INFRASTRUKTUR DI BATAVIA MASA HINDIA BEL
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Hindia Belanda adalah masa dimana negara ini masih
berada dibawah kekuasaan Belanda. Tahun 1602 VOC berdiri dan
pusat perdagangan dipindahkan dari Ambon ke Jayakarta. Batavia
adalah nama Jayakarta setelah diduduki oleh VOC sebagai pusat
perdagangan dan administrasi. Batavia didirikan oleh Jan
Pieterszoon Coen pada 1619 sebagai sebuah benteng dan pos
dagang di sebuah kota pelabuhan, Kelapa, yang jatuh ke tangan
Banten dan waktu itu bernama Jayakarta. Orang Belanda
membangun Batavia seperti negeri Belanda dengan banyak kanal
kanal dan rumahrumah berarsitektur Belanda.
Batavia merupakan salah satu kota pelabuhan terpenting di
era kolonial. Eksistensi orang Belanda di Jacatra membawa
berbagai perubahan ekologi kota, baik secara infrastruktur, sosial,
politik, ekonomi, dan budaya. Perpindahan kekuasaan dari
pemerintah lokal ke pemerintah kolonial ditandai dengan adanya
perubahan nama kota dari Jayakarta menjadi Batavia. J.P. Coen
dengan berbagai kebijakannya mencoba untuk menghadirkan
Batavia layaknya Amsterdam di Nusantara dengan berbagai
perubahan infraksturk di berbagai aspek. Perubahan tersebut
berdampak pada perubahan wajah kota Batavia yang semula
dimitoskan sebagai kota yang membawa wabah dan bencana telah
bertransformasi menjadi kota elite, strategis, dan krusial bagi
perkembangan jaringan bisnis di Hindia Belanda dan dunia pada
awal abad XX.
Sejarah Batavia juga terkait dengan perkembangan kereta
api. Di Indonesia perkembangan kereta api dimulai pada masa
1
pemerintahan Kolonial Belanda diawali sekitar tahun 1864 dengan
dibangunnya jalur rel kereta api dari Semarang sampai Tanggung,
Jawa Tengah dan selanjutnya perkembangan kereta api di masa
itu begitu pesat dengan dibangunnya berbagai jalur dan jaringan
kereta api yang menghubungkan sejumlah kota di Pulau Jawa,
Sumatera dan Sulawesi. Di Batavia juga terdapat pelabuhan
Tanjung Priok yang masih memiliki keterkaitan dengan stasiun
Tanjung Priok sebagai satukesatuan. Selain itu, untuk
mendukung segala kegiatan juga dibangun jalanjalan yang
menghubungkan antara kawasan di Batavia. Jalan Pos yang
dibangun masa Daendels juga melalui kawasan Batavia. Jalan
jalan di Batavia memiliki pola yang unik dan sampai sekarang
jalan tersebut disekelilingnya terdapat bangunanbangunan
peninggalan masa Hindia Belanda.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat disusun rumusan
masalah sebagai berikut.
1.2.1 Bagaimana infrastruktur berupa bangunan di Batavia pada
masa Hindia Belanda?
1.2.2 Bagaimana infrastruktur berupa jalan raya di Batavia pada
masa Hindia Belanda?
1.2.3 Bagaimana infrastruktur berupa transportasi di Batavia
pada masa Hindia Belanda?
1.2.4 Bagaimana infrastruktur berupa pelabuhan di Batavia pada
masa Hindia Belanda?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka dapat disusun
tujuan sebagai berikut.
1.3.1 Untuk mengetahui infrastruktur berupa bangunan di
Batavia pada masa Hindia Belanda.
1.3.2 Untuk mengetahui infrastruktur berupa jalan raya di
Batavia pada masa Hindia Belanda.
2
1.3.3 Untuk mengetahui infrastruktur berupa transportasi di
Batavia pada masa Hindia Belanda.
1.3.4 Untuk mengetahui infrastruktur berupa pelabuhan di
Batavia pada masa Hindia Belanda.
3
BAB II
PEMBAHASAN
Berdasarkan latar belakang di atas, maka di dalam
pembahasan ini akan diuraikan lebih lanjut mengenai berbagai
infrastruktur yang ada di Batavia pada masa kolonial Hindia
Belanda dari abad 16 sampai awal abad 20 masehi, yakni sebagai
berikut.
2.1
Infrastruktur Berupa Bangunan Di Batavia Pada Masa
Hindia Belanda
Jayakarta sekitar 1605—1608, sebelum dihancurkan oleh
Belanda, menampilkan strukturstruktur awal prakolonial
sebelum Batavia didirikan. Bangunan dan struktur kolonial di
Jakarta mencakup bangunanbangunan yang didirikan selama
masa kolonial Belanda di Indonesia. Periode (dan gayanya) yang
menggantikan periode sebelumnya ketika Jayakarta/Jaccatra,
yang dikuasai Kesultanan Banten, dihancurkan sepenuhnya dan
digantikan oleh kota dinding Batavia. Menurut De Vries (dalam
Shahab,2010:211) Kota Batavia sebenarnya terletak di sebelah
selatan kastil yang juga dikelilingi oleh tembok dan dipotong
dengan banyak parit. Batas utara dan selatan kota Batavia pada
masa itu ialah terbentang dari pantai utara hingga ke wilayah
yang sekarang dikenal sebagai Javasche Bank. Kali Besar
membelah wilayah kota menjadi dua bagian, yakni barat dan
timur. Jelaslah bahwa sesudah Jaccatra direbut pada 1619, kota
itu tidak akan dapat bertumbuhkembang tanpa orangorang
Belanda yang mau menetap disana untuk jangka waktu yang
cukup lama (Niemeijer,2012:14). Gaya yang mendominasi masa
kolonial dapat dibagi menjadi tiga periode: Zaman Keemasan
4
Belanda (abad ke17 sampai akhir abad ke18), periode gaya
transisi (akhir abad ke18—abad ke19), dan modernisme Belanda
(abad ke20). Arsitektur kolonial Belanda di Jakarta dapat ditemui
di gedunggedung seperti rumah atau villa, gereja, gedung
pemerintahan, dan perkantoran di kota administratif Jakarta
Pusat dan Jakarta Barat.
Setelah VOC menentukan pusat perdagangannya di pulau
Jawa, maka batu pertama untuk memulai arsitektur kolonial
menjadi kenyataan. Dengan didirikannya
“Fort Batavia”,
berkembang pula kota Batavia (Sumintardja,1978:11). Jenis
arsitektur kolonial pertama berkembang dari permukiman
permukiman pertama Belanda pada abad ke17, masa ketika
permukiman umumnya dikelilingi dinding dengan nama “Fort
Batavia” yang melindungi dari serangan saingan dagang Eropa
atau pemberontakan pribumi. Tembok tebal mengelilingi kota
tersebut, dan di beberapa titik dibangun bastion (bangunan untuk
mengintai musuh) yang diberi nama dengan nama kota di
Belanda. Namanama tersebut antara lain bastion Amsterdam,
Middleburg, Rotterdam, Hollandia, Grimerbergen, dan lainlain
(Basundoro, 2012:88). Setelah Jayakarta (sebelumnya bernama
Sunda Kelapa) dikepung dan dihancurkan oleh Belanda tahun
1619, Belanda memutuskan agar kantor pusat Vereenigde Oost
Indische Compagnie dibangun di sini. Secara morfologis
Batavia/Jakarta sudah melewati lima tahap: pembangunan kota
lama, perluasan pinggiran kota hingga ke Weltevreden, penyatuan
Meester Cornelis, perluasan pinggiran kota ke Kebayoran, dan
tahap mutakhir pelebaran kawasan perkotaan (Grijns dan
Nas,2000:5). Simon Stevin ditugaskan oleh Heeren XVII untuk
merancang tata permukiman masa depan berdasarkan konsep
'kota ideal' nya. Hasilnya adalah kota persegi berdinding yang
5
dibelah Sungai Ciliwung. Sungai tersebut dialihkan ke sebuah
kanal lurus (kelak disebut Grote Rivier atau Kali Besar). Kota baru
ini bernama Batavia (sekarang Jakarta). Sesuai model Stevin,
benteng Batavia adalah bangunan paling mencolok di kota ini dan
melambangkan pusat kekuatan, sedangkan balai kota, pasar, dan
bangunan umum lainnya tersebarsebar. Di dalam benteng,
dibangun rumahrumah untuk para koloni, yang bentuknya mula
mula sederhana seperti rumah penduduk asli, tetapi kemudian
meniru rumahrumah dari negeri asal (Sumintardja,1978:115).
Tata kota Jakarta yang ini bisa dilihat di Kota Tua Jakarta melalui
penataan jalanan dan kanalkanalnya, meski banyak struktur asli
abad ke17 sudah dihancurkan atau digantikan oleh struktur
baru abad ke20.
Gambar.1 Kota Tua, terlihat Museum Fatahilah
Sumber : www.wikipedia.com
Pada tahun 1808, Daendels secara resmi memindahkan
pusat kota ke selatan karena kondisi kota terdalam yang
memburuk dan wabah malaria. Akibatnya, banyak bangunan dan
struktur dari periode ini terbengkalai. Karena masalah keuangan,
banyak bangunan dirubuhkan pada abad ke19 dan
6
reruntuhannya dipakai untuk membangun struktur baru di
selatan, seperti Istana Gubernur Jenderal Daendels (sekarang
Departemen Keuangan Indonesia) dari reruntuhan Kastil Batavia,
dan Batavia Theatre (sekarang Gedung Kesenian Jakarta) dari
reruntuhan Spinhuis. Menurut Sumintardja (1978:119) Ide itu
dilaksanakan oleh Gubernur Jendral Daendels, dengan perintah
membangun istana baru, pada tahun 1809. Bangunan yang besar,
tetapi tidak pernah menjadi istana karena kekurangan biaya dan
bergaya neorenainsance ini sekarang menjadi Departemen
Keuangan. Selanjutnya, tanahtanah kosong di Kota Tua
dimanfaatkan oleh strukturstruktur baru abad ke20. Struktur
abad ke17—18 yang tersisa dijadikan warisan budaya Jakarta,
misalnya Toko Merah, Gereja Sion, dan Museum Sejarah Jakarta.
Perencanaan kota Batavia, yang disusun atas perintah
Gubernur Jenderal Spex, selesai tahun 1670 dan selama 150
tahun rencana itu dipertahankan dan dilaksanakan
pembangunannya (Sumintardja,1978:117). Perencanaan Batavia
sebagai kota air ternyata kurang tepat, karena berada di daerah
tropis. Misalnya bangunan di muara Ciliwung semakin lama
semakin jauh dari laut, juga terusanterusan di dalam kota
mengganggu kesehatan dan sukar pemeliharaannya.
John Crawfurd dalam bukunya Descriptive Dictionary
of The Indian Islands and Adjacent Countries (1856)
menuliskan :
“Orang Belanda tidak memperhatikan perbedaan
sekitar 45 derajat garis lintang, waktu mereka
membangun sebuah kota menurut model kotakota
Belanda. Apalagi kota ini didirikan pada garis lintang
enam derajat dari khatulistiwa dan hampir pada
permukaan laut. Sungai Ciliwung yang dialirkan
melalui seluruh kota dengan sungaisungai yang
bagus, tidak lagi mengalir karena penuh endapan.
Keadaan ini menimbulkan wabah malaria, yang
7
terbawa oleh angin darat bahkan ke jalanjalan di luar
kota. Akibatnya, meluaslah penyakit demam yang
mematikan. Keadaan ini makin parah selama 80
tahun sesudah Batavia didirikan, oleh serentetan
gempa bumi hebat yang berlangsung pada tanggal 4—
5 November 1699. Gempa tersebut menyebabkan
terjadinya gunung longsor, tempat pangkal sumber air
ini. Aliran airnya terpaksa mencari jalan baru dan
banyak lumpur terbawa arus. Tidak pelak lagi, sungai
sungai di Batavia bahkan tanggultanggulnya penuh
dengan lumpur. Penanggulangan keadaan buruk itu
baru dilaksanakan waktu pemerintahan Marsekal
Daendels pada zaman Perancis tahun 1809 (zaman
Perancis sesungguhnya hanya berlangsung dari bulan
Februari sampai Agustus 1811). Penanggulangan
tersebut diteruskan sampai pada 1817 di bawah
pemerintahan Belanda yang ditegakkan kembali.
