Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia

(1)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI

PERANAN LEMBAGA ARBITRASE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PASAR MODAL DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum DisUSUn oleh:

M. ALI TAMBA NIM: 020 222 096

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN DISETUJUI OLEH:

KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROF. DR. TAN KAMELO, SH. MS NIP: 131 764 556

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

M. HAYAT, SH SYAMSUL RIZAL, SH.MH

NIP: 130 808 994 NIP: 131 970 595

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

KATA PENGANTAR

Syukur penulis ucapkan kehadhirat Allah SWT yang telah mengkaruniakan kasehatan dan kelapangan berfikir kepada penulis sehingga akhirnya tulisan ilmiah dalam bentuk skripsi ini dapat diselesaikan.

Skripsi ini berjudul: “TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PERANAN

LEMBAGA ARBITRASE ADLAM PENYELESAIAN SENGKETA PASAR MODAL DI INDONESIA”.

Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan dalam rangka mencapai Gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Keperdataan.

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya, kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. M. Hum selaku Dekan Fakultas Hukum USU 2. Bapak Prof Dr. Suhaidi, SH. MH selaku pembantu dekan I fakultas hukum

USU

3. Bapak Syafruddin, SH. MH selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU 4. Bapak M. Husni, SH. M. Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum

USU

5. Bapak prof dr. Tan kamello, SH. MH selaku ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU


(3)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

6. Bapak M. Hayat, SH selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak

membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penulisan skripsi ini. 7. Bapak Syamsul Rizal, SH. MH, selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah

banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penulisan skripsi ini.

8. Bapak/Ibu Para Dosen dan Seluruh Staf Administrasi Fakultas Hukum USU dimana penulis menimba ilmu selama ini

9. Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Hukum USU yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga persahabatan kita tetap abadi

Demikian penulis sampaikan, kiranya skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah dan memperluas cakrawala berfikir kita semua.

Medan, Agustus 2007 Penulis,


(4)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ABSTRAKSI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

F. Metode Penelitian ... 14

G. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II ARBITRASE SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI LUAR PENGADILAN A. Pengertian Arbitrase dan Arbitrase Internasional ... 17

B. Perjanjian dan Bentuk KlaUSUla Arbitrase ... 23

C. Keuntungan dan Kelemahan Arbitrase ... 29

D. Tata Cara Pengangkatan Arbiter dan Hukum Acara Arbitrase ... 34

E. Badan Arbitrase Nasional Indonesia... 40

BAB III TINJAUAN UMUM PRAKTEK PASAR MODAL DI INDONESIA A. Pengertian Pasar Modal dan Penunjang Pasar Modal ... 44


(5)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

B. Pelaku-pelaku dan Profesi Penunjang Pasar Modal ... 46

C. Instrumen atau Produk Pasar Modal ... 49

D. Instrumen Derivatif di Dalam Pasar Modal Indonesia ... 61

E. Mekanisme Perdagangan Pasar Modal Indonesia ... 71

BAB IV TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PERANAN LEMBAGA ARBITRASE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PASAR MODAL DI INDONESIA A. Transaksi Benturan Kepentingan di Dalam Pasar Modal ... 77

B. Penyelesaian Sengketa di Pasar Melalui Lembaga Arbitrase Sebagai APS (Alternatif Penyelesaian Sengketa) di Luar Pengadilan ... 78

C. Eksistensi dan Masa Depan Lembaga Arbitrase Sebagai APS (Alternatif Penyelesaian Sengketa) di Luar Pengadilan ... 93

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... A. Kesimpulan... 106

B. Saran ... 109 DAFTAR PUSTAKA


(6)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

ABSTRAKSI

Perkembangan dunia bisnis dan perdagangan termasuk di dalamnya perkembangan kegiatan pasar modal memuncul urgensi untuk mengoptimalkan APS (alternatif penyelesaian sengketa), khususnya arbitrase sebagai alternatif selain menyelesaikan sengketa ke pengadilan yang dapat lebih melindungi kepentingan masyarakat sehingga akses masyarakat kepada keadilan tetap dapat terjamin misalnya, semakin sering dimanfaatkan untuk menyelesaikan persengketaan yang tidak atau kurang seimbang posisi tawarnya. Perkembangan APS (alternatif penyelesaian sengketa) di belakang sosial, politik, budaya dan hukum serta kemajuan pendidikan dan ekonomi dari negara yang bersangkutan

Di indonesia pilihan lain untuk mendapatkan keadilan sudah lama dikenal. Menggantikan pasar hukum peninggalan belanda adalah Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Dari sudut kelembagaan kita mengenal badan arbitrase nasional indonesia (BANI), disusul oleh badan arbitrase muamalat indonesia (BAMUI). Dalam rangka penyehatan perusahaan akibat krisis ekonomi tahun 1997, pemerintah mendirikan prakarsa jakarta dengan pola mediasi sebagai dasar utama restrukturisasi. Di bidang perburuhan perburuhan penyelesaian melalui sistem tripartit tidak lain merupakan mediasi. Revitalisasi sistem arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa dewasa ini sejalan dengan tatanan hukum yang ada. Berdasarkan pasal 130 HIR, dalam setiap sidang perdata, hakim terlebih dahulu mengupayakan adanya perdamaian oleh dan antara para pihak yang bersengketa. Bahkan mahkamah agung telah mengeluarkan peraturan yang mendudukkan hakim sebagai mediator aktif.

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Langkah pertama dilakukan penelitian hukum normatif yang didasarkan pada bahan hukum sekunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa di pasar modal di luar pengadilan (alternatif dispute resolution), khususnya lembaga arbitrase.

Pendirian BAPMI (badan arbitrase pasar modal indonesia) yang diumumkan dalam berita negara republik indonesia tanggal 18 oktober 2002, Nomor 84/2002, tambahan berita negara Nomor 5/PN/2002, tidak terlepas dari konteks di pasar modal indonesia, yakni upaya perbaikan/penyempurnaan kelembagaan di pasar modal. Keberadaan BAPMI diharapkan dapat menambah rasa nyaman dan proteksi kepada investor dan masyarakat melalui penyediaan layanan jasa alternatif penyelesaian sengketa. Rasa nyaman dan prtoteksi itu adalah dalam kondisi bersengketa, tersedia bagi investor dan masyarakat opsi mengenai mekanisme alternatif penyelesaian sengketa yang dari segi waktu dan biaya jauh lebih efisien dibandingkan dengan pengadilan serta ditangani oleh orang-orang (mediator/arbiter) yang sungguh-sungguh memahami seluk belum pasar modal. Penyelesaian sengketa yang berlarut-larut hanya akan menimbulkan kerugian yang meningkatkan risiko bisnis.


(7)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Sengketa atau konflik adalah bagian dari irama kehidupan. Ia selalu ada, dan yang dalam keadaan paling jelek tidak dapat dihindarkan. Kita tidak dapat lari dari sengketa atau konflik. Ia harus diatasi atau diselesaikan. Secara tradisional, sebelum kita mengenal badan peradilan dalam sistem ketatanegaraan mutakhir, masyarakat membentuk atau menciptakan sarana penyelesaian sengketa, yang secara bertahap dilembagakan melalui rapat- saran penyeleseian sengketa, yang secara bertahap dilembagakan melalui rapat-rapat komunitas tertentu. Yurisdiksinya mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat baik yang bersifat hubungan antara anggota dan penguasa komunitas, atau juga antara sesame anggota masyarakat sendiri. Sitem ketatanegaraan modern mengangkat kebutuhan akan sistem penyelesaian perkara ini ke tingkat yang lebih canggih dan professional, bahkan mendeklarasikan keindependensian lembaga penyelesaian sengketa termaksud.

Sejarah menunjukkan berdampingnya sarana peradilan di satu pihak dan lembaga penyelesaian sengketa pola tradisional di lain pihak, sebagaimana yang terlihat misalnya di Negara kita. Harapan bangsa-bangsa beradab adalah pada lebih menguatnya badan peradilan sebagai again dari alat kekuasan Negara sehingga apa yang disebut sebagai “keadilan” benar-benar tercapai dengan memuasa. Namun suasana modern ternyata menjebak lembaga peradilan yang lahir dari sistem ketatanegaraan di atas. Umpamanya, demi pemberian kesempatan yang sempurna


(8)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

bagi pencari keadilan, sistem peradilan menjadi kompleks dan panjang, yang kemudian kerapa disalahgunakan. Pemberian kesempatan yang luas bagi pencari peradilan sebagai bagian dari pilar demokrasi, tidak berhasil mencapai tujuannya. Sukar sekali kita melihat adanya orang yang legowo menerima putusan penadilan atas dasar bahwa “memang saya salah. Yang mengemuka adalah “pokoknya saya punya hak untuk banding, bahkan kasasi. Celakanya kasasi pun tidak cukup, lalu digunakan sarana peninjauan kembali (PK), padahal PK adalah sarana yang hanya dapat digunakan secara selektif.1

Itulah sebabnya dalam transasksi bisnis internasional dikembangkan alternatif terhadap sistem peradilan modern tersebut, seperti yang banyak kita jumpai dalam dokumen-dokumen yang berkaitan. Selain dari lemahnya sistem peradilan dari sudut struktural ketidakpuasan dunia usaha juga ditambah ekses dari sudut kelemahan pelaksanaan sumber daya manusia di belakang sistem peradilam modern tadi, maka keadilan makin sukar digapai. Di Indonesia pilihan lain untuk mendapatkan keadilan sudah lama dikenal. Menggantikan pasar hukum peninggalan adalah Undang-undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa. Dari sudut kelembagaan kita mengenal badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), disusul oleh Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). Dalam rangka penyehatan perusahaan akibat krisis ekonomi tahun 1998, pemerintah mendirikan prakarsa Jakarta dengan pola mediasi sebagai dasar utam restrukturisasi. Di bidang perburuhan penyelesaian melalui sisstem tripartite tidak lain merupakan mediasi. Revitalisasi.

