NEGARA HUKUM DALAM ISLAM TINJAUAN TERHAD

NEGARA HUKUM DALAM ISLAM : TINJAUAN
TERHADAP PIAGAM MADINAH DAN PRINSIP
NEGARA HUKUM MODERN
Posted December 15, 2011 by regafelix in Hukum. 2 Comments
Oleh Rega Felix
1. A. PENDAHULUAN
1.Latar Belakang
Belakangan ini banyak wacana mengenai pendirian negara Islam di berbagai belahan dunia.
Metode yang dilakukan dalam rangka mendirikan negara islam pun bermacam-macam. Akibat
dari banyak berbagai macam metode ini pun banyak perbedaan-perbedaan dalam kalangan umat
Islam sendiri. Ada golongan yang biasa disebut sebagai islam garis keras yang melegitimasi
pemikirannya yang paling benar sehingga pemikiran-pemikiran lain mereka anggap salah
mereka anggap sebagai menyimpang dari agama dan dianggap sebagai kafir, mereka
menganggap prinsip-prinsip dari era modern yang mereka anggap dari barat merupakan hukum
kafir (thagut). Mereka mendasarkan pada simbol-simbol mereka secara formal untuk
mendasarkan pemikiran mereka dalam bernegara dalam islam. Adapula yang melihat bahwa
dalam bernegara berdasarkan Islam kita bisa melihat Islam sebagai nilai-nilai yang dinamis
dalam bermasyarakat dan bernegara. Mereka tidak menafikkan perkembangan zaman, mereka
mengikuti dinamika perputaran dunia selama perkembangan tersebut tidak bertentangan dengan
nilai-nilai Islam secara substantif. Perbedaan seperti itu janganlah menjadi perpecahan dalam
umat Islam itu sendiri. Persatuan umat Islam berdasarkan ukhuwah Islamiyah haruslah

berlandaskan pada Islam sebagai agama yang Rahmatan Lil Alamin yaitu Islam sebagai Rahmat
bagi seluruh alam semesta. Perlu adanya peninjauan terhadap konsepsi bernegara hukum dalam
pandangan Islam dan perkembangan konsepsi negara hukum di era modern ini. Sehingga
tercapai suatu dasar yang komprehensif yang tidak sepotong-potong sehingga tercapainya Islam
sebagai Rahmatan Lil Alamin.
Sebelumnya penulis mencoba memberikan gambaran umum mengenai konsepsi negara hukum.
secara umum apabila kita melihat prinsip negara hukum kita akan merujuk kepada dua konsep
negara hukum yaitu The Rule of Law yang dikemukakan oleh A.V. Dicey dan Rechstaat yang
dikemukakan oleh Julius Stahl. Ahli-ahli tersebut memang merupakan pionir dalam merumuskan
konsep negara hukum. bahkan Dicey ada yang menyebutnya sebagai maha guru negara hukum.
kedua konsep antara The Rule of Law dan Rechstaat itu memang mempunyai perbedaanperbedaan. Namun, pada hakikatnya tetap sama yaitu suatu prinsip negara yang didasarkan pada
hukum. perbedaan yang muncul tersebut terjadi karena perbedaan sudut pandang mereka dalam
menyusun konsep negara hukum. konsepsi negara hukum inilah yang biasa dijadikan rujukan
untuk membentuk suatu negara berdasarkan hukum di era modern ini.

Dalam perkembangan, konsepsi negara hukum bukanlah sebuah konsep yang statis. Tetapi
konsep negara hukum itu berkembang secara dinamis sesuai dengan perkembangan tuntutan
zaman. Perkembangan konsep negara hukum itu terjadi akibat ekses perkembangan dari konsep
demokrasi dan munculnya konsep negara kesejahteraan (welfare state). akibat dari itu terjadinya
usaha-usaha untuk mengembangkan konsep negara hukum tersebut dalam konteks welfare state.

salah satu yang mengembangkannya ialah oleh International Commision of Jurist yang
mengemukakan The Dynamic Aspect of The Rule of Law. Konsep welfare state pada era modern
ini hampir telah diterima oleh hampir seluruh negara di dunia. Welfare state yang merupakan
reaksi atas merebaknya ketidakadilan dalam suatu negara terutama negara dengan prinsip liberal
yang menerapkan prinsip laissez faire laissez alle dimana negara hanya menjadi sebagai negara
penjaga malam saja menyebabkan penerimaan konsep welfare state diseluruh dunia ini. Tuntutan
zaman berkembang dan banyak tuntutan akan adanya legitimasi terhadao kesejahteraan yang
dijamin dalam hukum. pergeseran paradigm ini yang mendinamisasi konsep the rule of law ini.
Sekitar abad 7 masehi muncul ajaran Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW.
Munculnya ajaran Islam merupakan tonggak bersejarah bagi peradaban manusia yang merubah
secara menyeluruh dan fundamental paradigm kehidupan manusia. Ajaran yang disampaikan
bukanlah ajaran sepotong-potong melainkan menyeluruh dalam segala bidang kehidupan
manusia. Karena ajaran Islam adalah ajaran yang menyeluruh berarti islam juga mengatur
kehidupan bernegara. Namun bukan berarti terdapat sebuah sistem pemerintahan dan struktur
ketatanegaraan yang dapat kita ambil sebagai bentuk yang apriori bagi umat islam untuk
diterapkan secara mutlak. Sistem dan bentuk pemerintahan itu sendiri mengalami dinamika
dalam dunia Islam itu sendiri. Karena dalam Al-Quran yang merupakan sumber utama hukum
Islam tidak memberikan suatu bentuk yang tetap melainkan hanya asas dan prinsipnya saja untuk
berkehidupan bernegara. Terdapat kebebasan untuk menetapkan sistem dan bentuk pemerintahan
untuk diterapkan selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Secara historis, pada periode Nabi Muhammad SAW, beliau telah membentuk suatu masyarakat
yang dapat dikatakan sebagai negara yaitu negara Madinah. Karena syarat berdirinya suatu
negara telah dipenuhi yaitu adanya wilayah,rakyat,pemerintahan, dan kedaulatan. Dan terlebih
lagi pada masa itu terdapat suatu piagam yang menjadi dasar negara yang disebut sebagai piagam
madinah. Ada yang menyebutnya juga sebagai konstitusi madinah. Dapat dilihat bahwa pada
periode Nabi Muhammad SAW telah terdapat prinsip-prinsip negara berdasarkan hukum. karena
adanya hukum dasar negara yang dijadikan acuan dalam kehidupan bernegara. Negara madinah
tersebut dapatlah dijadikan rujukan untuk melihat suatu negara hukum yang berdasarkan Islam.
Karena Nabi Muhammad SAW merupakan rasul Allah SWT yang segala sikap tindaknya
merupakan contoh teladan.
Oleh karena itu perlu adanya peninjauan terhadap prinsip-prinsip negara hukum dengan melihat
kepada perkembangan zaman dan apa yang telah di laksanakan oleh Nabi Muhammad SAW
sebagai contoh teladan umat manusia.
1. 2.

