlah penduduk yang besar dan
tingkat keberagaman yang tinggi itu, melainkan
kegagalan pemerintah daerah dalam mengelola
besarnya jumlah penduduk dan tingginya keberagaman
disana. Ketidakmampuan pemerintah daerah juga
pemimpin agama lokal dalam menanamkan dan
mendidik toleransi dalam semangat keberagaman,
6 – Education, Politic, Religion & Multiculturalism 2014

menjadi potensi perusak toleransi agama atau keyakinan
yang besar.14
Dalam tatanan kebangsaan, Indonesia memang
masih berproses dalam membangun budaya nasional.
Hal ini bukan proses yang sederhana mengingatfakta
banyaknya kelompok etnis dengan karakternya masingmasing. Terkadang proses itu juga memicu ketegangan
dan konflik. Lebih jauh lagi, hal tersebut lebih kompleks
dengan adanya tren globalisasi yang sangat ekspansif.
Hal ini perlu dicermati pemerintah dengan membuat
kebijakan yang jelas sehingga negara multietnis dan
multicultural memiliki fondasi yang kuat dalam
membangun eksistensinya. Jalan satu-satunya adalah
dengan mengembangkan pendidikan nasional yang
berbasis pluralitas budaya.15
Suparlan
mengemukakan
bahwa
upaya
membangun Indonesia yang multikultural hanya
mungkin terwujud bila: (1) konsep multikulturalisme
menyebar luas dan dipahami pentingnya bagi bangsa
Indonesia, serta adanya keinginan bangsa Indonesia
pada tingkat nasional maupun lokal untuk mengadopsi
dan menjadi pedoman hidupnya; (2) kesamaan
pemahaman di antara para ahli mengenai makna
multikulturalisme dan bangunan konsep-konsep yang
mendukungnya, dan (3) upaya-upaya yang dapat
dilakukan untuk dapat mewujudkan cita-cita ini. 16
Terkait agenda multikultural di Indonesia, Adian
menyebut dua potensi kesulitan yang mengancam
keberhasilan agenda ini. Pertama, politik multikultural
adalah subjek yang berada di antara ideologi liberal dan
komunitarian. Kedua, kegagalan mengartikulasikan
batas-batas toleransi melalui consensus yang dibangun.
Keyakinan intoleran yang memunculkan kekerasan
melawan pihak lain dapat dicegah dengan membangun
14Halili& Naipospos, Stagnasai Kebebasan Beragama …, 2728.

15Sutijono, “Multicultural Education in Indonesia: An
Alternative for National Education in Global Era,” Sosiohumanika,
3(1) 2010: 53-66.
16Parsudi Suparlan, “Membangun Kembali “Indonesia yang
Bhinneka Tunggal Ika”: Menuju Masyarakat Multikultural,”
Antropologi Indonesia 69, (2002):102-103.
Urgensi Pendidikan Multikultural di Madrasah – 7

konsep toleransi. Konsep gotong royong nampaknya
relevan dalam hal ini sebagai kerangka dari nilai-nilai
toleransi tersebut.17 Di sisi lain, Indonesia menghadapi
dua tantangan besar, yaitu masalah mempersatukan
budaya, agama serta keragaman etnis dan derasnya
arus ekspansi budaya luar. Indonesia perlu memberikan
perhatian khusus terhadap dua hal ini untuk menjaga
kelestarian bangsa, dan hal ini merupakan tugas krusial
bagi dunia pendidikan.18
D. Urgensi Pendidikan Multikultural
Pendidikan adalah faktor fundamental dalam
usaha meningkatkan taraf hidup disamping sebagai
penentu pembangunan sosial ekonomi yang lebih baik.
Pendidikan juga dipandang sebagai strategi untuk
mendongkrak reputasi bangsa. Dengan peran krusial
penting dari pendidikan, pemerintah memberikan
perhatian lebih pada seluruh aspek pendidikan dengan
harapan hal tersebut dapat menjadi ujung tombak
pembangunan Indonesia. Hal ini dibuktikan dalam
bentuk jaminan hukum, peningkatan anggaran
pendidikan dan aturan lainnya untuk meningkatkan
kualitas pendidikan nasional.
Usaha-usaha tersebut merupakan bagian dari
realisasi mandat Undang-undang Dasar 1945 yang
merupakan refleksi dari para ‘founding fathers’ kita. Ayat
2 Pasal 31 menegaskan bahwa setiap warga negara
berhak mendapatkan pengajaran dan pemerintah harus
menyediakan anggarannya. Ayat 3 pasal yang sama
menegaskan bahwa pemerintah menyusun suatu sistem
pendidikan nasional yang menekankan aspek keimanan
dan ketakwaan dalam kerangka pencerahan intelektual
bangsa yang diatur oleh undang-undang.19
Mengenai pendidikan multikultural (multicultural
education), Mahfud mendefinisikannya sebagai proses
penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran
17Donny Gahral Adian, “Multicultural Politics in Indonesia:
Dialogue and Gotong Royong,” Dialogue and Universalisme Volume
2, Number 2 (2011): 1-12.
18Sutijono, “Multicultural Education in Indonesia…,” 63.
19Sutijono, “Multicultural Education in Indonesia…,”2.
8 – Education, Politic, Religion & Multiculturalism 2014

terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di
tengah-tengah masyarakat plural. Dengan pendidikan
multikultural, diharapkan adanya fleksibilitas dan
kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik
sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah patah
dan retak.20
Oregon Department of Education mendefinisikan
pendidikan multikultural sebagai proses belajar
sepanjang hayat yang didisain untuk memberdayakan
seluruh siswa menjadi memiliki pengetahuan, peduli,
dan berpartisipasi aktif dalam komunitas mereka.
Pendidikan ini bersifat inklusif dan menghormati seluruh
etnis, ras dan latar belakang budaya termasuk
menghargai staf, keluarga, siswa dan komunitas.21
Dari dua pengertian ini dapat disimpulkan bahwa
inti dari pendidikan multicultural adalah bagaimana
mengajarkan dan menanamkan pada siswa nilai dan
sikap toleransi, cara menghormati, dan berpartisipasi
dalam komunitas yang beranekaragam baik secara
etnis, ras, latar belakang budaya dan agama, maupun
strata sosial orang lain.
Dalam konteks Indonesia, sejak pelaksanaan
otonomi daerah mulai tahun 2001, pemerintah provinsi
dan kabupaten juga bertanggung jawab dalam
pembangunan pendidikan sebagai salah satu kebijakan
strategis. Hal ini sejalan dengan pesan reformasi yang
secara bertahap memberikan ruang gerak lebih bebas
dalam konteks otonomi. Tak terkecuali di bidang
pendidikan, hal ini mengindikasikan adanya
desentralisasi dalam manajemen pendidikan.22
Meski demikian, dampak negatif yang ditimbulkan
dari kebijakan otonomi daerah adalah adanya
kecenderungan egosentrisme lokal, dalam bentuk
perasaan tidak suka pada orang yang berasal dari luar
20Chairul Mahfud, Pendidikan Multikultural (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), 67.
21Oregon Department of Education, “Multicultural Education
– Definition”, diakses 19 Juni 2014,
http://www.ode.state.or.us/search/page/?id=2575,
22Dedi Supriadi, Reformasi Pendidikan dalam Konteks
Otonomi Daerah (Yogyakarta: Adicita, 2000), 142.
Urgensi Pendidikan Multikultural di Madrasah – 9

daerahnya. Isu ini memunculkan apa yang disebut
dengan sebutan putra daerah. Tidak sedikit isu ini
berujung konflik seperti yang terjadi di Poso, Ambon, dan
Kalimantan. Semua ini terjadi disebabkan kemiskinan,
kekurangpahaman terhadap perbedaan etnis, budaya
dan agama, begitu juga dengan pengaruh budaya global
yang agresif dan penuh persaingan.23
Dalam konteks teoretis, konsep pendidikan
multikultural terdengar persuasif, namun belum tentu
efektif dalam tataran praksis. Kesulitan utama dalam
menerapkan program pendidikan multikultural adalah
perbedaan tujuan yang ditentukan oleh masing-masing
sekolah. Nieto dan Bode menggambarkan empat tipe
program yang tujuannya lebih luas, yaitu: (1) toleransi,
yaitu menekankan pergaulan dengan orang yang
berbeda dan menolak signifikansi dari perbedaan
tersebut; (2) penerimaan, yaitu mengakui bahwa
perbedaan adalah hal yang penting dan tidak
mempermasalahkan keragaman; (3) respek, yaitu
memandang perbedaan dalam konteks positif dan
mendorong belajar tentang keragaman, dan (4) afirmasi,
solidaritas dan kritik, yaitu membangun isu komitmen
keadilan sosial di luar kelas, menolak pandangan budaya
yang direkayasa, dan mendorong pemahaman bahwa
budaya itu dinamis dan berubah sepanjang waktu.24
Terkait tujuan pendidikan berbasis multikultural,
Rus’an dan Lisnawaty mengidentifikasi hal-hal sebagai
berikut: (1) untuk memfungsikan peranan sekolah dalam
memandang keberadaan siswa yang beraneka ragam;
(2) untuk membantu siswa dalam membangun
perlakuan yang positif terhadap perbedaan kultural, ras,
etnik, kelompok keagamaan; (3) memberikan ketahanan
siswa dengan cara mengajar mereka dalam mengambil
keputusan dan keterampilan sosialnya; dan (4) untuk
membantu peserta didik dalam membangun

23Sutijono, “Multicultural Education in Indonesia …,” 55.
24Koppelman, “What Are the Goals …”, lihat juga Sonia
Nieto dan Patty Bode. Affirming diversity: The sociopolitical context
of multicultural education (Boston: Pearson, 2008), 426–427.
10 – Education, Politic, Religion & Multiculturalism 2014