1

Achmad Zein Umar Purba, BAPMI dan Penyelesaian Sengketa Pasar Modal, diakses dari situs http://www.bapmi.go.id, tanggal 20 agustus 2004


(9)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

Sistem arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa dewasa ini sejalan dengan tatanan hukum yang ada. Berdasarkan pasal 130 HR, dalam setiap idang perdata, hakim terlebih dahulu mengupayakan adanya perdamaian dan antara para pihak yang bersengketa bahkan Mahkamah Agung telah mengeluarkan peraturan yang mendudukkan hakim sebagai mediator aktif.2

Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternate penyelesaian sengketa sebenarnya sudah lama dikenal meksipun jarang diperguankana. Arbitrase diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan dipakainya Op De Rechrverordering (RV) dan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) ataupun Rechtsreglement Bitewengesten (RBg), karena semula arbitrase ini diatur dalam pasal 615 s/d 651 Reglement Op De Rechtverdering. Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak berlaku lagi dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 30 tahun 1999.

Arbitrase sendiri telah termuat dalam pasal 1 angka 8 Undang-undang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa No. 30 tahun 1999: “lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai suatu sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat suatu hubungan hukum tertentu dalam hal timbul sengketa dalam pasal 5 Undang-undang nomor 30 tahun 1999 disebutkan bahwa: “sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak-pihak yang bersengketa”.

2


(10)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

Dalam UU No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, keberadaan arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 yang antara lain menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbitrase hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memeroleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari pengadilan.3

Pasar modal merupakan suatu disiplin yang tumbuh dengan cukup pesat, dan memberikan kontribusi yang berarti bagi perekonomian Indonesia. UU No. 8 tahun 1995 tentang pasar modal yang menyatakan hal tersebut dengan ungakapan “bahwa pasar modal mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan nasional sebagai salah satu sumber pembiayaan bagi dunia usaha dan wahana investasi bagi masyarakat”. Arah kebijakan ekonomi dalam Garis-garis Besar Haluan Negara 1999-2004 menyatakan “mengembangkan Pasar Modal yang sehat, transparan, efisien, dan meningkatkan penerapan peraturan perundangan sesuai dengan standar internasional dan diawasi lembaga independent”, terlihat ada 6 (enam) ciri ideal dan esensial dalam pelaksanaan Pasar Modal yaitu:4

1. sehat 2. transparan 3. efisien

4. penerapan perundang-undangan 5. standar internasional

3

Budhy Budiman, Mencari Model Ideal Penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap Praktik

Peradilan Perdata dan UU No. 30 Tahun 1999, diakses dari situs www.uika-bogor.ac.id/jur05.htm,

tanggal 30 Agustus 2006

4


(11)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

6. pengawasan oleh independent

Keenam ciri di atas merupakan hal-hal yang sangat esensial. Berkaitan dengan itu perlu pula diperhatikan prinsip good corporate governance yang sekarang ini sudah mulai dibudayakan ke institusi/lembaga yang berkaitan dengan dunia usaha. UU No. 25 tahun 2000 tentang program pembangunan nasional menyatakan bahwa dalam rangka Pasar Modal perlu dilakukan berbagai kegiatan termasuk “peningkatan pelaksanaan good corporate governance dan sosialisasinya termasuk mendorong transparansi pelaku Pasar Modal”. Kita tahu good corporate governance dan sosialisasinya mengharuskan dipenuhinya unsur-unsur efisiensi, profesionalisme, transparansi dan akuntabilitas. Hal itu sejalan pula dengan visi Pasar Modal Indonesia yakni “mewujudkan Pasar Modal sebagai penggerak ekonomi nasional yang tangguh dan berdaya saing global”.

Penyelesaian sengketa di bidang Pasar Modal berada dalam koridor yang berunsurkan aspek-aspek yang telah diuraikan di atas. Secara ringkas dalam rangka penyelenggaraan Pasar Modal dengan berbagai atribut di atas, dikaitkan dengan kehendak politis untuk mencapai supremasi hukum dengan segala dampak pada proses penyelesaian sengketa, didirikan suatu lembaga bernama Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI).

BAPMI didirikan tanggal 9 agustus 2002 dalam suatu upacara yang disaksikan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia. Penandatanganan akta pendirian BAPMI didahului oleh kesepakatan (MOU) antara 17 asosiasi di lingkungan Pasar Modal Indonesia dan keempat self regulatory organization/SROs


(12)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

(BEJ, BES, KPEI, KSEI) bahwa SROs akan mengesahkan 17 asosiasi tersebut sebagai anggota BAPMI setelah akta pendirian BAPMI yang dibuat oleh SROs memperoleh pengesahan dari menteri kehakiman dan HAM. Walaupun didirikan oleh para SROs dan pelaku Pasar Modal, BAPMI merupakan lembaga yang independen. Hal ini merupakan syarat pokok bagi suatu lembaga yang menyediakan sarana penyelesaian sengketa. Keuangan BAPMI sebagai contoh didapatkan dari iuran anggota, biaya dan imbalan, serta sumbangan yang tidak mengikat.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penulis merasa tertarik untuk mengangkat pembahasan mengenai masalah ini dalam sebuah skripsi. Dimana sekarang ini lembaga arbitrase sebagai salah satu lembaga alternatif dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan mulai banyak diminati, hal ini untuk menghindari kecederungan proses yang bertele-tele di pengadilan. Khusus di Pasar Modal, pemakaian lembaga arbitrase dan keberadaan BAPMI sebagai wadah arbitrase Pasar Modal modal Indonesia menjadi sangat menarik karena ini akan memberikan pedoman bagi perjanjian-perjanjian atau kontrak-kotrak Pasar Modal. Seperti, perjanjian emisi efek, perjanjian perwalian amanat untuk menggunakan arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa. Selama ini seringkali dijumpai obligasi-obligasi yang tidak tercatat di Pasar Modal banyak memiliki problem dan ketika ingin diterapkannya ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian perwaliamanatan, banyak ditemui hambatan. Hambata-hambatan tersebut terutama terkait dengan administrasi dan sistem peradilan yang terlibat korupsi. Sedangkan, hambatan lainnya menyangkut sulitnya mengukur perkiraan biaya dan kepastian


(13)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

hukum bila sengketa diselesaikan di pengadilan, khususnya, dalam sengketa perjanjian perwaliamanatan.5

B. Rumusan Permasalahan

Sejalan dengan hal-hal tersebut di atas, maka rumusan permasalahan yang akan saya bahas di dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. bagaimana penyelesaian sengketa di Pasar Modal melalui lembaga arbitrase sebagai APS (Alternatif Penyelesaian Sengketa) di luar pengadilan

2. bagaimana eksistensi dan proses penyelesaian sengketa Pasar Modal melalui lembaga Arbitrase oleh BAPMI (badan arbitrase Pasar Modal Indonesia) 3. bagaimana eksistensi dan masa depan lembaga arbitrase sebagai APS

(Alternatif penyelesaian sengketa) di luar pengadilan dalam penyelesaian sengketa Pasar Modal di Indonesia.

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka tujuan penulisan skripsi ini secara singkat adalah sebagai berikut:

1. untuk mengetahui penyelesaian sengketa di Pasar Modal melalui lembaga arbitrase sebagai APS (Alternatif Penyelesaian Sengketa) di luar pengadilan

2. untuk mengetahui eksistensi dan proses penyelesaian sengketa Pasar Modal melalui lembaga Arbitrase oleh BAPMI (badan arbitrase Pasar Modal Indonesia)

5

Sengketa Pasar Modal Dinilai Cocok Diselesaikan di BAPMI (Badan Arbitrase Nasional


(14)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

3. untuk mengetahui eksistensi dan masa depan lembaga arbitrase sebagai APS (Alternatif penyelesaian sengketa) di luar pengadilan dalam penyelesaian sengketa Pasar Modal di Indonesia.

Selanjutnya, penulisan skripsi ini juga diharapkan bermanfaat untuk: 1. Manfaat Secara Teoritis

Penulis berharap kiranya penulisan skripsi ini dapat bermanfaat untuk dapat memberikan masukan sekaligus menambah khasanah ilmu pengetahuan dan literatur dalam dunia adamis, khususnya tentang hal-hal yang berhubungan dengan penyelesaian sengketa di luar pengadilan (Alternatif Dispute Resolution), khususnya dengan menggunakan lembaga arbitrase.

2. Manfaat Secara Praktis

Secara praktis penulis berharap agar penulisan skripsi ini dapat memberi pengetahuan tentang lembaga arbitrase khususnya dalam penyelesaian sengketa Pasar Modal. Seperti yang diketahui bersama, salah satu kebijakan dalam sektor ekonomi adalah pengembangan Pasar Modal yang sehat, transparan dan efisien. Peningkatan peranan di bidang Pasar Modal, merupakan salah satu kebijakan dalam bidang ekonomi, yang saling memperkokoh satu sama lain. Oleh karena itu, penegakan hukum di Pasar Modal menjadi alat terpenting untuk melindungi kepentingan ivenstor dan publik dari praktik yang merugikan baik yang dilakukan oleh emiten maupun konsultan hukum pasar modal. Oleh karena lembaga arbitrase sebagai salah satu lembaga di luar pengadilan banyak digunakan oleh para pihak khususnya dalam penyelesaian sengketa Pasar Modal. Berbeda dengan


(15)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

lembaga lain seperti mediasi, pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase bersifat mengikat (binding) oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan pendapatnya pada lembaga arbitrase tersebut). Sehingga dengan adanya skripsi ini penulis berharap dapat memberikan masukan dan membuka wacana berpikir, khususnya bagi pihak-pihak yang berkaitan dengan dunia perdagangan.