Identifikasi Masalah

Berdasarkan pada latar belakang yang telah di paparkan yang menjadi titik tolak permasalahan
karya tulis ini adalah :


1. Apa perbedaan dan persamaan prinsip negara hukum dalam Islam dan negara hukum
modern?
2. Bagaimana prinsip-prinsip negara hukum dalam Islam di era modern?
1. TINJAUAN TEORITIS TERHADAP NEGARA MADINAH DAN NEGARA
HUKUM MODERN
1. 1.

Sejarah Lahirnya Negara Madinah

Pada setiap musim haji, nabi Muhammad SAW biasa mendatangi kabilah-kabilah yang datang ke
Baitul Haram (Mekkah), membacakan kitab Allah kepada mereka dan mengajak untuk
mentauhidkan Allah.[1] Rasullulah SAW berseru kepada mereka, “Wahai manusia! Ucapkanlah
La Illaha ilallah niscaya kalian beruntung, dengan mengucapkan kalimat ini, kalian akan
menguasai bangsa Arab dan orang-orang ‘ajam. Jika Kalian beriman, kalian akan menjadi raja
di surga”.[2] Hingga pada tahun kesebelas dari kenabian, nabi Muhammad SAW bertemu
dengan sekelompok orang dari kabilah khazraj dan berdialog seperti berikut :[3]
“siapa kalian ini?”, Tanya beliau setelah saling bertemu muka dengan mereka.
“kami orang dari khazraj”, jawab mereka.
“sekutu orang-orang Yahudi?”, Tanya Beliau.
“Benar”,Jawab mereka.

“maukah kalian duduk-duduk agar aku bisa berbincang-bincang dengan kalian?”
“baiklah”, Jawab mereka.
Setelah duduk bersama, Nabi Muhammad SAW. Menjelaskan hakikat Islam dan dakwahnya,
membacakan Al-Quran, dan mengajak mereka masuk Islam. Mereka kemudian berkata : “Demi
Allah, kalian tahu sendiri bahwa memang dia benar-benar seorang nabi seperti yang dikatakan
orang-orang Yahudi. Janganlah mereka mendahului kalian. Oleh karena itu, segeralah
memenuhi seruannya dan masuklah Islam”.[4] Tak lama kemudian, keenam pemuda itu masuk
Islam.[5]
Setelah kembali ke Yastrib (sekarang Madinah), mereka membawa risalah Islam dan
menyebarkannya disana, sehingga hampir semua penghuni rumah di Yastrib menyebut nama
Nabi Muhammad SAW.[6] Sosok nabi Muhammad SAW telah dikenal sebelum beliau hijrah, hal
ini dikarenakan penyebaran oleh para pemuda yang telah masuk Islam tersebut. Penerimaan
ajaran nabi Muhammad SAW di Madinah di karenakan kondisi madinah yang pada saat sebelum
itu banyak terjadi peperangan antar kabilah-kabilah sehingga rakyat Madinah sangat
mengharapkan ada sebuah agama yang dapat mempersatukan barisan mereka dan mengakhiri
perselisihan berkepanjangan tersebut. [7] hingga sampai pada saatnya datang ajaran agama Islam
mereka percaya bahwa ajaran tersebut akan mengakhiri permasalahan tersebut.

Sementara itu umat muslim di Mekkah selalu mendapat penyiksaan,pencacian, dan pengucilan
oleh kaum kafir quraisy. Hingga tiba sampai pada datangnya perintah untuk Hijrah kepada nabi

Muhammad SAW untuk pindah ke Madinah. Sebelum Nabi Muhammad SAW beserta para
sahabatnya melakukan hijrah, Nabi Muhammad SAW terlebih dahulu melakukan Bai’at Al
Aqabah Pertama dan disusul dengan Bai’at Al-Aqabah kedua.
a)

Bai’at Al-Aqabah Pertama

Pada musim haji berikutnya yaitu setahun setelah bertemunya nabi Muhammad SAW dengan
enam pemuda khazraj, Datang dua belas orang lelaku dari Anshar untuk menemui nabi
Muhammad SAW di Aqabah. Mereka kemudia berbai’at (berjanji) kepada nabi Muhammad
SAW yang dikenal dengan Bai’at Al-Aqabah pertama.[8]
Dalam sebuah riwayat isi bai’at tersebut adalah :
Nabi Muhammad SAW mengatakan
“berbai’atlah kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan apapun, tidak mencuri, tidak
berzina, tidak membunuh anak-anakmu, tidak akan berdusta untuk menutup-nutupi apa yang
ada di depan atau di belakangmu, dan tidak akan membantah perintahku dalam hal kebaikan.
Jika kamu memenuhi, pahalanya terserah kepada Allah. Jika kamu melanggar sesuatu dari janji
itu, lalu dihukum di dunia maka hukuman itu merupakan kafarat baginya. Jika kamu melanggar
sesuatu dari janji itu, kemudian Allah menutupinya maka urusannya kepada Allah. Bila
menghendaki, Allah akan menyiksanya atau member ampunan menurut kehendaknya”.[9]

Kemudian pemuda tersebut berbaiat kepada nabi Muhammad SAW.
Setelah pembaiatan itu, para utusan kaum Anshar itu pulang ke Madinah. Bersama mereka nabi
Muhammad SAW mengikutsertakan Mushab bin Umair untuk mengajarkan Al-Quran dan
hukum-hukum agama kepada mereka sehingga akhirnya Mushab bin Umair dikenal sebagai
muqri’ul Madinah.[10] selanjutnya mereka semua diutus ke Madinah untuk berdakwah. Amanat
nabi Muhammad SAW tersebut dijalankan dengan baik dan sukses, sehingga sebelum musim
haji tahun berikutnya, ia telah kembali mendahului peserta rombongan peziarah ke mekkah,
sekaligus melaporkan pelaksanaan amanat yang dipercayakan kepadanya.[11]
b) Bai’at Al-Aqabah Kedua
Sukses dakwah yang dilakukan Mushab bin Umair di Madinah telah meningkatkan jumlah
pemeluk Islam, terutama dua pemimpin suku Bani Abdul Asyhal yang sangat disegani, yaitu
Sa’ad bin Muadz dan Usaid bin Hudzair.[12] Tahun 622 Masehi, jumlah Jama’ah haji dari
madinah bertambah menjadi 75 orang, terdiri dari 73 laki-laki dan 2 perempuan. Kedua
perempuan itu adalah Nasibah binti Ka’ab Ummu Imarah dan Ummu Mani, keduanya ikut dalam
Bai’at Al-Aqabah Kedua.[13]
Saat dilakukannya Bai’at Barra bin Ma’rur menjabat tangan nabi Muhammad SAW seraya
mengucapkan , “ya, demi Allah yang mengutusmu sebagai nabi dengan membawa kebenaran,

kami berjanji akan membelamu sebagaimana kami membela diri kami sendiri. Baiatlah kami,
wahai Rasulullah! Demi Allah, kami adalah orang-orang yang ahli perang dan senjata secara