ketergantungan lintas budaya dan memberi gambaran
positif kepada mereka mengenai perbedaan kelompok.25
E. Perkembangan Madrasah di Indonesia
Pendidikan Islam di Indonesia memiliki tiga jalur
utama, yaitu pengajian Qur’an, pesantren atau pondok
dan madrasah.26 Madrasah adalah sekolah keagamaan
dengan ruang-ruang kelas dan kurikulum standar yang
memuat mata pelajaran umum. Madrasah negeri yang
memuat 30% mata pelajaran agama dan 70% pelajaran
umum memberikan ijazah yang bisa digunakan untuk
melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.27
Dalam perspektif historis, madrasah diakui oleh
negara secara formal sebagai lembaga penyelenggara
pendidikan pada tahun 1950. Hal ini ditegaskan oleh
Undang-undang No. 4 tahun 1950 tentang dasar-dasar
pendidikan dan pengajaran di sekolah, pada pasal 10
yang menyatakan bahwa untuk mendapatkan
pengakuan Departemen Agama, madrasah harus
memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran
pokok paling sedikit 6 jam seminggu secara teratur
disamping pelajaran umum.28
Peluang untuk menegerikan madrasah swasta
untuk semua tingkatan, Madrasah Ibtidayah Negeri
(MIN), Madrasah Tsanawiyah Islam Negeri (MTsIN) dan
Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri (MAAIN) terbuka
25Rus’an dan Sri Dewi Lisnawaty, “Urgensi Pendidikan
Multikultural dalam Pendidikan Islam Di Madrasah Aliyah Negeri
(MAN) Poso Pesisir, Istiqra, Vol. 1, No. 1 (2013): 97-98.
26Robert W. Hefner, Schools, Social Movements &
Democracy in Indonesia, dalam Robert W. Hefner (ed.), Making
Modern Muslims: The Politics of Islamic Education in Southeast Asia
(Honolulu: University of Hawai’i Press, 2009), 59.
27Lihat Martin van Bruinessen,”Traditionalist and Islamist
Pesantrens in Contemporary Indonesia” dalam Farish A. Noor,
Yoginder Sikand & Martin van Bruinesssen (eds), The Madrasa in
Asia: Political Activism and Transnational Linkages (Amsterdam:
Amsterdam University Press, 2008), 222.
28Salinan lengkap Undang-undang RI No. 4 Tahun 1950
tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengadjaran di Sekolah dapat
dilihat dalam H.A.R. Tilaar, 50 Tahun Pengembangan Pendidikan
Nasional 1945-1995: Suatu Analisis Kebijakan (Jakarta: PT Grasindo,
1995), 654-677.
Urgensi Pendidikan Multikultural di Madrasah – 11

pada tahun 1967. Namun ketentuan itu hanya
berlangsung 3 tahun, dan dengan alasan pembiayaan
dan fasilitas yang sangat terbatas, maka keluarnya
Keputusan Menteri Agama No. 213 tahun 1970 tidak ada
lagi penegerian bagi madrasah madrasah swasta.
Milestone perkembangan madrasah berikutnya
ditandai dengan lahirnya Surat Keputusan Bersama
(SKB) 3 Menteri No. 6 tahun 1975 dan No. 037/U/1975
antara Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri, tentang
Peningkatan Mutu Pendidiikan pada Madrasah. SKB ini
muncul dilatarbelakangi bahwa setiap warganegara
Indonesia berhak memperoleh kesempatan yang sama
untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan dan pengajaran yang sama,
sehingga lulusan madrasah yang ingin melanjutkan,
diperkenankan melanjutkan ke sekolah-sekolah umum
yang setingkat di atasnya.
Dalam SKB tersebut disebutkan pula bahwa yang
dimaksud dengan madrasah adalah lembaga pendidikan
yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai
mata pelajaran dasar yang diberikan sekurangkurangnya 30 % dibanding dengan mata pelajaran
umum, meliputi Madrasah Ibtidaiyah setingkat dengan
Sekolah Dasar, Madrasah Tsanawiyah setingkat SMP dan
Madrasah Aliyah setingkat SMA.
Tonggak sejarah perkembangan madrasah
berikutnya terjadi pada tahun 1984 saat dikeluarkannya
SKB 2 Menteri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan
Menteri Agama tentang Pengaturan Pembakuan
Kurikulum Sekolah Umum dan Kurikulum Madrasah.
Lahirnya SKB tersebut dijiwai oleh Ketetapan MPR No.
II/TAP/MPR/1983 tentang perlunya Penyesuaian Sistem
Pendidikan, sejalan dengan kebutuhan pembangunan
disegala bidang, antara lain dengan melakukan
perbaikan kurikulum sebagai salah satu di antara
pelbagai upaya perbaikan penyelenggaraan pendidikan
di sekolah umum dan madrasah. Sebagai tindak lanjut
SKB 2 Menteri tersebut lahirlah “Kurikulum 1984” untuk
madrasah, yang tertuang dalam Keputusan Menteri
Agama No. 99 tahun 1984 untuk Madrasah Ibtidaiyah,
12 – Education, Politic, Religion & Multiculturalism 2014