D. Keaslian Penelitian

Pembahasan skripsi ini berjudul: “Tinjauan yuridis mengenai peranan lembaga arbitrase dalam penyelesaian sengketa Pasar Modal di Indonesia” adalah masalah yang sebenarnya sudah sering kita dengar. Dimana penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini menjadi alternatif Pasar Modal sengketa pasar modal yang mulai banyak dipilih. Karena penyelesaian sengketa di luar pengadilan khususnya arbitrase ini diyakini dapat lebih memuaskan para pihak, karena prosesnya lebih cepat, hemat biaya dan konfidensial. Cara inilah yang paling disukai oleh mereka yang bergerak dalam kegiatan bisnis.

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran dari penulis yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang berlaku maupun dengan doktrin-doktrin yang ada, dalam rangka melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan apabila ternyata di kemudian hari terdapat judul dan permasalahan yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab terhadap skripsi ini.


(16)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

E. Tinjauan Kepustakaan

Pasar modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek.6

Lembaga penunjang pasar modal adalah sebagai berikut:7 a. Bursa Efek

Bursa efek adalah pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan atau sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli efek. Pihak-pihak lain yang dengan tujuan memperdagangkan efek di atara mereka. Pengertian ini mencakup pula sistem dan atau sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli efek, meskipun sistem dan atau sarana tersebut tidak mencakup sistem dan atau sarana untuk memperdagangkan efek.

b. Biro Administrasi Efek

Biro Administrasi Efek (BAE) adalah pihak yang berdasarkan kontrak dengan emiten melakanakan pencatatan pemilikan efek dan pembagian hak yang berkaitan dengan efek.

c. Kustodian

Kustodian adalah pihak yang memberikan jasa penitipan efek dan harta lain yang berkaitan dengan efek serta jasa lain, termasuk menerima deviden, bunga, dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi efek, dan mewakili pemegang rekening

6

Edi Subroto Suwarno, Tinjauan Hukum dan Praktek di Pasar Modal Indonesia, diakses dari situs www.bapepam.go.id, tanggal 30 November 2005

7


(17)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

yang menjadi nasabahnya. Kegiatan usaha sebagai Kustodian tersebut dapat diselenggarakan oleh lembaga penyimpanan dan penyelesaian (LPP), perusahaan efek, atau bank umum yang telah mendapat persetujuan dari Bapepam.

d. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian

Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian adalah pihak yang menyelenggarakan kegiatan custodian sentral bagi bank Kustodian, perusahaan efek, dan pihak lain. Saat ini dilakukan oleh PT. Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI)

e. Bank Kustodian

Bank Kustodian adalah pihak yang memberikan jasa penitipan kolektif dan harta lainnya yang berkaitan dengan efek. Penitipan kolektif yang dimaksud di sini adalah jasa penitipan atas efek yang dimiliki bersama oleh lebih dari satu pihak yang kepentingannya diwakili oleh Kustodian.

f. Lembaga Kliring dan Penjaminan

Lembaga Kliring dan Penjaminan adalah pihak yang menyelenggarakan jasa kliring dan penjaminan penyelesaian transaksi bursa, yaitu kontrak yang dibuat oleh anggota bursa efek, yaitu perantara pedagang efek yang telah memperoleh izin usaha dari Bapepam dan mempunyai hak untuk mempergunakan sistem dan atau sarana bursa efek menurut peraturan bursa efek, sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh bursa efek mengenai jual beli efek, pinjam meminjam efek, atau kontrak lain mengenai efek atau harga efek, pinjam-meminjam efek, atau kontrak lain mengenai efek atau harga efek. Saat ini dilakukan oleh PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI).


(18)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

g. Wali Amanat

Wali amanat adalah pihak yang mewakili kepentingan pemegang efek bersifat utang. Bank Umum yang akan bertindak sebagai wali amanat wajib terlebih dahulu terdaftar di Bapepam untuk mendapatkan surat tanda terdaftar sebagai wali amanat.

h. Pemeringkat Efek

Perusahaan pemeringkat efek adalah pihak yang menerbitkan peringkat-peringkat bagi surat utang (debt securities), seperti obligasi dan commercial paper. Sampai saat ini bapepam telah memberikan izin usaha kepada dua perusahaan pemeringkat efek yaitu PT Pefindo dan PT Kasnic Duff & Phelps Credit Rating Indonesia.

2. Pengertian Arbitrase

Pengertian arbitrase termuat dalam pasal 1 angka 8 Undang-undang Arbitrase dan alternatif Penyelesaian Sengketa Nomor 30 tahun 1999: “Lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa”.

Dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 disebutkan bahwa: “sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang


(19)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

perdagangan dan hak yang menurut hukum dan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa”.

Dalam banyak perjanjian perdata, klausula arbitrase banyak digunakan sebagai pilihan penyelesaian sengketa. Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase bersifat mengikat (binding) oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan pendapatnya pada lembaga arbitrase tersebut). Setiap pendapat yang berlawanan terhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian (breach of contract – wanprestasi). Oleh karena itu tidak dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun. Putusan arbitrase bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap) sehingga ketua pengadilan tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut.

Menurut Black’s Law Dictionary: “arbitration, an arrangement for taking an abiding by the judgement of selected persons in some disputed matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary ligitation”. Menurut pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase


(20)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrase dapat terwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:8

1. klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (factum de compromitendo); atau

2. suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (akta kompromis).

Sebelum undang-undang arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur dalam pasal 615 s/d 651 Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada penjelasan pasal 3 ayat 1 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian melalui wasit (arbitrase) telah diperbolehkan.

Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternate penyelesaian sengketa sebenarnya sudah lama dikenal meksipun jarang diperguankana. Arbitrase diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan dipakainya Op De Rechrverordering (RV) dan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) ataupun Rechtsreglement Bitewengesten (RBg), karena semula arbitrase ini diatur dalam pasal 615 s/d 651 Reglement Op De Rechtverdering. Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak berlaku lagi dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 30 tahun 1999. Dalam UU No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, keberadaan arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 yang antara lain menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase

8

Suyud Margono, ADR dan Arbitrase: Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000. hal. 57


(21)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbitrase hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memeroleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari pengadilan.9

Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui badan permanent (institusi). Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase, misalnya Undang-undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau UNCITRAL. Arbitration Rules. Pada umumnya arbitrase ad-hoc ditentukan berdasarkan perjanjian yang menunjukkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak. Penggunaan arbitrase Ad-hoc perlu disebutkan dalam sebuah klausul arbitrase. Arbitrase institusi adalah suatu lembaga permanent yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), atau yang internasional seperti the rules of arbitration dari the international chamber of commerce (ICC) di Paris, the arbitration rules dari the international centre for settlement of investment disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri.10

BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) memberi standar klausul arbitrase sebagai berikut: “semua sengketa yang timbul dari perjanjian, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut

9

Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan, Chandra Pratama, Jakarta, 2001. hal. 78

10


(22)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir.

Menurut Priyatna Abdurrasyid, ketua BANI yang diperiksa pertama kali adalah klausul arbitrase. Artinya ada atau tidaknya, sah atau tidaknya, sah atau tidaknya klausul arbitrase, akan menentukan apakah suatu sengketa akan diselesaikan melalui jalur arbitrase. Priyana menjelaskan bahwa bisa saja klausul atau perjanjian arbitrase dibuat setelah sengketa timbul.11

F. Metode Penelitian

1. Sifat/Bentuk Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Langkah pertamam dilakukan penelitian hukum normatif yang didasarkan pada bahan hukum sekunder, yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa pasar modal di luar pengadilan (Alternatif Dispute Resolution), khususnya lembaga arbitrase. Selain itu dipergunakan juga bahan-bahan tulisan yang berkaitan dengan persoalan ini.

Penelitian bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam meletakkan persoalan ini dalam persektif hukum perdata khususnya yang terkait dengan masalah penyelesaian sengketa pasar modal dengan menggunakan lembaga arbitrase.

2. Data

11

Yahya Harahap, Arbitrase Ditinjau dari Reglement Acara Perdata, Peraturan Prosedur


(23)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

Bahan atau data yang diteliti berupa data sekunder yang terdiri dari:

a. bahan/sumber primer berupa peraturan perundang-undangan, buku, kertas kerja.

b. Bahan/sumber sekunder berupa bahan acuan lainnya yang berisikan informasi yang mendukung penulisan skripsi ini.

3. Tehnik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi ini, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan (library research), yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah-majalah, surat kabar, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.