turun temurun” disaat Barra’ masih berbicara dengan Rasulullah SAW, Abul Haitsam bin Taihan
menukas dan berkata, “Wahai Rasulullah, kami terikat suatu perjanjian dengan orang-orang
Yahudi dan perjanjian itu akan kami putuskan! Kalau semuanya itu telah kami lakukan,
kemudian Allah memenangkan engkau (dari kaum musyrik). Apakah engkau akan kembali lagi
kepada kaummu dan meninggalkan kami?” mendengar itu Rasulullah SAW tersenyum kemudian
berkata, “Darahmu adalah darahku, negerimu adalah negeriku, aku darimu dan kamu dariku,
aku berpegang melawan siapa saja yang memerangimu dan aku akan berdamai dengan siapa
saja yang berdamai denganmu”[14]
Bai’at Al-Aqabah kedua ini dilihat dari isinya telah merambah wilayah politik, karena
menyangkut perlindungan di antara kedua belah pihak : pemutusan hubungan perjanjian antara
orang-orang Yahudi madinah, Nabi Muhammad juga menjamin tidak akan meninggalkan
mereka, dan kembali kepada kaumnya kelak jika nabi Muhammad SAW memperoleh
kemenangan.[15] selain itu bai’at kedua ini merupakan landasan bagi hijrahnya nabi Muhammad
SAW ke Madinah karena Bai’at inimenyebutkan prinsip-prinsip yang akan disyariatkan setelah
hijrah ke Madinah, terutama mengenai masalah Jihad dan membela dakwah Islam dengan
kekuatan.[16] Menurut Muhammad Tahir Azhary Perjanjian Al-Aqabah ini merupakan perjanjian
antara nabi Muhammad SAW dan delegasi Madinah yang telah memilih Nabi Muhammad SAW
sebagai pemimpin politik ataupun pemimpin agama.[17] Menurut Muhammad Alim[18] Bai’at
Al-Aqabah kedua dapat dianggap sebagai perjanjian masyarakat (social contract), bahkan bisa
dinilai sebagai usaha menegakkan negara Republik.[19] Bai’at Al-Aqabah Kedua ini dapat

dikatakan sebagai pemilihan pemimpin politik yang demokratis berdasarkan pada perjanjian
masyarakat.
c)

Hijrah Nabi Muhammad SAW dan berdirinya negara Madinah

Tekanan kaum musyrik Quraisy terhadap umat Islam di Mekkah semakin berat. Hal ini
menyebabkan umat Islam harus berpindah tempat ke tempat yang lebih aman (hal ini disebut
dengan Hijrah). Akibat dari tekanan kaum musyrik Quraisy tersebut maka umat Islam pun
melakukan hijrah secara terpisah-pisah, sebagian sahabat terlebih dahulu hijrah yang kemudian
disusul oleh nabi Muhammad SAW.
Sesampainya di Madinah nabi Muhammad SAW disambut gembira oleh masyarakat Madinah.
Saat itulah nabi Muhammad SAW harus membangun masyarakat Madinah yang sebelumnya
Nabi Muhammad SAW telah dipilih menjadi pemimpin politik sekaligus agama dengan Bai’at
Al-Aqabah. Karena itu, pekerjaan yang pertama dilakukan Nabi Muhammad SAW ialah
meletakkan asas-asas penting bagi negara Madinah ini. Asas-asas tersebut tercermin pada tiga
pekerjaan berikut :[20]
(a) Pembangunan Mesjid
(b) Mempersaudarakan sesame kaum muslimin secara umum serta antara kaum Muhajirin dan
kaum Anshar secara khusus


(c) Membuat perjanjian (dustur) yang mengatur kehidupan sesame kaum muslimin dan
menjelaskan hubungan mereka dengan orang-orang di luar Islam secara umum dan dengan kaum
Yahudi secara khusus.
Perjanjian (dustur) yang mengatur kehidupan masyarakat Madinah itulah yang kemudian disebut
sebagai piagam Madinah atau Konstitusi Madinah yang menjadi dokumen politik yang otentik
sebagai manifesto politik pertama Negara Islam untuk mengatur pemerintahan Negara Madinah
suatu negara dengan masyarakat yang plural.[21]

1. 2.

Piagam Madinah sebagai Dasar Hukum Negara Madinah

Piagam madinah merupakan dasar dari berdirinya negara Madinah, didalam piagam madinah
tersebut mengatur kehidupan bermasyarakat yang plural. Adapun isi dari piagam Madinah
tersebut adalah sebagai berikut :
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ini adalah piagam dari
Muhammad, Rasulullah SAW, di kalangan mukminin dan muslimin (yang berasal) dari Quraisy
dan Yatsrib (Madinah), dan yang mengikuti mereka, menggabungkan diri dan berjuang bersama
mereka.

Pasal 1: Sesungguhnya mereka satu umat, lain dari (komunitas) manusia lain.
Pasal 2: Kaum Muhajirin (pendatang) dari Quraisy sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahumembahu membayar diat di antara mereka dan mereka membayar tebusan tawanan dengan cara
yang baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 3: Banu ‘Awf, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di
antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil
di antara mukminin.
Pasal 4: Banu Sa’idah, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di
antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang
baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 5: Banu al-Hars, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di
antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang
baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 6: Banu Jusyam, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di
antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang
baik dan adil di antara mukminin.

Pasal 7: Banu al-Najjar, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di
antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang
baik dan adil di antaramukminin.
Pasal 8: Banu ‘Amr Ibn ‘Awf, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar
diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara
yang baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 9: Banu al-Nabit, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di
antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang
baik dan adil di antaramukminin.
Pasal 10: Banu al-’Aws, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di
antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang
baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 11: Sesungguhnya mukminin tidak boleh membiarkan orang yang berat menanggung
utang di antara mereka, tetapi membantunya dengan baik dalam pembayaran tebusan atau diat.
Pasal 12: Seorang mukmin tidak dibolehkan membuat persekutuan dengan sekutu mukmin
lainnya, tanpa persetujuan dari padanya.
Pasal 13: Orang-orang mukmin yang takwa harus menentang orang yang di antara mereka
mencari atau menuntut sesuatu secara zalim, jahat, melakukan permusuhan atau kerusakan di
kalangan mukminin. Kekuatan mereka bersatu dalam menentangnya, sekalipun ia anak dari salah
seorang di antara mereka.
Pasal 14: Seorang mukmin tidak boleh membunuh orang beriman lainnya lantaran (membunuh)
orang kafir. Tidak boleh pula orang mukmin membantu orang kafir untuk (membunuh) orang
beriman.
Pasal 15: Jaminan Allah satu. Jaminan (perlindungan) diberikan oleh mereka yang dekat.
Sesungguhnya mukminin itu saling membantu, tidak tergantung pada golongan lain.
Pasal 16: Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan
santunan, sepanjang (mukminin) tidak terzalimi dan ditentang (olehnya).
Pasal 17: Perdamaian mukminin adalah satu. Seorang mukmin tidak boleh membuat perdamaian
tanpa ikut serta mukmin lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Allah Allah, kecuali atas
dasar kesamaan dan keadilan di antara mereka.
Pasal 18: Setiap pasukan yang berperang bersama kita harus bahu-membahu satu sama lain.
Pasal 19: Orang-orang mukmin itu membalas pembunuh mukmin lainnya dalam peperangan di
jalan Allah. Orang-orang beriman dan bertakwa berada pada petunjuk yang terbaik dan lurus.