No. 100/1984 untuk Madrasah Tsanawiyah dan No. 101
Tahun 1984 untuk Madrasah Aliyah.
Sejarah kemudian mencatat lahirnya UU No. 2
Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang
diundangkan dan berlaku sejak tanggal 27 Maret 1989.
Undang-undang ini memberikan perbedaan yang sangat
mendasar bagi pendidikan agama. Pendidikan agama
tidak lagi diberlakukan berbeda untuk negeri dan
swasta, dan sebagai konsekuensinya diberlakukan
Peraturan Pemerintah sebagai bentuk operasional
undang-undang tersebut, yaitu PP 27/1990 tentang
Pendidikan Pra Sekolah, PP 28/1990 tentang Pendidikan
Dasar, PP. 29/1990 tentang Pendidikan Menengah, PP.
No. 30/1990 tentang Pedidikan Tinggi (disempurkankan
dengan PP.22/1999). Semua itu mengatur pelaksanaan
pendidikan agama di lembaga umum.
UU dan peraturan pemerintah tersebut telah
memberi dampak positif bagi lembaga-lembaga
pendidikan Islam. Sejak diberlakukan UU No. 2 Tahun
1989 tersebut lembaga-lembaga pendidikan Islam
menjadi bagian integral dari sistem pendidikan nasional.
Sehingga dengan demikian, kebijakan dasar pendidikan
agama pada lembaga-lembaga pendidikan Islam adalah
sebangun dengan kebijakan dasar pendidikan agama
pada lembaga-lembaga pendidikan nasional secara
keseluruhan.
Regulasi paling mutakhir tentang arah pendidikan
agama tertuang dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003.
Pada undang-undang ini terdapat pasal yang
diperdebatkan yaitu pasal 12 yang menyebutkan bahwa
pendidikan agama adalah hak setiap peserta didik.
“Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan
berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan
agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidikan
yang seagama” (Pasal 12 ayat a). Dalam bagian
penjelasan diterangkan pula bahwa pendidik atau guru
agama yang seagama dengan peserta didik difasilitasi
atau disediakan oleh pemerintah atau pemerintah
daerah sesuai dengan kebutuhan satuan pendidikan
sebagaimana diatur dalam pasal 41 ayat 3.

Urgensi Pendidikan Multikultural di Madrasah – 13

UU ini juga sekaligus menggantikan bagian dari UU
No. 2/1989 dan Peraturan Pemerintah, No. 29/1990,
tentang tidak wajibnya sekolah dengan latarbelakang
agama tertentu (misalnya Islam) mengajarkan
pendidikan agama yang dianut siswa (misalnya
pelajaran agama Katolik untuk siswa yang beragama
Katolik). UU Sisdiknas 2003 mewajibkan sekolah/Yayasan
Islam untuk mengajarkan pendidikan Katolik untuk siswa
yang menganut agama Katolik.
UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003
inilah yang menjadi pijakan hukum dan konstitusional
bagi penyelenggaraan pendidikan agama di sekolahsekolah, baik negeri maupun swasta. Pada pasal 37 ayat
(1) disebutkan bahwa `kurikulum pendidikan dasar dan
menengah wajib memuat pendidikan agama, pendidikan
kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu
pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan
jasmani dan olahraga, keterampilan/kejuruan dan
muatan lokal. 29
Melihat perjalanan sejarah madrasah yang begitu
panjang, sudah sepantasnya bila kita mencermati
perkembangan madrasah yang semakin tumbuh dengan
pesat. Madrasah merupakan aset bangsa yang
berpotensi meningkatkan kualitas taraf hidup bangsa
Indonesia melalui pendidikan yang
mengimplementasikan muatan keagamaan dan muatan
umum sekaligus.
F. Potensi Madrasah di Indonesia
Madrasah (RA, MI, MTs dan MA) yang disebutkan
dalam UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor
20 Tahun 2003 merupakan lembaga pendidikan formal
yang tidak terpisahkan dari Sistem Pendidikan Nasional.
Secara yuridis, kedudukan madrasah disetarakan
dengan sekolah umum walaupun dalam beberapa hal
madrasah memiliki keunikan. Pembelajaran keagamaan
29Selengkapnya silakan lihat website Ditjen Pendis Kemenag
RI, “Sejarah Pendidikan Islam dan Organisasi Ditjen Pendidikan
Islam”, diakses 18 Juni 2014,
http://pendis.kemenag.go.id/index.php?
a=artikel&id2=sejarahpendis#.U6PxMkAyE1E
14 – Education, Politic, Religion & Multiculturalism 2014

yang lebih intensif menjadi ciri khas tersendiri yang
membedakan madrasah dan sekolah umum. Madrasah
(RA, MI, MTs dan MA) adalah satuan pendidikan yang
dikelola oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Islam yang
secara teknis pembinaannya dilakukan oleh Direktorat
Pendidikan Madrasah.30
Dari pendataan terkini mengenai Raudhatul Athfal
(RA) dan Madrasah (MI, MTs, MA) yang mencakup 33
provinsi diperoleh data secara nasional pada tahun
pelajaran 2011-2012 sebanyak 25.435 Raudhatul Athfal,
23.071 Madrasah Ibtidaiyah, 15.244 Madrasah
Tsanawiyah, 6.664 Madrasah Aliyah. Persentase sebaran
lembaga yang berhasil didata adalah 36,13% untuk RA,
32,77% untuk MI, 21,65% untuk MTs, dan 9,45% untuk
MA.31
Selanjutnya mengenai jumlah keseluruhan peserta
didik atau siswa madrasah tahun pelajaran 2011-2012
sebanyak 8.079.426 orang yang tersebar mulai dari
tingkat RA sampai dengan tingkat MA. Dari jumlah
tersebut sebanyak 1.074.131 orang (13,29%)
merupakan siswa RA, kemudian sebanyak 3.200.459
orang (39,61%) adalah siswa MI, dimana dari jumlah
tersebut sebanyak 412.577 orang siswa MIN, dan
sebanyak 2.787.882 orang merupakan siswa MIS. Siswa
MTs sebanyak 2.745.022 orang (33,98%), yang terdiri
dari 651.444 orang adalah siswa MTsN, dan sebanyak
2.093.578 orang adalah siswa MTsS. Sedangkan pada
jenjang MA, jumlah siswanya adalah 1.059.814 orang
(13,12%), yang terdiri dari 354.740 orang siswa MAN,
dan sebanyak 705.074 orang adalah siswa MAS.32
Dari perolehan data di atas, dapat disimpulkan
bahwa potensi madrasah begitu besar, terlihat dari
meningkatnya jumlah lembaga dan jumlah siswa yang
mengambil jalur pendidikannya di madrasah. Potensi ini
tentunya harus terus dikembangkan dalam bingkai
30Ditjen Pendis Kemenag RI, “Analisis Deskriptif Pendidikan
RA dan Madrasah Tahun Pelajaran 2011-2012,” diakses 19 Juni 2014,
http://pendis.kemenag.go.id/index.php?
a=artikel&id2=analisis2011,1.
31Ditjen Pendis Kemenag RI, “Analisis Deskriptif ...”, 2-3.
32Ditjen Pendis Kemenag RI, “Analisis Deskriptif ..”, 7.
Urgensi Pendidikan Multikultural di Madrasah – 15

