EKSISTENSI HUKUM NASIONAL DALAM KONSTELA

EKSISTENSI HUKUM NASIONAL DALAM
KONSTELASI HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL
DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH HUKUM PERJANJIAN
INTERNASIONAL

Nama

: Kanita Agustin

NIM

: 11010111130208

Kode Doswal

: 0239

Kelas

:C


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
1

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan YME yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga saya berhasil menyelesaikan Makalah ini dalam rangka
pemenuhan tugas mata kuliah Hukum Perjanjian Internasional.
Makalah ini berisikan mengenai bagaimana eksistensi hukum nasional dalam konstelasi
hukum perjanjian internasional. Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi yang
bermanfaat kepada kita semua tentang masalah tersebut.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, karena saya adalah
manusia biasa yang mempunyai keterbatasan dan kesempurnaan hanya milik Tuhan YME. Oleh
karena itu tidak ada hal yang dapat diselesaikan dengan sangat sempurna. Maka, penyusun
mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun demi kesempurnaan
makalah ini.
Akhir kata, saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Tuhan YME senantiasa meridhoi

segala usaha saya. Amin.

Semarang, 7 Oktober 2013

Penyusun

2

DAFTAR ISI

JUDUL ............................................................................................................

1

KATA PENGANTAR…....………………………………………..................

2

DAFTAR ISI ..................................................................................................


3

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah

..………..………………………….................

4

1.2 Rumusan Masalah..…...………………………….…….....…....................

5

1.3 Tujuan Penulisan

.…...……………........………..………….................

5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………....


6

BAB III PEMBAHASAN
3.1 Tahapan dalam melakukan perjanjian internasional............................... ...
3.2 Hubungan Hukum Nasional dengan Perjanjian
Internasional……………………….................................................
...

8
11

BAB IV PENUTUP
5.1 Simpulan .................................................................................................... 15
5.2 Saran

.......................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA


................................……….....…………………...… 17

3

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala
internasional. Pada awalnya, Hukum Internasional hanya diartikan sebagai perilaku dan
hubungan antarnegara namun dalam perkembangan pola hubungan internasional yang
semakin kompleks pengertian ini kemudian meluas sehingga hukum internasional juga
mengurusi struktur dan perilaku organisasi internasional dan pada batas tertentu, perusahaan
multinasional dan individu.
Hukum internasional adalah hukum bangsa-bangsa, hukum antarbangsa atau hukum
antarnegara. Hukum bangsa-bangsa dipergunakan untuk menunjukkan pada kebiasaan dan
aturan hukum yang berlaku dalam hubungan antara raja-raja zaman dahulu. Hukum
antarbangsa atau hukum antarnegara menunjukkan pada kompleks kaedah dan asas yang
mengatur hubungan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa atau negara.
Hukum Internasional merupakan keseluruhan kaedah dan asas yang mengatur

hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara:
(i) negara dengan negara
(ii) negara dengan subyek hukum lain bukan negara atau subyek hukum bukan negara satu
sama lain.
Dimana dalam hubungan tersebut diperlukan adanya suatu perjanjian internasional
untuk menjembatani hubungan antar negara tersebut karena perjanjian internasional
termasuk ke dalam salah satu sumber hukum hukum internasional. Hal ini sangat diperlukan
demi terwujudnya keinginan brsama dan agar tidak timbul masalah – masalah yang belum
disepakati sebelumnya pada saat sebelum perjanjian itu dibuat.
Perjanjian internasional mempunyai beberapa fungsi yang tidak bisa diabaikan,
diantaranya untuk mendapatkan pengakuan umum anggota masyarakat bangsa-bangsa,
sebagai sarana utama yang praktis bagi transaksi dan komunikasi antar anggota masyarkat
negara, berfungsi sebagai sumber hukum internasional, sarana pengembang kerjasama
internasional secara damai
Perjanjian internasional sangat berhubungan erat dengan hukum nasional. Hukum
nasional adalah peraturan hukum yang berlaku di suatu Negara yang terdiri atas prinsipprinsip serta peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat pada suatu Negara. Hukum
4

Nasional merupakan sebuah sistem hukum yang dibentuk dari proses penemuan,
pengembangan, penyesuaian dari beberapa sistem hukum yang telah ada. 1


1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana tahapan – tahapan yang harus dilakukan dalam melakukan perjanjian
internasional?
2. Bagaimana hubungan antara hukum nasional dengan perjanjian internasional?

