WAHHABI DI ARUS RADIKALISME ISLAM DI IND

WAHHABI DI ARUS RADIKALISME ISLAM DI INDONESIA
Oleh Rimbun Natamarga
Kemunculan

kelompok-kelompok

Islam

radikal

memaksa

kubu

tradisionalis dan modernis akhirnya berdialog sekaligus melupakan
pertikaian mereka di masa lalu. Alih-alih berkonfik lagi, kalangan
tradisionalis dan modernis kemudian sepakat bekerjasama membangun
pemahaman baru dalam menyikapi kelompok-kelompok Islam radikal.
Mereka sadar bahwa kelompok-kelompok radikal itu, meski minoritas
dalam jumlah dan berdiri sendiri serta sering berkonfik antar sesama,
ternyata sangat potensial membahayakan kesatuan umat dan kesatuan

bangsa.
Berhadapan seperti itu, kubu tradisionalis dan modernis kemudian
menyebut front yang mereka bangun bersama itu sebagai Islam wasathiyah
—yang dalam bahasa Indonesia mereka artikan sebagai kubu muslim
moderat. Siapa saja mereka? Dalam pengantar yang diberikan untuk Mereka
Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik: Episode Kebohongan Publik Sekte
Salafi Wahabi, Azyumardi Azra menyebutkan beberapa. “Indonesia sangat
beruntung,” tulis Azra,
“karena Islam yang dominan dan terus berkembang adalah
Islam wasathiyah seperti diwakili NU, Muhammadiyah, alWashliyah, Mathla’ul Anwar, Persis, PUI, Nahdlatul Wathan,
al-Khairat, dan banyak lagi. Meski ada tantangan Salaf
radikal dan juga wahabisme yang bersifat trans-nasional
dalam beberapa tahun terakhir—masa pasca Soeharto—tapi
Islam wasathiyah tidak tergoyahkan. Walaupun demikian,
penguatan dan pemberdayaan Islam wasathiyah Indonesia
tetap diperlukan.”1
1

Kutipan ini mesti dicermati. Pertama, memasukkan Persis ke dalam barisan Islam


wasathiyah, sekubu dengan NU, adalah sesuatu yang aneh. Seperti yang diketahui, bagi
kalangan NU, Persis masih saja dianggap sebagai bagian dari Wahabi, sedrastis apapun
perubahan yang terjadi di tengah Persis sekarang ini. Jika masa lalu NU dengan
Muhammadiyah sudah banyak dilupakan, maka tidak dengan Persis. Sampai Maret tahun
lalu saja, dari tengah kalangan NU, masih muncul buku semisal Ustadz Wahabi (Persis)

Mereka yang ditabalkan sebagai Islam radikal dikenal karena
radikalisme yang dimiliki masing-masing. Istilah radikalisme sendiri dalam
studi ilmu sosial dimengerti sebagai sebuah pandangan yang ingin
melakukan perubahan mendasar sesuai penafsiran yang dimiliki terhadap
realitas sosial atau ideologi yang dianut.
Pada kata itu an sich, radikal dan radikalisme adalah konsep yang
netral dan tidak bersifat peyoratif atau rendah dan pantas dilecehkan.
Artinya, sudah dari sononya kata radikal dan radikalisme itu sebenarnya tidak
jelek atau tercela sama sekali.
Karena itu, jika dikaitkan dengan sebuah gerakan perubahan,
perubahan yang radikal sebenarnya bisa dicapai lewat cara-cara damai dan
persuasif. Yang paling penting dari itu, sebuah gagasan atau gerakan massa
dapat dikatakan radikal, ketika menginginkan sebuah perubahan mendasar,
jauh ke akar. Jadi, tidak melulu kasar atau keras, meskipun perubahan

radikal sangat mudah—dan seringnya—menggunakan kekerasan.
Yang amat disayangkan, banyak pihak yang pagi-pagi sudah menilai
radikal dan radikalisme sebagai dua hal yang negatif. Akibatnya, dari yang
semula netral, dua kata itu akhirnya diparalelkan dengan ekstrem, militan,
garis keras dan sudah pasti: fundamentalis. Berlakulah kemudian apa yang

Bertanya, Al-Bantani Menjawab. Kedua, istilah salafi tentu tidak asing bagi kalangan NU. Di
tengah NU, istilah itu mereka pakai sebagai istilah untuk pesantren-pesantren mereka yang
masih menggunakan—dan mempertahankan—sistem pendidikan lama: tidak memiliki
kurikulum yang tertib, belum memasukkan mata pelajaran umum (baca: kitab kuning
oriented), dan belum juga menggunakan sistem klasikal. Sampai tahun 2000, masih ada
sekitar 5.225 pesantren NU yang tergolong pesantren salaf. Lawan dari (pesantren) salaf
adalah (pesantren) khalaf. Jenis yang terakhir ini adalah tipe pesantren NU yang mengikuti
perubahan-perubahan oleh pemerintah. Pesantren-pesantren jenis ini sangat mementingkan
materi semisal kurikulum dan metode pengajaran. Sementara porsi untuk lmu-ilmu agama
sangat sedikit. Sampai tahun 2000, pesantren NU yang khalafi masih berjumlah 281
pesantren. Karena itulah, dapat dipahami, mengapa Azra menggunakan istilah salafi radikal
untuk membedakannya dari istilah salafi yang telah dikenal di tengah masyarakat Indonesia.
Lihat Antara Tradisi dan Konfik: Kepolitikan Nahdlatul Ulama (2008: 163).


disebut budaya stereotif: menyamaratakan berbagai hal yang berbeda
hanya karena ada keseragaman yang bersifat partikular.
Sebagai bahan perhatian, sekaligus sebuah misal, sebuah kutipan
panjang mesti dimuat di sini, untuk melukiskan betapa semua gerakan
radikal yang dimaksud diseragamkan lalu disederhanakan ke dalam istilah
santri baru. Kutipan yang dimaksud berasal dari sebuah tulisan Al Makin,
seorang intelektual muda NU, ketika menceritakan riwayat pengalaman
belajarnya di negeri asing. Ia menulis,
“Di sebuah mailing list berbahasa Indonesia di Jerman, yang
kategorinya tertutup, ketika Nurcholish Madjid meninggal
dunia, banyak peserta mailing list yang bukannya berduka
dan mendoakan, semoga kampiun pembaharuan itu
diterima amal ibadahnya, misalnya, tetapi, malah
menforward berita gak karu-karuan yang tentu saja
mewakili trend baru, bullying, yang dilakukan oleh ‘Islam
pentungan’ masa kini. Begini tepatnya: saat itu tiba-tiba di
milis ada forward email bahwa muka Cak Nur itu hitam.
Tanda tak beriman. Dia sudah dilaknat Tuhan, karena
berkawan dengan kaum Yahudi, kaum liberal. Di email
tersebut, Cak Nur, sang kampiun intelektual, disebut

diabolis, dan lain-lain. Di Jerman tidak jarang ditemui para
aktivis Islamisme.2 Mereka mengorganisasi banyak forum
pengajian dengan menekankan pengajian model ‘santri
baru’, bukan santri lama seperti NU (Nahdlatul Ulama) dan
Muhammadiyah. Para santri baru ini, dalam sejarahnya,
memulai gaung aktivismenya pada era setelah Reformasi.
Pada intinya, mereka tidak lagi mendasarkan ideologinya
pada ‘Islam Indonesia’, pada tradisi Nusantara, yang
dipenuhi dengan kitab kuning dan kebijakan lokal. Mereka
berkiblat ke gerakan-gerakan semacam Ikhwan al-Muslimin,
Hizbut Tahrir, dan Jamaah Islamiyah. Mereka tidak lagi
menggunakan fatwa-fatwa ulama sendiri, tetapi ulama
Timur Tengah. Fatwa diterima apa adanya, tanpa
2