pendidikan berbasis multikulturalisme sehingga pada
akhirnya dapat menjadi sumber kekuatan bangsa di
masa depan.
G.
Implementasi Pendidikan Berbasis
Multikultural di Madrasah
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, Islam
memandang posisi umat agama lain dengan istilah
mu‘a>hadah aw muwa>thaqah, artinya sesama bagian
warga bangsa yang terikat oleh komitmen kebangsaan
sehingga harus hidup berdampingan secara damai,
bukan posisi muqa>talah aw muh}a>rabah, artinya
kelompok lain yang harus diperangi. Sehingga dalam
perspektif Islam, kelompok umat agama lain adalah
merupakan sama-sama warga bangsa yang tidak boleh
diperangi atau dimusuhi. Bahkan ada sebuah hadis Nabi
yang menyatakan bahwa barangsiapa yang membunuh
non muslim yang hidup berdampingan secara damai,
maka tidak akan memperoleh bau surga. Dalam merajut
kebersamaan berbangsa dan bernegara ini, landasan
teologis ini juga diajarkan oleh agama-agama lainnya.
Sehingga landasan teologis ini seharusnya menjadi
acuan dalam hubungan antarumat beragama dan
antarwarga negara di negeri ini.33
Paradigma pendidikan multikultural (multicultural
educational paradigm) merupakan tindak lanjut dari
strategi pendidikan multukultural dan pengembangan
dari studi interkultural dan multikulturalisme yang sejak
lama sudah berkembang di Amerika, Eropa, dan negaranegara
maju
lainnya.34
Pendidikan
multikultural
merupakan strategi pendidikan yang diaplikasikan pada
semua jenis mata pelajaran dengan cara menggunakan
perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada peserta
didik, seperti perbedaan etnis, agama, bahasa, jender,
kelas sosial, ras, kemampuan dan umur agar proses
belajar menjadi efektif dan mudah.35
33Yusuf, Refleksi 5 Tahun…, 5-6.
34Lihat H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme: Tantangantantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan
(Jakarta: Grasindo, 2004), 122-125.
16 – Education, Politic, Religion & Multiculturalism 2014

Jackson menyatakan bahwa pendidikan agama
membutuhkan keterampilan penafsiran, kritik dan dialog
untuk mengakses sumber informasi. partisipasi dalam
perdebatan yang relevan menghubungkan dunia sosial
dengan dunia individu dan merupakan bentuk
komunikasi antar agama dan antar budaya yang
dibutuhkan untuk demokrasi yang plural. Sekolah negeri
merupakan tempat yang cocok untuk eksplorasi
semacam ini untuk mengembangkan pluralitas dan
pluralism secara epistemologis.36
Sementara itu, Nieto dan Bode menegaskan bahwa
dalam kerangka reformasi sekolah, pendidikan
multikultural berpengaruh besar dalam proses dan
tujuan belajar seorang siswa. Untuk menerapkan
reformasi sekolah dengan perspektif multikultural, kita
harus memulai dengan pemahaman tentang pendidikan
multicultural dalam konteks sosiopolitik. Konteks ini
menempatkan pendidikan sebagai bagian dari ranah
sosial dan kekuatan politik yang lebih besar. Dalam
perspektif ini, kebijakan yang terkait dengan reformasi
kurikulum dan pendidikan dipengaruhi oleh kebijakan
sosial yang lebih luas.37
Pendidikan agama memiliki kontribusi yang
penting dalam pendidikan antarbudaya, pendidikan
kewarganegaraan dan pendidikan nilai, terutama dalam
memahami berbagai aspek pluralitas sosial dalam
hubungannya dengan pengalaman individual seorang
siswa. Kemajemukan sosial ini mengkombinasian antara
dimensi tradisional dengan modern atau postmodern,
juga menghubungkan elemen lokal, nasional dan global.
Dengan ikut serta dalam berbagai diskusi tentang isu
terkait, seorang siswa dapat terbantu untuk menguji
35M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural
Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan (Yogyakarta: Pilar
Media, 2005), 25.
36Jackson, Rethinking Religious Education …, 18.
37Sonia Nieto and Patty Bode, School Reform and Student
Learning: A Multicultural Perspective dalam James A. Banks &
Cherry A. McGee Banks (Eds.), Multicultural Education Issues and
Perspectives: Seventh Edition (New Jersey: John Wiley & Sons,
2010), 396.
Urgensi Pendidikan Multikultural di Madrasah – 17