1.3 Tujuan Penulisan
1. Memahami tahapan – tahapan dalam melakukan suatu perjanjian internasional
2. Mengetahui bagaimana hubungan antara hukum nasional dengan perjanjian internasional

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan oleh masyarakat bangsabangsa dan bertujuan mengakibatkan hukum tertentu. Perjanjian internasional sekaligus
menjadi subjek hukum internasional. Perjanjian internasional juga lebih menjamin kepastian
hukum serta mengatur masalah-masalah bersama yang penting. Disebut perjanjian
internasional jika perjanjian diadakan oleh subjek hukum internasional yang menjadi
1 http://temukanpengertian.blogspot.com/2013/08/pengertian-hukum-nasional.html

5


anggota masyarakat internasional. Berikut ini terdapat pendapat para ahli mengenai
perjanjian internasional :
Rifhi Siddiq
“Perjanjian internasional adalah persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih
yang merupakan subjek hukum internasional yang masing-masing sepakat akan hal yang
terkandung dalam persetujuan tersebut.”
Prof Dr.Mochtar Kusumaatmadja
“Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antarbangsa yang
bertujuan untuk menciptakan akibat-akibat hukum tertentu.”
Oppenheimer-Lauterpacht
“Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antarnegara yang menimbulkan
hak dan kewajiban di antara pihak-pihak yang mengadakannya.”

G. Schwarzenberger
“Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antara subjek-subjek hukum
internasional yang menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat dalam hukum
internasional.”
Selain itu, terdapat pula pengertian perjanjian internasional dalam Konferensi Wina
tahun 1969. Dimana dalm konvensi tersebut dinyatakan bahwa Perjanjian internasional

adalah perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih yang bertujuan untuk
mengadakan akibat-akibat hukum tertentu2
Didalam Piagam Mahkamah Internasional pasal 2 ayat 1 huruf a, juga dipaparkan
mengenai perjanjian internasional sebagai berikut:

2 Konvensi WINA 1969, pengertian perjanjian internasional

6

“Treaty means an international agreement concluded between states in written form
and governed by international law, wheter embodied in a single instrument or in two or
more related instrument ang whatever its particular designation”
(Perjanjian internasional berarti suatu persetujuan internasional yang ditanda-tangani
antar Negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah dibuat
dalam wujud satu instrumen tunggal atau dalam dua instrumen yang saling berhubungan
atau lebih dan apapun yang menjadi penandaan khususnya).3
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional,
menjelaskan bahwa perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama
tertentu yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta
menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Itulah beberapa pengertian dan

batasan perjanjian internasional.4

BAB III
PEMBAHASAN

2.1 Tahapan melakukan Perjanjian Internasional
Suatu persetujuan internasional dibuat oleh negara - negara dalam bentuk tertulis yang
didasarkan pada hukum internasional dan dibuat dalam instrumen tunggal. Dimana dalam
instrumen tersebut dapat dibuat dua atau lebih dan memiliki nama apapun
3 Piagam Mahkamah Internasional, pasal 2 ayat 1, huruf a
4 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000

7

Bentuk Perjanjian Internasional
 Traktat (Treaty)
Treaty mencakup segala macam bentuk persetujuan internasional, dan merupakan
perjanjian yang paling penting dan sangat formal dalam urusan perjanjian. Sebagai
contoh perjanjian internasional jenis ini ialah perjanjian persahabatan dan kerja sama
di Asia Tenggara (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) tertanggal 24



Februari 1976.
Konvensi (Convention)
Istilah convention mencakup juga pengertian perjanjian internasional secara umum.
Dengan demikian, menurut pengertian umum, istilah convention dapat disamakan
dengan pengertian umum treaty. Istilah konvensi digunakan untuk perjanjianperjanjian multilateral yang berangotakan banyak pihak. Sebagai contoh perjanjian
internasional jenis ini ialah Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perlindungan



Korban Perang.
Persetujuan (Agreement)
Menurut pengertian umum, agreement mencakup seluruh jenis perangkat
internasional dan biasanya mempunyai kedudukan yang lebih rendah daripada traktat



dan konvensi. Contohnya Treaty of Rome, 1957.
Memorandum of Understanding
Sebuah perjanjian yang berisi pernyataan persetujuan tidak langsung atas perjanjian
lainnya; atau pengikatan kontrak yang sah atas suatu materi yang bersifat informal
atau persyaratan yang longgar, kecuali pernyataan tersebut disertai atau merupakan
hasil persetujuan atau kesepakatan pemikiran dari para pihak yang dikehendaki oleh



keduanya untuk mengikat
Protokol (Protocol)
Terminologi protocol digunakan untuk perjanjian internasional yang materinya lebih
sempit dibanding treaty atau convention.pengunaan protokol tersebut memiliki
berbagai macam keragaman yaitu :
a. Protocol of signature
b. Optional protocol
c. Protocol based on a framework treaty
Protokol ini merupakan sebagai tambahan dari perjanjian utamanya