Banyak sungai di timbun dan kirikanan sungai
dibentengi tanggul sampai sejauh satu mil masuk
teluk. Operasi yang dilanjutkan oleh para insinyur
yang cakap, berhasil menormalkan arus sungai
tersebut. Sesudahnya Batavia tidak sehat daripada
kota pantai tropis manapun. Bagian kota yang baru
atau pinggiran kota tidak pernah mempunyai reputasi
jelek” (www.jakarta.go.id).
Hal ini terjadi sejak terjadinya bencana letusan Gunung
Salak tahun 1696 dan ditambah dengan kerusakan lingkungan
yang semakin parah akibat penebangan hutan besarbesaran guna
pembukaan lahan perkebunan di sepanjang aliran sungai
Ciliwung berpengaruh buruk bagi lingkungan disekitar Benteng
Batavia. Proses sedimentasi dan pendangkalan sungai membuat
meluapnya kotoran. Air menjadi keruh dan berbau, nyamuk dan
lalat berkembang biak dengan subur di rawarawa yang tergenang.
Sementara itu, pembangunanpembangunan Landhuis,
semakin banyak di Batavia sebelah selatan. Yang terpenting ialah
Landhuis Weltevreden dibangun tahun 1749 di sekitar jalan
Nusantara sekarang. Daerah ini kemudian dijadikan pusat kota
yang dipindahkan ke
situ dengan nama
Weltevreden
(Sumintardja,1978:119). Pemukimanpemukiman baru dengan
gedunggedung megah mulai banyak terbentuk disekitar
8
Molenvliet (Jalan Gajah Mada dan Jalan Hayam Wuruk),
Riswijkstraat (Jalan Majapahit), Noordwijk (Jalan Ir.Juanda) dan
Weltevreden (khusus untuk Weltevreden merupakan kawasan
peristirahatan elite bagi para pembesar VOC waktu itu). Diantara
gedunggedung dari abad tersebut yang masih dapat dilihat ialah
gedung yang kini digunakan sebagai Arsip Nasional di Jalan Gajah
Mada. Gedung ini dahulunya pernah menjadi tempat tinggal
Gubernur Jendral Renier de Klerk (1777—1780) (Kutoyo,1978:46).
Pada dasarnya wilayah Weltevreden bukanlah sebuah wilayah
baru dalam peta Batavia. Wilayah ini sudah terbentuk sejak abad
17, bermula saat Anthonij Paviljoun membangun vilavila
peristirahatan diatas lahan pemberian pemerintah kolonial tahun
1648 dengan nama Weltevreden. Kompleks perumahan inilah yang
merupakan cikal bakal kawasan Weltevreden (letak kompleks
tersebut saat ini berada disekitar Rumah Sakit Angkatan Darat
Gatot Subroto).
Kawasan Weltevreden mulai berkembang saat Justinus Vinck
(17331735) membangun dua buah pasar besar didalamnya (pasar
Senen
dan pasar Tanah Abang). Pasarpasar tersebut
dihubungankan oleh De Grote Zuiderweg (jalan tembus melalui
Kampung Lima–Perapatan–sampai Kramat–terus ke Senen, Jalan
Gunung Sari–Pasar Senen–Kramat).
Kemajuan kawasan
Weltevreden semakin pesat ketika Gubernur Jendral Jacob Mossel
memerintahkan penggalian Kali Lio (saluran yang menghubungkan
Sungai Ciliwung dengan parit memanjang yang sejajar dengan De
Grote Zuiderweg) guna memudahkan sarana transportasi air dari
dan menuju pasar. Selain itu, Jacob Mossel juga memerintahkan
dibangunnya sebuah villa besar di tikungan Ciliwung sebagai
tempat peristirahatan yang kemudian dibeli oleh penerusnya
Gubernur jendral Petrus Albertus Van Der Parra tahun 1767.
9
Rumah ini selanjutnya dinamakan Istana Weltevreden. Secara
bertahap Weltevreden menjadi semakin lengkap dengan hadirnya
gerejagereja baru, sekolah, klab dan lainlain yang semakin
mempertegas ciri khas kota Eropa modern. Di daerah pedalaman
Batavia, terutama pegunungan Priangan, dibangun perkebunan
perkebunan yang luas serta pesanggrahan indah tempat tinggal
juragannya, yang keindahannya melebihi hampir semua rumah di
Nieuw Batavia. Realitas tersebut mengembalikan citra dan gelar
“Ratu dari Timur” yang pernah disandang pada masa Oud Batavia
(Hanna,1988:191).
Tahun 1857 Istana Weltevreden berubah fungsi menjadi
Rumah Sakit Militer Kolonial (sekarang Rumah Sakit Angkatan
Darat Gatot Subroto). Diakhir masa kekuasaan VOC, Gubernur
Jendral terakhir VOC Gerardus van Overstraten (17961801)
memutuskan kawasan Weltevreden resmi dijadikan pusat
pemerintahan pengganti kota Batavia lama dengan Istana
Weltevreden sebagai jantungnya. Sejarah kawasan Weltevreden
terus berlanjut saat terjadinya transisi pemerintahan dari VOC ke
kolonial Hindia Belanda. Dibawah pemerintahan Gubernur
Jendral Hindia Belanda ke36 Herman Willem Daendels (1809),
Kastil Batavia yang merupakan figur kota lama Batavia diwilayah
Pasar Ikan dibongkar. Pusat pemerintahan digeser kewilayah baru
tidak jauh dari Weltevreden. Istana Weltevreden dibangun dimuka
sebuah lapangan (sekarang lapangan banteng) yang di sebelah
ujungnya berdiri tiang kemenangan perang Waterloo
(Sumintardja,1978:119). Wilayah ini kemudian dikenal dengan
nama Waterloplein (Lapangan Banteng) dengan Paleis van
Daendels/Het Groote Huis (sekarang menjadi Gedung Departemen
keuangan) sebagai pusat dan Meester Cornelis (Jatinegara) sebagai
basis pertahanannya. Akan tetapi, karena situasi peperangan
10
bangunan ini baru selesai dibuat semasa pemerintahan Gubernur
Jenderal Du Bus de Ghisignies (18261828).
Selain membuat Het Groote Huis, Deandels juga membangun
sebuah lapangan yang menjadi lapangan terbesar di Asia sebagai
tempat latihan para militernya. Lapangan ini dikenal dengan nama
Bufflesveld/Champs de Mars. Tahun 1818 lapangan ini berganti
nama menjadi Koningsplein/Lapangan Raja (sekarang Lapangan
Monas). Ketika era Daendels berakhir, perkembangan pusat
pemerintahan Batavia baru semakin terpusat diwilayah seputaran
Koningsplein. Hal ini ditandai dengan dibelinya Istana Riswijk
(Hotel van den GouverneurGeneraal) yang merupakan bekas
rumah peristirahatan J.A Van Braam di tahun 1821 oleh
pemerintah kolonial Belanda untuk digunakan sebagai gedung
pemerintahan dan lokasi penginapan para Gubernur Jenderal
Hindia Belanda saat berkunjung ke Batavia (sekarang Istana
Negara). Dikarenakan ruang Istana Riswijk yang kecil hingga tidak
dapat menampung tamutamu undangan dalam upacara resmi
kenegaraan, maka atas inisiatif Gubernur Jendral J.W Vans
Lansberge tahun 18731879 dibangunlah sebuah istana baru
dalam lahan yang sama. Istana ini kemudian diberi nama Istana
Gambir (sekarang Istana Merdeka). Mulanya, yang saat ini menjadi
istana Negara juga sebuah Landhuis (“Rijk wijk”) yang oleh
pemiliknya sering disediakan sebagai tempat bermalam, bialaman
Gubernur Jendral berdinas di Jakarta. Bangunan itu, berbatasan
dengan sebuah lapangan bekas tempat penggalian tanah untuk
pebrik bata ketika Batavia masih berpusat di Kota (lapangan itu
sekarang menjadi lapangan merdeka) (Sumintardja,1978:119).
Saat ini, keseluruhan wilayah
Weltevreden
dengan
Koningsplain sebagai pusatnya menjadi wilayah administratif
Kotamadya Jakarta Pusat sekaligus Pusat Pemerintahan Negara
11
Republik Indonesia. Beberapa bangunan bersejarah masa lalu
seperti Paleis van Daendels (Istana Daendels), Schouwburg (gedung
kesenian Jakarta), Istana Riswijk (Istana Negara), Istana Merdeka,
gedung Museum Nasional, Waterloplein (Kawasan Lapangan
Banteng) dan Stasiun Weltevreden (Stasiun Gambir) tetap
dipertahankan dan terawat cukup baik. Sementara wilayah yang
tidak kalah penting seperti kawasan Senen, Tanah Abang dan
kawasan MentengGondangdia yang merupakan kota taman
pertama dalam tata kota modern selain dari jalur Thamrin
SudirmanKuningan yang dikembangkan di era presiden Soekarno
terus tumbuh mengikuti perkembangan zaman.
Menurut Sunjayadi, salah satu faktor arus migrasi yang
terjadi di Batavia adalah adanya potensi di bidang periwisata yang
menawarkan Hindia Belanda, terutama Jawa, sebagai salah satu
objek wisata dunia dengan tagline (semboyan) yang dikenal dengan
Mooi Indie (Onghokham,2009:163—164).
Nieuwe Batavia
dapat dikatakan telah mengalami
tranformasi menjadi kota yang kosmopolitan dengan aspek yang
melingkupinya. Nieuw Batavia dapat disejajarkan dengan kota
kota besar dunia seperti Paris dan London. Kota ini menjadi
semacam magnet dengan segala hal yang menjadi ciri kota urban
tersedia di Batavia, mulai dari pusat pemerintahan, pusat
kebudayaan, peluang bisnis, pendidikan, hiburan hingga sektor
pariwisata.
2.2
Infrastruktur Berupa Jalan Raya Di Batavia Pada Masa
Hindia Belanda
Infrastruktur di Pulau Jawa khususnya di Batavia sudah
ada sejak zaman kolonial, jika kita berbicara tentang infrastruktur
12
maka kita akan mengingat satu tokoh Belanda atau koloni yang
telah membuka jalan raya pertama di Nusantara yaitu
Gouverneurgeneraal
(Gubernur Jenderal)
Herman Willem
Daendels. Daendels adalah perintis infrastruktur yang sangat luar
biasa dampaknya bagi kemajuan ekonomi di Jawa, yakni
pembuatan Grote Postweg (Jalan Raya Pos) atau populer disebut
Jalan Daendels.
Kompas (2008:16) menjelaskan sebagai berikut.
Jalan raya yang membentang dari Anyer hingga
Panarukan dibangun oleh Herman Willem Daendels
ketika menjabat sebagai GubernurJenderal di Jawa
pada 14 Januari 1808 sampai dengan 16 Mei 1811.
Berdasarkan dokumen yang ada, Daendels diangkat
menjadi gubernur Jenderal di wilayah Hindia Timur
pada 28 Januari 1807. Sebagai Gubernur Jenderal ia
merupakan wakil kuasa negara Belanda, di bawah
perintah menteri Perdagangan dan Koloni. Ia akan
menjalankan kekuasaan tertinggi atas semua wilayah,
benteng pemukiman, tempat pejabat negara di Asia
dan sebagai penguasa tertinggi angkatan darat dan
angkutan laut di wilayah Asia.
Sejak menjabat menjadi Gubernur Daendels pernah
mengeluarkan dua kebijakan penting yang menjadi titik tolak
perkembangan infrastruktur di Jawa antara lain Pembangunan
kota modern terutama di Batavia (Jakarta), Buitenzorg (Bogor),
Bandung, Semarang, Surabaya, serta pembangunan jalan raya
yang menghubungkan ujung barat dan ujung timur Jawa dan
memfungsikannya sebagai jalur pos. Kompas (2008:18)
menjelaskan “Rencana pembangunan jalan raya yang
menghubungkan ujung barat dan timur Jawa dilaksanakan tidak
hanya untuk memenuhi kepentingan pertahanan militer semata.
Pembangunan jalan ini juga memiliki fungsi memenuhi
kepentingan ekonomi”.