G. Sistematika Penulisan

Untuk lebih mempertegas penguraian isi dari skripsi ini, serta untuk lebih mengarahkan pembaca, maka berikut di bawah ini penulis membuat sistematika penulisan/gambaran isi skripsi ini sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini merupakan bab pendahuluan yang menguraikan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang, perumusan


(24)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

masalah, keaslian penulisan, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, dan diakhiri dengan metode penelitian dan sistematika penulisan

BAB II ARBITRASE SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN

Pada bab ini dibahas hal-hal yang berkaitan dengan pengertian arbitrase dan arbitrase internasional, perjanjian dan bentuk klausula arbitrase, keuntungan dan kelemahan arbitrase, tata cara pengangkatan arbiter, hukum acara arbitrase dan badan arbitrase nasional Indonesia.

BAB III TINJAUAN UMUM PRAKTEK PASAR MODAL DI INDONESIA

Pada bagian ini dibahas hal-hal yang berkaitan dengan pengertian pasar modal dan penujang pasar modal, pelaku-pelaku dan profesi penunjang pasar modal, instrument atau produk pasar modal, instrument derivatif di dalam pasar modal Indonesia dan mekanisme perdagangan pasar modal Indonesia.

BAB IV TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PERANAN LEMBAGA ARBITRASE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PASAR MODAL DI INDONESIA

Pada bagian ini dibahas mengenai transaksi benturan kepentingan di dalam pasar modal, penyelesaian sengketa di pasar modal melalui lembaga arbitrase sebagai APS (Alternatif Penyelesaian Sengketa) di


(25)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

luar pengadilan, serta eksistensi dan masa depan lembaga arbitrase sebagai APS (alternatif penyelesaian sengketa) di luar pengadilan dalam penyelesaian sengketa pasar modal di Indonesia.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini dibahas mengenai kesimpulan dan saran sebagai hasil dari pembahasan dan penguraian skripsi ini secara keseluruhan.


(26)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

BAB II

ARBITRASE SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI LUAR PENGADILAN

A. Pengertian Arbitrase

Kata arbitrase berasal dari bahasa latin yaitu “arbitrare” yang artinya kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut “kebijaksanaan”. Dikaitkannya istilah arbitrase dengan kebijaksanaan seolah-olah memberi petunjuk bahwa majelis arbitrase tidak perlu memperhatikan hukum dalam menyelesaikan sengketa para pihak, tetapi cukup berdasarkan kebijaksanaan.12

Dalam penjelasan UU No. 30 tahun 1999 disebutkan bahwa jika arbiter diberi kebebasan untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan, maka peraturan perundang-undangan dapat dikesampingkan. Akan tetapi dalam hal tertentu hukum memaksa (dwi ngende regels) harus diterapkan dan tidak dapat disimpangi oleh arbiter. Jika arbiter tidak diberi kewenangan untuk menjatuhkan putusan

Dalam memeriksa dan memutus suatu sengketa, arbiter atau majelis arbitrase selalu mendasarkan diri apda hukum, yaitu hukum yang telah dipilih oleh para pihak yang bersengketa (choice of law). Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan bahwa para arbiter apabila dikehendaki oleh para pihak, memutus atas dasar keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono).

12


(27)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

berdasarkan keadilan dan kepatutuan, maka arbiter hanya dapat memberi putusan bedasarkan kaidah hukum materil sebagaimana dilakukan oleh hakim

Banyak penulis mencoba mendefenisikan arbitrase dari suatu pandang yang berbeda. Ada yang mengartikan arbitrase sebagai peradilan swasta, pengadilan pengusaha, perwasitan dan lain-lain. Jika diperhatikan, esensi berbagai pendapat para penulis tersebut tidak berbeda secara signifikan, karena mengacu pada pilihan penyelesaian sengketa komersial berdasarkan kesepakatan.

Secara umum arbitrase adalah suatu proses dimana dua pihak atau lebih menyerahkan sengketa mereka kepada satu orang atau lebih yang imparsial (disebut arbiter) untuk memperoleh suatu putusan final dan mengikat. Dari pengertian itu terdapat tiga hal yang harus dipenuhi, yaitu:

1. adanya suatu sengketa

2. kesepakatan untuk menyerahkan ke pihak ketiga 3. putusan final dan mengikat akan dijatuhkan

Menurut mertokusumo, arbitrase adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan persetujuan para pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang wasit atau arbiter.13

Definisi lainnya tentang arbitrase, adalah suatu tindakan hukum dimana ada pihak yang menyerahkan sengketa atau selisih pendapat antara dua orang (atau lebih) maupun dua kelompok (atau lebih) kepada seseorang atau beberapa ahli yang

Di sini kata wasit digunakan sebagai pihak ketiga yang netral dalam memutus perselisihan.

13

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1999. hal. 144.


(28)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

disepakati bersama dengan tujuan memperoleh suatu keputusan final dan mengikat.14

Dari pengertian pasal 1 butir 1 tersebut diketahui pula bahwa dasr dari arbitrase adalah perjanjian di antara para pihak sendiri, yang didasarkan pada asas kebebasan berkontrak. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1338 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa apa yang telah diperjanjikan oleh para pihak mengikat mereka sebagai undang-undang. Pasal 1338 KUHPerdata berbunyi: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Di sini arbiter disebut sebagai ahli, yang keputusannya final dan mengikat.

Dalam pasal 1 butir 1 UU No. 30 tahun 1999 disebutkan: “arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”. Dari rumusna tersebut daspat disimpulkan bahwa sengketa yang dapat dibawa pada arbitrase adalah sengketa yang bersifat keperdataan. Para pihak telah menyepakati secara tertulis, bahwa mereka, jika terjadi perkara mengenai perjanjian yang mereka buat, akan memilih jalan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan tidak berperkara di depan peradilan umum. Dengan demikian, yang dilakukan adalah untuk memutuskan pilihan forum, yaitu yurisdiksi dimana suatu sengketa akan diperiksa dan bukan pilihan hukum.

15

Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase, baik

14

Prayitna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa: Suatu Pengantar, Fikahati Aneka, Jakarta, 2002. hal. 16

15


(29)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

arbitrase yang bersifat sementara (Ad-hoc) maupun sebuah badan permanent (institusi) merupakan praktik yang sudah sangat lama dikenal dalam dunia perdagangan.

Sebuah arbitrase Ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan berarbitrase, misalnya UU No. 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa (APS), atau arbitrase UNCITRAL (UNCITRAL Arbitration Rules), dan lain-lain, serta seringkali dibentuk setelah sengketa timbul, maka ketentuan-ketentuan dalam undang-undang tersebut berlaku bagi sengketa mereka. Di samping itu, aturan tentang prosedur arbitrase Ad-hoc dapat disusun oleh para pihak sendiri atau oleh majelis arbitrase, atau kombinasi di antara keduanya. Arbitrase Ad-hoc bersifat sementara dan berakhir pada saat dijatuhkannya putusan atas sengketa tersebut.

Pada umumnya arbitrase Ad-hoc ditentukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prsedur pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak. Jadi, penggunaan arbitrase Ad-hoc pun perlu diperhatikan dalam sebuah klausula arbitrase.

Di samping itu, yang lebih dikenal dan sering digunakan adalah arbitrase institusi, yaitu suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase baik yang bersifat nasional, seperti badan arbitrase nasional Indonesia (BANI), maupun badan arbitrase internasional, seperti the rules of arbitration dari the international chamber of


(30)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

commerce (ICC) di Paris, the arbitration rules dari the international centre for settlement of investment disputes (ICSID) di Washington, dan lain-lain. Badan-badan arbitrase nasional dan internasional tersebut memiliki peraturan dan sistem arbitrase sendiri.

Jadi, dalam transaksi bisnis saat ini para pihak tidak dapat dengan bebas, misalnya memilih arbiter yang akan menangani sengketa, karena mereka terikat pada lembaga yang bersifat mengatur arbitrase tersebut, misalnya jika para pihak telah mencantumkan BANI di Indonesia sebagai badan arbitrase yang akan menangani sengketa, maka ketentuan-ketentuan arbitrase BANI berlaku bagi mereka, baik ketentuan mengenai pemilihan arbiter, tata cara atau prosedur pelaksanaan arbitrase, biaya yang harus dibayar, dan lain-lain.

Pengertian arbitrase institusi diatur dalam pasal 1 angka 8, yaitu: “lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu. Lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.

Pengertian di atas cukup membingungkan khususnya dari perspektif internasional karena bukan lembaga (badan) tersebut yang memberikan putusan atas sengketa tertentu, arbiter atau majelis arbitraselah (atas nama badan arbitrase tersebut) yang memutuskan sengketa para pihak.


(31)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

1. penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional berdasarkan kesepakatan para pihak;

2. penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga yang dipilih, kecuali ditetapkan oleh para pihak.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya ketentuan-ketentuan dalam UU No. 30 tahun 1999 tersebut tidak akan digunakan jika para pihak telah menentukan salah satu lembaga arbitrase (institusi) bagi penyelesaian sengketa mereka. Masing-masing lembaga arbitrase yang ditunjuk akan menangani sengketa sesuai dengan peraturan dan ketentuan acaranya. Dengan kata lain, undang-undang arbitrase nasional Indonesia hanya berfungsi jika para pihak tidak menunjuk sebuah lembaga arbiter tertentu.

Dari rumusan di atas, terlihat bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan dengan memilih lembaga arbitrase dari berbagai badan arbitrase, baik nasional maupun internasional, selain ada kebebasan menentukan sendiri aturan-aturan dan acara yang berlaku bagi arbitrase.

