MANAJEMEN PROGRAM PANGAN DAN GIZI MASALA

Manajemen Program Pangan dan Gizi
MANAJEMEN PROGRAM PANGAN DAN GIZI
“MASALAH STUNTING PADA BALITA”

Oleh:
Erni Rukmana

I151140221

Dosen Mata Kuliah:
Dr. Ir. Drajat Martianto

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015

i

Manajemen Program Pangan dan Gizi
PENDAHULUAN
Kondisi ketahanan pangan dengan status gizi masyarakat sangat terkait satu sama lain.

Keterkaitan tersebut dilihat dari indikator MDGs yaitu menurunnya prevalensi gizi kurang
pada anak balita dan menurunnya jumlah penduduk defisit energi atau kelaparan.
Masalah pangan dan gizi merupakan masalah yang sangat kompleks dan penyebab
dari masalah tersebut multifaktor dan multidimensi, seperti keterkaitan gizi terhadap hasil
produksi pangan, ketersediaan, harga, dan ekspor-impor pangan, rawan pangan, kemiskinan,
(UNICEFF, 1998). Oleh karena itu, langkah penanggulangannya juga harus dirumuskan dan
di identifikasi dari tiap masalah seperti produksi pangan, ketersediaan, harga, dan eksporimpor pangan, rawan pangan, kemiskinan, serta status gizi. Kriteria atau standar identifikasi
masalah dari produksi pangan, ketersediaan, harga, dan ekspor-impor pangan, rawan pangan,
kemiskinan, serta status gizi adalah dengan cara menganalisis data yang disajikan dan
menurut standar permasalahan pangan dan gizi (WHO, RISKESDAS, WNPG, MDG’s) serta
tinjauan pustaka dari berbagai penelitian.
Masalah utama yang diidentifikasi adalah masalah status gizi bayi bawah lima tahun
(Balita). Status gizi balita merupakan indikator yang sensitif sebagai penentu status gizi
masyarakat dan juga dapat mengidentifikasi kerawanan pangan rumah tangga. Stunting
merupakan status gizi yang disebabkan malgizi kronik, sehingga stunting balita bisa menjadi
indikator kunci dari kesehatan ibu dan anak (WHO, 2012) dan ketersediaan pangan
masyarakat. Penyebab masalah dari stunting balita, dan program gizi serta kegiatan untuk
menurunkan angka kejadian stunting dibuat dalam bentuk causal model dan HIPPOPOC
table.


KONDISI MASALAH PANGAN DAN GIZI DI INDONESIA
1.

Penurunan rata-rata pertumbuhan produksi dan produktifitas padi
Perkembangan produksi dan produktifitas padi disajikan dalam Gambar 1. Beras

merupakan pangan pokok yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Ketersediaan beras
ditentukan oleh luas panen, produksi dan produktifitas padi. Luas panen, produksi dan
produktifitas padi meningkat setiap tahunnya, akan tetapi untuk rata-rata pertumbuhan luas
panen, produksi dan produktifitas padi pertumbuhannya fluktuatif.
Rata-rata pertumbuhan luas panen tidak disertai dengan rata-rata produksi dan
produktifitas padi. Kondisi idealnya adalah meningkatnya rata-rata pertumbuhan luas panen
akan meningkatkan rata-rata pertumbuhan produksi dan produktifitas.

2

Manajemen Program Pangan dan Gizi

Gambar 1. Produksi dan produktifitas padi
Jadi, kesimpulannya adalah produksi dan produktifitas padi di Indonesia masih sebuah

masalah pangan yang harus di selesaikan.
2.

Penurunan Produksi dan Produktifitas Kedelai

Berdasarkan gambar dibawah ini, terlihat bahwa luas lahan, produksi dan produktifitas dari
kedelai tidak selalu meningkat.

Gambar 2. Produksi dan produktivitas kedelai tahun 1969-2013
Luas panen, produksi, dan produktivitas kedelai pada tahun 1969-1998 terjadi
peningkatan, namun setelah terjadi penurunan pada tahun 1998. Rata-rata pertumbuhan luas
panen, produksi, dan produktivitas kedelai pada periode 2005-2013 lebih tinggi dibandingkan
periode 1998-2004 tapi lebih rendah dari periode 1969-1997. Kesimpulannya adalah produksi
dan produktifitas kedelai masih masalah pangan di Indonesia.

3

Manajemen Program Pangan dan Gizi
3.


Konsumsi energi belum mencapai 100% dan mengalami penurunan
Berdasarkan gambar di bawah, perkembangan ketersediaan dan konsumsi pangan

(Energi) periode 2010-2014. Ketersediaan energi pada tahun 2005-2014 telah melebihi
rekomendasi WNPG (2200 kkal/kap/hari), sedangkan untuk konsumsi energi periode 20101014 belum memenuhi rekomendasi WNPG.