Jadi, Daendels menginginkan penghasilan para petani
bertambah, hasil panen naik, namun dengan kondisi jalan yang
rusak maka petani akan rugi dengan biaya angkut yang lebih
13
mahal. Dengan adanya jalan raya ini maka pengangkutan hasil
bumi akan lebih mudah menuju pelabuhanpelabuhan, selain itu
jalan raya ini berfungsi sebagai sarana komunikasi pos karena
sulitnya komunikasi antara Batavia dengan kerajaan serta
penguasa setempat, dan terutama untuk tujuan strategi dan
kepentingan militer yaitu mobilisasi pasukan dengan cepat demi
mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris.
Hubertus (2008:284) menjelaskan sebagai berikut.
“Untuk meningkatkan komunikasi, setelah kini
Britania sepenuhnya mengendalikan laut, satu jalan
raya dibangun dari Banten di barat sampai Pasuruan
di timur. Sebagian besar pekerjaan dilakukan petani
yang dipanggil untuk bekerja rodi. Jalan raya itu
selesai dalam waktu satu tahun, dengan
mengorbankan nyawa orang dalam jumlah besar.”
Jadi saat itu Daendels memerintah dengan tangan besinya,
ia dikenal sangat kejam dikalangan pribumi, jalan raya itu
diselesaikan hanya dalam waktu setahun saja (1808). Jalan Raya
Pos menghubungkan kotakota berikut: Anyer Serang
Tangerang Jakarta Bogor Sukabumi Cianjur Bandung
Sumedang Cirebon Brebes Tegal Pemalang Pekalongan
Kendal Semarang Demak Kudus Rembang Tuban Gresik
Surabaya Sidoarjo Pasuruan Probolinggo Panarukan.
Gambar 2. Jalan Raya Pos yang dibangun pada masa pemerintahan
Gubernur Jendral Daendels. Sumber : www.wikipedia.org
Pembangun jalan yang membentang antara Pantai Anyer
hingga Panarukan, direalisasikannya dengan mewajibkan setiap
14
penguasa pribumi lokal untuk memperdayakan rakyat, dengan
target pembuatan jalan sekian kilometer. Tenaga yang dikerahkan
untuk pembuatan jalan bukan berasal dari wilayah di sekitar jalan
karena penduduk yang tinggal disekitar jalur jalan raya ini sedang
panen komoditas yang sangat diperlukan pemerintah kolonial.
Oleh karena itu, mereka diberi upah yang jumlahnya bervariasi
disesuaikan dengan kondisi medannya. Pelaksanaan pemberian
upah dibawah tanggung jawab Komisaris Urusan pribumi.
Komisaris Urusan Pribumi diizinkan mengambil peralatan yang
diperlukan dari gudanggudang di Batavia. Bersama para
pengawas dan para bupati, peralatan itu dibagikan kepada para
pekerja untuk memudahkan pembangunan (Kompas, 2008:2122).
Jadi setelah pembangunan sampai di Cirebon, Daendels
menemukan banyak masalah seperti lahan rusak, pemberontakan,
dan terjadi kekosongan kas. Lalu ia memerintahkan untuk
melanjutkan pembangunan dari Cirebon ke Semarang ke
Surabaya ke Panarukan tetapi dengan meminta bantuan kepada
Bupati untuk mengerahkan kerja wajib .
Toer (2005:20) menjelaskan bahwa pada mulanya Daendels
memerintahkan perbaikan dan pelebaran jalan AnyerBatavia.
Pertama kali Daendels mendarat di Anyer ia melalui jalan ini, jadi
jalan ini sudah ada sebelumnya. Ia menempuh jarak itu dalam
waktu 4 hari. Setelah dilebarkan dan diperkeras jalannya maka
perjalanan dapat ditempuh dalam sehari saja.
Pembangunan jalan raya dari Anyer dilanjutkan 25 km
kearah timur hingga sampai ke Batavia, kota yang dibangun oleh
Jan Pieterszoon Coen. Dialah yang memeperluas Batavia lebih ke
pedalaman. Waktu itu Batavia, yang terkepung oleh rawarawa
pantai sangat tidak sehat. Dalam pembangunan yang dilakukan
Coen sepertiga pekerjanya tewas terkena malaria, sehingga
Daendels memerintahkan untuk menghancurkan bentengbenteng
15
kota tersebut, dan untuk menangkal serbuan Inggris tanpa
bentang kota, ia pusatkan pertahanannya lebih ke selatan
Weltevreden, ke Meester Cornelis, yang kemudian disebut Mester,
dan kemudian dinamai Jatinegara (Toer,2005:49).
Disini dapat disimpulkan bahwa jalanjalan di Batavia
semasa Daendels telah memenuhi syarat untuk pengangkutan
pasukan militer, logistik, dan alatalat perang dari Mester sampai
ke pelabuhan Sunda Kelapa. Dengan terpusatnya militernya di
selatan Weltevreden, pembangunan mulai tumbuh disana. Namun
setelah pemerintahan Jepang mulai menguasai yaitu tiga setengah
tahun Jakarta (Batavia) sudah tidak terurus lagi kebersihannya,
aspal jalanan terkelupas, banyak jalan aspal yang berlubang
karena beban truk, tank, dan panser Jepang.
2.3
Infrastruktur Berupa Transportasi Di Batavia Pada Masa
Hindia Belanda
Perkeretaapian di Indonesia baru dimulai pada tahun 1860
an. Perusahaan kereta api ditangani oleh dua instansi yaitu oleh
pihak pemerintah seperti Staad Spoorwegen dan pihak swasta
seperti Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij, dan
sebagainya (Handinoto, 1999:48).
Nederlandsche Indishce
Spoorweg Maatschappij (NISM) merupakan perusahaan swasta
yang yang menjadi pionir dalam perkeretaapian Indonesia. Jalur
kereta yang dibangun adalah lintas SemarangVorstenlanden
Willem I dan BuitenzorgBatavia masingmasing tahun 1870 dan
1873 (Departemen Penerangan RI,1978:32). Jaringan jalan kereta
api di Jawa dibangun antara tahun 1870an sampai tahun 1920an.
Sebenarnya gagasan pembangunan jalan kereta api di Jawa sudah
16
muncul sejak tahun 1840, tetapi gagasan tersebut baru menjadi
kenyataan pada tahun 1871. Jalur pertama jalan kereta api di
Jawa adalah antara Semarang dengan Kedung Jati, yang
diresmikan pada tahun 1871. Kemudian disusul dengan jalur
Batavia Buitenzorg (JakartaBogor) yang dibuka pada tahun 1873
dan menyusul jalur SurabayaPasuruan pada tahun 1878. Pada
tahun 1884, diselesaikan jalur BuitenzorgBandung (Bogor
Bandung), dan kemudian disusul hubungan SurabayaSolo dan
Semarang. Sepuluh tahun kemudian pada tahun 1894, jalur jalan
kereta api SurabayaBatavia melalui Maos, Yogyakarta dan Solo
berhasil diselesaikan. Dan pada tahun 1912 jalur alternatif kedua
antara SurabayaBatavia, melalui Cirebon dan Semarang berhasil
diselesaikan (Handinoto, 1999:48). Beberapa faktor menghambat
terselesaikannya proyek tersebut, yakni ancaman bangkrut tahun
1869 dan 1870, selain itu juga disebabkan oleh faktor alam salah
satunya gempa bumi. Pemerintah memberikan bantuan kepada
NISM tahun 1871 (Departemen Penerangan RI, 1978:32). Kereta
berfungsi sebagai pengangkut hasil bumi dari gudang ke
pelabuhan selain itu juga sebagai alat strategi untuk membendung
pemberontakan yang terus terjadi. Dalam perkembangannya
menteri P.P. van Bosse mengusulkan agar Depok bersambung
dengan lintasan BuitenzorgBatavia. Usul tersebut ditolak oleh
anggota kabinet Thorbecke, sementara itu kondisi keuangan NISM
belum membaik. Kemudian negara dipercaya untuk menangani
konstruksi dan eksploitasi kereta api yang diatur dalam Undang
Undang bulan April tahun 1875. Proyek pertama yang dikerjakan
oleh pemerintah adalah jalur SurabayaPasuruanMalang.
17
Gambar 3. Jaringan jalan Kereta Api pada tahun 1888 dan tahun 1925,
di Pulau Jawa seperti yang terlihat di peta. Jaringan jalan Kereta Api di
Jawa merupakan salah satu jaringan yang terlengkap di Asia pada
jamannya.
Sebelum kereta api ada di Batavia, orang Belanda maupun
pribumi menggunakan transportasi berupa trem kuda, akan tetapi
orang Eropa menganggap trem kuda menurunkan kelas sosial
mereka, karena siapapun boleh naik dan tidak membedakan ras
serta kelas sosial mereka. (Blackburn, 2011:71). Kendaraan lain
yang lebih popular adalah layanan trem uap yang menggantikan
trem kuda pada 1881. Orang miskin—maksudnya orang Indonesia
—naik dalam gerbong terpisah. Begitu populernya trem ini
sehingga layanan yang awalnya berlangsung setiap 10 menit, pada
1889 harus diubah menjadi setiap 7,5 menit.
Dengan dibukanya jalur Batavia Buitenzorg pada tahun
1871, membuat para penduduk Batavia semakin antusias untuk
naik kereta api karena membuat para penumpang terhindar dari
debu yang beterbangan (Ngadimin,2013). Dalam sebuah penelitian
tentang perkembangan kereta api di Batavia, disebutkan bahwa
mulai 1 Maret 1888, SS dihapuskan dan digabung dengan
Departemen van BOW (pekerjaan umum). Tahun 1909, jawatan
18
kereta api dan trem negara digabungkan dengan Gouverments
Beddrijven atau Departemen Perusahaan Negara. Ketika trem
berlokomotif uap menggantikan trem kuda yang ada di Batavia,
kereta api dalam pengelolaan Nederladsche Indische Tramweg
Maatschappij (NITM) tahun 1881, jalur trem uap ada disepanjang
Tanah Abang, Rijwijk, Kramat, dan Meester Cornelis (Jatinegara).
Tahun 1899 trem berlokomotif listrik mulai ada di Batavia
dibawah kelola Batavia Electriche Tram Maatschappij (BETM).
Sedangkan kereta listrik pertamakali beroperasi tahun 1925
dengan jalur
WeltevredenTandjoengpriok (Ngadimin,2013)
Pembangunan jalur kereta di Tanjung Priok diakibatkan karena
pintu masuk ke Batavia hanya ada di pelabuhan Tanjung Priok.
Menurut Widayanti (2012:6—7) menjelaskan bahwa;
Stasiun Tanjung Priuk dibangun pertama kali pada
tahun 1885 tepatnya satu kilometer di sebelah utara
bangunan yang ada sekarang. Dikarenakan aktivitas
dan tingkat keramaian di Pelabuhan Tanjung Priuk
semakin melonjak mengakibatkan stasiun yang
pertama tidak memadai lagi untuk menampung
jumlah penumpang dan barangbarang kiriman yang
terus meningkat dari dalam maupun luar negeri.
Sedangkan arsiteknya adalah C.W. Koch yang
merupakan insinyur utama dari StaatsSpoormegen
(SS perusahaan kereta api Negara Hindia Belanda
yang berdiri sejak 6 April 1875. Stasiun Tanjung Priuk
dibangun semasa pemerintahaan Gubernur Jendral
A.F.W Indeenburg tahun 1914, dan merupakan
stasiun pengganti dari stasiun lama yang dianggap
tidak lagi memadai untuk menampung arus manusia
dan barang. Stasiun Tanjung Priuk pertama kali
dibuka untuk umum pada tanggal 6 April 1925
bertepatan dengan ulang tahun ke50 Staats
Spoorwegen (instansi perkeretaapian Belanda) dengan
jalur kereta listrik (trem) Tanjung Priok – Mesteer
Cornelis menggunakan lokomotif listrik seri SS.3200
(lokomotif listrik pertama yang dioperasikan di
Indonesia).
Stasiun ini dibangun untuk mengakomodir perdagangan
dan wisatawan Eropa di Batavia karena pada masa lalu wilayah
Tanjung Priuk yang terletak di bagian utara Jakarta sebagian
19
besar adalah hutan dan rawarawa yang berbahaya sehingga
dibutuhkan sarana transportasi yang aman untuk
menghubungkan Pelabuhan Tanjung Priuk dengan kawasan pusat
kota melalui Batavia Centrum (Stasiun Jakarta Kota). Meskipun
bukan merupakan stasiun pusat, stasiun Tanjung Priuk dibangun
di atas tanah seluas 46.930 m2 dengan luas bangunan 3.768 m2
yang megah dan mewah. Memiliki delapan peron sehingga nyaris
sebesar stasiun Jakarta Kota.