Pasal 20: Orang musyrik (Yatsrib) dilarang melindungi harta dan jiwa orang (musyrik) Quraisy,
dan tidak boleh bercampur tangan melawan orang beriman.
Pasal 21: Barang siapa yang membunuh orang beriman dan cukup bukti atas perbuatannya,
harus dihukum bunuh, kecuali wali si terbunuh rela (menerima diat). Segenap orang beriman
harus bersatu dalam menghukumnya.
Pasal 22: Tidak dibenarkan bagi orang mukmin yang mengakui piagam ini, percaya pada Allah
dan Hari Akhir, untuk membantu pembunuh dan memberi tempat kediaman kepadanya. Siapa
yang memberi bantuan atau menyediakan tempat tinggal bagi pelanggar itu, akan mendapat
kutukan dan kemurkaan Allah di hari kiamat, dan tidak diterima daripadanya penyesalan dan
tebusan.
Pasal 23: Apabila kamu berselisih tentang sesuatu, penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah
‘azza wa jalla dan (keputusan) Muhammad SAW.
Pasal 24: Kaum Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan.
Pasal 25: Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi
agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi
sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan
merusak diri dan keluarganya.
Pasal 26: Kaum Yahudi Banu Najjar diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal 27: Kaum Yahudi Banu Hars diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal 28: Kaum Yahudi Banu Sa’idah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal 29: Kaum Yahudi Banu Jusyam diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal 30: Kaum Yahudi Banu al-’Aws diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal 31: Kaum Yahudi Banu Sa’labah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf, kecuali
orang zalim atau khianat. Hukumannya hanya menimpa diri dan keluarganya.
Pasal 32: Suku Jafnah dari Sa’labah (diperlakukan) sama seperti mereka (Banu Sa’labah).
Pasal 33: Banu Syutaybah (diperlakukan) sama seperti Yahudi Banu ‘Awf. Sesungguhnya
kebaikan (kesetiaan) itu lain dari kejahatan (khianat).
Pasal 34: Sekutu-sekutu Sa’labah (diperlakukan) sama seperti mereka (Banu Sa’labah).
Pasal 35: Kerabat Yahudi (di luar kota Madinah) sama seperti mereka (Yahudi).

Pasal 36: Tidak seorang pun dibenarkan (untuk perang), kecuali seizin Muhammad SAW. Ia
tidak boleh dihalangi (menuntut pembalasan) luka (yang dibuat orang lain). Siapa berbuat jahat
(membunuh), maka balasan kejahatan itu akan menimpa diri dan keluarganya, kecuali ia
teraniaya. Sesungguhnya Allah sangat membenarkan (ketentuan) ini.
Pasal 37: Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya, dan bagi kaum muslimin ada kewajiban
biaya. Mereka (Yahudi dan muslimin) bantu-membantu dalam menghadapi musuh Piagam ini.
Mereka saling memberi saran dan nasihat. Memenuhi janji lawan dari khianat. Seseorang tidak
menanggung hukuman akibat (kesalahan) sekutunya. Pembelaan diberikan kepada pihak yang
teraniaya.
Pasal 38: Kaum Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan.
Pasal 39: Sesungguhnya Yatsrib itu tanahnya “haram” (suci) bagi warga Piagam ini.
Pasal 40: Orang yang mendapat jaminan (diperlakukan) seperti diri penjamin, sepanjang tidak
bertindak merugikan dan tidak khianat.
Pasal 41: Tidak boleh jaminan diberikan, kecuali seizin ahlinya.
Pasal 42: Bila terjadi suatu peristiwa atau perselisihan di antara pendukung Piagam ini, yang
dikhawatirkan menimbulkan bahaya, diserahkan penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah
‘azza wa jalla, dan (keputusan) Muhammad SAW. Sesungguhnya Allah paling memelihara dan
memandang baik isi Piagam ini.
Pasal 43: Sungguh tidak ada perlindungan bagi Quraisy (Mekkah) dan juga bagi pendukung
mereka.
Pasal 44: Mereka (pendukung Piagam) bahu-membahu dalam menghadapi penyerang kota
Yatsrib.
Pasal 45: Apabila mereka (pendukung piagam) diajak berdamai dan mereka (pihak lawan)
memenuhi perdamaian serta melaksanakan perdamaian itu, maka perdamaian itu harus dipatuhi.
Jika mereka diajak berdamai seperti itu, kaum mukminin wajib memenuhi ajakan dan
melaksanakan perdamaian itu, kecuali terhadap orang yang menyerang agama. Setiap orang
wajib melaksanakan (kewajiban) masing-masing sesuai tugasnya.
Pasal 46: Kaum yahudi al-’Aws, sekutu dan diri mereka memiliki hak dan kewajiban seperti
kelompok lain pendukung Piagam ini, dengan perlakuan yang baik dan penuh dari semua
pendukung Piagam ini. Sesungguhnya kebaikan (kesetiaan) itu berbeda dari kejahatan
(pengkhianatan). Setiap orang bwertanggungjawab atas perbuatannya. Sesungguhnya Allah
paling membenarkan dan memandang baik isi Piagam ini.
Pasal 47: Sesungguhnya Piagam ini tidak membela orang zalim dan khianat. Orang yang keluar
(bepergian) aman, dan orang berada di Madinah aman, kecuali orang yang zalim dan khianat.
Allah adalah penjamin orang yang berbuat baik dan takwa. Dan Muhammad Rasulullah SAW.

Jika kita kaji muatan materi piagam Madinah secara mendalam, kita akan mendapat gambaran
tentang karakteristik masyarakat (ummah) dan negara Islam pada masa-masa awal kelahiran dan
perkembangannya yaitu :[22]
(a) Masyarakat pendukung piagam ini adalah masyarakat majemuk yang terdiri atas berbagai
suku dan agama
(b) Semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama, wajib saling menghormati dan
wajib kerja sama antara sesame mereka, serta tidak seorang pun yang diperlakukan secara buruk,
bahkan orang yang lemah di antara mereka harus di lindungi dan di bantu
(c) Negara mengakui, melindungi, dan menjamin kebebasan menjalankan ibadah dan agama
baik bagi orang-orang muslim maupun non muslim
(d) Setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum
(e) Hukum adat (kelaziman mereka pada masa lalu), dengan berpedoman pada kebenaran dan
keadilan tetap di berlakukan
(f) Semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap warga negara
(g) Sistem pemerintahannya adalah desentralisasi dengan Madinah sebagai pusatnya.
Dari apa yang dikemukakan diatas terlihat adanya gambaran tentang prinsip-prinsip negara
hukum modern yang sekarang ini berkembang.
1. 3.