Gambar 3. Perkembangan ketersediaan dan konsumsi pangan
Hanya pada tahun 2011, konsumsi energi telah memenuhi rekomendasi WNPG.
Kondisi idealnya adalah jika ketersediaan energi mengalami peningkatan maka konsumsi
energinya juga mengalami peningkatan. Permasalahannya adalah konsumsi energi belum
mencapai 100% dan mengalami penurunan. Hal tersebut mungkin dapat disebabkan
kurangnya akses terhadap pangan.
4.

Skor PPH belum memenuhi skor target (konsumsi pangan belum beragam)

Berdasarkan gambar 4, skor PPH masih belum memenuhi target PPH.

Gambar 4. Perkembangan pola pangan harapan 2010-2014


4

Manajemen Program Pangan dan Gizi
Rata-rata skor PPH periode 2010-2014 mengalami peningkatan, walaupun mengalami
peningkatan, namun skor PPH tersebut belum memenuhi skor sasaran tahun 2013, yaitu 91.5.
Hal tersebut menunjukkan bahwa pangan yang dikonsumsi belum beragam.
5.

Impor pangan yang tinggi
Impor yang dilakukan pada kelompok komoditi utama (tanaman pangan, hortikultura,

dan peternakan) lebih besar daripada ekspor. Impor yang dilakukan sepanjang periode 20032012 mempunyai peningkatan. Peningkatan impor pangan adalah untuk menyediakan pangan
untuk masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga.
6.

Kenaikan harga pangan pokok di Indonesia
Peningkatan harga pangan setiap tahunnaya akan mempengaruhi daya beli masyarakat.

Kenaikan harga pangan pokok kemungkinan mempengaruhi kualitas pangan yang
dikonsumsi, yaitu dialihkan pada pangan pokok berkualitas rendah yang harganya murah.

7.

Penurunan angka kemiskinan masih jauh dari target MDG’s
Salah satu goal MDG’s adalah menurunkan angka kemiskinan. Pada tahun 1990

kemiskinan di Indonesia 15.1%, tahun 2013, proporsi penduduk miskin di Indonesia masih
sekitar 11.47%. Hal tersebut menunjukkan bahwa penurunan angka kemiskinan masih jauh
dari target MDG’s.
8.

Peningkatan penduduk rawan pangan setiap tahun
Ketidak mampuan rumah tangga atau individu dalam memenuhi kebutuhan pangan di

sebut rawan pangan. Rawan pangan masyarakat karena salah satu penyebabnya adalah
kemiskinan.
9.

Prevalensi stunting pada balita sangat tinggi

Stunting merupakan masalah yang masih berat di Indonesia. Perbedaan prevalensi stunting


(pendek) sangat beragam di Indonesia.

5

Manajemen Program Pangan dan Gizi

Gambar 5. Masalah kurang gizi
Dari seluruh provinsi di Indonesia, hanya 11 propinsi saja yang telah mencapai target
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010–2014 untuk mengurangi stunting
(pendek) menjadi 32 persen. Sementara itu, 7 provinsi memiliki prevalensi di atas 40 persen.
Prevalensi pendek secara nasional tahun 2013 adalah 37,2 persen, yang berarti terjadi
peningkatan dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%). Masalah kesehatan
masyarakat dianggap berat bila prevalensi pendek sebesar 30 – 39 persen dan serius bila
prevalensi pendek ≥40 persen (WHO 2010).
10. Prevalensi underweight dan wasting pada balita meningkat
Prevalensi wasting pada balita pada tahun 2013 (12,1%) tergolong masalah yang
serius (10-14%) walaupun tahun 2013 sudah menujukkan penurunan dari tahun 2010 (13,3%).
Berbeda dengan masalah wasting, prevalensi underweight pada balita mengalami
peningkatan pada tahun 2013 dan jika dibandingkan dengan cut off WHO maka prevalensi

underweight pada balita pada tahun 2013 tergolong tinggi (20-29%). Status gizi balita masih
merupakan masalah serius yang harus ditangani bersama.
11. KEK pada wanita remaja dan WUS cukup tinggi
Berdasarkan gambar di bawah ini dapat diketahui bahwa proporsi wanita remaja dan wanita
usia subur (WUS) yang mengalami KEK cukup tinggi.