Fungsinya pada masa itu tidak hanya untuk stasiun saja
tetapi juga menyediakan penginapan bagi penumpang yang akan
menunggu kedatangan kapal laut untuk melanjutkan perjalanan.
Kamarkamar penginapan tersebut terletak di sayap kiri bangunan
yang khusus disediakan untuk penumpang Belanda dan orang
Eropa, serta dilengkapi dengan ruang di bawah tanah yang
diperkirakan berfungsi sebagai gudang logistik.
Stasiun Tanjung Priuk diresmikan penggunaaannya tepat
pada ulang tahun ke50 Staats Spoorwegen (SS) tanggal 6 April
1925 dan bersamaan dengan pembukaan jalur Tanjung Priuk
Beos Jakarta Kota) yang dilayani kereta dengan lokomotif listrik
seri ESS 3200 (buatan Werkspoor, Belanda) serta jaringan listrik
aliran atas (LAA) yang terbentang mulai dari Tanjung Priuk
Bogor, dan jalur lingkar sekitar Jakarta. Adapun stasiunstasiun
di Batavia yaitu stasiun Jakarta Kota (1929), stasiun Pasar Senen
(1916), serta stasiun Cikampek (1894). Jalur BataviaWeltevreden
dilayani oleh dua jawatan yang berbeda yaitu Staatsspoorwegen
(SS) sebagai milik pemerintah dan Nederlandsch Indische
Spoorweg Maatschappij (NISM) yang dikelola oleh swasta.
Para turis yang datang ke Batavia memanfaatkan adanya
jalur kereta ini untuk mengantarkan mereka ke wiayah
Weltevreden. Ada trayek Tandjong PriokWeltevreden melewati
stasiun Kemayoran dan ada Tandjong PriokWeltevreden yang
20
melewati stasiun Koningsplein. Kereta api pagi berangkat dari pukul
06.14 yakni rute Tandjong PriokBatavia, sedangkan kereta api
terusan berangkat pukul 09.06 menuju Koningsplein. Rute
Tandjong PriokKoningsplein dapat ditempuh dalam waktu 38
menit, dengan biaya 0,6 gulden untuk kelas satu dan 0,35 gulden
untuk kelas dua.
Batavia Zuid (stasiun selatan) dibangun tahun 1870 dan tidak
berumur panjang karena kemudian ditutup tahun 1926. Batavia
Zuid (stasiun selatan) sekarang keberadaanya digantikan oleh
Stasiun Kota karena stasiun Batavia Zuid dihancurkan dan
kemudian dibangun Stasiun Kota, yang letaknya selisih 200 meter
dari posisi awal, stasiun ini dirancang oleh arsitek Belanda yang
bernama Frans Johan Louwerens Ghijsels. Selain itu juga terdapat
Batavia Noord (Batavia Utara) yang awalnya merupakan milik NISM
merupakan stasiun yang terminus yang kemudian diserahkan
kepada SS.
2.4
Infrastruktur Berupa Pelabuhan Di Batavia Pada Masa
Hindia Belanda
Nama Sunda Kelapa sudah dikenal sejak abad ke12
masehi. Pada masa itu pelabuhan ini sudah dikenal sebagai
pelabuhan lada miliki kerajaan Hindu Sunda terakhir di Jawa
Barat, Pakuan Pajajaran yang berpusat di sekitaran Kota Bogor
sekarang. Para pedagang Nusantara yang singgah di Sunda Kelapa
diantaranya berasal dari Palembang, Tanjung pura, Malaka,
Makasar dan Madura dan bahkan kapalkapal asing dari Cina
Selatan, Gujarat atau India Selatan, dan Arab sudah berlabuh di
pelabuhan ini membawa barangbarang sperti porselen, kopi,
sutra, kain, wangiwangian, kemenyan, kuda, anggur, dan zat
21
warna untuk ditukar dengan lada yang pada masa itu menjadi
komoditas ungguksn pada saat itu.
Bangsa Eropa yang pertama kali menginjakkan kakinya di
Sunda Kelapa ialah Portugis. Pada saat Albuquerque menguasai
Malaka merencanakan untuk mengirim tiga armada untuk
membangun monopoli Portugis. Dua armada berhasil di kirim ke
Maluku (untuk mencari cengkih), dan ke Sunda (untuk mencari
lada). Armada yang dikirim ke pelabuhan Sunda Kelapa terdiri
dari empat kapal layar yang dipimpin de Alvin. Sunda Kelapa
adalah pelabuhan kerajaan Pakuan Pajajaran.
Menurut catatan Pires dalam buku Sejarah Nasional
Indonsia (Soejono,2009:15−16), ia menjelaskan bahwa.
“Sunda memiliki beras untuk dijual sampai sepuluh
jung setiap tahun, sayuran yang tidak terhingga
macamnya, daging yang tak terhitung, celeng,
kambing, domba dan sapi dalam jumlah yang besar,
memiliki anggur serta buahbuahan. Sunda sama
kayanya dengan Jawa. Orang Sunda sering pergi ke
Jawa untuk menjual beras dan bahanbahan
makanan, dan setiap tahun dua atau tiga jung dayang
dari Malaka ke Sunda untuk mengangkut budak
belian, beras, lada. Setiap tahun banyak pangajava
dari Sunda ke Malaka dengan membawa barang
barang dagangan tersebut, dan dari sana mengangkut
barangbarang berikut ke Sunda”
Dari penjelasan Pires tersebut dapat disimpulkan bahwa
pada saat itu Sunda telah melakukan perdagangan dengan
Malaka, dan tanah Sunda memiliki kekayaan yang hampir sama
dengan Jawa. Armada de Alvin yang datang ke Sunda Kelapa atas
permintaan Raja Surawisesa, yang merasa terancam
keamanannya oleh Cerebon yang telah menganut Islam. Ia
meminta agar Portugis membangun benteng di wilayahnya untuk
menghindari bahaya tersebut, dan sebagai imbalan Portugis akan
mendapat prioritas dalam membeli lada.
Namun pembangunan benteng tersebut tidak pernah
terealisasikan, disebabkan karena angin topan yang berlangsung
22
beberapa hari, dan dikarenakan oleh pasukan Faletehan yang
menghalanghalangi pendaratan pasukan Portugis. Jadi, Portugis
tidak pernah mengusai Kerajaan Sunda dan Sunda Kalapa. Akan
tetapi Portugis dari Malaka masih tetap berdagang.
Armada kapal asal Belanda dibawah pimpinan Cornelis de
Houtman tiba di kali Sunda Kelapa (Jayakarta) pada 1596 dengan
tujuan yang sama, mencari rempahrempah. Rempahrempah
pada saat itu menjadi komoditas unggulan di Belanda karena
berbagai khasiatnya seperti obatobatan, penghangat badan, dan
bahan wangiwangian. Meskipun pada awalnya untuk berdagang,
namun pada akhirnya tujuan itu bergeser menjadi upaya
penguasaan wilayah. Melihat lokasi Jayakarta yang strategis, VOC
berambisi menguasainya. Pada tahun 1610 Belanda membuat
perjanjian dengan Pangeran Jayawikarta atau Wijayakarta
penguasa Jayakarta dan membuat suatu perjanjian. Di dalam
perjanjian tersebut Belanda diijinkan untuk membuat gudang dan
pos dagang di timur muara sungai Ciliwung.
Setelah perjanjian disetujui Belanda pun mendapat keuntungan
yang sangat besar akibat perdagangan rempahrempah yang
mereka lakukan di negara asal, Belanda akhirnya melakukan
ekspansi dan kemudian mengganti nama Jayakarta menjadi
Batavia.
Dalam karyanya yang berjudul Itinerario, Linschoten
menulis:
Pelabuhan utama di pulau ini (Jawa) adalah Sunda
Calapa….Di tempat ini….didapati sangat banyak lada
yang bermutu lebih baik daripada lada India atau
Malabar…juga banyak terdapat kemenyan, Benicien
atau Bonien atau bunga pala, kamper, dan juga
permata intan. Tempat ini dapat ditemui tanpa
kesulitan kerena orang Portugis tidak sampai kesini,
karena orang Java (Jawa) berbondongbondong datang
sendiri sampai ke Malaka untuk menjual barang
barang dagangannya.
23
Di bawah kekuasaan Belanda, pelabuhan Sunda Kelapa
direnovasi, yang semula pelabuhan Sunda Kelapa yang tadinya
hanya memiliki kanal sepanjang 810 m, diperbesar hingga menjadi
1.825 m. Mulai Masuk abad ke19, pelabuhan Sunda Kelapa
mulai sepi akibat terjadinya pendangkalan air di daerah sekitar
pelabuhan sehingga menyulitkan kapal dari tengah laut yang
hendak berlabuh, padahal saat itu Terusan Suez baru saja dibuka
dan seharusnya menjadi peluang besar bagi Pelabuhan Sunda
Kelapa untuk dapat berkembang lagi. Melihat potensi ini, Belanda
mulai mencari alternatif lain untuk mengembangkan pelabuhan
baru. Perhatian Belanda untuk mengembangkan pelabuhan baru
tertuju pada daerah Tanjung Priok. Tanjung Priok kemudian
berhasil berkembang menjadi pelabuhan terbesar di Indonesia,
peran pelabuhan Sunda Kelapa pun tergantikan oleh Pelabuhan
Tanjung Priok ini. Keberadaan Stasiun Tanjung Priuk tidak dapat
dipisahkan dengan keberadaan Pelabuhan Tanjung Priuk yang
dibangun pada akhir abad ke19 oleh Gubernur Jendral Johan
Wilhelm van Lansberge. Pelabuhan Tanjung Priuk merupakan
pintu gerbang kota Batavia serta Hindia Belanda menggantikan
pelabuhan Sunda Kelapa yang tidak lagi memadai (Widayanti,
2012:7).
Pada awalnya pelabuhan Taanjung Priok ini di bangun sejak
pertengahan 1630an. Pembangunan pelabuhan ini baru dimulai
pada tahun 1877 oleh Gubernur Jenderal Johan Wilhelm van
Lansberg. Ketika dipilih daerah Tanjung Priok, kalangan bisnis
yang berpusat di Kali Besar dan Pasar Ikan banyak yang
menentang, hal ini dikarenakan karena jarak antara Sunda Kelapa
dan Tanjung Priok 9 km. Pada tahun 1912 pelabuhan Tanjung
Priok dilakukan perluasan karena hampir 200 kapal pada tahun
itu menanti giliran untuk bersandar ke dermaga. Deret waktu awal
pembangunan pelabuhan Tanjung Priok, kolam pelabuhan I yang
24
pembangunannya dimulai 1877 dirampungkan pada tahun1883.
Bersamaan dengan itu disisi lain dibangun pula bendungan
sebelah barat sepanjang 1.765 meter dan bendungan sebelah
timur sepanjang 1.963 meter. Kedua bangunan ini di bangun
untuk penahan gelombang, sehingga dengan mudah dan aman
kapalkapal untuk bersandar di dermaga.
Pada tahun 1912 alur pelayaran diperluas dari 250 meter
menjadi 300 meter dan diperdalam dari 8 meter menjadi 9,5
meter. Gudang yang ketika itu jumlahnya 7 buah diperluas dan
dermaga baru dibangun sepanjang 121 meter, ini masih belum
cukup, karena pelayanan di laut harus diimbangi dengan
pelayanan di laut.
Pada tahun 1914, di mulai pembangunan Pelabuhan II
pemborong bngunannya adalah Volker. Pembangunan pelabuhan
II ini selesai pada 1917, dengan panjang kade pelabuhan sekitar
100 meter dan kedalaman air 9,5 meter. Sedangkan bendungan di
luar dirubah dan diperpanjang, sedang lebar kade 15 meter untuk
double spoor kereta api dan krankran listrik. Pada tahun1917,
dibangun pula tempat penyediaan bahan bakar oleh BPM dan
Shell serta dibangun tempat penyimpanan batubara oleh NISHM.