Piagam (Charter)

8

Pada umumnya, istilah charter digunakan sebgai perangkat internasional dalam
pembentukan (pendirian) suatu organisasi internasional. The examples are the
Charter of the United Nations of 1945 and the Charter of the Organization of
American States of 1952.


Deklarasi (Deklaration)
Deklarasi merupakan perjanjian yang berisi ketentuan-ketentuan umum dimana para
pihak berjanji untuk melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu di masa yang
akan datang. Contohnya ialah Deklarasi ASEAN (ASEAN Declaration) tahun 1967
dan Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration on
Human Rights) tahun 1948.
“Treaty Making Powers” berdasarkan Konvensi Wina 1969 berada ditangan “the big

three”, yaitu :
1. Kepala Negara (Head of State);
2. Kepala Pemerintahan (Head of Government);
3. Menteri Luar Negeri (Ministry for Foreign Affairs).

Sehingga tanpa menggunakan Surat Kuasa “Full Powers” mereka dapat menandatangani
suatu perjanjian internasional.
Dasar Hukum Pembuatan Perjanjian Internasional
Ps. 11 UUD 1945 : UU No.37 tahun 1999 tentang hubungan Luar Negeri dan UU No.
24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, dalam pelaksanaannya kedua Undangundang ini terkait erat dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
One Door Policy
Departemen Luar Negeri sebagai koordinator dalam penyelenggaraan dan kerjasama luar
negeri. Melalui mekanisme konsultasi dan koordinasi ini, perjanjian internasional yang
diadakan oleh pemerintah dapat dilakukan secara aman baik dari segi politis, security,
yuridis dan teknis.
UU 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan UU 24/2000 tentang Perjanjian
Internasional menetapkan bahwa :

9

Lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun non-departemen, di
tingkat pusat dan daerah yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional,
terlebih dahulu harus melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai rencana tersebut
dengan Menteri Luar Negeri
Pengesahan Perjanjian Internasional dilakukan melalui UU bila mencakup :
1. Masalah politik, perdamaian, keamanan, hankam
2. Perubahan wilayah/penetapan batas wil negara
3. Kedaulatan/hak berdaulat negara
4. HAM dan lingkungan hidup
5. Pembentukan kaidah hukum baru
6. Pinjaman/hibah luar negri
Pedoman dalam membuat suatu perjanjian internasionl adalah berdasarkan
Kepentingan Nasional, bukan hanya berdasar pada kepentingan idividu atau kepentingan
pejabat negara saja. Sedangkan prinsip yang harus diperhatikan sebelum mengadakan suatu
perjanjian internasional adalah meliputi kesepakatan para pihak, saling menguntungkan /
manfaat, kesetaraan/persamaan kedudukan; dan Itikad baik.

2.2 Hubungan Hukum Nasional dengan Perjanjian Internasional
Hubungan hukum internasional dan hukum nasional terdapat dua teori yang utama.
Yakni teori monoisme dan dualisme. Teori monoisme menyatakan bahwa hukum
internasional dan hukum nasional masing – masing merupakan dua aspek dari satu sistem
hukum. Struktur hukum intern menetapkan bahwa hukum mengikat individu secara
perorangan dan secara kolektif. Hukum internasional mengikat individu secara kolektif
sedangkan hukum nasional mengikat individu secara perorangan. Teori dualisme
menyatakan bahwa hukum internasional dan hukum nasional masing – masing merupakan