6

Manajemen Program Pangan dan Gizi

Gambar 6. Proporsi wanita remaja dan WUS yang mengalami KEK
Kekurangan energi yang cukup lama berdampak KEK pada saat hamil. Dilihat dari
gambar di atas proporsi KEK pada saat hamil lebih banyak daripada saat tidak hamil.
Kekurangan energi akan berdampak pada berat bayi lahir rendah (BBLR) dan dapat
berdampak stunting pada anak.
12.

Prevalensi anemia tergolong masih cukup tinggi
Berdasarkan Gambar 7, dapat diketahui bahwa prevalensi anemia gizi di Indonesia


>20%. Masalah anemia gizi cukup tinggi, salah satu dampak dari anemia gizi menurunnya
produktifitas kerja.

Gambar 7. Masalah anemia gizi
Prevalensi anemia di Indonesia tergolong moderate public health problem (20.039.9%) (WHO 2008; 2010), Anemia dapat terjadi pada semua kelompok umur. Prevalensi
anemia tertinggi berada pada kelompok lansia. Pada balita 28,1% mengalami anemia gizi.

7

Manajemen Program Pangan dan Gizi
Anemia gizi pada balita bisa disebabkan beberapa faktor seperti gizi ibu pada sebelum dan
saat hamil, berat bayi lahir rendah dan pemberiaan ASI tidak mencapai 6 bulan.

DATA YANG DIPERLUKAN UNTUK IDENTIFIKASI MASALAH
Data yang diperlukan untuk identifikasi masalah stunting adalah
1. Indikator cut off dari WHO untuk identifikasi masalah stunting balita
2. Dampak yang di timbulkan dari stunting balita
3. Faktor yang berkaitan dan penyebab stunting balita

STUNTING PADA BALITA SEBAGAI MASALAH GIZI DI INDONESIA


Menurut bagan UNICEFF 1998, status gizi merupakan masalah utama yang harus
diselesaikan. Status gizi balita khususnya balita stunting merupakan indikator sensitif untuk
melihat kesehatan ibu dan anak (WHO 2010) dan ketersediaan pangan. Stunting juga
dikaitkan dengan fungsi kognitif (Casale et al. 2014), motorik, dan pengembangan sosio
emosional (McGregor et.al 2007), dan peningkatan mortaliti (Ong et al. 2013). Stunting sejak
balita biasanya tidak bisa mencapai potensi pertumbuhan pada saat remaja dan dewasa.
Stunting di masa dewasa, akan menurunkan kapasitas kerja dan pada wanita akan

meningkatkan risiko kematian pada saat melahirkan bayi (Victora et al. 2008).
Stunting merupakan pertumbuhan linear yang lambat, dimana panjang badan atau

pertumbuhan panjang badan yang tidak sesuai dengan usia. Defisit pertumbuhan linear pada
balita stunting adalah hasil dari akumulasi dalam 1000 hari pertama (Victora et al. 2010).
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 diketahui bahwa prevalensi balita
stunting di Indonesia mencapai 37,2%. Angka prevalensi tersebut meningkat dibandingkan

pada tahun 2010 yang mencapai 35,6%. Angka prevalensi stunting juga lebih tinggi
dibandingkan angka prevalensi underweight (19,6%), wasting pada balita (12,1%). Kejadian
prevalensi stunting yang tinggi pada anak berusia 12-23 bulan pada laki-laki (41,2%) dan

(36,1%) pada perempuan. Penelitian di Jawa tengah dan Jawa Timur daerah miskin oleh
Rosha et al. (2012) pada anak 0-23 bulan menunjukkan bahwa usia anak, jenis kelamin,
wilayah tempat tinggal dan pendidikan ibu merupakan faktor resiko dari stunting. Menurut
penelitian

oleh Sujendran et al. (2015) pada anak-anak usia 6-36 bulan di Sri Lanka

menunjukkan bahwa faktor utama yang mempengaruhi terjadinya stunting pada balita antara
lain pendidikan rendah orang tua, pendapatan keluarga, berat badan lahir rendah (BBLR),

8

Manajemen Program Pangan dan Gizi
ASI kurang dari 6 bulan, praktek MP-ASI kurang, kunjungan klinik tidak teratur, dan tidak
mendapatkan saran dari tenaga kesehatan.
Stunting disebabkan karena kurangnya gizi dan infeksi sebelum dan sesudah lahir