25
BAB III
PENUTUP
1.1
Kesimpulan
Setelah VOC menentukan pusat perdagangannya di pulau
Jawa, berkembang pula kota Batavia. Belanda tahun 1619,
Beland
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Hindia Belanda adalah masa dimana negara ini masih
berada dibawah kekuasaan Belanda. Tahun 1602 VOC berdiri dan
pusat perdagangan dipindahkan dari Ambon ke Jayakarta. Batavia
adalah nama Jayakarta setelah diduduki oleh VOC sebagai pusat
perdagangan dan administrasi. Batavia didirikan oleh Jan
Pieterszoon Coen pada 1619 sebagai sebuah benteng dan pos
dagang di sebuah kota pelabuhan, Kelapa, yang jatuh ke tangan
Banten dan waktu itu bernama Jayakarta. Orang Belanda
membangun Batavia seperti negeri Belanda dengan banyak kanal
kanal dan rumahrumah berarsitektur Belanda.
Batavia merupakan salah satu kota pelabuhan terpenting di
era kolonial. Eksistensi orang Belanda di Jacatra membawa
berbagai perubahan ekologi kota, baik secara infrastruktur, sosial,
politik, ekonomi, dan budaya. Perpindahan kekuasaan dari
pemerintah lokal ke pemerintah kolonial ditandai dengan adanya
perubahan nama kota dari Jayakarta menjadi Batavia. J.P. Coen
dengan berbagai kebijakannya mencoba untuk menghadirkan
Batavia layaknya Amsterdam di Nusantara dengan berbagai
perubahan infraksturk di berbagai aspek. Perubahan tersebut
berdampak pada perubahan wajah kota Batavia yang semula
dimitoskan sebagai kota yang membawa wabah dan bencana telah
bertransformasi menjadi kota elite, strategis, dan krusial bagi
perkembangan jaringan bisnis di Hindia Belanda dan dunia pada
awal abad XX.
Sejarah Batavia juga terkait dengan perkembangan kereta
api. Di Indonesia perkembangan kereta api dimulai pada masa
1
pemerintahan Kolonial Belanda diawali sekitar tahun 1864 dengan
dibangunnya jalur rel kereta api dari Semarang sampai Tanggung,
Jawa Tengah dan selanjutnya perkembangan kereta api di masa
itu begitu pesat dengan dibangunnya berbagai jalur dan jaringan
kereta api yang menghubungkan sejumlah kota di Pulau Jawa,
Sumatera dan Sulawesi. Di Batavia juga terdapat pelabuhan
Tanjung Priok yang masih memiliki keterkaitan dengan stasiun
Tanjung Priok sebagai satukesatuan. Selain itu, untuk
mendukung segala kegiatan juga dibangun jalanjalan yang
menghubungkan antara kawasan di Batavia. Jalan Pos yang
dibangun masa Daendels juga melalui kawasan Batavia. Jalan
jalan di Batavia memiliki pola yang unik dan sampai sekarang
jalan tersebut disekelilingnya terdapat bangunanbangunan
peninggalan masa Hindia Belanda.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat disusun rumusan
masalah sebagai berikut.
1.2.1 Bagaimana infrastruktur berupa bangunan di Batavia pada
masa Hindia Belanda?
1.2.2 Bagaimana infrastruktur berupa jalan raya di Batavia pada
masa Hindia Belanda?
1.2.3 Bagaimana infrastruktur berupa transportasi di Batavia
pada masa Hindia Belanda?
1.2.4 Bagaimana infrastruktur berupa pelabuhan di Batavia pada
masa Hindia Belanda?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka dapat disusun
tujuan sebagai berikut.
1.3.1 Untuk mengetahui infrastruktur berupa bangunan di
Batavia pada masa Hindia Belanda.
1.3.2 Untuk mengetahui infrastruktur berupa jalan raya di
Batavia pada masa Hindia Belanda.
2
1.3.3 Untuk mengetahui infrastruktur berupa transportasi di
Batavia pada masa Hindia Belanda.
1.3.4 Untuk mengetahui infrastruktur berupa pelabuhan di
Batavia pada masa Hindia Belanda.
3
BAB II
PEMBAHASAN
Berdasarkan latar belakang di atas, maka di dalam
pembahasan ini akan diuraikan lebih lanjut mengenai berbagai
infrastruktur yang ada di Batavia pada masa kolonial Hindia
Belanda dari abad 16 sampai awal abad 20 masehi, yakni sebagai
berikut.
2.1
Infrastruktur Berupa Bangunan Di Batavia Pada Masa
Hindia Belanda
Jayakarta sekitar 1605—1608, sebelum dihancurkan oleh
Belanda, menampilkan strukturstruktur awal prakolonial
sebelum Batavia didirikan. Bangunan dan struktur kolonial di
Jakarta mencakup bangunanbangunan yang didirikan selama
masa kolonial Belanda di Indonesia. Periode (dan gayanya) yang
menggantikan periode sebelumnya ketika Jayakarta/Jaccatra,
yang dikuasai Kesultanan Banten, dihancurkan sepenuhnya dan
digantikan oleh kota dinding Batavia. Menurut De Vries (dalam
Shahab,2010:211) Kota Batavia sebenarnya terletak di sebelah
selatan kastil yang juga dikelilingi oleh tembok dan dipotong
dengan banyak parit. Batas utara dan selatan kota Batavia pada
masa itu ialah terbentang dari pantai utara hingga ke wilayah
yang sekarang dikenal sebagai Javasche Bank. Kali Besar
membelah wilayah kota menjadi dua bagian, yakni barat dan
timur. Jelaslah bahwa sesudah Jaccatra direbut pada 1619, kota
itu tidak akan dapat bertumbuhkembang tanpa orangorang
Belanda yang mau menetap disana untuk jangka waktu yang
cukup lama (Niemeijer,2012:14). Gaya yang mendominasi masa
kolonial dapat dibagi menjadi tiga periode: Zaman Keemasan
4
Belanda (abad ke17 sampai akhir abad ke18), periode gaya
transisi (akhir abad ke18—abad ke19), dan modernisme Belanda
(abad ke20). Arsitektur kolonial Belanda di Jakarta dapat ditemui
di gedunggedung seperti rumah atau villa, gereja, gedung
pemerintahan, dan perkantoran di kota administratif Jakarta
Pusat dan Jakarta Barat.
Setelah VOC menentukan pusat perdagangannya di pulau
Jawa, maka batu pertama untuk memulai arsitektur kolonial
menjadi kenyataan. Dengan didirikannya
“Fort Batavia”,
berkembang pula kota Batavia (Sumintardja,1978:11). Jenis
arsitektur kolonial pertama berkembang dari permukiman
permukiman pertama Belanda pada abad ke17, masa ketika
permukiman umumnya dikelilingi dinding dengan nama “Fort
Batavia” yang melindungi dari serangan saingan dagang Eropa
atau pemberontakan pribumi. Tembok tebal mengelilingi kota
tersebut, dan di beberapa titik dibangun bastion (bangunan untuk
mengintai musuh) yang diberi nama dengan nama kota di
Belanda. Namanama tersebut antara lain bastion Amsterdam,
Middleburg, Rotterdam, Hollandia, Grimerbergen, dan lainlain
(Basundoro, 2012:88). Setelah Jayakarta (sebelumnya bernama
Sunda Kelapa) dikepung dan dihancurkan oleh Belanda tahun
1619, Belanda memutuskan agar kantor pusat Vereenigde Oost
Indische Compagnie dibangun di sini. Secara morfologis
Batavia/Jakarta sudah melewati lima tahap: pembangunan kota
lama, perluasan pinggiran kota hingga ke Weltevreden, penyatuan
Meester Cornelis, perluasan pinggiran kota ke Kebayoran, dan
tahap mutakhir pelebaran kawasan perkotaan (Grijns dan
Nas,2000:5). Simon Stevin ditugaskan oleh Heeren XVII untuk
merancang tata permukiman masa depan berdasarkan konsep
'kota ideal' nya. Hasilnya adalah kota persegi berdinding yang
5
dibelah Sungai Ciliwung. Sungai tersebut dialihkan ke sebuah
kanal lurus (kelak disebut Grote Rivier atau Kali Besar). Kota baru
ini bernama Batavia (sekarang Jakarta). Sesuai model Stevin,
benteng Batavia adalah bangunan paling mencolok di kota ini dan
melambangkan pusat kekuatan, sedangkan balai kota, pasar, dan
bangunan umum lainnya tersebarsebar. Di dalam benteng,
dibangun rumahrumah untuk para koloni, yang bentuknya mula
mula sederhana seperti rumah penduduk asli, tetapi kemudian
meniru rumahrumah dari negeri asal (Sumintardja,1978:115).
Tata kota Jakarta yang ini bisa dilihat di Kota Tua Jakarta melalui
penataan jalanan dan kanalkanalnya, meski banyak struktur asli
abad ke17 sudah dihancurkan atau digantikan oleh struktur
baru abad ke20.
Gambar.1 Kota Tua, terlihat Museum Fatahilah
Sumber : www.wikipedia.com
Pada tahun 1808, Daendels secara resmi memindahkan
pusat kota ke selatan karena kondisi kota terdalam yang
memburuk dan wabah malaria. Akibatnya, banyak bangunan dan
struktur dari periode ini terbengkalai. Karena masalah keuangan,
banyak bangunan dirubuhkan pada abad ke19 dan
6
reruntuhannya dipakai untuk membangun struktur baru di
selatan, seperti Istana Gubernur Jenderal Daendels (sekarang
Departemen Keuangan Indonesia) dari reruntuhan Kastil Batavia,
dan Batavia Theatre (sekarang Gedung Kesenian Jakarta) dari
reruntuhan Spinhuis. Menurut Sumintardja (1978:119) Ide itu
dilaksanakan oleh Gubernur Jendral Daendels, dengan perintah
membangun istana baru, pada tahun 1809. Bangunan yang besar,
tetapi tidak pernah menjadi istana karena kekurangan biaya dan
bergaya neorenainsance ini sekarang menjadi Departemen
Keuangan. Selanjutnya, tanahtanah kosong di Kota Tua
dimanfaatkan oleh strukturstruktur baru abad ke20. Struktur
abad ke17—18 yang tersisa dijadikan warisan budaya Jakarta,
misalnya Toko Merah, Gereja Sion, dan Museum Sejarah Jakarta.
Perencanaan kota Batavia, yang disusun atas perintah
Gubernur Jenderal Spex, selesai tahun 1670 dan selama 150
tahun rencana itu dipertahankan dan dilaksanakan
pembangunannya (Sumintardja,1978:117). Perencanaan Batavia
sebagai kota air ternyata kurang tepat, karena berada di daerah
tropis. Misalnya bangunan di muara Ciliwung semakin lama
semakin jauh dari laut, juga terusanterusan di dalam kota
mengganggu kesehatan dan sukar pemeliharaannya.
John Crawfurd dalam bukunya Descriptive Dictionary
of The Indian Islands and Adjacent Countries (1856)
menuliskan :
“Orang Belanda tidak memperhatikan perbedaan
sekitar 45 derajat garis lintang, waktu mereka
membangun sebuah kota menurut model kotakota
Belanda. Apalagi kota ini didirikan pada garis lintang
enam derajat dari khatulistiwa dan hampir pada
permukaan laut. Sungai Ciliwung yang dialirkan
melalui seluruh kota dengan sungaisungai yang
bagus, tidak lagi mengalir karena penuh endapan.
Keadaan ini menimbulkan wabah malaria, yang
7
terbawa oleh angin darat bahkan ke jalanjalan di luar
kota. Akibatnya, meluaslah penyakit demam yang
mematikan. Keadaan ini makin parah selama 80
tahun sesudah Batavia didirikan, oleh serentetan
gempa bumi hebat yang berlangsung pada tanggal 4—
5 November 1699. Gempa tersebut menyebabkan
terjadinya gunung longsor, tempat pangkal sumber air
ini. Aliran airnya terpaksa mencari jalan baru dan
banyak lumpur terbawa arus. Tidak pelak lagi, sungai
sungai di Batavia bahkan tanggultanggulnya penuh
dengan lumpur. Penanggulangan keadaan buruk itu
baru dilaksanakan waktu pemerintahan Marsekal
Daendels pada zaman Perancis tahun 1809 (zaman
Perancis sesungguhnya hanya berlangsung dari bulan
Februari sampai Agustus 1811). Penanggulangan
tersebut diteruskan sampai pada 1817 di bawah
pemerintahan Belanda yang ditegakkan kembali.