Sehubungan dengan pengertian tentang kelembagaan arbitrase, secara luas telah disepakati bahwa suatu arbitrase dikategorikan internasional jika memenuhi salah satu (atau lebih) syarat sebagai berikut:16

16


(32)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

a. keorganisasiannya, yaitu suatu organisasi yang para anggotanya adalah negara-negara, sehingga bersifat internasional, misalnya arbitrase ICSID yang berkedudukan di Washington merupakan arbitrase internasional karena ia dibentuk oleh negara-negara peserta berdasarkan the convention on settlement of investment dispute between states and nationals of other states.

b. Proses beracaranya, yaitu tata cara atau prosedur persidangannya dilaksanakan menurut ketentuan atau peraturan, yang bebas dari sistem hukum negara di tempat keberadaan arbitrase tersebut, misalnya arbitrase the international chamber of commerce (ICC) yang berkedudukan di Paris adalah arbitrase internasional karena negara-negara anggotanya menyepakati ketentuan ICC terlepas dari sistem hukum Perancis.

c. Tempatnya, yaitu dalam kenyataannya apakah tempat arbitrase tersebut berhubungan dengan lebih dari satu yurisdiksi, atau apakah terdapat unsur yurisdiksi asing di dalamnya. Artinya, mengingat tempatnya suatu arbitrase dianggap internasional, apabila:

1. para pihak saat membuat perjanjian arbitrase mempunyai tempat usaha di negara-negara yang berlainan

2. tempat arbitrase yang ditentukan dalam perjanjian arbitrase letaknya di luar negara tempat para pihak mempunyai usaha mereka.

Dalam UNCITRAL model law 1985, pasal 1 ayat (3) menyebutkan, bahwa: suatu arbitrase dikatakan internasional jika memenuhi salah satu syarat sebagai berikut:


(33)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

a. para pihak yang terlibat dalam perjanjian arbitrase mempunyai tempat kegiatan bisnis di negara yang berbeda, pada saat penandatanganan perjanjian (“… their place of business in different state”), atau

b. satu dari beberapa tempat berikut berada di luar negara dimana para pihak mempunyai tempat kegiatan bisnisnya, yaitu

1. tempat arbitrase jika ditentukan di dalam perjanjian arbitrase

2. setiap tempat dimana kewajiban terbesar dari hubungan komersial akan dilaksanakan, atau tempat dimana masalah yang disengketakan memiliki hubungan terdekat (“… which the subject – matter of the disput e is most closely connected”) atau

c. para pihak secara tegas setuju bahwa ruang lingkup dari perjanjian arbitrase berhubungan dengan lebih satu negara (“… relates to more than one country”). Dalam kaitan dengan hal tersebut, jika salah satu pihak mempunyai lebih dari satu tempat usaha, maka tempat usaha yang dipakai adalah yang memiliki hubungan terdekat dengan perjanjian arbitrase. Tetapi jika salah satu pihak tidak mempunyai tempat usaha, maka alamat ditujukan pada alamat dimana ia biasanya tinggal.17

Ketentuan arbitrase internasional tersebut tidak mempengaruhi hukum negara lain yang melarang sengketa tertentu untuk diserahkan pada arbitrase. Misalnya untuk Indonesia, sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa pasal 5 ayat (1) UU No. 30 tahun 1999 menentukan ruang lingkup sengketa yang dapat ditangani oleh arbitrase.

17


(34)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

B. Perjanjian dan Bentuk Klausula Arbitrase

Sebagaimana dirumuskan dalam pasal 1 angka 1 UU No. 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, dinyatakan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Perjanjian yang dibuat secara tertulis oleh para pihak ini berisikan perjanjian untuk menyelesaikan suatu sengketa di bidang perdata di luar peradilan umum. Jika dihubungkan dengan ketentuan pasal 1233 KUHPerdata yang menentukan adanya dua sumber perikatan, maka arbitrase ini merupakan perikatan yang dilahirkan dari perjanjian.

Lebih lanjut pasal 1 angka 3 UU No. 30 tahun 1999 mengartikan perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa perjanjian arbitrase timbul karena adanya kesepakatan, berupa:

1. klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau

2. suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat oleh para pihak setelah timbul sengketa

Dengan demikian, perjanjian arbitrase timbul karena adanya kesepakatan secara tertulis dari para pihak untuk menyerahkan penyelesaian suatu sengketa atau


(35)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

perselisihan perdata kepada lembaga arbitrase atau arbitrase Ad-hoc. Dalam kesepakatan tadi dapat dimuat pula pilihan hukum yang akan digunakan untuk penyelesaian sengketa atau perselisihan para pihak tersebut. Perjanjian arbitrase ini dapat dicantumkan dalam perjanjian pokok atau pendahuluannya, atau dalam suatu perjanjian tersendiri setelah timbulnya sengketa atau perselisihan.

Pilihan penyelesaian sengketa di luar pengadilan umum ini harus secara tegas dicantumkan dalam perjanjian. Pada umumnya, klausula atau perjanjian arbitrase dibuat secara tertulis. Di Indonesia, sesuai dengan isi UU No. 30 tahun 1999, menyatakan klausula dibuat secara tertulis oleh para pihak. Jadi dengan adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis ini, berarti meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam pasar modalnya ke Pengadilan Negeri.

Selanjutnya dengan sendirinya Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Untuk itu, Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam UU No. 30 tahun 1999.

Dengan demikian, perjanjian arbitrase memberikan kewenangan absolute kepada lembaga arbitrase atau arbitrase Ad-hoc untuk menyelesaikan sengketa atau beda pendapat di antara para pihak yang timbul atau mungkin timbul dari hubungan hukum tertentu, yang penyelesaiannya disepakati dengan cara arbitrase. Pengadilan


(36)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

Negeri dengan sendirinya tidak berwenang untuk mengadili suatu sengketa yang sebelumnya telah disepakati oleh para pihak untuk diselesaikan melalui cara arbitrase.

Selanjutnya, karena perjanjian arbitrase dapat dibuat sebelum atau sesudah timbul sengketa oleh para pihak, maka bentuk klausula arbitrase tersebut dibedakan atas 2 (dua) bentuk klausula arbitrase, yaitu:

1. Klausula arbitrase yang berbentuk pactum de compromittendo 2. Klausula arbitrase yang berbentuk acta promise

1. Klausula arbitrase yang berbentuk pactum de compromittendo

Sungguhpun istilah “pactum de compromittendo” secara harfiah berarti “akta kompromis”, tetapi dalam beberapa literatur Indonesia dibedakan antara keduanya. Perbedaannya semata-mata pada pemakaiannya saja.18

Pengaturan pokok klausula pactum de compromittendo ini dapat dijumpai dalam pasal 27 UU No. 30 tahun 1999, yang menyatakan bahwa: “para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi di antara mereka untuk Bentuk klausula pactum de compromittendo dibuat oleh para pihak sebelum terjadi sengketa atau perselisihan secara nyata. Para pihak sebelumnya telah sepakat untuk menyerahkan penyelesaian sengketa atau perselisihannya yang mungkin akan terjadi di kemudian hari kepada lembaga arbitrase atau Ad-hoc Ad-hoc. Klausula arbitrase seperti ini dapat dimuat dalam perjanjian pokok atau dalam suatu perjanjian tersendiri.

18

Munir Fuady, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung. 2000. hal. 117-118.


(37)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

diselesaikan melalui arbitrase”. Sebelumnya diatur dalam pasal 615 ayat (3) Rv yang menentukan: “bahkan diperkenankan mengikat diri satu sama lain, untuk menyerahkan sengketa-sengketa yang mungkin timbul di kemudian hari, kepada peutusan seorang atau beberapa orang wasit. Juga dapat dijumpai dalam pasal II ayat (2) Konvensi New York 1958 yang antara lain menentukan: “the parties undertake to submit to arbitration all or any differences…which may arise between them…”.19

Karena pemilihan arbitrase sebelum terajdinya sengketa dilakukan dalam bentuk suatu perjanjian, maka ketentuan hukum perjanjian yang umum berlaku. Perjanjian arbitrase sebagai perjanjian buntutan harus mengikuti prinsip-prinsip hukum perjanjian buntutan, dimana isinya tidak boleh melampaui atau bertentangan dengan perjanjian pokoknya dan tidak ada tanpa adanya perjanjian pokok.20

a. meninggalnya salah satu pihak

Dengan hapusnya atau berakhirnya perjanjian pokok, tidak menyebabkan hapus atau berakhir pula perjanjian atau klausula arbitrasenya. Perkecualian ini ditegaskan dalam pasal 10 UU No. 30 tahun 1999. Pasal tersebut menegaskan suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan:

b. bangkrutnya salah satu pihak c. novasi (pembaruan utang)

d. insolvensi (keadaan tidak mampu membayar) salah satu pihak e. pewarisan

f. berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok

19

Pasal 30 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

20


(38)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

g. bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan kepada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut

h. berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.

2. Klausula arbitrase yang berbentuk acta promise

Bentuk klausula arbitrase lainnya adalah acta promise. Akta kompromis dibuat setelah sengketa atau perselisihan terjadi sehubungan dengan pelaksanaan perjanjian pokok. Dalam perjanjian pokok, para pihak belum mencantumkan klausula arbitrase, baru setelah sengketa atau perselisihan terjadi, para pihak bersepakat untuk memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Untuk itu dibuatlah perjanjian baru tersendiri dan terpisah dari perjanjian pokok, yang berisikan penyerahan penyelesaian sengketa kepada arbitrase atau arbitrase Ad-hoc.