asumsi dirinya sendiri maupun teman-temannya dan
merefleksikan identitas mereka sendiri.38
Dalam perspektif pendidikan Islam, pendidikan
multikultural tidak dapat dilepaskan dengan konsep
pluralisme. Pola pendidikan semacam ini berorientasi
pada proses penyadaran yang berwawasan pluralis
secara agama, sekaligus berwawasan multikultural.
Dalam kerangka yang lebih jauh, konstruksi pendidikan
Islam multikultural dapat diposisikan sebagai bagian dari
upaya secara komprehensif dan sistematis untuk
mencegah dan menanggulangi konflik etnis agama,
radikalisme agama, separatisme, dan integrasi bangsa.
Nilai dasar dari konsep pendidikan ini adalah toleransi.39
Implementasi pendidikan berbasis multikultural di
madrasah dapat dimulai dengan pengembangan
kurikulum yang mengadopsi nilai-nilai multikultural
seperti perdamaian, toleransi dan hak asasi manusia.
Kurikulum pendidikan berbasis multikultural juga
merupakan sebuah kurikulum yang mengacu pada
keragaman budaya. Kurikulum tersebut senantiasa
mengeksplorasi perbedaan sebagai sebuah keniscayaan.
Meski demikian, mengimplementasikan pendidikan
multikultural di madrasah mungkin saja akan mengalami
hambatan atau kendala dalam pelaksanaannya. Zuriyani
mengemukakan beberapa hal yang harus mendapat
perhatian dan sejak awal perlu diantisipasi antara lain
sebagai berikut:40
1. Perbedaan Persepsi terhadap Pendidikan Multikultural
Perbedaan pemaknaan akan menyebabkan
perbedaan dalam mengimplementasikannya.
Multikultural sering dimaknai orang hanya sebagai multi
etnis sehingga bila di sekolah mereka ternyata siswanya
homogen etnisnya, maka dirasa tidak perlu memberikan
pendidikan multikultural pada mereka. Padahal
38Jackson, Rethinking Religious Education …, 141.
39Rus’an dan Lisnawaty, “Urgensi Pendidikan Multikultural
…”, 90-107.
40Elsy Zuriyani, “Implementasi Pendidikan Multikultural pada
Mata Pelajaran IPA MI,” 26 November 2013, diakses 19 Juni 2014,
http://bdkpalembang.kemenag.go.id/elsy1/.
18 – Education, Politic, Religion & Multiculturalism 2014

pengertian pendidikan multikultural lebih luas dari itu
mencakup arti dan tujuan untuk mencapai sikap
toleransi, menghargai keragaman, dan perbedaan,
menghargai HAM, menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, menyukai hidup damai, dan demokratis.
2. Fenomena Diskontinuitas Nilai Budaya
Dalam pendidikan multikultural yang sarat dengan
nilai-nilai kemanusiaan dan kebersamaan sering terjadi
diskontinuitas nilai budaya. Peserta didik memiliki latar
belakang sosiokultural di masyarakatnya sangat berbeda
dengan yang terdapat di sekolah sehingga mereka
mendapat kesulitan dalam beradaptasi di lingkungan
sekolah. Dalam hal inilah tugas pendidikan, khususnya
sekolah dan madrasah menjadi cukup berat. Oleh karena
itu, berbagai unsur pelaku pendidikan di sekolah, baik itu
guru, kepala sekolah, staf, bahkan orangtua dan tokoh
masyarakat perlu memahami secara seksama tentang
latar belakang sosiokultural peserta didik sampai pada
tipe kemampuan berpikir dan kemampuan menghayati
sesuatu dari lingkungan yang ada pada peserta didik.
3. Rendahnya Komitmen dari Berbagai Pihak
Keberhasilan implementasi pendidikan
multikultural sangat tergantung dari pada seberapa
besar keinginan dan kepedulian masyarakat sekolah
untuk melaksanakannya, khususnya adalah guru-guru.
Hal ini dikarenakan pendidikan multikultural merupakan
proses yang komprehensif sehingga menuntut komitmen
yang kuat dari berbagai komponen pendidikan di sekolah
atau madrasah.
Bila berbagai elemen yang terlibat dalam
pendidikan menyadari akan hal ini, maka sebenarnya
komitmen tinggi untuk pelaksanaan pendidikan
multikultural akan mudah dicapai sebab dalam
pendidikan multikultural, nilai-nilai masyarakat madani
ingin ditanamkan pada siswa sejak dini. Hal ini terkait
dengan arah kebijakan pendidikan di Indonesia di masa
mendatang yang menghendaki terwujudnya masyarakat
madani, yaitu masyarakat yang lebih demokratis,