Banyak sungai di timbun dan kirikanan sungai
dibentengi tanggul sampai sejauh satu mil masuk
teluk. Operasi yang dilanjutkan oleh para insinyur
yang cakap, berhasil menormalkan arus sungai
tersebut. Sesudahnya Batavia tidak sehat daripada
kota pantai tropis manapun. Bagian kota yang baru
atau pinggiran kota tidak pernah mempunyai reputasi
jelek” (www.jakarta.go.id).
Hal ini terjadi sejak terjadinya bencana letusan Gunung
Salak tahun 1696 dan ditambah dengan kerusakan lingkungan
yang semakin parah akibat penebangan hutan besarbesaran guna
pembukaan lahan perkebunan di sepanjang aliran sungai
Ciliwung berpengaruh buruk bagi lingkungan disekitar Benteng
Batavia. Proses sedimentasi dan pendangkalan sungai membuat
meluapnya kotoran. Air menjadi keruh dan berbau, nyamuk dan
lalat berkembang biak dengan subur di rawarawa yang tergenang.
Sementara itu, pembangunanpembangunan Landhuis,
semakin banyak di Batavia sebelah selatan. Yang terpenting ialah
Landhuis Weltevreden dibangun tahun 1749 di sekitar jalan
Nusantara sekarang. Daerah ini kemudian dijadikan pusat kota
yang dipindahkan ke
situ dengan nama
Weltevreden
(Sumintardja,1978:119). Pemukimanpemukiman baru dengan
gedunggedung megah mulai banyak terbentuk disekitar
8
Molenvliet (Jalan Gajah Mada dan Jalan Hayam Wuruk),
Riswijkstraat (Jalan Majapahit), Noordwijk (Jalan Ir.Juanda) dan
Weltevreden (khusus untuk Weltevreden merupakan kawasan
peristirahatan elite bagi para pembesar VOC waktu itu). Diantara
gedunggedung dari abad tersebut yang masih dapat dilihat ialah
gedung yang kini digunakan sebagai Arsip Nasional di Jalan Gajah
Mada. Gedung ini dahulunya pernah menjadi tempat tinggal
Gubernur Jendral Renier de Klerk (1777—1780) (Kutoyo,1978:46).
Pada dasarnya wilayah Weltevreden bukanlah sebuah wilayah
baru dalam peta Batavia. Wilayah ini sudah terbentuk sejak abad
17, bermula saat Anthonij Paviljoun membangun vilavila
peristirahatan diatas lahan pemberian pemerintah kolonial tahun
1648 dengan nama Weltevreden. Kompleks perumahan inilah yang
merupakan cikal bakal kawasan Weltevreden (letak kompleks
tersebut saat ini berada disekitar Rumah Sakit Angkatan Darat
Gatot Subroto).
Kawasan Weltevreden mulai berkembang saat Justinus Vinck
(17331735) membangun dua buah pasar besar didalamnya (pasar
Senen
dan pasar Tanah Abang). Pasarpasar tersebut
dihubungankan oleh De Grote Zuiderweg (jalan tembus melalui
Kampung Lima–Perapatan–sampai Kramat–terus ke Senen, Jalan
Gunung Sari–Pasar Senen–Kramat).
Kemajuan kawasan
Weltevreden semakin pesat ketika Gubernur Jendral Jacob Mossel
memerintahkan penggalian Kali Lio (saluran yang menghubungkan
Sungai Ciliwung dengan parit memanjang yang sejajar dengan De
Grote Zuiderweg) guna memudahkan sarana transportasi air dari
dan menuju pasar. Selain itu, Jacob Mossel juga memerintahkan
dibangunnya sebuah villa besar di tikungan Ciliwung sebagai
tempat peristirahatan yang kemudian dibeli oleh penerusnya
Gubernur jendral Petrus Albertus Van Der Parra tahun 1767.
9
Rumah ini selanjutnya dinamakan Istana Weltevreden. Secara
bertahap Weltevreden menjadi semakin lengkap dengan hadirnya
gerejagereja baru, sekolah, klab dan lainlain yang semakin
mempertegas ciri khas kota Eropa modern. Di daerah pedalaman
Batavia, terutama pegunungan Priangan, dibangun perkebunan
perkebunan yang luas serta pesanggrahan indah tempat tinggal
juragannya, yang keindahannya melebihi hampir semua rumah di
Nieuw Batavia. Realitas tersebut mengembalikan citra dan gelar
“Ratu dari Timur” yang pernah disandang pada masa Oud Batavia
(Hanna,1988:191).
Tahun 1857 Istana Weltevreden berubah fungsi menjadi
Rumah Sakit Militer Kolonial (sekarang Rumah Sakit Angkatan
Darat Gatot Subroto). Diakhir masa kekuasaan VOC, Gubernur
Jendral terakhir VOC Gerardus van Overstraten (17961801)
memutuskan kawasan Weltevreden resmi dijadikan pusat
pemerintahan pengganti kota Batavia lama dengan Istana
Weltevreden sebagai jantungnya. Sejarah kawasan Weltevreden
terus berlanjut saat terjadinya transisi pemerintahan dari VOC ke
kolonial Hindia Belanda. Dibawah pemerintahan Gubernur
Jendral Hindia Belanda ke36 Herman Willem Daendels (1809),
Kastil Batavia yang merupakan figur kota lama Batavia diwilayah
Pasar Ikan dibongkar. Pusat pemerintahan digeser kewilayah baru
tidak jauh dari Weltevreden. Istana Weltevreden dibangun dimuka
sebuah lapangan (sekarang lapangan banteng) yang di sebelah
ujungnya berdiri tiang kemenangan perang Waterloo
(Sumintardja,1978:119). Wilayah ini kemudian dikenal dengan
nama Waterloplein (Lapangan Banteng) dengan Paleis van
Daendels/Het Groote Huis (sekarang menjadi Gedung Departemen
keuangan) sebagai pusat dan Meester Cornelis (Jatinegara) sebagai
basis pertahanannya. Akan tetapi, karena situasi peperangan
10
bangunan ini baru selesai dibuat semasa pemerintahan Gubernur
Jenderal Du Bus de Ghisignies (18261828).
Selain membuat Het Groote Huis, Deandels juga membangun
sebuah lapangan yang menjadi lapangan terbesar di Asia sebagai
tempat latihan para militernya. Lapangan ini dikenal dengan nama
Bufflesveld/Champs de Mars. Tahun 1818 lapangan ini berganti
nama menjadi Koningsplein/Lapangan Raja (sekarang Lapangan
Monas). Ketika era Daendels berakhir, perkembangan pusat
pemerintahan Batavia baru semakin terpusat diwilayah seputaran
Koningsplein. Hal ini ditandai dengan dibelinya Istana Riswijk
(Hotel van den GouverneurGeneraal) yang merupakan bekas
rumah peristirahatan J.A Van Braam di tahun 1821 oleh
pemerintah kolonial Belanda untuk digunakan sebagai gedung
pemerintahan dan lokasi penginapan para Gubernur Jenderal
Hindia Belanda saat berkunjung ke Batavia (sekarang Istana
Negara). Dikarenakan ruang Istana Riswijk yang kecil hingga tidak
dapat menampung tamutamu undangan dalam upacara resmi
kenegaraan, maka atas inisiatif Gubernur Jendral J.W Vans
Lansberge tahun 18731879 dibangunlah sebuah istana baru
dalam lahan yang sama. Istana ini kemudian diberi nama Istana
Gambir (sekarang Istana Merdeka). Mulanya, yang saat ini menjadi
istana Negara juga sebuah Landhuis (“Rijk wijk”) yang oleh
pemiliknya sering disediakan sebagai tempat bermalam, bialaman
Gubernur Jendral berdinas di Jakarta. Bangunan itu, berbatasan
dengan sebuah lapangan bekas tempat penggalian tanah untuk
pebrik bata ketika Batavia masih berpusat di Kota (lapangan itu
sekarang menjadi lapangan merdeka) (Sumintardja,1978:119).
Saat ini, keseluruhan wilayah
Weltevreden
dengan
Koningsplain sebagai pusatnya menjadi wilayah administratif
Kotamadya Jakarta Pusat sekaligus Pusat Pemerintahan Negara
11
Republik Indonesia. Beberapa bangunan bersejarah masa lalu
seperti Paleis van Daendels (Istana Daendels), Schouwburg (gedung
kesenian Jakarta), Istana Riswijk (Istana Negara), Istana Merdeka,
gedung Museum Nasional, Waterloplein (Kawasan Lapangan
Banteng) dan Stasiun Weltevreden (Stasiun Gambir) tetap
dipertahankan dan terawat cukup baik. Sementara wilayah yang
tidak kalah penting seperti kawasan Senen, Tanah Abang dan
kawasan MentengGondangdia yang merupakan kota taman
pertama dalam tata kota modern selain dari jalur Thamrin
SudirmanKuningan yang dikembangkan di era presiden Soekarno
terus tumbuh mengikuti perkembangan zaman.
Menurut Sunjayadi, salah satu faktor arus migrasi yang
terjadi di Batavia adalah adanya potensi di bidang periwisata yang
menawarkan Hindia Belanda, terutama Jawa, sebagai salah satu
objek wisata dunia dengan tagline (semboyan) yang dikenal dengan
Mooi Indie (Onghokham,2009:163—164).
Nieuwe Batavia
dapat dikatakan telah mengalami
tranformasi menjadi kota yang kosmopolitan dengan aspek yang
melingkupinya. Nieuw Batavia dapat disejajarkan dengan kota
kota besar dunia seperti Paris dan London. Kota ini menjadi
semacam magnet dengan segala hal yang menjadi ciri kota urban
tersedia di Batavia, mulai dari pusat pemerintahan, pusat
kebudayaan, peluang bisnis, pendidikan, hiburan hingga sektor
pariwisata.
2.2
Infrastruktur Berupa Jalan Raya Di Batavia Pada Masa
Hindia Belanda
Infrastruktur di Pulau Jawa khususnya di Batavia sudah
ada sejak zaman kolonial, jika kita berbicara tentang infrastruktur
12
maka kita akan mengingat satu tokoh Belanda atau koloni yang
telah membuka jalan raya pertama di Nusantara yaitu
Gouverneurgeneraal
(Gubernur Jenderal)
Herman Willem
Daendels. Daendels adalah perintis infrastruktur yang sangat luar
biasa dampaknya bagi kemajuan ekonomi di Jawa, yakni
pembuatan Grote Postweg (Jalan Raya Pos) atau populer disebut
Jalan Daendels.
Kompas (2008:16) menjelaskan sebagai berikut.
Jalan raya yang membentang dari Anyer hingga
Panarukan dibangun oleh Herman Willem Daendels
ketika menjabat sebagai GubernurJenderal di Jawa
pada 14 Januari 1808 sampai dengan 16 Mei 1811.
Berdasarkan dokumen yang ada, Daendels diangkat
menjadi gubernur Jenderal di wilayah Hindia Timur
pada 28 Januari 1807. Sebagai Gubernur Jenderal ia
merupakan wakil kuasa negara Belanda, di bawah
perintah menteri Perdagangan dan Koloni. Ia akan
menjalankan kekuasaan tertinggi atas semua wilayah,
benteng pemukiman, tempat pejabat negara di Asia
dan sebagai penguasa tertinggi angkatan darat dan
angkutan laut di wilayah Asia.
Sejak menjabat menjadi Gubernur Daendels pernah
mengeluarkan dua kebijakan penting yang menjadi titik tolak
perkembangan infrastruktur di Jawa antara lain Pembangunan
kota modern terutama di Batavia (Jakarta), Buitenzorg (Bogor),
Bandung, Semarang, Surabaya, serta pembangunan jalan raya
yang menghubungkan ujung barat dan ujung timur Jawa dan
memfungsikannya sebagai jalur pos. Kompas (2008:18)
menjelaskan “Rencana pembangunan jalan raya yang
menghubungkan ujung barat dan timur Jawa dilaksanakan tidak
hanya untuk memenuhi kepentingan pertahanan militer semata.
Pembangunan jalan ini juga memiliki fungsi memenuhi
kepentingan ekonomi”.