Perkembangan Pemikiran Negara Hukum Islam

Karekteristik utama pemikiran Islam adalah mendasarkan pada Al-Quran dan Hadits sebagai
landasan pemikiran. Hal ini terlihat ketika masuknya filsafat Yunani ke dunia Islam yang dimana
filsafat Yunani tersebut tidak diterima begitu saja oleh pemikir Islam melainkan dikaji terlebih
dahulu dan menolak segala yang bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini terlihat pada
perkembangan Filsafat Islam seperti yang dikembangkan oleh Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al-Farabi,
Al-Ghazali, dan lain sebagainya mereka melakukan perpaduan antara ajaran Islam dengan
pemikiran Yunani. Usahanya dilakukan untuk menghilangkan perlawanan antara keduanya. Hal
ini tidak berarti bahwa kepercayaan mereka terhadap filsafat Islam, tidak kurang dari
kepercayaan mereka terhadap agamanya.[23]
Begitupula pemikiran-pemikiran berkaitan dengan konsepsi negara haruslah dilandaskan kepada
Al-Quran dan Hadits. Dalam meninjau pemikiran negara dalam Islam dapat pertama-tama
meninjaunya dari Al-Quran sebagai sumber utama pemikiran Islam. Negara sangat terkait erat
dengan kekuasaan (politik), kekuasaan politik disini relevan dengan kata Al-Hukm.[24] Kata Alhukm dan kata-kata yang terbentuk dari kata tersebut dipergunakan dalam Al-Quran sejumlah
210 buah. Diantaranya terdapat kata kerja dengan pola hakama “memutuskan perkara,membuat
keputusan” 45 buah ; pola ahkama “mengokohkan” dua kali; dan pola tahakama “berhakimkan
atau mengikuti keputusan seseorang” sekali.[25] Kata Al Hukm sendiri merupakan masdar kata

kerja hakama-yahkumu-hukman yang dipergunakan 30 kali. Kata hukm ini dialihbahasakan
menjadi kata hukum dalam bahasa Indonesia dengan arti “peraturan, ketentuan, atau putusan”.
Dalam bahasa arab kata tersebut dapat dipergunakan secara konotatif perbuatan atau sifat.[26].
bertolak dari sini, sebagai perbuatan, hukm bermakna membuat atau menjalankan keputusan; dan
sebagai sifat, dalam hal ini obyek atau hasil perbuatan, kata tersebut merujuk kepada sesuatu
yang diputuskan, yakni keputusan atau peraturan seperti yang dikenal dalam bahasa Indonesia
dengan kata hukum. makna tersebut apabila dikaitkan dengan kehidupan masyarakat maka kata
tersebut dapat mengandung makna pembuat kebijaksanaan atau sebagai upaya pengaturan
masyarakat.
Dari pengertian kata diatas ini dapat dikatakan bahwa Al-quran telah mengatur tentang
kehidupan politik Manusia. Ayat yang biasa menjadi rujukan dalam mengatur kekuasaan politik
adalah surat An Nisa ayat 58 dan ayat 59 yang menyatakan :
(QS An-Nisa ayat 58)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah member pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat”
(QS An-Nisa ayat 59)
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(nya), dan ulil amri
diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Menurut Munawir Sjadzali, ayat-ayat diatas mengandung unsure proses hubungan yang
komunikatif dan harmonis antara pemimpin dan yang dipimpin (rakyat) dalam rangka mencapai
tujuan yang saling member manfaat bagi kedua pihak. Rais (pemimpin) sebagai pemegang
amanah harus berlaku adil terhadap mar’us (yang dipimpin). Pemimpin inilah yang ditunjuk oleh
ayat pertama, sebagaimana ayat kedua menunjuk kepada yang dipimpin agar mematuhi
pimpinan.[27] Menurut Ibn Jabir amanat yang dimaksud adalah ditujukan kepada para pemimpin
umat agar mereka menunaikan hak-hak umat Islam seperti pembagian jarah dan penyelesaian
perkara rakyat yang diserahkan kepada mereka untuk ditangani dengan baik dan adil. Dan
menurut Muhammad Abduh ia mengaitkan amanat disini dengan pengetahuan dan makna
tanggung jawab mengakui dan mengembangkan kebenaran.[28]
Menurut Al Farabi seorang Filsuf besar Islam menerangkan pentingnya seorang pemimpin (Rais)
yang amanat. Ia mengkualifikasikan yang dapat dijadikan seorang pemimpin umat adalah yang
memenuhi kriteria : lengkap anggota badannya, baik daya pemahamannya, tinggi kecerdasannya,
pandai mengemukakan pendapat dan mudah dipahami, cinta pendidikan dan cinta mengajar,
tidak rakus dan loba terhadap makanan, minuman dan wanita, cinta kejujuran dan benci
kebohongan, berjiwa besar dan berbudi luhur, tidak memandang penting kekayaan dan
kesenangan duniawi yang lain, teguh pendiriannya.[29]

Selanjutnya perintah dari ayat tersebut memerintahkan agar menetapkan hukum dengan adil.
Menurut Al Baidhawi (w.685H/1286M) menyatakan bahwa al adl bermakna al inshaf wa al
sawiyat “berada di pertengahan dan mempersamakan” pendapat seperti ini dikemukakan pula
oleh Al Raghib dan Rasyid Ridha. Sejalan dengan pendapat ini, Sayid Quthb menyatakan bahwa
dasar persamaan itu adalah sifat kemanusiaan yang dimiliki setiap orang.[30] Dari pernyataan ini
dapatlah kita lihat bahwa Islam sangat menjunjung keadilan berdasarkan rasa kemanusiaan,
hukum yang harus ditegakkan Islam haruslah bersifat adil tanpa memandang perbedaan
ras/golongan manusia.
Selain itu ayat tersebut juga memerintahkan taat kepada ulil amri. Seperti yang telah dikatakan
Munawir Sadzjali bahwa ayat diatas mempunyai hubungan yang harmonis, yaitu hubungan
antara pemimpin dan yang dipimpin. Ketaatan kepada Allah dan Rasulnya mempunyai dimensi
ganda yaitu sebagai faktor intuitif sebagai indicator keimanan seseorang dan faktor persatuan dan
kesatuan, bahkan sebagai faktor ketertiban sosial.[31] Dalam artian bahwa taat kepada kepada
Allah dan rasulnya berarti juga harus taat kepada ulil amri-nya dalam rangka menjaga kesatuan
umat dan ketertiban sosial.
Surat An-Nisa ayat 59 juga memberikan petunjuk yang menjadi sumber hukum dalam Islam.
Dari ayat tersebut terlihat adanya tata urutan yang menjadi hukum Islam yaitu taat kepada Allah
(dalam artian Al-Quran), taat kepada Rasul (dalam artian Sunnah), dan taat kepada ulil amri
yaitu kepada pemimpin yang sesuai dengan kaidah-kaidah Islam. Ulil Amri inilah yang menjadi
acuan munculnya perkembangan hukum Islam melalui ijtihad. Menurut Muhammad Tahir
Azhary yang menjadi Hakikat hukum Islam ialah syari’ah (dalam artian Alquran dan sunnah)
yang merupakan cara hidup yang berasal dari nilai-nilai abadi dan mutlak, diwahyukan dengan
jalan keseluruhan amanat Quran.[32] Jadi dapatlah dikatakan Al- Quran sebagai sumber utama
Hukum Islam.
Berdasarkan tinjauan terhadap hukum Islam inilah Muhammad Tahir Azhary merumuskan
prinsip negara hukum yang baik yaitu :[33]
(a) Prinsip kekuasaan sebagai amanah
(b) Prinsip musyawarah
(c) Prinsip keadilan
(d) Prinsip persamaan
(e) Prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
(f) Prinsip peradilan yang bebas
(g) Prinsip perdamaian
(h) Prinsip kesejahteraan

(i)

Prinsip ketaatan rakyat

1. 4.

a)

Negara Hukum di Era Modern

Perkembangan Negara Hukum dan Demokrasi

Berbicara negara hukum di era modern kita tentu harus berbicara demokrasi. Secara sederhana
demokrasi diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Istilah
demokrasi digunakan dalam berbagai konsep. Terkadang digunakan untuk menyebut suatu
bentuk pemerintahan dan terkadang dikonotasikan dengan kondisi suatu masyarakat.[34] Studi
tentang demokrasi sebagai sistem politik tidak dapat dilepaskan dari studi tentang hukum sebab
antara keduanya dapat diibaratkan dua sisi dari sekeping mata uang.[35] Hal senada juga berlaku
dalam konsep negara hukum dan demokrasi. Negara hukum juga disebut sebagai negara
konstitusional atau constitutional state yaitu negara yang dibatasi oleh konstitusi.[36] Dalam
konteks yang sama gagasan negara demokrasi atau kedaulatan rakyat disebut pula dengan
constitutional democracy yang dihubungkan dengan pengertian negara demokrasi yang
berdasarkan atas hukum.[37] Dengan demikian maka sebuah negara demokrasi harus tumbuh
dan berkembang sesuai dengan garis haluan kaidah hukum yang terdapat dalam negara hukum.
Dengan perkataan lain tarian demokrasi harus sejalan dengan irama yang dilantunkan negara
hukum.
Menurut Bagir Manan dalam bukunya Teori dan politik Konstitusi, untuk melaksanakan prinsip
Negara berdasarkan hukum harus memenuhi syarat tegaknya tatanan kerakyatan atau demokrasi,
karena Negara berdasarkan atas hukum tidak mungkin tumbuh berkembang dalam tatanan
kediktatoran, merendahkan hukum dan melecehkan hukum merupakan bawaan kediktatoran,
tidak ada paham kediktatoran yang menghormati hukum, yang ada dalam kediktatoran adalah
kesewenang-wenangan, kalaupun ada hukum semata-mata dilakukan untuk mempertahankan
kepentingan rezim kediktatoran tersebut.[38] Dalam hal tersebut rakyat semata-mata menjadi
objek hukum dan bukan subjek hukum, karena itu setiap upaya untuk mewujudkan tatanan
Negara berdasarkan hukum tanpa diikuti dengan usaha mewujudkan tatanan kerakyatan atau
demokrasi akan sia-sia.[39]
Disisi lain demokrasi juga dapat berkembang menjadi demokrasi overbodig yaitu mengepakan
sayap kebebasan tanpa keteraturan dan kepastian, alhasil negara tersebut kacau. Negara
demokrasi yang seperti ini bukanlah demokrasi ideal. Demokrasi ideal merupakan demokrasi
teratur berdasarkan tatanan hukum. Karena itu, antara ide demokrasi dan Negara hukum
(nomokrasi) dipandang harus bersifat sejalan dan seiring, baru suatu Negara itu dapat disebut
sebagai Negara demokrasi dan sekaligus sebagai Negara hukum.[40] demokrasi dan Negara
hukum tidak dapat dipisahkan, oleh karena itu kualitas demokrasi suatu Negara akan
menentukan kualitas hukum Negara tersebut, begitu pula sebaliknya.

Di zaman modern,konsep negara hukum di Eropa Kontinental dikembangkan oleh Julius Stahl
dengan istilah Rechstaat. Menurut Julius Stahl konsep negara hukum yang disebutnya dengan
istilah rechstaat itu mencakup empat elemen penting, yaitu :[41]
a)

Perlindungan hak asasi manusia

b)

Pembagian kekuasaan

c)

Pemerintahan berdasarkan undang-undang

d)

Peradilan tata usaha negara

Sedangkan dalam tradisi anglo saxon yang berkembang di Inggris, negara hukum dikembangkan
oleh kepeloporan A.V. Dicey yang memprakarsai istilah The Rule of Law. Ia menguraikan adanya
cirri penting dalam setiap negara hukum yang disebutnya dengan istilah The Rule of Law itu
yaitu :[42]
a)

Supremacy of Law

b)

Equality before the law

c)

Due process of law

Terdapat perbedaan dalam pandangan Dicey dengan Julius Stahl, dimana dalam konsepsi Dicey
tidak terdapat peradilan administrasi negara. Hal ini dikarenakan menurut pandangan Dicey
dalam suatu negara hukum adanya Persamaan dihadapan hukum (equality before the law)
dimaksudkan bahwa semua warga negara sama kedudukannya dihadapan hukum, Hal ini berarti
bahwa tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik pejabat pemerintahan negara maupun
warganegara biasa, berkewajiban untuk mentaati hukum yang sama. The rule of law dalam
pengertian ini bahwa para pejabat negara tidak bebas dari kewajiban untuk mentaati hukum yang
mengatur warganegara biasa atau dari yurisdiksi peradilan biasa. Dengan demikian tidak dikenal
peradilan administrasi negara dalam sistem Anglo Saxon yang menggunakan the rule of law.
Terlepas dari perbedaan tersebut, kedua prinsip negara hukum baik yang berasal dari eropa
continental maupun anglo saxon keduanya sama-sama menekankan pentingnya hukum dalam
kehidupan bernegara sehingga hukum diletakkan di tempat yang tertinggi.
Perlahan tapi pasti tuntutan untuk memperluas konsep the rule of law semakin nyata. Pada abad
20 International Commission of Jurist yang merupakan organisasi ahli hukum internasional
dalam konferensi di Bangkok tahun 1965 memperluas konsep mengenai rule of law, dan
menekankan apa yang dinamakannya the dynamic aspects of the Rule of Law in the modern age.
[43] Dianggap bahwa, disamping hak-hak politik, hak-hak sosial dan ekonomi juga harus diakui
dan dipelihara, dalam arti bahwa harus dibentuk standar-standar dasar sosial dan ekonomi.[44]
Penyelesaian soal kelaparan, kemiskinan, dan pengangguran merupakan syarat agar supaya Rule
of Law dapat berjalan dengan baik.[45] Selanjutnya dikemukakan bahwa syarat syarat dasar
untuk terselenggaranya pemerintahan yang demokratis dibawah panji Rule of Law ialah:[46]

a)
Perlindungan Konstitusional, dalam ari bahwa konsitusi selain menjamin hak-hak individu,
harus menentukan pula prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin.
b)

Badan kehakiman yang bebas atas hak-hak yang dijamin

c)

Pemilihan umum yang bebas

d)

Kebebasan untuk menyatakan pendapat

e)

Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi

b) Negara Hukum, Konstitusi, dan Konstitusionalisme
Negara hukum sangat erat kaitannya dengan konstitusi. Istilah konstitusi ini berasal dari bahasa
Perancis (constituer) yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan
ialah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara.[47] Sedangkan
istilah undang-undang dasar merupakan terjemahan istilah yang dalam bahasa belandanya
Gronwet.[48] Dalam bahasa latin, kata konstitusi merupakan gabungan dari dua kata, yaitu cume
dan stature, cume merupakan proposisi yang berarti “bersama dengan…”, sedangkan statuere
berasal dari kata sta yang membentuk kata kerja pokok stare yang berarti berdiri. Atas dasar itu
kata statuere mempunyai arti “membuat sesuatu agar berdiri atau mendirikan/menetapkan”
dengan demikian bentuk tunggal (constitutio) berarti menetapkan sesuatu secara bersama-sama
dan bentuk jamak (constitutiones) berarti segala sesuatu yang telah ditetapkan.[49] Mencermati
dikotomi antara istilah constitution dengan gronwet (Undang-Undang Dasar) diatas, L.J. Van
Apeldoorn telah membedakan secara jelas di antara keduanya, kalau Gronwet adalah bagian
tertulis dari suatu konstitusi, sedangkan constitution (konstitusi) memuat baik peraturan tertulis
maupun yang tidak tertulis.[50] Dari pendapat Apeldoorn tersebut dapat kita lihat bahwa
konvensi ketatanegaraan (kebiasaan ketatanegaraan) dapat dikatakan sebagai suatu konstitusi
yang tidak tertulis. Hal ini dapat kita lihat di negara Inggris dimana konstitusinya berdasarkan
kepada kebiasaan ketatanegaraan.
Pada umumnya suatu konstitusi itu mempunyai materi muatan yang menurut J.G Steenbeek
berisi :[51]
(a) Adanya jaminan terhadap hak asai manusia dan warga negaranya
(b) Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental
(c) Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental
Dan menurut C.F Strong yaitu berisi :[52]
(a) Kekuasaan pemrintah (dalam arti luas)

(b) Hak-hak yang diperintah
(c) Hubungan antara pemerintah dan yang diperintah (menyangkut yang didalamnya masalah
hak asasi manusia).
berbicara konstitusi tidak dapat dilepaskan dari konstitusionalisme. Konstitusionalisme adalah
suatu paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi.
[53] Menurut Carl J Friedrich, konstitusionalisme merupakan gagasan bahwa pemerintah
merupakan suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi
yang dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan akan menjamin bahwa kekuasaan yang
diperlukan untuk pemerintahan itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk
memerintah.[54]
Yang menjadi dasar dari konstitusionalisme adalah kesepakatan umum atau persetujuan
(consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang di idealkan berkenaan dengan
Negara. Organisasi Negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan
mereka bersama dapat dilindungi atau di promosikan melalui pembentukan dan penggunaan
mekanisme yang disebut Negara.[55] Konsensus tersebut yang menjamin tegaknya
konstitusionalisme di zaman modern pada umumnya, dipahami bersandar pada tiga elemen
kesepakatan (consensus), yaitu :[56]
a)

Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama

b) Kesepakatan tentang the rule of the law sebagai landasan pemerintahan atau
penyelenggaraan Negara
c)

Kesepakatan tentang bentuk-bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan

Kesepakatan yang pertama berkenaan dengan cita-cita bersama adalah puncak abstraksi paling
mungkin mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan diantara sesame warga masyarakat
yang dalam kenyataannya harus hidup ditengah pluralism atau kemajemukan. Oleh karena itu
suatu masyarakat untuk menjamin kebersamaan dalam kerangka kehidupan bernegara,
diperlukan perumusan tentang tujuan atau cita-cita bersama.[57] Kesepakatan kedua adalah
kesepakatan bahwa basis pemerintahan didasarkan atas aturan hukum dan konstitusi,
kesepakatan kedua ini juga sangat prinsipil, karena dalam setiap Negara harus ada keyakinan
bersama bahwa apapun yang hendak dilakukan dalam konteks penyelenggaraan Negara haruslah
didasarkan atas the rules of the game yang ditentukan bersama.[58] Kesepakatan yang ketiga
adalah berkenaan dengan bangunan organ Negara dan prosedur-prosedur yang mengatur
kekuasaannya,hubungan-hubungan antar organ Negara itu satu sama lain, serta hubungan antara
organ Negara dengan warga Negara.[59]
Kesepakatan-kesepakatan itulah yang dirumuskan didalam konstitusi. Kesepakatan itu menjadi
pegangan hidup dalam bernegara sehingga ditempatkan di posisi yang tinggi. Karena
ditempatkan diposisi yang tinggi maka konstitusi dijadikan sebagai supremacy of law.
Supremacy of law merupakan salah satu unsure didalam Negara hukum. konstitusi sebagai dasar
hukum yang tertinggi dibentuk atas dasar kesepakatan rakyat sehingga konstitusi haruslah

mempunyai nilai-nilai demokrasi. Oleh karena suatu konstitusi yang baik harus menjamin
kedaulatan hukum yang mengedepankan demokrasi.
Atas uraian diatas suatu negara hukum yang mendasarkan kepada konstitusi sebagai dasar
hukum haruslah memegang teguh pada prinsip konstitusionalisme yang telah disepakati. negara
hukum tanpa tegaknya prinsip konstitusionalisme hanya negara kekuasaan semata.
1. C. ANALISIS TERHADAP NEGARA HUKUM DALAM ISLAM
BERDASARKAN PIAGAM MADINAH DAN NEGARA HUKUM MODERN

1. 1. Perbedaan dan Persamaan Prinsip Negara Hukum dalam Islam dan Negara
Hukum Modern
Sebelum membicarakan perbedaan dan persamaan antara prinsip negara hukum dalam Islam
dengan negara hukum modern, penulis ingin memaparkan terkait dengan kedudukan piagam
madinah sebagai konstitusi negara Madinah. Apabila melihat kepada pendapat J.G Steenbeek
yang menyatakan materi muatan konstitusi adalah :
(d) Adanya jaminan terhadap hak asai manusia dan warga negaranya
(e) Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental
(f) Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental
Dan menurut C.F. Strong adalah :
(d) Kekuasaan pemrintah (dalam arti luas)
(e) Hak-hak yang diperintah
(f) Hubungan antara pemerintah dan yang diperintah (menyangkut yang didalamnya masalah
hak asasi manusia).
Apakah piagam Madinah dapat disebut sebagai suatu konstitusi dengan melihat pada pendapat
kedua ahli tersebut? Piagam madinah pada umumnya hanya merinci terkait dengan permasalahan
Hak asasi manusia sehingga tidaklah memenuhi kriteria materi muatan konstitusi seperti yang
dikatakan oleh steenbeek maupun C.F.Strong. namun apabila kita melihat kepada pendapat
Apeeldorn bahwa konstitusi memuat baik peraturan tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam
arti luas memang konstitusi tidaklah kita lihat sebagai bentuk tertulis saja, karena hukum tidak
hanya terkait kedalam bentuk tertulis saja karena masih ada hukum sebagai living law yang tidak
tertulis. Dengan demikian kebiasaan ketatanegaraan (konvensi ketatanegaraan) dapat
dikategorikan sebagai konstitusi. Piagam Madinah dapatlah kita kategorikan sebagai konstitusi
dalam arti sempit yaitu bagian yang tertulisnya namun dalam arti luas konstitusi dalam negara

madinah tersebut juga mencakup kebiasaan ketatanegaraan yang dilakukan oleh nabi
Muhammad SAW yang dapat dikatakan sebagai perbuatan nabi (sunnah).
Selanjutnya apakah piagam Madinah telah memenuhi prinsip konstitusionalisme? Dasar dari
prinsip konstitusionalisme adalah adanya kesepakatan (consensus). Dilihat dari sejarah
berdirinya negara Madinah perjanjian nabi Muhammad SAW dengan warga Madinah dalam
Bai’at Al-Aqabah kedua dapatlah dikatakan sebagai consensus yang mendasari berdirinya
negara Madinah dan nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin negara Madinah. Berdasarkan
tiga elemen consensus dalam prinsip konstitusionalisme yaitu :
d)

Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama

e) Kesepakatan tentang the rule of the law sebagai landasan pemerintahan atau
penyelenggaraan Negara
f)

Kesepakatan tentang bentuk-bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan

Dapatlah kita lihat dalam piagam Madinah terdapat kesepakatan bersama mengenai cita-cita
bersama yaitu mendirikan negara yang berdasarkan Islam demi mencapai perdamaian yang
abadi. Selanjutnya terdapat kesepakatan mengenai penerapan the rule of the law dengan AlQuran dan sunnah nabi sebagai dasar hukum utama dan piagam Madinah sebagai dasar
kehidupan bernegara, kesepakatan mengenai bentuk dan institusi dan prosedur ketatanegaraan itu
sendiri dilaksanakan dengan konvensi ketatanegaraan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad
SAW. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa negara Madinah merupakan negara
berdasarkan konstitusil yang menganut prinsip konstitusionalisme.

1. 2. Perbedaan Prinsip Negara Hukum dalam Islam dengan Negara Hukum
Modern
Seperti yang kita ketahuai nabi Muhammad SAW merupakan utusan Allah SWT sebagai Rasul di
muka bumi ini. Beliau di amanatkan untuk mengajarkan ajaran agama Islam di muka bumi ini
agar manusia tidak tersesat ke jurang nestapa. Posisi nabi Muhammad SAW sebagai rasulullah
menyebabkan setiap perbuatan dan tindakan yang dilakukan rasulullah adalah semata-mata untuk
menegakkan agama. Hal ini berimplikasi kepada ajarannya tentang bermasyarakat selalu
disandarkan kepada agama sebagai landasan kebenaran. perjuangan nabi Muhammad SAW
mendakwahkan Islam di Mekkah membuahkan hasil dengan banyaknya masyarakat Madinah
yang memeluk agama Islam. Hingga pada akhirnya nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah
dan membentuk suatu masyarakat baru di Madinah yang banyak yang menyebutnya dengan
negara Madinah. Pembentukan negara Madinah tersebut diletakkan atas dasar Islam. Masyarakat
Madinah yang kala itu sangat pluralistis menerima Islam dengan senang hati karena ajarannya
yang rahmatan lil alamin sehingga masyarakat Madinah merasa bahwa Islam merupakan suatu
kebenaran dan nabi Muhammad SAW merupakan pembawa kebenaran. Dari sini kita dapat
melihat pendirian negara oleh Nabi Muhammad SAW didasari oleh Agama berbeda dengan
prinsip negara modern yang menolak negara atas dasar agama. Perbedaan ini sangatlah prinsipil

karena agama adalah suatu landasan penarikan kebenaran, ketika suatu negara tanpa dasar agama
maka akan sulit dalam mencari landasan penarikan kebenaran yang semata-mata hanya
didasarkan pada kehendak manusia.
Adanya pemisahan antara negara dan agama dalam negara hukum era modern yang pada
umumnya berkembang di barat terjadi karena adanya trauma terhadap prinsip kedaulatan tuhan
(teokrasi) yang telah dilaksanakan di negara barat yang menimbulkan absolutism yang kurang
mengedepankan nilai-nilai Hak asasi manusia. Maka muncullah gerakan-gerakan yang
menentang absolutism berdasarkan pada agama yang dimulai pada masa renaissance.
Gelombang pemikiran berkembang terus dan nilai-nilai hak asasi manusia terus berkembang. Hal
inilah yang mengakibatkan adanya pemisahan antara agama dan negara.
Uniknya yang terjadi di dalam pendirian negara oleh nabi Muhammad SAW yang mendasarkan
pada agama Islam justru mengembangkan nilai-nilai hak asasi manusia dan bahkan demokrasi.
karena nilai-nilai itulah yang diajarkan dalam agama Islam. Walaupun sumber kedaulatan utama
Islam adalah Tuhan tetapi berbeda dengan prinsip teokrasi yang berkembang di barat. Hal inilah
yang kemudian membedakan dalam penarikan asas-asas dalam bernegara antara negara hukum
Islam dan negara hukum modern
dalam surat An-Nisa ayat 58 :
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah member pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat”
Terlihat adanya mandat dari Allah SWT berupa suatu amanah kepada manusia untuk menetapkan
hukum-hukum terhadap sesama manusia untuk ditetapkan secara adil. Sifat amanah ini berbeda
dengan prinsip negara hukum modern karena amanah dalam konsep negara hukum Islam itu
perintah langsung dari Allah SWT. Atas dasar itu amanah yang diberikan kepada manusia
mempunyai nilai transcendental sehingga mempunyai nilai yang berbeda dan lebih mempunyai
kekuatan mengikat secara batin. Atas dasar itu amanah ini merupakan tanggung jawab yang
besar bagi manusia karena akan berimplikasi pada kehidupan di dunia maupun di akhirat.
Sebaliknya dalam konsepsi negara hukum modern yang memisahkan ant