(Grantham et al. 2007). Ibu yang mengalami kekurangan energi kronis, anemia atau sering
mengalami penyakit infeksi seperti malaria pada saat hamil akan mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan janin, sehingga berdampak pada bayi dengan berat badan
rendah (BBLR) pada saat ibu melahirkan (Keefe et al. 2008). Menurut penelitian di Nepal
oleh Win et al. (2013), ibu yang hamil usia muda akan berpotensi melahirkan anak stunting.
Asupan makan anak saat balita masih bergantung pada pemilihan ibu. Pemilihan
makan dan praktek pemberian makanan

mempengaruhi kejadian stunting. Frekuensi

pemberian makan dan kualitas gizi makanan rendah yang diberikan, tidak memberikan
makanan secara lengkap serta cara pemberian makanan yang kurang tepat akan
mempengaruhi pertumbuhan balita. Hasil penelitian Ogunba (2006) menyebutkan bahwa
perilaku ibu yang benar selama memberi makan akan meningkatkan konsumsi pangan anak
dan pada akhirnya akan meningkatkan status gizi anak.
Ketersediaan pangan, sosial ekonomi dan harga pangan saling terkait satu sama lain
dan merupakan faktor resiko stunting. Ketersedian pangan merupakan kemampuan keluarga
untuk memenuhi kebutuhan pangan yang cukup baik segi kuantitas dan kualitas dan
keamanannya. Tidak tersedianya pangan dalam keluarga secara terus-menerus akan
menyebabkan terjadinya penyakit kurang gizi pada anggota keluarga.
Sosial ekonomi akan mempengaruhi daya beli terhadap pangan. Menurut penelitian di
Indonesia oleh Ardiani (2013) menunjukkan bahwa ada hubungan antara peningkatan sosial
ekonomi dan penurunan prevalensi stunting. Penelitian Semba et al. (2008) di Indonesia,
pendidikan formal ibu dan ayah tinggi akan menurunkan resiko stunting.
Harga pangan akan mempengaruhi kualitas pangan yang di konsumsi. Penelitian oleh
Sari et al. (2010) di Indonesia, rumah tangga yang menghabiskan sebagian besar pada
makanan non-grain, khususnya makanan sumber hewani memiliki prevalensi anak stunting
yang lebih rendah penelitian tersebut berdasarkan implikasi harga pangan yang meningkat.
Hal ini menunjukkan peningkatan risiko potensi malnutrisi terkait dengan pengurangan
pengeluaran rumah tangga.
Kejadian infeksi merupakan faktor lain yang berhubungan dengan stunting. Penyakit
infeksi yang mempengaruhi pertumbuhan linier adalah penyakit pernafasan, diare dan
cacingan. Penelitian di Cina (Yu et al. 2010) membuktikan bahwa anak yang mengalami

9

Manajemen Program Pangan dan Gizi
cacingan lebih berisiko terkena stunting daripada anak normal yang tidak mengalami
cacingan. Kontaminasi lingkungan, kondisi sanitasi dan ketersediaan air yang buruk dan
terbatas menyebabkan anak terinfeksi bakteri patogen sehingga mempengaruhi kebutuhan,
utilisasi zat gizi, dan mempunyai dampak langsung pada metabolisme skeletal (Branca et al.
2002).
Salah satu faktor lain yang secara langsung berpengaruh terhadap kejadian stunting
adalah genetik. Faktor Genetik bukan merupakan pengaruh yang kuat, lingkungan sangat
mendukung terjadinya stunting pada anak. Penelitian oleh Rahayu (2011) menunjukkan
bahwa status stunting pada anak usia 6 – 12 bulan dan usia 3 – 4 tahun berhubungan dengan
tinggi badan orang tua,terutama tinggi badan ibu. Berdasarkan deskripsi penyebab stunting
baik langsung maupun tidak langsung dapat digambarkan sebagai causal model sebagai
berikut

10

Manajemen Program Pangan dan Gizi
CAUSAL MODEL STUNTING BALITA

Stunting Balita

Genetik

Tinggi Ibu

BBLR

· KEK ibu hamil
· Anemia ibu
hamil

Asupan ibu saat
hamil

Infeksi ibu
hamil

Asupan makan
Kualitas dan
kuantitas rendah

Ketersediaan
pangan rendah

Daya beli rendah
rendah

Harga pangan
tinggi
11

Praktek pemberian
makan rendah

Pengetahuan gizi
ibu rendah

Pendidikan orang
tua rendah

Infeksi

Pelayanan
kesehatan

Kebersihan dan
sanitasi

Manajemen Program Pangan dan Gizi
TUJUAN JANGKA PANJANG (GOAL), JANGKA PENDEK, DAN SASARAN
SPESIFIK, MEASURABLE, ACHIEVABLE, REALISTIC, TIME (SMART)

Tujuan penanggulangan masalah seharusnya berdasarkan pada penyebab utama
masalah. Berdasarkan causal model stunting yang telah dibuat dan dianalisis, problem tree
(penyebab masalah) tersebut dapat dibuat objective tree yang merupakan nantinya menjadi
tujuan program yang akan dibuat.