Jadi, Daendels menginginkan penghasilan para petani
bertambah, hasil panen naik, namun dengan kondisi jalan yang
rusak maka petani akan rugi dengan biaya angkut yang lebih
13
mahal. Dengan adanya jalan raya ini maka pengangkutan hasil
bumi akan lebih mudah menuju pelabuhanpelabuhan, selain itu
jalan raya ini berfungsi sebagai sarana komunikasi pos karena
sulitnya komunikasi antara Batavia dengan kerajaan serta
penguasa setempat, dan terutama untuk tujuan strategi dan
kepentingan militer yaitu mobilisasi pasukan dengan cepat demi
mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris.
Hubertus (2008:284) menjelaskan sebagai berikut.
“Untuk meningkatkan komunikasi, setelah kini
Britania sepenuhnya mengendalikan laut, satu jalan
raya dibangun dari Banten di barat sampai Pasuruan
di timur. Sebagian besar pekerjaan dilakukan petani
yang dipanggil untuk bekerja rodi. Jalan raya itu
selesai dalam waktu satu tahun, dengan
mengorbankan nyawa orang dalam jumlah besar.”
Jadi saat itu Daendels memerintah dengan tangan besinya,
ia dikenal sangat kejam dikalangan pribumi, jalan raya itu
diselesaikan hanya dalam waktu setahun saja (1808). Jalan Raya
Pos menghubungkan kotakota berikut: Anyer Serang
Tangerang Jakarta Bogor Sukabumi Cianjur Bandung
Sumedang Cirebon Brebes Tegal Pemalang Pekalongan
Kendal Semarang Demak Kudus Rembang Tuban Gresik
Surabaya Sidoarjo Pasuruan Probolinggo Panarukan.
Gambar 2. Jalan Raya Pos yang dibangun pada masa pemerintahan
Gubernur Jendral Daendels. Sumber : www.wikipedia.org
Pembangun jalan yang membentang antara Pantai Anyer
hingga Panarukan, direalisasikannya dengan mewajibkan setiap
14
penguasa pribumi lokal untuk memperdayakan rakyat, dengan
target pembuatan jalan sekian kilometer. Tenaga yang dikerahkan
untuk pembuatan jalan bukan berasal dari wilayah di sekitar jalan
karena penduduk yang tinggal disekitar jalur jalan raya ini sedang
panen komoditas yang sangat diperlukan pemerintah kolonial.
Oleh karena itu, mereka diberi upah yang jumlahnya bervariasi
disesuaikan dengan kondisi medannya. Pelaksanaan pemberian
upah dibawah tanggung jawab Komisaris Urusan pribumi.
Komisaris Urusan Pribumi diizinkan mengambil peralatan yang
diperlukan dari gudanggudang di Batavia. Bersama para
pengawas dan para bupati, peralatan itu dibagikan kepada para
pekerja untuk memudahkan pembangunan (Kompas, 2008:2122).
Jadi setelah pembangunan sampai di Cirebon, Daendels
menemukan banyak masalah seperti lahan rusak, pemberontakan,
dan terjadi kekosongan kas. Lalu ia memerintahkan untuk
melanjutkan pembangunan dari Cirebon ke Semarang ke
Surabaya ke Panarukan tetapi dengan meminta bantuan kepada
Bupati untuk mengerahkan kerja wajib .
Toer (2005:20) menjelaskan bahwa pada mulanya Daendels
memerintahkan perbaikan dan pelebaran jalan AnyerBatavia.
Pertama kali Daendels mendarat di Anyer ia melalui jalan ini, jadi
jalan ini sudah ada sebelumnya. Ia menempuh jarak itu dalam
waktu 4 hari. Setelah dilebarkan dan diperkeras jalannya maka
perjalanan dapat ditempuh dalam sehari saja.
Pembangunan jalan raya dari Anyer dilanjutkan 25 km
kearah timur hingga sampai ke Batavia, kota yang dibangun oleh
Jan Pieterszoon Coen. Dialah yang memeperluas Batavia lebih ke
pedalaman. Waktu itu Batavia, yang terkepung oleh rawarawa
pantai sangat tidak sehat. Dalam pembangunan yang dilakukan
Coen sepertiga pekerjanya tewas terkena malaria, sehingga
Daendels memerintahkan untuk menghancurkan bentengbenteng
15
kota tersebut, dan untuk menangkal serbuan Inggris tanpa
bentang kota, ia pusatkan pertahanannya lebih ke selatan
Weltevreden, ke Meester Cornelis, yang kemudian disebut Mester,
dan kemudian dinamai Jatinegara (Toer,2005:49).
Disini dapat disimpulkan bahwa jalanjalan di Batavia
semasa Daendels telah memenuhi syarat untuk pengangkutan
pasukan militer, logistik, dan alatalat perang dari Mester sampai
ke pelabuhan Sunda Kelapa. Dengan terpusatnya militernya di
selatan Weltevreden, pembangunan mulai tumbuh disana. Namun
setelah pemerintahan Jepang mulai menguasai yaitu tiga setengah
tahun Jakarta (Batavia) sudah tidak terurus lagi kebersihannya,
aspal jalanan terkelupas, banyak jalan aspal yang berlubang
karena beban truk, tank, dan panser Jepang.
2.3
Infrastruktur Berupa Transportasi Di Batavia Pada Masa
Hindia Belanda
Perkeretaapian di Indonesia baru dimulai pada tahun 1860
an. Perusahaan kereta api ditangani oleh dua instansi yaitu oleh
pihak pemerintah seperti Staad Spoorwegen dan pihak swasta
seperti Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij, dan
sebagainya (Handinoto, 1999:48).
Nederlandsche Indishce
Spoorweg Maatschappij (NISM) merupakan perusahaan swasta
yang yang menjadi pionir dalam perkeretaapian Indonesia. Jalur
kereta yang dibangun adalah lintas SemarangVorstenlanden
Willem I dan BuitenzorgBatavia masingmasing tahun 1870 dan
1873 (Departemen Penerangan RI,1978:32). Jaringan jalan kereta
api di Jawa dibangun antara tahun 1870an sampai tahun 1920an.
Sebenarnya gagasan pembangunan jalan kereta api di Jawa sudah
16
muncul sejak tahun 1840, tetapi gagasan tersebut baru menjadi
kenyataan pada tahun 1871. Jalur pertama jalan kereta api di
Jawa adalah antara Semarang dengan Kedung Jati, yang
diresmikan pada tahun 1871. Kemudian disusul dengan jalur
Batavia Buitenzorg (JakartaBogor) yang dibuka pada tahun 1873
dan menyusul jalur SurabayaPasuruan pada tahun 1878. Pada
tahun 1884, diselesaikan jalur BuitenzorgBandung (Bogor
Bandung), dan kemudian disusul hubungan SurabayaSolo dan
Semarang. Sepuluh tahun kemudian pada tahun 1894, jalur jalan
kereta api SurabayaBatavia melalui Maos, Yogyakarta dan Solo
berhasil diselesaikan. Dan pada tahun 1912 jalur alternatif kedua
antara SurabayaBatavia, melalui Cirebon dan Semarang berhasil
diselesaikan (Handinoto, 1999:48). Beberapa faktor menghambat
terselesaikannya proyek tersebut, yakni ancaman bangkrut tahun
1869 dan 1870, selain itu juga disebabkan oleh faktor alam salah
satunya gempa bumi. Pemerintah memberikan bantuan kepada
NISM tahun 1871 (Departemen Penerangan RI, 1978:32). Kereta
berfungsi sebagai pengangkut hasil bumi dari gudang ke
pelabuhan selain itu juga sebagai alat strategi untuk membendung
pemberontakan yang terus terjadi. Dalam perkembangannya
menteri P.P. van Bosse mengusulkan agar Depok bersambung
dengan lintasan BuitenzorgBatavia. Usul tersebut ditolak oleh
anggota kabinet Thorbecke, sementara itu kondisi keuangan NISM
belum membaik. Kemudian negara dipercaya untuk menangani
konstruksi dan eksploitasi kereta api yang diatur dalam Undang
Undang bulan April tahun 1875. Proyek pertama yang dikerjakan
oleh pemerintah adalah jalur SurabayaPasuruanMalang.
17
Gambar 3. Jaringan jalan Kereta Api pada tahun 1888 dan tahun 1925,
di Pulau Jawa seperti yang terlihat di peta. Jaringan jalan Kereta Api di
Jawa merupakan salah satu jaringan yang terlengkap di Asia pada
jamannya.
Sebelum kereta api ada di Batavia, orang Belanda maupun
pribumi menggunakan transportasi berupa trem kuda, akan tetapi
orang Eropa menganggap trem kuda menurunkan kelas sosial
mereka, karena siapapun boleh naik dan tidak membedakan ras
serta kelas sosial mereka. (Blackburn, 2011:71). Kendaraan lain
yang lebih popular adalah layanan trem uap yang menggantikan
trem kuda pada 1881. Orang miskin—maksudnya orang Indonesia
—naik dalam gerbong terpisah. Begitu populernya trem ini
sehingga layanan yang awalnya berlangsung setiap 10 menit, pada
1889 harus diubah menjadi setiap 7,5 menit.
Dengan dibukanya jalur Batavia Buitenzorg pada tahun
1871, membuat para penduduk Batavia semakin antusias untuk
naik kereta api karena membuat para penumpang terhindar dari
debu yang beterbangan (Ngadimin,2013). Dalam sebuah penelitian
tentang perkembangan kereta api di Batavia, disebutkan bahwa
mulai 1 Maret 1888, SS dihapuskan dan digabung dengan
Departemen van BOW (pekerjaan umum). Tahun 1909, jawatan
18
kereta api dan trem negara digabungkan dengan Gouverments
Beddrijven atau Departemen Perusahaan Negara. Ketika trem
berlokomotif uap menggantikan trem kuda yang ada di Batavia,
kereta api dalam pengelolaan Nederladsche Indische Tramweg
Maatschappij (NITM) tahun 1881, jalur trem uap ada disepanjang
Tanah Abang, Rijwijk, Kramat, dan Meester Cornelis (Jatinegara).
Tahun 1899 trem berlokomotif listrik mulai ada di Batavia
dibawah kelola Batavia Electriche Tram Maatschappij (BETM).
Sedangkan kereta listrik pertamakali beroperasi tahun 1925
dengan jalur
WeltevredenTandjoengpriok (Ngadimin,2013)
Pembangunan jalur kereta di Tanjung Priok diakibatkan karena
pintu masuk ke Batavia hanya ada di pelabuhan Tanjung Priok.
Menurut Widayanti (2012:6—7) menjelaskan bahwa;
Stasiun Tanjung Priuk dibangun pertama kali pada
tahun 1885 tepatnya satu kilometer di sebelah utara
bangunan yang ada sekarang. Dikarenakan aktivitas
dan tingkat keramaian di Pelabuhan Tanjung Priuk
semakin melonjak mengakibatkan stasiun yang
pertama tidak memadai lagi untuk menampung
jumlah penumpang dan barangbarang kiriman yang
terus meningkat dari dalam maupun luar negeri.
Sedangkan arsiteknya adalah C.W. Koch yang
merupakan insinyur utama dari StaatsSpoormegen
(SS perusahaan kereta api Negara Hindia Belanda
yang berdiri sejak 6 April 1875. Stasiun Tanjung Priuk
dibangun semasa pemerintahaan Gubernur Jendral
A.F.W Indeenburg tahun 1914, dan merupakan
stasiun pengganti dari stasiun lama yang dianggap
tidak lagi memadai untuk menampung arus manusia
dan barang. Stasiun Tanjung Priuk pertama kali
dibuka untuk umum pada tanggal 6 April 1925
bertepatan dengan ulang tahun ke50 Staats
Spoorwegen (instansi perkeretaapian Belanda) dengan
jalur kereta listrik (trem) Tanjung Priok – Mesteer
Cornelis menggunakan lokomotif listrik seri SS.3200
(lokomotif listrik pertama yang dioperasikan di
Indonesia).
Stasiun ini dibangun untuk mengakomodir perdagangan
dan wisatawan Eropa di Batavia karena pada masa lalu wilayah
Tanjung Priuk yang terletak di bagian utara Jakarta sebagian
19
besar adalah hutan dan rawarawa yang berbahaya sehingga
dibutuhkan sarana transportasi yang aman untuk
menghubungkan Pelabuhan Tanjung Priuk dengan kawasan pusat
kota melalui Batavia Centrum (Stasiun Jakarta Kota). Meskipun
bukan merupakan stasiun pusat, stasiun Tanjung Priuk dibangun
di atas tanah seluas 46.930 m2 dengan luas bangunan 3.768 m2
yang megah dan mewah. Memiliki delapan peron sehingga nyaris
sebesar stasiun Jakarta Kota.