Dalam pasal 9 UU No. 30 tahun 1999 diatur persyaratan pembuatan akta kompromis tersebut, dengan ancaman batal demi hukum jika tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan tersebut. Adapun persyaratan pembuatan akta kompromis dimaksud adalah sebagai berikut:

a. pemilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase oleh para pihak dilakukan setelah sengketa terjadi

b. persetujuan mengenai cara dan pranata penyelesaian sengketa tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis, tidak boleh dengan persetujuan secara lisan


(39)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

c. perjanjian tertulis tadi harus ditandatangani oleh para pihak. Jika para pihak tidak dapat menandantanganinya, perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris.

d. Isi perjanjian tertulis atau akta kompromis harus memuat: 1. masalah yang dipersengketakan

2. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak

3. nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase 4. tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan 5. nama lengkap sekretaris

6. jangka waktu penyelesaian sengketa

7. pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

Sebelumnya, ketentuan mengenai akta kompromis ini dapat dijumpai dalam pasal 918 Rv yang menentukan bahwa persetujuan arbitrase harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak atau jika para pihak tidak dapat menandatangani, maka persetujuan arbitrase tersebut harus dibuat di hadapan notaris. Persetujuan arbitrase dalam akta kompromis tersebut sekurang-kurangnya memuat pokok masalah yang menjadi sengketa, nama dan kedudukan para pihak, dan juga nama-nama dan kedudukan para arbitrase yang ditunjuk, serta jumlah arbiter yang selalu harus dalam jumlah ganjil. Apabila persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 618 Rv tersebut tidak terpenuhi, maka persetujuan arbitrase yang dibuat oleh para pihak yang diancam dengan kebatalan hukum.


(40)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

Selain itu, pengaturan mengenai akta kompromis ini juga dapat dijumpai dalam pasal II ayat (1) Konvensi New York 1958 yang menyatakan dengan kata-kata: “…or any differences which have arisen… (sengketa yang telah terjadi).

Untuk mencegah diterapkannya prosedur litigasi tentang makna dari klausula-klausula arbitrase dan untuk menghindari kejutan-kejutan yang tidak menyanangkan kemudian bila arbitrase dilangsungkan, para pihak harus menyusun klausula-klausula arbitrase dengan cermat. Setidaknya, klausula arbitrase harus memuat komitmen yang jelas terhadap arbitrase serta penyertaan tentang sengketa apa yang diselesaikan sercara arbitrase. Secara umum, klausula-klausula arbitrase mencakup:21

a. Komitmen/kesepakatan para pihak untuk melaksanakan arbitrase b. Ruang lingkup

c. Apakah arbitrase akan berbentuk arbitrase institusional atau Ad-hoc. Apabila memilih bentuk Ad-hoc, maka klausula tersebut harus merinci metode penunjukan arbiter atau majelis arbitrase.

d. Aturan procedural yang berlaku

e. Tempat dan bahasa yang digunakan dalam arbitrase

f. Pilihan terhadap hukum substantive yang berlaku bagi arbitrase

g. Klausula-klausula stabilitasi dan hak kekebalan (imunitas) jika relevan

Sebagai suatu perjanjian, maka pembuatan perjanjian atau klausula arbitrase juga tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum perjanjian pada umumnya sebagaimana tersebut dalam buku III KUHperdata.

21

Gary Goodpaster, Felix Oentoeng, Soebagjo dan Fatimah Jatim, Arbitrase di Indonesia:

Beberapa Contoh Kasus dan Pelaksanaan dalam Praktek, dalam Arbiter Indonesia, Ghalia Indonesia,


(41)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

C. Keuntungan Dan Kelemahan Arbitrase

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dinilai menguntungkan karena beberapa alasan sebagai berikut:

1. Kecepatan Dalam Proses

Suatu persetujuan arbitrase harus menetapkan jangka waktu, yaitu berapa lama perselisihan atau sengketa yang diajukan pada arbitrase harus diputuskan. Apabila para pihak tidak menentukan jangka waktu tertentu, jangka waktu penyelesaian dipilih oleh aturan-aturan arbitrase setempat yang dipilih. Meskipun ada negara yang peraturan perundang-undangannya memberi kesempatan banding terhadap putusan arbitrase, dalam praktiknya kemungkinan banding ini dihapuskan melalui perjanjian. Tujuannya adalah untuk mempercepat proses penyelesaian sengketa.

Dalam pasal 53 UU No. 30 tahun 1999 disebutkan bahwa terhadap putusan arbitrase tidak dapat dilakukan perlawanan atau upaya hukum apapun. Sedangkan dalam pasal 60 secara tegas disebutkan: “putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak”.

2. Pemeriksaan Ahli di Bidangnya

Untuk memeriksa dan memutus perkara melalui arbitrase, para pihak diberi kesempatan untuk memilih ahli yang memiliki pengetahuan yang mendalam dan sangat menguasai hal-hal yang disengketakan. Dengan demikian, pertimbangan-pertimbangan yang diberikan dan putusan yang dijatuhkan dapat


(42)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

dipertanggungjawabkan kualitasnya. Hal itu dimungkikan karena selain ahli hukum, di dalam badan arbitrase juga terdapat ahli-ahli lain dalam berbagai bidang, misalnya ahli perbankan, ahli leasing, ahli pemborongan, ahli pengangkutan darat, laut dan udara dan lain-lain.

Sebagaimana diketahui, dalam pemeriksaan persidangan di pengadilan ada kemungkinan hakim tidak menguasai suatu perkara yang sifatnya sangat teknis. Hal ini disebabkan sebagian besar hakim di pengadilan memiliki latar belakang yang sama, yaitu berasal dari bidang hukum, sehingga mereka hanya memiliki pengetahuan yang bersifat umum (general knowledge) dan sulit bagi mereka untuk memahami hal-hal teknis yang rumit.

3. Sifat Konfidensialitas

Sidang arbitrase selalu dilakukan dalam ruangan tertutup, dalam arti tidak terbuka untuk umum, dan keputusan yang diucapkan dalam sidang tertutup hamper tidak pernah dipublikasikan. Dengan demikian, penyelesaian melalui arbitrase diharapkan dapat menjaga kerahasiaan para pihak yang bersengketa. Berbeda dari arbitrase, proses pemeriksaan dan putusan pengadilan harus dilakukan dalam persidangan yang terbuka untuk umum. Proses yang bersifat terbuka dapat merugikan para pihak yang bersengketa karena rahasia mereka yang seharusnya tertutup rapat diketahui oleh umum.

Sebagai perbandingan dapat dilihat penjelasan UU No. 30 tahun 1999, yang menyebutkan bahwa pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibanding lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain adalah:


(43)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

a. kerahasiaan sengketa para pihak dijamin

b. keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan adminstratif dapat dihindari

c. para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur, dan adil.

d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan

masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase

e. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.

Penjelasan UU No. 30 tahun 1999 menegaskan bahwa pada kenyataannya apa yang disebutkan di atas tidak semuanya benar, sebab di negara-negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat daripada proses arbitrase. Satu-satunya kelebihan arbitrase dibandingkan dengan peradilan adalah sifat kerahasiannya karena keputusannya tidak dipublikasikan. Namun demikian, penyelesaian sengketa melalui arbitrase masih lebih diminati daripada litigasi, terutama untuk kontrak bisnis yang bersifat internasional.

Oleh karena itu, berdasarkan efektivitas penggunaan arbitrase, dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase selalu didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut:22

22

Gatot P. Soemartono, Finalitas Putusan Arbiter Internasional: Analisis Pasal 52 Konvensi


(44)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

1. lebih cepat, karena putusannya bersifat final dan mengikat, sehingga menghemat waktu biaya dan tenaga

2. dilakukannya oleh ahli di bidangnya, karena arbitrase menyediakan para pakar dalam bidang tertentu yang menguasai persoalan yang disengketakan, sehingga hasilnya (putusan arbitrase) dapat lebih dipertanggungjawabkan. 3. kerahasiannya terjamin karena proses pemeriksaan dan putusannya tidak

terbuka untuk umum, sehingga kegiatan usaha tidak terpengaruh.

Dengan beberapa alasan tersebut, arbitrase lebih disukai dan dinilai lebihefektif daripada penyelesaian sengketa di pengadilan. Namun demikian, selain beberapa keuntungan atas pilihan penggunaan arbitrase tersebut, arbitrase memiliki beberapa kelemahan yang dapat membuat arbitrase kehilangan baik daya guna (efektifitas) maupun hasil guna (efisiennya).

Selanjutnya beberapa factor yang merupakan kelemahan arbitrase, adalah sebagai berikut:

a. Hanya untuk para pihak bonafide

Arbitrase hanya bermanfaat untuk para pihak atau pengusaha yang bonafide atau jujur dan dapat dipercaya. Para pihak yang bonafid adalah mereka yang memiliki kredibilitas dan integritas artinya patuh terhadap kesepakatan, pihak yang dikalahkan harus secara sukarela melaksanakan putusan arbitrase. Sebaliknya, jika ia selalu mencari-cari peluang untuk menolak melaksanakan putusan arbitrase, perkara melalui justru akan lebih memakan banyak biaya, bahkan lebih lama daripada proses di pengadilan, misalnya pengusaha yang dikalahkan tidak setuju dengan suatu putusan


(45)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

arbitrase, maka ia dapat melakukan berbagai cara untuk mendapatkan stay of execution (penundaan pelaksanaan putusan) dengan membawa perkaranya ke pengadilan.