Urgensi Pendidikan Multikultural di Madrasah – 19

egaliter, menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan
persamaan, serta menghormati perbedaan.
4. Kebijakan-kebijakan yang Lebih Menyukai
Keseragaman
Sudah sejak lama kebijakan pendidikan atau yang
terkait dengan kepentingan pendidikan selalu
diseragamkan, baik yang berwujud benda maupun
konsep-konsep. Dengan adanya kondisi ini, maka para
pelaku di sekolah cenderung suka pada keseragaman
dan sulit menghargai perbedaan. Sistem pendidikan
yang sudah sejak lama bersifat sentralistis, berpengaruh
pula pada sistem perilaku dan tindakan orang-orang
yang ada di dunia pendidikan tersebut sehingga sulit
menghargai dan mengakui keragaman dan perbedaan.
Dengan berbagai tantangan yang dihadapi,
madrasah memiliki potensi untuk bisa mengembangkan
pendidikan multikultural yang didasarkan pada landasan
teologis dan realitas sosioetnis yang ada di negeri ini.
Kelebihan madrasah dalam mengintensifkan pendidikan
multikultural adalah surplusnya muatan keagamaan
dalam kurikulum yang diterapkan. Diharapkan bonus
konten kurikulum ini dapat dijadikan upaya intensifikasi
pemahaman keagamaan yang lebih inklusif dan toleran.
Hal ini dapat diimplementasikan dengan cara
mengintegrasikan berbagai materi pelajaran dengan
konsep multikulturalisme yang dilandasi keyakinan
teologis yang lebih terbuka.
H. Penutup
Keragaman, kebhinnekaan atau multikulturalisme
merupakan realitas utama yang dialami masyarakat dan
kebudayaan Indonesia di masa silam, masa kini dan
masa depan. Oleh karena itu, pendidikan multikultural
yang diberlakukan secara menyeluruh terhadap
berbagai lapisan masyarakat merupakan langkah yang
tepat untuk membentuk masyarakat kultural Indonesia
yang demokratis.
Untuk memperbaiki, menjaga dan merawat
masyarakat majemuk Indonesia, multikulturalisme dapat
dijadikan alternatif solusi untuk menghindari berbagai
20 – Education, Politic, Religion & Multiculturalism 2014

permasalahan sosial, ekonomi, politik yang berpotensi
menimbulkan disintegrasi bangsa dan negara. Proses
transformasi menuju masyarakat multikultural dapat
dilakukan dengan memasukkan pengajaran
multikulturalisme ke dalam kurikulum sekolah. Kurikulum
pendidikan multikultural harus mencakup tema-tema
seperti toleransi, perbedaan etnokultural dan agama,
bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi,
hak asasi manusia, demokrasi dan pluralitas,
kemanusiaan universal, dan subyek lain yang relevan.
Bersamaan
dengan
upaya-upaya
tersebut,
sebagaimana
dikemukakan
Suparlan,
sebaiknya
Kemdikbud mengadopsi pendidikan multikulturalisme
untuk diberlakukan dalam pendidikan sekolah, dari
tingkat SD sampai dengan SLTA. Multikulturalisme
sebaiknya termasuk dalam kurikulum sekolah, dan
pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai pelajaran
ekstrakurikuler atau menjadi bagian dari kurikulum
sekolah (khususnya untuk daerah-daerah bekas konflik
berdarah antarsukubangsa, seperti di Poso, Kalimantan
Barat, Kalimantan Tengah, dan berbagai tempat
lainnya).41
Agar agama tidak menjadi faktor pemecah belah
(disintegratif), dan sebaliknya menjadi faktor pemersatu
(integratif) bagi persatuan dan kesatuan bangsa,
semestinya agama tidak dipahami secara ekslusif dan
ekstrem (tat}arruf). Para tokoh agama semestinya
memahami agama dengan melihat juga kondisi obyektif
bangsa Indonesia yang majemuk (multikultural,
multiagama, dan multietnis), sehingga pemahaman
keagamaan lebih bersifat moderat, tentu saja dengan
tanpa mengorbankan ajaran-ajaran dasar agama.
Pemahaman yang moderat akan menghasilkan
ajaran agama yang mengedepankan kasih sayang
(rah}mah), perdamaian (sala>m), dan toleransi
(tasa>muh}) dalam hubungan antarmanusia. Di sinilah
peran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam
harus lebih diintensifkan dalam sosialisasi dan
41Suparlan, “Membangun Kembali “Indonesia yang Bhinneka
Tunggal Ika”: Menuju Masyarakat Multikultural,” Antropologi
Indonesia 69, (2002):102-103.
Urgensi Pendidikan Multikultural di Madrasah – 21

impelementasi pendidikan agama Islam berbasis
multikulturalisme. Hal ini membutuhkan partisipasi
semua pihak yang terlibat dalam pendidikan di
madrasah, mulai dari guru, siswa, kepala sekolah dan
para stake holder yang berperan dalam pengembangan
suatu madrasah.