Di tengah komunitas Salaf, istilah Islamisme di sini dikenal lewat sebutan hizbi atau haraki.

mempertimbangkan kontekstualisasinya dengan Indonesia.
Tentu, sikap ini sudah jauh dari kearifan lokal. Dan yang
perlu diingat, santri baru tersebut tidak menekankan pada

pengalaman dan pergulatan pada literatur. Tidak
meneruskan tradisi santri Indonesia, tetapi aktivisme dan
Islamisme. Islamisme adalah fenomena baru di Indonesia.
Mereka percaya bahwa hidup harus islami, dengan
menggunakan kata-kata ‘kaffah’ atau kesempurnaan.
Memeluk Islam harus eksklusif (lawan kata inklusif), yang
berarti segala sesuatu harus Islami. Al-Qur’an dan hadis
diletakkan di atas segalanya dengan interpretasinya sendiri
dan rata-rata harfah. Tidak mau melihat tafsir lain. Bahkan
mereka sudah jauh meninggalkan tafsir, fih, kalam,
flsafat, tasawuf, nahwu, saraf, badi’, mantii, dan lain-lain.
Kembali ke Al-Qur’an dan hadis secara literal, karena itu
jauh lebih mudah. Tinggal baca dan buka terjemahan AlQur’an berbahasa lokal. Tidak mau bersusah-payah
menggeluti tradisi literatur yang panjang dan kaya. Hampir
semua diskusi di mailing list radikal terdapat argumenargumen seperti ini: ‘Menurut Islam...’, ‘Yang Islami
adalah...’, ‘Menurut Al-Qur’an dan hadis...’, ‘Menurut ayat
sekian...’, ‘Menurut hadis ini dan riwayat itu...’. Dalil selalu
muncul dengan semangat mulut berbuih-buih. Mengabaikan
nalar sehat. Menolak sejarah. Mengabaikan literatur.
Menegasikan seni. Meninggalkan ilmu pengetahuan dan

logika yang runtut. Justru ironisnya, mereka menyerang
para santri lama (NU dan Muhammadiyah). Santri lama
kurang Islami, menurut pandangan mereka. Santri lama
tidak benar-benar sesuai dengan Al-Qur’an dan hadis.
Bahkan tindakan mereka sudah pada tahapan bullying.
Memusuhi mereka yang belajar ilmu sosial dan humaniora
di Barat: maksudnya di Jerman, Kanada, Amerika, Inggris,
Prancis, dan Australia. Aku sendiri dan rekan-rekanku di
Heidelberg sering berkumpul mendiskusikan mereka. Kata
teman-temanku, aneh sekali mereka itu (maksudnya
mereka yang belajar sains di Barat), mereka ke Eropa, atau
Amerika, atas kebaikan negara-negara itu, bahkan ada yang
resmi berbeasiswa dari negara-negara Barat, kenapa

mereka bernegatif ria, jika tidak memusuhi Barat? Kenapa
dengan senang hati menerima beasiswa dan ilmunya (pergi
ke laboratorium dan universitas Barat), tetapi menyudutkan
yang memberi? Tentu ini sebuah paradoks dan kejanggalan,
jika bukan hipokrit. Kurang menunjukkan rasa berterima
kasih. Kata temanku juga, yang juga sudah jengkel, aneh

sekali ‘mereka’ itu, maunya berceramah terus, tetapi tidak
mau diceramahi. Berbicara terus tetapi tidak mau
mendengar.”
Ketika telah banyak bermunculan organisasi-organisasi Islam
radikal pasca turunnya Soeharto, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) berusaha mendata dan meneliti organisasi-organisasi itu. Bagi LIPI,
“Radikalisme keagamaan sebenarnya fenomena yang biasa
muncul dalam agama apa saja. Radikalisme sangat
berkaitan dengan fundamentalisme, yang ditandai oleh
kembalinya masyarakat kepada dasar-dasar agama.
Fundamentalisme
adalah
semacam
ideologi
yang
menjadikan agama sebagai pegangan hidup oleh
masyarakat maupun individu. Fundamentalisme akan
diiringi oleh radikalisme dan kekerasan ketika kebebasan
untuk kembali kepada agama tadi dihalangi oleh situasi
sosial politik yang mengelilingi masyarakat. Radikalisme

sendiri sebenarnya tidak merupakan masalah sejauh ia
hanya bersarang dalam pemikiran (ideologi) para
penganutnya. Tetapi, ketika radikalisme pemikiran bergeser
menjadi
gerakan-gerakan
radikal
maka
ia
mulai
menimbulkan masalah, terutama ketika harapan mereka
untuk merealisir fundamentalisme dihalangi oleh kekuatan
politik lain karena dalam situasi itu radikalisme akan diiringi
oleh kekerasan. Fenomena ini biasanya lantas menimbulkan
konflik terbuka atau bahkan kekerasan antara dua
kelompok yang berhadapan. Dalam konstelasi politik
Indonesia, masalah radikalisme Islam telah makin
membesar karena pendukungnya juga makin meningkat.
Tetapi, gerakan-gerakan radikal ini kadang berbeda tujuan,

serta tidak mempunyai pola yang seragam. Ada yang

sekedar memperjuangkan implementasi syariat Islam tanpa
keharusan mendirikan ‘negara Islam’, namun ada pula yang
memperjuangkan berdirinya ‘negara Islam Indonesia’, di
samping yang memperjuangkan berdirinya ‘kekhalifahan
Islam’. Pola organisasinya juga beragam mulai dari gerakan
moral ideologi seperti seperti Majelis Mujahidin Indonesia
dan Hizbut Tahrir Indonesia sampai kepada gaya militer
seperti Laskar Jihad, Front Pembela Islam (FPI) dan Front
Pemuda Islam Surakarta (FPIS). Meskipun ada perbedaan di
kalangan mereka, ada kecenderungan umum dari
masyarakat untuk mengkaitkan gerakan-gerakan ini dengan
jaringan radikalisme Islam di luar negeri, baik dalam
konteks regional maupun internasional.”
Hasil penelitian LIPI itu kemudian dibukukan dengan judul Islam
dan Radikalisme di Indonesia. Dalam buku setebal 315 halaman, kelompokkelompok yang mereka kategorikan sebagai Islam radikal terdiri kelompok
Sururi,3 Front Pembela Islam Surakarta (FPIS), Komite Persiapan Penegakan
3

Di buku aslinya, ditulis sebagai Jamaah Salaf. Bukan komunitas Sururi. Agaknya, para


peneliti LIPI yang terjun di lapangan keliru mengidentifkasi kelompok-kelompok yang ada
di Bandung—kota tempat sampel penelitian mereka diambil. Hal ini, kiranya, dapat
dimaklumi, mengingat penelitian itu sendiri berlangsung sekitar awal 2000-an, persis ketika
komunitas Salaf di Bandung—dan juga di Indonesia secara umum—sedang sibuk-sibuknya
mengupayakan jihad di Maluku lewat wadah bentukan mereka, Forum Komunikasi
Ahlussunnah wal Jamaah (FKAWJ) dan Laskar Jihad. Sururiyah sendiri adalah nisbah
kepada Muhammad bin Surur bin Nayif Zainal Abidin. Ia pernah aktif dalam Ikhwanul
Muslimin di Mesir kemudian menyatakan diri keluar dari organisasi itu. Proses keluar itu,
konon, diiringi juga dengan semacam pertobatannya dari segala pemikiran khas Ikhwanul
Muslimin. Setelah itu, Surur mengaku berakidah dan beragama dengan cara beragama para
salaf atau disebut sebagai Salafi. Akan tetapi, pengakuan itu tidak diiringi dengan tindakan
nyata. Dalam praktek, Surur tidak seratus persen menjalankan pemahaman salaf dalam
beragama. Ia menyisakan sepersekian persen ideologi Ikhwanul Muslimin dalam memahami
agama. Sikap seperti Surur inilah yang kemudian diistilahkan ulama-ulama Salaf di Timur
Tengah sebagai cara beragama si Surur atau Sururiyah. Sebagai sebuah cara beragama,
Sururiyah nyaris tidak ada beda dengan Salafi—meskipun ada juga yang memandang
Sururiyah sebagai soft Khawarij. Meski demikian, bagi beberapa ulama, Sururiyah lebih
berbahaya daripada Khawarij. Betapa tidak, dengan menggunakan atribut-atribut Salaf