Demikian pula tidak jarang ditemui dalam praktik bahwa para pihak, walaupun mereka telah memuat klausula arbitrase dalam perjanjian bisnisnya, tetap saja mereka mengajukan perkaranya ke pengadilan. Anehnya, meskipun telah ada klausula arbitrase di dalam perjanjian, cukup banyak Pengadilan Negeri yang menerima gugatan perkara tersebut. Di dalam pasal 11 ayat (2) UU No.30 tahun 1999 disebutkan bahwa: “Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase”.

b. Ketergantungan mutlak pada arbiter

Putusan arbitrase selalu tergantung pada kemampuan teknis arbiter untuk memberikan putusan yang memuaskan dan sesuai dengan rasa keadilan para pihak. Meskipun arbiter memiliki keahlian teknis yang tinggi, bukanlah hal yang mudah bagi majelis arbitrase untuk memuaskan dan memenuhi kehendak para pihak yang bersengketa. Para pihak yang kalah akan mengatakan bahwa putusan arbitrase tidak adil, demikian pula sebaliknya. Ketergantungan terhadap para arbiter merupakan suatu kelemahan karena substansi perkara dalam arbitrase tidak dapat diuji kembali (melalui proses banding), mengingat putusan arbitrase bersifat final dan mengikat. c. Tidak ada preseden putusan terdahulu

Tidak ada legal precedence atau keterikatan terhadap putusan-putusan arbitrase sebelumnya. Artinya, putusan-putusan arbitrase atas suatu sengketa terbuang


(46)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

tanpa manfaat, meskipun di dalamnya mengandung argumentasi-argumentasi berbobot dari para arbiter terkenal di bidangnya. Hilangnya precedence tersebut dapat menimbulkan putusan-putusan yang saling berlawanan atas penyelesaian sengketa berupa di masa yang akan datang.

d. Masalah putusan arbitrase asing

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional memiliki hambatan sehubungan dengan pengakuan dan pelaksanaan putusannya. Kesulitan itu menjadi masalah yang sangat penting karena biasanya di negara pihak yang kalah terdapat harta yang harus dieksekusi, dimana perlu dipastikan hukum yang akan diberlakukan dalam proses eksekusi tersebut.

D. Tata Cara Pengangkatan Arbiter dan Hukum Acara Arbitrase

Pada prinsipnya siapa saja dapat menjadi arbiter asal mempunyai keahlian yang diharapkan untuk menyelesaikan arbitrase yang sedang terjadi. Seorang arbiter bisa seorang ahli hukum, bisa juga seorang yang ahli bidang tertentu.23

23

Munir Fuady, Op.Cit. hal. 67.

Dahulu seorang wanita berdasarkan isi pasal 617 ayat (2) Rv dilarang untuk menjadi seorang arbiter atau wasit, tetapi kini wanita tidak dilarang untuk menjadi seorang arbiter, asalkan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang. Sebagaimana ditegaskan dalam pasal 12 UU No. 30 tahun 1999 yang mengatur persyaratan arbiter. Orang yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter harus memenuhi syarat:


(47)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

a. cakap melakukan tindakan hukum b. berumur paling rendah 35 tahun

c. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa

d. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase

e. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 (lima belas) tahun.

Mengenai jumlah arbiter, bisa seorang saja yang merupakan arbiter tunggal, atau bisa bebeapa orang yang merupakan majelis arbiter yang akan bertugas menyelesaikan sengketa melalui arbitrase. Sistem arbiter ini dpat kita lihat dari rumusan pengertian arbiter yang disebutkan dalam pasal 1 angka (7) UU No. 30 tahun 1999. Dalam pasal itu dikatakan dengan jelas bahwa, arbiter adalah “seorang atau lebih” yang dipilih para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaian melalui arbitrase. Dari rumusan ini dapat diketahui pula bahwa pengangkatan arbiter dilakukan oleh para pihak atau meminta bantua pengadilan negeri atau lembaga arbitrase untuk menunjuk arbiternya jika para pihak tidak dapat mencapai kata sepakat mengenai pemilihan arbiternya.

Sweet dan Maxwell dalam bukunya international arbitration law review mengemukakan dalam menentukan berapa orangkah yang sebaiknya menjadi arbiter


(48)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

dalam suatu kasus, apakah tiga ataukah cukup satu orang, beberapa faktor di bawah ini patut dipertimbangkan. Faktor-faktor tersebut sebagai berikut:24

a. jumlah yang disengketakan b. kompleksitas klaim

c. nasionalitas dari para pihak

d. kebiasaan dagang yang relevan atau bisnis atau profesi yang terlibat dalam sengketa

e. ketersediaan arbiter yang layak

f. tingkat urgensi dari kasus yang bersangkutan

Selanjutnya beberapa cara pengangkatan arbiter yang diatur dalam UU No. 30 tahun 1999 adalah:

1. Penunjukan oleh para pihak

Cara pertama, pengangkatan arbiter dilakukan berdasarkan penunjukan para pihak, baik itu melalui akta de compromittendo maupun melalui akta compromise. Dalam perjanjian arbitrasenya, selain memuat ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pengangkatan arbiter, para pihak juga dapat menyepakati penunjukan arbiter beserta dengan sistem yang akan bertugas untuk menyelesaikan sengketa para pihak. Jumlah arbiternya bisa seorang atau beberapa orang asalkan dalam jumlah ganjil.

Tata cara penunjukan arbiter yang ditentukan para pihak dalam perjanjian, merupakan cara yang paling baik dan efektif. Cara ini akan menghindari para pihak dari perbedaan pendapat mengenai penunjukan arbiter maupun mengenai jumlah

24


(49)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

arbiter. Dengan cara ini, proses pengangkatan arbiter dan pembentukan majelis arbiter akan lebih mulus, sehingga fungsi dan kewenangan pemeriksaan dan penyelesaian persengketaan, mungkin akan lebih cepat diselesaikan.25

Kelemahan cara ini bahwa para pihak sudah tidak koperatif lagi, karena sengketa sudah terjadi, sehingga kesepakatan kehendak dalam memilih arbiter sudah sulit dicapai.

Seandainya para pihak belum menentukan penunjukan arbiter, sebelum maupun sesudah sengketa terjadi, para pihak masih diberikan kesempatan untuk memilih arbiter secara langsung. Cara seperti ini, disimpulkan dari bunyi pasal 13 ayat (1) UU No. 30 tahun 1999 yang menyatakan: “dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter, ketua Pengadilan Negeri menunjuk arbiter atau majelis arbitrase”. Dari bunyi pasal ini jelaslah bahwa undang-undang masih memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menentukan sendiri arbiternya, walaupun setelah terjadi sengketa. Kalaupun tidak tercapai kesepakatan mengenai siapa yang menjadi arbiter, maka para pihak dapat meminta bantuan ketua Pengadilan Negeri untuk menunjuk arbiternya.

26

2. Penunjukan oleh hakim

Cara lain pengangkatan arbiter adalah dengan meminta bantuan hakim atau ketua Pengadilan Negeri untuk menunjuk arbiter atau majelis arbitrase, jika para pihak tidak mencapai kesepakatan dalam penunjukan arbiter. Cara pengangkatan

25

M. Yahya Harahap, Arbitrase, Pustaka Kartini, Jakarta. 1991. hal. 160.

26


(50)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

arbiter dengan penunjukan oleh hakim atau ketua Pengadilan Negeri ini diatur dalam pasal 13 dan 14 ayat (3), dan pasal 15 ayat (4) UU No. 30 Tahun 1999. Dengan adanya cara ini, maka praktik akan terjadi jalan buntu (deadlock) dapat dihindari apabila para pihak di dalam syarat arbitrase mengatur secara baik dan seksama tentang cara yang harus ditempuh dalam pengangkatan arbiter.

Kewenangan hakim atau ketua Pengadilan Negeri untuk menunjuk arbiter atau membentuk majelis arbiter tersebut berdasarkan permohonan para pihak atau salah satu pihak dengan menjelaskan kegagalan para pihak dalam mencapai kesepakatan mengenai pemilihan/penunjukan arbiter. Penjelasan ini dibutuhkan oleh hakim sebagai dasar untuk mengintervensi soal penunjukan arbiter yang merupakan kewenangan para pihak. Pengadilan Negeri hanya akan berwenang mengintervensi penunjukan arbiter apabila para pihak terbukti gagal memilih/ menunjuk arbiternya.

3. Penunjukan oleh lembaga arbitrase

Sering juga ketentuan arbitrase di lembaga arbitrase tertentu menentukan jika para pihak tidak berhasil memilih arbiternya atau jika arbiter ketiga tidak berhasil dipilih, maka ketua atau pejabat lain dari lembaga arbitrase tertentu yang akan memilihnya. Kemungkinan lain jika para pihak dari semua dalam kontrak ataupun jika setelah terjadinya sengketa meminta kepada lembaga arbitrase untuk menyusun suatu arbitrase majelis atau untuk menunjuk arbitrase tunggal.27

27


(51)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

Sweet dan Maxwell dalam bukunya international arbitration law review mengemukakan, maka dalam memilih arbiternya sebaiknya beberapa hal berikut ini akan menjadi pertimbangan, yaitu:

1. Sifat dan hakikat dari sengketa 2. Ketersediaan dari arbiter 3. Identitas dari para pihak 4. Independensi dari arbiter

5. Syarat pengangkatan dalam kontrak arbitrase 6. Saran-saran yang diberikan oleh para pihak

Selanjutnya mengenai hukum acara arbitrase, pada prinsipnya undang-undang memberikan kebebasan par apihak untuk menentukan sendiri acara dan proses arbitrase yang akan digunakan dalam pemeriksaan sengketa. Hal ini ditegaskan dalam pasal 31 UU No. 30 Tahun 1999, bahwa para pihak bebas untuk menentukan acara arbitrase yang akan digunakan dalam pemeriksaan sengketa. Pilihan acara dalam proses pemeriksaan tersbut harus dinyatakan secara “tegas” dan “tertulis” dalam suatu perjanjian (arbitrase), dengan syarat sepanjang hal tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999.