Penyebab utama masalah dari stunting balita adalah,

antara lain:
1. Genetik dari tinggi badan ibu (tidak bisa di modified)
2. Berat bayi lahir rendah (BBLR)
3. Asupan makanan pada balita baik dari segi kualitas maupan kuantitas belum baik
4. Infeksi pada balita
Langkah berikutnya adalah melakukan analisis tujuan penanganan penyebab utama stunting
(objective analysis). Tujuan jangka panjang dan pendek harus bersifat spesifik, measurable,
achievable, realistic, time (SMART) dan tepat sasaran.

Penurunan angka kejadian stunting balita merupakan target utama tujuan jangka
panjang, sehingga tujuan jangka panjang dari program yang akan dibuat adalah menurunkan
angka kejadian stunting pada balita di Indonesia tahun 2025 menjadi 15 persen.
Tujuan jangka panjang tersebut sudah bersifat spesific, dimana masalah yang harus di
selesaikan adalah stunting pada balita di Indonesia. Bersifat measurable , stunting dapat
diukur dengan melihat tinggi badan menurut umur. Bersifat achievable, penanganan stunting
balita bisa tercapai dengan cara menyelesaikan penyebab masalah. Bersifat realistic dan time,
dimana tujuan mempunyai target pada tahun 2025 menurunkan angka stunting menjadi 15
persen. Sasarannya adalah bayi dan balita.
Tujuan jangka panjang juga mengarah pada intervensi sensitif, dimana penyelesaian
dari akar masalah penyebab stunting. Intervensi sensitif dari stunting pada balita yaitu
program pengentasan kemiskinan, perdagangan dan peran usaha lain, dan kebijakan ekonomi
terhadap pangan.
Tujuan jangka pendek dapat digunakan dalam penganganan penyebab utama stunting
dan dirumuskan untuk menjadi sebuah program. Tujuan jangka pendek berdasarkan
penanganan penyebab utama stunting, yaitu:
1. Kejadian berat badan lahir rendah tinggi
Tujuan jangka pendeknya menurunkan proporsi bayi berat badan lahir rendah 30% dengan
cara menurunkan angka anemia, KEK, dan infeksi pada ibu hamil. Sasarannya ibu hamil.

12

Manajemen Program Pangan dan Gizi
2. Asupan makanan pada balita baik dari segi kualitas maupan kuantitas belum baik
Tujuannya adalah peningkatan kualitas dan kuantitas asupan makan yang baik pada balita
menjadi 90 persen. Sasarannya adalah ibu balita.
3. Kejadian angka infeksi pada balita tinggi
Tujuannya adalah menurunkan angka kejadian infeksi pada balita menjadi 15 persen.
Sasarannya adalah ibu balita dan balita.
Tujuan jangka pendek berkaitan dengan intervensi spesifik yang akan dilakukan
dalam menurunkan angka kejadian stunting. Penyebab masalah stunting secara langsung atau
pun tidak langsung akan dilakukan dengan cara intervensi spesik, yaitu penanganan balita
gizi buruk, suplementasi dan fortifikasi mikronutrient, serta imunisasi.

ALTERNATIF PROGRAM/KEGIATAN PENANGGULANGAN MASALAH
STUNTING

Menentukan alternatif program dari penanggulangan masalah stunting harus bersifat
relevan, tidak bertentangan sosial budaya, secara teknis dapat dilakukan, dan layak secara
ekonomi (finansial).

Alternatif program harus berdasarkan analisis tujuan penanganan

masalah.
Penyebab stunting pada balita salah satunya adalah berat bayi lahir (BBLR), dimana
BBLR ditentukan oleh kondisi anemia dan KEK pada ibu hamil. Sebelumnya, kemungkinan
kondisi ibu sebelum hamil juga mengalami kekurangan gizi. Sehingga program yang akan
dilakukan berhubungan dengan peningkatan status gizi, fokus pada penanganan anemia dan
KEK pada ibu hamil dan sebelum hamil. Program ini bertujuan untuk mencegah BBLR dan
menurunkan proporsi bayi berat badan lahir rendah 30% dengan cara menurunkan angka
anemia, KEK, dan infeksi pada ibu hamil, antara lain:
1. Pemberian tablet Fe-Folat atau multivitamin untuk ibu hamil
2. Pemberian konsultasi dan edukasi mengenai gizi seimbang ibu hamil dan manfaat
mengonsumsi tablet Fe-Folat
3. Pemberian makanan tambahan untuk ibu hamil selama 90 hari
4. Pencegahan dan pengobatan malaria bagi ibu hamil
5. Kebun gizi di rumah dan diversifikasi pangan
6. Fortifikasi besi pada tepung terigu
7. Pemberdayaan ekonomi mikro bagi keluarga bumil KEK
8. Peningkatan pendidikan perempuan