Syariat Islam (KPPSI) Sulawesi Selatan, Darul Islam/Negara Islam
Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI). Sebagai pelengkap, para peneliti LIPI itu menyertakan
Pesantren Al-Mukmin Ngruki, dan Pesantren Al-Islam yang sudah kadung
dikenal masyarakat sebagai “sarang” radikalisme.
Daftar yang dibuat LIPI itu dapat diperpanjang lagi. Dalam Islam
Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia, Khamami
Zada memasukkan Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad Ahlussunnah
Wal Jama’ah, HAMMAS, Ikhwanul Muslimin ke dalam daftar itu, termasuk
juga Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) dan Persatuan
Pekerja Muslim Indonesia (PPMI).
Masing-masing kelompok, oleh para peneliti LIPI, diidentifkasi
sebagai kelompok-kelompok Islam radikal karena memiliki beberapa ciri.
Ciri-ciri tersebut mengemuka dalam empat upaya yang dilakukan masingmasing kelompok. Keempat upaya itu berupa:
1. Upaya untuk menemukan bentuk pemahaman terhadap ajaranajaran Islam yang perlu dirumuskan dan disodorkan sebagai
alternatif terhadap sistem yang berlaku sekarang
2. Upaya untuk menerapkan ajaran Islam secara praktis—tidak
hanya sebagai konsep-konsep yang abstrak
(misalnya berfatwa dengan fatwa-fatwa Ulama Salaf, menggunakan kitab-kitab imam dan
ulama Salaf, berpenampilan seperti zahir kelompok Salaf) masyarakat umum dan umat
Islam secara khusus akan terkelabui dan balik menganggap Sururiyah itu bagian dari
kelompok Salafi. Kecenderungan Surur itu, disadari atau tidak, kemudian menjadi sebuah
laku Abdurrahman Abdul Khaliq pula. Seperti Surur, Abdul Khaliq semula adalah seorang
anggota Ikhwanul Muslimin. Mengaku keliru, ia pun bertobat dan menyatakan diri
mengikuti para salaf dalam menjalani Islamnya. Dalam keadaan seperti itu, ia kemudian
bergabung dengan sebuah yayasan flantropis di Kuwait. Yayasan itu bernama Jam’iyyah
Ihya’ At-Turats. Yayasan itu bekerja untuk menggalang dana dari sejumlah donatur untuk
membantu perkembangan dakwah. Dalam prakteknya, baik yayasan Al-Muntada maupun
Jam’iyyah Ihya’ At-Turats, masing-masing memanfaatkan dana itu untuk menyebarkan
prinsip-prinsip Sururiyah. Memakai atribut-atribut Salaf, usaha mereka ternyata berhasil
baik di banyak tempat, termasuk di Indonesia. Lihat Sejarah Salafi di Indonesia (2012: 161-163).

3. Upaya untuk meningkatkan keberagamaan masyarakat (Dapat
dijelaskan

bahwa

kelemahan

Islam

dalam

politik

dan

peminggirannya di masa Orde Baru telah menyebabkan umat
Islam frustasi sehingga menjadi mayoritas yang diam [silent
majority]. Karena Islam dalam politik pada 1980-an telah sampai
kepada jalan buntu, beberapa intelektual Islam telah mengajukan
jalan lain dengan membawa Islam ke jalan lain selain politik.
Munculnya kesadaran keagamaan Islam di kampus-kampus bisa
dimasukkan dalam kecenderungan ini)
4. Upaya untuk melakukan purifkasi keagamaan, mengingat
bahwa Islam di Indonesia telah terdistorsi sedemikian rupa
(yang dalam bahasa kelompok-kelompok tersebut: menyimpang
terlalu jauh dari ajaran Islam sebenarnya)
Yang menarik adalah kecenderungan di tengah masyarakat untuk
melabeli kelompok-kelompok Islam radikal itu sebagai Wahabi. Dalam
logika stereotif, Wahabi menjadi satu istilah untuk menyederhanakan
penamaan dan permasalahan yang ada. Ke dalam istilah itu, tidak dapat
dibedakan lagi orientasi akidah, akhlak, fkih, metode dakwah, dan segala
sesuatunya; masing-masing kelompok dipukul rata sebagai orang-orang
yang beragama seperti apa yang diagamai Syaikh Muhammad bin Abdil
Wahhab An-Najdi.
Beberapa orang penulis muda berusaha menjernihkan cara
pemakaian istilah Wahabi. Dengan itu, setiap kelompok Islam radikal tidak
dapat disebut sebagai Wahabi. Tidak setiap mereka dapat disebut sebagai
orang-orang yang terpengaruh Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab,
apalagi meneruskan dakwah yang pernah diembannya sekian abad yang
lalu.
Memberikan kata pengantar untuk buku Terorisme: Fundamentalis
Kristen, Yahudi, Islam tulisan A.M. Hendropriyono, Zuhairi Misrawi,
seorang anggota Nahdlatul Ulama yang menjadi ketua Moderate Muslim
Society, mengetengahkan cara pandang baru dalam mengalamatkan istilah
Wahabi di Indonesia. Cara pandang yang ia tawarkan itu merupakan hasil

pemetaan cara bersikap terhadap Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab di
Indonesia. Sesuatu yang tidak bisa dibantah, dalam menilai Syaikh
Muhammad bin Abdil Wahhab, orang-orang di Indonesia dapat
dikategorikan menjadi beberapa kelompok. Masing-masing mereka
memiliki ciri khas yang membedakan satu sama lain.
Kelompok pertama adalah orang-orang yang menerima dakwah
Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab, namun melakukan usaha
modifkasi, baik sedikit, separuhnya, atau sebagian besarnya. Di antara
mereka, bahkan, ada pula yang hanya mengambil ruh semangatnya tanpa
perlu konsisten dalam menerapkan pesan dakwah tersebut.
Kelompok kedua adalah orang-orang yang merespon positif
dakwah tersebut dan menerima secara bulat, secara total, tanpa berusaha
memodifkasinya. Mereka menerima dakwah dan berusaha
menyebarkannya di lingkungan-lingkungan mereka.
Kelompok ketiga adalah orang-orang yang menolak mentah-mentah
dakwah tersebut. Bagi mereka, dakwah yang diserukan oleh Syaikh
Muhammad bin Abdil Wahhab itu tidak sesuai dengan karakter masyarakat
Indonesia yang sudah memiliki tradisi keislaman tersendiri dari dulu.
Dakwah tersebut tidak cocok, karena itu mereka tolak secara mutlak.
Nur Khalik Ridwan, juga salah satu tokoh muda NU,
mengidentifkasi kelompok jenis pertama itu dalam trilogi karyanya tentang
gerakan Wahhabi. Dalam buku pertama, Doktrin Wahhabi dan Benih-Benih
Radikalisme Islam (Tanah Air, 2009), ia menyinggung keberadaan kelompok
ini sebagai kelompok yang terpengaruh—baik sebagian atau lebih, namun
tidak semua—oleh ajaran-ajaran Muhammad bin Abdil Wahhab. Olehnya,
kelompok yang seperti ini disebut sebagai neo-Wahhabi.
Menurut Ridwan, organisasi masyarakat pertama di Indonesia yang
masuk dalam kategori kelompok neo-Wahabi adalah Muhammadiyah dan
Persis. Kedua organisasi ini bertahan sebagai kelompok neo-Wahabi sampai
muncul gelombang baru neo-Wahhabi pada tahun 1980-an.
Kelompok-kelompok neo-Wahhabi yang baru mulai bermunculan
sepanjang dekade 1980-an dan 1990-an sebagai buah program-program
Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) yang dimulai pada dekade 1970-an.