10

dua sistem hukum yang berbeda secara intrinsik. Triepel menyatakan bahwa hukum
internasional berbeda dengan hukum nasional karena berbeda subyek dan sumbernya.5
Selain teori monoisme dan dualisme diatas terdapat juga teori koordinasi yang bisa
dikatakan sebagai kelompok moderat. Teori ini beranggapan apabila hukum internasional
memiliki lapangan berbeda sebagaimana hukum nasional, sehingga kedua sistem hukum
tersebut memiliki keutamaan di wilayah kerjanya masing – masing. Kelompok ini
beranggapan hukum internasional dengan hukum nasional tidak bisa dikatakan terdapat
masalah pengutamaan. Masing – masing berlaku dalam eranya sendiri.
Oleh karena itu tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah diantara hukum
internasional atau hukum nasional. Anzilotti berpahaman bahwa hukum nasional ditujukan
untuk ditaati sedangkan hukum internasional dibentuk dengan dasar persetujuan yang dibuat
antar Negara ditujukan untuk dihormati. Pemahaman anzilotti ini pada saat ini sangat
diragukan. Karena jika hukum internasional hanya didasarkan pada persetujuan,
sebagaimana tercermin dalam prinsip pacta sunt servanda, maka persoalan – persoalan yang
bersama dan mendesak seperti perlindungan terhadap lingkungan dan HAM akan menemui
jalan buntu.
Dengan demikiann, perbedaan antara hukum nasional dan hukum internasional
sebagaimana yang dikemukakan oleh kelompok dualisme tersebut diatas untuk kurun waktu
sekarang ini sudah tidak relevan lagi. Hal ini disebatkan karena sudah terjadi perubahan dan
perkembangan yang sangat mendasar atas struktur masyarakat internasional maupun hukum
internasional itu sendiri.6
Hubungan hukum Internasional dengan hukum Nasional pada umumnya menyangkut
persoalan/masalah apakah hukum Internsional dengan hukum Nasional merupakan satu
system yang masing-masing berdiri sendiri dan terpisah satu sama lain atau keduanya.
Selain itu dari sudut praktek Negara adalah penting untuk diketahui sampai seberapa jauh
pengadilan Internasional menerapkan hukum Internasional, dan di lain pihak juga penting
untuk mengetahui sejauh mana pengadilan Internasional berpengaruh pada hukum Nasional
yang diajukan para pihak di depan pengadilan tersebut.7
Berkenaan dengan hukum kebiasaan, praktek Indonesia belum begitu menmpakkan
adanya suatu kepastian. Namun untuk beberapa hal, Indonesia menerima hukum kebiasaan
5 http://kicauanpenaku.blogspot.com/2012/12/hubungan-antara-hukum-internasionaldan.html
6 Jawahir Thontowi, Pranoto Iskandar 2006 : 82
7 Alma Manuputy, et.al., Hukum Internasional. Makassar, 2008 , hal. 151

11

Internasional sebagai bagian dari hukum nasionl Indonesia. Misalnya, hukum kebiasaan
yang berlaku di laut. Seperi misalnya tentang hak lintas damai (right of passage innocent)
bagi kapal-kapal asing di laut teritorial Indonesia diakui dan diterapkan oleh Indonesia serta
dihormati pula oleh kapal-kapal asing, terutama sekali setelah Indonesia memperoleh
kemerdekaan.
Akan tetapi, pernah terjadi bahwa Indonesia justru bertindak sebaliknya yaitu dengan
mengesampingkan hukum kebiasaan Internasional dan mengutamakan hukum atau undangundang nasionalnya. Hl ini terjadi dalam kasus masionalisasi perusahaan-perusahaan asing
mlik Belanda yang beroperasi d Indonesia. Pada tanggal 31 Desember 1958 Indonesia
mengelurkan Undng-undang Nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda yang
berada di wilayah Republik Indonesia (Undang-undang Nomor:86 tahun 1957) dan
mengambil langkah menasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda yang beroperasi
di Indonesia. Pihak Belanda tidak mempermasalahan keabsahan dan Undang-undang
nasionalisas tersebut, melainkan hanya mempersoalkan pembayaran ganti rugi yang dianut
dan diterapkan oleh Indonesia yang nyata-nyata bertentangan dengan hukum kebiasaan
Internasional yang dianut secara luas dalam hal pembayaran ganti rugi yaitu sesuai dengan
prinsip “prompt, effective and adequate”.
Indonesia juga pernah mengesampingkan kaedah hukum kebiasaan Internasional
dalam penerapan lebar laut territorial. Menurut hukum kebiaaan Internasional lama, lebar
laut territorial negara-negara adalah sejauh 3(tiga) mil laut diukur dari garis pangkal normal.
Hukum kebiasaan Internasional iijuga diterima sebagai bagian dari ukuran nasional
Indonesia yaitu di dalam Undang-undang peninggalan jaman Belandayang terkenal dengan
sebutan Territoriale Zee en Maritmei Kringen Ordonantie (Stb. 1939 Nomor 442). Ketentuan
tersebut berlaku dalam alam kemerdekaan Indonesia melalui pasal I aturan peralihan
Undang-undang Dasar 1945. Dalam Stb tersebut ditetapkan lebar laut territorial Hindia
Belanda (Indonesia) sejauh 3(tiga) mil laut diukur dari garis pangkal normal. Sampa disini
dapat dikemukakan bahwa terdapat kesesuaian antara kaidah hukum kebiasaan Internasional
mengenai lebar laut territorial dengn hukum atau undang-undang Indonesia mengenai hal
yag sama.
Akan tetapi kemudian pada tanggal 13 Desember 1957 Indonesia secara sepihak
mengklaim laut territorial 12 (duabelas) mil laut berdasarkan system penarikan garis pangkal
lurus dari ujung ke ujung. Sekaligus menyatakan bahwa Stb. tahun 1939 Nomor 442 tersebut
12