13

Manajemen Program Pangan dan Gizi
9. Pemberian sembako untuk keluarga bumil
10. Intervensi PHBS
Asupan makan balita dari segi kualitas dan kuantitas yang baik harus disesuaikan
dengan usia balita. Praktek pemberian makan sesuai usia masih merupakan salah satu
masalah yang menyebabkan asupan makan balita rendah. Air Susu Ibu (ASI) saja tanpa
tambahan apa pun dikonsumi bayi usia 0-6 bulan sedangkan bayi usia

6-11 bulan

mengonsumsi MP-ASI sebagai pelengkap ASI. Balita (12-59 bulan) dengan usia tersebut
sudah mengonsumsi makanan keluarganya, sehingga pilihan makan anak, ketersediaan
pangan keluarga dan besar keluarga dapat mempengaruhi asupan makan balita. Programprogram yang sesuai dengan tujuan peningkatan asupan makan balita asupan makan balita
dari segi kualitas dan kuantitas, adalah:
1. Pemberian makanan tambahan pada balita
2. Penyuluhan gizi tentang ASI Eksklusif dan MP-ASI
3. Pemberian konseling ASI dan MP ASI
4. Penyuluhan gizi tentang pemilihan makanan dengan tepat sesuai dengan usia balita.
5. Memberikan motivator ibu balita dengan perantara kader
6. Kebun gizi di rumah dan diversifikasi pangan
7. Penyediaan tenaga/petugas lapangan seperti penyuluh
8. Peningkatan pendidikan perempuan
Program gizi dengan tujuan penurunan angka infeksi pada balita dapat dilakukan dengan cara
peningkatan pelayanan kesehatan dan higiene sanitas, kegiatannya meliputi:
1.

Pengadaan sanitasi air bersih

2.

Kegiatan, Informasi, dan Edukasi (KIE) sanitasi dan cuci tangan pakai sabun

3.

KIE tentang pembasmian nyamuk

4.

Pemberian Jamkesmas dan Jampersal

5.

Peningkatan pelayan kesehatan seperti peningkatan jumlah Puskesmas dan Rumah
sakit

6.

Suplementasi Zn untuk manajemen diare

7.

Suplementasi vitamin A pada balita

8.

Pemberian obat cacing pada balita

14

Manajemen Program Pangan dan Gizi
PENTENTUAN PRIORITAS PROGRAM
Penilaian secara ekonomi terkait biaya dan keefektifan program. Penilaian secara
budaya dan sosial terkait dengan keberlanjutan (sustainability) program sedangkan penilaian
secara teknis terkait sumber daya dan teknologi yang dibutuhkan saat menjalankan program.
Program yang dipilih adalah program yang memiliki kelayakan tertinggi.
Kajian kelayakan dilakukan dengan memberikan penilaian atau skor terhadap
berbagai aspek terkait program tersebut. Skor tertinggi menunjukkan program yang memiliki
kelayakan tertinggi. Skor penilaian untuk analisis alternatif program. Skor tertinggi yang
diberikan maka semakin layak program tersebut dijalankan. Kriteria penilaian meliputi segi
ekonomi (cost-effectively), budaya (tidak bertentangan dengan budaya setempat), segi sosial
(dapat diterima masyarakat dan sustainable), dan secara teknis (time dan sumber daya).
Masing-masing kriteria diberi bobot berdasarkan pentingnya kriteria tersebut dalam
penanganan sebuah program. Bobot berkisar antara 1-5, dengan keterangan 1) Tidak penting,
2) Kurang penting, 3) Cukup penting, 4) Penting, dan 5) Sangat penting. Setelah diberikaan
bobot pada tiap kriteria, langkah selanjutnya adalah memberikan skor pada masing-masingmasing kriteria. Skor berkisar antara 1-10. semakin tinggi skor yang diberikan maka semakin
bisa di tempuh program tersebut.
Tabel 1. Penentuan prioritas program
Kriteria
Cost
waktu
Sumber daya
keefektifan
Dapat
diterima
masyarakat
Tidak
bertentangan
dengan
budaya
Keberlanjutan
Total