Fungsinya pada masa itu tidak hanya untuk stasiun saja
tetapi juga menyediakan penginapan bagi penumpang yang akan
menunggu kedatangan kapal laut untuk melanjutkan perjalanan.
Kamarkamar penginapan tersebut terletak di sayap kiri bangunan
yang khusus disediakan untuk penumpang Belanda dan orang
Eropa, serta dilengkapi dengan ruang di bawah tanah yang
diperkirakan berfungsi sebagai gudang logistik.
Stasiun Tanjung Priuk diresmikan penggunaaannya tepat
pada ulang tahun ke50 Staats Spoorwegen (SS) tanggal 6 April
1925 dan bersamaan dengan pembukaan jalur Tanjung Priuk
Beos Jakarta Kota) yang dilayani kereta dengan lokomotif listrik
seri ESS 3200 (buatan Werkspoor, Belanda) serta jaringan listrik
aliran atas (LAA) yang terbentang mulai dari Tanjung Priuk
Bogor, dan jalur lingkar sekitar Jakarta. Adapun stasiunstasiun
di Batavia yaitu stasiun Jakarta Kota (1929), stasiun Pasar Senen
(1916), serta stasiun Cikampek (1894). Jalur BataviaWeltevreden
dilayani oleh dua jawatan yang berbeda yaitu Staatsspoorwegen
(SS) sebagai milik pemerintah dan Nederlandsch Indische
Spoorweg Maatschappij (NISM) yang dikelola oleh swasta.
Para turis yang datang ke Batavia memanfaatkan adanya
jalur kereta ini untuk mengantarkan mereka ke wiayah
Weltevreden. Ada trayek Tandjong PriokWeltevreden melewati
stasiun Kemayoran dan ada Tandjong PriokWeltevreden yang
20
melewati stasiun Koningsplein. Kereta api pagi berangkat dari pukul
06.14 yakni rute Tandjong PriokBatavia, sedangkan kereta api
terusan berangkat pukul 09.06 menuju Koningsplein. Rute
Tandjong PriokKoningsplein dapat ditempuh dalam waktu 38
menit, dengan biaya 0,6 gulden untuk kelas satu dan 0,35 gulden
untuk kelas dua.
Batavia Zuid (stasiun selatan) dibangun tahun 1870 dan tidak
berumur panjang karena kemudian ditutup tahun 1926. Batavia
Zuid (stasiun selatan) sekarang keberadaanya digantikan oleh
Stasiun Kota karena stasiun Batavia Zuid dihancurkan dan
kemudian dibangun Stasiun Kota, yang letaknya selisih 200 meter
dari posisi awal, stasiun ini dirancang oleh arsitek Belanda yang
bernama Frans Johan Louwerens Ghijsels. Selain itu juga terdapat
Batavia Noord (Batavia Utara) yang awalnya merupakan milik NISM
merupakan stasiun yang terminus yang kemudian diserahkan
kepada SS.
2.4
Infrastruktur Berupa Pelabuhan Di Batavia Pada Masa
Hindia Belanda
Nama Sunda Kelapa sudah dikenal sejak abad ke12
masehi. Pada masa itu pelabuhan ini sudah dikenal sebagai
pelabuhan lada miliki kerajaan Hindu Sunda terakhir di Jawa
Barat, Pakuan Pajajaran yang berpusat di sekitaran Kota Bogor
sekarang. Para pedagang Nusantara yang singgah di Sunda Kelapa
diantaranya berasal dari Palembang, Tanjung pura, Malaka,
Makasar dan Madura dan bahkan kapalkapal asing dari Cina
Selatan, Gujarat atau India Selatan, dan Arab sudah berlabuh di
pelabuhan ini membawa barangbarang sperti porselen, kopi,
sutra, kain, wangiwangian, kemenyan, kuda, anggur, dan zat
21
warna untuk ditukar dengan lada yang pada masa itu menjadi
komoditas ungguksn pada saat itu.
Bangsa Eropa yang pertama kali menginjakkan kakinya di
Sunda Kelapa ialah Portugis. Pada saat Albuquerque menguasai
Malaka merencanakan untuk mengirim tiga armada untuk
membangun monopoli Portugis. Dua armada berhasil di kirim ke
Maluku (untuk mencari cengkih), dan ke Sunda (untuk mencari
lada). Armada yang dikirim ke pelabuhan Sunda Kelapa terdiri
dari empat kapal layar yang dipimpin de Alvin. Sunda Kelapa
adalah pelabuhan kerajaan Pakuan Pajajaran.
Menurut catatan Pires dalam buku Sejarah Nasional
Indonsia (Soejono,2009:15−16), ia menjelaskan bahwa.
“Sunda memiliki beras untuk dijual sampai sepuluh
jung setiap tahun, sayuran yang tidak terhingga
macamnya, daging yang tak terhitung, celeng,
kambing, domba dan sapi dalam jumlah yang besar,
memiliki anggur serta buahbuahan. Sunda sama
kayanya dengan Jawa. Orang Sunda sering pergi ke
Jawa untuk menjual beras dan bahanbahan
makanan, dan setiap tahun dua atau tiga jung dayang
dari Malaka ke Sunda untuk mengangkut budak
belian, beras, lada. Setiap tahun banyak pangajava
dari Sunda ke Malaka dengan membawa barang
barang dagangan tersebut, dan dari sana mengangkut
barangbarang berikut ke Sunda”
Dari penjelasan Pires tersebut dapat disimpulkan bahwa
pada saat itu Sunda telah melakukan perdagangan dengan
Malaka, dan tanah Sunda memiliki kekayaan yang hampir sama
dengan Jawa. Armada de Alvin yang datang ke Sunda Kelapa atas
permintaan Raja Surawisesa, yang merasa terancam
keamanannya oleh Cerebon yang telah menganut Islam. Ia
meminta agar Portugis membangun benteng di wilayahnya untuk
menghindari bahaya tersebut, dan sebagai imbalan Portugis akan
mendapat prioritas dalam membeli lada.
Namun pembangunan benteng tersebut tidak pernah
terealisasikan, disebabkan karena angin topan yang berlangsung
22
beberapa hari, dan dikarenakan oleh pasukan Faletehan yang
menghalanghalangi pendaratan pasukan Portugis. Jadi, Portugis
tidak pernah mengusai Kerajaan Sunda dan Sunda Kalapa. Akan
tetapi Portugis dari Malaka masih tetap berdagang.
Armada kapal asal Belanda dibawah pimpinan Cornelis de
Houtman tiba di kali Sunda Kelapa (Jayakarta) pada 1596 dengan
tujuan yang sama, mencari rempahrempah. Rempahrempah
pada saat itu menjadi komoditas unggulan di Belanda karena
berbagai khasiatnya seperti obatobatan, penghangat badan, dan
bahan wangiwangian. Meskipun pada awalnya untuk berdagang,
namun pada akhirnya tujuan itu bergeser menjadi upaya
penguasaan wilayah. Melihat lokasi Jayakarta yang strategis, VOC
berambisi menguasainya. Pada tahun 1610 Belanda membuat
perjanjian dengan Pangeran Jayawikarta atau Wijayakarta
penguasa Jayakarta dan membuat suatu perjanjian. Di dalam
perjanjian tersebut Belanda diijinkan untuk membuat gudang dan
pos dagang di timur muara sungai Ciliwung.
Setelah perjanjian disetujui Belanda pun mendapat keuntungan
yang sangat besar akibat perdagangan rempahrempah yang
mereka lakukan di negara asal, Belanda akhirnya melakukan
ekspansi dan kemudian mengganti nama Jayakarta menjadi
Batavia.
Dalam karyanya yang berjudul Itinerario, Linschoten
menulis:
Pelabuhan utama di pulau ini (Jawa) adalah Sunda
Calapa….Di tempat ini….didapati sangat banyak lada
yang bermutu lebih baik daripada lada India atau
Malabar…juga banyak terdapat kemenyan, Benicien
atau Bonien atau bunga pala, kamper, dan juga
permata intan. Tempat ini dapat ditemui tanpa
kesulitan kerena orang Portugis tidak sampai kesini,
karena orang Java (Jawa) berbondongbondong datang
sendiri sampai ke Malaka untuk menjual barang
barang dagangannya.
23
Di bawah kekuasaan Belanda, pelabuhan Sunda Kelapa
direnovasi, yang semula pelabuhan Sunda Kelapa yang tadinya
hanya memiliki kanal sepanjang 810 m, diperbesar hingga menjadi
1.825 m. Mulai Masuk abad ke19, pelabuhan Sunda Kelapa
mulai sepi akibat terjadinya pendangkalan air di daerah sekitar
pelabuhan sehingga menyulitkan kapal dari tengah laut yang
hendak berlabuh, padahal saat itu Terusan Suez baru saja dibuka
dan seharusnya menjadi peluang besar bagi Pelabuhan Sunda
Kelapa untuk dapat berkembang lagi. Melihat potensi ini, Belanda
mulai mencari alternatif lain untuk mengembangkan pelabuhan
baru. Perhatian Belanda untuk mengembangkan pelabuhan baru
tertuju pada daerah Tanjung Priok. Tanjung Priok kemudian
berhasil berkembang menjadi pelabuhan terbesar di Indonesia,
peran pelabuhan Sunda Kelapa pun tergantikan oleh Pelabuhan
Tanjung Priok ini. Keberadaan Stasiun Tanjung Priuk tidak dapat
dipisahkan dengan keberadaan Pelabuhan Tanjung Priuk yang
dibangun pada akhir abad ke19 oleh Gubernur Jendral Johan
Wilhelm van Lansberge. Pelabuhan Tanjung Priuk merupakan
pintu gerbang kota Batavia serta Hindia Belanda menggantikan
pelabuhan Sunda Kelapa yang tidak lagi memadai (Widayanti,
2012:7).
Pada awalnya pelabuhan Taanjung Priok ini di bangun sejak
pertengahan 1630an. Pembangunan pelabuhan ini baru dimulai
pada tahun 1877 oleh Gubernur Jenderal Johan Wilhelm van
Lansberg. Ketika dipilih daerah Tanjung Priok, kalangan bisnis
yang berpusat di Kali Besar dan Pasar Ikan banyak yang
menentang, hal ini dikarenakan karena jarak antara Sunda Kelapa
dan Tanjung Priok 9 km. Pada tahun 1912 pelabuhan Tanjung
Priok dilakukan perluasan karena hampir 200 kapal pada tahun
itu menanti giliran untuk bersandar ke dermaga. Deret waktu awal
pembangunan pelabuhan Tanjung Priok, kolam pelabuhan I yang
24
pembangunannya dimulai 1877 dirampungkan pada tahun1883.
Bersamaan dengan itu disisi lain dibangun pula bendungan
sebelah barat sepanjang 1.765 meter dan bendungan sebelah
timur sepanjang 1.963 meter. Kedua bangunan ini di bangun
untuk penahan gelombang, sehingga dengan mudah dan aman
kapalkapal untuk bersandar di dermaga.
Pada tahun 1912 alur pelayaran diperluas dari 250 meter
menjadi 300 meter dan diperdalam dari 8 meter menjadi 9,5
meter. Gudang yang ketika itu jumlahnya 7 buah diperluas dan
dermaga baru dibangun sepanjang 121 meter, ini masih belum
cukup, karena pelayanan di laut harus diimbangi dengan
pelayanan di laut.
Pada tahun 1914, di mulai pembangunan Pelabuhan II
pemborong bngunannya adalah Volker. Pembangunan pelabuhan
II ini selesai pada 1917, dengan panjang kade pelabuhan sekitar
100 meter dan kedalaman air 9,5 meter. Sedangkan bendungan di
luar dirubah dan diperpanjang, sedang lebar kade 15 meter untuk
double spoor kereta api dan krankran listrik. Pada tahun1917,
dibangun pula tempat penyediaan bahan bakar oleh BPM dan
Shell serta dibangun tempat penyimpanan batubara oleh NISHM.
25
BAB III
PENUTUP
1.1
Kesimpulan
Setelah VOC menentukan pusat perdagangannya di pulau
Jawa, berkembang pula kota Batavia. Belanda tahun 1619,
Beland