Kemunculan mereka bermula dari ketidakpuasan terhadap keberadaan
Muhammadiyah dan Persis yang kurang konsisten lagi terhadap Al-Quran
dan Sunnah.
Di antara kelompok baru neo-Wahabi yang dimaksud Ridwan
adalah kelompok tarbiyah yang kemudian berubah menjadi Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) dan HTI. PKS memiliki hubungan ideologis dengan
Ikhwanul Muslimin di Mesir, sedangkan HTI memiliki hubungan historis
dengan Ikhwanul Muslimin. Baik PKS atau pun HTI, masing-masing
menempuh jalur politik untuk mencapai tujuan mereka. Cita-cita mereka
adalah memformalisasikan syariat Islam di dalam negara.
Termasuk yang disinggung oleh Ridwan sebagai kelompok neoWahabi adalah kelompok yang sering disebut sebagai kelompok jihadi atau
secara salah disebut sebagian orang dengan Salaf jihadi. Mereka adalah
orang-orang yang berada dalam lingkaran Abdullah Sungkar dan Abu
Bakar Baasyir serta murid-murid mereka berdua.
Dikenal sebagai orang-orang yang menyempal dari kelompok
Negara Islam Indonesia (NII), dua orang itu menghindari tekanan
pemerintah Indonesia dengan cara kabur ke Malaysia pada pertengahan
1980-an. Di Johor Bahru, mereka kemudian membangun basis dakwah
baru. Usaha mereka ini ternyata berkembang seiring dengan pecahnya
Perang Afganistan.
Pesantren mereka di Johor Bahru menjadi tempat transit bagi caloncalon relawan dari Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo dan sejumlah
kader NII. Tidak hanya itu, sejumlah relawan untuk perang di Afganistan
yang berasal dari Indonesia dan Malaysia ikut dalam usaha pengiriman itu.
Dari arena perang di Afganistan itulah, muncul orang-orang yang kelak
akan dikenal lewat sebutan alumni Afganistan.
Ternyata, tidak semua alumni Afganistan bergabung dalam
lingkaran Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir. Sebagian kecil mereka,
kembali membaur dalam masyarakat. Di antara mereka yang sedikit ini,
terdapat sejumlah orang yang menolak dengan tegas cara-cara berdakwah
gaya Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir.

Menurut mereka, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir adalah
orang-orang Khawarij tulen yang mengafrkan orang-orang di luar mereka
—termasuk pemerintah Indonesia—dan menyebarkan kebencian terhadap
pihak penguasa di Indonesia. Bahkan, dapat dikatakan, aksi-aksi terorisme
di Indonesia 13 tahun belakangan ini berasal dari lingkaran Abdullah
Sungkar dan Abu Bakar Baasyir serta alumni-alumni Afganistan yang
bergabung dengan mereka. Kurang dari 20 tahun, lingkaran itu telah
merekrut anggota-anggota baru dan menebar teror di tengah masyarakat.
Selanjutnya, Ridwan memasukkan juga kelompok Sururi di
Indonesia sebagai neo-Wahabi. Kelompok Sururi di Indonesia, biasanya,
merujuk kepada Yayasan Al-Muntada di London berikut segala derivatnya
yang didirikan oleh Muhammad bin Surur bin Nayef Zainal Abidin dan
Jam'iyyah Ihya At-Turats Al-Islamiyah yang dirintis oleh Abdurrahman
Abdul Khalik di Kuwait. Umum diketahui, termasuk oleh Ridwan sendiri,
Muhammad bin Surur dan Abdurrahman Abdul Khalik disebut sebagai
orang-orang yang menyempal dari Ikhwanul Muslimin.
Yayasan Al-Muntada memiliki cabang di Indonesia. Cabang di
Jakarta bernama Yayasan As-Shafwah yang dipimpin oleh Abu Bakar M.
Altway—setidaknya sampai Ridwan menulis trilogi karyanya. Ridwan
kemudian menambahkan, cabang Yayasan Al-Muntada yang lain adalah
Yayasan Al-Haramain. Yayasan Al-Haramain memiliki dai-dai—sekali lagi,
setidaknya sampai trilogi itu ditulis—yang tersebar di sebagian besar
wilayah Indonesia. Di antara mereka yang terkenal adalah Abdul Hakim
Abdat di Jakarta, Yazid bin Abdil Qadir Jawwas di Bogor, Ainul Harits di
Jawa Timur dan Abu Haidar di Bandung.
Di Indonesia, Jam'iyyah Ihya At-Turats Al-Islamiyah juga memiliki
cabang. Mereka mendirikan pesantren-pesantren yang tersebar di Jawa,
seperti Ma'had Jamilurrahman dan Islamic Centre Bin Baaz di Yogyakarta,
Ma'had Al-Furqan di Gresik dan Ma'had Imam Bukhari di Solo.
Dalam prakteknya, kelompok Sururi mengaku diri sebagai Salaf
dan mendakwahkan mazhab salafiyah. Dilihat dengan mata telanjang,
penampilan mereka tidak jauh berbeda dengan komunitas Salaf di
Indonesia. Bahkan, mereka lebih pesat berkembang ketimbang komunitas

Salaf yang sebenarnya. Mereka memiliki jaringan dai yang luas, mediamedia dakwah yang besar, dan lembaga-lembaga pendidikan yang
terkenal.4
Lantas, siapa yang dimaksud dengan Wahhabi tulen di Indonesia?
Dengan mengutip Abu Abdirrahman Ath-Thalibi yang menulis Dakwah
Salaf Dakwah Bijak, kelompok yang diidentifkasi Ridwan sebagai kelompok
Wahhabi di Indonesia adalah mereka yang disebut dengan Salaf Yamani.
Dikatakan Salaf Yamani, karena mereka merujuk kepada syaikhsyaikh Salaf yang ada di Yaman dan di Timur-Tengah. Salah seorang
syaikh terkenal mereka di Yaman adalah Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i
yang memimpin Ma'had Darul Hadits di daerah Dammaj, Sha'dah, Yaman.
Banyak dai-dai Salaf Yamani di Indonesia yang pernah belajar di Ma'had
Darul Hadits atau yang sedang belajar di lembaga-lembaga pendidikan
milik murid-murid Syaikh Muqbil bin Hadi5 di Yaman seperti di kota
Ma’bar, Syihr, Fuyusy, dan Dzammar.
Pada waktu terjadi konfik antar agama di Maluku, dai-dai Salaf di
Indonesia lewat FKAWJ mengorganisasi Laskar Jihad untuk dikirim ke
wilayah konfik di Ambon dan belakangan juga ke Poso, Sulawesi. Waktu
itu, Laskar Jihad yang dipanglimai oleh Ja'far Umar Thalib dipulangkan
setelah pembubaran FKAWJ. Pembubaran yang dimaksud didorong oleh
munculnya sejumlah fatwa dari para syaikh Salaf di Arab Saudi, menyusul
berbagai penyimpangan yang terjadi dalam Laskar Jihad dan pada diri
4