22 – Education, Politic, Religion & Multiculturalism 2014

Daftar Pustaka
A. Buku, Jurnal dan Laporan Penelitian
Adian, Donny Gahral. “Multicultural Politics in Indonesia:
Dialogue and Gotong Royong,” Dialogue and
Universalisme Volume 2, Number 2 (2011): 1-12.
----. “Reasoning in a multicultural society”, Wacana Vol.
13 No.2 (Oktober 2011): 352-364.
Azra, Azyumardi. Merawat Kemajemukan, Merawat
Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Banks, James A. & Cherry A. McGee Banks (eds).
Multicultural Education Issues and Perspectives:
Seventh Edition. New Jersey: John Wiley & Sons,
2010.
Budianta, Melani. “Multikulturalisme dan Pendidikan
Multikultural: Sebuah Gambaran Umum”.Tsaqafah,
Vol 1, No.2 (2003): 8-16.
Fleras, Augie. “Multiculturalism as Governance:
Principles and Paradoxes, Policies and
Perspectives” dalam Augie Fleras (ed), The Politics
of Multiculturalism: Multicultural Governance in
Comparative Perspective (Pelgrave Macmillan,
2009), 1-22.
Halili dan Bonar Tigor Naipospos, Stagnasi Kebebasan
Beragama Laporan Kondisi Kebebasan
Beragama/Berkeyakinan di Indonesia Tahun 2013.
Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2014.
Hefner (ed.), Robert W. Making Modern Muslims: The
Politics of Islamic Education in Southeast Asia.
Honolulu: University of Hawai’i Press, 2009.
Jackson, Robert. Rethinking Religious Education and
Plurality. New York: RoutledgeFalmer, 2004.
Urgensi Pendidikan Multikultural di Madrasah – 23

Mahfud, Chairul. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007.
Muliadi, Erlan. “Urgensi Pembelajaran Pendidikan Agama
Islam Berbasis Multikultural di Sekolah,” Jurnal
Pendidikan Islam Volume I, Nomor 1, (2012): 5568.
Nieto, Sonia & Patty Bode, “School Reform and Student
Learning: A Multicultural Perspective” dalam James
A. Banks & Cherry A. McGee Banks (Eds.),
Multicultural Education Issues and Perspectives:
Seventh Edition. New Jersey: John Wiley & Sons,
2010.
----. Affirming diversity: The sociopolitical context of
multicultural education. Boston: Pearson, 2008.
Noor, Farish A, Yoginder Sikand dan Martin van
Bruinessen (Eds.). The Madrasa in Asia: Political
Activism and Transnational Linkages. Amsterdam:
Amsterdam University Press, 2008.
Rus’an dan Sri Dewi Lisnawaty. “Urgensi Pendidikan
Multikultural dalam Pendidikan Islam di Madrasah
Aliyah Negeri (MAN) Poso Pesisir. Istiqra, Vol. 1, No.
1 (2013): 97-98.
Suparlan, Parsudi. “Masyarakat Majemuk Indonesia dan
Multikulturalisme.” Makalah dalam seminar sehari
“Mengembangkan Akselerasi Perwujudan
Masyarakat Multikultural dan Multikulturalisme
dalam Rangka Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat
Jangka Menengah Indonesia”, UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, 24 Juli 2004.
----. “Membangun Kembali “Indonesia yang Bhinneka
Tunggal Ika”: Menuju Masyarakat Multikultural.”
Antropologi Indonesia 69, (2002):102-103.

24 – Education, Politic, Religion & Multiculturalism 2014

Supriadi, Dedi. Reformasi Pendidikan dalam Konteks
Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita, 2000.
Sutijono. “Multicultural Education in Indonesia: An
Alternative for National Education in Global Era.”
Sosiohumanika, 3(1) 2010: 53-66.
Tilaar, H.A.R. Multikulturalisme: Tantangan-tantangan
Global Masa Depan dalam Transformasi
Pendidikan. Jakarta: Grasindo, 2004.
----. 50 Tahun Pengembangan Pendidikan Nasional 19451995: Suatu Analisis Kebijakan. Jakarta: PT
Grasindo, 1995.
Tim Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Laporan Tahunan
Kehidupan Keagamaan di Indonesia Tahun 2012.
Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013.
Yaqin, M. Ainul. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural
Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan.
Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
Yusuf, Slamet Effendy. “Review 5 Tahun Kehidupan Umat
Beragama di Indonesia: Perspektif MUI.” Makalah
disampaikan dalam “Kongres FKUB” di Jakarta, 2122 November 2011.
B. Website
“Indonesia Miliki 1.128 Suku Bangsa.” JPNN.com. 3
Februari 2010. Diakses 19 Juni 2014.
http://www.jpnn.com/index.php?
id=57455&mib=berita.detail.
Ditjen Pendis Kemenag RI. “Analisis Deskriptif Pendidikan
RA dan Madrasah Tahun Pelajaran 2011-2012.”
Diakses 19 Juni 2014.

Urgensi Pendidikan Multikultural di Madrasah – 25

http://pendis.kemenag.go.id/index.php?
a=artikel&id2=analisis2011.
Ditjen Pendis Kemenag RI. “Sejarah Pendidikan Islam dan
Organisasi Ditjen Pendidikan Islam.” Diakses 18
Juni 2014.
http://pendis.kemenag.go.id/index.php?
a=artikel&id2=sejarahpendis#.U6PxMkAyE1E.
Koppelman, Kent. “What Are the Goals of
Multiculturalism?.” ASCD Express 6-15, 2011.
Diakses 19 Juni 2014. http://www.ascd.org/ascdexpress/vol6/615-koppelman.aspx
Oregon Department of Education. “Multicultural
Education – Definition.” Diakses 19 Juni 2014.
http://www.ode.state.or.us/search/page/?id=2575
Zuriyani, Elsy. “Implementasi Pendidikan Multikultural
pada Mata Pelajaran IPA MI,” 26 November 2013,
diakses 19 Juni 2014,
http://bdkpalembang.kemenag.go.id/elsy1/.

26 – Education, Politic, Religion & Multiculturalism 2014