sepanjang menyangkut lebar laut territorial dan system penarikan garis pangkal normal
menjadi tidak berlaku lagi.
Tindakan ini menunjukkan bahwa Indonesia lebih mengutamakan Undang-undang
atau hukum nasionalnya walaupun undang-undang nasionalnya tu lahir belakangan
dibandingkan dengan hukum kebiasaan Internasional tersebut. Pengutamaan atas undangundang nasional ini tidak bisa dipandang sebagai pelanggaran kaedah hukum Internasional,
melainkan harus dipandang sebagai kehendak dari pihak Indonesia untuk merombak atau
menggantikan hukum kebiasaan Internasional lama tersebut dengan kaidah hukum yang
baru.

BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
13

Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan oleh masyarakat bangsabangsa dan bertujuan mengakibatkan hukum tertentu. Perjanjian internasional sekaligus
menjadi subjek hukum internasional. Perjanjian internasional juga lebih menjamin kepastian
hukum serta mengatur masalah-masalah bersama yang penting. Disebut perjanjian
internasional jika perjanjian diadakan oleh subjek hukum internasional yang menjadi
anggota masyarakat internasional.
Pedoman dalam membuat suatu perjanjian internasionl adalah berdasarkan
Kepentingan Nasional, bukan hanya berdasar pada kepentingan idividu atau kepentingan
pejabat negara saja. Sedangkan prinsip yang harus diperhatikan sebelum mengadakan suatu
perjanjian internasional adalah meliputi kesepakatan para pihak, saling menguntungkan /
manfaat, kesetaraan/persamaan kedudukan; dan Itikad baik.
Hubungan hukum Internasional dengan hukum Nasional pada umumnya menyangkut
persoalan/masalah apakah hukum Internsional dengan hukum Nasional merupakan satu
system yang masing-masing berdiri sendiri dan terpisah satu sama lain atau keduanya.
Selain itu dari sudut praktek Negara adalah penting untuk diketahui sampai seberapa jauh
pengadilan Internasional menerapkan hukum Internasional, dan di lain pihak juga penting
untuk mengetahui sejauh mana pengadilan Internasional berpengaruh pada hukum Nasional
yang diajukan para pihak di depan pengadilan tersebut.

4.1 Saran
Hukum Internasional dengan hukum nasional harus saling berdampingan satu sama
lain, tidak harus mengutamakan mana yang lebih penting antara hukum internasional
ataukah hukum nasional. Keduanya harus saling melengkapi dan berdampingan untuk dapat
menyelesaikan segala kejahatan internasional atau persengketaan internasional. Tidak hanya
sengketa internasional saja, didalam mengadakan suatu hubungan atau relasi antar negara
juga diperlukan kembali betapa pentingnya hukum internnasional. Diperlukan sutu
perjanjian internasional agar dapat menjalin hubungan relasi suatu negara dengan negara
lain. Dimana perjanjian internasional tersebut merupakan bagian dari salah satu sumber
hukum oleh hukum internasional.

14

DAFTAR PUSTAKA

-

http://temukanpengertian.blogspot.com/2013/08/pengertian-hukum-nasional.html

-

Konvensi WINA 1969, pengertian perjanjian internasional

-

Piagam Mahkamah Internasional, pasal 2 ayat 1, huruf a
15

-

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000

-

http://kicauanpenaku.blogspot.com/2012/12/hubungan-antara-hukum-internasionaldan.html

-

Jawahir Thontowi, Pranoto Iskandar 2006 : 82

-

Alma Manuputy, et.al., Hukum Internasional. Makassar, 2008 , hal. 151

16