Dai-dai Sururi berdakwah hampir di seluruh Indonesia. Mereka menjangkau berbagai

lapisan masyarakat, mulai dari instansi-instansi milik pemerintah, milik swasta sampai ke
sekolah-sekolah umum. Selain nama-nama yang telah disebut, patut juga disebut di sini
beberapa nama yang banyak dikenal di tengah masyarakat. Mereka itu seperti Abu Nida’
Chamsaha, Ahmas Faiz, Abu Ihsan Al-Medani, Abu Umar Baasyir, Zainal Arifn, Abu
Qatadah, Abdullah Taslim, Abdullah Zein, Badrus Salam, Firanda Andirja, Muhammad
Arifn Badri, Aris Munandar, dan Khalid Syamhudi. Media-media cetak mereka seperti
majalah As-Sunnah, Al-Furqan, El-Fata, Nikah, Pengusaha Muslim. Belakangan, mereka juga
merintis dakwah lewat stasiun Radio Rodja dan channel Rodja TV.
5

Syaikh Muqbil sendiri meninggal dunia pada Juli 2001.

Ja'far Umar Thalib. Sejak saat itu, Ja’far Umar Thalib yang menjadi “bapak”
dakwah di tengah komunitas Salaf di Indonesia membelot, memusuhi dan
meninggalkan mereka.
Menanggapi pelabelan seperti itu banyak pihak yang tidak
menerima. Bagaimana pun, dalam label Wahhabi terkandung makna
negatif. Dengan label seperti itu, misalnya, sebagian pihak menolak karena
Wahhabi di mata mereka identik dengan kekerasan dalam berdakwah.
Misal yang lain, sebagian pihak menolaknya, karena dengan itu berarti
dakwah mereka tidak lebih dari ajaran Syaikh Muhammad bin Abdil
Wahhab belaka, sebagaimana isme-isme yang ada di dunia ini.
Hidayat Nur Wahid, misalnya, pernah kesal karena PKS pernah
dituduh sebagai kelompok Wahhabi dan meminta kepada seluruh pihak
untuk berhenti memftnah PKS sebagai Wahhabi. “Saya,” kata Hidayat,
“adalah pendiri partai politik dan mengambil langkah politik untuk
melakukan perubahan untuk kebaikan umat, lalu di mana kesamaannya
dengan Wahabi?”.
Waktu itu, memang, beredar di tengah masyarakat sms-sms gelap
yang berisi pernyataan bahwa kader-kader PKS adalah antek-antek
Wahhabi. Salah satu sms juga berisi seruan agar ahlussunnah wal jamaah dan
warga NU tidak memilih PKS dan kader PKS dalam pemilu. Karuan saja,
sms-sms itu disinyalir sebagai usaha pihak-pihak tertentu untuk
memengaruhi perolehan suara PKS pada pemilu yang akan berlangsung.
Komunitas Salaf di Indonesia termasuk yang menolak pelabelan
seperti itu. Bagi mereka, dakwah yang mereka jalani dan praktek-praktek
beragama yang mereka lakukan setiap hari bukan hasil olah pikir Syaikh
Muhammad bin Abdil Wahhab semata, tetapi lebih dari itu: sebuah cara
beragama yang telah diwariskan turun-temurun dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Tidak heran, jika kemudian sejumlah dai Salaf di Indonesia menulis
bantahan keras terhadap upaya melabeli seperti itu. Salah satu di antara
mereka adalah Ruwaif’ bin Sulaimi, seorang dai Salaf yang pernah
dilecehkan Abu Salafy sebagai missionaris Wahhabi di Indonesia. Lewat salah
satu media cetak yang dimiliki komunitas Salaf, Ruwaif’ pernah menulis

artikel berjudul “Siapakah Wahhabi?” sebagai bantahan atas tuduhantuduhan yang dialamatkan kepada Salaf di Indonesia.
Inti artikel itu adalah fakta bahwa sebutan Wahhabi berasal dari
kalangan yang tidak menyukai dakwah Syaikh Muhammad bin Abdil
Wahhab. Seperti yang diketahui, gelombang ketidaksukaan terhadap
dakwah tersebut mengemuka di pentas sejarah sejak Syaikh Muhammad
bin Abdil Wahhab sendiri masih hidup dan giat berdakwah. Di antara
mereka yang disinyalir memomulerkan sebutan Wahhabi itu adalah para
pelancong dari Eropa yang pernah singgah di Jazirah Arab waktu itu,
kelompok-kelompok tarekat Suf dan kelompok-kelompok Syiah yang sakit
hati karena diserang dakwah Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab dan
para pengikutnya.

SIAPAKAH WAHHABI?
Oleh Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.
Selubung Makar di Balik Julukan Wahhabi
Di negeri kita bahkan hampir di seluruh dunia Islam, ada sebuah fenomena
‘timpang’ dan penilaian ‘miring’ terhadap dakwah tauhid yang dilakukan AsySyaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi An-Najdi rahimahullahu.6
Julukan Wahhabi pun dimunculkan, tak lain tujuannya adalah untuk
menjauhkan umat darinya. Dari manakah julukan itu? Siapa pelopornya?
Dan apa rahasia di balik itu semua …?
Para pembaca, dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
merupakan dakwah pembaharuan terhadap agama umat manusia.
Pembaharuan, dari syirik menuju tauhid dan dari bid’ah menuju As-Sunnah.
Demikianlah misi para pembaharu sejati dari masa ke masa, yang menapak
titian jalan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya.
Fenomena ini membuat gelisah musuh-musuh Islam, sehingga berbagai
macam cara pun ditempuh demi hancurnya dakwah tauhid yang diemban
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya. Musuhmusuh tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1.

6

Di Najd dan sekitarnya:
-

Para ulama suu` yang memandang al-haq sebagai kebatilan dan
kebatilan sebagai al-haq.

-

Orang-orang yang dikenal sebagai ulama namun tidak mengerti
tentang hakekat Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan
dakwahnya.

Biograf beliau bisa dilihat pada Majalah Asy Syari’ah, edisi 21, hal. 71.

-

2.

Orang-orang yang takut kehilangan kedudukan dan jabatannya.
(Lihat Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, karya Dr.
Muhammad bin Sa’ad Asy-Syuwai’ir hal.90-91, ringkasan
keterangan Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz)

Di dunia secara umum: Mereka adalah kaum kafir Eropa; Inggris,
Prancis dan lain-lain, Daulah Utsmaniyyah, kaum Shufi, Syi’ah
Rafidhah, Hizbiyyun dan pergerakan Islam; Al-Ikhwanul Muslimin,
Hizbut Tahrir, Al-Qaeda, dan para kaki tangannya.

Bentuk permusuhan mereka beragam. Terkadang dengan fisik (senjata) dan
terkadang dengan fitnah, tuduhan dusta, isu negatif dan sejenisnya. Adapun
fisik (senjata), maka banyak diperankan oleh Dinasti Utsmani yang
bersekongkol dengan barat (baca: kafir Eropa) sebelum keruntuhannya.
Demikian pula Syi’ah Rafidhah dan para hizbiyyun. Sedangkan fitnah,
tuduhan dusta, isu negatif dan sejenisnya, banyak dimainkan oleh kafir
Eropa melalui para missionarisnya, kaum sufi, dan tak ketinggalan pula
Syi’ah Rafidhah dan hizbiyyun.7 Dan ternyata, memunculkan istilah
‘Wahhabi’ sebagai julukan bagi pengikut dakwah Asy-Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahhab, merupakan trik sukses mereka untuk menghempaskan
kepercayaan umat kepada dakwah tauhid tersebut. Padahal, istilah
‘Wahhabi’ itu sendiri merupakan penisbatan yang tidak sesuai dengan
kaidah bahasa Arab. Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz berkata:
“Penisbatan (Wahhabi -pen) tersebut tidak sesuai dengan kaidah bahasa
Arab. Semestinya bentuk penisbatannya adalah ‘Muhammadiyyah’, karena
sang pengemban dan pelaku dakwah tersebut adalah Muhammad, bukan
ayahnya yang bernama Abdul Wahhab.” (Lihat Imam wa Amir wa Da’watun
Likullil ‘Ushur, hal. 162)
Tak cukup sampai di situ. Fitnah, tuduhan dusta, isu negatif dan sejenisnya
menjadi sejoli bagi julukan keji tersebut. Tak ayal, yang lahir adalah ‘potret’
buruk dan keji tentang dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab,
yang tak sesuai dengan realitanya. Sehingga istilah Wahhabi nyaris menjadi
momok dan monster yang mengerikan bagi umat. Fenomena timpang ini,
7

Untuk lebih rincinya lihat kajian utama edisi ini, “Musuh-musuh Dakwah Tauhid.”

menuntut kita untuk jeli dalam menerima informasi. Terlebih ketika
narasumbernya adalah orang kafir, munafik, atau ahlul bid’ah. Agar kita
tidak dijadikan bulan-bulanan oleh kejamnya informasi orang-orang yang
tidak bertanggung jawab itu.
Meluruskan Tuduhan Miring tentang Wahhabi
1. Tuduhan: Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang
yang mengaku sebagai Nabi,8 ingkar terhadap Hadits nabi,9
merendahkan posisi Nabi, dan tidak mempercayai syafaat beliau.
Bantahan:

8

-

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang yang
sangat mencintai Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini terbukti
dengan adanya karya tulis beliau tentang sirah Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam, baik Mukhtashar Siratir Rasul, Mukhtashar Zadil
Ma’ad Fi Hadyi Khairil ‘Ibad atau pun yang terkandung dalam kitab
beliau Al-Ushul Ats-Tsalatsah.

-

Beliau berkata: “Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam telah
wafat (semoga shalawat dan salamNya selalu tercurahkan kepada
beliau), namun agamanya tetap kekal. Dan inilah agamanya: yang
tidaklah ada kebaikan kecuali pasti beliau tunjukkan kepada
umatnya, dan tidak ada kejelekan kecuali pasti beliau peringatkan.
Kebaikan yang telah beliau sampaikan itu adalah tauhid dan segala
sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah subhanahu wa ta'ala.
Sedangkan kejelekan yang beliau peringatkan adalah kesyirikan dan
segala sesuatu yang dibenci dan dimurkai Allah subhanahu wa
ta'ala. Allah subhanahu wa ta'ala mengutus beliau kepada seluruh
umat manusia, dan mewajibkan atas tsaqalain; jin dan manusia
untuk menaatinya.” (Al-Ushul Ats-Tsalatsah)

Sebagaimana yang dinyatakan Ahmad Abdullah Al-Haddad Baa ‘Alwi dalam kitabnya

Mishbahul Anam, hal. 5-6 dan Ahmad Zaini Dahlan dalam dua kitabnya Ad-Durar AsSaniyyah Firraddi ‘alal Wahhabiyyah, hal. 46 dan Khulashatul Kalam, hal. 228-261.
9

Sebagaimana dalam Mishbahul Anam.

2.

-

Beliau juga berkata: “Dan jika kebahagiaan umat terdahulu dan yang
akan datang karena mengikuti para Rasul, maka dapatlah diketahui
bahwa orang yang paling berbahagia adalah yang paling berilmu
tentang ajaran para Rasul dan paling mengikutinya. Maka dari itu,
orang yang paling mengerti tentang sabda para Rasul dan amalanamalan mereka serta benar-benar mengikutinya, mereka itulah
sesungguhnya orang yang paling berbahagia di setiap masa dan
tempat. Dan merekalah golongan yang selamat dalam setiap agama.
Dan dari umat ini adalah Ahlus Sunnah wal Hadits.” (Ad-Durar AsSaniyyah, 2/21)

-

Adapun tentang syafaat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka
beliau berkata–dalam suratnya kepada penduduk Qashim: “Aku
beriman dengan syafaat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan
beliaulah orang pertama yang bisa memberi syafaat dan juga orang
pertama yang diberi syafaat. Tidaklah mengingkari syafaat Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam ini kecuali ahlul bid’ah lagi sesat.”
(Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, hal. 118)

Tuduhan: Melecehkan Ahlul Bait

Bantahan:

3.

-

Beliau berkata dalam mukhtashar minhajis sunnah: “Ahlul Bait
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mempunyai hak atas umat ini
yang tidak dimiliki oleh selain mereka. Mereka berhak mendapatkan
kecintaan dan loyalitas yang lebih besar dari seluruh kaum
Quraisy…” (Lihat ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
As-Salafiyyah, 1/446)

-

Di antara bukti kecintaan beliau kepada Ahlul Bait adalah
dinamainya putra-putra beliau dengan nama-nama Ahlul Bait: ‘Ali,
Hasan, Husain, Ibrahim dan Abdullah.

Tuduhan: Bahwa beliau sebagai Khawarij, karena telah memberontak
terhadap Daulah ‘Utsmaniyyah. Al-Imam Al-Lakhmi telah berfatwa
bahwa Al-Wahhabiyyah adalah salah satu dari kelompok sesat Khawarij

‘Ibadhiyyah, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mu’rib Fi Fatawa
Ahlil Maghrib, karya Ahmad bin Muhammad Al-Wansyarisi, juz 11.
Bantahan:

10

-

Adapun pernyataan bahwa Asy-Syaikh telah memberontak terhadap
Daulah Utsmaniyyah, maka ini sangat keliru. Karena Najd kala itu
tidak termasuk wilayah teritorial kekuasaan Daulah Utsmaniyyah. 10
Demikian pula sejarah mencatat bahwa kerajaan Dir’iyyah belum
pernah melakukan upaya pemberontakan terhadap Daulah
‘Utsmaniyyah. Justru merekalah yang berulang kali diserang oleh
pasukan Dinasti Utsmani.

-

Lebih dari itu Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
mengatakan–dalam kitabnya Al-Ushulus Sittah: “Prinsip ketiga:
Sesungguhnya di antara (faktor penyebab) sempurnanya persatuan
umat adalah mendengar lagi taat kepada pemimpin (pemerintah),
walaupun pemimpin tersebut seorang budak dari negeri Habasyah.”
Dari sini nampak jelas, bahwa sikap Asy-Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab terhadap waliyyul amri (penguasa) sesuai dengan
ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan bukan ajaran
Khawarij.

-

Mengenai fatwa Al-Lakhmi, maka yang dia maksudkan adalah Abdul
Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum dan kelompoknya, bukan
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya.
Hal ini karena tahun wafatnya Al-Lakhmi adalah 478 H, sedangkan
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab wafat pada tahun 1206
H/Juni atau Juli 1792 M. Amatlah janggal bila ada orang yang telah
wafat, namun berfatwa tentang seseorang yang hidup berabad-abad
setelahnya. Adapun Abdul Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum,
maka dia meninggal pada tahun 211 H. Sehingga amatlah tepat bila
fatwa Al-Lakhmi tertuju kepadanya. Berikutnya, Al-Lakhmi
merupakan mufti Andalusia dan Afrika Utara, dan fitnah

Sebagaimana yang diterangkan pada kajian utama edisi ini, “Hubungan Najd dengan

Daulah Utsmaniyyah.”

Wahhabiyyah Rustumiyyah ini terjadi di Afrika Utara. Sementara di
masa Al-Lakhmi, hubungan antara Najd dengan Andalusia dan
Afrika Utara amatlah jauh. Sehingga bukti sejarah ini semakin
menguatkan bahwa Wahhabiyyah Khawarij yang diperingatkan AlLakhmi adalah Wahhabiyyah Rustumiyyah, bukan Asy-Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya.11
-

4.

Lebih dari itu, sikap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
terhadap kelompok Khawarij sangatlah tegas. Beliau berkata–dalam
suratnya untuk penduduk Qashim: “Golongan yang selamat itu
adalah kelompok pertengahan antara Qadariyyah dan Jabriyyah
dalam perkara taqdir, pertengahan antara Murji`ah dan Wa’idiyyah
(Khawarij) dalam perkara ancaman Allah subhanahu wa ta'ala,
pertengahan antara Haruriyyah (Khawarij) dan Mu’tazilah serta
antara Murji`ah dan Jahmiyyah dalam perkara iman dan agama dan
pertengahan antara Syi’ah Rafidhah dan Khawarij dalam menyikapi
para shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.” (Lihat Tashhihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, hal 117). Dan masih
banyak lagi pernyataan tegas beliau tentang kelompok sesat
Khawarij ini.

Tuduhan: Mengkafirkan kaum muslimin dan menghalalkan darah
mereka.12

Bantahan:
-

11

Ini merupakan tuduhan dusta terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab, karena beliau pernah mengatakan: “Kalau kami tidak
(berani) mengkafirkan orang yang beribadah kepada berhala yang
ada di kubah (kuburan/ makam) Abdul Qadir Jaelani dan yang ada di
kuburan Ahmad Al-Badawi dan sejenisnya, dikarenakan kejahilan
mereka dan tidak adanya orang yang mengingatkannya. Bagaimana

Untuk lebih rincinya bacalah kitab Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, karya

Dr. Muhammad bin Sa’ad Asy-Syuwai’ir.
12

Sebagaimana yang dinyatakan Ibnu ‘Abidin Asy-Syami dalam kitabnya Raddul Muhtar,

3/3009.

mungkin kami berani mengkafirkan orang yang tidak melakukan
kesyirikan atau seorang muslim yang tidak berhijrah ke tempat
kami...?! Maha suci Engkau ya Allah, sungguh ini merupakan
kedustaan yang besar.” (Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlihun
Mazhlumun Wa Muftara ‘Alaihi, hal. 203)
5.

Tuduhan: Wahhabiyyah adalah madzhab baru dan tidak mau
menggunakan kitab-kitab empat madzhab besar dalam Islam.13

Bantahan:

13

-

Hal ini sangat tidak realistis. Karena beliau mengatakan –dalam
suratnya kepada Abdurrahman As-Suwaidi: “Aku kabarkan
kepadamu bahwa aku–alhamdulillah–adalah seorang yang berupaya
mengikuti jejak Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, bukan
pembawa aqidah baru. Dan agama yang aku peluk adalah madzhab
Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang dianut para ulama kaum muslimin
semacam imam yang empat dan para pengikutnya.” (Lihat Tashhihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, hal. 75)

-

Beliau juga berkata–dalam suratnya kepada Al-Imam Ash-Shan’ani:
“Perhatikanlah–semoga Allah subhanahu wa ta'ala merahmatimu–
apa yang ada pada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, para
sahabat sepeninggal beliau dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik hingga hari kiamat. Serta apa yang diyakini para imam
panutan dari kalangan ahli hadits dan fiqh, seperti Abu Hanifah,
Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal–semoga Allah subhanahu
wa ta'ala meridhai mereka, supaya engkau bisa mengikuti
jalan/ajaran mereka.” (Ad-Durar As-Saniyyah 1/136)

-

Beliau juga berkata: “Menghormati ulama dan memuliakan mereka
meskipun terkadang (ulama tersebut) mengalami kekeliruan, dengan
tidak menjadikan mereka sekutu bagi Allah subhanahu wa ta'ala,
merupakan jalan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah
subhanahu wa ta'ala. Adapun mencemooh perkataan mereka dan

Termaktub dalam risalah Sulaiman bin Suhaim.

tidak memuliakannya, maka ini merupakan jalan orang-orang yang
dimurkai Allah subhanahu wa ta'ala (Yahudi).” (Majmu’ah Ar-Rasa`il
An-Najdiyyah, 1/11-12. Dinukil dari Al-Iqna’, karya Asy-Syaikh
Muhammad bin Hadi Al-Madkhali, hal.132-133)
6.

Tuduhan: Keras dalam berdakwah (inkarul munkar)

Bantahan:
-

7.

14

Tuduhan ini sangat tidak beralasan. Karena justru beliaulah orang
yang sangat perhatian dalam masalah ini. Sebagaimana nasehat
beliau kepada para pengikutnya dari penduduk daerah Sudair yang
melakukan dakwah (inkarul munkar) dengan cara keras. Beliau
berkata: “Sesungguhnya sebagian orang yang mengerti agama
terkadang jatuh dalam kesalahan (teknis) dalam mengingkari
kemungkaran, padahal posisinya di atas kebenaran. Yaitu
mengingkari kemungkaran dengan sikap keras, sehingga
menimbulkan perpecahan di antara ikhwan… Ahlul ilmi berkata:
‘Seorang yang beramar ma’ruf dan nahi mungkar membutuhkan tiga
hal: berilmu tentang apa yang akan dia sampaikan, bersifat belas
kasihan ketika beramar ma’ruf dan nahi mungkar, serta bersabar
terhadap segala gangguan yang menimpanya.’ Maka kalian harus
memahami hal ini dan merealisasikannya. Sesungguhnya
kelemahan akan selalu ada pada orang yang mengerti agama,
ketika tidak merealisasikannya atau tidak memahaminya. Para
ulama juga menyebutkan bahwasanya jika inkarul munkar akan
menyebabkan perpecahan, maka tidak boleh dilakukan. Aku
mewanti-wanti kalian agar melaksanakan apa yang telah kusebutkan
dan memahaminya dengan sebaik-baiknya. Karena, jika kalian tidak
melaksanakannya niscaya perbuatan inkarul munkar kalian akan
merusak citra agama. Dan seorang muslim tidaklah berbuat kecuali
apa yang membuat baik agama dan dunianya.”(Lihat Muhammad
bin Abdul Wahhab, hal. 176)

Tuduhan: Muhammad bin Abdul Wahhab itu bukanlah seorang yang
berilmu. Dia belum pernah belajar dari para syaikh, dan mungkin saja
ilmunya dari setan!14
Tuduhan Sulaiman bin Muhammad bin Suhaim, Qadhi Manfuhah.

Jawaban:
-

Pernyataan ini menunjukkan butanya tentang biografi Asy-Syaikh,
atau pura-pura buta dalam rangka penipuan intelektual terhadap
umat.

-

Bila ditengok sejarahnya, ternyata beliau sudah hafal Al-Qur`an
sebelum berusia 10 tahun. Belum genap 12 tahun dari usianya,
sudah ditunjuk sebagai imam shalat berjamaah. Dan pada usia 20
tahun sudah dikenal mempunyai banyak ilmu. Setelah itu rihlah
(pergi) menuntut ilmu ke Makkah, Madinah, Bashrah, Ahsa`,
Bashrah (yang kedua kalinya), Zubair, kemudian kembali ke Makkah
dan Madinah. Gurunya pun banyak,15 di antaranya adalah:
Di Najd: Asy-Syaikh Abdul Wahhab bin Sulaiman16 dan Asy-Syaikh
Ibrahim bin Sulaiman.17
Di Makkah: Asy-Syaikh Abdullah bin Salim bin Muhammad Al-Bashri
Al-Makki Asy-Syafi’i.18
Di Madinah: Asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif.19 Asy-Syaikh

15

16

Lihat ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab As-Salafiyyah, 1/143-171.

Ayah beliau, dan seorang ulama Najd yang terpandang di masanya dan hakim di

‘Uyainah.
17

18

19

Paman beliau dan sebagai hakim negeri Usyaiqir.
Hafzh negeri Hijaz di masanya.

Seorang faqih terpandang, murid para ulama Madinah sekaligus murid Abul Mawahib

(ulama besar negeri Syam). Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mendapatkan ijazah
dari guru beliau ini untuk meriwayatkan, mempelajari dan mengajarkan Shahih Al-Bukhari
dengan sanadnya sampai kepada Al-Imam Al-Bukhari serta syarah-syarahnya, Shahih Muslim
serta syarah-syarahnya, Sunan At-Tirmidzi dengan sanadnya, Sunan Abi Dawud dengan

Muhammad Hayat bin Ibrahim As-Sindi Al-Madani,20 Asy-Syaikh
Isma’il bin Muhammad Al-Ajluni Asy-Syafi’i, 21 Asy-Syaikh ‘Ali Affandi
bin Shadiq Al-Hanafi Ad-Daghistani,22 Asy-Syaikh Abdul Karim
Affandi, Asy-Syaikh Muhammad Al Burhani, dan Asy-Syaikh ‘Utsman
Ad-Diyarbakri.
Di Bashrah: Asy-Syaikh Muhammad Al-Majmu’i.23
Di Ahsa`: Asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdul Lathif AsySyafi’i.
8.

Tuduhan: Tidak menghormati para wali Allah, dan hobinya
menghancurkan kubah/bangunan yang dibangun di atas makam
mereka.

Jawaban:
-

Pernyataan bahwa Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tidak
menghormati para wali Allah subhanahu wa ta'ala merupakan

sanadnya, Sunan Ibnu Majah dengan sanadnya, Sunan An-Nasa‘i Al-Kubra dengan sanadnya,
Sunan Ad-Darimi dan semua karya tulis Al-Imam Ad-Darimi dengan sanadnya, Silsilah
Al-‘Arabiyyah dengan sanadnya dari Abul Aswad dari ‘Ali bin Abi Thalib, semua buku AlImam An-Nawawi, Alfiyah Al-’Iraqi, At-Targhib Wat Tarhib, Al-Khulashah karya Ibnu Malik,
Sirah Ibnu Hisyam dan seluruh karya tulis Ibnu Hisyam, semua karya tulis Al-Hafizh Ibnu
Hajar Al-’Asqalani, buku-buku Al-Qadhi ‘Iyadh, buku-buku qira’at, kitab Al-Qamus dengan
sanadnya, Musnad Al-Imam Asy-Syafi’i, Muwaththa’ Al-Imam Malik, Musnad Al-Imam Ahmad,
Mu’jam Ath-Thabrani, buku-buku As-Suyuthi dsb.
20

Ulama besar Madinah di masanya.

21

Penulis kitab Kasyful Khafa‘ Wa Muzilul Ilbas ‘Amma Isytahara ‘Ala Alsinatin Nas.

22

Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab bertemu dengannya di kota Madinah dan

mendapatkan ijazah darinya seperti yang didapat dari Asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin
Saif.
23

Ulama terkemuka daerah Majmu’ah, Bashrah.

tuduhan dusta. Beliau berkata–dalam suratnya kepada penduduk
Qashim: “Aku menetapkan (meyakini) adanya karamah dan
keluarbiasaan yang ada pada para wali Allah subhanahu wa ta'ala,
hanya saja mereka tidak berhak diibadahi dan tidak berhak pula
untuk diminta dari mereka sesuatu yang tidak dimampu kecuali oleh
Allah subhanahu wa ta'ala.”24

24

25

-

Adapun penghancuran kubah/bangunan yang dibangun di atas
makam mereka, maka beliau mengakuinya–sebagaimana dalam
suratnya kepada para ulama Makkah.25 Namun hal itu sangat
beralasan sekali, karena kubah/bangunan tersebut telah dijadikan
sebagai tempat berdoa, berkurban dan bernadzar kepada selain
Allah subhanahu wa ta'ala. Sementara Asy-Syaikh sudah
mendakwahi mereka dengan segala cara dan beliau punya kekuatan
(bersama waliyyul amri) untuk melakukannya, baik ketika masih di
‘Uyainah atau pun di Dir’iyyah.

-

Hal ini pun telah difatwakan oleh para ulama dari empat madzhab.
Sebagaimana telah difatwakan oleh sekelompok ulama madzhab
Syafi’i seperti Ibnul Jummaizi, Azh-Zhahir At-Tazmanti dll seputar
penghancuran bangunan yang ada di pekuburan Al-Qarrafah Mesir.
Al-Imam Asy-Syafi’i sendiri berkata: “Aku tidak menyukai (yakni
mengharamkan) pengagungan terhadap makhluk, sampai pada
tingkatan makamnya dijadikan sebagai masjid.” Al-Imam An-Nawawi
dalam Syarhul Muhadzdzab dan Syarh Muslim mengharamkam
secara mutlak segala bentuk bangunan di atas makam. Adapun AlImam Malik, maka beliau juga mengharamkannya, sebagaimana
yang dinukilkan oleh Ibnu Rusyd. Sedangkan Al-Imam Az-Zaila’i
(madzhab Hanafi) dalam Syarh Al-Kanz mengatakan: “Diharamkan
mendirikan bangunan di atas makam.” Dan juga Al-Imam Ibnul
Qayyim
(madzhab
Hanbali)
mengatakan:
“Penghancuran
kubah/bangunan yang dibangun di atas kubur hukumnya wajib,
karena ia dibangun di atas kemaksiatan kepada Rasulullah

Lihat Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al Wahhabiyyah, hal. 119.

Ibid., hal. 76.

shallallahu 'alaihi wa sallam.” (Lihat Fathul Majid Syarh Kitabit
Tauhid karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy-Syaikh,
hal.284-286)
Para pembaca, demikianlah bantahan ringkas terhadap beberapa tuduhan
miring yang ditujukan kepada Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Untuk mengetahui bantahan atas tuduhan-tuduhan miring lainnya, silahkan
baca karya-karya tulis Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab,
kemudian buku-buku para ulama lainnya seperti:
-

Ad-Durar As-Saniyyah fil Ajwibah An-Najdiyyah disusun oleh
Abdurrahman bin Qasim An-Najdi
Shiyanatul Insan ‘An Waswasah Asy-Syaikh Dahlan, karya
Al-‘Allamah Muhammad Basyir As-Sahsawani Al-Hindi.
Raddu Auham Abi Zahrah, karya Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan AlFauzan, demikian pula buku bantahan beliau terhadap Abdul Karim
Al-Khathib.

-

Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlihun Mazhlumun Wa Muftara
‘Alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An-Nadwi.

-

‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab As Salafiyyah
karya Dr. Shalih bin Abdullah Al-’Ubud.

-

Da’watu Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Bainal
Mu’aridhin wal Munshifin wal Mu`ayyidin karya Asy-Syaikh
Muhammad bin Jamil Zainu, dsb.

Barakah Dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
Dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merupakan dakwah
yang penuh barakah. Buahnya pun bisa dirasakan hampir di setiap penjuru
dunia Islam, bahkan di dunia secara keseluruhan.
Di Jazirah Arabia26
Di Jazirah Arabia sendiri, pengaruhnya luar biasa. Berkat dakwah tauhid ini
mereka bersatu yang sebelumnya berpecah belah. Mereka mengenal
26

Dirin