Bobot
(B) = 1-5
5
4
5
4
4

BBLR
Skor
Nilai
7
35
8
32
10
50
8
32
8
32

Mampu/tidak mampu
Asupan rendah
Skor
Nilai
10
50
9
36
10
50
7
28
10
40

Infeksi
Skor
Nilai
6
30
7
28
10
50
8
32
7
28

4

5

20

7

28

6

24

4

8

32
233

8

32
264

8

32
224

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa program penanganan asupan makan
balita asupan makan balita dari segi kualitas dan kuantitas rendah mendapatkan nilai tertinggi.
Penanganan asupan makanan dianggap mampu dan layak dalam hal biaya, waktu yang
15

Manajemen Program Pangan dan Gizi
dibutuhkan, dan dapat diterima masyarakat. Program penyululahan perbaikan gizi
membutuhkan biaya yang dibutuhkan relatif kecil dibandingkan penanganan untuk BBLR
dan Infeksi. Program tersebut dinilai tidak membutuhkan waktu yang lama dan dapat
diterima masyarakat.

TABEL HIPPOPOC
Desain kegiatan dijelaskan oleh input, proses, output dan outcome yang disajikan
dalam tabel HIPPOPOC. HIPPOPOC harus memperhatikan variabel pengganggu
(confounder ) keberhasilan program, cara mengatasinya, dan asumsi-asumsi yang digunakan
yang dapat menjamin bahwa output dan outcome akan tercapai.
Tabel tersebut juga memfasilitasi pembentukan gambaran yang luas dan
mempromosikan tujuan proyek yang jelas. Informasi rinci dalam tabel HIPPOPOC termasuk
input yang diperlukan untuk pelaksanaan intervensi; process yang merupakan daftar tindakan

atau intervensi yang akan dilaksanakan; output yang merupakan hasil langsung dari tindakan
atau intervensi yang akan dilaksanakan; dan outcome, yaitu perubahan yang disebabkan oleh
kegiatan yang dilakukan.
Hasil yang diharapkan dari program dan kegiatan yang akan dilakukan adalah
perubahan sosial dan perilaku dalam hal peningkatan pengetahuan, sikap dan praktek
pemberian makan bayi dan balita sehingga tercapai asupan yang berkualitas dan berkuantitas
sesuai umur balita.
Variabel pengganggu dari keberhasilan program yang dilakukan adalah partisipasi
masyarakat yang kurang dan dana kegiatan yang akan dilakukan. Peningkatan partisipasi
masyarakat dengan cara pendekatan terhadap tokoh masyarakat/stakeholder dan memotivasi
agar memahami bahwa gizi semibang pada bayi dan balita itu penting. Dana kegiatan juga
bisa menjadi penghambat keberhasilan program, untuk menyelesaikannya adalah pembuatan
proposal kegiatan dan diajukan pada LSM atau perusahaan yang akan membantu kegiatan.
Asumsi-asumsi yang digunakan dapat menjamin bahwa output dan outcome akan
tercapai yaitu: 1) Dana kegiatan yang cukup untuk melaksanakan program , 2) Partisipasi
masyarakat terhadap kegiatan tinggi, 3) Ada dukungan dari stakeholder , 4) Adanya
kerjasama antar lintas sektoral (bidang pertanian, kesehatan, dan agama), 5) Kesaradaran
masyarakat tentang status gizi dan gizi seimbang penting untuk dipraktekkan.

16

Manajemen Program Pangan dan Gizi
Tabel 2. Tabel HIPPOPOC
Input
·
·

·
·
·
·
·
·
·
·

·
·
·
·

·

·
·
·

Dana kegiatan
Fasilitas kesehatan atau
tempat pelaksanaa seperti
Puskesmas dan Posyandu
Survey baseline lokasi
penyuluhan
Bahan dan alat edukasi
Bahan dan alat PMT
Leader program
Petugas kesehatan
Tenaga penyuluhan
Ahli Gizi
Kerjasama antar lintas
sektoral (pertanian dan
agama) dan LSM
Transportasi
Komputer
Peserta Penyuluhan
Dukungan
pemerintah
daerah dan lingkungan
sekitar
Insentif untuk penyuluhan
kesehatan
dan
panitia
pelaksanan
Standar operasioal program
Skema evaluasi
Proposal kegiatan

Proses

Output

Outcome

Asumsi

· Studi baseline pengetahuan,
sikap, dan praktek ibu pada
bayi dan balita tentang ASIMPASI dan penyediaan
layanan kesehatan
· Pembuatan proposal kegiatan
· Seminar dan penyuluhan gizi
pada stakeholder dan ibu
bayi dan balita.
· Pembuatan bahan konseling
edukasi dan informasi
(Poster, leaflet, modul, buku,
brosur tentang ASI-MPASI,
PMT, Gizi Seimbang Bayi
dan Balita)
· Pemberian PMT untuk balita
dan penyuluhan PMT yang
sesuai umur
· Pelatihan PMT balita
· Melakukan pertemuan
stakeholder dan kader
· Pelatihan dan memotivasi
kader tentang gizi seimbang
pada bayi dan balita
· Pembuatan kebun gizi
· Desa mandiri pangan