Dalam hal arbitrasenya berbentuk arbitrase Ad-hoc, jika para pihak menentukan sendiri ketentuan mengenai acara arbitrase yang akan digunakan dalam pemeriksaan arbiter atau majelis arbiter Ad-hoc telah terbentuk, maka semua sengketa yang penyelesaiannya diserahkan kepada arbiter atau majelis a Ad-hoc tersebut, akan diperiksa dan diputus menurut ketentuan yang diatur dalam UU No. 30


(52)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

Tahun 1999. Ini berarti sepanjang para pihak tidak menentukan lain, maka acara dan proses penyelesaian sengketa yang digunakan oleh arbitrase Ad-hoc adalah acara dan proses arbitrase yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999.

Penyelesaian sengketa dapat pula diselesaikan melalui arbitrase internasional, di samping melalui arbitrase Ad-hoc. Sehubungan dengan hal itu, pasal 34 UU No. 30 Tahun 1999 menentukan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional berdasarkan kesepakatan para pihak. Jika penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase ini yang dipilih, maka proses penyelesaian sengketanya akan dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga arbitrase yang dipilih oleh para pihak, kecuali oleh para pihak ditetapkan lain. Ini berarti undang-undang memberi kebebasan kepada para pihak untuk memilih peraturan dan acara yang akan digunakan dalam penyelesaian sengketa mereka, tanpa harus menggunakan peraturan dan acara dari lembaga arbitrase yang dipilih.

Dalam hal tertentu, pemeriksaan sengketa melalui arbitrase juga masih menggunakan ketentuan dalam hukum acara perdata (yang berlaku), kecuali diatur secara khusus dalam UU No. 30 Tahun 1999 tersebut. Sebagai contoh pasal 37 ayat (3) UU No. 30 Tahun 1999 menentukan, pemeriksaan saksi dan saksi ahli di hadapan arbiter atau majelis arbitrase diselenggarakan menurut ketentuan dalam hukum acara perdata. Hukum acara perdata adalah hukum yang mengatur tata cara berperkara di muka pengadilan perdata. Sumbernya ada dalam berbagai peraturan peraturan perundang-undangan colonial maupun nasional.


(1)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

tetap ada kesamaan mengenai faktor pendorongnya, yakni sebagai akibat kebutuhan pelaku usaha mengenai penyelesaian yang efisien dari segi waktu dan biaya, dan sebagai akibat dari keterbatasan pengadilan dan demokratisasi hukum, serta sinergi dari kedua faktor pendorong tersebut.

2. Pendirian BAPMI tidak terlepas dari konteks di pasar modal Indonesia pada saat itu yakni upaya perbaikan/penyempurnaan kelembagaan di pasar modal. Keberadaan BAPMI diharapkan dapat menambah rasa nyaman dan proteksi kepada investor dan masyarakat melalui penyediaan layanan jasa alternatif penyelesaian sengketa. Rasa nyaman dan proteksi itu adalah dalam kondisi bersengketa, tersedia bagi investor dan masyarakat opsi mengenai mekanisme alternatif penyelesaian sengketa yang dari segi waktu dan biaya jauh lebih efisien dibandingkan dengan pengadilan serta ditangani oleh orang-orang (mediator/arbiter) yang sunggu-sungguh memahami seluk beluk pasar modal. Penyelesaian sengketa yang berlarut-larut hanya akan menimbulkan kerugian dan meningkatkan resiko bisnis. BAPMI menyediakan tiga mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yakni mediasi, arbiter dan pendapat mengikat.

3. Di dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga APS (alternatif penyelesaian sengketa), BAPMI berupaya untuk menjamin profesionalitas, netralitas, dan independensinya.


(2)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

1. Belajar dari praktek APS (alternatif penyelesaian sengketa) di Indonesia, Singapura dan AS, maka perlu diperhatikan berbagai faktor-faktor yang mendorong perkembangan APS (alternatif penyelesaian sengketa) meliputi lingkungan, kondisi dan insentif yang diberikan oleh negara, dukungan lembaga yudikatif dan parlemen, dunia usaha, perbaikan lembaga APS (alternatif penyelesaian sengketa), dan penyadaran masyarakat;

2. Keadaan perkembangan APS di Indonesia, dan juga bahkan perkembangan BAPMI di pa seharusnya menjadi perhatian kita semua karen sesungguhnya mencerminkan keadaan (permasalahan) pada bagian lain negara ini. Mencari jalan keluar untuk mendorong APS di Indonesia bukanlah pembicaraan mengenai rivalitas antara APS dengan pengadilan, namun justru untuk membantu kerja pengadilan sendiri, membantu para pencari keadilan, membantu mengatasi ekonomi biaya tinggi, penguatan publik, kepastian hukum, dan lain-lain interkorelasi yang sangat banyak kemungkinan dampaknya

3. Berdasarkan teori dan praktek, sudah selayaknya APS menjadi pilihan bagi setiap pelaku pasar untuk menyelesaikan persengketaannya, sebab APS menyediakan berbagai mekanisme yang bisa dipilih, yang paling cocok disesuaikan dengan kebutuhan, prosedurnya yang lebih sederhana, waktu dan biaya yang lebih efisien, kerahasiaan terjaga, dan ditangani oleh orang-orang yang ahli di bidangnya.


(3)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU-BUKU

Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan, Chandra Pratama, Jakarta, 2001

Felix O. Soebagjo, Bentuk-bentuk Alternatif Penyelesaian Sengketa, Harisn Investor Daily, Edisi Rabu 25 Juli 2007

Gary Goodpaster, Felix Oentoeng, Soebagjo dan Fatimah Jatim, Arbitrase di Indonesia: Beberapa Contoh Kasus dan Pelaksanaan dalam Praktek, dalam Arbiter Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995.

_____________, Negosiasi dan Mediasi: Sebuah Pedoman Negosiasi dan Penyelesaian Sengketa Melalui Negosiasi, Elips Project, Jakarta, 1993.

_____________, Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa, dalam Arbitrase Dividen Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Gatot P. Soemartono, Finalitas Putusan Arbiter Internasional: Analisis Pasal 52 Konvensi ICSID, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum “Era Hukum”, Tahun IV/No. 13, Jakarta, 1997.

____________, Analisis Yuridis Keefektifan Penggunaan Arbitrase Internasional (UNCITRAL) Melawan Pertamina, Lembaga Penelitian dan Publikasi Ilmiah Universitas Tarumanegara, Jakarta, 2003.


(4)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

Munir Fuady, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung. 2000.

M. Yahya Harahap, Arbitrase, Pustaka Kartini, Jakarta. 1991.

Prayitna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa: Suatu Pengantar, Fikahati Aneka, Jakarta, 2002.

Rachmadi Usman, Hukum Arbitrase Nasional, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2002.

R. Subekti, Hukum Acara Perdata, Binacipta, Jakarta, 1982. ________, Arbitrase Perjanjian, Binacipta, Bandung, 1981.

Singapore International Arbitration Centre, SIAC Rules: Arbitration Rules of The Singapore International Arbitration Centre, Singapore: The Centre, 1997. Sudargo Gautama, Perkembangan Arbitrase Dagang Internasional di Indonesia,

Eresco, Bandung, 1989.

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perjanjian Indonesia, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1998.

_______________, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1999. Suyud Margono, ADR dan Arbitrase: Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia

Indonesia, Jakarta, 2000.

Teuku Mohammad Radhie, Pengantar Umum Transaksi Bisnis Internasional, Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara, Jakarta, 1990.


(5)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

Yahya Harahap, Arbitrase Ditinjau dari Reglement Acara Perdata, Peraturan Prosedur BANI, ICSID, dan Peraturan Arbitrase UNCITRAL, Sinar Grafika, Jakarta, 2001.

B. BERITA DARI INTERNET

Achmad Zein Umar Purba, BAPMI dan Penyelesaian Sengketa Pasar Modal, diakses dari situs http://www.bapmi.go.id, tanggal 20 agustus 2004

Bacelius Ruru, Penyelesaian Sengketa di Pasar Modal Melalui Mekanisme Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, diakses dari situs www.bapmi.org, tanggal 3 juni 2007

____________, Dispute Management, diakses dari situs: www.bapmi.org, tanggal 5 agustus 2007.

Edi Subroto Suwarno, Tinjauan Hukum dan Praktek di Pasar Modal Indonesia, diakses dari situs www.bapepam.go.id, tanggal 30 November 2005

Budhy Budiman, Mencari Model Ideal Penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap Praktik Peradilan Perdata dan UU No. 30 Tahun 1999, diakses dari situs www.uika-bogor.ac.id/jur05.htm, tanggal 30 Agustus 2006

Sengketa Pasar Modal Dinilai Cocok Diselesaikan di BAPMI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia), diakses dari situs www.hukumonline.com, tanggal 15 September 2002.


(6)

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

Sri Indrastuti Hadiputrato & Susanti Suhendro, Transaksi Benturan Kepentingan Sebuah Perbandingan, Diakses dari situs: www.hukumonline.com, tanggal 4 September 2006.

C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal

UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa UU No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional