TAFSIR SUFISTIK SEJARAH PERKEMBANGAN DAN

Farabi
ISSN 1907- 0993 E ISSN 2442-8264
Volume 12 Nomor 1 Juni 2015
Halaman 106-123
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa

Tafsir Sufistik dalam Tradisi Penafsiran Al-Qur’an
(Sejarah Perkembangan dan Konstruksi Hermeneutis)
Oleh: Asep Nahrul Musadad
Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Email: crhapsodia@gmail.com
Abstract
This article discusses one of interpretation styles of the Koran that is
quite unique, the Sufi interpretation. As one of the traditions that
become an integral part of the history of Islamic civilization, tasawwuf
atausufisme, which widely became popular in the Islamic community
in the 4th century AH / 10 AD, in turn, are also in contact with the
Koran as the main source text in Islam from which is born of a chain of
civilization. In particular, this paper will briefly review some of the
major themes of the Sufi interpretation, including Sufism contact with
the Koran, the early appearance of Sufi interpretation, development,

and several major hermeneutical constructions that underlie the Sufi
style interpretation.
Tulisan ini membincang salah satu corak tafsir al-Qur’an yang cukup
unik, yaitu tafsir sufistik. Sebagai salah satu tradisi yang menjadi
bagian integral dari sejarah peradaban Islam, tasawwuf atau sufisme,
yang secara luas mulai populer dalam masyarakat Islam pada abad
ke-4 H/10 M., pada gilirannya juga bersentuhan dengan al-Qur’an
sebagai teks induk dalam Islam yang darinya lahir sebuah mata
rantai peradaban. Secara khusus, tulisan ini akan mengulas secara
singkat beberapa tema penting dalam tafsir sufistik, mencakup
kontak sufisme dengan al-Qur’an, awal kemunculan tafsir sufistik,
perkembangan, dan beberapa konstruksi hermeneutis utama yang
menjadi landasan dalam tafsir corak sufistik.
Kata Kunci: Tafsir al-Qur’an, Sufisme, Konstruksi
Hermeneutis
106

Asep Nahrul Musadad

Pendahuluan

Abdullah al-Darra>
z mengumpamakan al-Qur’an dengan sebuah
batu intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda
dengan sudut lainnya.1 Hal tersebut berarti bahwa al-Qur’an merupakan
suatu teks suci yang mengandung suatu muatan yang bisa ditinjau dari
multi-perspektif. Al-Qur’an merupakan suatu teks “polifonik” yang
menghasilkan beberapa seni membaca bagi para pengkajinya. Dalam hal
ini, pluralitas tafsir al-Qur’an adalah sebanyak pluralitas penafsir itu
sendiri sebagai aktor utama dalam tradisi penafsiran al-Qur’an
Pada gilirannya, dalam leksikon tafsir al-Qur’an, ditemui suatu
momen ketika al-Qur’an bersentuhan dengan tradisi tasawwuf atau
sufisme. Hasilnya adalah apa yang kemudian dikenal sebagai tafsir sufi
atau sufistik.2 Meskipun cukup kontroversial dan tidak terlalu
mendapatkan banyak atensi (little-studied genre) sebagaimana corak
mayor tafsir al-Qur’an lainnya, tafsir sufistik merupakan salah satu
corak tafsir yang telah diakui keberadaannya sebagai suatu corak yang
berdiri sendiri secara utuh. Dalam artian, tradisi tafsir sufistik telah
memiliki sebuah skena historis, epistemologi tafsir dan beberapa
eksponen yang kemudian menjadikannya pantas disebut sebagai sebuah
corak tafsir.

Para penafsir sufistik muncul pada masa periode klasik sejak
abad ke-4 H./10 M. dan mencapai puncaknya di abad pertengahan
sebelum akhirnya menemui titik deklinasi menjelang abad modern.
Dalam hal ini, mereka menyajikan suatu tradisi penafsiran yang cukup
unik dengan berdasarkan pada basis asumsi mereka terkait ontologi alQur’an, sumber pengetahuan, dan hakikat dari proses menafsir itu
sendiri. Beberapa tokoh semisal al-Sulami (w. 412 H./1021 M.), Ibn al‘Araby (w.638 H./1240 M.), sampai al-Alu>
si(w. 1854 M.) merupakan
beberapa tokoh yang turut serta menyemarakkan tafsir sufistik.
Tulisan ini merupakan sebuah pengantar singkat yang mencoba
memotret salah satu fase dalam tradisi penafsiran al-Qur’an ketika ia
bersinggungan dengan tradisi sufisme. Tulisan singkat ini akan
mengurai kontak dan relasi tafsir al-Qur’an dengan sufisme dan
1

Abdullah al-Darra>
z, al-Naba’ al-‘Az}i>
m, (Kairo: Da>
ral-‘Urubah, 1996), h. 111
Untuk lebih memperjelas terminologi, selanjutnya penulis memilih
menggunakan istilah sufistik yang menunjukan kepada sebuah epistemologi dan

preskripsi ideologis, bukan istilah sufi yang merupakan sebutan bagi suatu subyek atau
komunitas sufi tertentu.
2

http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa

107

Tafsir Sufistik Dalam Tradisi Penafsiran Al-Qur’an
(Sejarah Perkembangan Dan Konstruksi Hermeneutis)

perkembangannya sampai membentuk sebuah corak (genre) tafsir alQur’an.
Selayang Pandang Sufisme
Sufisme atau tasawwuf3 dikenal sebagai salah satu tradisi yang
mewakili aspek esoteris dan mistisisme dalam Islam. Ia merupakan
sebuah tradisi yang menentang seluruh tendensi eksoteris yang
mereduksi ajaran Islam menjadi hanya sekedar agama literal dan
legalistik belaka. Secara illustratif, jika tradisi eksoteris hanya berkutat
pada sekedar pelaksanaan regulasi keagamaan yang diterjemahkan
adalah praktik individual maupun komunal, maka tradisi esoteris adalah

sebuah kontemplasi langsung terkait realitas spiritual dan ketuhanan
yang salah satunya diterjemahkan dalam regulasi keagamaan tersebut.
Menurut Henry Corbin, kata s}uf>i sendiri mulai dikenal pada abad
ke-3 H. Ia merupakan suatu kata yang pertama kali disematkan kepada
seorang anggota kelompok mistis Syi’ah di Kufah yang bernama
“Abdakal-S}u>
fy” (w. 210 H./825 M).4 Pendapat lain menyatakan bahwa
kata s}uf>i telah dikenal sebelumnya pada abad ke-2 H. Orang pertama
yang dikenal sebagai s}u>
fi adalah Abu Hasyim al-Su>
fi (w. 150 H).5 Hal
ini juga diperkuat dengan pendapat yang mengatakan bahwa sejak abad
ke 2 H./8 M. telah muncul suatu gerakan dengan tendensi antipemerintahan dan anti-sosial yang konon dikenal dengan nama al-

3

Berdasarkan perspektif etimologis yang populer, kata tasawwuf yang seakar
fi, berasal dari kata bahasa Arab al-s}u>
f, yang berarti kain wool. Ketika
dengan katasu>

itu kelompok ini menolak untuk berpenampilan glamor dan memakai baju yang terbat
dari kain wool sebagai identitas mereka. Hal yang juga perlu diperhatikan adalah
bahwa pada masa formatif tersebut, banyak kaum asketis dari kalangan Yahudi dan
Kristiani yang juga hanya menutupi badanya dengan wool, seperti ketika melakukan
ritual pembaptisan di gurun (thebaptistinthedessert ). Sebagian juga mengatakan kata
tersebut berasal dari kata al-s}afa>yang berarti bersih atau suci. Pendapat lain seperti
fi merupakan transposisi dari kata
yang dinyatakan Al-Biruni, menyatakan kata su>
berbahasa Yunani sophos, yang berarti orang bijak (sage). Lihat Titus Burckhardt,
Introductionto Sufi Doctrine, (Indiana: World Wisdom, 2008), h. 3
4
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, terj. LiadainSherrard,
(London: The Institute of IsmailiStudies, tth.) h. 189.
5
Lihat Muhammad H}usseinal-Z|ahaby, al-Tafsi>
r wa al-Mufassiru>
n, juz 2
(Kairo: Maktabah Wahbiyyah, ttp.), h. 251

108


Jurnal Farabi Volume 12 Nomor 1 Juni 2015 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264

Asep Nahrul Musadad

s}u>
fiyyah. Mereka merintis sebuah relasi yang sensitif dengan Tuhan dan

mengembangkan konsep cinta kepada Tuhan.6
Sufisme sebagai aliran mistis dan asketis7 mulai menjadi
sebuahtrend pada masa awal Imperium Abbasiah bersamaan dengan
munculnya gerakan esoteris di wilayah Syiria, Iran dan Asia Tengah
yang dengan nama-nama yang berbeda. Di Khurasan dan wilayah
Transaxonia misalnya, seorang yang menekuni mistisisme disebut alrif (orang yang makrifat kepada Tuhan).
h}aki>
m (bijak bestari) atau al-‘a>
Selanjutnya, mulai abad ke-4 H./10 M gerakan asketisme Islam mulai
terkonsentrasi di wilayah Irak terutama di Baghdad. Sejak itulah tradisi
tas}awwuf mulai diterima sebagai suatu tradisi yang tersendiri dalam
kehidupan sosial-masyarakat.

Semenjak abad ke-4 H. tradisi sufisme terus berkembang. Di
akhir abad ini, beberapa doktrin fundamental dalam sufisme mulai
terbentuk, disusul dengan berkembangnya beberapa praktek ritual
tertentu. Hal tersebut kemudian menjadi sebuah orientasi kehidupan,
etos dan akhirnya menjadi identitas bagi generasi selanjutnya. Dengan
bermunculannya beberapa t}ari>
qat (sufi order) pada abad ke-5 s.d. 7 H./11
sd. 13 M., sufisme kemudian menjadi suatu bagian integral dari
kehidupan spiritual, sosial dan politik di kalangan umat Islam pramodern. Namun seiring dengan kemunculan modernisme Islam pada
abad ke-13 H./19 M., sufisme menuai banyak kritik dari para reformis
Islam dan menemukan titik deklinasinya menjelang abad modern.8
Dalam perjalanannya, doktrin sufisme telah melewati beberapa
tahap perkembangan. Meskipun pada awalnya ia hanya berupa gerakan
asketisme murni yang melawan tendensi eksoteris, namun dalam
6

L.
Massignon,
“Tasawwuf:
Early

Development
in
The
ArabicandPersianLands”, dalam PJ. Berman, dkk. (ed.), Encyclopedia of Islam, Vol 10
(Leiden: Brill, 1998), h. 314
7
Asketisme (al-zuhd), sebuah gaya hidup yang telah ditemui sejak masa
sahabat, seperti diwakili oleh Abu Z|arral-Ghifary (w. 22 H.) dan Salman al-Farisi (w.
32 H.), merupakan cikal bakal tas}awwuf. Asketisme tersebar luas sejak abad pertama
dan kedua Hijryah di beberapa pusat kota seperti di Madinah, Basrah dan Kufah. Hasan
al-Bas}ry (w. 110 H.) dari Basrah dan Sufya>
nal-S|aury (w. 161 H.) dari Kufah
merupakan contoh tokoh asketis yang terkenal ketika itu. Lihat Abu al-Wafaaly, (Kairo: Da>
rla-Tsaqa>
fahlialTaftaza>
ny, al-Madkhalli al-Tas}awwuf al-Islam>
Nasyrwaal-Tauzi’, tth.), h. 57-78
8
Lihat Alexander D Knysh, “Sufismand The Qur’an” dalam Jane Dammen
Mc Auliffe (ed.), Encyclopedia of The Qur’an, Vol 4, (Leiden: Brill, 2009), h. 137

http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa

109

Tafsir Sufistik Dalam Tradisi Penafsiran Al-Qur’an
(Sejarah Perkembangan Dan Konstruksi Hermeneutis)

perkembangannya ia mengalami berbagai asimilasi dan hibrida dengan
tradisi lainnya. Pada gilirannya sufisme berasimilasi terutama dengan
tradisi falsafah. Sejak tahap ini, sufisme kemudian menjadi suatu
keilmuan yang teoritis, terkodifikasi dan bercorak filosofis.
Al-Qur’an dan Sufisme: Eisegesis atau Exegesis ?
Terdapat beberapa penjelasan terkait kontak dan relasi antara
teks al-Qur’an dengan tradisi sufisme. Pada dasarnya al-Qur’an
merupakan sumber kontemplasi dan inspirasi yang utama bagi kelompok
muslim asketis, baik ia sufi secara formal atau tidak.9 Namun dalam
tahapan teknisnya, terdapat dua asumsi yang berbeda, sebagian
menyatakan bahwa kontak sufisme dengan teks al-Qur’an adalah
eisegesis (dari gagasan ke teks) sebagian lagi mengatakan exegesis (dari
teks ke gagasan).10

Ignaz Goldziher mengatakan bahwa tradisi tafsir sufi termasuk
ke dalam kategori eisegesis. Ia berkeyakinan bahwa doktrin sufisme
bukan merupakan ide yang bersifat Qur’ani, melainkan lebih
terpengaruh oleh gagasan Neo-Platonis. Kaum sufi, menurutnya hanya
sekedar mencari basis untuk memperkuat doktrin yang mereka yakini. Ia
bahan berkesimpulan bahwa apa yang sebenarnya dilakukan oleh kaum
sufi adalah merekonsiliasi perbedaan doktrinal tersebut dan melegalisasi
doktrin mereka dalam dunia Islam melalui metode allegoris dalam
penafsiran al-Qur’an.11
Tesis Goldziher tersebut kemudian dibantah oleh Louis
Massignon. Setelah melakukan penelitian terkait nomenklatur dalam
tradisi sufisme awal, ia berkesimpulan bahwa sufisme adalah manifestasi
dari al-Qur’an itu sendiri yang dibaca, direfleksikan dan diamalkan. Hal
tersebut dengan sendirinya merupakan sumber dari doktrin sufisme. Hal
yang sama juga dinyatakan oleh Paul Nwyia yang meneliti sebuah Tafsir
9

AlexanderD Knysh, “Sufismand The Qur’an”,.., vol. 4, h. 137
Dalam wacana interpretasi, terdapat dua polarisasi utama yang berkembang
eisegesis dan exegesis. Eisegesis – disebut juga dengan reading into – adalah membaca
suatu teks secara bias dengan memasukan gagasan seseorang ke dalamnya. Sedangkan
exegesis adalah kebalikannya, yakni mencoba melakukan eksposisi dan eksplanasi
secara kritis dalam menginterpretasi sebuah teks. Lihat www.meriam-webster.com,
diakses 24 Desember 2014.
11
Lihat Ignaz Goldzier, Mazhab Tafsir: Dari Klasik Hingga Modern, terj.
Saifuddin Zuhri Qudsy, dkk., (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2009), h. 217-218.
10

110

Jurnal Farabi Volume 12 Nomor 1 Juni 2015 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264

Asep Nahrul Musadad

yang dinisbatkan kepada Ja’far al-Sadiq (w. 765 M.). Ia berkesimpuan
bahwa tafsir tersebut merupakan hasil dari dialog antara dirinya,
pengalaman mistik dan teks al-Qur’an.12 Massignon dan Nwyia
menegaskan bahwa teks al-Qur’an merupakan titik tolak; bahwa
gagasan sufistik tidak muncul lebih awal sebelum teks al-Qur’an,
melainkan merupakan hasil dialog dengan teks al-Qur’an dan
pengalaman mistikal masing-masing.
Dua Varian Tafsir Sufistik
Sebuah perspektif lain terkait kontak teks al-Qur’an dengan
sufisme ditawarkan oleh Hussein al-Z|ahabi. Menurutnya kontak antara
keduanya berlangsung dalam aktivitas exegesis dan eisegesis sekaligus.
Kesimpulan ini ia dapatkan setelah menemukan dua varian utama dalam
tradisi tafsir sufistik. Ia membagi sufisme atau tasawwuf ke dalam dua
ragam; tas}awwuf naz}ari (teoritis) dan tas}awwuf ‘amaly (praktis).13
Hal tersebut juga didukung oleh pendapat Abu> al-Wafa> alTaftaza>
ni14 yang menyebutkan adanya dua varian orientasi sufisme yang
berkembang mulai abad ke-3 dan 4 Hijriyah ketika status sufisme
bergeser dari praktek asketis murni kepada suatu wacana keilmuan yang
terkodifikasi. Orientasi pertama adalah aliran tasawuf moderat
(mu’tadilu>
n) yang melandaskan doktrinnya dengan konfirmasi kepada
teks atau ajaran al-Qur’an dan Sunnah. Aliran ini selanjutnya dikenal
dengan tasawuf sunny karena para sufi aliran ini mayoritas berasal dari
mazhab Ahlu Sunnah wa al-Jama>
’ah atau disebut juga tasawuf akhla>
qy
karena didominasi dengan karakteristik moralitas. Salah satu perwakilan
aliran ini adalah Junaid al-Bagda>
dy (w. 298 H). Selanjutnya, orientasi
ini terus berkembang di abad ke-5 H dengan al-Qusyairy (w. 465 H) dan
al-Ghazali (w. 505 H.) sebagai pemukanya.
Orientasi lainnya adalah aliran tasawuf semi-filosofis (syibh
falsafy) yang terpesona dengan konsep fana> (annihilation) dan
mengembangkan konsep terkait hubungan manusia dengan Tuhan
l. Tokoh utama aliran ini adalah Abu Yazidal-Bust}am
> y (w.
seperti hulu>
12

Lihat Kristin Zahra Sand, Sufi Commentaries on The Qur’an In Classical

Islam (London: Routlege, tth.), h. 1
13

251

Lihat Muhammad H}usseinal-Z|ahaby, al-Tafsi>
rwaal-Mufassiru>
n, juz. 2, h.

14

Abu al-Wafaal-Taftaza>
ny, al-Madkhallial-Tas}awwufal-Islam>
y, …., h. 99-

143
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa

111

Tafsir Sufistik Dalam Tradisi Penafsiran Al-Qur’an
(Sejarah Perkembangan Dan Konstruksi Hermeneutis)

261 H.) dan al-Hallaj (w. 301 H.). Memasuki abad ke-5 dan 6 H.
orientasi ini kemudian menjadi lebih filosofis dengan masuknya
pengaruh ajaran filsafat neo-platonisme. Dalam hal ini, orientasi yang
semi-filosofis menjadi seluruhnya filosofis, sehingga disebut dengan
tasawwuf falsafy. Ia merupakan suatu aliran sufisme yang memadukan
antara visi mistis dan visi rasional. Tasawuf ini menggunakan
terminologi filosofis dalam pengungkapannya yang berasal dari berbagai
macam ajaran filsafat.15 Suhra>
wardi (w. 578 H.) dengan ajaran
isyra>
qiyyah (illuminasi) dan Ibnu al-‘Araby (w. 638 H.) dengan teori
wahdatul wuju>
d (kesatuan eksistensi) merupakan perwakilan varian ini.
Kedua varian ini kemudian juga bersentuhan dengan tradisi tafsir
al-Qur’an. Sebagaimana dijelaskan al-Z|ahaby, terdapat dua varian dalam
corak tafsir sufistik; tafsir sufi naz}ari dan sufi isya>
ri atau faid}ly.16 Dalam
kasus tafsir sufi naz}ari, seorang sufi terlebih dahulu membangun doktrin
sufismenya secara teoritis, kemudian ia mencari ayat al-Qur’an dan
memproduksi sebuah tafsir yang sesuai dengan pandangan tersebut.
Tokoh utama dalam aliran ini adalah Ibnu al-‘Araby. Adapun dalam
kasus tafsir sufi isya>
ri, seorang sufi menakwilkan ayat al-Qur’an dengan
berdasar kepada beberapa simbol/allegori tersembunyi (isya>
rat
khafiyyat ) yang hanya bisa dicapai oleh para pengembara rohani
(sa>
lik).17Kontras dengan varian sebelumnya, dalam kasus ini, seorang
sufi berusaha mendeterminasi makna suatu ayat dengan proses asketis
tertentu sampai pada tahap kasyaf, tanpa didahului oleh suatu teori
tertentu. Di antara eksponen tradisi ini adalah Sahlal-Tusta>
ri (w. 283
H.).

a. Tasawwuf Naz}ari/Falsafy
Tas}awwuf naz}ari merupakan suatu tradisi yang berdiri di atas
landasan teoritis. Salah satu tokohnya adalah Ibn al-‘Araby yang
memiliki ajaran bahwa seluruh realitas eksistensi dan apa yang
benar-benar eksis adalah mutlak satu dan sama. Semua
kejamakan di alam realitas baik yang indrawi maupun intelektual

15

Abu al-Wafaal-Taftaza>
ny, al-Madkhallial-Tas}awwufal-Islam>
y …., h. 185
al-Tafsi>
r waal-Mufassiru>
n, … juz. 2, h. 261

16
17

112

Ibid.

Jurnal Farabi Volume 12 Nomor 1 Juni 2015 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264

Asep Nahrul Musadad

hanyalah semata mata ilusi fikiran. Menurut Mehdi Hairi Yazdi,
ajaran wahdatal-wuju>
d tidak sama dengan panteisme. Ia
merupakan semacam mono-realistik yang menganut pandangan
ketidakberagaman dan meyakini sempurnanya ketunggalan
realitas.18 Dalam hal ini, wujud Tuhan dan manusia bukan berarti
sama dalam arti mutlak, namun dalam arti yang tidak adanya
jarak antar keduanya.
Keterpengaruhan tersebut misalnya bisa dilihat dalam penafsiran
Ibnu al-‘Araby terhadap QS. al-Fajr: 27-30 dalam kitab Fus}u>
s}al19
H}ikam berikut ini:

‫وﻛﺬﻟﻚ ﻛﻞ ﻧﻔﺲ ﻣﻄﻤﺌﻨﺔ ﻗﻴﻞ ﻟﻬﺎ )ارﺟﻌﻲ اﻟﻰ رﺑﻚ( ﻓﻤﺎ أﻣﺮﻫﺎ ان ﺗﺮﺟﻊ اﻻ اﻟﻰ رﺑﻬﺎ اﻟﺬي‬

.‫ )راﺿﻴﺔ ﻣﺮﺿﻴﺔ( )ﻓﺎدﺧﻠﻲ ﻓﻲ ﻋﺒﺎدي( ﻣﻦ ﺣﻴﺚ ﻣﺎ ﻟﻬﻢ ﻫﺬااﻟﻤﻘﺎم‬,‫دﻋﺎﻫﺎ ﻓﻌﺮﻓﺘﻪ ﻣﻦ اﻟﻜﻞ‬
‫ﻓﺎﻟﻌﺒﺎد اﻟﻤﺬﻛﻮرون ﻫﻨﺎ ﻛﻞ ﻋﺒﺪ ﻋﺮف رﺑﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ واﻗﺘﺼﺮ اﻟﻴﻪ وﻟﻢ ﻳﻨﻈﺮ اﻟﻰ رب ﻏﻴﺮﻩ ﻣﻊ أﺣﺪﻳﺘﻪ‬

‫ ﻓﻼ أﻋﺮف‬.‫ وﻟﻴﺴﺖ ﺟﻨﺘﻲ ﺳﻮاك ﻓﺄﻧﺖ ﺗﺴﺘﺮﻧﻲ ﺑﺬاﺗﻚ‬.‫ )وادﺧﻠﻲ ﺟﻨﺘﻲ( اﻟﺘﻲ ﺑﻬﺎ ﺳﺘﺮي‬.‫اﻟﻌﻴﻦ‬
.‫ ﻓﻤﻦ ﻋﺮﻓﻚ ﻋﺮﻓﻨﻲ وأﻧﺎ ﻻأﻋﺮف ﻓﺄﻧﺖ ﻻﺗﻌﺮف‬.‫اﻻ ﺑﻚ ﻛﻤﺎ أﻧﻚ ﻻﺗﻜﻮن اﻻ ﺑﻲ‬

“dan demikian halnya dengan setiap jiwa-jiwa yang tenang, dikatakan
kepada mereka: ‘kembalilah kepada Tuhanmu’. Mereka hanya akan
kembali kepada Tuhan yang memanggilnya, sehingga mereka akan
sepenuhnya mengetahui Tuhan, ‘dalam keadaan ridha dan diridhai’,
‘maka masuklah di antara hamba-hamba-Ku’ dalam tempat yang
selayaknya bagi mereka. Hamba-hamba tersebut adalah setiap hamba
yang mengenali Tuhan-nya yang hanya menyembah kepada-Nya dan
tidak melihat Tuhan selain-Nya dalam ke-esa-an dzat-Nya. ‘Masuklah
ke dalam surga-Ku’ yang dengannya Aku tertutupi. Dan surga-Ku tiada
lain adalah dirimu, hanya saja kamu menutupiku dengan dirimu. Aku
tidak akan diketahui oleh selain dirimu, sebagaimana kamu tidak akan
ada kecuali dengan sebab (penciptaan)-ku. Maka siapa saja yang
mengetahuimu, maka ia akan mengetahui-Ku, dan jika Aku tidak
diketahui maka kamu tidak akan diketahui… ”
18

Lihat MehdiHairiYazdi, Menghadirkan Cahaya Tuhan, terj.Ahsin
Muhammad, (Bandung: Mizan, 2003), h. 65
19
Muhyiddi>
n Ibn al-‘Araby, Fus}us>}al-H}ikam, (Beirut: Da>
ral-Kita>
bal-‘Araby,
1946), h. 75
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa

113

Tafsir Sufistik Dalam Tradisi Penafsiran Al-Qur’an
(Sejarah Perkembangan Dan Konstruksi Hermeneutis)

b. Tas}awwuf ‘Amaly/Fayd}y
Adapun tasawwuf ‘amaly mengacu pada praktek asketis murni.
Secara operasional, tafsir fayd}y>atau disebut juga dengan tafsir
isy>
ari> adalah mentakwilkan ayat al-Qur’an dengan berdasar
kepada beberapa simbol/allegori tersembunyi (isya>
ra>
t khafiyya>
t)
yang hanya bisa dicapai oleh para pengembara rohani.20 Kontras
dengan varian sebelumnya, dalam kasus ini, seorang sufi
berusaha mendeterminasi makna suatu ayat dengan praktek
asketis tertentu sampai pada tahap kasyf, tanpa didahului oleh
suatu teori tertentu.
Di antara tokoh utama dalam tradisi ini adalah Sahlal-Tusta>
ri.
Model tafsir Isya>
ri bisa terlihat ketika ia menafsirkan Q.S. alRu>
m: 41 berikut ini:21

‫ وﻣﺜﻞ‬، ‫ ﻣﺜﻞ اﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ اﻟﺠﻮارح ﺑﺎﻟﺒﺮ‬: ‫) ﻇَ َﻬ َﺮ اﻟﻔﺴﺎد ﻓِﻲ اﻟﺒﺮ واﻟﺒﺤﺮ( ﻗﺎل‬
.... ‫ ﻫﺬا ﺑﺎﻃﻦ اﻵﻳﺔ‬، ً‫ وﻫﻢ أﻋﻢ ﻧﻔﻌﺎً وأﻛﺜﺮ ﺧﻄﺮا‬، ‫اﻟﻘﻠﺐ ﺑﺎﻟﺒﺤﺮ‬

“(Telah tampak kerusakan di daratan dan lautan). Al-Tustari
berkata: ‘Allah mengumpamakan anggota badan dengan
daratan dan hati dengan lautan keduanya merupakan yang
paling banyak memiliki manfaat sekalipun juga paling banyak
membawa madharat, inilah makna esoteris (ba>
t in)dari ayat ini
…” 22
Dalam varian pertama (tas}awwuf naz}ari), menurut al-Z|ahaby,
yang terjadi adalah pola eisegesis. Sedangkan dalam kasus kedua
(tas}awwuf
‘amaly), yang terjadi adalah exegesis. Meski
demikian untuk menentukan apakah suatu tafsir dihasilkan dari
pola eisegesis atau exegesis, bukanlah tugas yang mudah. Dalam
hal ini yang harus diperhatikan adalah kronologi historis seorang
mufassir dalam mengarang tafsir; mana yang lebih dahulu antara
membangun teori sufisme atau mengarang tafsir. Jika seorang
sufi falsafi membangun teorinya seusai mengarang tafsir, maka
20

Muhammad H}usseinal-Z|ahaby, al-Tafsi>
rwaal-Mufassiru>
n, … juz. 2, h. 261
Sahalal-Tusta>
ri, Tafsi>
ral-Qur’a>
nal-‘Az}i>
m, (Kairo: Da>
r al-Hirm, tth.), h. 218
22
Lihat Muhammad H}usseinal-Z|ahaby, al-Tafsi>
rwaal-Mufassiru>
n, .. , juz. 2,
21

h. 270

114

Jurnal Farabi Volume 12 Nomor 1 Juni 2015 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264

Asep Nahrul Musadad

yang terjadi adalah sebaliknya, ia telah menafsirkan al-Qur’an
justru dalam pola exegesis.
Perodisasi Tafsir Sufistik
Tafsir sufistik harus dibedakan menjadi dua pemaknaan; tafsir sebagai
suatu komentar lepas23 dan tafsir sebagai suatu kitab tafsir dengan
format reguler.24 Menurut para pakar, kitab tafsir sufistik tertua yang
sampai kepada kita adalah Tafsi>
r al-Qur’a>
n al-‘Az}im
> karya Sahl alTusta>
ri (w. 283 H.).25 Selain itu juga terdapat tafsir sufistik sebagai
sebuah komentar lepas, berupa riwayat yang dimuat dalam karya yang
tidak berbentuk format kitab tafsir yang dimulai sejak abad ke-2 H.
Periodisasi yang populer dewasa ini misanya ditunjukan oleh Gerhard
Bowering yang membagi fase tafsir sufistik menjadi lima periode:26

a. Fase formatif (abad ke-2 H./4 M sampai 8 H./10 M.)
Fase ini terbagi menjadi dua tahap; Pertama dimulai dari tiga
tokoh utama, Hasan al-Bas}ri (w. 110 H./728 M.), Ja’far al-Sa>
diq
(148 H./765 M.), dan Sufyan al-S|aury (161 H./778 M.) dan kedua
dimulai pada masa al-Sulami, penulis kitab Haqa>
iq al-Tafsi>
r, (w.
412 H./1021 M.) dan tujuh sumber rujukan utamanya, yaitu Dzun
Nun al-Mis}ry (w. 246 H./841 M.), Sahl al-Tustary (w. 283 H./896
M), Abu Sa’i>
d al-Kharraj (w. 286 H/899 M), al-Junayd (w. 298
H./910 M), Ibn ‘Athaal-‘Adami (w. 311 H./923 M), Abu BakralWa>
sit}y (w. 320 H./932 M), dan al-Syibli (w. 334 H/946 M).

b. Fase kedua (abad ke-5 H./11 M. sd. 7 H./13 M.)
23

Dalam hal ini, “tafsir” diposisikan sebagai suatu term yang tidak dibebani
oleh suatu batasan, kaidah/formula tertentu, penjelasan tema atau masalah, karena ia
bukan merupakan kaidah atau sesuatu yang lahir dari aplikasi kaidah-kaidah. Dengan
demikian, untuk menjelaskan tafsir cukup dengan mengatakan: ”.. menjelaskan
kala>
mulla>
h,. Dalam hal ini, tafsir tidak melulu berbentuk kitab tafsir dengan format
hijAlkhusus sebagaimana kitab tafsir pada umumnya. Lihat Ami>
n Al-Khu>
ly, Mana>
r al-Ma’rifat, tt), h. 271.
Tajdi>
d, (Kairo: Da>
24
Kitab yang secara khusus memuat tafsir al-Qur’an seperti halnya Tafsi>
r alT}abary, Ibn Katsi>
r, Mafa>
t ih}al-Ghayb, dll. Selain itu, terdapat suatu karya yang tidak
dikemas dalam format kitab tafsir, namun di dalamnya memuat beberapa tafsir
s al-Hikam karya Ibn al-‘Araby merupakan contoh
terhadap ayat al-Qur’an, kitab Fusu>
jenis tafsir ini.
25
Lihat Kristin Zahra Sand, Sufi Commentaries on The Qur’an in Classical
Islam, h. 68
26
Alan Godlas, “Sufism” dalam Andrew Rippin (ed.), The Blackwall
Companion to The Qur’an, (Blackwell Publishing, 2006), h. 350-360
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa

115

Tafsir Sufistik Dalam Tradisi Penafsiran Al-Qur’an
(Sejarah Perkembangan Dan Konstruksi Hermeneutis)

Fase ini mencakup tiga varian tafsir sufistik yang berbeda; (1)
Tafsir sufistik moderat, yaitu tafsir sufistik yang mencantumkan
hadis Nabi, asar sahabat, perkataan para mufassir sebelumnya,
aspek gramatikal dan latar ayat. Contoh tafsir jenis ini adalah alKasyf wa al-Baya>
n ‘an Tafsi>
r al-Qur’an, karya Abu Ishaq alrat karya al-Qusyairy
Tsa’labi (w. 427H./1035 M), Lat}ai>f al-Isya>
(w. 465 H./1074 M), dll. (2) Tafsir sufistik yang mensyarahi Tafsir
al-Sulamy seperti Futu>
h} al-Rahman fi Isya>
rat al-Qur’a>
n, karya
Abu Tsabit al-Dailamy (w. 598 H./1183 M) serta tafsir serupa, dan
(3) Tafsir Sufistik berbahasa Persia seperti Kasyf al-Asrar wa
‘Uddat al-Abrar karya al-Maybudi (w. 530 H./1135 M.)

c. Fase tafsir “mazhab sufi” (abad ke-7 H./13 sd. abad ke-8 H./14
M.)
Pada masa ini muncul dua tokoh sufi kenamaan yaitu Najm al-di>
n
Kubra (w. 618 H./1221 M) pengarang al-Ta’wi>
lat al-Najmiyyah
dan Ibn al-‘Araby (638 H./1240 M.) pengarang kitab al-Futu>
h}a>
t alMakkiyah dan Fus}u>
s al-H}ikam. Keduanya kemudian membentuk
madrasah tafsir masing-masing, mazhab Kubrawiyyu>
n dan mazhab
Ibn al-‘Arabi. Di antara eksponen mazhab Kubrawiyyu>
n adalah
Nizam al-din Hasan al-Naisaburi (w. 728 H./1327 M) pengarang
Gharaib al-Qur’an wa Ragha>
ib al-Furqa>
n. Sedangkan perwakilan
mazhab Ibn ‘Araby adalah Ibn Barrajan al-Andalu>
sy (w. 536
H./1141 M.) pengarang al-Irsya>
d fi>Tafsi>
r al-Qur’an.

d. Fase Turki Usmani (abad ke-9 H./15 M. sd. 12 H./18 M.)
Fase ini menampilkan beberapa kitab tafsir yang ditulis di India
selama kepemimpinan Turki Usmani dan Timurid. Di antara tafsir
t karya
yang diproduksi pada masa ini adalah Tafsir-I Multaqa>
Khwa>
jah Bandah Nawa>
z (w. 825 H./1422 M), Mawa>
hib-i ‘Aliya,
karya Kamaluddi>
n Hussein al-Ka>
syifi (w. 910 H./1504 M.) dan
Ru>
h al-Baya>
n karya Ismail Haqqi Bursevi (w. 1137 H./1725 M).

e.

Fase kelima (abad ke-13 H./19 M sampai sekarang)

Beberapa karya tafsir sufistik yang terkenal pada masa ini adalah
al-Bahr al-Madi>
d, karya Ahmad Ibn Ajiba (w. 1224/1809 M.),

Ru>
h al-Ma’a>
ni fi Tafsir al-Qur’an al-A’z}im wa Sab’ al-Matsani,
karya Syihab al-Din al-Alusi (w. 1854 M) dan Baya>
n al-Ma’ani
‘ala H}asb Tarti>
b al-Nuzu>
l, karya Mulla H
> uwaysh.

116

Jurnal Farabi Volume 12 Nomor 1 Juni 2015 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264

Asep Nahrul Musadad

Sumber Tafsir Sufistik
Tafsir sufistik bersumber dari tradisi sufisme itu sendiri.
Terdapat dua tesis terkait asal usul sufisme. Pertama mengatakan bahwa
sufisme berasal dari tradisi di luar Islam yaitu tradisi Persia, Hindu,
Filsafat Neo-Platonis dan Tradisi Gnosis Kristen. Sebagian lagi
membantah tesis tersebut bahwa sufisme merupakan tradisi asli yang
dimiliki umat Islam. Hal ini dibuktikan dengan adanya silsilah spiritual
yang tersambung langsung kepada Rasulullah. Selain itu, secara
konsekuen, beberapa doktrin sufisme berasal dari ajaran Rasulullah yang
secara langsung dijelaskan oleh Rasulullah.27
Arti penting dari sufisme terletak pada dualisme esoteris dam
eksoteris dan kontemplasi langsung akan realitas ketuhanan. Dengan
demikian sumber utama dari aktivitas sufisme adalah intuisi sebagai
instrumen untuk berkontemplasi. Hal yang perlu digarisbawahi adalah
bahwa kontemplasi ini berbeda dengan manifestasi mental keagamaan
lainnya. Dalam sufisme ada suatu level di mana fakultas mental tidak
bisa berfungsi seperti halnya ketika seorang sufi mengalami jaz\ab
(divine attraction) yang tidak akan bisa mengungkapkan pengalamannya
dalam kata-kata.
Meski demikian pengalaman intuitif ini pada akhirnya juga
bersentuhan dengan pengalaman kognitif lainnya, terutama dengan
tradisi falsafah. Hal ini kemudian mengantarkan sufisme sampai pada
sebuah asimilasi kreatif yang kemudian melahirkan istilah semacam sufi
falsafi/Naz}ari, teosofi (h}ikmah ila>
hiyyah), sampai kepada prophetic
philosophy. Maka tak heran jika Henry Corbin, seorang orientalis yang
getol meneliti filsafat dan mistisisme Islam memasukkan sufisme,
teosofi (h}ikmah), ajaran imamah Syi’ah dan ilmu kalam sebagai
keluarga besar Filsafat Islam.28
Dengan demikian, sumber utama tafsir sufistik terbagi menjadi dua;
intuisi sebagai instrumen internal dan tradisi kontemplatif lainnya,
terutama falsafah sebagai instrumen eksternal. Keduanya berasimilasi
sehingga melahirkan dua varian sufisme sebagaimana dijelaskan alZahaby sebelumnya.
Landasan Epistemologis Tafsir Sufistik

a. Dualisme level teks: eksoteris (z}ah>ir) dan esoteris (ba>
t i}n)
27

Titus Burckhardt, Introductionto Sufi Doctrine,.., h. 64
Lihat Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, …., h.xv-xvii

28

http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa

117

Tafsir Sufistik Dalam Tradisi Penafsiran Al-Qur’an
(Sejarah Perkembangan Dan Konstruksi Hermeneutis)

Konsep tentang kategorisasi makna al-Qur’an menjadi eksoteris
(z}ah>ir) dan esoteris (ba>
t }in) merupakan suatu konsep yang
mendasar dalam tradisi tafsir sufistik. Tradisi tafsir sufi baik yang
naz}ari atau isya>
ri, berawal dari beberapa pondasi utama; bahwa alQur’an memuat beberapa level makna, manusia memiliki potensi
untuk menyingkap makna tersebut, dan tugas penafsiran adalah
tidak terbatas.29 Pembedaan makna z}ah>ir dan ba>
t i}n merupakan
suatu landasan epistemologis yang mendasar dalam tafsir mereka.
Meskipun konsep dualisme level ini tidak secara eksplisit
disebutkan dalam al-Qur’an, namun ia ditegaskan oleh beberapa
hadis dan perkataan para sahabat. Di antara hadis yang berbicara
terkait hal tersebut adalah hadis Ibn Mas’ud berikut ini:

‫أﻧﺰل اﻟﻘﺮآن ﻋﻠﻰ ﺳﺒﻌﺔ أﺣﺮف ﻟﻜﻞ آﻳﺔ ﻣﻨﻬﺎ ﻇﻬﺮ وﺑﻄﻦ‬

“Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf, setiap ayatnya
memiliki makna eksoteris (z}ahr) dan esoteris (bat}n).”30
Hadis ini merupakan hadis yang sangat populer dalam tradisi
sufisme, Syi’ah dan kelompok Isma’iliyyah. Ia kemudian menjadi
inspirasi bagi pergerakan kaum esoteris dalam tradisi pemikiran
Islam, termasuk dalam konteks tafsir al-Qur’an. Beberapa kitab
iq al-Tafsi>
r,31 Ru>
h al-Ma’a>
ni,32
tafsir sufistik seperti Haqa>
danRu>
h} al-Baya>
n,33 secara langsung mengutip hadis tersebut
sebagai landasan pengarangnya dalam menafsirkan suatu ayat.
Dalam hal ini, Sahl al-Tustari juga seringkali memakai redaksi
“ha>
za\ > ba>
t i}n al-a>
yat” ketika mengidentifikasi makna esoteris
suatu ayat.34
29

Lihat Kristin Zahra Sand, Sufi Commentaries on The Qur’an in Classical

Islam.

30

S}ahi>
h Ibn H}ibba>
n, no. 75

31

Abu>‘Abdal-Rah}ma>
nal-Sulamy, Haqa>
iq al-Tafsi>
r, Juz I (Beirut: Da>
r alKutub al-‘Ilmiyyah, 2001), h. 21
32
Mahmu>
d al-Alu>
si, Ru>
h al-Ma’a>
ni, Juz I (Beirut: Da>
r Ih}ya>al-Tura>
s\al‘Araby, tt), h. 7
33
Isma>
’il Haqqy al-Istanbu>
ly, Ru>
h al-Baya>
n, Juz I (Beirut: Da>
r Ih}ya>al-Tura>
s\
al-‘Araby, tth.), h. 62
34
Sahal al-Tusta>
ri, Tafsi>
r al-Qur’a>
n al-‘Az}i>
m, …., h.131, 218, dan 235.

118

Jurnal Farabi Volume 12 Nomor 1 Juni 2015 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264

Asep Nahrul Musadad

b. Konsep Muh}kam dan Mutasya>
bih
Persoalan Muh}kam-Mutasya>
bih merupakan salah satu pesoalan
yang paling banyak memicu perdebatan. Dalam perpektif Ulum alQur’an, muh}kam adalah suatu kata yang memiliki indikasi yang
ekspisit dalam menunjukan maknanya. Sekai waktu ia juga
difahami sebagai suatu ayat yang tidak menerima nasakh dan
sebagai ayat yang hanya memiliki satu alternatif pemaknaan.
Sedangkan mutasya>
bih merupakan suatu kata yang memiliki
indikasi makna yang tidak jelas, dan memuat beberapa alternatif
pemakaan.35 Dalam hal ini mutsya>
bih biasanya dimaknai degan
kata yang ekuivokal, sebagai lawan dari yang univokal.
Perdebatan terkait polemik ini juga merupakan landasan utama
yang membangun tradisi tafsir sufistik. Dari konsep ini kemudian
muncul adanya suatu makna tertentu yang hanya bisa diketahui
oleh orang tertentu juga (al-ra>
sikhu>
nfial-‘ilm) berdasarkan QS. Ali
Imran: 7. Hal ini tentu saja memperkuat landasan sebelumnya
bahwa teks Al-Qur’an memiliki makna yang berlapis. Dalam
konteks inilah para sufi mencoba menguak makna terdalam ayatayat al-Qur’an.

c.

Menemukan Makna: Relasi Pengetahuan dan Praktik Spiritual

Setelah dualisme level makna teks, kemudian untuk mencapai makna
esoteris, kaum sufi berkeyakinan adanya relasi komplementer antara
penyingkapan pengetahuan dengan praktik spiritual. Basis dari tradisi
tafsir sufisme terakhir adalah adanya keyakinan bahwa untuk
menemukan makna terdalam al-Qur’an yang sejati bisa dicapai
dengan praktik keagamaan yang sungguh sungguh.
Abu Nas}r al-Sarra>
j, sebagaimana dikutip oleh Kristin Zahra, dalam
al-Luma’, misalnya, mengatakan bahwa kualitas seorang sufi
ditentukan oleh pengamalannya (isti’ma>
l) terhadap isi kandungan alQur’an dan hadis Rasulullah yang kemudian akan menciptakan
sebuah perkataan dan tindakan yang luhur.36 Selain itu, para sufi juga
harus memiliki pengetahuan terkait jiwa (al-nafs) untuk dengan
sebaik baiknya dari segala penyakit hati. Dengan demikian, purifikasi

35

Abd al-‘Az}hi>
m al-Zarqa>
ny>
, Mana>
hil al-‘Irfan>
, Juz II (Beirut: Dar al-Kutub
al-’ilmiyah, 2010), h. 422-424.
36
Lihat KristinZahra Sand, Sufi Commentaries…, h. 29
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa

119

Tafsir Sufistik Dalam Tradisi Penafsiran Al-Qur’an
(Sejarah Perkembangan Dan Konstruksi Hermeneutis)

hati dalam tradisi sufi menempati salah satu posisi yang utama,
terlebih ketika ia akan menafsirkan al-Qur’an.
Landasan Operasional
Ada empat istilah yang harus disebutkan di sini, yaitu tafsi>
r,
takwi>
l, ‘iba>
rah dan isya>
rah. Keempat istilah teknis ini merujuk kepada
instrumen dalam mengungkap makna al-Qu’an. Dalam mayoritas litertur
ulum al-Qur’an, istilah yang merujuk kepada aktivitas interpretasi alQur’an adalah tafsi>
r dan ta’wi>
l. Kedua terma ini juga terdapat dalam
beberapa ayat dalam al-Qur’an.37 Dalam kaitannya dengan tradisi
penafsiran al-Qur’an, sebagian ulama memandang bahwa tidak ada
perbedaan antara kedua term tersebut, sementara yang lain mengatakan
sebaliknya.38
Bagi yang membedakan, tafsir merujuk pada penjelasan eksternal
dari al-Qur’an. Tafsi>
r secara praktis berkaitan misalnya dengan ilmu
asba>
b al-nuzu>
l, na>
sikh-mansu>
kh, makkiyyah-madaniyyah, dan cabang
ilmu semacamnya. Sedangkan ta’wi>
l merujuk pada penjelasan secara
langsung terhadap makna-makna yang terkandung dalam al-Qur’an.39
Dalam hal ini, relasi tafs>
ir dan ta’wi>
l adalah relasi umum-khusus. Tafsi>
r
merupakan salah satu bagian operasional dari ta’wi>
l. Ta’wi>
l
berhubungan dengan penggalian makna-makna terdalam (istinba>
t }) ayat

37

Menurut Na}sr H}am
< id Abu>Zayd, kata ta’wi>
l disebutkan dalam al-Qur’an
r hanya sekali
sebanyak 17 kali dengan makna yang beragam, sedangkan kata tafsi>
l dalam al-Qur’an sebagai ta’wi>
l
disebutkan. Umat Islam misalnya mengenal kata ta’wi>
al-aha}d>i>
t s (interpertasi mimpi) dalam cerita Nabi Yusuf (Q.S. Yusuf: 6, 32, 44, 100,
lat al-af’a>
l (penyingkapan terhadap indikasi-indikasi yang
dst.), al-kasyf ‘an dila>
tersembunyi) dalam cerita Nabi Musa dan Khidir (Q.S. Al-Kahfi: 78-82), al-‘audati as}l
al-syai (mengembalikan asal muasal sesuatu) dalam Q.S. Ali Imran: 1, dst. Adapun
r yang disebutkan satu kali dalam al-Qur’an merujuk pada
pemaknaan kata tafsi>
m al-Nas}s}: Dira>
sat fi>
“penjelasan” (al-Furqan: 33). Lihat Nas}r H}am
> id Abu Z
> ayd, Mafhu>
mmah li al-Kutub, 1990), h. 256.
‘Ulu>
mal-Qur’a>
n, (Kairo: Al-Hay’ah al-‘A<
38
Meskpun demikian, secara semantik, kedua term ini memiliki suatu
r dalam praksisnya membutuhkan kepada alperbedaan dalam aspek praktis. Kata tafsi>
tafsirah, suatu mediator yang digunakan sebagai suatu bahan pemikiran oleh seorang
mufasssir untuk bisa menyingkap apa yang ia kehendaki. Sedangkan kata takwi>
l tidak
membutuhkan hal tersebut, hubungannya dengan objek adalah hubungan langsung
qah muba>
syarah). Lihat Mafhu>
m al-Nas}s}: Dira>
sat fi>‘Ulu>
m al-Qur’a>
n, h. 262-263.
(‘ala>
39
Lihat Badral-Di>
nal-Zarkasyi, al-Burha>
n fi ‘Ulu>
m al-Qur’a>
n, juz II (Kairo:
Da>
r Ih}ya >
al-Kutub al-‘Arabiyyah ‘Isa>al-Ba>
by al-H}alaby, 1957), h. 148.

120

Jurnal Farabi Volume 12 Nomor 1 Juni 2015 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264

Asep Nahrul Musadad

al-Qur’an, sedangkan tafsi>
r berhubungan dengan aspek transmisional
dalam menjelaskan ayat al-Qur’an.
Dua istilah lain yang tidak kalah penting adalah ‘Iba>
rah dan
Isya>
rah. ‘Iba>
rah berarti suatu model eksplanasi atau ungkapan tersirat,
sedangkan Isyarah berarti ungkapan simbolik/allegoris. Kedua istilah ini
memiliki kaitan erat dengan kedua istilah sebelumnya. ‘Ibarah berarti
sebuah ungkapan yang menginformasikan makna eksoteris (zahir) yang
rah suatu model ungkapan
tersurat dan telah ditentukan. Sedangkan isya>
yang hanya berfungsi sebagai simbol akan adanya suatu makna yang
tidak ditentukan (du>
na tah}di>
din maqsu>
din). Hal ini dikarenakan bahasa
al-Qur’an merupakan suatu simbol yang menjadi mediator antara
eksistensi Tuhan dan manusia.40 Dalam hal ini, tugas tafsir sufistik
terpusat pada penelusuran isyarat tersebut dalam menemukan makna
makna terdalam al-Qur’an.
Dengan demikian, berdasarkan keempat terminologi di atas,
dapat disimpulkan bahwa tradisi tafsir sufstik, secara operasional
berlandaskan kepada kinerja takwil yang bertujuan menelusuri isya>
ratisya>
rat makna yang terkandung dalam makna al-Qur’an.
Kesimpulan
Tafsir sufistik sebagai sebuah corak tafsir merupakan suatu hasil
kontak antara tradisi sufisme, sebagai sebuah gerakan esoterisme dalam
Islam yang berkembang terutama sejak abad ke-4 H. Terdapat dua
varian utama tafsir sufistik; tafsir sufi naz}ari dan tafsir sufi isya>
ri.
Secara prinsipil, konstruksi tafsir sufistik berdiri di atas beberapa
landasan berikut ini; dualisme makna al-Qur’an; eksoteris dan esoteris,
bih, dan relasi antara pengetahuan dengan
konsep muh}kam dan mutasya>
praktis spiritual. Secara
operasional, tafsir sufistik bertujuan
rat ) makna dalam al-Qur’an lewat
mengungkap beberapa simbol (isya>
suatu interpretasi yang mendalam (ta’wi>
l).

40

Lihat Nas}r H}am
> idAbu>
Zayd, Falsafatal-Ta’wi<
l, (Beirut: Da>
ral-Wahdah,
1983), h. 266-267
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa

121

Tafsir Sufistik Dalam Tradisi Penafsiran Al-Qur’an
(Sejarah Perkembangan Dan Konstruksi Hermeneutis)

Daftar Pustaka

m al-Nas}s:} Dira>
sat fi>‘Ulu>
m al-Qur’a>
n.
Abu>Zayd, Nas}r H}am
> id. Mafhu>
(Kairo: al-Hay’ah al-‘A<
mmah li al-Kutub. 1990.)
------------. Falsafat al-Ta’wi<
l. (Beirut: Da>
ral-Wahdah. 1983)

h al-Ma’a>
ni. (Beirut: Da>
r Ih}ya a>l-Tura>
s\al-‘Araby,
Al-Alu>
si, Mahmu>
d. Ru>
tt.)
Al-Darra>
z, Abdullah. Al-Naba’ al-‘Az}im
> . (Kairo: Da>
ral-‘Urubah. 1996)

h al-Baya>
n. (Beirut: Da>
r Ih}ya>al-Tura>
s\
Al-Istanbu>
ly, Isma>
’il H}aqqy. Ru>
al-‘Araby. Tt.)
Al-Sulamy, Abu>‘Abd al-Rah}ma>
n. Haqa>
iqal-Tafsi>
r. (Beirut: Da>
r alKutub al-‘Ilmiyyah. 2001)

y.
Al-Taftaza>
ny, Abu al-Wafa. Al-Madkhal li al-Tas}awwuf al-Islam>
(Kairo: Da>
r al-Tsaqa>
fah li al-Nasyr wa al-Tauzi’. Tt)
Al-Tusta>
ri, Sahal.Tafsi>
r al-Qur’a>
n al-‘Az}im
> . (Kairo: Da>
r al-Hir li alTura>
s,\ tt.)

r wa al-Mufassiru>
n. (Kairo:
Al-Z|ahaby, Muhammad H}ussein. Al-Tafsi>
MaktabahWahbiyyah. Tt.)
Al-Zarkasyi, Badr al-Di>
n. Al-Burha>
n fi ‘Ulu>
m al-Qur’a>
n. (Kairo: Da>
r
Ih}ya a>l-Kutub al-‘Arabiyyah ‘Isa>al-Ba>
by al-H}alaby. 1957)

, Abdal-‘Az}hi>
m. Mana>
hil al-‘Irfan>
. (Beirut: Dar al-Kutub alAl-Zarqa>
ny>
’ilmiyah. 2010)
Bearman, PJ. dkk. (ed.), Encyclopedia of Islam, (Leiden: Brill, 1998)
Burckhardt, Titus. Introduction to Sufi Doctrine. (Indiana: World
Wisdom. 2008)
Corbin, Henry. History of Islamic Philosophy, terj. LiadainSherrard.
(London: The Institute of Ismaili Studies, tt.)
Goldzhier, Ignaz. Mazhab Tafsir: Dari Klasik Hingga Modern, terj.
Saifuddin Zuhri Qudsy, dkk. (Yogyakarta: eLSAQ Press. 2009)

122

Jurnal Farabi Volume 12 Nomor 1 Juni 2015 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264

Asep Nahrul Musadad

Ibn al-‘Araby, Muhyiddi>
n. Fus}u>
s} al-H}ikam, (Beirut: Da>
ral-Kita>
bal‘Araby, 1946)
McAuliffe, Jane Dammen (ed.). Encyclopedia of The Qur’an. (Leiden:
Brill. 2009)
Rippin, Andrew (ed.).The Blackwall Companion to The Qur’an.
(Blackwell Publishing. 2006)
Sand, Kristin Zahra. Sufi Commentaries on The Qur’an in Classical
Islam. (London: Routlege. Tt)
www.meriam-webster.com, (diakses 24 Desember 2014.)
Yazdi, Mehdi Hairi. Menghadirkan Cahaya Tuhan, terj. Ahsin
Muhammad. (Bandung: Mizan, 2003).

http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa

123