· Peningkatan
(90%)pengetahuan, sikap,
dan praktek ibu tentang
ASI-MPASI
· Dilakukannya seminar dan
penyuluhan gizi pada ibu
bayi dan balita
· Bahan
edukasi
dan
informasi
disebarkan
(Poster, leaflet, modul,
buku, brosur tentang ASIMPASI,
PMT,
Gizi
Seimbang Bayi dan Balita)
· Peningkatan
partisipasi
(80%) dan dukungan dari
stakeholder
untuk
menegakkan gizi seimbang
bayi dan balita
· Peningkatan pengetahuan
tentang pembuatan PMT
yang baik
· Ada
kebun
gizi
di
pekarangan
· Laporan kegiatan (LPJ)
yang dilaksanakan

· Meningkatkan status
gizi bayi dan balita
· Menurunkan
morbiliti anak
· Meningkat
perkembangan
motorik, fisik dan
skor IQ
· Penghematan biaya
kesehatan
· Peningkatan
keterlibatan
masyarakat tentang
aktivitas makan bayi
dan balita
· Peningkatan
ketersediaan dan
aksebilitas makanan
sehat

· Adanya
kerjasasama
lintas sektoral
(dinas
pertanian,
agama dan
kesehan)
untuk
menerapkan
gizi seimbang
pada bayi dan
balita

17

Manajemen Program Pangan dan Gizi
DAFTAR PUSTAKA
Ardiyani . 2014. Effects of social economics changes on children health status in Indonesia
(IFLS 1993 – 2007). BMC Public Health, 14(Suppl 1):P3
Branca F, Ferrari F. 2002. Impact of micronutrient deficiencies on growth: the stunting
syndrome. Annals of Nutrition and Metabolism.46(suppl 1):8–17.
[BALITBANGKES] Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan
RI. 2013. Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta; 2013.
Casale D, Desmond C, Richter L. 2014. The association between stunting and psychosocial
development among preschool children: a study using the South African Birth to
Twenty cohort data.
Grantham-McGregor S, Cheung YB, Cueto S, et al. Developmental potential in the fi rst 5
years for children in developing countries. Lancet 2007; 369: 60–70.
Keefe CJL, Couch SC, Philipson EH. 2008. Handbook of Nutrition And Pregnancy. USA:
Humana Press. p: 27 -28.
Lancet. 371:340–57.
Ogunba BO. 2006. Maternal behavioral feeding practices and under-five nutrition:
implication for child development and care. Journal of Applied Sciences Research.
2(12): 1132-1136.
Ong KK, Hardy R, Shah I, Kuh K. 2013. Childhood Stunting and Mortality Between 36 and
64 Years: The British 1946 Birth Cohort Study. 2013; 98(5):2070–2077
Rahayu LS. 2011. Associated of height of parents with changes of stunting status from 6-12
months to 3-4 years (thesis). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Rosha BC, Hardinsyah, Baliwati YF. 2012. Analisis Determinan Stunting Anak 0-23 Bulan
Pada Daerah Miskin Di Jawa Tengah Dan Jawa Timur. Penel Gizi Makan. 35(1): 3441
Victora CG, Adair L, Fall C, Hallal PC, Martorell R, Richter L, Sachdev HS.2008. Maternal
and Child Undernutrition Study Group. Maternal and child undernutrition:
consequences for adult health and human capital.
Victora CG, de Onis M, Hallal PC, Blossner M, Shrimpton R. 2010. Worldwide timing of
growth faltering: revisiting implications for interventions. Pediatrics 125, e473–e480.
Win KM, Van der MP, Vajanapoom N, Amnatsatsue K. 2013. Early Pregnancy and
Maternal Malnutrition as Precursors of Stunting in Children under Two Years of Age
among Bhutanese Refugees, in Nepal Maternal Precursors in Stunting of Children.
Thammasat International Journal of Science and Technology. Vol. 18, No. 1, JanuaryMarch 2013.
[WHO] World Health Organization. 2010. Nutrition Landscape Information System: Country
Profile Indicator , Interpretation Guide. Geneva: World Health Organization.
Yu S, Lin HT, Shui SZ, Ying DC, Yi CY, Shao XL. 2010. Stunting and soil-transmittedhelminth infections among school-age pupils in rural areas of Southern China.
Parasites & Vectors.

18